Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 17


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 17



"Aku harus cepat-cepat pergi menghindarinya,"

   Katanya dalam hati. Dengan hati mengkal Siluman Kecil meninggalkan A-cun dan Siauw-hong di dalam kandang kuda itu dan dia keluar. Malam gelap, langit hitam pekat, akan tetapi banyak lampu dipasang di sekitar penginapan itu. Siluman Kecil melangkah keluar dengan niat hendak mencari warung untuk makan dan minum arak menghangatkan badan, karena malam itu dingin sekali sehingga perutnya terasa amat lapar.

   "Ahhh...."

   Tiba-tiba dia mengeluh dalam hati dan merogoh semua saku bajunya untuk mencari kalau-kalau ada sisa uang di dalam salah saku bajunya. Namun percuma dan dia sudah menduganya. Semua sakunya kosong. Dia tidak mempunyai uang sepeser pun! Mana mungkin membeli makanan dan minuman? Mencuri? Mudah saja baginya, akan tetapi hal itu tidak sudi dia melakukannya. Minta? Hemmm, sedangkan seorang bocah jembel seperti Siauw-hong saja tidak sudi mengemis, apalagi dia!

   "Twako! Kau di sini?"

   Tiba-tiba terdengar teguran orang dan wajah Siluman Kecil bersungut-sungut di dalam gelap. Pemuda congkak itu sudah berada disampingnya sambil tersenyum-senyum, seolah-olah mengerti akan kesukarannya, yaitu ingin makan minum akan tetapi tidak mempunyai uang! Dia hanya mengangguk, tidak ingat bahwa mungkin saja di dalam kegelapan itu pemuda she Kang itu tidak dapat melihat jawabannya tanpa kata itu.

   "Twako, mari kita mencari minuman!"

   Kang Swi berkata dengan nada suara gembira. Sebelum Siluman Kecil sempat menjawab, tangannya sudah digandeng dan ditarik oleh pemuda itu dan diajak memasuki sebuah warung arak yang berada di sebelah rumah penginapan. Muka Siluman Kecil terasa panas. Untung bahwa waktu itu malam, maka penerangan lampu warung yang kemerahan menyembunyikan perubahan mukanya yang menjadi merah. Bagaimana dia dapat menolaknya biarpun hatinya merasa amat tidak enak?

   Pemuda ini boleh jadi congkak dan agung-agungan, akan tetapi harus diakuinya amat ramah dan akrab. Mereka memasuki warung itu dan memilih tempat duduk di sudut. Seperti biasa, secara royal sekali Kang Swi menanyakan masakan istimewa dari warung itu dan memesan masakan macam-macam dan arak yang paling baik! Siluman Kecil diam-diam menegur diri sendiri mengapa setelah berhadapan dengan pemuda ini, melihat sikapnya yang demikian ramah, semua ketidaksenangan hatinya lenyap sama sekali! Malah dia mendapatkan dirinya makan minum dengan lahapnya, karena selain perutnya lapar, juga hawa yang dingin dan masakan yang lezat membuat dia menjadi seorang pelahap! Dan seperti biasa, yang diketahuinya semenjak dia melakukan perjalanan dengan Kang Swi, pemuda tampan ini makan sedikit sekali.

   "Kenapa makanmu sedikit amat?"

   Dia pernah bertanya siang tadi.

   "Habis, kalau sebegitu saja sudah kenyang, perlu apa banyak-banyak?"

   Jawab yang ditanya.

   "Pantas tubuhmu kecil!"

   Dan sekatang, pemuda itu juga makan sedikit saja, biarpun hampir semua ma-sakan dicobanya. Akan tetapi pemuda itu minum arak dengan lagak seorang jagoan minum.

   "Agaknya engkau kuat minum arak, Kang-hiante,"

   Kata Siluman KeciL melihat wajah yang gembira itu. Kang Swi tersenyum dan diam-diam Siluman Kecil harus mengakui bahwa pemuda ini memang tampan sekali. Kalau tersenyum tampak deretan gigi yang putih bersih, kecil dan rata. Mulutnya berbentuk indah. Seperti mulut wanita saja.

   "Ah, kau kira hanya engkau yang kuat minum, Twako? Mari kita bertanding minum arak, agar diketahui siapa di antara kita yang lebih kuat."

   "Hemmm, engkau bisa mabuk nanti,"

   Siluman Kecil menjawab sambil tersenyum melihat lagak pemuda yang seperti anak-anak itu.

   "Eh, eh, engkau memandang rendah. Nah, mari kita coba. Berapa banyak pun engkau minum, akan kuimbangi, Twako!"

   Siluman Kecil dapat menduga bahwa pemuda tampan ini memang bukan orang sembarangan, dan tentu memiliki kepandaian, akan tetapi karena sikapnya yang baik dan ramah, tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus menguji kepandai-annya, biarpun dia ingin sekali tahu sampai di mana kelihaiannya. Maka sekarang dia, memperoleh kesempatan untuk menguji kekuatan minum pemuda itu dan bagi seorang ahli silat tinggi hal ini sudah dapat dipakai ukuran akan kekuatan tenaga dalam seseorang.

   "Baiklah, aku akan minum tiga cawan berturut-turut."

   Siluman Kecil lalu minum tiga cawan arak berturut-turut. Sambil tertawa dan dengan sikap memandang ringan, Kang Swi juga minum tiga cawan arak dan cara dia minum memang menunjukkan dia seorang ahli, sekali teguk saja setiap cawan lenyap memasuki perutnya yang kecil. Siluman Kecil tersenyum.

   "Kau memang ahli minum, katanya dan kini dia minum berturut-turut lima cawan arak! Lalu dia memandang kepada temannya itu yang juga tersenyum dan tanpa berkata apa-apa pemuda tampan itu lalu dengan gerakan tangan cepat sekali minum sampai tujuh cawan arak berturut-turut!

   "Aku melebihi dua cawan, Twako,"

   Katanya sambil tersenyum lebar.

   Siluman Kecil terkejut juga. Gerakan tangan pemuda itu demikian cepatnya dan biarpun sudah menghabiskan tiga dan tujuh cawan arak, akan tetapi sedikit pun jari-jari tangannya tidak pernah kelihatan gemetar dan jari-jari tangan itu masih tetap tenang ketika meletakkan kembali cawan kosong di atas meja. Padahal dia yang baru minum delapan cawan sudah merasakan betapa hawa arak yang keras naik ke dalam kepalanya yang tentu saja dapat ditekannya keluar dengan tenaga sinkangnya. Dia memandang wajah yang tersenyum ramah itu. Tidak enak juga kalau sampai Kang Swi diujinya terus sehingga menjadi mabuk, pikirnya. Sekarang pun sudah jelas bahwa dugaannya tidak salah. Pemuda ini memiliki sinkang yang cukup kuat. Biarlah dia minum lima cawan lagi.

   "Kau memang hebat,"

   Katanya dan kini dia minum lagi lima cawan arak. Akan tetapi Kang Swi memegang guci araknya.

   "Mengapa bersikap sungkan, Twako? Kita sama-sama kuat minum. Mari kita habiskan arak dari guci masing- masing."

   Dan pemuda tampan itu lalu mengangkat guci araknya, menempelkan bibir guci di mulutnya yang dibuka, kepalanya ditengadahkan dan guci itu lalu dimiringkan, araknya dituang dan seperti pancuran memasuki mulutnya yang ternganga sampai habislah arak dari dalam guci itu. Ketika dia menaruh kembali guci kosong ke atas meja, jari-jari tangannya masih tidak gemetar sama sekali sungguhpun mukanya yang putih itu menjadi agak kemerahan dan kepalanya agak bergoyang-goyang! Siluman Kecil terkejut.

