Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 27


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 27



"Pangeran, ketahuilah bahwa Enci Syanti Dewi adalah kakak angkatku. Karena itu, engkau tidak boleh cinta padaku. Nah, selamat tinggal!"

   Dengan isak tertahan Ceng Ceng meloncat ke atas genteng dan melarikan diri.

   "Ceng-moi....!"

   Pangeran itu berseru memanggil, namun Ceng Ceng tidak mau menoleh lagi, bahkan mempercepat loncatannya sehingga sebentar saja dia sudah lenyap meninggalkan Pangeran Yung Hwa yang menjadi bengong dan pucat, sinar matanya layu kehilangan gairah hidup.

   Air mata masih mengalir perlahan di kedua pipi Ceng Ceng ketika dara ini berjalan perlahan keluar dari pintu gerbang sebelah selatan kota raja. Hatinya diliputi bermacam perasaan. Terharu mengingat akan cinta kasih Pangeran Yung Hwa yang dia percaya sungguh-sungguh mencintanya, kecewa bahwa dia terpaksa tidak dapat menyambut cinta kasih pangeran itu, dan keadaan ini selain mendatangkan duka, juga menambah sakit hatinya terhadap Si Pemuda Laknat karena pemuda itulah yang menjadi biang keladi semua kedukaan dan kesengsaraan hatinya. Sungguhpun dia sendiri belum tahu apakah dia juga mencinta pangeran itu, namun kalau tidak terjadi malapetaka menimpa dirinya,

   Agaknya tidak akan sukar bagi dara manapun juga untuk membalas cinta kasih seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa itu. Hatinya menjadi panas dan murung mengingat pemuda tinggi besar, Si Laknat yang dicarinya itu. Ke mana dia harus mencari? Inilah yang membuat dia murung dan kesal karena dia tidak tahu di mana adanya musuh besar yang diburunya itu. Dengan langkah gontai tanpa tujuan tertentu dan pikiran melayang-layang, tanpa disadarinya lagi Ceng Ceng telah melakukan perjalanan sehari penuh tanpa berhenti. Hari telah menjelang malam, senja yang cepat gelap karena langit tertutup awan. Ceng Ceng tiba di luar dusun sebelah selatan kota raja di mana terdapat sebuah sungai, yaitu Sungai Yung-ting. Seperti orang kehilangan se-mangat, tubuhnya lemas karena sehari penuh tidak makan atau minum, Ceng Ceng naik ke atas jembatan yang menyeberang sungai itu.

   Dalam cuaca yang remang-remang, dia melihat sebuah benda di pinggir jembatan itu, dan ketika dia mendekat, ternyata benda itu adalah sebuah pot bunga. Benda yang tidak semestinya berada di jembatan, dan hal ini menarik perhatiannya, membuat dia berhenti dan mengamati pot bunga itu dengan heran. Tidak ada seorang pun manusia di jembatan itu, hanya dia seorang diri. Terasa aneh sekali berada di jembatan besar itu seorang diri, seperti tergantung di angkasa, dan pot bunga itu menambah keanehan suasana yang dirasakannya. Pot bunga itu terbuat dari besi tebal, tentu berat sekali, apalagi ditambah beratnya tanah di dalamnya. Hal ini menandakan bahwa orang yang membawanya ke tempat ini tentu seorang yang memiliki tenaga besar. Akan tetapi tidak tampak seorang pun manusia di situ.

   "Hei, Nona cilik! Mau apa engkau longak-longok di situ? Lekas pergi kalau tidak ingin mampus menjadi setan air!"

   Suara ini terdengar dari kolong jembatan, seperti suara setan karena tidak kelihatan bayangan orang. Kalau saja bukan Ceng Ceng, seorang laki-laki pun tentu akan takut mendengar suara kasar itu dan tentu akan lari terbirit-birit, menyangka bahwa yang bersuara mengancam itu tentulah setan sungai atau setan jembatan. Akan tetapi Ceng Ceng adalah seorang gadis yang pemberani, apalagi setelah dia pernah hidup di neraka bawah tanah bersama subonya, Ban-tok Mo-li Ciang Si (Iblis Betina Selaksa Racun), tidak sesuatu pun di dunia ini yang ditakutinya. Pada saat itu, hatinya sedang mengkal dan kesal, maka begitu mendengar suara itu, mendadak saja darahnya naik dan dia menjadi marah sekali.

   Ditendangnya pot bunga itu dengan kaki kanannya sambil mengerahkan sin-kang tentunya karena dia tahu bahwa pot besi itu amat berat. Pot besi itu terlempar keluar jembatan! Akan tetapi, Ceng Ceng tidak mendengar suara benda itu terjatuh ke air, seolah-olah benda itu lenyap di tengah udara begitu saja. Selagi dia termangu-mangu dan dengan heran menjenguk dari jembatan sambil berusaha menembus kegelapan di bawah dengan matanya, tiba-tiba terdengar suara suitan orang dan tampaklah berkelipnya lampu dari tepi sungai. Penerangan seperti kunang-kunang ini bergerak ke tengah sungai dan di dalam cuaca remang-remang itu tampaklah sebuah perahu. Kembali terdengar suara orang, suara yang kasar tadi, akan tetapi kini suara itu terdengar halus penuh hormat!

   "Kami mempersilakan Li-hiap untuk menerima penyambutan kami dan meloncat ke perahu."

   Tentu saja Ceng Ceng tidak sudi memenuhi permintaan ini. Biarpun dia tidak takut, akan tetapi dia tidaklah sebodoh itu, mau saja dijebak orang yang tidak dikenalnya.

   "Huhh!"

   Dia mendengus dan hendak pergi melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi kakinya berhenti bergerak lagi ketika mendengar suara orang tadi, kini penuh ejekan sungguhpun masih tetap menghormat.

