Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 54


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 54



Hwa-i-kongcu hanya berhasil mengumpulkan dua puluh orang lebih sisa anggauta Liong-sim-pang dan bersama mereka dia cepat kembali ke Puncak Naga Api untuk mengambil semua hartanya yang ditinggalkan di situ, kemudian membawa hartanya pergi dan bersembunyilah dia dan anak buahnya di dalam hutan ini, menanti saat baik untuk membangun kembali perkumpulannya yang menjadi lemah dan rusak akibat gagalnya persekutuan membantu Pangeran Nepal itu. Ketika nikouw tua dan dara muda itu sedang berjalan di antara pohon-pohon raksasa dalam hutan yang sunyi itu, tiba-tiba Kim Sim Nikouw memegang lengan muridnya dan berhenti melangkah. Biarpun dia sudah tua sekali, namun berkat latihan ketat di waktu mudanya, maka panca inderanya masih peka dan tajam, pendengarannya masih dapat menangkap suara yang tidak sewajarnya.

   "Ada apakah, Subo?"

   Bisik Phang Cui Lan khawatir ketika melihat wajah subonya yang serius.

   "Sssttt...."

   Kim Sim Nikouw berbisik pula. Cui Lan makin khawatir, mengira bahwa tentu subonya melihat atau mendengar suara seekor binatang buas, maka dara ini merasa ngeri juga. Tiba-tiba terdengar suara berisik dan dari balik pohon-pohon besar itu muncullah seorang laki-laki bertubuh jangkung diikuti oleh lima orang lain. Melihat munculnya enam orang laki-laki ini, Cui Lan menarik napas lega. Kiranya hanya manusia-manusia saja dan dara ini menjadi tenang kembali.

   "Ah, kalian enam orang gagah sungguh membuat kami berdua terkejut bukan main!"

   Kata Cui Lan dengan wajah berseri dan senyum ramah.

   "Kusangka kami akan bertemu dengan harimau atau ular!"

   Laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh jangkung dan bermuka keras itu, tertawa mendengar ini dan lima orang temannya tertawa semua.

   "Ha-ha-ha, Nona Manis, kalau dibandingkan dengan harimau, kami adalah singa-singa perkasa, dan kalau dibandingkan dengan ular-ular sesungguhnya kami adalah naga-naga sakti! Setelah berjumpa dengan kami, kalian berdua harus menyerah untuk menjadi tawanan kami."

   "Menjadi tawanan?"

   Cui Lan bertanya dengan penasaran. Dara ini memang memiliki ketabahan besar, maka kini dia pun tidak menyembunyikan kemarahan-nya dan sedikit pun tidak kelihatan takut karena dia merasa berada di fihak yang benar.

   "Apakah kesalahan kami berdua. Dan untuk apa kami hendak ditawan?"

   Kembali enam orang itu tertawa dan si jangkung membusungkan dada.

   "Kalian telah memasuki wilayah kami dan kalian harus kami tawan untuk kami hadapkan kepada pimpinan kami!"

   Kim Sim Nikouw sudah maklum bahwa dia dan muridnya berhadapan dengan gerombolan perampok atau orang-orang jahat, maka dia sudah mengerutkan alisnya dan kini dia segera berkata halus,

   "Omitohud.... kami berdua hanyalah seorang nikouw tua dan seorang gadis muda yang lemah dan miskin, tidak mempunyai apa-apa, maka, demi Dewi Kwan Im yang pengasih dan penyayang, harap Cu-wi (Anda sekalian) yang gagah perkasa tidak mengganggu kami."

   Si jangkung itu membelalakkan matanya.

   "Eh, nikouw tua, jangan ngoceh engkau! Kau kira kami ini perampok-perampok? Phuh! Kami adalah orang-orang gagah perkasa dari Liong-sim-pang, tahu?"

   Sudah puluhan tahun lamanya Kim Sim Nikouw tidak lagi berkecimpung di dalam dunia kang-ouw, tentu saja dia belum pernah mendengar akan nama perkumpulan Liong-sim-pang itu. Akan tetapi melihat sikap sombong dari si jangkung ini saja sudah dapat dinilai olehnya macam apa adanya Perkumpulan Hati Naga itu. Dia cepat menjura dan berkata,

   "Ah, kiranya Cu-wi adalah orang-orang gagah dari perkumpulan besar. Makin baik kalau begitu, karena pinni percaya bahwa Cu-wi tidak akan mengganggu kami. Hendaknya Cu-wi ketahui bahwa pinni sedang mengantarkan nona ini untuk menghadap Gubernur Ho-pei. Nona ini adalah puteri angkat beliau, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan."

   "Puteri angkat Gubernur Ho-pei? Ahhh....!"

   Enam orang itu terbelalak dan kelihatan terkejut dan girang sekali.

   Kim Sim Nikouw sengaja menggunakan nama gubernur untuk mengusir mereka karena biarpun dia tidak merasa takut, akan tetapi nenek ini sudah tidak mempunyai minat lagi untuk mengunakan kekerasan bertempur melawan orang lain. Usianya sudah hampir enam puluh tahun dan sudah puluhan tahun dia tidak pernah berkelahi, bahkan jarang sekali berlatih sungguhpun selama puluhan tahun itu dia telah menemukan rahasia ilmu ginkang yang luar biasa sekali. Biarpun Cui Lan sendiri merasa tidak setuju mendengar gurunya membawa bawa nama ayah angkatnya menghadapi orang-orang kasar ini karena dia sendiri sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi melihat wajah girang mereka, dara ini mengira bahwa mereka sudah mengenal ayah angkatnya dan menghormatnya, maka dia pun tersenyum dan berkata,

   "Setelah Cu-wi mengenal ayah angkatku, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan. Setelah bertemu dengan beliau, tentu aku akan melaporkan tentang kebaikan kalian. Sekarang ini, seperti dikatakan Subo, kami adalah orang-orang miskin dan aku tidak mempunyai apa-apa...."

   Cui Lan menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba si jangkung itu tertawa bergelak diikuti oleh teman-temannya.

   "Ha-ha-ha, engkau bilang tidak mempunyai apa-apa, Nona? Ha-ha-ha, engkau memiliki sesuatu yang amat berharga sekali, yaitu kecantikan dan kemudaanmu. Kongcu tentu akan tertarik sekali kepadamu, karena itu, marilah engkau ikut bersama kami menghadap kongcu dan nenek tua ini tidak ada gunanya, biar dia melanjutkan perjalanannya seorang diri saja."

   "Jiu-twako, mengapa tidak bunuh saja nenek ini biar menjadi makanan binatang hutan dan agar dia tidak dapat banyak bicara tentang kita di sini?"

   Berkata seorang di antara mereka yang mukanya penuh brewok dan kata-katanya ini agaknya didukung oleh teman-temannya.

   "Bunuh juga lebih baik!"

   Kata si jangkung dan tentu saja Cui Lan menjadi terkejut bukan main dan bangkitlah kemarahannya. Dengan mata terbuka lebar dan dada dibusungkan, dia menghadang di depan subonya dan menentang enam orang laki-laki kasar itu.

   "Hemmm, apa yang kalian hendak perbuat? Apakah seperti itu sikap orang-orang gagah yang menamakan dirinya anggauta-anggauta perkumpulan Liong-sim-pang yang gagah perkasa? Mundurlah, kalau tidak, tentu kejahatan kalian kelak akan menerima hukuman dari pemerintah dan dari Tuhan!"

   Enam orang itu tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan ini.

   "Ha-ha-ha, kawan-kawan, lihat, nona ini selain cantik jelita, juga memiliki keberanian! Kongcu tentu akan girang melihatnya. Kurasa, dibandingkan dengan Puteri Bhutan itu, dia ini masih tidak kalah!"

   Kim Sim Nikouw melihat gelagat tidak baik, maka dia menarik tangan muridnya dan berkata,

   "Cui Lan, mundurlah."