   Dia sudah menduga bahwa pemuda tampan itu memang memiliki sinkang yang kuat, akan tetapi tidak disangkanya sedemikian kuatnya. Maka gembiralah hatinya karena ternyata teman seperjalanannya ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia pun lalu minum semua arak dari gucinya. Setelah kemasukan arak yang masing-making tidak kurang dari tiga puluh cawan, Siluman Kecil melihat betapa wajah yang kemerahan itu makin berseri dan, sikap Kang Swi makin gembira! Kiranya ada pula sedikit hawa arak mempengaruhi pemuda ini dan diam-diam Siluman Kecil merasa girang karena bagaimanapun juga dialah yang menang dalam pertandingan ini. Pemuda itu biarpun belum dapat dikatakan mabuk, akan tetapi caranya bicara dan tersenyum sudah lebih ringan dan lebih gembira dari biasa, tanda bahwa dia telah dipengaruhi hawa arak.

   Tiba-tiba pemuda itu tertawa sambil memandang keluar. Siluman Kecil juga memandang dan ternyata yang ditertawakan oleh Kang Swi itu adalah seorang laki-laki yang jalannya pincang. Orang ini mukanya penuh dengan kumis dan cambang bauk, amat lebat hampir menyembunyikan semua mukanya sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Begitu masuk, orang ini duduk di sudut bagian depan dan sama sekali tidak mempedulikan para tamu lainnya yang mulai berdatangan untuk makan malam. Kemudian, dengan gerak tangannya dia memanggil pelayan. Ketika pelayan itu telah berdiri di depannya, si pincang itu membuat gerakan-gerakan tangan memesan nasi dan arak. Dari gerakannya dan dari suaranya yang hanya ah-ah-uh-uh itu tahulah Siluman Kecil bahwa orang itu, selain pincang, juga gagu.

   "Heh-heh-heh!"

   Kang Swi tertawa-tawa melihat tingkah laku si gagu itu ketika memesan makanan dan minuman, membuat gerakan seperti orang sedang makan dan minum. Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Bocah ini terlalu lancang dan sembrono, pikirnya, mentertawakan orang begitu saja, apalagi cara tertawanya begitu terpingkal-pingkal seolah-olah pemuda tampan itu melihat suatu hal yang luar biasa lucunya. Padahal, apakah lucunya seorang gagu memesan makanan dan minuman? Tentu saja harus menggunakan gerak tangan!

   "Hemmm, Hiante, jangan sembarangan mentertawakan orang!"

   Tegurnya.

   "Apakah kau tidak melihat langkahnya tadi biarpun terpincang-pincang? Dan lihat sinar matanya! Hati-hatilah, jangan meng-hina orang, kurasa dia bukan orang sembarangan!."

   "Ha-ha-ha!"

   Kembali Kang Swi tertawa dan masih terdengar terkekeh biarpun dia sudah mendekap mulutnya.

   "Bagaimana tidak akan tertawa melihat yang selucu itu? Hi-hik, Twako.... apa kau tidak tahu, heh-heh...."

   Kang Swi kembali tertawa dan menutupi mulutnya sambil memejamkan mata menahan kegeliannya. Tangis dan tawa biasanya amat menular. Melihat Kang Swi tertawa terpingkal-pingkal seperti itu, biarpun dia sendiri masih belum mengerti apa yang ditertawakannya, tanpa disadarinya Siluman Kecil juga tersenyum dan ikut gembira.

   "Apa sih yang lucu?"

   Tanyanya, kini menjadi ingin sekali untuk mengetahuinya.

   "Twako, hi-hik aku tidak mentertawakan pincangnya atau gagunya, akan tetapi....heh-heh...."

   "Ada apa sih?"

   "Mungkin orang lain dapat dia kelabui, akan tetapi aku!"

   Kang Swi menepuk dada dengan lagak sombong.

   "Di depan hidung seorang ahli seperti aku dia berani main gila, ha-ha! Kumisnya terlalu ke atas dan agak miring penempelannya, dan cambangnya terlalu penuh di bagian pipi kiri. Ha-ha-ha, kalau tidak pandai menyamar, sungguh berbahaya permainan itu!"

   Pemuda ini terus tertawa ha-ha-hi-hi dan Siluman Kecil maklum bahwa biarpun tidak sampai mabuk, terlalu banyak arak itu membuat Kang Swi men-jadi terlalu gembira sehingga dia khawatir kalau-kalau sampai menimbulkan persoalan. Betapapun juga, dia kini memperhatikan orang itu dan setelah mendengar kata-kata Kang Swi tadi, dia baru dapat melihat hal-hal yang hanya dapat diketahui oleh seorang ahli itu. Dan agaknya, temannya ini benar! Mencurigakan sekali si pincang itu. Mendengar orang tertawa, si pincang menengok, akan tetapi karena terhalang oleh pilar dan pot bunga, dia tidak melihat Siluman Kecil dan Kang Swi. Siluman Kecil juga terpaksa ikut tertawa, lalu bertanya lirih,

   "Apakah kau mengenal dia?"

   Kang Swi menggeleng kepala sambil tersenyum-senyum, pringas-pringis seperti orang sinting. Melihat keadaan temannya ini, Siluman Kecil merasa khawatir kalau-kalau ulahnya yang biasanya memang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan itu kini ditambah oleh pengaruh arak akan menimbulkan keributan, maka dia lalu bangkit dan mengajak kembali ke rumah penginapan. Kang Swi tidak membantah, dibayarnya harga makanan dengan royal, dan mengatakan bahwa uang kembalinya agar dibagi-bagi di antara para pelayan, kemudian dia berjalan bersama Siluman Kecil pergi meninggalkan warung, setelah sekali lagi tertawa ke arah si pincang, sedangkan Siluman Kecil menyembunyikan mukanya di balik rambutnya yang putih panjang. Akan tetapi ketika mereka tiba di depan rumah penginapan, terdengar teriakan tertahan,

   "Siluman Kecil....!"

   Siluman Kecil dan Kang Swi terkejut dan cepat menoleh. Mereka masih sempat melihat dua orang perajurit dengan mata terbelalak dan muka pucat melarikan diri tergesa-gesa dari situ, menyelinap di antara orang banyak. Siluman Kecil menarik napas panjang dan berbisik,

   "Sungguh tidak enak sekali. Di sini banyak orang mengenalku."

   Kang Swi tersenyum.

   "Twako, agaknya di kota ini banyak terdapat orang-orang yang ketakutan melihat wajahmu yang tampan dan gagah...."

   "Hemmm, tidak perlu mengejek!"

   Siluman Kecil menegur.

   "Ah, aku salah bicara. Mereka takut mendengar namamu yang tersohor."

   "Sudahlah, aku pun tidak mempunyai keperluan di sini. Malam ini aku akan pergi saja,"

   Kata Siluman Kecil.

   "Eh-eh, apakah kau akan merelakan saja uangmu dibawa lari oleh nenek itu? Kurasa hanya di tempat keramaian besok sajalah kita dapat menemukan nenek itu."

   "Bukankah ujian sudah dimulai hari ini?"

   "Tidak, sudah kuselidiki. Hari ini hanya diadakan pemilihan di antara para pelamar, pemilihan dari mereka yang berkepandaian tinggi untuk dipertandingkan besok, memperebutkan kedudukan pengawal pribadi gubernur yang hanya akan dipilih tiga empat orang banyaknya. Selebihnya hanya akan diterima sebagai perajurit pengawal kalau memenuhi syarat. Jadi besoklah orang-orang kang-ouw akan bermunculan dan tentu kita akan dapat menemukan nenek itu."

   "Akan tetapi aku banyak dikenal orang, hanya akan menimbulkan keributan saja."

   Siluman Kecil yang biasanya menyendiri itu merasa tidak enak kalau mengingat akan hal itu.

   "Twako, Jangan khawatir. Aku tadi mentertawakan penyamaran konyol si pincang itu bukan karena sombong, akan tetapi karena aku benar-benar seorang ahli dalam mendandani orang. Kalau Twako besok kudandani, agaknya orang tuamu sendiri tidak akan dapat mengenalmu lagi, Twako. Dengan menyamar, Twako akan dapat menonton dengan leluasa, juga akan dapat mencari nenek penjual rumput itu."

