Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 19


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



"Ha-ha-ha-ha, kiranya kalian ini hanyalah penculik-penculik hina!"

   Bentak Ban Hwa Sengjin sambil tertawa bergelak penuh ejekan.

   "Seperti sekumpulan maling kesiangan saja. Setelah bertemu dengan kami, lebih baik kalian menyerah daripada mati konyol!"

   Biarpun suaranya agak kaku namun ternyata Koksu Nepal ini pandai sekali berbicara dalam bahasa daerah. Sai-cu Kai-ong marah sekali.

   "Manusia sombong! Engkau menjadi kaki tangan pemberontak, padahal kulihat engkau bukanlah orang Han. Agaknya engkau malah yang membujuk Gubernur Ho-nan untuk memberontak. Sekarang bertemu dengan aku Sai-cu Kai-ong, berarti ajalmu sudah berada di depan mata! Siapakah engkau, orang asing?"

   "Ha-ha-ha-ha! Aku adalah sahabat baik dari Gubernur Ho-nan, dan namaku Ban Hwa Sengjin. Kini aku bertugas menangkap kalian maling-maling kecil. Julukanmu Sai-cu Kai-ong? Ha-ha, biarpun suaramu seperti seekor sai-cu (singa) namun engkau menghadapi aku seperti seekor singa ompong, jembel busuk!"

   Dimaki singa ompong dan jembel busuk yang tentu diambil dari julukannya sebagai Kai-ong (Raja Pengemis), kakek gagah itu menjadi marah bukan main.

   "Siauw-ji, kau jaga beliau,"

   Katanya sambil menunjuk Pangeran Yung Hwa yang berdiri di belakangnya, kemudian dengan langkah lebar dia menghampiri Ban Hwa Sengjin yang dengan sikap tenang telah turun dari atas punggung kudanya.

   "Ban Hwa Sengjin pengecut hina! Kau mengandalkan pasukanmu yang jumlahnya dua puluh orang lebih ini untuk menggertak kami? Kaukira kami takut?"

   Sai-cu Kai-ong membentak.

   "Ha-ha, mereka ini hanya menjadi pengantarku. Dengan tenagaku sendiri aku mampu merobohkan kalian semua, satu demi satu atau berbareng. Kalau aku tidak dapat mengalahkan kalian, biarlah kalian lewat tanpa kami ganggu."

   Ucapan ini merupakan kesombongan yang hebat.

   
"Benarkah itu? Apakah manusia macam engkau akan dapat menahan diri untuk tidak bersikap curang dan dapat memegang janji?"

   Alis yang tebal itu berkerut.

   "Sai-cu Kai-ong, tahan sedikit mulutmu. Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah seorang koksu dari Kerajaan Nepal, tahu?"

   Bentak Ban Hwa Sengjin.

   "Ah, kiranya begitu?"

   Sai-cu Kai-ong berseru. Mengertilah kini dia mengapa orang Nepal ini berada di sini. Kiranya dalam usahanya untuk memisahkan diri dari kaisar, Gubernur Ho-nan telah mendekati dan mengadakan hubungan rahasia dengan Kerajaan Nepal di barat!

   "Nah, majulah menyerahkan nyawamu!"

   Ban Hwa Sengjin melangkah maju dengan tangan kosong sambil tersenyum mengejek.

   "Sambutlah!"

   Sai-cu Kai-ong membentak dan sudah menerjang ke depan dengan gerakan tangkas dan karena dia dapat menduga akan kelihaian kakek botak ini, maka begitu dia menyerang langsung dia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu keluarga turun-temurun dari nenek moyangnya.

   Ilmu ini dinamakan Khong-sim-sin-ciang (Ilmu Pukulan Tangan Sakti Hati Kosong), sesuai dengan nama perkumpulan pengemis yang dipimpin oleh nenek moyangnya, yaitu perkumpulan Khong-sim-kai-pang. Ilmu pukulan ini amat lihai, kelihatan kosong namun berisi dan memang inti ilmu pukulan ini berdasarkan kekosongan. Menurut dongeng yang diceritakan turun-temurun dalam keluarganya, nenek moyangnya adalah orang-orang yang suka sekali mempelajari Agama To dan dari pelajaran Agama To inilah maka Ilmu Khong-sim-sin-cang itu diciptakan. Menurut cerita neneknya dahulu, dalam keluarga Yu terdapat ayat dari Kitab To-tik-khing yang amat mereka junjung tinggi, yaitu pelajaran dari Nabi Lo Cu tentang kekosongan yang menjadi inti dari segalanya, bahkan yang berisi tidak akan ada gunanya tanpa ada kekosongan itu seperti disebutkan dalam ayat ke sebelas dari Kitab To-tik-khing.

   "Tiga puluh ruji berpusat pada satu poros roda, pada tempat yang kosong terletak kegunaannya. Dari tanah liat dibuatlah jembangan, pada tempat yang kosong terletak kegunaannya. Lubang pintu dan jendela dibuat untuk rumah, pada tempat yang kosong terletak kegunaannya."

   Selain ayat dari To-tik-khing itu, juga masih banyak wejangan keluarga turun-temurun yang mengingatkan mereka akan pentingnya kekosongan,

   Antara lain dinyatakan bahwa di dalam setiap langkah kaki, jarak yang dilewati antara kedua kaki, yaitu yang tidak terinjak, yang kosong itulah yang berguna karena tanpa itu tidak akan ada kemajuan dalam langkah kaki. Juga keindahan dan kenikmatan sebuah lagu tidak akan terasa lagi tanpa adanya jarak-jarak yang kosong antara satu dan lain nada! Serangan yang dilancarkan oleh Sai-cu Kai-ong hebat bukan main. Kelihatannya sih ringan dan kosong saja, akan tetapi begitu anginnya menyambar, seorang sakti seperti koksu dari Nepal itu sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat dia mengelak. Jubahnya yang lebar dan merah itu sampai berkibar terkena hembusan hawa pukulan yang sifatnya kosong namun berisi penuh dengan kekuatan dahsyat itu!

   Dia cepat membalas dengan pukulan yang tidak kalah dahsyatnya sehingga Sai-cu Kai-ong juga terkejut dan cepat melompat ke samping karena dia tidak berani menyambut pukulan yang amat hebat itu. Terjadilah pertandingan hebat dan keadaan sekeliling tempat itu disambar oleh hawa-hawa pukulan kuat sekali sehingga dua puluh orang lebih pengawal yang mengiringkan Ban Hwa Sengjin terpaksa mundur karena kuda mereka meringkik ketakutan dan gelisah sekali. Bahkan Pangeran Yung Hwa juga cepat bersembunyi di balik tubuh Siauw-hong karena merasa ngeri. Akan tetapi, seorang yang sudah menjadi koksu sebuah negara, bahkan kini menjadi utusan raja, tentu saja adalah seorang yang memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Dahulu, di jaman Kera-jaan Beng-tiauw, seorang utusan kaisar seperti Panglima Besar The Hoo juga merupakan seorang yang luar biasa saktinya,

   Juga semua utusan raja-raja dari semua negara tentulah merupakan seorang tokoh pilihan yang berilmu tinggi. Demikian pula dengan Ban Hwa Sengjin ini. Ilmu kepandaiannya amat tinggi karena boleh dibilang dia merupakan tokoh nomor satu yang dikenal orang di negara Nepal, maka tentu saja dia telah membekali dirinya dengan ilmu-ilmu yang amat hebat. Tidak hanya ilmu silat, akan tetapi juga dia mahir sekali dalam ilmu sihir dan ilmu perang, juga ahli dalam soal-soal kenegaraan! Kini, menghadapi seorang lawan yang demikian lihainya seperti Sai-cu Kai-ong, dia merasa gembira dan dia tidak mau menggunakan ilmu sihirnya selama ilmu silatnya masih belum kalah. Dan dia selama ini menganggap bahwa tidak mungkin ilmu silatnya dapat dikalahkan orang lain!

