Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 38


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 38



"Heh-heh-heh, sudah kuduga sebelumnya! Sejak semula engkau dahulu menyerangku, aku sudah tahu bahwa engkau adalah seorang pengkhianat, Ang Tek Hoat! Sudah kuperingatkan Pangeran, akan tetapi dia tidak percaya. Sekarang dia percaya akan tetapi sudah terlambat!"

   Hek-wan Kui-bo berkata.

   "Belum terlambat!"

   Pak-thian Lo-mo berkata.

   "Kita mengirim dia menyusul Pangeran."

   "Sayang, seorang seperti engkau ini menjadi berubah begitu bertemu dengan wanita cantik, Si Jari Maut! Engkau telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong, satu-satunya orang yang sudah memberi harapan kepada kita. Sekarang kami tidak dapat pergi ke kota raja lagi, gara-gara engkau!"

   Tek Hoat tersenyum mengejek.

   "Orang yang cerdik selalu dapat melihat keadaan, akan tetapi kalian bertiga tua bangka ini agaknya tidak dapat melihat kenyataan. Jatuhnya Koan-bun dan Teng-bun yang tak akan dapat bertahan lama lagi berarti berakhirnya petualangan Pangeran Liong, apakah kita masih harus mengabdi kepada kekuasaan yang sudah mendekati keruntuhannya?"

   "Engkau yang tolol!"

   Hek-wan Kui-bo membentak.

   "Biarpun pemberontakan itu sendiri gagal, akan tetapi dengan adanya Pangeran, kita dapat mengunjungi istana kerajaan dengan aman dan di sana terbuka banyak kesempatan bagi kita. Akan tetapi engkau sekarang membunuhnya sehingga hancur semua harapan dan susah payah kita!"

   "Hemm, aku sudah membunuhnya dan kalian mau apa? Apakah kalian hendak membela kematiannya?"

   "Cuhhh!"

   Pak-thian Lo-mo meludah.

   "Kami tidak akan membela siapa pun kecuali membela kepentingan kami sendiri!"

   "Apa yang dikatakannya itu benar, Ang-sicu,"

   Lam-thian Lo-mo berkata.

   "Soal engkau membunuh pangeran atau raja, tidak ada sangkut-pautnya dengan kami. Kami bukan orang yang mengekor kepada siapa pun, apalagi kepada Liong Khi Ong. Kalau kami membantu dia, seperti juga engkau, hanya karena kami melihat kemungkinan baik bagi kami untuk memperoleh kemuliaan. Akan tetapi sekarang dia kaubunuh, berarti kau merugikan kami yang hanya dapat kau bayar sekarang juga."

   "Dengan nyawaku? Cobalah kalau kalian mampu!"

   Tek Hoat menantang dengan senyum mengejek.

   
"Sombong engkau!"

   Hek-wan Kui-bo sudah marah sekali dan hendak menyerang, akan tetapi Lam-thian Lo-mo mencegahnya dan nenek ini yang sekarang merasa menjadi sekutu Siang Lo-mo untuk menghadapi pemuda lihai itu tidak membantah.

   "Ang Tek Hoat, jangan salah duga. Liong Khi Ong sudah mampus, maka biarlah. Hanya karena kami juga kehilangan harapan untuk pergi ke kota raja, maka sekarang kami minta bantuanmu. Kami hendak mengantarkan Puteri Bhutan itu kepada ayahnya di Bhutan. Kami tentu akan memperoleh balas jasa di Kerajaan Bhutan dan siapa tahu kami akan mendapatkan ganti kemuliaan di sana."

   Lam-thian Lo-mo berkata dengan suara bernada halus.

   "Keparat, jangan minta yang bukan-bukan!"

   Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, akan tetapi permintaan itu membuat Tek Hoat naik darah.

   "Hi-hik, percuma, Lam-thian Lo-mo. Dia ingin mengangkangi sendiri gadis itu. Aku sudah tahu akan hal ini sejak dulu!"

   Hek-wan Kui-bo berkata. Tek Hoat melirik ke arah Syanti Dewi. Puteri itu telah bangkit berdiri dan bersembunyi di balik pohon dan kini mengintai dan memandang ke arahnya dengan sinar mata ketakutan.

   "Apa yang kurasakan tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian bertiga. Pendeknya, aku tidak percaya kepada kalian dan tidak akan menyerahkan dia kepada kalian!"

   "Ang Tek Hoat, apakah engkau memilih mati daripada menyerahkan puteri itu kepada kami?"

   Pak-thian Lo-mo berteriak.

   "Hemm, kalian yang akan mampus di tanganku kalau berani menentangku."

   "Bocah sombong! Engkau berani menentang kami bertiga?"

   Lam-thian Lomo membentak marah.

   "Perlu apa banyak cakap? Bunuh saja bocah ini!"

   Hek-wan Kui-bo membentak dan dia sudah menubruk ke depan dan menggerakkan tongkatnya, disusul oleh Siang Lo-mo yang merasa marah sekali terhadap bekas rekan ini. Ang Tek Hoat memang bersikap sombong terhadap tiga orang tokoh hitam ini, akan tetapi dia cerdik dan dia sebenarnya tidak memandang ringan.

   Dia maklum bahwa mereka bertiga adalah orang-orang yang amat lihai dan kalau maju bersama merupakan lawan yang berat dan berbahaya. Maka begitu melihat mereka sudah menyerang, dia pun meloncat mundur menjauhi tempat Syanti Dewi bersembunyi, sambil mencabut pedang Cui-beng-kiam yang dipalangkan di depan dadanya. Sinar pedang yang mengandung hawa mujijat dan menyeramkan ini mendatangkan kengerian juga di hati tiga orang lawannya, akan tetapi karena mereka juga merupakan tokoh-tokoh yang sudah lama malang melintang di dunia persilatan, mereka tidak menjadi gentar dan sudah bergerak mengurung dengan senjata di tangan. Tangan Hek-wan Kui-bo memutar-mutar tongkat sehingga di depan tubuhnya tampak sinar hitam bergulung-gulung seperti ada kitiran besar berputar di depan tubuhnya dan mengeluarkan suara berdesingan.

   "Tar-tar-tarrr!"

   Senjata di tangan kedua orang Lo-mo itu berupa sabuk atau pecut baja yang ketika digerak-gerakkan di atas kepala mengeluarkan bunyi meledak-ledak dan ujungnya yang melecut mengenai batangnya sendiri mengeluarkan bunga api! Syanti Dewi yang bersembunyi di balik batang pohon itu menonton dengan muka pucat dan mata terbelalak. Percakapan antara empat orang itu tadi saja sudah menceritakan kepadanya orang-orang macam apa adanya mereka itu. Kalau dia terjatuh di tangan pemuda yang bernama Ang Tek Hoat dan yang telah berkhianat kepada bekas majikannya sendiri dan telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong, dia masih belum tahu apa yang akan terjadi atas dirinya.

   Kalau memang pemuda itu mempunyai niat keji dan buruk terhadap dirinya seperti yang dikatakan Hek-wan Kui-bo tadi, dia tentu akan menjaga diri dan akan membunuh diri sebelum pemuda itu dapat menjamah tubuhnya. Sebaliknya kalau dia terjatuh ke dalam tangan tiga orang iblis tua itu, seperti juga Tek Hoat, dia tidak percaya bahwa mereka akan menyerahkan dia begitu saja kepada ayahnya, Raja Bhutan. Orang-orang seperti mereka ini tentu tidak akan segan-segan untuk memeras ayahnya, memaksa ayahnya menuruti kehendak mereka untuk melihat puterinya selamat! Tidak, betapapun juga, kalau bisa dikatakan ada kesempatan memilih, dia memilih terjatuh ke tangan pemuda itu yang belum tentu akan berbuat jahat kepada dirinya. Tek Hoat berdiri dengan sikap tenang dan sedikit pun tidak bergerak, pedang melintang di depan dada dan tangan kiri dengan jari terbuka di atas kepala,

   Telunjuknya menuding langit, hanya sepasang manik matanya saja yang bergerak ke kanan kiri untuk mengikuti gerakan tiga orang yang menghadapinya. Hek-wan Kui-bo berdiri di depannya, Lam-thian Lo-mo di sebelah kanannya dan Pak-thian Lo-mo di sebelah kirinya. Dia maklum bahwa di antara tiga orang ini, kepandaian Hek-wan Kui-bo yang dapat dianggap paling rendah sungguhpun senjata rahasia peledak dari nenek ini amat berbahaya. Dia tahu pula bahwa senjata pecut besi di tangan kakek kembar itu tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangannya karena senjata dua orang kakek itu mengandung racun yang amat jahat. Hanya pedangnya, peninggalan dari iblis Pulau Neraka, Cui-beng Koai-ong, adalah sebatang pedang mujijat yang mengandung hawa mujijat dan inilah keunggulan senjatanya dari senjata tiga orang lawannya.