   Siluman Kecil menghela napas. Dia merasa kalah bicara dengan pemuda lincah ini.

   "Baiklah...."

   Katanya.

   "Dan maafkan aku, Twako. Bukan sekali-kali maksudku untuk merendahkan Twako dengan menyewakan, kandang kuda, akan tetapi apa boleh buat, kamar telah habis dan aku.... sejak kecil aku tidak bisa tidur sekamar dengan orang lain. Ataukah Twako yang memakai ka-marku itu dan biar aku tidur di luar saja?"

   "Ah, tidak....! Jangan....! Pakailah kamar itu sendiri, aku sudah biasa tidur di alam terbuka. Akan tetapi sungguh mengherankan. Mengapa sih kau tidak bisa tidur berdua dengan orang lain dalam satu kamar?"

   "Sudah sejak kecil.... aku tidak bisa tidur kalau ada orang lain dalam kamarku."

   Siluman Kecil terseret oleh sikap dan keanehan temannya itu, maka dia menggoda.

   "Hemmm, kalau begitu bagaimana kelak kalau kau kawin?"

   "Ihhh! Twako sungguh ceriwis! Siapa yang mau kawin?"

   Setelah berkata demikian, Kang Swi berkelebat pergi memasuki rumah penginapan dengan gerakan cepat.

   Siluman Kecil tersenyum dan menggeleng-geleng kepala. Pemuda itu seperti anak kecil saja. Siauw-hong agaknya lebih dewasa daripada Kang Swi. Maka dia pun lalu memasuki kandang kuda dari pintu pekarangan samping dan ternyata A-cun dan Siauw-hong sudahh tidur. Siluman Kecil lalu duduk melakukan siulian dan ternyata enak mengaso di atas tumpukan rumput kering itu dan mendapatkan hembusan angin semilir yang lembut dan yang dapat memasuki kandang kuda. Pada keesokan harinya, keadaan di kota Ceng-couw menjadi makin ramai. Dan memang keramaian sayembara itu terjadi pada hari ini, di mana para pelamar yang berkepandaian tinggi akan memperebutkan kedudukan pengawal-pengawal pribadi dari gubernur.

   Di antara ratusan orang pelamar, setelah diuji ketangkasan dan tenaganya kemarin, hanya ada belasan orang saja yang dicalonkan, dan tentu saja bagi mereka yang belum sempat diuji, kalau memiliki kepandaian, diperkenankan juga mengikuti pertandingan adu kepandaian itu. Pekarangan yang merupakan alun-alun di depan istana gubernur penuh dengan manusia yang kesemuanya mengelilingi sebuah panggung yang tinggi dan luas, yang sengaja dibangun untuk keperluan itu. Karena panggung itu tinggi, maka biarpun mereka yang kebagian tempat agak jauh pun dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di atas panggung. Dan di tempat duduk kehormatan yang berada di depan istana, du-duklah Gubernur Ho-nan sendiri, yaitu Gubernur Kui Cu Kam, dikelilingi oleh para pengawalnya dengan ketat untuk menjaga keselamatan gubernur ini.

   Sedangkan Cui-lo-mo Wan Lok It yang mengatur sayembara pemilihan pengawal itu, sejak kemarin sudah sibuk dan kini dia kadang-kadang kelihatan di dekat panggung, kadang-kadang tidak kelihatan karena si rambut merah dan pemabuk ini kadang-kadang mengadakan perondaan sendiri untuk menjamin kelancaran pe-milihan itu dan juga menjaga keamanan gubernur yang berkenan menyaksikan pula pemilihan calon pengawal-pengawalnya itu. Setelah matahari naik tinggi dan Gubernur Kui Cu Kam telah duduk di tempatnya, bersama dengan para pembesar-pembesar dan para pembantunya, tambur dan canang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa sayembara akan dimulai. Seperti semut-semut yang sibuk, orang-orang yang menonton bergerak mendekati panggung.

   Kang Swi yang sudah siap dengan dandanan ringkas dan dengan pedang di punggung, sejak tadi telah siap dan kini dia mendatangi kandang kuda bersama seorang kakek keriputan. Kakek tua ini bukan lain adalah Siluman Kecil yang telah "disulap"

   Menjadi kakek oleh tangan Kang Swi yang ternyata memang benar pandai sekali merias penyamaran itu, dan ternyata pemuda tampan ini sudah membawa perlengkapan untuk merias dan membuat penyamaran-penyamaran. Ternyata bahwa dia memang benar seorang ahli, maka tidak mengherankan kalau dia dapat mengetahui penyamaran si pincang yang gagu itu dan mencela penyamarannya. Siluman Kecil menjadi kagum
(Lanjut ke Jilid 17)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17
bukan main ketika dia melihat bayangan wajahnya sendiri yang sudah berubah menjadi seorang kakek itu di dalam cermin. Dia memuji kelihaian Kang Swi akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja.

   "Sekarang kau tidak khawatir akan dikenal orang lagi, Twako, dan dengan leluasa kau dapat mencari nenek itu di antara penonton."

   A-cun, pelayan atau kacung pengiring Kang Swi, memandang dengan bengong terlongong kepada kakek tua yang datang bersama majikannya itu. Dia tidak berani bertanya kepada majikannya siapa adanya kakek itu, hanya dia merasa heran dari mana datangnya kakek itu yang memasuki kandang bersama majikannya.

   "Eh, A-cun, di mana adanya Siauw-hong?"

   Tanya pemuda tampan itu ketika dia tidak melihat si pengemis muda di situ.

   "Dia? Ah, sejak tadi dia sudah pergi, Kongcu. Katanya dia hendak nonton keramaian."

   "Hemmm, kalau begitu kau tinggalah di sini menjaga kuda-kuda kita, A-cun, kami hendak pergi nonton keramaian juga,"

   Kata Kang Swi yang segera mengajak Siluman Kecil pergi. Kang Swi tidak lupa untuk membawa pedangnya yang digantung di punggungnya sehingga dia kelihatan gagah karena pagi hari itu dia mengenakan pakaian yang ringkas.

   Setelah tiba di depan istana gubernur, ternyata di situ telah berkumpul banyak orang dan di atas panggung itu tengah terjadi pertandingan yang ramai, diikuti oleh sorak-sorai para penonton yang sudah terdengar dari tempat jauh. Siluman Kecil lalu memisahkan diri untuk mencari nenek pencuri uangnya dan mereka saling berjanji akan berjumpa kembali nanti di rumah penginapan. Kang Swi sendiri lalu menyelinap di antara penonton untuk mendekati panggung. Ternyata pertandingan di atas panggung telah selesai. Seorang yang bertubuh gemuk pendek dirobohkan oleh seorang pemuda tinggi kurus. Pemuda tinggi kurus ini memang istimewa sekali. Dia bukan merupakan seorang di antara para calon yang kemarin terpilih, melainkan seorang yang baru muncul di antara penonton.

   Akan tetapi secara berturut-turut dia telah mengalahkan sepuluh orang calon terpilih dan masing-masing dirobohkan dalam waktu belasan jurus saja! Si gemuk pendek yang terakhir itu pun dirobohkannya dalam waktu sepuluh jurus, maka tentu saja kemenangan-kemenangannya disambut oleh sorak-sorai para penonton yang merasa kagum ter-hadap pemuda tinggi kurus berpakaian sederhana itu. Kini, atas perintah Honan Ciu-lo-mo yang dapat menilai kepandaian orang, pemuda itu dipersilakan untuk beristirahat lebih dulu. Pemuda itu mengangguk dan turun dari atas panggung, lenyap di antara para penonton. Ketika Kang Swi tiba di dekat panggung, pemuda tinggi kurus itu sudah turun sehingga pemuda tampan dan royal ini tidak sempat melihat wajah pemuda yang sudah menang sepuluh kali itu.