   "Apakah kami telah keliru? Apakah seorang calon beng-cu (pemimpin rakyat) mengenal rasa takut? Apa sih bahayanya meloncat dari jembatan ke perahu jika memiliki kepandaian tinggi? Harap Lihiap tidak menduga yang bukan-bukan! Kami sengaja menyambut Lihiap dan maafkan kelancangan kami tadi karena kami tidak menyangka bahwa calon beng-cu yang ditunggu-tunggu dari selatan adalah seorang wanita muda!"

   Bergolak darah di tubuh Ceng Ceng ketika dia dikira takut tadi. Kemudian dia tertarik mendengar kata-kata selanjutnya. Mengertilah dia bahwa dia disangka orang lain dan pot bunga itu merupakan semacam tanda rahasia bagi orang yang diundang dan penyambutan undangan kiranya adalah dengan menendang pot bunga itu! Secara tidak disengaja dia telah menyambut undangan mereka! Siapa tahu, pemuda laknat itu berada bersama dengan mereka!

   Agaknya mereka itu adalah kaum sesat seperti pernah dia mendengar cerita kakeknya, golongan hitam atau kaum sesat yang sedang mengadakan pemilihan pimpinan atau beng-cu dan dia dianggap seorang calon beng-cu. Pemuda laknat itu sudah pasti merupakan seorang tokoh kaum sesat pula, maka sangat boleh jadi dia akan menjumpainya di tempat orang-orang ini. Teringat akan kemungkinan besar ini, tanpa meragu lagi dia lalu mengayun tubuhnya meloncat ke bawah, ke atas perahu yang menjemputnya! Biarpun dalam hal ilmu silat mungkin kepandaian Ceng Ceng belum termasuk hitungan, namun gadis ini memiliki gin-kang atau ilmu meringankan tubuh yang cukup baik, maka ketika meloncat dan hinggap di perahu tidak menimbulkan banyak guncangan. Dua orang laki-laki tinggi besar menyambutnya di perahu dengan sikap menghormat,

   "Selamat datang, Lihiap. Terpaksa kami menyambut secara begini karena pasukan pemerintah kini sering kali melakukan perondaan dengan ketat. Silakan Lihiap mengaso di dalam perahu. Kami terpaksa menyamar sebagai nelayan-nelayan biasa."

   Ceng Ceng adalah seorang dara yang memiliki kecerdasan. Dia sudah yakin sekarang bahwa dua orang ini keliru menyambut orang yang diharapkan kedatangannya, orang yang dianggap sebagai seorang calon beng-cu. Maka dia pun tidak banyak cakap karena dia ingin melihat ke mana dia akan dibawa dan mungkin sekali di tempat itu dia akan bertemu dengan musuh besar yang dicari-carinya itu. Akan tetapi untuk mengetahui lebih banyak, dia menegur setengah bertanya, berdasarkan kata-kata seorang di antara mereka tadi setelah dia duduk dan perahu digerakkan dengan cepat.

   "Bagai-mana kalian sampai tidak menyangka? Apakah kalian tidak memperoleh keterangan cukup tentang orang yang harus kalian sambut?"

   Seorang di antara mereka menggunakan dayung mendayung perahu yang meluncur cepat sekali sehingga diam-diam Ceng Ceng merasa ngeri, teringat dia akan pengalaman pahitnya dahulu ketika dia bersama Syanti Dewi dihanyutkan perahu sehingga akhirnya perahu bertumbukan dan dia bersama Syanti Dewi tenggelam dan hanyut sehingga terpisah sampai sekarang. Semenjak itu, dia merasa ngeri kalau mengingatnya dan seka-rang dia naik sebuah perahu yang didayung cepat sekali, maka tentu saja hatinya menjadi tegang dan khawatir, namun tidak ada perubahan pada wajahnya. Orang ke dua segera menjawab, sikapnya tetap menghormat, dan agaknya dia memang suka bicara maka dia bercerita banyak sehingga menyenangkan hati Ceng Ceng yang memang hendak memancing keterangan dari orang lain.

   "Maaf, Lihiap. Memang kami telah memperoleh keterangan dari Pangcu, akan tetapi kami semua anggauta Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi) tidak ada yang pernah bertemu dengan kelima orang Loan-ngo Mo-li (Lima Iblis Betina dari Sungai Loan), hanya mendengar bahwa Lihiap berlima adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan Lihiap sendiri sebagai orang pertama dari Loan-ngo Mo-li diundang oleh Pangcu kami untuk memasuki sayembara perebutan kedudukan beng-cu. Tentu saja kami mengira bahwa Loan-ngo Mo-li adalah lima orang wanita yang tidak semuda Lihiap, apalagi Lihiap sebagai orang pertama...."

   Orang laki-laki tinggi besar itu tidak berani melanjutkan kata-katanya ketika melihat Ceng Ceng memandang seperti orang marah. Memang dara ini menjadi marah ketika dia disangka orang pertama dari Lima Iblis Betina! Akan tetapi karena dia tahu itu, maka dia menekan kemarahannya, hanya melangkah ke tengah perahu di mana terdapat bilik bambu sambil berkata,

   "Sudahlah, aku hendak mengaso!"

   Di dalam bilik perahu itu, Ceng Ceng memutar otaknya. Jelas bahwa dia telah melibatkan diri dalam urusan kaum sesat yang berbahaya! Akan tetapi ketika teringat kemungkinan untuk menemukan jejak musuh besarnya, atau setidaknya dia akan dapat bertanya-tanya kepada kaum sesat yang tentu mengenal orang itu, hatinya lega dan dia dapat tidur nyenyak di dalam bilik perahu yang sempit itu.

   Pada keesokan harinya, dia terbangun oleh cahaya matahari yang menembus celah-celah bilik. Dia membuka jendela bilik kecil dan menggunakan tangannya mengambil air untuk mencuci muka dan tangannya, kemudian dia keluar dari bilik. Dua orang laki-laki yang sedang mendayung perahu, mengangkat muka dan jelas kelihatan betapa mereka tercengang dan memandang kagum. Mereka sudah terheran-heran melihat betapa orang yang mereka jemput adalah seorang wanita muda, dan kini mereka menjadi makin heran dan kagum sekali melihat wajah dara, yang demikian cantik jelita, wajah yang bersinar kemerahan ditimpa matahari pagi sehabis digosok-gosok ketika mencuci muka tadi. Di lain pihak, Ceng Ceng merasa tak senang dipandang seperti itu, apalagi yang memandangnya adalah dua orang laki-laki tinggi besar yang kini kelihatan berwajah kejam, kasar dan kurang ajar!