   Kemudian dia menghadapi enam orang itu dan berkata lagi dengan halus,

   "Harap Cu-wi suka mempertimbangkan lagi apa keuntungan Cu-wi mengganggu kami, seorang wanita tua dan seorang gadis lemah. Apakah Cu-wi tidak khawatir nama baik Cu-wi akan ternoda?"

   Si jangkung membentak,

   "Nikouw tua jangan cerewet! Dengar, aku adalah Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang terkenal jagoan dan tentu saja aku tidak sudi mengganggu nenek-nenek tua dan seorang dara yang lemah. Akan tetapi kami tidak ingin mengganggu kalian. Aku hanya ingin mengajak nona ini menghadap kongcu yang sedang kesepian, sedangkan engkau, kalau engkau menjadi bujang dan melayani kongcu akan kami ajak sekalian. Kalau tidak, nona ini akan kami bawa dan engkau akan kami berikan kepada binatang-binatang buas di hutan ini untuk dimakan!"

   Kim Sim Nikouw memejamkan mata sejenak untuk merasakan api kemarahan yang terasa di dada dan kepalanya, kemudian dia membuka kembali matanya, memandang kepada Jiu Koan jagoan Liong-sim-pang itu dengan sinar mata tetap lembut dan dia menarik napas panjang berkali-kali sehingga api kemarahan itu padam kembali.

   "Omitohud.... kalian menggunakan kekerasaan untuk melakukan perbuatan jahat, tidak tahukah kalian bahwa hal itu akan menimpa kalian sendiri?"

   "Jiu-twako, mengapa melayani nenek-nenek cerewet? Biar kusembelih saja dia!"

   Bentak si brewok sambil mencabut sebuah golok dari punggungnya, ditertawakan oleh teman-temannya. Jiu Koan mengangguk, kemudian tiba-tiba dia sendiri bergerak menubruk ke arah Cui Lan untuk menangkap dara itu, sementara itu, si brewok sudah memutar goloknya lalu dibabatkan golok itu ke arah leher Kim Sim Nikouw!

   "Ihhhhh....!"

   Cui Lan menjerit ngeri akan tetapi dengan ringan sekali tubuhnya sudah meloncat ke samping sehingga Jiu Koan hanya menubruk tempat kosong belaka! Inilah hasil beberapa bulan digembleng oleh Kim Sim Nikouw dalam hal ginkang! Melihat betapa mudahnya dia mengelak, Cui Lan menjadi besar hati dan dia bersikap waspada memandang kepada si jangkung yang kelihatan terheran itu. Akan tetapi si jangkung Jiu Koan tidak berusaha menubruknya kembali karena tertarik untuk menonton si brewok yang sudah mulai menyerang nikouw tua itu.

   Enam orang itu terkejut sekali seperti juga si brewok karena biarpun si brewok menyerang sedemikian cepatnya, ketika golok itu menyambar, tubuh nenek itu tiba-tiba saja lenyap! Jiu Koan sendiri melihat betapa cepatnya gerakan nenek itu, seperti kapas ringannya, melayang ke kanan ketika golok menyambar. Dia menjadi penasaran dan mulai menduga bahwa nikouw itu tentu memiliki kepandaian, maka dia mengambil kesimpulan bahwa kalau nikouw ini tidak dibunuh lebih dulu, tentu akan sukar baginya untuk dapat menawan dara cantik jelita yang tentu akan menyenangkan hati kongcunya itu. Maka setelah mencabut goloknya, golok yang amat diandalkannya, dia lalu berseru nyaring kepada kawan-kawannya,

   "Hayo kalian bantu, bunuh nikouw tua itu!"

   Empat orang kawannya cepat mengeluarkan senjata masing-masing dan beramai-ramai mereka berlima lalu mengeroyok Kim Sim Nikouw. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh nikouw itu, menyilaukan mata sinar golok dan pedang yang berkilat-kilat. Namun sungguh mengejutkan mereka karena biarpun mereka kadang-kadang dapat melihat dengan jelas tubuh atau bayangan nenek itu,

   Tidak ada satu pun di antara serangan-serangan mereka mengenai sasaran! Nenek tua itu seperti pandai menghilang saja dan tahu-tahu, begitu diserang, bayangan itu lenyap dan telah berada di tempat lain, di belakang atau di kanan kiri mereka! Tentu saja hal ini meman-cing rasa penasaran mereka dan lima orang itu menyerang lebih ganas lagi. Penyerangan orang-orang kasar itu tentu saja sama sekali tidak ada artinya bagi Kim Sim Nikouw, merupakan serangan sekumpulan anak-anak yang canggung dan kaku belaka dan dengan ginkangnya yang sudah mencapai tingkat amat tinggi itu dengan mudah dia dapat mengelak ke sana-sini. Jangankan baru lima orang kasar itu, biar ditambah lagi dengan lima puluh orang macam mereka, kiranya belum tentu akan mampu melukai nenek ini dengan senjata mereka!

   Kalau nikouw tua itu menghendaki, dengan sedikit gerakan berdasarkan ilmu ganas Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa), atau Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), maka dengan mudah dia akan dapat merobohkan mereka. Hanya saja hati nikouw ini merasa tidak tega. Setelah puluhan tahun lamanya menghayati ajaran-ajaran Dewi Kwan Im yang penuh welas asih, ia merasa tidak tega untuk membalas kekerasan orang dengan kekerasan pula. Dia melihat perbuatan keras dan kasar itu bukan sebagai suatu kejahatan, melainkan sebagai suatu kebodohan dan orang-orang itu tidak menimbulkan kebencian di dalam hatinya, malah baginya patut dikasihani! Inilah sebabnya mengapa sampai sekian lamanya Kim Sim Nikouw hanya mengelak saja tanpa mau membalas.

   Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang sombong itu, tentu saja terkejut bukan main melihat betapa nenek itu dapat berkelebat seperti seekor burung di antara kilatan golok dan pedang anak buahnya, sedikit pun tidak pernah tersentuh. Dia menjadi penasaran sekali dan sambil berseru keras dia pun menerjang ke depan, menusukkan goloknya ke arah punggung nenek itu. Kim Sim Nikouw mengelak dengan tubuh dimiringkan, akan tetapi golok yang luput menusuk itu telah membalik dan membabat ke arah lehernya! Tahulah Kim Sim Nikouw bahwa Jiu Koan ini memiliki kepandaian yang tidak boleh disamakan dengan kekasaran lima orang anak buahnya, maka dengan cepat nikouw tua ini mengenjot kakinya dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang, membuat babatan golok di tangan Jiu Koan itu mengenai angin kosong saja.

   Enam orang Liong-sim-pang itu makin penasaran dan kini mereka terus menyerang bertubi-tubi, sama sekali tidak ingat akan kegagahan mereka yang sepatutnya tersinggung dan membuat mereka malu karena mereka adalah enam orang laki-laki yang selalu menganggap diri sendiri gagah perkasa, akan tetapi kini mengeroyok seorang nikouw tua yang sama sekali tidak pernah mau balas menyerang! Kim Sim Nikouw akhirnya maklum bahwa kalau dia tidak mengalahkan mereka, enam orang yang tidak tahu diri ini tentu akan terus menyerang, dan dia pun mengkhawatirkan keselamatan Cui Lan, maka tiba-tiba nenek tua itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan di lain saat, terdengar pekik kaget berturut-turut golok dan pedang mereka terlepas dari tangan dan telah dirampas semua oleh Kim Sim Nikouw.

   "Omitohud, kalian terlalu mendesak....!"

   Kim Sim Nikouw berseru dan satu demi satu dia mematahkan pedang dan golok itu dengan jari-jari tangannya yang kurus dan kecil. Mendengar suara "pletak-pletak"

   Dan melihat betapa golok dan pedang mereka itu dipatahkan seperti orang mematahkan lidi saja, enam orang itu terbelalak dengan muka pucat! Tahulah mereka sekarang bahwa nikouw tua itu ternyata adalah seorang yang sakti, memiliki kepandaian yang amat tinggi dan luar biasa. Selagi mereka terbelalak dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara orang di belakang mereka.