   Memang, amat berbahayalah bagi seorang manusia yang merasa telah mempelajari ilmu sampai tinggi, apalagi kalau sudah menerima sanjungan-sanjungan orang lain! Seorang yang dipuji-puji orang lain, kepalanya menjadi seperti sebuah balon karet yang ditiup, penuh oleh angin pujian sehingga kepalanya melembung besar dan dia merasa bahwa dialah orang yang terpandai, terbaik dan segala macam "ter"

   Lagi. Dan kalau sudah demikian, dia menjadi orang yang setolol-tololnya, sebodoh-bodohnya dan patut dikasihani. Maka, seorang bijaksana akan selalau waspada akan semua kekurangan dan kebodohan diri sendiri sampai saat kematian tiba, karena hanya dengan kewaspadaan ini saja maka dia dapat melihat betapa bahayanya semua pujian yang diterimanya dalam keadaan bagaimanapun juga.

   Akan tetapi Ban Hwa Sengjin terang tidak bijaksana. Dia sudah dihinggapi penyakit angkuh dan menganggap diri sendiri orang terpandai di dunia ini. Dan memang ilmu kepandaiannya hebat dan bahkan Sai-cu Kai-ong yang merupakan ahli waris dari ilmu keturunan yang amat mujijat itu ternyata kalah kuat dibandingkan dengan Ban Hwa Sengjin sehingga setelah lewat seratus jurus, Raja Pengemis itu terdesak hebat dan dalam satu pertemuan tenaga ketika kedua tangan mereka bertemu, Sai-cu Kai-ong terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Napasnya menjadi sesak dan kepalanya pening, tanda bahwa dia telah mengalami luka walaupun tidak sangat berat, akan tetapi dia harus berdiam diri. dan cepat mengumpulkan hawa murni untuk menyembuhkan lukanya. Siluman Kecil atau Suma Kian Bu menyerahkan Kian Lee kepada Siauw-hong. Dia akan maju sendiri.

   "Hati-hati, Bu-te. Dia memang lihai sekali, aku sendiri pernah melawan dia dan hampir aku celaka...."

   Bisik Kian Lee kepada adiknya ketika dia diserahkan kepada Siauw-hong untuk dipondong karena dia tidak kuat untuk berdiri sendiri. Kian Bu mengangguk dengan sikap tenang

   "Jangan khawatir, Koko."

   Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri Ban Hwa Sengjin. Kcksu Nepal yang sudah memperoleh kemenangan itu menjadi makin sombong sikapnya. Melihat bahwa yang maju hanya seorang pemuda, tentu saja dia memandang rendah. Kakek yang berjuluk Raja Pengemis dan yang benar-benar sakti tadi saja tidak kuat melawannya. Apalagi pemuda ini? Masih begini muda, pantas menjadi anaknya, bahkan cucunya, biarpun rambut pemuda ini sudah putih semua!

   "Kau mau apa?"

   Tanyanya dengan sikap memandang rendah.

   "Ban Hwa Senjin, kalau aku mampu mengalahkanmu, bagaimana?"

   Kian Bu bertanya.

   "Kau? Mengalahkan aku? Ha-ha-ha, tidak mungkin, orang muda!"

   "Kalau aku kalah, kami semua menyerah kepadamu, Ban Hwa Sengjin. Akan tetapi, bagaimana kalau kau yang kalah?"

   "Ha-ha, bocah lancang. Dengar baik-baik. Kalau kau mampu mempertahankan diri terhadap seranganku selama dua puluh jurus saja, biarlah aku mengaku kalah dan kalian boleh lewat!"

   "Engkau adalah Ban Hwa Sengjin, jagoan besar dan koksu dari Kerajaan Nepal. Akan tetapi apakah omongan seorang koksu dari Nepal dapat dipercaya sepenuhnya? Apakah nanti engkau tidak akan menarik kembali omonganmu, menjilat kembali ludah yang telah dikeluarkan, dan benar-benar kalau aku mampu mempertahankan diri terhadap seranganmu selama dua puluh jurus, engkau mengaku kalah dan kami semua boleh lewat?"

   Tanya Siluman Kecil yang sengaja menekankan hal pelanggaran janji itu agar menyinggung kehormatan koksu yang kelihatan lihai sekali ini. Dan anak panah yang dilepaskan berupa kata-kata ini tepat mengenai sasarannya. Wajah Ban Hwa Sengjin menjadi merah sekali, seluruh muka sampai ke kepalanya yang botak menjadi merah, semerah mantelnya dan kedua tangannya yang besar itu dikepalkan. Dia menjadi marah dan tersinggung.

   "Bocah bermulut lancang! Kau kira, aku orang macam apa? Orang-orang seperti aku, janji lebih berharga daripada nyawa, mengerti? Akan tetapi, sebaliknya kalau dalam dua puluh jurus kau tidak mampu mempertahankan diri, kalau kau tidak sampai kupukul mampus, engkau dan semua temanmu selain harus menyerah dan tunduk, juga harus mentaati semua perintahku!"

   Siluman Kecil diam-diam merasa girang dan kini dia yakin bahwa tentu si botak tinggi besar ini tidak akan ada muka lagi untuk melanggar janjinya sendiri.

   "Baik, kalau sampai aku roboh sebelum dua puluh jurus, engkau memang pantas menjadi kakek buyutku yang harus kutaati!"

   "Nah, sambutlah ini jurus pertama!"

   Ban Hwa Sengjin berseru, dan tubuhnya yang tinggi besar itu sudah bergerak cepat ke depan, demikian cepat gerakannya sehingga mantelnya yang merah itu sampai berkibar di belakangnya seperti layar perahu tertiup angin. Kedua tangannya sudah melancarkan serangan dahsyat sekali, tangan kiri membentuk cakar garuda mencengkeram ke arah batok kepala Siluman Kecil atau Kian Bu, sedangkan tangan kanannya dengan jari tangan terbuka menghantam ke arah dada!

   Cakaran tangan kiri itu kelihatannya amat menyeramkan dan agaknya kalau mengenai kepala, akan remuklah kepala itu, dan dilakukan dengan amat cepat sedangkan tangan kanan yang menghantam ke arah dada itu sebaliknya gerakannya lambat dan perlahan. Namun, Kian Bu yang sejak kecil menerima gemblengan ilmu-ilmu yang amat tinggi sudah tahu bahwa cakaran itu hanya merupakan kembangan saja atau gertakan, sedangkan serangan yang sesungguhnya dan merupakan inti pukulan adalah yang dilakukan oleh tangan kiri itu, karena tangan kiri kakek raksasa itu melakukan pukulan yang mengandung tenaga mujijat yang dapat disebut Hun-kin Coh-kut (Memutuskan Otot dan Melepaskan Tulang). Kalau pukulan itu mengenai dadanya dengan tepat, tentu akan, copot semua tulang iganya!

   Karena maklum akan hebatnya serangan jurus pertama inj, Kian Bu cepat melindungi dirinya dengan Ilmu Silat Sin-coa Kun-hoat (Ilmu Silat Ular Sakti). Kedua lengannya bergerak cepat dan meliuk-liuk seperti gerakan ular dan tubuhnya juga dapat meliuk cepat, sekali sehingga tidak sukarlah baginya untuk mengelak dan menangkis dua lengan lawan itu dari samping dengan meminjam tenaga pukulan lawan. Ilmu Silat Sin-coa Kun-hoat ini adalah merupakan satu di antara banyak ilmu-ilmu silat yang tinggi dari ibunya, yaitu Puteri Nirahai, yang telah diwariskan kepada Kian Bu. Tentu saja, gerakan ilmu silat yang ba-gaimana tinggi pun tidak akan banyak manfaatnya tanpa dilandasi tenaga sinkang yang kuat, maka gerakan Sin-coa Kun-hoat ini oleh Kian Bu didorong dengan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang panas.

   "Plak-plak....!"

   Kedua lengan kakek raksasa botak itu kena ditangkis sehingga menyeleweng karena tangkisan dari samping itu mendorong tenaga serangannya dan dia merasa kedua lengannya panas sekali.

   "Ehhh....!"