   
"Taarrr.... siuuuutttt....!"

   Pecut yang tadi berputaran di atas dan meledak-ledak itu kini menyambar dari kanan mengarah kepalanya dan ujung pecut itu meluncur untuk menotok ubun-ubun kepala Tek Hoat. Menghadapi serangan maut dari Lam-thian Lo-mo ini, cepat Tek Hoat mengelak dengan tubuh direndahkan, akan tetapi pada saat itu, dari kiri menyambar pecut Pak-thian Lo-mo sedangkan dari depan menyusul tongkat Hek-wan Kui-bo yang meluncur ke arah pusarnya.

   Tek Hoat meloncat, menghindarkan kakinya yang tertotok secara bertubi oleh ujung pecut Pak-thian Lo-mo yang mengarah kedua mata kaki dan lututnya, dan pedangnya digerakkan menangkis tongkat Hek-wan Kui-bo. Nenek ini sudah mengenal keampuhan pedang Cui-beng-kiam, maka dia tidak berani mengadu tenaga, melainkan hanya menarik tongkatnya dan dibalik sehingga dalam detik lain ujung tongkat itu sudah menusuk ke arah mata Tek Hoat. Tek Hoat menggerakkan pedang menangkis sambil melompat mundur menghindarkan sambitan ujung pecut dari kanan. Akan tetapi kembali dua batang pecut besi itu sudah menyambar dari atas dan bawah sedangkan tongkat dari nenek itu pun menyerang dengan bertubi-tubi.

   Tek Hoat mengeluarkan kepandaiannya, pedangnya diputar menjadi sinar bergulung-gulung melindungi tubuhnya dan sekaligus menangkis serangan tiga buah senjata lawan, kemudian tiba-tiba dari dalam gulungan itu mencuat sinar terang yang membuat gerakan melengkung dan menyambar ke arah perut tiga orang lawan itu seperti seekor naga melayang. Tiga orang itu terkejut dan cepat mengelak ke belakang karena sambaran pedang itu amat berbahaya, kemudian dari jarak agak jauh pecut-pecut dari kanan kiri sudah menyambar lagi. Suara kedua senjata ini meledak-ledak seperti petir menyambar dan bunga api berpancaran menyilaukan mata. Namun Tek Hoat selalu dapat mengelak atau menangkis semua serangan itu, bahkan untuk setiap serangan dia tentu mengada-kan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Syanti Dewi yang menonton pertandingan itu menjadi bengong. Bukan main hebatnya pertandingan itu, matanya sampai menjadi silau dan berkunang.

   Tidak dapat lagi dia mengikuti gerakan empat orang itu, bahkan bayangan mereka pun lenyap terbungkus gulungan sinar senjata mereka. Hanya kadang-kadang saja nampak kaki atau tangan yang segera lenyap lagi ke dalam gulungan sinar senjata. Jantung Syanti Dewi berdebar tegang. Dia tidak dapat pergi dari tempat itu karena dia tidak mengenal jalan dan hutan itu amat lebat. Ke mana dia harus pergi? Tentu akan menghadapi banyak bahaya yang lebih besar lagi. Kalau terjatuh ke tangan orang-orang ini, dia tahu bahwa dia belum akan menghadapi bahaya maut sungguhpun dia tidak dapat membayangkan nasib apa yang akan dideritanya. Akan tetapi kalau dia lari dan bertemu dengan binatang buas, tentu dia akan menjadi mangsanya, dan kalau sampai dia terjatuh ke tangan orang-orang liar, nasibnya tentu akan lebih mengerikan lagi.

   Setidaknya, empat orang itu adalah orang-orang pandai yang agaknya ingin mencari kedudukan dan kemuliaan dengan mempergunakan dirinya. Pertandingan itu memang hebat sekali. Tiga orang tokoh tua itu menjadi kagum bukan main. Baru sekali itu mereka bertemu dengan lawan seorang pemuda yang begitu lihai sehingga dikeroyok tiga oleh mereka tidak hanya mampu bertahan sampai seratus jurus lebih, akan tetapi juga bahkan sempat membalas dengan tidak kalah hebatnya. Kadang-kadang bulan tertutup awan dan dalam keadaan gelap mereka berempat melanjutkan pertandingan hanya mengandalkan pendengaran yang tajam dan perasaan yang peka. Ketika pertandingan sudah hampir berlangsung dua ratus jurus tanpa ada yang mengalami luka atau terdesak, bulan bersinar kembali dengan terangnya karena awan telah menjauh.

   "Kui-bo, lepas peledakmu!"

   Tiba-tiba Lam-thian Lo-mo yang merasa penasaran itu berteriak dan bersama Pak-thian Lo-mo dia sudah bertiarap di atas tanah. Hek-wan Kui-bo memenuhi permintaan kakek itu dan dia melemparkan senjata peledaknya ke arah Tek Hoat. Pemuda itu cepat meloncat jauh ke samping dan bergulingan sehingga ketika senjata rahasia itu meledak, dia terhindar dari sambaran pecahan besi. Akan tetapi kembali nenek itu melemparkan senjata dahsyat kepadanya dan terpaksa Tek Hoat meloncat tinggi sekali. Pecahan senjata peledak itu menyerong dan hanya akan mengenai orang-orang yang berdiri di sekitarnya, maka ketika Tek Hoat meloncat jauh ke atas, dia pun terhindar dari pecahan besi. Akan tetapi itulah saat yang dinanti-nanti oleh Lam-thian Lo-mo dan Pak-thian Lo-mo.

   Siang Lo-mo yang memiliki kerja sama amat baik berdasarkan naluri atau getaran perasaan yang saling berhubungan antara mereka itu, dalam waktu yang sama tanpa direncana lebih dulu telah menggerakkan cambuk besi mereka yang meluncur ke atas, yang kanan menyerang ke arah mata kaki Tek Hoat, yang kiri menyerang ke arah tengkuk! Serangan yang dilakukan berbareng pada saat Tek Hoat masih meloncat ke atas dan yang mengarah dua tempat yang berlainan itu ternyata membuat Tek Hoat terkejut juga. Dia harus memilih salah satu dan karena penyerangan di tengkuknya merupakan serangan maut, maka dia menggerakkan pedangnya menangkis cambuk yang digerakkan oleh Pak-thian Lo-mo ke arah tengkuknya itu sambil sedapat mungkin menarik kakinya yang disambar pecut Lam-thian Lo-mo. Namun gerakan ini tidak cukup dan betisnya dihunjam ujung pecut besi sehingga celana berikut daging betisnya robek.

   "Haiiiittt....!"

   Tek Hoat mengerahkan tenaganya, berjungkir balik sehingga pecut itu tidak melibatnya dan ketika tubuhnya menukik turun, dia menyerang Lam-thian Lo-mo yang telah melukai betis kanannya itu.

   "Trang-trang.... cringgg....!"

   Tiga senjata lawan menangkis pedangnya dan penyatuan kekuatan tiga orang itu membuat Tek Hoat terpental dan terguling-guling. Selagi Tek Hoat bergulingan itu, tiga orang lawannya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan mereka mengejar. Hek-wan Kui-bo yang merasa penasaran sudah menggerakkan tongkatnya menghantam dan menusuk berkali-kali, akan tetapi Tek Hoat dapat mengelak dengan ilmunya bergulingan yang amat cepat. Akan tetapi karena dia pun dihujani sambaran dua ujung cambuk maka akhirnya Hek-wan Kui-bo berhasil menghantam pundaknya, nyaris saja mengenai kepalanya.