   "Kalian memandang apa?"

   Bentaknya marah. Suaranya melengking tinggi meng-getarkan dan dua orang itu cepat-cepat menundukkan mukanya. Seorang di antara mereka, yang kumisnya tebal sekali, berkata,

   "Maaf, Lihiap. Kami hanya mempunyai bekal roti kering dan arak kasar, kalau Lihiap suka...."

   "Aku lapar! Aku ingin makan daging ikan."

   "Akan tetapi.... kami tidak membawa pancing atau jala...."

   "Bodoh! Biar aku yang menangkap ikan, kalian yang memanggangnya nanti!"

   Ceng Ceng lalu duduk di pinggir perahu.

   "Bawa perahu ke pinggir, di bawah pohon sana tentu banyak ikannya."

   Dua orang itu tidak membantah dan benar saja, di bawah pohon yang rindang itu terdapat banyak ikan lee-hi atau semacam itu. Ceng Ceng memasukkan tangan kirinya ke dalam air di dekat perahu, digoyang-goyang perlahan sehingga menarik beberapa ekor ikan besar. Setelah ikan-ikan itu dekat, Ceng Ceng mengerahkan sin-kangnya sehingga hawa beracun di dalam tubuhnya berkumpul di tangan, getaran-getaran hebat terjadi dan dua ekor ikan yang terdekat terkena hawa beracun tangannya, menjadi mabok dan diam saja ketika ditangkap oleh gadis ini! Ceng Ceng melemparkan dua ekor ikan itu ke dalam perahu sambil berkata,

   "Nah, kalian panggang ikan-ikan ini! Seekor untukku!"

   Setelah berkata demikian, dia meninggalkan mereka dan duduk di kepala perahu yang sudah dijalankan lagi oleh seorang di antara mereka sedangkan orang yang berkumis tebal sudah sibuk dengan ikan-ikan tadi. Mereka tadi terkejut dan melongo, dan kini mereka yakin akan kelihaian gadis cantik ini! Ceng Ceng memang sengaja memperlihatkan kepandaiannya, kepandaian yang tidak dimengerti oleh dua orang itu, yang mengira bahwa gadis itu menggunakan ilmu aneh untuk menangkap ikan.

   Mereka sama sekali tidak tahu bahwa di hadapan mereka adalah seorang gadis beracun yang amat berbahaya, murid tunggal dan pewaris tunggal dari Ban-tok Mo-li yang belum ada tandingannya dalam hal ilmu tentang racun! Hari telah siang ketika perahu itu menyentuh tepi sungai di sebuah lembah yang penuh dengan batu-batu besar dan pohon-pohon liar. Ketika Ceng Ceng bersama dua orang laki-laki itu meloncat ke darat dari perahu, dia melihat banyak orang di lembah itu. Dia bersikap hati-hati dan waspada, maklum bahwa dia berada di antara kaum sesat yang agaknya telah berkumpul di tempat ini untuk mengadakan pemilihan seorang beng-cu, yaitu orang yang dianggap patut untuk memimpin mereka semua. Memang dugaannya ini, berdasarkan cerita Si Kumis Tebal, adalah benar.

   Hari itu, semua tokoh kaum sesat yang tinggal di sekitar kota raja berkumpul di lembah itu atas undangan penyelenggara pertemuan itu, yaitu perkumpulan Tiat-ciang-pang. Perkumpulan ini merupakan perkumpulan kaum sesat yang paling besar dan paling terkenal di sekitar daerah kota raja, karena para anggautanya adalah golongan perampok dan pencopet! Mereka ini menganggap diri mereka sebagai golongan sesat yang lebih "terhormat"

   Dan lebih tinggi daripada tingkat golongan sesat yang lain. Terutama sekali terhadap golongan pencuri, Tiat-ciang-pang memandang rendah. Bagi mereka, pekerjaan kaum pencuri adalah kotor dan bersifat pengecut. Pencuri mengambili barang orang yang sedang tidur, sedang tidak berdaya dan pekerjaan ini dianggap kotor dan hina oleh kaum pencopet dan perampok yang bergabung dalam perkumpulan Tiat-ciang-pang! Berbeda dengan mereka, demikian pendapat mereka.

   Mereka adalah para pencopet dan perampok, yang mengambil atau merampas barang orang yang sadar, yang dapat berjaga diri yang dapat melawan. Pekerjaan mereka lebih menunjukkan kejantanan! Memang demikianlah sifat kita manusia pada umumnya. Kita amat kritis terhadap orang lain karena dalam memandang orang lain, mata kita selalu mencari cacat-cacatnya dalam segala perbuatan orang lain. Kita amat pandai untuk menunjukkan kesalahan orang lain dan dalam menilai orang lain, kita biasanya membutakan mata terhadap kebaikannya akan tetapi menonjolkan cacat-cacatnya! Kita tidak pernah memandang seperti itu kepada diri sendiri. Sebaiknya, kita membutakan mata terhadap cacat-cacat kita dan menonjolkan kebaikan kita. Kalau toh kita terpaksa melihat kesalahan kita, kita akan selalu siap membela diri, siap mencarikan alasan untuk membela kesalahan kita itu agar tidak menjadi kesalahan lagi!

   Senjata kita untuk itu selalu adalah pembelaan diri, bahwa kita melakukan suatu hal yang tidak baik karena terpaksa dan sebagainya. Kita semua pada hakekatnya ingin baik, ingin menjadi baik, ingin menjadi budiman, ingin menjadi orang yang bajik. Akan tetapi betapa mungkin hal ini terjadi? Dalam keadaan diri kotor ingin tampak bersih, hal ini sama sekali tidak mungkin. Segala usaha palsu akan dilaksanakan untuk menutupi kekotorannya itu agar kelihatan bersih. Akan tetapi, ditutupi dengan apa pun, tentu saja akan tetap tinggal kotor! Yang penting bukanlah keinginan untuk bersih, melainkan kesadaran akan kekotoran dirinya! Kesadaran ini timbul dari pengertian, dari pengertian ini datang bersama pengenalan diri sendiri.