   Kini pengatur pertandingan, seorang perwira tinggi besar dan tua, yaitu bukan lain adalah Su-ciangkun yang bernama Su Kiat, seorang di antara pengawal Gubernur Ho-nan, setelah menyuruh mundur pemuda tinggi kurus, lalu memanggil dengan suara nyaring nama seorang calon yang kemarin dipilih. Muncullah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang bertubuh kecil, yang muncul di panggung dengan muka agak pucat dan sikap yang sungkan dan jerih. Memang hati si kecil ini sudah jerih ketika menyaksikan betapa selain para calon, ternyata di antara banyak penonton itu terdapat orang pandai seperti pemuda tinggi kurus tadi. Oleh karena itu, belum juga bertanding, hatinya sudah merasa jerih dan dia kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Dengan sikap sungkan-sungkan dan merendah dia berdiri menanti di atas panggung, dengan kedua pundak ke muka sehingga tubuhnya kelihatan makin kecil lagi.

   Sebuah nama dipanggil lagi dan muncullah orang ke dua, juga seorang calon yang kemarin telah dipilih, yang mukanya kuning pucat dan mulutnya selalu tersenyum masam. Setelah diberi tanda oleh Perwira Su Kiat, mereka bergebrak dan bertanding. Akan tetapi, belum sampal dua puluh jurus, si kecil menang dan orang bermuka kuning pucat itu terlempar ke bawah panggung, disambut sorak-sorai penonton yang merasa kagum bahwa laki-laki yang pemalu dan bertubuh kecil itu ternyata lihai juga. Berturut-turut maju sampai lima orang calon, akan tetapi semuanya dikalahkan oleh si kecil yang lihai dan yang kini mulai menemukan kembali kepercayaannya kepada diri sendiri setelah berturut-turut memperoleh kemenangan. Habislah semua calon yang terpilih kemarin.

   "Kini dibuka kesempatan kembali kepada para orang gagah yang hadir di antara penonton dan yang belum sempat didaftar kemarin, untuk mengikuti sayembara pertandingan dan dipersilakan naik ke atas panggung!"

   Kata Perwira Su Kiat dengan suaranya yang menggeledek.

   "Biar saya mencobanya!"

   Terdengar jawaban yang tidak kalah nyaringnya dan dari bawah panggung melayanglah sesosok tubuh yang tinggi besar. Semua penonton tertegun ketika melihat seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan kepalanya gundul, bukan gundul karena dicukur, melainkan memang gundul karena botak! Dengan mulut menyeringai lebar, raksasa gundul ini menghampiri si kecil, lalu berkata,

   "Anak yang baik, lebih baik kau meloncat turun saja dengan tubuh utuh dan mengalah kepadaku."

   Biarpun tadinya si kecil ini merasa jerih, akan tetapi kini setelah memperoleh kemenangan berturut-turut selama lima kali, hatinya sudah menjadi besar dan tentu saja dia marah sekali mendengar dirinya disebut "anak yang baik"

   Oleh raksasa itu. Terdengar suara ketawa di antara para penonton mendengar ucapan itu dan si kecil menjadi merah mukanya. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia lalu menyerang dengan pukulan kedua tangannya. Gerakannya memang gesit bukan main dan kemenangannya yang berturut-turut tadi pun mengandalkan kegesitannya itulah.

   "Buk! Buk! Buk!"

   Secara bertubi-tubi dan cepat bukan main, kedua tangan jagoan kecil itu telah melakukan pukulan, dan anehnya si raksasa gundul itu menerima semua pukulan yang tepat mengenai perut dan dadanya itu tanpa menangkis atau mengelak, seolah-olah semua pukulan itu tidak dirasakannya sama sekali! Dan memang semua pukulan si kecil. itu seperti mengenai karet saja, membalik dan selagi si kecil terkejut setengah mati, tiba-tiba raksasa itu tertawa, tangannya yang besar dengan lengan yang panjang itu menyambar.

   "Plakkk!"

   Sebuah tamparan mengenai bawah telinga si kecil dan dia mengeluh lalu roboh pingsan! Tentu saja peristiwa mengejutkan ini disambut oleh sorak-sorai para penonton. Si kecil tadi demikian lihainya, akan tetapi dengan sekali tamparan saja dia roboh pingsan oleh raksasa gundul itu. Maka dapat dibayangkan betapa lihainya si raksasa gundul ini! Dan tentu akan ramai sekali kalau raksasa gundul yang kebal ini diadu dengan pemuda tinggi kurus yang telah menang sepuluh kali tadi.

   Agaknya, Perwira Su Kiat juga berpendapat demikian, dan dia sudah mencari-cari dengan pandang matanya ke arah menyelinapnya pemuda tinggi kurus tadi. Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan seorang pemuda tampan telah melompat dengan gerakan indah dan ringan ke atas panggung, menghadapi si raksasa gundul. Pemuda tampan ini tersenyum lebar dan memandang si raksasa dengan sinar mata berkilat. Di punggungnya pemuda ini kelihatan tergantung sebatang pedang dan pakaian pemuda ini biarpun ringkas namun amat perlente dan serba indah. Karena pemuda tampan ini berperawakan kecil ramping, maka berhadapan dengan raksasa gundul nampak perbedaan yang amat menyolok sekali. Yang satu kecil dan kelihatan halus lemah, sedangkan yang ke dua tinggi besar dan kelihatan kokoh kuat. Sungguh bukan merupakan lawan yang seimbang!

   "Ha-ha, anak kecil mengapa ikut-ikutan dan ingin bertanding?"

   "Lebih baik pulang, nanti dicari ibumu!"

   "Belajar lagi sepuluh tahun baru datang ke sini!"

   Teriakan-teriakan penonton yang dilontarkan kepa-da pemuda yang kelihatan masih remaja dan tampan itu disambut oleh muda itu dengah senyum simpul. Pemuda ini bukan lain adalah Kang Swi, pemuda tampan royal yang datang bersama Siluman Kecil. Dengan sikap tenang Kang Swi melangkah maju menghadapi si raksasa gundul.

   "Heh, kau anak kecil yang lebih pantas membaca kitab daripada berada di sini! Si gundul berteriak.

   "Benar, turun saja!"

   "Buat apa mengantar nyawa sia-sia!"

   "Mati konyol nanti! Sayang ketampananmu!"

   Kang Swi tersenyum. Senang hatinya. Dia merasa yakin akan dapat mengalahkan raksasa gundul ini, maka makin hebat orang mengkhawatirkan dirinya, makin baiklah karena kemenangannya nanti akan terasa lebih nikmat. Dia menjura ke empat penjuru dengan lagak yang angkuh, sehingga Perwira Su Kiat yang juga memandang rendah pemuda remaja ini lalu berseru,

   "Hayo kalian berdua cepat memulai!"

   Raksasa gundul itu lalu melangkah maju.

   "Bocah sombong, biarlah kau boleh memukulku, tanpa kulawan pun engkau akan kalah dan kedua tanganmu akan patah-patah dipakai memukul tubuhku."

   Banyak orang tertawa menyambut ucapan raksasa ini.

   "Benarkah?"

   Kang Swi bertanya.

   "Hendak kucoba sampai di mana sih tebalnya kulitmu maka kau berani berkata demikian. Nah, terimalah ini!"

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tangan kiri Kang Swi menyambar ke depan secara sembarangan.

   "Syuuuttttt, plakkkkk!"

   "Aughhh....!"

   Raksasa gundul itu jatuh berlutut dan kedua tangannya memegangi dada yang terkena tamparan Kang Swi. Tangan pemuda halus itu rasanya seperti tusukan pedang tajam yang menembus kekebalannya, dadanya terasa nyeri bukan main, panas dan perih. Semua penonton tadinya menyangka bahwa raksasa itu pura-pura saja untuk mempermainkan lawan, akan tetapi ketika mereka melihat wajah itu berkerut-merut menahan nyeri, kemudian muka raksasa itu menjadi merah dan matanya melotot marah, mereka terkejut dan terheran-heran.