   Ban Hwa Sengjin terkejut. Kalau pemuda itu hanya dapat mengelak atau menangkis serangannya yang pertama itu, tidaklah amat mengejutkan karena seorang pemuda yang sudah berani menghadapinya tentulah mempunyai juga sedikit kepandaian. Akan tetapi, tangkisan pemuda itulah yang membuat dia tanpa disadarinya mengeluarkan seruan kaget karena dia merasakan adanya tenaga mujijat yang panas sekali menyerang dirinya melalui pertemuan kedua lengan itu. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman banyak, Ban Hwa Sengjin segera dapat mengenal sifat gerakan lawan.

   Dia mengenal ilmu silat yang mendasarkan gerakannya dan sifatnya dengan sifat dan gerakan ular. Semua ilmu silat yang mendasarkan gerakan dan sifatnya dengan ular adalah gerakan yang memupuk tenaga Khi (hawa) yang dilatih dengan aturan pernapasan. Karena tenaga Khi inilah maka seekor ular kelihatan lunak dan lembut tanpa tenaga kalau tubuhnya menyentuh sesuatu, akan tetapi dia dapat menarik kekuatan hebat luar biasa setiap saat! Seperti baja yang terbaik, dapat menjadi benda yang paling keras, akan tetapi juga dapat dibuat menjadi kawat yang paling lembut dan lemas. Gerakan ilmu silat ular amat lemas dan cekatan, terus-menerus bergerak lembut namun kuat. Kedua jari telunjuk dan jari tengah mematuk-matuk seperti lidah ular dan merupakan serangan totokan yang ampuh.

   Karena sudah mengenal sifat Sin-coa Kun-hoat, maka Ban Hwa Sengjin tahu bagaimana harus menghadapinya. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas, seperti seekor burung garuda hendak menyerang seekor ular dia menerjang dan menyerang Kian Bu dengan jurus yang ke dua. Akan tetapi, Kian Bu adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat cara penyerangan lawan, dia pun maklum bahwa menggunakan Sin-coa Kun-hoat untuk menyambut serangan dari atas itu amat berbahaya, maka secara otomatis dia sudah mengubah gerakan tubuhnya, kini dia bergerak menurut Ilmu Silat Pat-mo Kun-hoat, juga ilmu warisan dari ibunya yang memang kaya dengan segala macam ilmu silat itu. Gerakannya menjadi kacau-balau tidak karuan, membingungkan lawan akan tetapi di dalam kekacauan ini terdapat gerakan inti yang amat tertib.

   "Des-des-plakkk!"

   Kini tubuh Ban Hwa Sengjin yang masih di udara itu terpental dan dia meloncat turun dengan mata terbelalak lebar dan muka makin merah karena penasaran dan marahnya. Ternyata jurus ke duanya itu dihancurkan oleh pemuda itu dengan amat mudah dan aneh sekali, seolah-olah pemuda itu tahu ke mana dia hendak menyerang dan mendahuluinya dengan tusukan sehingga terpaksa dia menangkis sampai dua kali dan akhirnya terpental karena tahu bahwa kalau dia tidak cepat-cepat menjauhkan diri, dia malah yang terancam bahaya, maka dalam pertemuan tangkisan berikutnya dia telah meminjam tenaga lawan dan melemparkan dirinya ke belakang sehingga terpental.

   "Hemmm, kau boleh juga!"

   Katanya dengan tenang untuk menutup rasa kagetnya, kemudian sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau terluka, dia sudah menyerang dan kini dia bergerak cepat sambil memutar tubuhnya seperti gasing! Itulah ilmunya yang amat diandalkan oleh koksu dari Nepal ini. Ilmu ini adalah ilmu yang dinamakan Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) yang diumpamakan seperti mengamuknya angin taufan yang mengan-dung angin puyuh berputaran,

   seperti badai dahsyat yang amat mengerikan. Dan memang hebat bukan main gerakan dari kakek botak ini. Tubuhnya berputaran seperti gasing, kedua lengannya yang panjang bergerak-gerak dan dalam putaran itu seolah-olah kedua tangan telah berubah menjadi puluhan maut yang amat cepat tidak terduga dan dari gerakan memutar itu meniup angin yang seperti angin puyuh ke arah lawan. Hebat bukan main dan bahkan Suma Kian Bu sendiri sampai terkejut sekali. Selama ini, baru dua kali dia bertemu lawan yang benar-benar amat hebat, yaitu yang pertama adalah Sin-siauw Seng-jin yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Sakti Suling Emas, dan ke dua adalah koksu dari Nepal inilah. Tentu saja perlawanannya ketika menghadapi kakaknya sendiri tidak masuk hitungan.

   Agaknya Ban Hwa Sengjin setelah melihat kelihaian lawan selama dua jurus tadi, merasa khawatir kalau-kalau dia sampai kalah, maka langsung saja dia mainkan ilmu silat kosong yang menjadi andalannya itu untuk mencoba merobohkan lawan. Dan memang Kian Bu menjadi kaget sekali. Masih banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang dikuasainya, baik yang diwarisi dari ayahnya maupun dari ibunya. Namun dia maklum bahwa menghadapi ilmu silat lawan yang amat aneh dan dahsyat ini, dia tidak boleh percaya kepada ilmu-ilmu silat lain yang dikuasainya, karena hal itu dapat membahayakan dirinya. Sukar sekali untuk menghadapi serangan dari bayangan yang berpusing seperti gasing itu sehingga dia tidak lagi dapat melihat jelas bagian-bagian tubuh lawan, bahkan serangan-serangan lawan yang mencuat dari pusingan itu sukar pula diduga-duga.

   Maka terdengarlah suara melengking dari mulut Siluman Kecil ini dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat dan lenyap dari pandangan para pengikut Ban Hwa Sengjin dan yang lain-lain. Demikian cepatnya gerakan Kian Bu yang tubuhnya mencelat ke sana-sini seperti kilat menyambar-nyambar sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata. Itulah ilmunya yang baru, ilmu ciptaannya sendiri yang disebut Sin-ho-coanin. Dengan gerakan seperti itu, semua serangan dari Ban Hwa Sengjin menjadi gagal! Ban Hwa Sengjin amat terkejut. Setiap kali tubuhnya yang berpusing itu menyerang dengan pukulan tangan yang cepat tak terduga, tiba-tiba saja tubuh lawan itu melesat dan lenyap! Dan ber-turut-turut dia telah menyerang sampai sembilan belas jurus! Kurang satu jurus lagi dan dia akan kalah! Tahulah dia bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang selain lihai sekali, juga amat cerdik.

   Pemuda itu sama sekali tidak mau balas menyerang! Dengan demikian, pemuda itu dapat memusatkan seluruh perhatiannya pada perlindungan diri saja sehingga akan dapat melewati dua puluh jurus dan tidak dapat dirobohkan, berarti menang! Kalau pemuda itu balas menyerang, tentu pertahanan dirinya menjadi berkurang kuatnya, akan tetapi satu kalipun Kian Bu tidak mau membalas serangan lawan. Tentu saja Ban Hwa Sengjin menjadi khawatir sekali. Tentu kalah dia kalau dalam jurus terakhir ini dia tidak mampu mengalahkan atau merobohkan pemuda ini. Dia harus menggunakan sihirnya! Dari sepasang matanya memancarkan cahaya amat aneh berpengaruh, dia menarik napas panjang mengumpulkan kekuatan mujijat lalu terdengar suara yang dalam dan berpengaruh sekali, mengandung kumandang aneh, berseru,

   "Lihat nagaku menerkammu!"

   Kian Bu terkejut bukan main dan terbelalak memandang ke atas ketika tiba-tiba saja dia melihat seekor naga hitam yang menyemburkan api menyerangnya dari atas udara. Tentu saja menghadapi ancaman hebat ini, seluruh perhatiannya tercurah ke atas dan dia tidak tahu bah-wa pada saat itu Ban Hwa Sengjin siap melancarkan serangan jurus terakhir!