   Kesadaran dan pengertian akan melenyapkan kekotoran itu dan dengan lenyapnya kekotoran, hilang pula keinginan untuk bersih. Pengertian timbul pada kewaspadaan saat ini, pengertian adalah saat demi saat yang mendatang-kan tindakan seketika. Pengertian yang disimpan menjadilah pengetahuan yang mati, seperti semua pengetahuan yang hanya menjadi barang lapuk di dalam gudang ingatan. Pengertian dari kewaspadaan adalah kesadaran akan segala sesuatu di luar dan di dalam diri kita setiap saat! Bukan aku yang mengerti, bukan aku yang waspada, bukan aku yang sadar! Begitu ada aku di situ terdapat penilaian, perbandingan dan pemilihan, si aku menimbulkan pengejaran akan kesenangan dan penolakan akan yang tidak menyenangkan.

   Maka segala perbuatan akan bersumber kepada si aku, maka jauh dari kebenaran. Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi) yang merasa diri sebagai perkumpulan "orang-orang gagah"

   Itu memiliki anggauta kurang lebih seratus orang banyaknya, semua terdiri dari pencopet dan perampok yang rata-rata memiliki kepandaian cukup hebat. Ketuanya adalah seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ilmunya yang dinamakan Tiat-ciang-kang (Ilmu Tenaga Tangan Besi) yang membuat kedua tangannya seperti besi kerasnya, dapat dipergunakan sebagai senjata, bahkan menghadapi lawan yang tidak terlalu kuat, kedua tangan ketua ini dapat dipergunakan untuk menangkis senjata tajam!

   Ketua Tiat-ciang-pang ini berjuluk Tiat-ciang (Si Tangan Besi) dan bernama Tong Hoat. Lembah Sungai Yung Ting itu menjadi pusat berkumpulnya para anggauta Tiat-ciang-pang dan setelah masuk menjadi anggauta perkumpulan ini, para pencopet dan perampok yang telah memiliki kepandaian itu diperkenankan untuk melatih diri dengan Ilmu Tangan Besi. Tentu saja tidak mudah memiliki ilmu ini secara sempurna karena latihan-latihannya yang amat berat dan sebagian besar yang melatih ilmu ini tidak kuat, atau yang dapat berhasil pun hanya sekedar dapat membuat lengan mereka lebih kuat dan keras dari biasanya. Tidak ada yang berhasil mencapai tingkat seperti yang dimiliki oleh ketua mereka, Tiat-ciang Tong Hoat sendiri.

   Mungkin karena merasa bahwa mereka adalah kaum sesat yang "terhormat"

   Dan "gagah", maka timbullah semacam keangkuhan di dalam hati Tong Hoat, ketua perkumpulan itu, sehingga mereka memiliki pegangan atau pendirian sebagai orang-orang "gagah"

   Yang tidak mau tunduk kepada golongan pemberontak yang membujuk mereka untuk bersekutu! Karena ada pertentangan dan perpecahan di antara kaum sesat itulah, gara-gara bujukan pihak pemberontakan yang berusaha untuk merangkul mereka, maka hari ini diadakan pertemuan yang dipelopori oleh Tiat-ciang-pang, untuk mengadakan pemilihan beng-cu. Selain untuk memperlihatkan kekuatannya, juga Tiat-ciang-pang ingin menyatukan golongan sesat dan membersihkan golongan ini dari pengaruh pemberonta-kan dengan jalan memilih seorang beng-cu.

   Tong Hoat sendiri maklum bahwa di antara golongan kaum sesat ini, terdapat banyak orang pandai. Karena merasa bahwa belum tentu dia seorang diri dapat menangkan kedudukan beng-cu ini, maka dia teringat kepada seorang tokoh yang dia tahu amat tinggi kepandaiannya, yaitu orang pertama dari Loan-ngo Mo-li atau Lima Iblis Betina Sungai Loan. Dia mengundang Song Lan Ci, demikian nama wanita lihai itu, dan karena pada waktu itu terdapat banyak mata-mata, baik dari pihak pemerintah maupun dari pihak pemberontak, maka dia menyuruh dua orang kepercayaannya menyambut dengan tanda-tanda rahasia seperti yang telah dia janjikan dengan Song Lan Ci. Kehadiran wanita lihai ini adalah untuk memperkuat kedudukannya, atau kalau perlu, daripada kedudukan beng-cu jatuh ke tangan orang yang memihak pemberontak, lebih baik jatuh ke tangan tokoh wanita ini.

   Dan dia merasa yakin bahwa Song Lan Ci akan suka membantunya, mengingat bahwa di antara dia dan wanita itu terdapat hubungan yang cukup erat! Pernah dua tahun yang lalu, secara kebetulan dia bertemu dengan Sing Lan Ci yang sedang dikepung oleh musuh-musuhnya, dikeroyok banyak orang dan berada dalam keadaan terdesak. Melihat seorang wanita cantik dan gagah perkasa dikeroyok banyak orang laki-laki, Tong Hoat segera maju membantu sehingga para pengeroyok dapat dipukul mundur dan terjalinlah perkenalan dan persahabatan di antara mereka. Ceng Ceng mengikuti dua orang penjemputnya itu untuk menghadap Ketua Tiat-ciang-pang. Ketika berjalan menuju ke sebuah pondok yang agak jauh dari tempat perhentian perahu, mereka berjalan melewati banyak sekali orang-orang golongan sesat yang sedang menanti di sekitar tempat itu.