   "Apakah yang sedang terjadi di sini?"

   Legalah hati Jiu Koan dan anak buahnya mendengar suara ini. Jiu Koan cepat membalik dan menghadap seorang laki-laki muda yang usianya tiga puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak muda sekali, nampaknya baru berusia dua puluhan tahun lebih, pakaiannya serba baru dengan baju berkembang-kembang, sepatunya mengkilap, seorang yang tampan dan pesolek, yang kini berdiri dan biarpun dia bertanya kepada anak buahnya, namun sepasang matanya dengan jalang melahap kecantikan Cui Lan yang berdiri tidak jauh dari tempat itu. Dengan tangan kiri memegang kipas yang dikembangkan, maka Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang ini pantas menjadi seorang sastrawan yang sopan dan halus budi! Mukanya putih seperti dibedaki, dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang yang terukir indah dan dihias ronce merah!

   "Kongcu, nenek ini lihai bukan main dan kami tak berdaya terhadapnya. Senjata kami dirampasnya, harap Kongcu suka menghajarnya!"

   Hwa-i-kongcu Tang Hun mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan matanya mengerling tajam ke arah Cui Lan yang tentu saja merasa tidak enak dan juga agak tak senang melihat kekurangajaran dalam mata pemuda asing itu.

   "Jiu Koan, ceritakan yang jelas mengapa kalian ribut-ribut dengan Lo-suthai ini,"

   Kata Hwa-i-kongcu, suaranya halus sikapnya menarik dan sopan.

   "Kongcu, kami melihat nenek dan nona ini lewat di sini, melanggar wilayah kita, maka kami bermaksud untuk menghadapkan nona itu kepada Kongcu. Akan tetapi nikouw tua ini melarang dan kami lalu menyerangnya...."

   "Seorang gagah perkasa harus malu untuk berbohong!"

   Tiba-tiba Cui Lan berkata lantang.

   "Hendaknya Kongcu tidak sembarangan percaya pelaporan orang-orang yang pengecut ini! Kami guru dan murid lewat di sini dalam perjalanan kami ke daerah Ho-pei, mana kami tahu bahwa hutan ini menjadi wilayah kekuasaan mereka? Si jangkung ini lalu hendak menangkap aku dan hendak membunuh Subo, dan Subo hanya membela diri saja ketika hendak dibunuh. Harap Kongcu membiarkan kami berdua guru dan murid melanjutkan perjalanan kami."

   "Kongcu, nona itu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki di Ho-pei!"

   Tiba-tiba si jangkung berkata dan berubahlah wajah Tang Hun. Dia tersenyum dan matanya menatap wajah cantik Cui Lan.

   "Ah, kiranya Siocia adalah puteri angkat Gubernur Ho-pei? Selamat datang di wilayah kami dan kupersilakan Nona untuk sudi singgah di gubukku sebagai seorang tamu terhormat."

   Cui Lan mengerutkan alisnya. Biarpun pemuda itu tampan dan lemah lembut, juga sopan santun, namun dia melihat betapa di balik sinar mata dan senyum pemuda itu terdapat sesuatu yang menyeramkan dan mengerikan hatinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi Kim Sim Nikouw yang juga segera mengenal orang, segera menjura.

   "Ah, kiranya Kongcu adalah pimpinan Liong-sim-pang? Harap maafkan pinni dan murid pinni yang tanpa disengaja melanggar wilayah Kongcu. Kami sedang tergesa-gesa, maka harap maafkan bahwa pinni dan murid pinni tidak ada kesempatan untuk berkunjung."

   "Siapakah Lo-suthai?"

   Tiba-tiba suara pemuda itu berubah, tidak semanis tadi, bahkan kelihatan marah. Memang sesung-guhnya hati Tang Hun sudah terasa panas melihat betapa enam orang anak buahnya dibuat tidak berdaya oleh nenek tua ini.

   "Pinni adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio yang berada di lereng Thai-hang-san, Kongcu. Dan murid pinni ini adalah Phang Cui Lan, puteri angkat dari Gubernur Ho-pei. Kami sedang menuju ke sana untuk menghadap gubernur."

   Nikouw itu menjelaskan sejujurnya.

   "Hemmm, Suthai adalah seorang pemuja Dewi Welas Asih, akan tetapi Suthai sendiri tidak memiliki welas asih dalam hati Suthai"

   "Maksud Kongcu?"

   Kim Sim Nikouw bertanya heran.

   "Kalau Suthai niemiliki hati penuh welas asih, tentu Suthai akan meninggalkan nona ini di sini dan Suthai boleh pergi."

   "Kongcu, apa maksudmu?"

   "Suthai tentu maklum betapa tersiksanya seorang pria yang sedang kesepian seperti saya ini. Dan melihat nona ini, anak buahku ingin menghibur hatiku dengan persembahan berupa nona ini. Kalau Suthai kasihan kepada saya, tentu Suthai juga tidak berkeberatan untuk menyerahkan nona ini kepadaku, untuk menghibur hatiku yang sedang kesepian...."

   "Eh, Kongcu yang rendah budi!"

   Cui Lan berseru marah.

   "Aturan mana itu? Melihat gerak-gerik dan pakaianmu, tentu engkau seorang yang tahu akan peraturan dan kebudayaan, mengapa dapat mengeluarkan kata-kata yang rendah itu?"

   Tang Hun tersenyum.

   "Nona Phang Cui Lan, begitu melihatmu aku sudah jatuh cinta kepadamu. Engkau begini cantik jelita, halus budi dan penuh keberanian. Sungguh pantas kalau menjadi teman hidupku! Jiu Koan, ajak teman-teman tangkap nona itu, akan tetapi jangan lukai dia dan jangan bersikap kasar, dia adalah milikku yang harus kalian hormati."

   "Tapi.... tapi dia...."

   Jiu Koan memandang ke arah Kim Sim Nikouw dengan sikap jerih.

   "Serahkan nikouw tua ini kepadaku!"

   Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba sekali Hwa-i-kongcu Tang Hun sudah menerjang maju, tangan kanannya menampar ke arah pelipis dan tangan kirinya menghadang lalu mencengkeram lambung. Serangan ini ganas bukan main!

   "Omitohud....!"

   Kim Sim Nikouw berseru kaget sekali, akan tetapi kegesitan gerakannya masih mengatasi kecepatan serangan lawan dan sebelum kedua tangan lawan itu menyentuh ujung baju, dia sudah mengelak sehingga serangan pertama itu luput! Akan tetapi, Hwa-i-kongcu terus menyerangnya dengan bertubi-tubi. Sedemikian hebat serangan pemuda pesolek itu sehingga biarpun Kim Sim Nikouw memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa dan semua serangan Hwa-i-kongcu dapat dielakkannya dengan mudah, namun nenek ini maklum pula bahwa menghadapi seorang yang memiliki tingkat kepandaian seperti pemuda pesolek ini, jelas bahwa dia tidak mungkin dapat mengandalkan kecepatan untuk terus-menerus mengelak saja. Pukulan-pukulan yang dilakukan oleh lawannya itu bukanlah pukulan kasar yang dapat dielakkannya dengan mudah,

   Melainkan pukulan yang mengandung tenaga sinkang sehingga amatlah berbahaya baginya kalau dia hanya mengelak terus-menerus. Oleh karena itu, mulailah nikouw tua ini bersilat dan terpaksa dia lalu mengeluarkan ilmu pukulan yang selama ini disimpannya sebagai rahasia dirinya, yaitu Toat-beng Sin-ciang dan kadang-kadang Swat-im Sin-ciang. Penggabungan pukulan seperti yang dilatih oleh Siluman Kecil atas petunjuk dan bantuannya, sama sekali tidak pernah dipelajarinya sendiri karena dianggap terlalu kejam, bertentangan dengan hati dan sifatnya yang menentang kekerasan. Melihat gerakan tangan nikouw itu, bukan main kagetnya Hwa-i-kongcu. Yang dihadapi adalah seorang nikouw pemuja Kwan Im Pouwsat yang demikian lemah lembut dan suci,

   Akan tetapi mengapa gerakan tangannya demikian kejinya, membayangkan ilmu yang luar biasa ganasnya dan ampuhnya? Dia tidak tahu bahwa Kim Sim Nikouw dahulunya di waktu muda adalah murid datuk-datuk ilmu persilatan yang termasuk datuk kaum sesat Akan tetapi, karena memang kurang latihan, akhirnya Kim Sim Nikouw harus mengakui keunggulan murid dari nenek iblis Durganini itu. Apalagi ketika dalam penasaran dan marahnya Hwa-i-kongcu Tang Hun mencabut pedangnya yang tipis, terpaksa Kim Sim Nikouw kembali mengandalkan ginkangnya untuk mengelak ke sana-sini. Sebetulnya yang membuat dia terdesak adalah karena nikouw tua ini sama sekali tidak ada maksud untuk membunuh lawan, berbeda dengan lawannya yang bernafsu untuk membunuhnya. Hal ini tentu saja amat mempengaruhi jalannya pertempuran.