   "Bukk!"

   Tek Hoat merasa betapa pundaknya seperti remuk ditimpa tongkat butut itu, dia menjadi marah dan nekat, otomatis tangan kirinya menyambar tongkat itu dan membetot dengan pengerahan tenaga Inti Bumi yang amat hebat kekuatannya. Hek-wan Kui-bo terkejut ketika tiba-tiba dia terbetot ke bawah dan sebelum dia mampu melihat bahaya dan melepaskan tongkat yang membuat tubuhnya ikut terbetot, tahu-tahu Cui-beng-kiam telah meluncur dari bawah dan menembus perutnya sampai ke punggung!

   "Aigghhhhh...!"

   Hek-wan Kui-bo memekik dahsyat. Tek Hoat mendorong tongkat dan mencabut pedangnya sehingga tubuh nenek itu terjengkang, akan tetapi pada saat itu, ujung cambuk di tangan Pak-thian Lo-mo telah menyambar pada saat pemuda itu meloncat bangun dan tahu-tahu telah membelit leher pemuda itu! Tek Hoat terkejut sekali, apalagi ketika saat itu terdengar Lam-thian Lo-mo tertawa.

   "Jangan lepaskan dia, ha-ha, biar kuhancurkan kepalanya! Tar-tar-tarrr!"

   Cambuk Lam-thian Lo-mo meledak-ledak dan menyambar-nyambar kepalanya, mengarah ubun-ubun, tengkuk, dahi dan kedua pelipls! Sibuk juga Tek Hoat memutar pedangnya menangkisi sambaran pecut besi di tangan Lam-thian Lo-mo itu, sedangkan lehernya masih dicekik oleh cambuk Pak-thian Lo-mo yang makin lama makin erat mencekiknya. Terasa napasnya terhenti dan kulit lehernya berdarah! Maklumlah dia bahwa kalau dia tidak menemukan akal, dia akan mati sekali ini. Maka untuk menghindarkan ancaman bertubi-tubi dari ujung cambuk Lam-thian Lo-mo, dia cepat dengan tiba-tiba merebahkan diri dan bergulingan mendekati Pak-thian Lo-mo agar cekikan cambuk itu mengendur.

   "Tarrr!"

   Ujung cambuk Lam-thian Lo-mo mengenai punggungnya, untung tidak mengenai tengkuk sehingga Tek Hoat hanya mengeluh karena rasa nyeri yang amat hebat. Dia meloncat lagi.

   "Tar-tarrr!"

   Dua kali ujung cambuk Lam-thian Lo-mo menggigit paha dan lambungnya, membuat celana dan bajunya robek berikut kulit dan dagingnya. Badannya sudah berlumur darah yang bercucuran dari punggung, leher, lambung dan paha.

   Pada saat itu, dengan kemarahan memuncak, Tek Hoat mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, pekik yang membuat Syanti Dewi jatuh terduduk dan hampir pingsan karena memang dia sudah gemetar seluruh tubuhnya menyaksikan betapa pemuda itu telah terbelit lehernya dan dicambuki serta berlumur darah amat mengerikan. Akan tetapi bersamaan dengan bunyi pekik itu, tampak sinar berkelebat dan Pak-thian Lo-mo mengeluarkan teriakan yang menggetarkan pohon-pohon di sekitar tempat itu. Tubuhnya terhuyung, cambuknya terlepas dari tangan dan kedua tangannya mencengkeram gagang pedang Cui-beng-kiam yang berada di dadanya karena pedang itu sendiri telah tertanam di dadanya sampai menembus punggungnya ketika dilontarkan secara tiba-tiba dan amat kuatnya oleh Tek Hoat tadi!

   "Kau.... bunuh dia....?"

   Lam-thian Lo-mo berteriak dengan suara terisak.

   "Tar-tar-tar-tarrr....!"

   Cambuknya mengamuk dan tubuh Tek Hoat menjadi bulan-bulanan sambaran cambuk yang ujungnya seperti mulut ular mematuk-matuk dan membuat pakaian Tek Hoat robek-robek dan makin banyak lagi luka-luka di tubuhnya. Akan tetapi, dengan penderitaan rasa nyeri yang hebat itu karena semua luka mengandung racun, akhirnya Tek Hoat dapat menangkap ujung cambuk. Ketika Lam-thian Lo-mo yang melotot marah itu menarik-narik cambuknya, Tek Hoat melibat-libatkan ujung cambuk di tangan kanannya dan terjadilah betot-membetot di antara mereka. Akhirnya, dengan mengeluarkan teriakan yang merupakan lengking dahsyat, kedua orang itu meloncat ke depan saling terjang di udara.

   "Desss....!"

   Syanti Dewi yang menonton dari balik batang pohon hanya melihat bayangan dua orang itu bertumbukan di udara, kemudian dia melihat kedua orang itu terbanting roboh dan tidak bergerak lagi.

   "Ahhh....!"

   Syanti Dewi sejenak berdiri dengan hati penuh kengerian, ditelan kesunyian yang tiba-tiba menyelimuti tempat itu. Tidak ada suara apa-apa lagi terdengar, akan tetapi setelah keadaan di dalam hutan itu sunyi, semua orang kecuali dia telah rebah tidak berkutik lagi, lapat-lapat dan sayup sampai telinganya menangkap suara gemuruh dan hiruk-pikuk dari tempat yang jauh sekali. Suasananya menjadi makin menyeramkan karena suara yang dapat-lapat terdengar itu seperti mengandung suara tangis dan tawa yang agaknya datang dari angkasa atau mungkin juga dari dalam bumi, pantasnya suara yang keluar dari dalam neraka seperti yang pernah dia dengar dongengnya.

   "Ahhh.... matikah dia....?"

   Tak terasa lagi Syanti Dewi berbisik dengan hati penuh kekhawatiran.

   Puteri Bhutan ini adalah seorang yang berbudi mulia dan memiliki kepekaan rasa sehingga tidak mudah bagi dia melupakan budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya. Dia tahu bahwa dia tidak boleh mempercayai seorang seperti Ang Tek Hoat yang telah menjadi kaki tangan pemberontak akan tetapi yang ternyata mengkhianati atasannya sendiri itu. Akan tetapi, dia tahu pula bahwa sekali ini Ang Tek Hoat melakukan pengkhianatan dan melawan rekan-rekannya sendiri sampai mempertaruhkan nyawa karena hendak menolongnya! Sungguhpun dia sendiri belum dapat memastikan apakah perbuatan pemuda itu terdorong oleh maksud menolongnya ataukah hendak memperebutkannya, akan tetapi harus dia akui bahwa kalau tidak ada Tek Hoat, tentu dia telah membunuh diri ketika hendak diperkosa oleh Pangeran Liong Khi Ong.

   Perasaan berterima kasih ini ditambah lagi perasaan seolah-olah Tek Hoat bukan merupakan orang asing baginya, membuat puteri ini keluar dari tempat persembunyiannya dan berindap-indap menghampiri pemuda itu. Dia bergidik ketika melewati tubuh Lam-thian Lo-mo. Kakek yang hampir telanjang, yang hanya mengenakan cawat ini, rebah telentang, matanya melotot, mulutnya terbuka dan kepalanya pecah. Hek-wan Kui-bo rebah menelungkup dan seluruh tubuhnya bermandi darahnya sendiri, sedangkan tubuh Pak-thian Lo-mo juga terlentang dengan dada masih tertusuk pedang. Syanti Dewi bergidik ngeri, lalu memutari mayat-mayat itu dan menghampiri Tek Hoat yang menggeletak miring dan tidak bergerak lagi.
(Lanjut ke Jilid 37)

   Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 37
"Ohh...."

   Syanti Dewi mengeluh dan merasa kasihan melihat pemuda itu. Pakaiannya robek-robek dan penuh darah, tampak luka-luka bekas cambukan dari kaki sampai ke lehernya yang dibelit luka yang berdarah. Ketika Syanti Dewi melihat muka pemuda itu, dia makin cemas. Muka itu pucat sekali, seperti muka mayat.