   Ceng Ceng mencari-cari dengan matanya kalau-kalau musuh besarnya berada di antara mereka itu. Akan tetapi dia tidak melihat munculnya, dan agaknya akan aneh sekali kalau musuh besarnya itu, seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah, berada di antara orang-orang ini. Orang-orang yang jorok dan menimbulkan kengerian di hatinya. Ada di antara mereka yang sedang bermain kartu dan bertaruhan besar sehingga tempat itu menjadi bising dengan suara mereka. Itu adalah golongan para penjudi yang hidupnya hanya diisi dengan kegemaran ini, berjudi dan mempertaruhkan segala miliknya. Ada pula yang sedang minum arak sambil tertawa-tawa dan mereka ini semua sudah mabok atau setengah mabok.

   Inilah golongan pemabok yang hidupnya hanya mengejar kesenangan dibuai alam khayal ketika mabok. Golongan lain yang memisahkan diri mereka agak aneh. Mereka ini terdiri dari orang-orang yang sebagian besar sudah tua dan tubuh mereka kurus, muka pucat. Mereka ini berkelompok dan kelihatan tenang-tenang saja, akan tetapi di antara mereka itu tampak asap bergulung-gulung ke atas seolah-olah di tempat itu terjadi kebakaran kecil. Ceng Ceng mendengus dan cuping hidungnya bergerak-gerak ketika dia mencium bau yang memuakkan. Tahulah dia bahwa kelompok ini adalah golongan pecandu madat dan penggemar asap beracun semacam ini. Hidup mereka tidak ada bedanya dengan golongan-golongan lain, mengejar kesenangan membiarkan dirinya diayun di angkasa oleh asap madat!

   Ada pula golongan lain yang pakaiannya mewah dan pesolek, sikap mereka genit dan ketika Ceng Ceng lewat, mereka itu tersenyum-senyum, bersuit, dan ada pula yang mengeluarkan kata-kata cabul sungguhpun mereka tidak langsung menujukan kata-kata itu kepada Ceng Ceng. Inilah golongan hidung belang yang kerjanya setiap hari hanya memikirkan kecabulan dan mengejar-ngejar wanita cantik. Lengkaplah semua golongan sesat berada di tempat itu. Maling, pencopet, perampok, pemadat, pemabok, hidung belang, penjudi, semua berkumpul di situ dan merasa betah karena seperti berada di antara keluarga sendiri! Ceng Ceng merasa ngeri seolah-olah dia telah memasuki suatu masyarakat yang aneh dan asing baginya. Pintu pondok terbuka dari dalam ketika diketok oleh dua orang penjemput itu.

   Mereka masuk melewati beberapa orang pengawal yang memandang tajam, kemudian memasuki sebuah ruangan di mana duduk seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih dan sikapnya masih gagah. Di depannya duduk pula empat orang laki-laki lain yang agaknya menjadi tamunya. Ketika dua orang pembantu Ketua Tiat-ciang-pang itu melaporkan bahwa orang yang dijemput telah tiba, dan laki-laki itu memandang Ceng Ceng, dia mengerutkan alisnya. Kemudian mempersilakan empat orang sekutunya itu keluar, juga dua orang pembantunya yang menjemput Ceng Ceng disuruhnya keluar. Setelah mereka berada berdua saja di ruangan itu, laki-laki yang bukan lain adalah Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat itu, bangkit berdiri dan menjura ke arah Ceng Ceng. Ceng Ceng memandang tajam, melihat bahwa setelah berdiri, laki-laki itu bertubuh agak pendek dan gendut, namun sikapnya gagah dan berwibawa.

   "Silakan duduk, Nona. Bagaimana kabarnya dengan Loan-ngo Mo-li, terutama sekali dengan Nona Song Lan Ci?"

   Tong Hoat bertanya dengan ramah. Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak mengenal siapa adanya Loan-ngo Mo-li atau Song Lan Ci sekalipun."

   Mendengar jawaban ini, berubah wajah Tong Hoat dan dia meloncat berdiri, sejenak memandang ke luar seolah-olah dia hendak bertanya kepada dua orang pembantunya yang sudah disuruhnya keluar tadi, kemudian dia memandang wajah Ceng Ceng penuh perhatian dan keraguan.

   "Nona, apa yang kau katakan ini? Bukankah engkau diutus oleh Nona Song...."

   "Aku tidak mengenal dia!"

   Tong Hoat menjadi makin curiga dan dia memandang marah.

   "Kalau begitu, siapa engkau dan mengapa engkau berani memalsukan orang yang kuundang?"

   Ceng Ceng mengangkat mukanya dan memandang dengan berani.

   "Siapa adanya aku, tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Aku tidak mengenal orang-orang yang kau sebut namanya tadi, juga aku tidak mempunyai urusan dengan Tiat-ciang-pang. Aku datang ke sini karena ketika aku lewat di jembatan, aku menendang pot bunga dan aku disambut oleh dua orangmu yang membawa perahu. Nah, sekarang aku berada di sini dan aku bukan orang yang kau undang. Habis, engkau mau apa?"

   Mendengar ucapan Ceng Ceng dan melihat sikap gadis itu, Tong Hoat terheran-heran, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu dara muda yang cantik ini bukan orang sembarangan.

   Kalau sampai bocor rahasia ini dan ketahuan oleh pihak lawan bahwa dia telah keliru memanggil orang, tentu selain akan mendatangkan ejekan dan tertawaan, juga lawan akan melihat kelemahan Tiat-ciang-pang. Kembali dia memandang Ceng Ceng. Seorang wanita muda yang telah berani menempuh bahaya ketika dijemput dua orang pembantunya seperti dara ini, tentu memiliki kepandaian yang tinggi, pikirnya. Kalau tidak demikian halnya, tentu dua orang pembantunya akan mengetahui kekeliruan mereka dan sudah bertindak. Maka timbul pikirannya untuk menyambut orang yang keliru dlpanggil ini sebagal seorang kawan, daripada sebagai lawan dalam keadaan menghadapi pihak lawan yang menjadi kaki tangan pemberontak. Dia lalu tertawa dan duduk kembali.