   Kalau dia selalu berhati-hati dan hanya melakukan serangan balasan yang sifatnya menjaga diri saja, sebaliknya lawan menghujankan serangan maut untuk membunuh. Sementara itu, biarpun dia telah mengerahkan ginkangnya untuk mengelak dan lari ke sana ke mari, akhirnya Cui Lan tertangkap juga dan begitu lengannya kena ditangkap, dara itu tak mampu lari lagi dan segera diringkus oleh Jiu Koan yang tertawa-tawa. Akan tetapi karena sudah dipesan oleh Hwa-i-kongcu, maka dia dan kawan-kawannya tidak berani bersikap kasar atau kurang ajar terhadap dara itu, hanya mengikat kedua tangan dara itu ke belakang tubuhnya dengan saputangan. Tertawannya dara itu membuat Kim Sim Nikouw makin bingung dan nyaris pundaknya dimakan pedang kalau saja dia tidak cepat melempar diri ke belakang dan terus berjungkir-balik dan melarikan diri dari tempat itu!

   "Subo....!"

   Phang Cui Lan berseru memanggil akan tetapi nikouw itu telah berkelebat lenyap dari situ.

   "Kejar dia! Nenek itu harus dibunuh karena dia sudah tahu tempat kita!"

   Hwa-i-kongcu berseru kepada Jiu Koan dan teman-temannya yang segera lari mengejar ke arah berkelebatnya bayangan nikouw itu, sedangkan Hwa-i-kongcu lalu memondong tubuh Phang Cui Lan, dibawa lari memasuki hutan lebat. Dara itu meronta dan memaki, akan tetapi tentu saja tak mampu berkutik dalam pondongan Hwa-i-kongcu yang hanya tertawa gembira. Kenapa Kim Sim Nikouw melarikan diri dan meninggalkan Cui Lan begitu saja terancam bahaya di tangan pemuda cabul itu? Apakah nikouw tua yang di waktu mudanya adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa itu kini menjadi penakut dan pengecut yang membiarkan muridnya terancam bahaya?

   Tentu saja tidak demikian, Kim Sim Nikouw maklum bahwa kalau dia mengandalkan kekuatannya sendiri saja dia tidak akan mampu menyelamatkan Cui Lan, bahkan dia sendiri yang akan celaka karena Hwai-kongcu Tang Hun ternyata amat lihai dan agaknya memiliki banyak anak buah. Oleh karena itulah maka dia sengaja melarikan diri untuk mencari bantuan! Karena daerah itu sudah termasuk wilayah Propinsi Ho-pei, maka dia akan cepat mencari pembesar setempat untuk minta bantuan pasukan keamanan untuk menolong puteri angkat gubernur yang tertawan orang jahat. Kalau pembesar setempat mendengar bahwa yang tertawan Hwa-i-kongcu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki, sudah pasti pembesar itu mau membantu. Ketika nikouw tua itu sudah mulai berpeluh dan terengah-engah karena sejak tadi melakukan perjalanan dengan berlari cepat, tiba-tiba dia mendengar seruan dari samping,

   "Ibu....! Mengapa tergesa-gesa? Hendak pergi ke manakah?"

   "Kian Bu....!"

   Kim Sim Nikouw girang bukan main ketika dia menahan kakinya dan menengok, melihat bahwa yang menegurnya itu adalah seorang pemuda berambut putih yang bukan lain adalah Suma Kian Bu, pemuda yang menjadi muridnya, juga menjadi anak angkatnya itu, pemuda putera Suma Han atau Pendekar Super Sakti, satu-satunya pria yang pernah dan masih dicintanya! Saking girangnya, Kim Sim Nikouw menubruk dan merangkul Kian Bu dengan air mata berlinang.

   "Eh, Ibu menangis?"

   Kian Bu terkejut bukan main. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini mengejar dan mencari Kian Lee, kakaknya yang lari melakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang membawa pergi Hwee Li. Akan tetapi karena dia tidak tahu ke mana kakaknya itu lari, dia salah jalan dan tidak berhasil menyusul Kian Lee. Ketika dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, dia teringat kepada Kim Sim Nikouw, gurunya dan juga ibu angkatnya itu, maka dia lalu membelok dan bermaksud mengunjungi Kwan-im-bio di lereng Thai-hang-san dan tak disangkanya, dia melihat nikouw itu berkelebat cepat maka segera dipanggilnya. Kini melihat nikouw tua itu berlinang air mata, dia terkejut sekali.

   "Kian Bu, anakku, engkau harus cepat menolong dia! Hayo kau ikut denganku!"

   Setelah berkata demikian, nikouw itu menarik tangan Kian Bu dan cepat berlari ke arah yang berlawanan dengan tadi. Terpaksa Kian Bu juga mempergunakan ilmunya berlari cepat sehingga nenek dan pemuda ini berlari cepat sekali menuju ke sebuah hutan besar yang nampak dari situ.

   "Dia siapakah, Ibu?"

   Kian Bu bertanya karena dia merasa heran dan ingin tahu sekali mengapa ibu angkatnya kelihatan begitu gugup dan bingung, suatu sikap yang amat berlawanan dengan sikap nikouw ini yang biasanya tenang dan lemah lembut.

   "Dia.... Phang Cui Lan,"

   Jawab nikouw itu sambil terus berlari, bahkan mempercepat larinya, padahal napasnya sudah terengah-engah.

   "Phang Cui Lan....? Siapa dia....?"

   Kian Bu bertanya lagi.

   "Dan apa yang telah terjadi dengan dia?"

   Tiba-tiba Kim Sim Nikouw menghentikan langkahnya, terengah-engah dan menghapus keringat dari muka dan lehernya, matanya memandang kepada Klan Bu dengan marah dan dia berkata penuh teguran,

   "Kian Bu, engkau laki-laki tak berjantung!"

   Kian Bu meman-dang kepada nikouw itu dengan mata terbelalak.

   "Apa.... apa maksud Ibu berkata demikian?"

   "Dara itu memujamu seperti dewa, mencintamu melebihi jiwa raganya sendiri, dan engkau.... namanya pun kau lupakan! Betapa kejam engkau....!"

   "Ahhh....?"

   Kian Bu terkejut dan mengingat-ingat nama itu, namun tetap saja tak dapat diingat dan dikenalnya.

   "Lupakah kau kepada puteri mendiang lurah dusun Cian-Ii-cung di dekat Lokyang?"

   "Ahhh....! Kiranya dia....!"

   Tentu saja kini teringat oleh Kian Bu dara cantik yang dia tahu tergila-gila dan jatuh cinta kepadanya itu. Dara yang ditolongnya ketika dusunnya diserbu perampok, keluarga ayahnya terbunuh semua, kemudian dia menitipkan dara itu sebagai dayang di gedung Gubernur Ho-nan. Dan dara itu muncul kembali ketika dia bertanding melawan Sin-siauw Seng-jin. Dalam pertemuan itu dia sengaja bersikap kasar kepada dara itu untuk meyakinkan hati dara itu bahwa dia tidak mencintanya karena sikap ini dianggapnya sebagai satu-satunya obat untuk menyembuhkan dara itu. Siapa kira, kini dara itu agaknya dikenal oleh Kim Sim Nikouw dan terjadi sesuatu yang membuat nikouw itu demikian gelisah.