   Dengan hati berdebar dia menggerakkan tangannya, menyentuh dahi yang pucat itu. Masih hangat! Lalu dengan jari-jari tangan gemetar dia meraba dada. Masih ada ketukan jantungnya. Masih hidup! Hatinya lega. Pemuda ini belum mati. Syanti Dewi pernah merawat Gak Bun Beng ketika pendekar itu menderita sakit, maka sedikit banyak dia telah mempunyai pengalaman. Kini, menghadapi pemuda yang tubuhnya penuh dengan luka, mandi darah dan pingsan itu, dia cepat memberanikan diri berlari ke arah kereta. Dia tahu bahwa Pangeran Liong Khi Ong membawa perbekalan-perbekalan dan dia membutuhkan arak untuk menolong Tek Hoat. Dalam ketegangannya hendak menolong Tek Hoat, dia lupa akan Pangeran Liong Khi Ong dan begitu saja dia menyingkap tirai kereta dan naik ke dalam kereta.

   "Aiihhh....!"

   Syanti Dewi menjerit dan cepat meloncat turun lagi keluar kereta. Dalam keadaan terkejut setengah mati itu, otomatis kepandaian silat yang pernah dipelajarinya keluar, bahkan kecepatan gerakannya bertambah! Siapa yang tidak kaget setengah mati? Ketika dia masuk kereta tadi, tanpa disengaja kakinya menyentuh kaki mayat Pangeran Liong Khi Ong yang mati sambil duduk di kereta dan ketika kakinya tersentuh, tubuhnya terguling sehingga bagi Syanti Dewi yang lupa akan pangeran ini dia melihat mayat itu hidup kembali dan menubruknya! Dengan seluruh tubuh gemetar, Syanti Dewi memberanikan diri menyingkap tirai, memperingatkan diri sendiri bahwa Pangeran itu tadi telah mati! Ketika dia menyingkap tirai, dia melihat Pangeran itu menelungkup di lantai kereta, sama sekali tidak bergerak.

   Syanti Dewi ber-gidik, lalu dengan hati-hati dia naik ke dalam kereta, melangkahi mayat Pangeran itu dan cepat mulai mencari-cari di bagian belakang kereta itu. Di dalam kereta itu tidak begitu gelap seperti di luar karena lentera kereta masih menyala. Setelah dia menemukan guci arak, dia melompat turun dan cepat berlari menghampiri tubuh Tek Hoat yang kini sudah rebah terlentang akan tetapi agak-nya masih belum siuman dari pingsannya. Syanti Dewi menggunakan saputangannya yang dibasahi dengan arak untuk menekan-nekan luka-luka di tubuh Tek Hoat, selain membersihkan luka juga agar darah yang keluar dapat berhenti. Hatinya lega ketika melihat bahwa luka-luka itu tidak dalam, hanya kulit yang robek berikut sedikit daging di bawahnya.

   Akan tetapi luka di sekeliling leher itu amat mengerikan, seolah-olah leher itu dikerat pisau hendak disembelih. Luka ini terjadi ketika lehernya dijerat oleh cambuk besi tadi dan darah yang mengucur dari luka ini yang paling banyak sehingga sebentar saja saputangan Syanti Dewi menjadi merah oleh darah. Setelah matahari mulai bersinar, Syanti Dewi bangkit berdiri, lalu pergi dari situ mencari-cari air. Untung tak jauh dari situ dia menemukan sebatang anak sungai kecil yang airnya jernih sekali. Cepat dia mengambil air, menggunakan guci arak yang sudah kosong dan kini dia dapat mencuci luka-luka di tubuh Tek Hoat dengan jelas. Setelah dia membalut leher yang terluka itu dengan saputangan, dia lalu menggunakan air untuk membasahi muka dan kepala pemuda yang masih juga belum siuman itu. Tek Hoat mengeluh lirih, lalu gelagapan.

   "Hepp.... haeppp.... haeppp...!"

   Dia gelagapan seperti orang tenggelam di air!

   "Eh, kenapa....? Kau kenapa....? Apanya yang sakit....?"

   Syanti Dewi mengguncang pundak Tek Hoat ketika melihat pemuda itu gelagapan dengan mulut megap-megap. Tanpa disengaja, Syanti Dewi mengguncang pundak yang terluka berat karena tadi ditimpa tongkat Hek-wan Kui-bo. Tentu saja diguncang seperti itu menjadi nyeri bukan main, pemuda yang sudah siuman dan dapat merasakan itu berteriak mengaduh, kiut-miut rasa pundaknya.

   "Add.... duuuhh-duh duhhh.... pundakku....!"

   Karena masih setengah pingsan, maka Tek Hoat berteriak-teriak dan bersambat. Kalau dia sudah sadar betul, tentu saja pemuda yang keras hati ini tidak akan sudi bersambat, apalagi di depan gadis itu.

   "Ohhh....!"

   Syanti Dewi cepat menarik kembali tangannya dan melihat pundak itu. Baju di pundak juga robek dan baru sekarang dia melihat betapa pundak itu kulitnya biru menghitam.

   "Maafkan aku....!"

   "Maaf....? Sudah menghantam pundak masih minta maaf? Nenek keparat....!"

   Tek Hoat memaki dan membuka matanya.

   "Ouhhhh....!"

   Syanti Dewi menutup mulutnya.

   "Aahhh....!"

   Tek Hoat membelalakkan matanya ketika melihat siapa yang berlutut di dekatnya.

   Tek Hoat cepat teringat akan keadaannya. Segera dia bangkit duduk dan menggigit bibir karena begitu dia bangkit, dunia di sekelilingnya seperti berpusingan dan seluruh tubuhnya sakit-sakit, berdenyut-denyut dan menusuk-nusuk. Akan tetapi dia mempertahankan rasa nyeri itu, memandang ke sekeliling dan baru lega hatinya ketika dia melihat mayat Hek-wan Kui-bo, Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo berserakan tidak jauh dari situ. Barulah dia memperhatikan dirinya sendiri, meraba lehernya yang terasa panas dan mendapat kenyataan bahwa lehernya telah terbalut, mukanya basah kuyup dan air masih menetes-netes dari rambutnya ke atas muka. Jantungnya berdebar penuh kebingungan dan hampir dia tidak percaya akan dugaannya sendiri. Dengan gagap dia bertanya suaranya berbisik,

   "Kau.... kau.... yang merawatku....?"

   Syanti Dewi yang masih memandang kepadanya dengan terbelalak, takut kalau-kalau pemuda ini sudah berubah ingatannya. Juga takut kalau pemuda ini menjadi liar dan ganas seperti yang pernah disangkanya, bergerak mundur menjauhi, tangan kanannya meraba gagang pisau yang terselip di pinggangnya dan dia mengangguk, tangan kirinya masih memegang kain basah yang tadi dipergunakan untuk membasahi muka dan kepala pemuda itu. Dia hanya menjawab pertanyaan itu dengan anggukan kepalanya. Kenyataan ini merupakan pukulan hebat bagi Tek Hoat. Gadis itu, Puteri Bhutan itu, yang membuat dia tergila-gila, yang ingin dirampasnya dan dipaksanya menjadi isterinya, ketika dia pingsan dan tidak berdaya, ternyata tidak membunuhnya.

   Padahal, alangkah mudahnya bagi puteri itu untuk membunuhnya. Sekali tikam saja dengan pisau di pinggang itu, dia akan tewas dan karena semua pengawal pangeran sudah tewas, hal itu berarti kebebasan sepenuhnya bagi Syanti Dewi. Akan tetapi tidak! Puteri itu, wanita bangsawan tinggi itu, malah merawat luka-lukanya! Kenyataan ini membuat Tek Hoat tertawa sendiri, suara ketawa yang aneh. Syanti Dewi mernandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Wajah itu, suara ketawa itu. Dia pernah rasanya mengenal pemuda ini! Bukan, bukan sejak menawannya dan membawanya kepada Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi jauh sebelum itu, dan dalam keadaan yang lebih baik. Akan tetapi dia lupa lagi kapan dan di mana. Dipandang seperti itu, Tek Hoat menghentikan suara ketawanya yang tadi keluar di luar kehendak-nya, dengan gugup dia berkata,

   "Aku.... aku.... bermimpi.... tenggelam ke dalam sungai.... kiranya engkau membasahi mukaku...."