   Semua orang, termasuk Kian Lee, menjadi khawatir sekali melihat adiknya itu tiba-tiba saja berdiri bengong memandang terbelalak ke atas, seolah-olah tidak lagi mempedulikan lawannya yang sudah siap untuk menerjangnya! Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, tertawa merdu halus akan tetapi juga nyaring dan mengandung pengaruh yang mujijat. Lalu oleh Kian Bu yang seperti baru sadar ketika mendengar suara ketawa itu, tampak seekor naga merah yang menyambar dan menerkam naga hitam itu. Terdengar suara keras dan naga hitam itu lenyap bersama naga merah dan sadarlah Kian Bu bahwa dia berada di bawah pengaruh sihir. Marahlah Siluman Kecil dan dia mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya, menggabungkan tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, lalu dia menyambut kakek itu yang sudah menyerangnya dengan ganas, serangan dari jurus terakhir!

   "Desss....!"

   Ban Hwa Sengjin terpental dan terbanting roboh ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Untung dia memiliki tenaga mujijat karena kalau tidak, tentu dia sudah mengalami luka-luka seperti tersiram air panas seperti yang diderita oleh Kian Lee.

   Dia hanya terbanting roboh dan pingsan saja, sebagian besar karena terpukul oleh kekuatan mujijatnya sendiri yang dipergunakan untuk menyihir dan ternyata membalik karena campur tangan wanita yang mengeluarkan suara ketawa tadi. Kian Bu cepat menengok ke kanan dan dia melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang berdiri lemas seperti batang pohon yang-liu, dan mulutnya tersenyum mengejek memandang kepadanya, seorang yang cantik manis, pakaiannya serba indah dan di bawah ketiak kirinya mengempit sebuah payung hitam. Dia merasa seperti pernah mengenal dara ini, akan tetapi dia lupa lagi di mana. Karena dia menduga bahwa tentu gadis ini yang telah menolongnya tadi dari bahaya maut akibat pengaruh sihir, maka dia lalu menjura ke arah gadis itu sambil berkata,

   "Terima kasih!"

   Akan tetapi pada saat itu, Sai-cu Kai-ong sudah cepat berkata,

   "Mari kita cepat pergi dari sini!"

   Dan dia sudah mendahului Kian Bu dengan menggendong Pangeran Yung Hwa. Kian Bu sadar bahwa memang mereka harus cepat pergi selagi Ban Hwa Sengjin yang lihai itu tidak berdaya, maka dia pun segera berkata kepada Siauw Hong,

   "Cepat kau ikuti Suhumu, biar aku yang menjaga dari belakang."

   Siauw Hong mengangguk dan sambil memondong tubuh Kian Lee, pemuda remaja ini pun cepat
(Lanjut ke Jilid 19)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19
berlari pergi mengejar suhunya, sedangkan Kian Bu berlari paling belakang untuk menjaga dua orang yang memondong Pangeran Yung Hwa dan kakaknya itu. Akan tetapi setelah melihat Ban Hwa Sengjin roboh, dan mengenal pula Siluman Kecil, para pengawal Gubernur Ho-nan itu sama sekali tidak berani bergerak dan membiarkan mereka pergi. Gadis cantik jelita yang tadi tersenyum-senyum, sekali berkelebat juga lenyap dari situ. Gadis ini tentu saja bukan lain adalah Siang In! Seperti kita ketahui, gadis ini masih terus mencari Syanti Dewi yang lenyap dari puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san, dari sarang Hwa-i-kongcu Tang Hun secara aneh, dan kebetulan saja dia menyaksikan pertandingan hebat antara Siluman Kecil dan koksu dari Nepal itu.

   Andaikata koksu itu tidak mempergunakan ilmu sihir, tentu Siang In tidak akan mencampuri pertandingan hebat itu, bahkan dia sendiri menonton dari kejauhan dengan kagum sekali karena maklum, bahwa yang sedang bertanding itu adalah dua orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri. Akan tetapi begitu melihat kakek raksasa botak itu mempergunakan ilmu hitam, tentu saja hatinya tertarik dan dia menjadi penasaran maka tanpa diminta dia lalu turun tangan membuyarkan pengaruh sihir itu. Bukan sengaja untuk mendukung orang muda yang rambutnya putih dan aneh itu, melainkan hanya karena dia selalu tertarik oleh pertunjukan ilmu sihir karena dia sendiri adalah seorang ahli sihir!

   Dia pangling terhadap Kian Bu karena pemuda itu kini rambutnya sudah menjadi putih semua dan dia pun hanya melihat wajah pemuda itu dari jarak yang cukup jauh. Padahal, telah lama dia mencari pemuda ini! Akhirnya tibalah mereka di perkemahan pasukan yang dipimpin oleh Sai-cu Kai-ong dari kota raja itu. Legalah hati Sai-cu Kai-ong karena kini dia yakin bahwa dia telah berhasil menyelamatkan Pangeran Yung Hwa dari bahaya maut. Maka begitu mereka tiba di ruangan dalam dari kemah induk yang ditinggali oleh Sai-cu Kai-ong, kakek yang gagah perkasa ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Yung Hwa untuk memberi hormat. Dengan hati terharu pangeran yang rendah hati dan selalu ramah ini memeluk dan mengangkat bangun kakek itu sambil berkata,

   "Locianpwe, jangan menggunakan terlalu banyak sikap sungkan terhadap saya. Pada saat ini saya hanyalah seorang yang telah berhutang budi dan nyawa kepada kalian semua. Sebaiknya Locianpwe cepat-cepat menolong Suma Kian Lee yang terluka parah itu."

   Sai-cu Kai-ong mengangguk dan merasa girang karena kini dia memperoleh kenyataan akan kebenaran berita di luaran tentang sikap Pangeran Yung Hwa yang bijaksana dan baik terhadap siapa saja. Di samping merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membantu kerajaan, juga dia merasa girang telah membantu seorang pangeran yang begitu menyenangkan sikapnya. Cepat dia lalu menghampiri Kian Lee yang sudah direbahkan di atas pembaringan dan cepat dia melakukan pemeriksaan dengan teliti. Setelah melakukan pemeriksaan agak lama, Sai-cu Kai-ong lalu berkata kepada Kian Bu yang mengikuti pemeriksaan itu penuh perhatian.

   "Taihiap, sungguh baru satu kali ini aku melihat kehebatan-kehebatan yang amat luar biasa. Akibat pukulan darimu amat mengerikan, akan tetapi daya tahan kakakmu ini juga amat luar biasa. Kalau bukan dia yang mengalami pukulan seperti ini, agaknya dia akan kehilangan seluruh sumber tenaga murninya dan akan menjadi seorang penderita cacad selama hidupnya "

   "Ahhh, Locianpwe....!"

   Kian Bu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

   "Harap Locianpwe sudi mengusahakan agar kakakku dapat sembuh....!"

   Dia berkata dengan muka pucat dan hati menyesal bukan main. Sai-cu Kai-ong tersenyum dan membangunkan pemuda itu.

   "Jangan khawatir, Taihiap. Kakakmu ini memiliki dasar kekuatan yang tidak lumrah manusia berkat sinkang yang selama hidup belum pernah kusaksi-kan demikian kuatnya sehingga dia hanya mengalami luka yang tidak membahayakan nyawanya. Akan tetapi, luka itu kalau kuobati dengan obat-obat biasa, akan memakan waktu berbulan-bulan. Hanya ada semacam obat yang kutahu akan dapat menyembuhkannya secara cepat sekali, akan tetapi aku sangsi apakah kita akan dapat memper-oleh obat itu...."

   "Di mana tempatnya? Locianpwe, aku sendiri akan mencari obat itu!"

   Kian Bu berseru. Kakek itu mengerutkan alisnya,

   "Obat itu adalah semacam jamur yang amat mujijat dan tidak ada ke duanya di dunia ini. Jamur panca warna yang hanya nampak warnanya kalau berada di tempat gelap, karena di dalam tempat gelap itu jamur ini mengeluarkan sinar mencorong dan kelihatanlah warnanya seperti warna pelangi. Kalau terkena sinar terang, jamur itu menutupkan kelopaknya seperti jamur mati dan hanya di waktu gelap saja dia mekar, mengeluarkan sinar dan warnanya."