   Benarkah tamparan yang perlahan itu membuat si raksasa yang kebal itu kesakitan? Sikap raksasa gundul itu menjawab keraguan mereka ketika si raksasa mengeluarkan suara gerengan marah dan tiba-tiba tubuhnya yang tadi berlutut itu menerjang ke depan. Gerakannya seperti seekor singa marah menerkam kambing, kedua lengan yang panjang itu dikembangkan, jari-jari tangan membentuk cakar hendak menerkam, matanya melotot dan mulutnya terbuka mengerikan! Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, Kang Swi sudah meloncat ke samping tepat pada saat kedua tangan lawan sudah hampir dapat mencengkeramnya dan pada detik itu juga, kaki kanannya menendang ke arah lutut dan tangannya dengan jari terbuka menyambar ke arah lambung.

   "Dukkk! Plakkk!"

   Tak dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar itu terjelungkup ke depan dengan terpaksa, dan hidungnya mencium lantai panggung sehingga ketika dia merangkak bangun, hidung-nya berdarah dan mulutnya menyeringai karena selain lututnya terasa nyeri, juga lambungnya mendadak menjadi mulas! Akan tetapi, dia menjadi makin penasaran dan marah, apalagi ketika mendengar para penonton bersorak riuh rendah. Tadi, ketika raksasa itu jatuh berlutut, para penonton masih belum yakin benar akan kelihaian Kang Swi, akan tetapi robohnya raksasa itu untuk kedua kalinya, kelihatan jelas oleh para penonton sehingga meledaklah pujian mereka terhadap Kang Swi. Tidak mereka sangka bahwa pemuda tampan yang masih muda sekali itu demikian hebatnya, dengan mudah saja dalam dua gebrakan telah merobohkan raksasa itu dua kali!

   "Arghhhhh....!"

   Seperti suara seekor singa menggereng, raksasa gundul itu menyerang dan kini serangannya itu merupakan serangan maut yang mengerikan karena dia bukan hanya menggunakan kedua tangannya untuk mencengkeram dari kanan kiri, akan tetapi juga mem-pergunakan kepalanya yang gundul botak itu untuk menyeruduk ke arah dada Kang Swi!

   "Hemmm....!"

   Kang Swi berseru mengejek dan tiba-tiba ketika dia menjejakkan kakinya, tubuhnya mencelat ke atas dengan gerakan cepat tak terduga sehingga serangan si raksasa itu luput dan tubuhnya terhuyung ke depan. Kang Swi yang meloncat tinggi ke atas itu kini sudah meluncur turun sambil membalikkan tubuh dan kakinya menginjak tengkuk lawan sambil mengerahkan tenaganya.

   "Hekkk!"

   Tubuh tinggi besar itu terdorong ke bawah dan karena tadi dia menggunakan tenaga untuk menyeruduk, maka begitu diinjak tengkuknya, tenaga serudukannya bertambah dan kepalanya kini menyeruduk ke bawah dengan kekuatan dahsyat.

   "Brakkkkk....!"

   Kepala itu menancap di lantai papan panggung, masuk sampai ke lehernya dan kedua kakinya bergerak-gerak di atas panggung! Terdengar suara ketawa di sana-sini dari mulut mereka yang suka akan tontonan yang menyeramkan, akan tetapi banyak pula yang meringis dan merasa ngeri, mengira bahwa kepala botak itu pecah atau setidaknya tentu akan robek-robek. Kang Swi mendekati, kakinya menendang.

   "Bukkk!"

   Tubuh itu tercabut dan terlempar ke luar panggung, jatuh berdebuk di bawah panggung dalam keadaan pingsan, dirubung banyak orang dan mereka ini terheran-heran karena kepala botak itu sama sekali tidak terluka, sungguhpun orangnya pingsan. Maka meledaklah sorak dan pujian yang dilontarkan orang kepada Kang Swi. Diam-diam Perwira Su Kiat terkejut sekali. Hari ini dia telah banyak sekali melihat orang-orang yang kepandaiannya jauh melampaui tingkatnya!

   Apalagi perwira ini, bahkan Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It sendiri yang merupakan jagoan kepercayaan Gubernur Ho-nan terkejut melihat kepandaian Kang Swi. Pemuda tampan itu benar-benar hebat, entah mana lebih lihai dibandingkan dengan pemuda tinggi kurus yang telah menang sepuluh kali pertandingan tadi. Maka Ciu-lo-mo segera memberi isyarat kepada Su Kiat untuk memanggil pemuda tinggi kurus tadi, dan dia sendiri lalu duduk dan minum arak dari gucinya dengan hati penuh kegembiraan dan ketegangan hendak menyaksikan pertempuran yang tentu akan amat menarik antara kedua orang pemuda itu. Sementara itu, Gubernur Kui Cu Kam sendiri mengangguk-angguk dan memuji, dia merasa senang kalau mendapatkan seorang pengawal yang lihai dan tampan seperti Kang Swi itu.

   "Orang muda tinggi kurus yang telah menang sepuluh kali tadi, kini dipersilakan naik ke panggung!"

   Su Kiat berseru dengan suara lantang.

   Dia harus mengulang panggilannya sampai tiga kali, barulah kelihatan pemuda tinggi kurus itu naik ke atas panggung, sikapnya seperti orang ragu-ragu sehingga mengherankan hati sernua orang. Apakah pemuda tinggi kurus itu takut melawan pemuda tampan yang telah mengalahkan si raksasa gundul itu? Kang Swi sendiri terkejut dan terheran-heran ketika dia memandang wajah pemuda itu karena ternyata bahwa pemuda itu bukan lain adalah tukang kudanya sendiri! Siauw-hong! Dia memang su-dah menduga bahwa tukang kudanya itu adalah seorang pengemis muda yang memiliki kepandaian, akan tetapi sungguh sama sekali tidak disangkanya bahwa Siauw-hong yang hanya kebetulan saja bertemu dengan Siluman Kecil, kini ikut pula memasuki sayembara dan menurut ucapan perwira itu tadi telah menang sepuluh kali!

   "Harap Ji-wi enghiong suka memperkenalkan kepada Taijin dan semua tamu yang terhormat!"

   Terdengar Perwira Su Kiat yang mendapatkan isyarat dari Ciu-lo-mo berseru dari sudut panggung. Siauw-hong dan Kang Swi segera menghadap ke arah tempat kehormatan, menjura ke arah para pembesar di situ dan terdengarlah Kang Swi berkata dengan suara lantang,

   "Hamba bernama Kang Swi!"

   Siauw-hong juga menjura dan berkata, suaranya lirih, tidak selantang suara pemuda royal itu,

   "Hamba bernama Siauw-hong!"

   Su Kiat lalu memberi isyarat dengan mengangkat tangannya.

   "Karena calon-calon sudah habis, maka untuk menentukan siapa pemenangnya, harap ji-wi enghiong suka mulai dengan pertandingan ini. Silakan!"

   "Kongcu...."

   Siauw-hong berkata sambil memandang kepada calon lawannya dengan sinar mata penuh keraguan.

   "Hemmm, kiranya engkau, Siauw-hong?"

   Kang Swi berkata lirih.

   "Benar, Kongcu". Kang Swi memandang kepada Siauw-hong dengan penuh perhatian dan diam-diam merasa tertarik sekali. Wajah itu kini tidak kotor seperti biasa, melainkan bersih dan pakaiannya, biar-pun sederhana dan tidak mewah, namun rapi dan tidak ada tambalannya seperti kemarin. Wajah itu tampan sekali, biarpun agak kurus. Dipandang seperti itu, Siauw-hong merasa canggung dan malu.