   "Aihh....!"

   Syanti Dewi meloncat berdiri, ucapan itu mengingatkan dia.

   "Engkau adalah tukang perahu itu! Ya, engkau tukang perahu dahulu itu!"

   Dia mengingat-ingat, lalu berkata lagi.

   "Aku me-ngerti sekarang! Engkau dahulu menyamar sebagai tukang perahu, pantas ada yang menyebutmu Si Jari Maut!"

   Tek Hoat berusaha untuk tersenyum, akan tetapi mana bisa dia tersenyum kalau seluruh tubuhnya terasa sakit, dan lebih lagi dari itu, kalau seluruh hati dan pikirannya terasa sakit? Dia begitu jahat, dan puteri itu begitu baik! Seperti si binatang liar dan si Dewi Kahyangan! Dia menghela napas dan memejamkan matanya.

   "Puteri Syanti Dewi, kau pergilah....! Pergilah sebelum terlam-bat....!"

   Syanti Dewi mengerutkan alisnya.

   "Akan tetapi engkau.... engkau terluka parah...."

   "Biarkan aku mampus, dunia takkan rugi karenanya!"

   Katanya dengan hati sebal dan dia melemparkan tubuh ke belakang.

   "Dukkk!"

   Kepalanya menimpa akar pohon dan dia mengerang lirih, menjadi setengah pingsan lagi karena benturan kepalanya dengan akar yang dalam keadaan biasa tentu tidak akan terasa olehnya itu, kini terasa seolah-olah kepalanya dihantam palu godam sebesar kerbau!

   "Aihhh, kasihan engkau.... pemuda yang malang....!"

   Syanti Dewi sudah berlutut lagi di dekatnya dan menggunakan kain basah itu untuk menghapus darah yang kembali mengalir di leher dan pipi, karena benturan tadi membuat kepala yang luka oleh lecutan cambuk berdarah lagi.

   "Kasihan? Engkau.... kasihan kepadaku?"

   Tek Hoat bangkit duduk, tidak peduli betapa pandang matanya sendiri berkunang dan kepalanya menjadi pening sekali.

   "Puteri Syanti Dewi kasihan kepadaku? Ha-ha-ha! Semestinya engkau kasihan kepada dirimu sendiri yang sudah begitu percaya kepada orang lain, kepada tukang perahu jahanam itu!"

   Syanti Dewi mengerutkan alisnya, memandang khawatir. Tak salah lagi, pemuda ini menjadi miring otaknya karena pukulan-pukulan yang diterimanya ketika bertanding tadi!

   Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Mengapa? Tukang perahu itu telah menolong aku dan Adik Candra Dewi,"

   Bantahnya.

   "Ha-ha-ha! Betapa bodohnya! Tukang perahu itu adalah mata-mata Pangeran Liong yang sengaja diutus untuk menyelidik dan untuk menawan Puteri Syanti Dewi! Dan puteri itu malah percaya kepada seorang pembantu dan tangan kanan pemberontak Liong Khi Ong!"

   "Akan tetapi, engkau telah menyelamatkan aku dari mereka, engkau malah telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang kaki tangannya!"

   Tek Hoat memandang puteri itu dengan mata merah, tertawa dan menudingkan telunjuknya seperti orang gila.

   "Ha-ha-ha, engkau puteri bodoh! Patut dikasihani! Engkau terlalu baik hati, engkau terlalu percaya orang. Aku membunuh mereka karena ingin memperebutkan engkau! Aku orang jahat, dan engkau.... engkau malah merawatku! Ha-ha, belum pernah aku melihat yang segila ini. Pergilah kau.... pergi....! Sebelum aku lupa diri....!"

   Kembali Tek Hoat merebahkan dirinya dan memejamkan mata, menggunakan jari-jari tangannya menjambak rambutnya sendiri.

   "Aku keracunan.... terluka parah, tentu akan mati.... kau pergilah, kau menjauhlah, jangan dekat-dekat.... aku kotor sekali, aku perampok, pembunuh, tukang perkosa.... aku tidak berharga.... ahh, Ibu....!"

   Ucapan Tek Hoat sudah kacau tidak karuan. Memang pemuda ini selain menderita luka-luka, juga telah terkena racun yang hebat, racun yang berada di cambuk Siang Lo-mo. Seperti telah diketahui, sejak Siang Lo-mo merampas kitab cacatan tentang racun dari Ban-tok Mo-li, mereka telah menggunakan ilmu tentang racun itu untuk membuat cambuk mereka menjadi senjata yang mengandung racun amat berbahaya. Kini, terluka berkali-kali oleh cambuk-cambuk beracun itu, tentu saja Tek Hoat terpengaruh dan luka-luka itu mulai membengkak dan membiru, bahkan lehernya telah menjadi matang biru dan mengerikan sekali.

   "Ah, kasihan engkau, orang muda yang malang....!"

   Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut. Melihat kesengsaraan dan penderitaan pemuda ini, hatinya menjadi tidak tega, penuh dengan perasaan iba, maka dia tidak mempedulikan sikap pemuda itu,

   Bahkan tanpa takut-takut lagi dia lari mendekat, berlutut dan membasahi dahi pemuda itu dengan air karena dahi itu amat panas sampai mengepul-kan uap! Tek Hoat merintih-rintih dan mengeluh, menyebut-nyebut ibunya karena dia seolah-olah melihat ibunya yang marah-marah dan memaki-makinya, kemudian melihat wajah Kam Siok, pemilik restoran di Shen-yang yang dibunuhnya, wajah Kam Siu Li, puteri Kam Siok yang telah dikawinkan kepadanya kemudian dibunuhnya pula, wajah Liok Si, janda Kam Siok yang genit itu, dan wajah orang-orang yang pernah dibunuhnya, semua datang dan mengejar-ngejarnya hendak membalas dendam! Dia lari ketakutan, kemudian dia melihat Syanti Dewi yang melayang turun dari angkasa seperti Dewi Kwan Im Pouwsat, cantik jelita dan agung, lemah-lembut dan ramah, mengulurkan tangan kepadanya.

   "Lindungi aku.... ohh, lindungi aku...."

   "Tenanglah, Tek Hoat, tenanglah...."

   Dewi itu berkata halus dan menaruh tangannya ke atas dahinya. Tangan yang lembut dan halus, sejuk dan mengusir nyeri.

   "Ampunkan aku yang penuh dosa...."

   Dia berbisik, meraba dan menangkap tangan halus lembut itu dan mencium tangan itu. Syanti Dewi menarik tangannya dengan halus. Hatinya terharu. Boleh jadi orang ini telah melakukan penyelewengan-penyelewengan hebat, pikirnya, dan penyesalan telah menggerogoti perasaannya sendiri. Penyesalan akan perbuatan yang berdosa merupakan hukuman yang amat berat bagi orang itu.

   "Ang Tek Hoat, engkau tadi begitu gagah kenapa sekarang menjadi begini lemah?"

   Suara Syanti Dewi ini merupakan air dingin yang mengguyur kepala Tek Hoat. Seketika dia berhenti mengeluh, membuka mata dan pandang matanya kembali menjadi dingin, biarpun mukanya kini merah sekali seperti dibakar. Dia bangkit duduk, menggoyang-goyang kepala sebentar seperti hendak mengusir kepeningannya. Kemudian dia berkata,

   "Puteri Syanti Dewi, terima kasih atas kebaikanmu. Engkau mulia seperti dewi, dan aku jahat seperti iblis. Engkau pergilah dari sini, kau cari Jenderal Kao. Dia seorang gagah yang akan menolongmu...."