   "Apa yang terjadi dengan dia, Ibu?"

   "Dia ditawan oleh ketua Liong-simpang dan aku tidak berhasil menyelamatkannya, hayo kau cepat tolong dia!"

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Nikouw itu sudah berlari-lari dan Kian Bu cepat menyusulnya.

   "Mari kau kugendong saja agar cepat, Ibu, kau sudah lelah sekali!"

   Kata pemuda itu dan tanpa menanti jawaban, dia sudah menyambar dan memondong tubuh nikouw tua itu dan dibawanya lari secepat angin.

   "Harap kau tunjukkan jalannya."

   Kim Sim Nikouw memandang pemuda itu dengan hati penuh kagum. Dia yang mengajarkan ilmu ginkang kepada pemuda ini, akan tetapi dibandingkan dengan pemuda ini, dia sekarang kalah jauh! Dan berada dalam pondongan pemuda ini, ada rasa keharuan menyengat hatinya karena dia membayangkan bahwa yang memondongnya bukan Suma Kian Bu melainkan ayahnya, Suma Han! Akan tetapi dengan muka berubah merah Kim Sim Nikouw cepat mengusir bayangan itu dan meng-alihkan perhatiannya untuk menunjukkan jalan kepada Kian Bu memasuki hutan di mana tadi dia meninggalkan Cui Lan yang tertawan oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang.

   Sementara itu, dengan hati girang dan gembira sekali Tang Hun memondong tubuh Cui Lan dan dibawa masuk ke dalam sebuah pondok kayu yang kokoh kuat, pondok yang dibuat oleh anak buahnya di tengah hutan sebagai tempat tinggal dan tempat sembunyi sementara itu. Hatinya gembira bukan main karena dara yang ditawannya ini benar-benar amat cantik jelita! Hatinya sedang kesal dan berduka oleh semua kegagalannya, maka dara ini akan dapat menghiburnya di tengah hutan itu dan karena dara ini amat cantik dan lemah lembut, apalagi dikabarkan sebagai puteri angkat gubernur, maka dia tidak mau memperkosanya secara kasar. Tang Hun adalah seorang laki-laki hidung belang dan cabul, akan tetapi dia pun amat cerdik dan memiliki ambisi besar. Baru saja, dalam membantu Pangeran Nepal,

   Dia mengalami kegagalan yang amat merugikan sehingga terpaksa dia menyembunyikan diri ke dalam hutan karena takut kalau diburu sebagai pemberontak, akan tetapi kini terbukalah kesempatan baginya untuk menebus ke-gagalannya itu! Dia mempunyai dua kesempatan yang amat baik dengan tertawannya puteri angkat Gubernur Ho-pei itu. Kalau dia pandai membujuk rayu sampai dara cantik jelita itu menyerah dengan suka rela, dan dia yakin akan berhasil dalam hal ini, maka selain dia akan memperisteri seorang wanita yang amat jelita, juga dia akan menjadi mantu gubernur! Bukan main kenyataan ini, karena seketika dia akan terangkat tinggi sekali dalam kedudukan yang amat terhormat dan tentu gubernur itu akan melindungi mantunya! Andaikata keadaannya berbalik dan dara cantik manis itu tidak mau menyerah dengan suka rela, dia masih dapat memanfaatkannya,

   Yaitu menjadikannya sandera untuk melindungi dirinya jika dia diserbu dan diburu oleh pasukan pemerintah, dan tentu saja dia tetap akan dapat bersenang-senang dan menjadikan dara itu kekasihnya, baik secara halus atau secara kasar! Berbareng dengan kata terakhir itu, secara tiba-tiba dan cepat sekali Tang Hun sudah menubruk ke depan. Dia mengambil keputusan untuk secara paksa mencemarkan gadis ini dan menundukkannya dengan kekerasan. Dia percaya bahwa gadis ini setelah ditundukkan dengan paksaan, setelah diperkosanya akan kehilangan pula keangkuhannya dan akan patuh dan menurut, seperti yang sudah banyak dia alami dengan gadis-gadis yang pernah diperolehnya dengan cara apa pun juga. Biasanya, seorang dara yang angkuh seperti ini, sekali kehilangan kehormatannya akan menjadi jinak dan patah semangat.

   "Eh....?"

   Tang Hun terkejut bukan main ketika tubrukannya itu mengenai tempat kosong karena dengan kecepatan luar biasa dara itu telah dapat mengelak dari tubrukan itu! Tak disangkanya dara itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya.

   Dianggapnya bahwa tentu gerakan mengelak itu hanya kebetulan saja, maka kembali dia menubruk, sekali ini lebih cepat dan ganas, kedua tangannya membentuk cakar karena dia ingin mencengkeram pakaian dara itu untuk direnggut dan dicabik-cabiknya, kebiasaan yang amat disukainya kalau dia memperkosa wanita. Akan tetapi, kembali tubrukannya luput! Dengan ringan Cui Lan yang melihat bahaya mengancam itu sudah meloncat, mengerahkan seluruh ginkangnya yang telah dipelajari selama ini dari Kim Sim Nikouw. Wajah dara ini menjadi pucat, dia merasa ngeri dan maklum bahwa dia terancam bahaya yang lebih hebat daripada maut, akan tetapi sampai mati pun dia tidak akan menyerah dan kalau dia sudah tidak melihat jalan lain, dia mengambil keputusan untuk membunuh dirinya sendiri dan pria ini hanya akan memperoleh mayatnya saja. Untuk itu dia telah bersiap-siap, kalau sudah tidak ada jalan keluar, dia akan membenturkan kepalanya pada dinding kamar itu!

   "Hemmm.... kiranya engkau memiliki ginkang yang boleh juga....!"

   Tang Hun berkata memuji dan pandang mata yang marah itu bercampur kagum dan timbullah rasa sayang di dalam hatinya.

   "Nona, engkau adalah seoranvg dara yang cantik jelita, memiliki kepandaian lumayan dan engkau puteri gubernur, mengapa engkau tidak mau mempergunakan pikiran sehat? Ketahuilah bahwa aku adalah seorang pemuda yang belum beristeri dan aku jatuh cinta padamu. Kalau kita menjadi suami isteri, bukankah sudah sepadan sekali dan engkau akan hidup serba kecukupan."

   "Tidak sudi....! Tidak sudi....!"

   Cui Lan berseru dengan marah pula.

   "Nona, pikirlah baik-baik. Kalau engkau menerima dengan suka rela, aku akan memperlakukan engkau dengan hormat sebagai calon isteriku yang baik. Aku akan merasa menyesal kalau harus memaksamu dengan perkosaan. Jangan kau mengira bahwa sedikit ilmu ginkang itu akan dapat membuat engkau terbebas dariku, Sayang. Nikouw tua itu sendiri tidak mampu melawanku. Marilah mendekat, dan katakan bahwa engkau menerima pinanganku, Nona...."

   "Tidak sudi, keparat keji! Lebih baik seratus kali mati daripada tunduk kepada niat jahatmu!"

   Cui Lan membentak dan pada saat itu Tang Hun sudah menerjang dengan kecepatan kilat. Cui Lan ber-usaha mengelak, akan tetapi tetap saja ujung lengan bajunya kena dicengkeram.

   "Brettttt....!"

   Lengan baju itu robek sampai ke pundak sehingga nampak lengan dan pundak yang berkulit putih mulus itu. Melihat ini, makin berkobar nafsu Tang Hun dan dia sudah menyeringai, matanya jalang dan Cui Lan sudah mundur-mundur sampai membentur dinding. Maklumlah dara itu bahwa dia ti-dak dapat meloloskan diri, maka dia sudah mengambil keputusan untuk membenturkan kepalanya pada dinding itu kalau Tang Hun menubruknya lagi. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara dari luar jendela,

   "Hemmm, bajingan kecil seperti ini berani kurang ajar terhadap Nona Phang Cui Lan?"