   Kian Bu mengangguk-angguk.

   "Sudah saya catat dalam hati tentang keadaan jamur itu, Locianpwe, lalu di mana tempatnya?"

   "Itulah sukarnya. Aku sendiri pun belum pernah ke sana, dan hanya mendengar penuturan seorang pendeta yang pernah tersesat ke sana. Tempat itu agaknya tidak mungkin didatangi orang. Pernah aku sendiri mencapai tebing itu, akan tetapi tidak melihat jalan turun saking terjal dan licinnya. Akan tetapi, melihat kesaktian Taihiap, siapa tahu kalau-kalau Taihiap dapat menuruninya. Pendeta yang kini telah meninggal itu pun hanya karena tersesat saja, karena kecelakaan dan terguling ke dalam jurang lalu mencoba mencari jalan keluar, maka dapat tiba di tempat itu dan dia pun sudah tidak tahu lagi bagaimana dia dapat sampai ke tempat itu. Dialah yang membawa jamur aneh itu dan memberikan kepadaku, sayang bahwa jamur itu sudah habis kupakai mengobati orang. Tempatnya di tepi Sungai Huang-ho. Mari kubuatkan gambaran petanya."

   Kakek yang gagah perkasa itu lalu memberi petunjuk kepada Kian Bu tentang letaknya tebing yang curam di pegunungan dekat muara Sungai Huang-ho itu sampai pemuda ini jelas benar akan tempat yang hendak dikunjunginya untuk mencarikan obat bagi kakaknya. Setelah merasa yakin bahwa dia akan dapat mencari tempat itu, Kian Bu lalu berpamit kepada kakaknya.

   "Lee-ko, harap tenangkan hatimu. Aku akan mencarikan obat jamur panca warna itu untukmu, dan percayalah, aku pasti akan bisa mendapatkan jamur itu. Harap kau baik-baik menjaga diri dan biarlah Sai-cu Kai-ong locianpwe yang akan merawatmu."

   Kian Lee memegang tangan adiknya.

   "Jangan terlalu lama, Bu-te. Kita belum puas bicara, bahkan aku belum tahu bagaimana riwayatmu sehingga selama lima tahun engkau menghilang dan tahu-tahu rambutmu telah menjadi putih semua dan ilmu kepandaianmu meningkat sedemikian hebatnya,"

   Kata Kian Lee dengan pandang mata penuh kasih sayang kepada adiknya.

   "Nanti saja kalau aku sudah kembali kita bicara sebanyaknya, Koko. Yang terpenting sekarang adalah obat untukmu."

   "Suma-taihiap, kalau engkau kembali dan melihat kami sudah tidak berada di sini, berarti pasukan kami telah ditarik mundur kembali ke kota raja dan aku akan membawa kakakmu ke tempat tinggalku di puncak Bukit Nelayan untuk beristirahat dan diobati. Kami mempunyai pondok di sana, di puncak Bukit Nelayan di tepi sungai, sebelah selatan kota Pao-teng."

   "Hati-hatilah mencari obat yang amat sukar didatangi tempatnya itu, Taihiap,"

   Kata Pangeran Yung Hwa yang hadir pula di situ.

   "Apakah perlu kiranya kau dikawal oleh pasukan? Mereka dapat membantumu"

   "Terima kasih, saya kira tidak perlu,"

   Jawab Kian Bu. Maka berangkatlah pemuda perkasa ini meninggalkan perkemahan pasukan itu, menggunakan kepandaiannya berlari cepat sekali menuju ke tempat yang telah digambarkan oleh Sai-cu Kai-ong kepadanya. Apapun yang akan dihadapinya, apa pun yang akan menimpanya, dia harus mendapatkan obat untuk kakaknya itu, demikian dia mengambil keputusan di dalam hatinya.

   Para pembaca yang pernah mengikuti pengalaman-pengalaman pendekar sakti Gak Bun Beng di waktu dia masih kecil, yaitu dalam cerita Sepasang Pedang Iblis, mungkin masih ingat ketika pendekar sakti itu di waktu masih kecil terlempar ke dalam air Sungai Huang-ho yang amat deras, kemudian dia diseret oleh pusaran air, disedot ke bawah dan dihanyutkan melalui terowongan aneh sampai dia mendarat di lambung gunung! Terowongan yang menembus dalam tubuh gunung itu merupakan terowongan maut dan hanya secara "kebetulan"

   Saja dia dapat selamat dan tiba di tempat yang luar biasa anehnya, tempat yang penuh dengan binatang setengah kera setengah anjing (baboon) di mana dia menemukan sepasang pedang iblis dan kitab-kitab Sam-po Cin-keng yang mujijat. Di tempat luar biasa itulah adanya jamur panca warna yang dimaksudkan oleh Sai-cu Kai-ong.

   Dan memang benar seperti yang dituturkan oleh Sai-cu Kai-ong, tempat itu tidak pernah atau tidak mungkin didatangi manusia. Pendeta Buddha yang kebetulan dapat tersesat ke situ adalah seorang hwesio pencari daun-daun obat yang hanya kebetulan saja dapat tiba di situ. Hwesio ini ketika sedang mencari obat di tebing dan menginjak sebuah batu telah tergelincir dan dia terjatuh ke dalam jurang yang amat terjal itu. Akan tetapi secara aneh, tubuhnya yang pingsan itu "diterima"

   Oleh sebatang pohon yang tumbuh di tebing. Tubuh itu ditangkap oleh cabang, ranting dan daun-daun pohon dan pohon kecil itu jebol, terbawa melayang turun dan akhirnya setelah mencelat ke sana-sini, tubuh itu terjatuh ke air!

   Itulah air anak sungai yang terbentuk dari air hujan dan yang mengalir masuk ke air terowongan yang dulu menghanyutkan pendekar sakti Gak Bun Beng! Dan karena kebetulan yang luar biasa ini hwesio itu dapat berada di situ. Setelah siuman dia lalu mencari jalan keluar, menemukan jamur panca warna yang belum diketahui khasiatnya dan hanya diambil karena sifatnya yang luar biasa. Setelah dia berusaha mati-matian sampai berbulan dan sampai lupa jalan, akhirnya dapat juga dia keluar dari tebing maut itu, melalui perjalanan yang amat jauh dan yang tidak dapat diingatnya kembali karena perjalanan itu menyusup-nyusup, naik turun jurang kecil dan memakan waktu sampai sebulan lebih baru dia dapat "keluar"

   Dari sana!

   Akan tetapi Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil bukanlah seorang manusia biasa, melainkan seorang pemuda yang telah memiliki kepandaian amat hebat. Maka setelah dia tiba di tempat yang dimaksudkan, dia menjenguk ke tepi tebing dan mengerutkan alisnya. Memang tidak mungkin bagi seorang manusia untuk menuruni tebing itu, tepat seperti yang dikatakan oleh Sai-cu Kai-ong. Agaknya keturunan pengemis sakti pendiri Khong-sim Kai-pang itu telah pula berdiri di tepi tebing ini, pikir Kian Bu. Dia sendiri kalau dalam keadaan biasa, tentu lebih baik cepat-cepat menjauhkan diri dari tebing itu, apalagi harus mencari jalan turun! Akan tetapi dalam keadaan seperti saat itu, untuk mencarikan obat bagi kakaknya, jangankan hanya te-bing yang curam, biar lautan api pun tentu akan ditempuhnya! Dengan mempergunakan ketajaman pandang matanya, Kian Bu dapat mengerti mengapa tidak mungkin ada orang dapat menuruni tebing itu.