   "Ha-ha-ha, ini namanya jodoh! Memang kita berjodoh untuk menjadi sahabat, Nona. Kuharap engkau suka memaafkan ketololan dua orang pembantuku. Akan tetapi sungguh kami merasa mendapat kehormatan besar memperoleh kunjungan seorang wanita gagah seperti Nona. Ketahuilah bahwa aku adalah pangcu (ketua) dari Tiat-ciang-pang dan satu di antara kegemaranku adalah bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw."

   Ceng Ceng memutar otaknya. Orang ini adalah ketua perkumpulan yang agaknya besar dan berpengaruh. Dia sudah datang ke tempat itu, sebaiknya kalau dia bersahabat dengan ketua ini. Dengan bantuan ketua ini, agaknya akan lebih mudah baginya untuk menyelidiki di mana adanya musuh besarnya.

   "Kalau memang engkau berniat baik, Pangcu, aku pun datang bukan untuk mencari musuh baru. Namaku adalah Lu Ceng, dan seperti kukatakan tadi, aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan orang-orang yang kau undang, juga tidak ingin mencampuri urusan pemilihan bengcu di sini."

   Tong Hoat kembali tersenyum, lalu bangkit dan menjura.

   "Aku merasa terhormat sekali, Nona Lu Ceng. Aku adalah Tong Hoat yang dikenal sebagai Tiat-ciang (Si Tangan Besi), ketua dari Tiat-ciang-pang. Sebelum kita bicara lebih jauh, sebagai tanda perkenalan dan penghormatanku, aku mempersilakan Nona minum arak penghormatan ini!"

   Ketua itu menuangkan secawan arak lalu memberikan cawan itu kepada Lu Ceng.

   Ceng Ceng menerima tanpa banyak cakap, lalu membawa cawan itu ke dekat bibirnya. Sekali cium saja mengertilah dia bahwa arak itu dicampuri obat bius! Hatinya marah bukan main dan ingin dia melemparkan cawan dan araknya itu ke muka ketua Tiat-ciang-pang. Akan tetapi kemarahan ini ditahannya. Dia hendak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya, pula dia malah ingin memperlihatkan bahwa dia tidak takut akan segala macam obat bius. Jangankan baru obat bius yang merupakan racun yang lemah saja, biar minuman itu dicampuri racun yang akan menghanguskan isi perut orang lain, dia masih akan berani meminumnya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu minum habis arak itu sekali teguk, dipandang dengan sepasang mata bersinar-sinar oleh Tong Hoat.

   "Bagus, ternyata engkau seorang yang gagah, Nona. Agaknya engkau sudah mendengar dari kedua orangku bahwa kami di sini menyelenggarakan pertemuan di antara golongan kami untuk memilih seorang beng-cu...."

   Ketua itu menghentikan kata-katanya saking herannya melihat Ceng Ceng sama sekali tidak kelihatan terpengaruh oleh obat bius yang biasanya amat kuat dan manjur itu. Apalagi ketika dia melihat Ceng Ceng bangkit berdiri dan menyambar guci arak yang istimewa itu di mana terdapat arak yang sudah dicampuri obat bius, kemudian tanpa banyak cakap Ceng Ceng lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawannya sampai dua kali dan terus meminumnya, ketua ini memandang bengong! Satu cawan arak itu cukup untuk membius dua tiga orang dewasa, dan tiga cawan arak itu akan berubah menjadi racun yang mematikan!

   "Eh, sudah cukup arak itu, Nona....!"

   Dia menegur.

   "Hemm, engkau kiranya seorang tuan rumah yang pelit!"

   Ceng Ceng pura-pura marah, lalu melemparkan guci itu ke atas. Guci berputaran ke atas, lalu turun perlahan ke atas meja seperti diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, dan sedikit pun tidak ada arak yang tumpah dari dalam guci. Tong Hoat memandang dan demonstrasi lontaran yang mempergunakan tenaga sin-kang ini sama sekali tidak membuat dia terheran karena dia sendiri pun agaknya akan mampu melakukannya. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah karena nona muda itu telah menghabiskan tiga cawan arak bercampur obat bius dan kelihatannya masih enak-enak saja!

   "Lekas, Nona Lu! Kau minumlah obat penawar racun ini!"

   Dia mengeluarkan sebutir pel dari dalam bungkusan.

   "Lekas sebelum terlambat....!"

   Katanya dengan nada khawatir sekali. Ceng Ceng memandang tajam dan tidak menerima obat itu. Dia merasa makin heran akan sikap Ketua Tiat-ciang-pang ini. Tadi sengaja hendak meracuninya dengan obat bius, dan sekarang bingung memberikan obat penawarnya!

   "Kenapa ribut-ribut?"

   Bentaknya sambil bangkit berdiri.

   "Bukankah kau sengaja menaruh racun ke dalam arak itu dan ingin melihat aku roboh pingsan?"

   Ketua itu makin terkejut mendengar ini. Kiranya nona muda ini malah sudah tahu bahwa yang diminumnya adalah arak yang bercampur racun akan tetapi toh masih diminumnya, bukan hanya satu cawan seperti disuguhkannya, melainkan mengambil sendiri dan minum sampai tiga cawan! Apa artinya ini?

   "Nona Lu.... maafkan aku. Memang, tadinya aku hendak mengujimu. Kalau kau mudah saja terjebak dan pulas oleh obat bius, maka engkau bukanlah orang yang dapat kuharapkan bantuannya. Akan tetapi engkau tidak apa-apa, dan engkau minum lagi dua cawan! Ini di luar perhitunganku dan aku tidak ingin melihat engkau celaka karena racun. Maka kau minumlah obat penawar ini!"

   Ceng Ceng tersenyum. Kemarahannya lenyap seketika. Kiranya ketua ini hanya ingin mengujinya! Sambil tersenyum dia menghampiri guci tadi, menuangkannya lagi sampai tiga kali ke dalam cawannya dan minum berturut-turut tiga kali lagi! Setelah itu, dia mengusap bibirnya dengan saputangan, memandang ketua itu dan berkata,

   "Pangcu, baru enam cawan yang dicampuri obat bius seperti ini, apa sih artinya?"