   Mendengar suara ini, sepasang mata Cui Lan terbelalak lebar, wajahnya berseri penuh kegembiraan dan dia segera mengenal suara itu, maka teriaknya,

   "Taihiap....!"

   Dia mengenal suara itu, sampai di manapun, bercampur dengan suara apa pun, dia akan selalu mengenal suara yang amat dirindukannya itu, suara dari Pendekar Siluman Kecil! Hwa-i-kongcu Tang Hun terkejut mendengar suara itu. Anak buahnya banyak menjaga di luar, akan tetapi bagaimana orang ini tahu-tahu sudah berada di luar jendela kamarnya? Hal ini saja menunjukkan bahwa orang itu tentu lihai, sung-guhpun dia tidak merasa jerih karena dia belum melihat siapa orangnya dan di dunia ini tidak banyak orang yang akan mampu mengalahkannya.

   Tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah jendela itu. Daun jendela pecah tertembus oleh senjata rahasia berbentuk uang logam yang dilontarkan oleh Tang Hun tadi. Kalau yang berada di luar jendela itu hanya orang yang memiliki kepandaian silat biasa saja, tentu akan roboh oleh penyerangan uang logam yang ampuh ini, yang setelah menembus daun jendela masih meluncur cepat dan tentu akan melukai orang yang berdiri di luar jendela. Cui Lan memandang dengan mata terbelalak ke arah jendela. Biarpun ilmu silat yang dipelajarinya dari Kim Sim Nikouw belum tinggi benar, namun dia sudah mengerti atau sedikitnya sudah dapat menduga bahwa sinar hitam yang menyambar jendela dan memecahkan daun jendela itu adalah senjata ampuh yang menyerang ke arah orang yang bicara di luar jendela tadi.

   Dia sudah tahu akan kelihaian Pendekar Siluman Kecil akan tetapi melihat senjata rahasia itu hatinya berdebar tegang dan penuh kekhawatiran pula, apalagi ketika tidak terdengar apa-apa dari luar, seolah-olah senjata-senjata kecil yang beterbangan itu menembus daun jendela dan mengenai sasaran! Tang Hun sendiri memandang ke arah jendela dengan mata terbelalak. Dia merasa yakin benar bahwa senjata-senjatanya itu menembus daun jendela dan meluncur ke arah siapa saja yang berdiri di luar jendela, akan tetapi kalau mengenai sasaran, mengapa tidak terdengar teriakan orang kesakitan? Dan andaikata tidak mengenai sasaran, tentu terdengar pula uang-uang logam itu jatuh ke atas lantai atau mengenai dinding di luar jendela.

   Akan tetapi, sunyi saja tidak terdengar apa-apa, seolah-olah senjata-senjata rahasianya itu lenyap di luar jendela tanpa bekas dan tanpa suara. Mulailah dia merasa bergidik. Akan tetapi tangannya sudah menggenggam beberapa buah mata uang lagi, siap untuk menyerang siapa saja yang memasuki kamar. Baik Cui Lan dan Tang Hun kini memandang ke arah daun jendela yang sudah penuh lubang ditembusi senjata-senjata rahasia tadi dengan hati penuh ketegangan. Dan perlahan-lahan daun jendela itu mengeluarkan bunyi dan ber-gerak, terbuka perlahan-lahan seperti hanya didorong oleh hembusan angin lembut! Seluruh urat syaraf di tangan Tang Hun sudah menegang dan dia sudah siap dengan senjata rahasia uang logam-nya, dan sepasang mata Cui Lan kini terbelalak menatap ke arah jendela yang terbuka perlahan-lahan itu.

   Kemudian nampaklah sebuah kepala dan Cui Lan hampir saja menjerit kegirangan karena itulah kepala yang amat dicintanya, kepala yang dihias rambut putih panjang, kepala Pendekar Siluman Kecil! Memang orang yang muncul dari balik jendela itu adalah Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Seperti kita ketahui, Kian Bu bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang kemudian dipondongnya untuk secepat mungkin mencari Cui Lan dan akhirnya mereka tiba di rumah besar dari kayu dalam hutan itu. Kian Bu cepat mempergunakan kepandaiannya menyelinap dan tanpa diketahui siapapun dia berhasil mengintai dari luar jendela kamar Tang Hun, diikuti oleh Kim Sim Nikouw dan mereka berdua mendengar semua yang telah terjadi di dalam kamar itu, mendengar penolakan yang gagah berani dari Cui Lan.

   Ketika Kian Bu mengeluarkan kata-kata tadi, dia sudah siap, maka begitu ada senjata-senjata rahasia berhamburan keluar, dengan mudah saja pendekar muda ini menangkapi semua uang logam dengan kedua tangannya sehingga tidak ada sebuah pun yang jatuh menimbulkan suara berisik. Kini pendekar itu meloncat dan memasuki kamar melalui jendela, tidak peduli akan sikap Tang Hun yang kini memandang terbelalak dengan muka berubah pucat sekali. Tentu saja ketua Liong-sim-pang ini mengenal Kian Bu karena pendekar ini pernah menggegerkan benteng ketika Tang Hun masih berada di dalam benteng Pangeran Nepal. Tanpa disadarinya lagi, tangan yang menggenggam uang-uang logam itu gemetar, akan tetapi dengan nekat dia menggerakkan tangan melontarkan uang-uang logam itu ke arah tubuh Suma Kian Bu.

   Pendekar muda ini secara tidak pedulian menggerakkan kedua tangannya dan sinar-sinar hitam menyambar dari kedua tangan itu ketika uang-uang logam rampasan tadi menyambut datangnya uang-uang logam yang dilontarkan Tang Hun. Terdengar suara nyaring dan semua uang logam runtuh dan menggelinding ke arah kaki Tang Hun! Hwa-i-kongcu Tang Hun adalah seorang yang amat cerdik, maka dalam keadaan itu dia sudah mempunyai akal yang cerdik. Secepat kilat dia melompat dan menerjang, bukan kepada Kian Bu melainkan kepada Cui Lan yang hendak ditangkapnya dan dipergunakannya sebagai sandera karena dia merasa jerih melawan Kian Bu atau Siluman Kecil itu.

   "Pengecut hina yang curang!"

   Kian Bu berkata dan tahu-tahu tubuhnya sudah mendahului Tang Hun, berkelebat dan menghadang di depan Cui Lan!

   "Taihiap....!"

   Cui Lan berseru lirih akan tetapi suaranya mengandung getaran penuh keharuan, penuh kebahagiaan, penuh cinta kasih.

   Diam-diam Kian Bu merasa terharu dan kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja ibu angkatnya memarahinya dan memakinya laki-laki kejam. Gadis ini benar-benar amat mencintanya, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menyambut cinta itu kalau dia sendiri tidak ada hasrat untuk berjodoh dengan Cui Lan, betapapun sukanya kepada gadis ini? Melihat betapa Siluman Kecil tahu-tahu sudah menghadang di depannya, Tang Hun berlaku nekat. Dia berteriak memanggil anak buahnya, kemudian mencabut pedang tipisnya dan menyerang Siluman Kecil dengan ganasnya, diikuti oleh tangan kirinya yang melakukan pukulan dengan pengerahan tenaga sinkang. Namun, dengan tenang Siluman Kecil menyambut serangannya itu dengan elakan-elakan cepat. Pada saat itu, Kim Sim Nikouw muncul dari jendela, langsung meloncat ke dekat Cui Lan.

   "Subo....!"

   Cui Lan menubruk gurunya.

   "Mari kita keluar dulu!"