   Tiba-tiba mata pemuda itu kelihatan beringas memandang ke kanan. Syanti Dewi bangkit berdiri, juga menoleh dengan ketakutan, mengira bahwa ada musuh-musuh baru yang datang. Tampak datang beberapa orang berlarian cepat sekali gerakan mereka, seperti sekumpulan binatang rusa yang lari sambil berlompatan menuju ke tempat itu. Sukar bagi Syanti Dewi untuk mengenal bayangan orang-orang yang berlari secepat itu dan kini mereka yang terdiri dari tiga orang itu telah berdiri di situ, memandangi kereta dan mayat-mayat yang berserakan, kemudian memandang kepada Tek Hoat dan Syanti Dewi.

   "Bu-koko....!"

   Syanti Dewi berseru dengan lega dan girang ketika melihat mereka dan di antara mereka itu terdapat Jenderal Kao Liang dan Suma Kian Bu! Terutama sekali melihat Kian Bu hatinya begitu lega sehingga tak terasa lagi dia berlari ke arah pemuda ini yang juga berlari menghampirinya.

   "Adik Syanti Dewi....!"

   Dan tanpa dapat dicegah lagi, lupa akan keadaan saking lega dan girangnya hati, Syanti Dewi membiarkan dirinya dipeluk oleh Suma Kian Bu! Dia menangis dengan penuh keharuan dan kelegaan hati. Yang datang adalah Jenderal Kao Liang, Kian Bu, dan Puteri Milana. Malam tadi menjelang pagi, ketika barisan yang dipimpin Puteri Milana tiba di depan Teng-bun untuk membantu Jenderal Kao, jenderal ini segera mengerahkan barisan untuk menyerbu Teng-bun dengan kekuatan yang jauh lebih besar setelah ada bantuan itu. Perang hebat terjadi akan tetapi sekali ini, Kim Bouw Sin tidak lagi dapat bertahan. Apalagi karena dia sudah kehilangan para pembantunya yang lihai. Tek Hoat tidak kelihatan mata hidungnya, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo sudah pergi mengawal Pangeran Liong Khi Ong, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li juga tidak kelihatan lagi.

   Maka setelah matahari terbit, pasukan-pasukan pemerintah berhasil membobolkan pintu-pintu gerbang dan menyerbu masuk seperti banjir. Teng-bun tak dapat dipertahankan lagi dan Kim Bouw Sin sendiri tewas dalam perang itu. Tentu saja Jenderal Kao dan Milana, diikuti oleh Kian Bu, pertama-tama menyerbu gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong untuk menangkap pangeran pemberontak itu. Akan tetapi ternyata Pangeran itu telah melarikan diri semalam. Ketika mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran itu pergi membawa Puteri Bhutan, Kian Bu dan Jenderal Kao terkejut sekali. Bersama Puteri Milana, mereka lalu secepatnya melakukan pengejaran melalui pintu rahasia yang tentu saja dikenal oleh Jenderal Kao dan mereka terus mengejar ke dalam hutan.

   Tek Hoat membuka mata dan mengejap-ngejapkan matanya, sejenak memandang ke arah Syanti Dewi yang menangis dalam dekapan seorang pemuda tampan yang dia kenal sebagal seorang di antara dua orang pemuda kakak beradik yang pernah berlawan dengannya. Dia melihat pula Jenderal Kao dan seorang wanita cantik sekali yang amat gagah perkasa. Dia pernah melihat wanita ini dan samar-samar teringatlah dia kepada wanita yang dulu dijumpainya di dalam hutan ketika wanita yang amat lihai ini membunuh seekor harimau besar. Akan tetapi dia tidak mempedulikan itu semua, matanya kini menatap Syanti Dewi, yang dipeluk oleh pemuda itu. Hatinya menjadi panas sekali dan tanpa mempedulikan apa-apa lagi Tek Hoat melompat dan menerjang ke arah Suma Kian Bu!

   "Plakkk!"

   Tek Hoat terpelanting ketika dari samping ada lengan halus yang mendorongnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Kiranya wanita itu dengan sikap gagah dan pandang mata tajam menusuk menegurnya,

   "Engkau mau apa?"

   Tek Hoat menjadi marah sekali. Dia tidak peduli siapa adanya wanita gagah itu, akan tetapi yang ada di dalam hatinya hanyalah kemarahan yang amat he-bat. Kemarahan yang timbul seketika pada saat dia melihat Syanti Dewi dalam pelukan pemuda tampan itu.

   "Aku mau membunuh!"

   Bentaknya dan kemarahan membuat dia lupa akan segala kenyerian yang menusuk-nusuk seluruh tubuh, dari kepala sampai kaki dan dengan ganas dia sudah menerjang lagi, otomatis dia menggunakan jurus Pat-mo Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Iblis) yang menjadi ilmu silat tinggi pertama kali yang dilatihnya. Gerakan ilmu silat ini memang hebat dan ganas sekali, dan sin-kang yang mendorong gerakan ilmu ini adalah sin-kang yang mengeluarkan hawa panas.

   "Aihhh....!"

   Puteri Milana terkejut dan terheran-heran bukan main, cepat menggerakkan kaki tangannya dengan ilmu silat yang sama pula. Tentu saja dia merasa heran karena gerakan pemuda ini adalah gerakan ilmu silat rahasia dari perkumpulan Thian-liong-pang, yaitu perkumpulan yang dahulu diketuai oleh ibunya, Puteri Nirahai (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS). Dan ilmu silat ini adalah ciptaan ibunya itu, yang mengambil gerakan-gerakan dari Ilmu Silat Pat-mo Kiam-sut digabung dengan Ilmu Silat Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) sehingga terciptalah Ilmu Silat Tangan Kosong Pat-mo Sin-kun itu. Akan tetapi ilmu itu hanya dikenal oleh ibunya, dia sendiri dan para bekas tokoh Thian-liong-pang saja. Bagaimana sekarang bisa dimainkan oleh pemuda ini secara demikian baiknya?

   "Hai, dari mana engkau mempelajari Pat-mo Sin-kun?"

   Puteri Milana berseru makin heran karena mendapat kenyataan betapa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat, sungguhpun jelas bahwa pemuda ini sudah menderita luka-luka parah dan keracunan. Tek Hoat juga terkejut ketika melihat wanita menghadapinya dengan Pat-mo Sin-kun yang demikian baik gerakannya, jauh lebih baik daripada gerakannya sendiri. Maka tanpa menjawab dia lalu mengerahkan tenaga Inti Bumi dan mendorong.

   "Bress.... ihhh....!"

   Milana terdorong dan terhuyung, bukan main kagetnya.

   "Keparat, engkau pemberontak keji!"

   Kian Bu sudah melepaskan Syanti Dewi dan melihat kakaknya terdorong itu, dia lalu menerjang ke depan dan memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang. Tek Hoat yang marah dan benci kepada pemuda yang memeluk Syanti Dewi ini, membalikkan tubuh mengerahkan tenaga sin-kangnya dan menangkis. Keduanya mengeluarkan tenaga sekuatnya, akan tetapi Kian Bu sama sekali tidak tahu bahwa lawannya itu telah terluka parah.

   "Desss....!"

   Tubuh Tek Hoat terlempar, membentur batang pohon dan roboh tergelimpang, tidak bergerak lagi! Ternyata ketika Tek Hoat mengadu tenaga dengan Puteri Milana tadi, dia telah mengerahkan tenaga Inti Bumi dan hal ini membuat luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya menjadi lebih parah lagi. Maka begitu dia bertemu dengan Kian Bu yang memiliki sin-kang murni dari Pulau Es, tentu saja dia tidak mampu menandinginya dan dia terbanting dengan keras sampai pingsan.

   "Ah, Bu-ko, kau membunuhnya....?"

   Syanti Dewi berlari menghampiri tubuh Tek Hoat, berlutut dan memandang penuh kekhawatiran.

   "Adik Syanti Dewi, dia kaki tangan pemberontak, dia jahat....!"

   Kian Bu berkata dengan heran dan penasaran melihat dara itu membela lawannya. Juga Puteri Milana memandang dengan heran dan diam-diam dia kagum akan kecantikan Puteri Bhutan ini. Pantas saja adik kandungnya tertarik kepada puteri ini dan sikap mereka ketika bertemu tadi menimbulkan dugaannya bahwa adiknya itu jatuh hati kepada Syanti Dewi. Maka kini sikap Syanti Dewi yang berlutut di dekat kaki tangan pemberontak itu mengherankan hatinya.