   Melihat ini, Tong Hoat menjadi kagum dan terheran-heran. Dia menjadi girang dan segera menjura dengan dalam.

   "Aihh, kiranya mataku sudah lamur saking tuanya, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata, tidak melihat kedatangan seorang yang memiliki kesaktian hebat! Nona Lu, engkau benar-benar menggirangkan dan mengagumkan hatiku, dan kami Tiat-ciang-pang akan berterima kasih sekali apabila Nona sudi membantu kami!"

   Ceng Ceng duduk kembali, lalu berkata tenang,

   "Aku ingin mendengar dulu dalam hal apa aku dapat membantumu, Pangcu."

   "Membantu memperkuat kedudukanku agar kita dapat merampas kedudukan bengcu, Nona Lu."

   "Hemm.... bagaimana mungkin aku membantu engkau mengejar kedudukan untukku, Pangcu? Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi orang lain...."

   "Jangan salah mengerti, Nona Lu. Aku tidak haus akan kedudukan. Aku sudah menjadi pangcu dari Tiat-ciang-pang, itu pun sudah cukup memusingkan. Siapa sudi menjadi beng-cu yang hanya akan menghadapi banyak pekerjaan yang memusingkan belaka? Kalau aku ingin merampas kedudukan itu hanyalah untuk menyelamatkan seluruh golongan hek-to (jalan hitam)!"

   "Menyelamatkan bagaima-na?"

   "Agar jangan sampai mereka itu dibawa menyeleweng!"

   Hampir saja Ceng Ceng tertawa keras mendengar ini. Pangcu ini ingin menjaga agar kaum sesat, manusia-manusia yang sudah hidup menyeleweng itu tidak dibawa nyeleweng! Betapa lucu dan anehnya!

   "Aku tidak mengerti, Pangcu. Menyeleweng bagaimana yang kau maksudkan?"

   "Dengar baik-baik, Nona. Kaum pemberontak diam-diam sudah merajalela di seluruh pelosok dan kini mereka itu berusaha untuk menguasai dan mempengaruhi kaum hek-to. Biarpun kami tergolong orang-orang dari hek-to, namun kami memiliki kehormatan. Urusan mencopet dan merampok adalah urusan pekerjaan, akan tetapi menjadi pemberontak adalah suatu kerendahan dan merupakan perbuatan hina! Kami dari Tiat-ciang-pang menentangnya mati-matian. Karena tidak ingin melihat golongan hek-to diperalat oleh seorang beng-cu yang menjadi kaki tangan pemberontakan, maka mati-matian kami hendak mempertahankannya agar kedudukan beng-cu tidak sampai terjatuh ke tangan seorang kaki tangan pemberontak!"

   Ceng Ceng mengangguk-angguk. Mengertilah dia kini akan persoalannya, dan diam-diam dia merasa heran dan kagum juga mengapa seorang ketua perkumpulan kaum sesat ini memiliki jiwa patriot juga! Tentu saja Ceng Ceng siap sedia untuk membantu kerajaan menghadapi pemberontak. Betapapun juga, dia adalah keturunan orang-orang yang setia kepada negara!

   "Baik, kalau begitu aku akan membantu, Pangcu. Akan tetapi ingatlah baik-baik, aku bukan membantu engkau pribadi atau membantu Tiat-ciang-pang, melainkan membantu untuk menentang kaki tangan pemberontak! Nah, sekarang jelaskan, siapa dan pihak manakah yang menjadi kaki tangan pemberontak di antara golongan hek-to?"

   "Di antara kami kaum sesat telah terpecah belah menjadi empat kelompok,"

   Ketua Tiat-ciang-pang itu menuturkan. Selanjutnya dengan panjang lebar dia menceritakan keadaan kaum sesat yang berkumpul di tempat itu. Di antara empat kelompok kaum sesat itu, kelompok pertama tentu saja adalah perkumpulan Tiat-ciang-pang di-ketuai oleh Tong Hoat yang merasa bahwa perkumpulannya adalah perkumpulan penjahat-penjahat yang berjiwa gagah dan patriotik, yang menentang usaha pihak pemberontak untuk menarik kaum sesat sebagai sekutunya. Kelompok ke dua adalah kelompok yang dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk menguasai dunia kaum sesat membujuk mereka yang belum mau menggabungkan diri, dan kelompok ini terdiri dari para pencuri, dipimpin oleh seorang maling terkenal yang berjuluk Tangan Malaikat!

   Kelompok ke tiga hanya terdiri dari belasan orang bajak yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik she Ma dan mereka ini adalah orang-orang yang bermuka dua atau orang-orang yang licik, yang berjanji suka membantu pemberontak asal mereka diberi kedudukan sebagai beng-cu! Sedangkan kelompok ke empat adalah para penjudi, ialah sisanya yang tetap tidak memihak mana pun, bahkan menganggap bahwa urusan pemberontakan terhadap pemerintah bukanlah urusan mereka. Melihat perpecahan di antara kaum sesat ini maka Tong Hoat memelopori diadakannya pertemuan pada hari itu untuk memilih beng-cu. Tentu saja kesempatan ini dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk dapat menguasai mereka, bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri segera mengirim utusan untuk menjamin agar pihaknya berhasil menguasai golongan hitam yang merupakan kekuatan yang cukup besar. Ceng Ceng mendengarkan penuturan ini dengan penuh perhatian. Kemudian dia berkata,

   "Kalau begitu, seperti telah kukatakan tadi, Pangcu, urusan antara golonganmu tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Akan tetapi, kalau aku melihat bahwa kaki tangan pemberontak ingin menguasai golonganmu untuk kepentingan pemberontakan, tentu aku akan turun tangan menentangnya."