   Kim Sim Nikouw menyambar tubuh muridnya dan membawanya meloncat keluar melalui jendela. Dua orang anak buah Tang Hun yang muncul dari jendela berusaha menyerang nikouw ini, akan tetapi dua kali nikouw itu menggerakkan kakinya, dua orang itu terjungkal dan Kim Sim Nikouw terus membawa Cui Lan menjauh dari situ, membiarkan Kian Bu membuat perhitungan dengan gerombolan penjahat itu. Kini belasan orang anak buah Tang Hun sudah memasuki kamar yang cukup luas itu, dan mereka maju mengeroyok. Kian Bu bersikap tenang.

   Tidak banyak bergerak, hanya berdiri di tengah-tengah, sikapnya biasa saja seperti bukan orang yang sedang menghadapi pertempuran. Akan tetapi setiap serangan Tang Hun tadi dapat dihindarkannya dengan mudah. Kini setelah belasan orang anak buah Tang Hun ikut maju, Kian Bu menjadi marah. Dia masih berdiri diam di tengah-tengah, hanya biji matanya saja yang bergerak sedikit ke kanan kiri dan dia seluruhnya mengandalkan perasaan dan pendengarannya untuk menghadapi serangan yang tak dapat dilihat oleh matanya. Dan setiap kali ada anggauta Liong-simpang berani bergerak menyerang tubuh, memutarnya dan menggerakkan tangannya, maka penyerang itu tentu akan terpental dan roboh terbanting! Dalam waktu singkat saja, sudah ada enam orang penyerang gelap yang roboh tak mampu bangkit kembali. Melihat ini, Tang Hun menjadi makin marah.

   "Serbu! Keroyok bersama-sama dan secara berbareng! Kurung!"

   Teriaknya dan anak buahnya, walaupun kini merasa jerih sekali terhadap Siluman Kecil, mulai mengurung dan atas bentakan majikan mereka yang merupakan perintah, didahului oleh Tang Hun sendiri yang menubruk ke depan sambil menusukkan pedang tipisnya ke arah dada Kian Bu, mereka itu pun menyerang dalam saat yang hampir berbareng. Tiba-tiba nampak tubuh Kian Bu berkelebat lenyap.

   Tang Hun dan anak buahnya terheran-heran, akan tetapi keheranan mereka itu hanya sebentar saja karena tiba-tiba seperti kilat menyambar-nyambar, bayangan Kian Bu nampak lagi dan pertama-tama tamparan yang keras sekali mengenai pelipis kiri Tang Hun. Hwa-i-kongcu mengeluarkan pekik mengerikan dan dia terbanting roboh, tak bergerak lagi karena kepalanya retak oleh tamparan itu, kemudian secara berturut-turut, terdengar teriakan-teriakan dan belasan orang itu pun roboh semua. Tidak semua dari mereka tewas, akan tetapi sedikitnya tentu patah tulang lengan atau kaki, dan ketika mereka mampu membuka mata memandang, Siluman Kecil telah tidak berada lagi di dalam ruangan itu! Memang Siluman Kecil telah keluar dari dalam pondok itu dan di luar dia melihat Kim Sim Nikouw dan Phang Cui Lan telah menantinya.

   "Suma-taihiap....!"

   Cui Lan berseru lirih dan menahan kedua lengannya yang ingin diulurkan ke arah pemuda itu. Kian Bu menarik napas panjang, memandang kepada Cui Lan dan berkata dengan halus namun agak dingin,

   "Nona, engkau baik-baik saja, bukan? Ibu, ke manakah Ibu hendak pergi bersama Nona Phang...."

   "Kian Bu, dia adalah muridku, oleh karena itu dia ini terhitung sumoimu sendiri! Cui Lan, engkau harus menyebut suheng kepada Kian Bu,"

   Kata nikouw tua itu dan sekilas pandang saja maklumlah dia bahwa telah terulang kembali riwayat lama antara dia dan Pendekar Super Sakti yang kini diperankan oleh Phang Cui Lan dan Pendekar Siluman Kecil. Seperti juga dia, Cui Lan jatuh cinta setengah mati kepada Kian Bu, akan tetapi seperti Pendekar Super Sakti pula, jelas nampak olehnya bahwa pemuda ini tidak membalas cinta Cui Lan. Maka dia merasa kasihan sekali kepada Cui Lan. Mendengar ucapan nikouw itu, dengan senyum manis dan wajah berseri Cui Lan menjura kepada Kian Bu sambil berkata,

   "Suma-suheng, maafkan aku...."

   "Sumoi, aku girang sekali engkau menjadi murid Ibu.... eh, kalian berdua hendak ke manakah dan bagaimana sampai terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu itu?"

   Dengan tenang Kim Sim Nikouw lalu menceritakan bahwa Phang Cui Lan telah diangkat anak oleh Gubernur Hok Thian Ki, dan dia sedang mengantar muridnya itu untuk pergi menghadap Gubernur Hok Thian Ki, akan tetapi di tengah jalan mereka bertemu dengan anak buah Liongsim-pang sampai akhirnya Cui Lan tertawan.

   "Karena pinni tidak dapat mengalahkan Hwa-i-kongcu, maka pinni tadinya hendak minta bantuan petugas keamanan yang tentu mau menolong kalau menidengar bahwa puteri angkat gubernur tertawan gerombolan penjahat, tak terduga bertemu denganmu, Kian Bu."

   "Berkali-kali sudah saya berhutang budi dan nyawa kepada Taihiap eh, Suheng, entah bagaimana saya akan dapat membalasnya,"

   Terdengar Cui Lan berkata dan suaranya terdengar penuh keharuan. Ingin dia meneriakkan bahwa dia mencinta pemuda itu dan ingin menghambakan diri, menjadi apa pun dia rela asalkan dia dapat mendampingi pemuda ini selama hidupnya. Baik Kim Sim Nikouw maupun Kian Bu sendiri maklum akan isi hati dara ini, maka nikouw itu hanya menundukkan muka, teringat akan pengalaman hidupnya sendiri. Akhirnya Kian Bu berkata setelah dia berpikir masak-masak.

   "Phang-sumoi, memang engkau sudah sepatutnya menjadi puteri gubernur, sudah selayaknya menjadi seorang gadis bangsawan yang terhormat. Maka aku mengucapkan selamat dan sebaiknya kalau Sumoi melanjutkan perjalanan bersama Ibu, dan aku akan mengawal sampai engkau tiba di rumah kediaman Gubernur Hok Thian Ki yang saya tahu adalah seorang pembesar budiman dan bijaksana."

   "Akan tetapi aku.... aku tidak suka menjadi gadis bangsawan terhormat...."

   "Kau akan tinggal di rumah seperti istana dan menjadi puteri...."

   "Akan tetapi aku tidak suka tinggal di istana...., aku.... aku...."

   Gadis itu memejamkan mata dan air matanya berlinang-linang. Kembali Kian Bu menarik napas panjang. Menghadapi dara yang sudah demikian parah tenggelam ke dalam jurang cinta, harus menggunakan tindakan yang berani dan terus terang.

   "Phang-sumoi, memang dalam kehidupan banyak terjadi hal-hal yang jauh daripada yang kita harapkan. Segala telah diatur oleh Thian dan kita tidak mungkin dapat memaksakan kehendak kita, betapapun kita menjadi berduka dan menderita batin karenanya. Maafkan aku, Sumoi, sungguh.... percayalah, bukan maksudku untuk menyakitkan hatimu, akan tetapi.... ah, bagaimana aku dapat memaksa hati sendiri? Terimalah kenyataannya, Sumoi, dan sekali lagi, kau maafkanlah Suhengmu yang mengecewakan hatimu dan tidak memenuhi harapan hidupmu ini. Ibu, maafkan, aku pergi dulu!"

   Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu lenyap dari situ, meninggalkan Cui Lan yang menutupi muka dengan kedua tangan dan air matanya bercucuran melalui celah-celah jari tangannya, sedangkan Kim Sim Nikouw hanya menggeleng kepala berulang-ulang sambil menarik napas panjang. Nikouw tua itu merangkulnya dan berkata lembut,

   "Cui Lan, apa yang dikatakan suhengmu itu memang benar. Dia adalah seorang laki-laki yang jujur. Apakah engkau menghendaki dia itu berpura-pura membalas cintamu padahal sebenarnya tidak ada rasa cinta di hatinya kepadamu? Dan, lupakah engkau bahwa cinta kasih yang murni itu mendorong kita untuk melihat orang yang kita cinta berbahagia? Apakah engkau tidak ingin melihat dia berbahagia, Cui Lan? Dan dia akan berbahagia melihat engkau memenuhi permintaannya, yaitu agar engkau tinggal bersama ayah angkatmu, Gubernur Hok Thian Ki. Mari kita lanjutkan perjalanan kita."

   Dara itu hanya mengangguk, kemudian mengikuti gurunya melanjutkan perjalanan, menahan tangisnya dan hanya kadang-kadang kedua pundaknya bergoyang, tanda bahwa dia masih menahan isaknya.

   Adakah yang lebih panas daripada melihat orang lain merebut kekasih? Adakah yang lebih perih daripada melihat kekasihnya bermain cinta dengan orang lain? Panas dan perih terasa di dalam hati Tek Hoat ketika dia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Bhutan. Batinnya tertekan dan menderita hebat sejak dia menyaksikan betapa Syanti Dewi, puteri cantik jelita, Puteri Bhutan yang pernah menjadi tunangannya itu, Ternyata secara tak tahu malu telah bermain gila dengan Mohinta! Kalau hanya melihat Syanti Dewi jatuh cinta kepada pria lain, apalagi kepada Mohinta, pemuda tampan gagah dan sebangsa dengan puteri itu, agaknya Tek Hoat akan dapat menerimanya, walaupun dengan hati sedih dan iba kepada diri sendiri. Akan tetapi, apa yang disaksikannya adalah hal yang amat menjijikkan. Syanti Dewi agaknya telah menyerahkan diri secara amat murah kepada Mohinta, bermain cinta dalam perjalanan secara tidak senonoh.

   Hal ini, amat menjijikkan hatinya, apalagi ketika mendengar pembicaraan dua orang insan yang keji itu, yang merencanakan pemberontakan dan penggulingan kekuasaan Raja Bhutan, ayah dari Syanti Dewi sendiri! Sungguh menjijikkan! Tek Hoat hampir tidak percaya bahwa Syanti Dewi telah tersesat sedemikian jauhnya. Di samping perasaan panas, perih dan juga jijik, ada pula perasaan duka yang amat besar, yang membuat jantungnya seperti diremas-remas rasanya. Dia mengambil keputusan untuk mencegah persekutuan busuk itu dan membela Bhutan, kerajaan kecil yang pernah menganugerahkan dia kedudukan panglima muda itu. Akan tetapi, tentu saja yang mendorongnya untuk bergegas pergi ke Bhutan bukan hanya rasa hutang budi kepada Bhutan karena sesungguhnya ada dua hal yang membuat dia nekat kembali ke Bhutan.

   Pertama adalah rasa cintanya kepada Syanti Dewi yang sedemikian besarnya sehingga dia tidak ingin melihat puteri itu mengkhianati kerajaan ayahnya sendiri, dan ke dua adalah karena bencinya yang mendalam kepada Mohinta. Mohinta bukan hanya telah membawa Syanti Dewi ke jalan sesat yang amat menjijikkan, Akan tetapi lebih dari itu malah Mohinta telah membunuh ibu kandungnya! Dia ingin memperlihatkan kepada Raja Bhutan bahwa dia, yang dianggap sebagai seorang anak haram tanpa ayah, seorang hina dina, ternyata jauh lebih berharga daripada Sang Puteri Bhutan sendiri, puteri dari raja itu sendiri yang mengkhianati ayah dan kerajaannya! Juga lebih berharga dari Mohinta, putera panglima tua atau panglima pertama dari Bhutan! Akan tetapi ketika dia tiba di Bhutan, timbul kesangsian dalam hati Tek Hoat. Dapatkah dia meyakinkan hati raja akan kebenaran laporannya?

   Tentu laporan itu akan menimbulkan kegegeran besar dan banyak kemungkinan tidak akan ada yang mau mempercayainya. Juga Raja Bhutan tentu sukar untuk percaya ceritanya bahwa puterinya bersekutu dengan Mohinta dan Kerajaan Nepal untuk menggulingkan kedudukannya! Tak masuk di akal! Dia sendiri, andaikata tidak mendengarkan percakapan dalam suasana penuh kecabulan itu antara Mohinta dan Syanti Dewi, kalau hanya mendengarkan kata-kata orang lain saja tentang pengkhianatan Syanti Dewi, tentu tidak akan percaya, bahkan akan marah kepada orang yang menceritakan hal itu! Tek Hoat adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Biarpun dia sedang dimabuk kemarahan dan dendam, namun dia tidak bertindak secara sembrono. Setelah memutar otak mencari akal, akhirnya dia menyelinap memasuki Kerajaan Bhutan di waktu malam dan berkat kepandaiannya yang tinggi,

   Dia dapat mengandalkan ginkangnya untuk berkelebat dan memasuki kerajaan tanpa diketahui seorang pun penjaga, tentu saja setelah dia berhasil memperoleh pakaian orang Bhutan yang diambilnya dari sebuah rumah dan berganti dengan pakaian itu. Dengan pakaian Bhutan ditambah sebuah sorban kuning, dia berubah menjadi seorang pemuda Bhutan biasa yang tidak akan menarik terlalu banyak perhatian. Malam hari itu, Panglima Jayin sedang duduk termenung dalam kamar kerjanya. Panglima yang usianya sudah hampir lima puluh tahun ini masih nampak gagah, akan tetapi semenjak beberapa tahun akhir-akhir ini di dahinya banyak timbul guratan-guratan karena banyak terjadi hal di Bhutan yang mendatangkan penyesalan besar di dalam hatinya, hati seorang panglima yang amat setia kepada tanah air dan kerajaannya.

   Panglima Jayin merupakan panglima tua yang ke dua di Bhutan, di bawah kedudukan panglima pertama, yaitu panglima tua Sangita yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu. Panglima Jayin prihatin sekali semenjak Puteri Syanti Dewi lenyap pada beberapa tahun yang lalu (baca Kisah Sepasang Rajawali). Kemudian dia sudah ikut merasa berbahagia sekali ketika akhirnya, berkat bantuan para pendekar Han termasuk Ang Tek Hoat, dia dapat menemukan sang puteri dan mengantarnya kembali ke Bhutan, bahkan dia ikut bergembira ketika sang puteri ditunangkan dengan Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, sungguhpun
(Lanjut ke Jilid 53)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 53
dia sendiri akan merasa lebih senang kalau sang puteri itu berjodoh dengan bangsa sendiri atau setidaknya dengan seorang pendekar seperti putera-putera Majikan Pulau Es yang gagah perkasa itu daripada Ang Tek Hoat yang pernah ternoda namanya karena membantu pemberontak.

   Ketika hatinya sudah mulai tenteram, timbul pula bencana ketika Tek Hoat pergi dari Bhutan disusul lenyapnya sang puteri lagi! Mengenangkan keadaan rajanya, Panglima Jayin merasa prihatin sekali. Apalagi dia maklum bahwa di dalam negeri Bhutan sendiri yang nampaknya tenteram itu terjadi pertentangan antara fihak yang setia kepada raja dan agaknya, biarpun tidak kentara, terdapat pula fihak yang menentang raja secara diam-diam. Dan yang amat menyedihkan hatinya adalah karena sikap Sangita, panglima tua yang agaknya kini menampakkan sikap tidak puas terhadap raja. Apakah hal itu disebabkan terutama sekali karena gagalnya putera panglima besar itu, yaitu Mohinta, yang hendak memperisteri Puteri Syanti Dewi? Dia tidak yakin benar.

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 55 Kisah Sepasang Rajawali Eps 34 Kisah Sepasang Rajawali Eps 41

Cari Blog Ini