   Kalau hanya curam saja, asalkan ada tempat untuk berpijak kaki dan berpegang tangan, pasti dia akan mampu menuruninya, betapa terjal sekalipun. Atau biarpun amat terjal, kalau dia sudah tahu bagaimana keadaan dasar tebing itu, tentu dia pun akan berani mempergunakan ilmunya Sin-ho-coan-in untuk berloncatan ke bawah dengan menggunakan dinding tebing sebagai penahan luncuran dan tempat menjejakkan kakinya. Akan tetapi tanpa mengetahui keadaan dasar tebing, padahal tenaga luncuran berat tubuhnya tentu akan luar biasa kuatnya dari tempat setinggi itu, berarti mempertaruhkan nyawa secara konyol. Dia dapat pula menggunakan Ilmu Pek-houw-yu-jong (Cecak Bermain-main di Tembok) dengan sinkang yang mengeluarkan daya sedot pada kaki tangannya yang telanjang untuk merayap menuruni tebing. Akan tetapi tentu saja ilmu itu hanya dapat dipergunakan untuk pendakian yang tidak begitu tinggi atau penurunan yang tidak securam tebing ini.

   Dia tentu sudah akan kehabisan tenaga sebelum mencapai seperempat jarak tebing itu dan kehabisan tenaga berarti akan melayang jatuh dan mati dalam keadaan tubuh hancur lebur! Menggunakan tali? Mana mungkin mencari tali yang panjangnya seperti itu? Pula, merayap turun ke tebing menggunakan tali berarti menggantungkan nyawa pada tali itu, padahal tali itu terikat di atas tebing. Sekali bacok saja tali di atas tebing itu oleh musuh, nyawanya akan melayang. Kian Bu duduk termenung di tepi tebing dengan alis berkerut. Betapapun juga, dia tidak akan menyerah begitu saja! Dia harus mencari akal dan kembali dia menjenguk ke bawah. Memang terjal bukan main sampai dia tidak dapat melihat jelas keadaan di bawah sana. Jangankan seorang manusia, bahkan seekor monyet sekalipun kiranya tidak akan mungkin menuruni tebing ini, pikirnya.

   Kadang-kadang ada kabut melayang di bawah sehingga menutupi keadaan bawah tebing sama sekali. Tiba-tiba dia melihat seekor burung terbang melayang. Seekor burung walet hitam dan dia memandang dengan penuh iri. Kalau aku bersayap seperti burung itu! Alangkah akan mudahnya menuruni tebing ini, pikirnya. Jangankan baru tebing ini, biar naik ke langit pun tiada sukarnya bagi seekor burung yang bersayap! Kembali dia menjenguk ke bawah, bahkan tubuh atasnya condong ke tepi tebing. Dia tidak melihat bahwa ada bayangan hitam berkelebat di belakangnya. Kalau saja perhatiannya tidak tercurah sepenuhnya ke bawah tebing dan untuk mencari jalan turun ke bawah, tentu pendengarannya yang sudah terlatih dan menjadi tajam luar biasa berkat sinkangnya itu akan dapat menangkap gerakan si bayangan hitam ini, betapapun cekatan dan ringan gerakan si bayangan hitam ini.

   "Heiii, jangan coba bunuh diri....!"

   Tiba-tiba terdengar seruan halus dan nyaring itu yang membuat Kian Bu terkejut bukan main. Dalam keadaan melamun dan menjenguk ke dalam tebing seperti itu lalu tiba-tiba mendengar bentakan yang demikian nyaring, benar-benar amat membahayakan.

   Seorang yang lemah jantungnya tentu akan terperanjat dan dapat saja terjungkal ke dalam jurang! Dia cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak memandang, kemudian dia mengerutkan alisnya dengan hati mengkal. Kiranya di situ telah berdiri gadis cantik jelita berpakaian serba hitam yang membawa-bawa ular dahulu itu, yang pernah menyerangnya kalang-kabut hanya karena berbeda pendapat tentang diri Cui Lan dan karena menyangka bahwa dia mengejar-ngejar gadis ini! Setelah dia membalik, gadis itu pun terkejut, lalu tersenyum mengejek. Begitu tersenyum, seketika tercipta dua lesung pipit di kanan kiri bibirnya. Manis bukan kepalang! Lalu bibir itu merekah membentuk senyum sehingga deretan gigi kecil yang putih bersih berkilau sesaat di antara belahan bibir yang merah basah. Cantik sekali!

   "Ya ampuuunnnnnn....! Kiranya engkau ini? Aha, kalau begitu lanjutkan usahamu itu, Siluman Kecil. Lanjutkan selagi aku menjadi saksi di sini. Aihhh, betapa akan senangnya menjadi orang satu-satunya yang menyaksikan betapa Siluman Kecil yang tersohor itu ternyata hanyalah seorang laki-laki yang berhati kecil pula seperti julukannya, seorang pengecut yang mudah patah hati, seorang laki-laki cengeng yang mudah mendapat dorongan hasrat untuk membunuh diri. Hi-hik, teruskanlah bunuh diri di depanku, aku akan senang sekali!"

   Kian Bu bangkit berdiri dan memandang dengan melongo, lalu dia maju beberapa langkah, memandang wajah cantik jelita dan manis itu penuh selidik. Melihat sinar mata, yang mencorong dari pemuda berambut putih itu, diam-diam gadis itu bergidik. Gadis itu tentu saja adalah Hwee Li, puteri ketua Pulau Neraka!

   "Ihhh! Kenapa kau memandang aku seperti itu?"

   Bentaknya dengan suara dibikin galak untuk menutupi rasa ngerinya. Dia sebenarnya merasa ngeri terhadap pemuda berambut putih ini yang dia tahu memiliki kepandaian amat tinggi sehingga dia sama sekali tidak akan mampu menang melawannya.

   Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kalau dia bersikap angkuh dan berani, hal itu hanya dilakukan agar dia jangan dipandang rendah saja! Memang, biarpun dia sudah dewasa, Hwee Li masih belum dapat menghilangkan sifat kekanak-kanakannya. Suma Kian Bu dahulunya adalah seorang pemuda yang berwatak penuh keriangan, gembira dan jenaka, juga bengal dan pandai bicara, pandai berdebat dan suka menggoda orang (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Setelah dia mengalami pukulan batin karena cinta kasihnya terhadap Puteri Syanti Dewi menemui kegagalan dan kekecewaan, kemudian ditambah lagi oleh latihan ilmu penggabungan tenaga Im dan Yang dari Pulau Es yang membuat rambutnya mengalami perubahan warna, dia menjadi seorang pendiam yang penuh rahasia.

   Pendiam karena dia seperti terbenam dalam tumpukan kedukaan dan kekecewaan yang membuat dia menjadi pemurung, kadangkadang ganas akan tetapi tentu saja sebagai seorang yang berjiwa satria, keganasannya hanya ditujukan kepada kaum penjahat saja. Kini dia telah berjumpa dengan kakaknya dan hal ini membangkitkan atau setidaknya sedikit membongkar sifatnya yang tadinya sudah tertimbun oleh kedukaan itu, mengingatkannya akan keluarganya sehingga timbul kembali gairah hidupnya. Kini, bertemu dengan gadis berpakaian hitam yang amat lincah jenaka dan galak ini sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan wajahnya mulai agak berseri, seolah-olah mulai ditanggalkanlah sedikit demi sedikit topeng kedukaan yang selama ini menutupi wajah aselinya.

   "Nona, apakah otakmu miring?"

   Tiba-tiba Kian Bu yang sudah mulai "menemukan"

   Kembali sifat kegembiraannya itu bertanya sambil memandang tajam. Dia bukan sekedar menggoda atau balas mengejek, melainkan bertanya sungguh-sungguh karena memang dia mulai menyangka dengan perasaan sayang bahwa gadis yang demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi itu agaknya gila. Buktinya, dulu pun sudah mencari keributan dengan dia untuk perkara yang bukan-bukan saja, dan sekarang bicaranya begitu tidak karuan! Hwee Li merasa seperti disengat kalajengking ketika mendengar pertanyaan itu. Ada rasa kaget, heran akan tetapi marahlah yang lebih besar menguasainya sehingga biarpun matanya terbuka lebar amat indahnya, namun bibirnya cemberut meruncing dan sepasang alis yang hitam kecil panjang itu berkerut.

   "Siluman Gila! Engkau adalah seorang gila, bunuh diri merupakan perbuatan gila, dan kau masih mengatakan orang lain gila. Sungguh gila!"