   "Harap maafkan, Kongcu, sebenarnya.... saya telah tamat belajar maka saya berhak menanggalkan pakaian pengemis itu. Saya saya ingin mencari pengalaman, maka saya memasuki sayembara ini, tidak saya sangka akan berhadapan dengan Kongcu sebagai saingan."

   Dia tersenyum, hanya sebentar saja senyumnya karena dia segera memandang dengan wajah serius kembali. Kang Swi tertawa.

   "Bagus! Aku senang sekali dapat menguji kepandaianmu, Siauw-hong. Marilah!" "Silah-kan Kongcu mulai,"

   Kata Siauw hong yang bersikap hormat dan merendah.

   "Nah, jagalah serangan-ku!"

   Kang Swi menerjang maju dengan cepat dan Siauw-hong juga sudah bergerak cepat sekali mengelak dan balas menyerang.

   Gerakan pemuda pengemis ini mantap dan cepat, dari lengannya menyambar hawa pukulan yang membuktikan bahwa dia telah memiliki kekuatan sinkang yang cukup hebat. Kang Swi si pemuda tampan yang royal itu terkejut bukan main karena baru terbuka matanya bahwa tukang kudanya itu, yang dianggapn sebelumnya hanya pernah belajar silat saja, ternyata merupakan seorang ahli silat kelas tinggi! Apalagi ketika Siaw-hong mainkan ilmu silat yang penuh mengandung serangan-serangan totokan maut amat aneh dan cepat, dia sampai terdesak mundur! Akan tetapi, pemuda hartawan she Kang ini mempunyai semacam watak yang buruk, yaitu dia selalu terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sehingga sedikit congkak dan memandang remeh kepandaian orang lain.

   Kini, biar pun sudah jelas padanya bahwa kepandaian Siauw-hong sama sekali tidak boleh dipandang ringan, namun dia bersikap sebagai seorang yang tingkatnya lebih tinggi hendak menguji kepandaian orang yang lebih rendah tingkatnya, maka dia sengaja main mundur dan hendak "menguras"

   Kepandaian orang! Karena kekurang hati-hatian yang timbul dari kecongkakan inilah, ketika dia menangkis sambil mengelak, tanpa dapat dicegahnya lagi lengan dekat sikunya kena tertotok dan hampir saja dia berteriak karena untuk beberapa detik lamanya lengan, yang tertotok itu menjadi lumpuh! Namun, memang orang she Kang ini lihai bukan main. Tubuhnya sudah mencelat ke atas, tinggi sekali seperti seekor burung terbang, berjungkir balik sampai empat kali di udara dan ketika dia turun kembali, lengannya sudah sembuh dan kini baru dia tahu bahwa Siauw-hong benar-benar amat berbahaya kalau diberi kesempatan.

   Oleh karena itu, dia lalu menyerang dan mengeluarkan ilmu simpanannya. Dari kedua tangannya yang terbuka itu menyambar hawa yang mengeluarkan suara bersuitan seperti gerakan sebatang pedang tajam. Siauw-hong berseru kaget dan cepat mengelak ke sana-sini. Di bawah panggung, menyelinap di antara banyak orang, Siluman Kecil juga kagum sekali. Dia belum berhasil menemukan nenek penjual sepatu rumput yang dianggapnya mencuri uangnya itu, maka dia berkesempatan pula menonton pertandingan antara dua orang yang dikenalnya dengan baik itu, dan terkejutlah Siluman Kecil. Tidak disangkanya bahwa mereka, terutama sekali Siauw-hong yang tidak mau mengaku siapa gurunya itu, ternyata adalah orang-orang yang benar-benar amat lihai, bukanlah ahli-ahli silat sembarangan saja!

   Dan kini dia memandang dengan penuh perhatian ilmu silat yang mujijat dari Kang Swi, maklum bahwa pukulan-pukulan yang mengandung hawa tajam bersuitan itu benar-benar amat berbahaya sekali. Dia dapat menduga bahwa kalau dilanjutkan, selain Siauw-hong tentu kalah, juga pukulan itu mungkin saja mencelakakan pengemis muda itu. Dia pasti tidak akan mendiamkannya saja kalau sampai Kang Swi mencelakai Siauw-hong dalam pertandingan mengadu ilmu itu, pikirnya. Perkiraan Siluman Kecil memang tidak salah. Siauw-hong terkejut setengah mati ketika melihat cara lawan ini menyerangnya. Hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bersuitan itu hebat bukan main dan ketika dia memberanikan diri menangkis dengan pengerahan sinkang, lengan bajunya robek-robek seperti terbabat pedang dan kulit lengannya terluka berdarah seperti disayat pisau tajam! Tentu saja dia meloncat ke belakang dan menjura.

   "Saya mengaku kalah!"

   Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It yang tadi pun menonton pertandingan itu, merasa kagum dan juga girang karena dua orang ini benar-benar patut untuk menjadi rekannya dan menjadi pengawal-pengawal pribadi Gubernur Ho-nan karena kepandaian mereka boleh diandalkan! Akan tetapi selagi dia ingin memanggil kedua orang itu untuk menghadap gubernur, kelihatan ada orang meloncat naik ke atas panggung. Melihat ini, Siauw-hong yang sudah merasa kalah itu segera mundur dan diajak turun oleh Ho-nan Ciu-lo-mo yang mempersilakan dia menanti di bawah panggung. Sementara itu, ketika Kang Swi melihat siapa yang meloncat ke atas panggung menghadapinya, dia tersenyum lebar.

   "Aihhh, kiranya badut sandiwara itu yang muncul!"

   Dia mengejek, dan orang pincang yang gagu itu hanya memandang tajam, kemudian dengan gerak tangan dia menantang. Para penonton yang berada di sekeliling panggung memandang heran, ada pula yang tertawa. Bagaimana orang bercambang bauk yang baru datang ini demikian berani mati? Mungkin juga per-nah belajar ilmu silat, akan tetapi melihat bahwa dia hanya seorang gagu dan seorang yang kakinya pincang pula, mana mungkin dapat melawan pemuda tampan yang ternyata amat lihai itu? Akan tetapi, Kang Swi yang juga ingin sekali tahu sampai di mana kelihaian orang gagu dan pincang yang dia duga menyamar itu, segera menyambut tantangan dengan kata-kata nyaring,

   "Kau majulah!"

   Si gagu sudah menerjang dengan pukulan sembarangan. Akan tetapi, orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan yang berada di tempat itu, seperti Siauw-hong, Kang Swi sendiri, Ciu-lo-mo,

   Siluman Kecil dan orang-orang lain terkejut karena mereka ini maklum betapa di balik pukulan sembarangan itu tersembunyi hawa pukulan yang amat kuat. Kang Swi yang menangkis pukulan itu segera mengetahuinya karena tangkisannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkangnya ternyata bertemu dengan tenaga sakti yang amat dahsyat dan yang membuat dia terhuyung! Marahlah pemuda tampan ini. Sambil berteriak keras dia menerjang, langsung saja dia mengeluarkan ilmu pukulan yang mengandung hawa tajam bersuitan tadi. Akan tetapi sekali ini dia benar-benar bertemu tanding. Biarpun si gagu itu tidak mengeluarkan ilmu-ilmu tertentu yang dapat dikenal orang, melainkan bergerak sembarangan saja, bahkan gerakannya meniru gerakan lawan, namun tetap saja Kang Swi menjadi kewalahan!

   Pukulan-pukulannya dengan mudah dapat dielakkan atau ditangkis tanpa mengakibatkan apa-apa karena hawa pukulan mujijat yang tajam itu ternyata lenyap ditelan hawa pukulan dari lawannya, bahkan beberapa kali dia dibuat terhuyung ke belakang, terpelanting ke samping atau hampir jatuh terjerumus ke depan. Seolah-olah dia tidak berdaya dan dipermainkan oleh serangkum tenaga dahsyat yang menguasainya. Celakanya, secara aneh sekali tenaga si gagu itu kadang-kadang mengandung hawa panas membakar dan kadang-kadang dingin membekukan sehingga Kang Swi benar-benar menjadi bingung dan penasaran. Karena jelas bahwa dia kalah angin, dan betapapun dia mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya tetap saja dia terdesak, dia merasa tersinggung kehormatannya, maka Kang Swi meraba gagang pedangnya dengan maksud menggunakan senjatanya itu.