   "Apa artinya ini?"

   Dia bertanya.

   "Adik Syanti, pemberontak ini dibunuh pun sudah sepatutnya."

   Kian Bu berkata lagi.

   "Tidak.... tidak....! Bu-koko, engkau tidak tahu. Dialah yang telah menolongku. Dia yang telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya. Lihat itu, mayat mereka masih berada di sana. Kalau tidak ada Tek Hoat ini, aku tentu telah menjadi mayat sekarang."

   Syanti Dewi berkata sambil menunjuk ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan dan dia membayangkan be-tapa dia sekarang tentu telah membunuh dirinya karena hendak diperkosa oleh Pangeran Liong Khi Ong kalau saja tidak ditolong oleh Tek Hoat.

   "Ehh....?"

   Kian Bu tertegun heran.

   "Dia adalah tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong yang terkenal sekali. Dialah yang berjuluk Si Jari Maut dan yang mempergunakan nama Gak Bun Beng Taihiap! Dia jahat dan keji, juga menjadi kaki tangan pemberontak. Syanti, minggirlah, orang ini harus ditangkap atau dibunuh."

   Jenderal Kao Liang juga berkata sambil melangkah maju menghampiri Puteri Bhutan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri itu.

   "Gi-hu (Ayah Angkat)....!"

   Syanti Dewi bangkit dan memegang lengan jenderal tinggi besar itu.

   "Harap jangan bunuh dia. Dia terluka dan menderita seperti itu karena menolong saya. Andaikata dia tidak menolong saya, tentu dia sudah dapat melarikan diri jauh dari sini dan kalian tidak dapat menangkapnya. Dia menolong saya dan karenanya dia terluka dan tidak dapat lari. Kalau kalian membunuhnya, sama artinya dengan saya yang membunuhnya. Gi-hu, epakah engkau ingin mempunyai seorang anak angkat yang berwatak palsu tidak mengenal budi orang?"

   Puteri Milana sudah melangkah maju dan berkata kepada adiknya,

   "Bu-te (Adik Bu), dia betul. Kita harus merawatnya, dan aku melihat keanehan pada dirinya. Dia mengenal ilmu rahasia Thian-liong-pang! Mungkin pemuda ini menyimpan rahasia."

   Kian Bu masih ragu-ragu.

   "Akan tetapi, Enci, menurut Kao-goanswe dia telah mempergunakan nama Gak-suheng dan merusak namanya!"

   "Hal itu pun ada rahasianya. Kita rawat dan menahan dia sebagai seorang tawanan yang terawat baik. Betapapun juga, dia telah berjasa dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya yang lihai ini."

   Kian Bu tidak berani membantah lagi dan dia lalu memanggul tubuh Tek Hoat yang lunglai dan pingsan. Kemudian mereka kembali ke Teng-bun yang sudah diduduki oleh pasukan pemerintah.

   Pukulan hebat yang dilakukan oleh pasukan di bawah pimpinan Jenderal Kao Liang dan Puteri Milana itu sekaligus menghancurkan kekuatan pemberontak, apalagi kematian Panglima Kim Bouw Sin dan kematian Pangeran Liong Khi Ong melemahkan semangat perlawanan para anak buah pasukan sehingga sebagian besar di antara mereka segera takluk dan menyerah dan hanya sedikit saja yang melarikan diri secara liar karena takut akan hukuman yang pasti dijatuhkan kepada mereka. Seperti juga kota Teng-bun, kota pemberontak ke dua, Koan-bun, dengan mudah terjatuh ke tangan pemerintah setelah terjadi perang yang amat hebat di dalam kota itu. Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Thio dan dibantu oleh putera Jenderal Kao itu telah berhasil membasmi pemberontak yang telah kelelahan karena baru saja pasukan pemberontak bertanding mati-matian ketika mereka menghancurkan pasukan liar Tambolon.

   Apalagi di kota ini terdapat Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee yang telah berhasil mengusir tokoh hitam lihai yang membantu pemberontak, yaitu ketua Pulau Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya, Mauw Siauw Mo-li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng roboh pingsan karena luka-lukanya akibat pukulan-pukulan yang mengandung racun, terutama sekali pukulan yang diterimanya dari Hek-tiauw Lo-mo, karena tangan Ketua Pulau Neraka ini mengandung racun yang amat ampuh sehingga biarpun Ceng Ceng sendiri merupakan seorang ahli tentang racun, namun tetap saja dia menderita luka di sebelah dalam tubuhnya yang parah. Dengan hati penuh kekhawatiran, Suma Kian Lee memondong tubuh dara yang telah mencuri hatinya sejak pertama kali dia melihat dara ini di pasar kuda dahulu, mengikuti seorang perwira menuju ke sebuah gedung yang telah diduduki pasukan pemerintah.

   Setelah merebahkan tubuh yang mukanya kini pucat agak kehijauan itu di atas pembaringan, Kian Lee cepat duduk bersila di dekat gadis itu, meletakkan kedua tangannya di atas pundak Ceng Ceng dan mulailah dia mengerahkan tenaga sin-kang yang amat kuat untuk membantu gadis itu mengusir hawa beracun yang mengeram di dalam tubuhnya. Namun dengan amat terkejut dan heran Kian Lee merasakan betapa ada tenaga lain yang keluar melawan pengerahan tenaganya. Dia tidak tahu bahwa tubuh dara itu telah mengandung racun setelah dia menguasai ilmu tentang racun dari Ban-tok Mo-li dan melatih diri, tubuhnya menjadi beracun sehingga dara itu dapat mengerahkan hawa beracun yang amat hebat, bukan hanya di dalam pukulannya, bahkan di ludahnya sekalipun!

   Adalah hawa ini yang melawan ketika dia mengerahkan sin-kang untuk mengusir hawa beracun yang disangkanya adalah akibat pukulan-pukulan Hek-tiauw Lo-mo. Andai-kata pukulan Hek-tiauw Lo-mo itu merupakan pukulan beracun biasa saja, agaknya tidak akan mampu membuat Ceng Ceng terluka sedemikian beratnya. Akan tetapi pukulan Hek-tiauw Lo-mo adalah pukulan beracun yang dilatihnya dari kitab yang dapat dicurinya dari Dewa Bongkok, dan pukulan beracun ini hebat sekali, melebihi kehebatan hawa beracun di tubuh Ceng Ceng! Itulah sebabnya maka pemuda yang memiliki sin-kang murni dari Pulau Es ini akan tetapi bukan seorang ahli pengobatan, menjadi gagal dan bingung. Akan tetapi dia tidak menghentikan usahanya untuk menolong Ceng Ceng dan masih terus saja dia mengerahkan sin-kangnya,

   Tidak peduli bahkan ketika dia mulai merasa betapa ada perasaan gatal-gatal menjalar masuk melalui telapak tangannya. Dia tahu bahwa secara aneh sekali, ada hawa beracun yang menular kepadanya, akan tetapi dia tidak mempedulikan dirinya sendiri dalam keinginannya untuk menyembuhkan Ceng Ceng. Setengah hari lebih Kian Lee berusaha mati-matian untuk menyembuhkan gadis itu dengan sia-sia. Lewat tengah hari, Ceng Ceng siuman dari pingsannya dan terkejutlah dia ketika melihat pemuda tampan yang menolongnya itu duduk bersila, menempelkan kedua telapak tangan di kedua pundaknya dan dari kedua telapak tangan pemuda itu keluar hawa yang hangat. Apalagi ketika dia melihat betapa kedua tangan pemuda itu menjadi agak kehijauan, dia terkejut sekali, tahu apa yang telah terjadi dengan diri pemuda itu.

   "Jangan....! Hentikan itu....!"

   Katanya sambil bangkit duduk.

   "Tenanglah, Nona. Aku akan berusaha untuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuhmu...."

   "Jangan lakukan itu! Ah, engkau tidak tahu.... engkau mencari celaka sendiri....!"

   Ceng Ceng menolakkan kedua tangan pemuda itu dan duduk di pinggir pembaringan, kepalanya terasa pening sekali dan di dada kanan dan punggung terasa nyeri.