   Hwee Li memberi tekanan kepada setiap kata "gila"

   Sehingga dia seolah-olah telah membalas dengan makian gila kepada Siluman Kecil sampai empat kali gila! Melihat cara gadis ini melampiaskan rasa mendongkolnya, Kian Bu tak dapat menahan diri lagi dan dia tersenyum. Senyum pertama semenjak dia berjuluk Siluman Kecil! Sebelum ini, kalau toh dia tersenyum, maka senyumnya itu tentulah hanya senyum untuk bersopan-sopan saja, senyum paksaan. Akan tetapi baru sekali ini dia tersenyum yang terdorong oleh kegembiraan hati.

   "Nona ular...."

   "Engkau makin kurang ajar!"

   Hwee Li membanting kaki kanannya.

   "Harus disebut apa kalau tidak mau dinamakan nona ular? Engkau ke mana-mana membawa ular yang menjijikkan!"

   "Tidak lebih menjijikkan daripada manusia, apalagi yang gila seperti engkau!"

   Hwee Li balas menyerang.

   "Hemmm....kau mengingatkan aku akan sebuah syair...."

   "Wah, orang gila mau bersyair, coba kudengarkan sampai di mana kegilaannya!"

   "Manusia adalah mahluk gila yang tidak mengenal kegilaannya!
Yang gila mengaku waras yang waras dimaki gila!
Adakah yang lebih gila daripada manusia?"

   Hwee Li bersorak.

   "Bagus, bagus! Nah, syair itu menggambarkan keadaan dirimu sendiri, hi-hik! Sudah kusangka bahwa engkau memang Siluman Gila, Siluman Gila yang kecil!"

   Kian Bu yang belum pulih semua kelincahannya merasa kewalahan juga menghadapi dara yang ternyata pandai sekali berdebat ini.

   "Nona, kau tadi datang-datang membentak sampai aku kaget, lalu tiada hujan tiada angin kau memaki aku pengecut, cengeng, rendah dan gila yang akan membunuh diri. Sikapmu itulah yang membuat aku mengira engkau berotak miring."

   "Habis, mau apa engkau melongok-longok ke bawah tebing securam itu kalau bukan untuk bunuh diri? Ataukah engkau bercanda dengan kabut yang melayang di bawah kaki? Nah, itu pun merupakan tanda-tanda bahwa engkau gil...."

   "Sudahlah, jangan engkau mengobral makian. Sungguh tidak pantas maki-makian keluar dari mulut yang begitu indah."

   Sepasang mata itu terbelalak, lalu dia mengangguk-angguk.

   "Hemmm, sekarang baru aku mengerti mengapa Cui Lan jatuh hati kepadamu. Kiranya engkau adalah seorang laki-laki yang selain berkepandaian tinggi, berwajah tampan dan berambut aneh, juga pandai merayu!"

   Kian Bu bengong.

   "Aku? Merayu?"

   "Menyangkal lagi! Baru saja kau bilang mulutku indah...."

   "Kalau memang benar mulutmu indah, harus berkata bagaimana aku ini? Lihat, bentuk bibirmu amat indah, kemerahan dan segar, kalau tersenyum gigimu kecil berderet rata dan putih berkilau, dan lesung pipit di kanan kiri mulutmu mengintai. Benar indah mulutmu. Apakah aku harus bilang mulutmu buruk dan jelek? Aku tidak merayu, hanya bicara sebenarnya. Salahkah itu?"

   Kian Bu mulai menemukan kembali kepandaiannya berdebat dan kini Hwee Li yang menjadi bengong, mencari-cari jawaban yang tepat. Akan tetapi sekali ini sukar dia membantah. Wanita mana yang tidak suka akan pujian? Dan pujian dari Siluman Kecil itu begitu wajar dan terbuka, begitu langsung dan jelas bukan pujian kosong! Tanpa disadarinya, warna kemerahan menjalar di kedua pipi yang halus putih itu.

   "Sudahlah!"

   Katanya gemas karena tidak berdaya untuk menangkis.

   "Ketahuilah, Siluman Kecil, hatiku masih penasaran dan benci kepadamu kalau aku teringat kepada Cui Lan!"

   "Hemmm, mengapa tidak kau lupakan saja dia?"

   "Huh, pantas! Apa kau tidak peduli betapa dara yang cantik jelita dan halus budi pekertinya itu jatuh cinta kepadamu? Dia tergila-gila kepadamu, sungguh tolol mengapa seorang gadis seperti dia bisa tergila-gila kepada seorang sepertimu ini. Dia tergila-gila kepadamu, hatinya merana penuh kerinduan kepadamu, dan kau bersikap tidak peduli kepadanya! Bukankah hal itu membuktikan bahwa engkau sebenarnya adalah seorang yang kejam, keji, dan jahat, suka melihat kesengsaraan yang diderita seorang wanita?"

   Melihat dara itu hendak nerocos terus menyerangnya dengan kata-kata tajam, Kian Bu cepat mengangkat tangan ke atas.

   "Stop! Engkau salah mengerti dan tidak mengerti, Nona. Aku memang pernah menolong Nona Cui Lan. Dan dia jatuh cinta kepadaku, hal ini aku mengetahuinya. Akan tetapi, salahkah aku kalau ada seorang gadis jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak membalas cintanya? Engkau sungguh tidak mengerti. Hanya karena aku merasa amat kasihan kepadanya sajalah maka aku sengaja bersikap tidak peduli dan kasar kepadanya. Memang sikap itu kusengaja!"

   Sepasang mata yang bening itu melotot.

   "Coba, betapa gilanya! Kasihan kepada orang dan menyatakan rasa kasihan itu dengan sikap tidak peduli dan kasar! Seperti baris terakhir dari syair gilamu itu: Adakah yang lebih gila daripada itu?"

   "Engkau seperti anak kecil saja, dan memang engkau seorang anak-anak yang belum tahu tentang seluk-beluk cinta."

   Makin meradang hati Hwee Li.

   "Engkau makin besar kepala dan sombong saja. Baiklah, Guru Besar, berilah kuliah kepada hamba tentang cinta karena Guru Besar tentu merupakan seorang yang berpengalaman dan ahli tentang cinta!"

   Hwee Li menjura dengan sikap mengejek.

   Akan tetapi Kian Bu tidak mempedulikan sikap ini.

   "Aku sengaja bersikap kasar kepadanya agar dia membenciku! Aku tahu betapa sengsaranya hati yang menderita karena cinta gagal, dan kurasa penderitaannya itu hanya akan berakhir kalau cintanya terhadap aku berubah menjadi benci. Dengan demikian barulah dia akan dapat melupakan aku dan itulah sebabnya aku bersikap kasar kepadanya!"

   Kian Bu bicara penuh semangat dan Hwee Li menjadi bengong melihat betapa wajah tampan yang tadinya mulai berseri dan bersemangat itu kini kembali menjadi muram sekali, penuh duka yang membayang di dalam sinar mata dan tarikan mulutnya.

   "Ohhh.... begitukah? Kenapa kau tidak dapat mencintanya? Dan bagaimana kau tahu bahwa cinta gagal menimbulkan penderitaan hebat!"

   "Karena aku sendiri.... ah, sudahlah, Nona. Harap kau tidak lagi menggangguku. Aku sedang menghadapi kepentingan yang amat besar di sini dan kedatanganmu hanya mengganggu terlaksananya kepentingan besar itu. Maaf, aku tidak dapat lama-lama menunda urusanku."

   Akan tetapi gadis itu tentu bukan Hwee Li kalau dapat "digebah"

   Sedemikian mudahnya. Dia adalah seorang dara yang keras kepala, lebih keras daripada baja sehingga dia tidak akan mudah saja disuruh pergi sebelum dia sendiri menghendakinya untuk pergi!

   "Eh, apakah tempat ini milikmu maka kau berani mengusir aku pergi dari sini? Kalau aku tidak mau pergi, kau mau apa?"