   "Uh-uh-uhhh!"

   Terdengar si gagu berseru keras dan tiba-tiba Kang Swi terpelanting roboh, dan dia hanya merasa betapa kakinya terangkat dan dia tidak dapat mencegah lagi tubuhnya terpelanting! Sorak-sorai menyambut kemenangan si gagu ini. Akan tetapi Kang Swi menjadi amat marah. Dia meloncat bangun dan hendak mencabut pedangnya, akan tetapi ternyata Ho-nan Ciu-lo-mo telah berada di situ dan berkata,

   "Silakan Ji-wi ikut bersama kami menghadap gubernur!"

   Dan ternyata Siauw-hong juga sudah diajak oleh Wan Lok It ini. Sementara itu, Perwira Su Kiat mengumumkan bahwa kini telah terpilih tiga orang yang dianggap patut menjadi pengawal-pengawal pribadi di istana gubernur, yaitu yang pertama adalah si gagu, ke dua adalah Kang Swi, dan ke tiga adalah Siauw-hong.

   Para penonton menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai memuji sedangkan tiga orang yang dipilih itu sudah diajak menghadap gubernur dan berlutut di depan Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam yang merasa girang memperoleh tiga orang yang demikian gagah perkasa sehingga hal itu akan lebih memperkuat kedudukannya. Sang gubernur memuji-muji mereka bertiga dan menyatakan bahwa hari itu juga dia akan mengajak mereka bertiga kembali ke Lok-yang dan mereka itu langsung saja bertugas sebagai pengawal-pengawal istananya. Perwira Su Kiat masih sibuk untuk mengadakan pemilihan calon-calon perajurit dan selagi para penonton masih memenuhi tempat itu, diam-diam Siluman Kecil menyelinap di antara banyak orang.

   
Tidak ada orang yang menaruh curiga kepadanya. Siapa yang akan mencurigai seorang kakek sederhana dan biasa saja, seorang kakek yang menjadi seorang di antara ribuan orang penonton itu?
Siluman Kecil melihat seorang yang pakaiannya penuh tambalan seperti pengemis menyelinap di antara banyak penonton dan hatinya tertarik sekali. Pengemis yang usianya setengah tua ini pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi bersih. Serupa benar dengan pakaian Siauw-hong sebelum pemuda itu berganti pakaian untuk mengikuti sayembara, sewaktu Siauw-hong masih menjadi seorang pengemis muda pula. Pakaian yang agaknya masih baru namun sudah penuh tam-balan. Lebih tertarik lagi hatinya ketika dia melihat betapa ada seorang kakek agaknya membayangi pengemis itu dan ternyata olehnya bahwa kakek ini adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang sudah dikenalnya.

   Siapa yang tidak mengenal jagoan Honan itu? Tentu saja dia sudah mengenal baik Ho-nan Ciu-lo-mo, apalagi pernah dia menjadi tamu kehormatan Gubernur Ho-nan ketika dia membersihkan Honan dari para penjahat sehingga dia memperoleh kehormatan diterima sebagai tamu kehormatan oleh gubernur dan dia sekalian menitipkan Phang Cui Lan kepada sang gubernur. Melihat betapa Ciu-lo-mo membayangi atau lebih tepat mengejar pengemis setengah tua itu, Siluman Kecil merasa tertarik sekali dan dia pun cepat membayangi mereka berdua. Dan benar saja dugaannya. Ketika pengemis setengah tua itu telah keluar dari pekarangan semacam alun-alun yang penuh dengan penonton itu, dan agaknya dia maklum bahwa dia dibayangi oleh Ciu-lo-mo, pengemis itu lalu melarikan diri dengan gerakan cepat sekali.

   Ciu-lo-mo juga cepat mengejarnya dan diam-diam Siluman Kecil yang masih menyamar sebagai seorang kakek itu pun mengejar dari jauh, ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan oleh Ciu-lo-mo terhadap pengemis itu. Suasana di kota agak sunyi karena semua orang tertarik untuk menonton sayembara di depan istana, maka pengemis itu yang berlari cepat dikejar oleh Ciu-lo-mo, dapat bergerak leluasa dan akhirnya yang berkejaran itu menuju ke pintu gerbang kota di sebelah utara. Pengemis itu ternyata dapat berlari cepat sekali sehingga sekian lamanya belum juga Ciu-lo-mo mampu menyusulnya. Ketika melihat betapa pengemis itu akan lolos dari pintu gerbang, Ciu-lo-mo cepat mengerahkan khikang-nya dan berteriak memberi perintah kepada penjaga pintu gerbang untuk menutupkan pintu gerbang.

   "Tutup pintu gerbang....! Jangan biarkan dia lolos....!"

   Suaranya menggema sampai jauh dan para penjaga pintu gerbang mengenal suara Ciu-lo-mo. Apalagi ketika para penjaga yang berjaga di menara pintu gerbang melihat dari atas betapa Ciu-lo-mo datang berlari dari jauh mengejar seorang pengemis yang juga berlari cepat sekali,

   Mereka cepat-cepat memutar alat yang menggerakkan pintu gerbang itu. Pintu besi yang amat tebal dan berat itu bergerak perlahan dari kanan kiri, berderit-derit suaranya ketika bergerak di atas landasan besi. Karena tergesa-gesa didorong oleh perintah Ciu-lo-mo, maka empat orang sekaligus maju memutar alat untuk menggerakkan daun pintu besi yang dua buah dan yang maju dari kanan kiri itu. Dua buah daun pintu itu sudah hampir tertutup, tinggal dua jengkal lagi ketika pengemis itu akhirnya tiba di situ. Empat orang penjaga menghadangnya dengan tombak di tangan, akan tetapi dengan beberapa kali gerakan kaki tangannya, empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri dan pengemis itu bagaikan burung terbang cepatnya sudah menerjang ke arah pintu yang masih dua jengkal terbuka.

   Dia menggunakan kedua tangan menahan dua buah daun pintu. Terjadilah adu tenaga antara empat orang penjaga yang memutar alat penutup pintu dan si pengemis. Empat orang itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memutar alat yang tiba-tiba macet itu, namun sia-sia belaka. Dua orang penjaga maju lagi dan menyerang si pengemis yang mempertahankan daun pintu dengan golok, akan tetapi dua kali kaki pengemis itu menendang dan dua orang penjaga itu terlempar dan terbanting roboh. Kini pengemis itu mengeluarkan suara nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menyelinap melalui renggangan yang sebetulnya terlalu kecil untuk dilalui tubuhnya itu. Ternyata dia telah memperguna-kan ilmu Sia-kut-hoat yang amat hebat sehingga dia dengan mudah dapat menerobos celah dua daun pintu itu dan lolos ke luar dari pintu gerbang, tepat pada saat Ciu-lo-mo telah tiba di situ.

   "Tolol! Buka pintu!"

   Teriak Ciu-lo-mo ketika melihat daun pintu itu kini terus tertutup setelah tidak ditahan lagi oleh tangan pengemis. Mendengar bentakan ini, empat orang penjaga itu terkejut dan cepat memutar lagi alat untuk membuka daun pintu. Ciu-lo-mo lalu menerobos keluar dan melanjutkan pengejarannya.