   "Engkau malah meracuni dirimu sendiri...."

   Katanya, suaranya agak terharu melihat tangan pemuda itu menjadi kehijauan.

   "Nona Lu, engkau terkena pukulan-pukulan beracun, kalau tidak segera dilenyapkan hawa beracun itu, amat berbahaya. Biarlah aku mencobanya lagi...."

   "Tidak! Engkau sendiri yang akan celaka.... ah, kau tidak tahu. Racun di tubuhku telah menular kepadamu. Lihat kedua telapak tanganmu."

   Kian Lee memandang kedua telapak tangannya.

   "Tidak mengapa, yang penting engkau harus terhindar dari bahaya maut."

   Ceng Ceng memandang pemuda itu penuh perhatian, alisnya berkerut ketika dia bertanya,

   "Engkau mengenalku?"

   Kian Lee mengangguk.

   "Engkau adalah Nona Lu Ceng, saudara angkat Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, engkau seorang dara perkasa yang berjiwa pahlawan, engkau hampir mengorbankan nyawa sendiri ketika menolong Jenderal Kao Liang, sekarang engkau pun terancam bahaya maut setelah engkau berhasil mengadu domba Tambolon dengan pemberontak. Engkau seorang dara yang hebat, Nona Lu."

   Jantung gadis ini berdebar tegang dan aneh. Pandang mata pemuda ini mengingatkan dia akan pandang mata Pangeran Yung Hwa, sungguhpun sikapnya tidak seperti pangeran itu yang menyatakan cintanya terang-terangan! Pandang mata seorang pria yang mencintanya!

   "Kenapa.... kenapa engkau berusaha menolongku dengan menempuh bahaya? Kau bisa keracunan dan mati!"

   Suma Kian Lee tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Aku tidak akan mati, Nona, dan andaikata mati pun kalau dapat menyelamatkan engkau dari bahaya maut, hatiku akan puas."

   "Hemm, kau siapakah namamu?"

   "Namaku Suma Kian Lee dan.... ohh, engkau kenapa, Nona?"

   Dia hendak menubruk maju dan sudah mengulur tangan, akan tetapi dia tidak berani memegang atau menyentuh tubuh itu demi kesopanan. Ceng Ceng memegang kepalanya yang terasa pening sekali. Dia menguatkan dirinya dan membuka matanya lagi.

   "Engkau pernah kulihat.... ah, lupa lagi aku di mana...."

   "Di pasar kuda, dan kedua kalinya di waktu engkau hendak ditangkap oleh Hek-tiauw Lo-mo...."

   Kian Lee berhenti sebentar dan memandang wajah yang cantik itu penuh perhatian, karena dia teringat betapa jauh bedanya keadaan dara itu dalam dua kali pertemuan itu. Yang pertama dara itu kelihatan lincah jenaka dan gembira, akan tetapi yang kedua kalinya dara itu menjadi dingin dan amat ganas.

   "Dan yang ketiga kalinya aku dan adikku melihat engkau di rumah Jenderal Kao di kota raja, akan tetapi engkau terus berlari pergi. Nona Lu, biarkan aku mengobatimu, kalau engkau sudah sembuh baru kita bicara lagi."

   Kian Lee khawatir sekali melihat wajah cantik yang kehijauan itu. Ceng Ceng menggeleng kepala lalu bangkit berdiri, agak terhuyung dan dia terpaksa berpegang kepada punggung kursi.

   "Tidak, tidak ada gunanya. Engkau tidak akan dapat menyembuhkan aku, tidak ada yang dapat menyembuhkan.... biarkan aku pergi saja dari sini...."

   "Heh! Siapa bilang tidak ada orang dapat menyembuhkan? Aku belum pernah melihat penyakit yang tak dapat kusem-buhkan!"

   Kian Lee cepat menengok, dan dengan mata sayu Ceng Ceng yang pandang matanya berkunang itu pun menoleh ke arah pintu.

   "Sute, kau kenapa....?"

   Gak Bun Beng cepat menghampiri Kian Lee, menangkap tangan pemuda itu dan memeriksanya.

   "Ahh, kau keracunan!"

   Pendekar itu berseru kaget.

   "Dia.... dia keracunan.... ketularan oleh racun di tubuhku...."

   Ceng Ceng berkata lemah.

   "Biarkan aku pergi...."

   Dia terhuyung hendak menuju ke pintu.

   "Dia keracunan hebat, dan pemuda ini pun keracunan,"

   Kata kakek yang datang bersama Gak Bun Beng, seorang kakek yang aneh, membawa tongkat dan pandang matanya tidak acuh.

   "Akan tetapi jangan mengira aku tidak dapat menyembuhkan!"

   Kakek ini adalah Sin-ciang Yok-kwi Kwan Siok.

   Seperti telah diketahui kakek ini adalah ahli pengobatan yang pernah bertemu dan bahkan mengadu kepandaian dengan Gak Bun Beng yang ketika itu sedang sakit dan melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi. Biarpun wataknya aneh bukan main, Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti) ini adalah seorang yang benci terhadap pemberontakan, maka begitu mendengar bahwa Koan-bun dan Teng-bun diserbu oleh pasukan-pasukan pemerintah, dia cepat datang dan membantu. Kebetulan dia bertemu dengan Gak Bun Beng di Koan-bun. Kehadiran seorang ahli pengobatan tentu saja penting sekali bagi Bun Beng karena di dalam perang terjatuh banyak korban yang perlu dengan pengobatan, apalagi dia juga teringat gadis yang telah menderita keracunan hebat, maka dia mengajak Sin-ciang Yok-kwi untuk menyusul Kian Lee setelah dia menyelesaikan bantuannya terhadap serbuan tentara pemerintah.

   "Yok-kwi, kalau begitu cepat obati mereka. Nona ini adalah Nona Lu Ceng, seorang nona muda yang berjiwa pahlawan, dan pemuda ini suteku."

   Lu Ceng menudingkan telunjuknya ke arah Gak Bun Beng.

   "Engkau mengenal aku, akan tetapi siapakah kau....?"

   Kian Lee seakan-akan hendak menutupi sikap suhengnya, maka cepat dia berkata,

   "Nona Lu, dia ini adalah suhengku, Gak Bun Beng.... Eh, kenapa?"

   Dia terkejut sekali melihat Ceng Ceng membelalak-kan matanya, memandang kepada Gak Bun Beng seperti orang melihat setan, kemudian dia menggeleng kepala keras-keras.

   "Bohong! Gak Bun Beng sudah mati....!"

   Dan dia pun terguling dan tentu akan terbanting jatuh kalau tidak ditangkap oleh Kian Lee yang selalu siap di dekatnya. Dara itu telah pingsan.

   "Suheng...."

   Kian Lee memandang Gak Bun Beng dan dari pandang mata ini saja cukup jelaslah bagi pendekar itu apa yang terkandung di dalam hati sutenya itu. Hatinya merasa terharu, karena dia pun pernah merasakan dorongan cinta kasih pertama seperti yang dialami sutenya pada saat itu. Maka dia lalu menoleh kepada Sin-ciang Yok-kwi.

   "Yok-kwi, kalau engkau tidak cepat menolong mereka berdua ini, pandanganku terhadap kemampuanmu akan menurun!"

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Bun Beng dengan muka sungguh-sungguh. Sin-ciang Yok-kwi tidak menjawab, alisnya berkerut dan kedua tangannya sudah mulai memeriksa Ceng Ceng yang direbahkan kembali oleh Kian Lee di atas pembaringan. Makin dalam kerut di muka kakek itu dan beberapa kali dia mengeluarkan seruan aneh. Sampai lama dia memeriksa tubuh Ceng Ceng, kemudian dia membalik kepada Kian Lee yang duduk di pinggir pembaringan lalu memeriksa pemuda itu, memeriksa kedua tangannya yang menghijau sampai ke bawah siku, memeriksa detik jantungnya pula. Kakek itu terhenyak ke atas kursi, matanya memandang kosong melalui pintu kamar itu.

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 2 Sepasang Pedang Iblis Eps 24 Sepasang Pedang Iblis Eps 23

Cari Blog Ini