   Tantangnya. Siluman Kecil melirik dan menarik napas panjang. Dia tahu bahwa kalau dilayani, hal itu hanya akan berkepanjangan dan mungkin sekali mereka akan bertarung lagi.

   "Terserah kepadamu, akan tetapi jangan ganggu aku dengan bicaramu lagi."

   Setelah itu, dia lalu menghampiri tepi tebing, merenung kembali sambil mengasah otaknya, mencari jalan bagaimana dia dapat turun ke dasar tebing itu.

   Setiap orang manusia tentu mempunyai sifat ingin tahu. Hwee Li tidak terkecuali. Melihat pemuda itu longak-longok memandang ke bawah tebing, dia tidak dapat menahan lagi hasrat ingin tahunya dan dia pun lalu menghampiri tepi tebing dan mulai pula ikut longak-longok memandang ke bawah tebing, seolah-olah hendak mencari sesuatu yang sedang dicari-cari pula oleh pemuda itu. Kian Bu sudah tenggelam dalam renungannya mencari-cari akal maka dia tidak peduli, bahkan hampir tidak sadar bahwa tak jauh dari situ ada seorang gadis yang juga longak-longok seperti dia menjenguk ke bawah tebing. Akhirnya dia menarik napas panjang dan menggeleng kepala, dan seperti dalam mimpi dia melihat Hwee Li juga menjenguk ke bawah tebing lalu gadis itu mengangkat muka memandangnya. Mereka saling bertemu pandang dan Hwee Li bertanya secara otomatis,

   "Sudah ketemu?"

   Secara otomatis pula Kian Bu menggeleng kepala sambil menjawab,

   "Belum...."

   Baru dia terkejut dan sadar, maka sambungnya dengan bentakan.

   "Ketemu apanya?"

   "Tentu barang yang kau cari-cari itu, apa lagi? Tentu buntalan pakaianmu tadi terjatuh ke bawah tebing ini, bukan? Maka kau sejak tadi mencari-cari. Ku rasa tidak mungkin dapat kelihatan dari sini buntalan itu dan...."

   "Buntalan hidungmu!"

   Kian Bu membentak dengan hati mengkal karena dia merasa digoda terus-terusan. Hwee Li meloncat berdiri dan kedua tangannya bertolak pinggang. Hampir bertemu jari-jari kedua tangannya di sekeliling pinggang itu saking rampingnya pinggang gadis ini. Mukanya merah dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.

   "Sombong, benar! Engkau berani menghidung-hidungkan orang, ya? Aku sudah susah payah ikut mencari-cari, engkau malah memaki orang sebagai balasan! Hayo berdirilah dan kita selesaikan penghinaan ini di ujung kedua kaki tangan!"

   Kian Bu menarik napas panjang.

   "Sudahlah, Nona. Kita ribut-ribut untuk urusan kosong belaka. Aku tidak mencari buntalan apa pun, tidak ada kehilangan apa pun. Aku sedang mencari akal bagaimana aku dapat turun ke dasar tebing ini. Nah, Nona manis, sudah puaskah engkau sekarang dan sudikah engkau meninggalkan aku untuk melanjutkan usahaku ini?"

   Hwee Li kembali menjenguk ke bawah tebing, lalu mendengus.

   "Huh, disebut gila tidak mau akan tetapi mau turun ke dasar tebing! Mau apa sih engkau hendak turun ke sana?"

   Dengan setengah hati Kian Bu terpaksa menjawab, dengan maksud agar dara itu cepat pergi setelah rasa penasarannya dipenuhi,

   "Aku hendak mencari obat untuk kakakku yang terluka parah, dan obatnya hanya terdapat di dasar tebing itu. Nah, sudah cukupkah penyelidikanmu, Nona? Silakan meninggalkan aku sekarang."

   Tiba-tiba Hwee Li tertawa dan Kian Bu mengerutkan alisnya. Terjadi perang di dalam hatinya melihat dara itu tertawa. Di satu fihak, ingin dia menempiling perawan ini, di lain fihak dia kagum melihat wajah itu ketika tertawa. Bukan main indah dan cantiknya ketika tertawa, seperti matahari di senjakala! Cerah namun tidak menyengat! Karena tertawa dara itu tidak dibuat-buat melainkan wajar, maka dia bertanya,

   "Kenapa kau tertawa?"

   "Karena sekarang engkau harus bersikap sopan dan ramah kepadaku kalau engkau ingin dapat turun ke dasar tebing sana."

   "Hemmm, apa maksudmu?"

   "Karena, biarpun engkau berjuluk Siluman Kecil, biarpun engkau memiliki kepandaian amat tinggi sehingga engkau mampu mengalahkan Sin-siauw Seng-jin, namun engkau tidak akan mungkin turun ke dasar tebing ini kecuali kalau kau hendak membunuh diri. Karena, hanya aku seoranglah yang dapat menolongmu turun ke sana dengan selamat."

   "Jangan main-main, Nona!"

   "Siapa main-main? Aku berani bertaruh potong leher bahwa aku dapat membawamu dengan selamat sampai di bawah tebing sana."

   Kian Bu mengerutkan alisnya.

   "Nona, jangan main-main. Aku menghadapi urusan yang amat penting dan aku tahu bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi sedikit banyak aku telah mengukur kepandaianmu itu dan aku yakin bahwa engkau tidak mungkin dapat menggunakan kepandaianmu itu untuk menuruni tebing ini."

   "Tentu saja! Siapapun tidak mungkin dapat menuruni tebing ini, akan tetapi dengan terbang, betapa akan mudahnya!"

   "Terbang? Jangan bilang bahwa kau pandai terbang...."

   "Aku sih bukan kupu-kupu yang mempunyai sayap. Akan tetapi burung garudaku tentu bisa!"

   Kian Bu terbelalak.

   "Kau.... kau mempunyai burung garuda?"

   "Tentu saja, kalau tidak, perlu apa aku banyak bicara kepadamu?"

   Gadis itu lalu bangkit berdiri, menaruh kedua tangan di kanan kiri mulutnya kemudian terdengarlah bunyi lengking aneh seperti suara burung dari mulut yang dilindungi dua tangan itu. Kian Bu terkejut. Lengking itu memang bunyi lengking untuk memanggil burung seperti rajawali atau garuda! Berkali-kali Hwee Li mengeluarkan suara melengking nyaring itu dan tiba-tiba dia menuding ke atas.

   "Nah, itu dia garudaku!"

   Benar saja. Seekor burung garuda yang besar menukik turun dan terbang berputaran di atas kepala mereka. Berdebar jantung Kian Bu. Memang inilah jalan satu-satunya turun ke sana. Naik punggung garuda! Dan dia bukanlah se-orang yang asing dengan pengalaman seperti itu. Dia sudah sering kali naik punggung rajawali ketika dia masih berada di Pulau Es.

   "Ah, sungguh hebat kau, Nona! Maafkan semua kekasaranku tadi dan sekarang aku percaya. Kau tolonglah aku, Nona. Biarkan aku meminjam burungmu itu untuk turun ke sana mencarikan obat untuk kakakku."

   "Enaknya! Pinjam! Apa kau kira akan dapat menguasai Sin-eng-cu (Garuda Sakti)? Kau boleh kuboncengkan ke bawah sana, asal engkau mau minta maaf kepadaku dan mengatakan siapa adanya kakakmu yang terluka itu. Aku hampir tidak percaya bahwa seorang yang berjuluk Siluman Kecil masih mempunyai seorang kakak."

   Karena Kian Bu tahu bahwa hanya dengan pertolongan gadis ini sajalah dia akan dapat memperoleh obat untuk kakaknya itu dengan cepat dan pasti, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjura dan berkata halus,

   "Nona, harap kau suka maafkan semua kesalahan-ku. Kakakku menderita luka dalam yang cukup hebat, kini dirawat oleh Sai-cu Kai-ong, obatnya hanya terdapat di daerah bawah tebing itu. Kakakku bernama Suma Kian Lee dan...."

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 52 Kisah Sepasang Rajawali Eps 60 Kisah Sepasang Rajawali Eps 27

Cari Blog Ini