   Para penjaga hanya melongo dan memandang dengan bingung ketika mereka melihat seorang kakek lain cepat berlari keluar dari pintu gerbang, tidak lama setelah Ciu-lo-mo lewat. Tentu saja kakek ini adalah Siluman Kecli yang terus membayangi mereka berdua. Setelah keluar dari kota, kini pengemis itu berlari makin cepat lagi, akan tetapi Ciu-lo-mo yang merasa penasaran mengejar secepatnya sehingga setelah tiba di lereng bukit, dia hampir berhasil menyusul pengemis itu. Tiba-tiba pengemis itu berhenti dan mengeluarkan busur dan meluncurkan anak panah yang meletus ketika melayang sampai di tempat yang tinggi. Itu adalah tanda rahasia dan tentu saja Ciu-lo-mo menjadi makin curiga. Kiranya sekarang pengemis itu tidak lari lagi, bahkan menyambut kedatangan Ciu-lo-mo dengan sikap tenang. Mereka berhadapan dan Ciu-lo-mo membentak,

   "Mata-mata laknak! Engkau tentu seorang mata-mata, hayo cepat berlutut dan menyerah dengan baik-baik daripada harus kupaksa dengan kekerasan!"

   "Setan Arak, siapa yang takut kepadamu?"

   Pengemis setengah tua itu membentak.

   "Mata-mata hina!"

   Ho-nan Ciu-lo-mo marah sekali dan guci arak di tangannya menyambar ganas ke arah kepala pengemis itu. Pengemis itu cepat mengelak dan balas menyerang dengan sebuah tongkat pendek yang ujungnya bercabang. Gerakannya gesit dan juga mengandung tenaga dahsyat maka cepat Ciu-lo-mo menangkis dengan guci araknya. Tenaga mereka seimbang karena benturan dua macam senjata itu membuat keduanya terjengkang akan tetapi tidak sampai roboh. Melihat hal ini, Ciu-lo--mo tentu saja terkejut. Tak disangkanya bahwa pengemis itu demikian lihai, maka dia cepat menu-bruk dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan guci arak dan dengan tangan kirinya.

   Pengemis itu pun bergerak cepat, mengelak, menangkis dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan yang seru dan dari balik sebuah pohon besar, Siluman Kecil hanya menonton tanpa mencampuri pertandingan itu karena dia pun tidak mengenal siapa adanya pengemis setengah tua yang cukup lihai itu. Tiba-tiba Ciu-lo-mo mengeluarkan suara melengking nyaring dan guci araknya menyambar dari bawah menghantam ke arah dada lawan. Serangan ini dahsyat sekali dan ketika pengemis itu menggerakkan tongkatnya untuk menangkis, dia terkejut bukan main melihat sinar keemasan menyambar ke arah mukanya. Itulah arak yang muncrat dari dalam guci, yang merupakan senjata rahasia yang amat aneh dan berbahaya.

   "Ahhh....!"

   Pangemis itu menarik kepalanya ke belakang dan gerakan ini membuat tangkisannya menjadi kurang tepat.

   "Trakkkkk....!"

   Tongkatnya patah dan dia terlempar ke belakang. Akan tetapi dia cepat sudah meloncat bangun dan melempar diri ke kiri sehingga terhindar dari pukulan maut yang disusulkan oleh Ciu-lo-mo.

   "Tahan....!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan pada saat itu Ciu-lo-mo kembali sudah menyerang, akan tetapi dia merasa betapa ada serangkum hawa yang amat kuat mendorongnya dari samping membuat dia hampir roboh dan cepat-cepat dia melompat ke belakang dengan kaget sekali, lalu mengangkat muka memandang.

   Ternyata yang muncul adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah, bersama seorang setengah tua yang juga bersikap gagah walaupun pakaian mereka sederhana. Siluman Kecil yang mengintai dari balik pohon, tadi kagum bukan main menyaksikan betapa kakek tua itu mendorong Ciu-lo-mo dari jarak jauh menggunakan tenaga sinkang yang amat hebat, dan dia mengenal kakek ini sebagai kakek pembeli sepatu rumput pada nenek penjual sepatu rumput, kakek yang memimpin rombongan beberapa orang. Dia menduga-duga siapa gerangan kakek tua yang memiliki kepandaian tinggi ini. Sementara itu, Ciu-lo-mo terkejut bukan main ketika dia mengenal laki-laki setengah tua, karena dia tahu bahwa laki-laki itu bukan lain adalah Panglima Souw Kee An, komandan Pasukan Garuda yang dulu mengawal Pangeran Yung Hwa!

   Komandan yang lolos ketika dikepung dan telah terjerumus ke dalam selokan air di bawah tanah. Dan kini komandan Souw Kee An datang bersama kakek tua yang kelihatan lihai ini, maka tentu saja dia menjadi gentar. Menghadapi pengemis itu saja, dia sudah merasa agak sukar untuk memperoleh kemenangan, dan dia tahu bahwa kepandaian komandan Souw itu juga tinggi, setidaknya berimbang dengan dia. Padahal kakek yang tadi hampir merobohkannya dengan dorongan dari jarak jauh itu sudah jelas merupakan lawan yang amat berat. Ciu-lo-mo tidak akan menjadi orang kepercayaan Gubernur Ho-nan kalau dia, di samping kepandaiannya yang tinggi, tidak cerdik pula. Dia tahu bahwa mengguna-kan kekerasan merupakan kebodohan, maka dia cepat menjura ke arah komandan Souw Kee An dan menebalkan muka berkata ramah,

   "Ah, kiranya Souw-ciangkun yang datang! Kalau Cu-wi ada keperluan dengan taijin, silakan menghadap selagi taijin masih berada di Ceng-couw. Saya tadi mengejar dia karena sikapnya mencurigakan dan saya mengira dia seorang mata-mata musuh."

   "Hemmm, memang dia mata-mata yang kami suruh menyelidiki ke Ceng-couw!"

   Tiba-tiba kakek tinggi tegap yang gagah itu berkata, suaranya menggeledek dan penuh wibawa.

   "Dan memang kami ingin bicara dengan Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam taijin. Akan tetapi kami tidak sudi memasuki perangkap yang kalian pasang di Ceng-couw, seperti yang telah kalian lakukan terhadap Pangeran Yung Hwa. Ciu-lo-mo, kau sampaikan kepada Gubernur Kui, kalau dia ingin damai, dia harus menemui kami di sini, bukan di istananya. Kalau tidak, maka terpaksa kami akan menghancurkan istananya dan menangkapnya sebagai seorang tawanan pemberontak!"

   Biarpun tidak berani memperlihatkan sikap secara berterang karena dia merasa kedudukannya saat itu kalah kuat, namun di dalam hatinya Ciu-lo-mo mengejek kata-kata yang dianggapnya terlalu som-bong ini. Tiga orang ini berada di wilayah Propinsi Ho-nan, akan tetapi berani mengeluarkan kata-kata sesombong itu! Agaknya, kakek tua itu dapat membaca isi hati Ciu-lo-mo, maka tiba-tiba dia mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa marah. Suaranya terdengar demikian keras sehingga bumi sekitar tempat itu seperti tergetar karenanya. Siluman Kecil sendiri memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi menjadi terkejut dan diam-diam dia kagum sekali,

   Di dalam hati memuji kekuatan khikang kakek ini yang ternyata mahir ilmu Saicu-ho-kang (Ilmu Auman Singa). Ilmu seperti ini kalau dipergunakan untuk menyerang lawan, sekali mengaum saja cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat dan wibawanya melebihi singa tulen yang kalau hendak menangkap mangsa didahului dengan auman yang cukup membikin pingsan atau lumpuh binatang yang akan menjadi korbannya. Ciu-lo-mo juga kaget setengah mati, apalagi ketika dia mendengar suara gegap-gempita, suara banyak sekali orang dari balik bukit. Keringat dingin membasahi leher dan dahi jagoan Ho-nan itu karena dia mengerti apa artinya itu. Kiranya kakek luar biasa ini bukan hanya datang sendirian, melainkan membawa bala tentara yang entah berapa banyaknya!

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 6 Kisah Sepasang Rajawali Eps 35 Kisah Sepasang Rajawali Eps 38

Cari Blog Ini