   Tong Hoat sudah merasa cukup puas dengan janji ini dan tak lama kemudian dia mengajak Ceng Ceng keluar karena pertemuan akan segera dimulai. Empat kelompok itu sudah berkumpul di sekeliling lapangan luas di tepi sungai, dan jelas tampak bahwa kelompok terbesar adalah kelompok Tiat-ciang-pang. Juga kelihatan bahwa empat kelompok itu masing-masing memiliki jagoan-jagoan yang berdiri di depan kelompoknya. Di tengah-tengah lapangan rumput yang mereka kelilingi itu terdapat sebuah bangunan panggung yang luasnya tidak kurang dari sepuluh meter persegi. Panggung itu dijaga di bawahnya oleh para anggauta Tiat-ciang-pang yang bertindak sebagai pengundang atau tuan rumahnya. Dengan gerakan ringan seperti seekor burung garuda melayang, Tong Hoat sudah meloncat ke atas panggung. Dia menjura ke empat penjuru, lalu berkata lantang,

   "Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat tentu sudah maklum bahwa pertemuan ini diadakan untuk melakukan pemilihan seorang beng-cu. Kita semua membutuhkan seorang beng-cu. Kita semua membutuhkan seorang pemimpin di jaman kacau ini agar dapat mengadakan ketertiban antara kita semua. Karena kita adalah orang-orang yang mengandalkan kekuatan tangan kaki untuk dapat hidup, maka pemilihan beng-cu pun didasarkan atas tingkat kekuatan tangan dan kaki. Siapa yang terpandai di antara kita, dari golongan mana pun dia datang, berhak untuk menjadi beng-cu dan memimpin kita semua. Kami persilakan orang gagah yang ingin memasuki pemilihan untuk naik ke panggung."

   Tong Hoat lalu menjura lagi dan melompat turun membiarkan panggung itu kosong lagi untuk menanti munculnya para calon beng-cu.

   Tak lama kemudian berkelebat dua bayangan orang yang meloncat ke atas panggung. Ceng Ceng yang menyelinap di antara para anggauta Tiat-ciang-pang dan mencari-cari musuhnya dengan harapan kalau-kalau dia akan dapat menemukan pemuda laknat di antara para kaum sesat ini, melihat bahwa yang berada di atas panggung adalah dua orang laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan keduanya memiliki sikap yang kasar seperti tukang-tukang pukul. Seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk kartu dari sakunya, mengocok kartu itu sambil tersenyum dan berkata kepada teman-temannya,

   "Wah, mudah-mudahan saja ada lawan yang tebal kantong!"

   Dari sikap ini Ceng Ceng sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah dua orang penjudi ulung. Akan tetapi orang ke dua hanya tersenyum, kemudian dia menjura ke empat penjuru dan berkata,

   "Kami adalah dua saudara seperguruan dan golongan kami paling tidak suka melihat urusan politik. Pemerintah maupun pemberontak bukanlah sekutu kami. Di antara golongan kami, kami berdua menjadi calon beng-cu dan kalau kami berdua berhasil menduduki kursi bengcu, kami berdua akan mengatur agar semua kaum kita tidak mencampuri urusan pemerintah maupun pemberontak."

   "Ho-ho, manusia-manusia sombong!"

   Terdengar bentakan dan kelihatan dua sosok bayangan orang melayang ke atas panggung. Mereka adalah dua orang kakak beradik she Ma seperti yang telah diceritakan oleh Tong Hoat kepada Ceng Ceng. Dengan lagak sombong kedua orang she Ma yang bertubuh tinggi kurus itu memperkenalkan diri.

   "Kami dua orang kakak beradik Ma Ciang dan Ma Kai tidak hendak menjanjikan apa-apa lebih dulu seperti dua orang sombong ini. Kalau kami telah berhasil menjadi beng-cu, baru akan kami adakan peraturan yang harus diturut oleh semua kawan."

   Orang ke dua dari kakak beradik Ma ini lalu menghampiri dua orang pertama sambil membentak,

   "Hayo kalian turun lagi sebelum kami paksa untuk turun!"

   "Ha-ha-ha!"

   Penjudi yang mempermainkan kartu-kartunya tertawa.

   "Kami sudah mendengar akan kelihaian kakak beradik she Ma, tukang-tukang todong yang disegani. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut, dan dalam memperebutkan kedudukan beng-cu, hak kami pun sama besarnya dengan kalian atau siapa juga. Lebih baik kalian yang turun daripada mendapat malu dan kalah oleh kami berdua, ha-ha-ha!"

   "Cet-cet-cet-cettt....!"

   Penjudi itu tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya dan empat helai kartunya melayang dan menyambar papan, di situ empat helai kartu itu menancap sampai setengahnya lebih. Semua orang melongo dan merasa kagum juga ngeri. Ternyata hebat sekali penjudi ini. Kartu-kartunya dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang demikian ampuh. Mengenai papan yang keras saja menancap sampai dalam, kalau mengenai tubuh orang tentu akan hebat akibatnya, tidak kalah oleh senjata rahasia apa pun. Akan tetapi Ma Ciang tertawa bergelak ketika dia mencabut sebuah di antara empat helai kartu yang menancap di papan itu.

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha-ha-ha, dasar ular-ular kartu, tentu pandai bermain gila dengan kartu-kartunya!"

   Dia meremas kartu itu dan terdengar bunyi seperti barang keras patah-patah. Ternyata kartu terbuat dari besi tipis dan digambari seperti kartu, bukan kartu kertas biasa! Dua orang penjudi itu menjadi marah dan telah mencabut senjata pedang mereka yang tersembunyi di balik baju, kemudian maju menerjang.

   Akan tetapi kakak beradik she Ma telah siap, dengan gerakan lincah mereka mencelat ke belakang dan mencabut golok mereka. Maka terjadilah pertandingan mati-matian antara dua orang penjudi dan dua orang perampok itu. Suara senjata pedang bertemu golok terdengar nyaring dan mengerikan. Ceng Ceng menonton dan menahan napas. Hatinya terasa tegang. Melihat pertempuran bukan merupakan tontonan aneh baginya, akan tetapi dia melihat seorang pemuda yang muncul di antara para anggauta golongan sesat itu dan hatinya tegang sekali ketika dia mengenal pemuda itu. Seorang pemuda tampan yang menyelinap di antara banyak orang, hanya sebentar saja tampak olehnya namun segera pemuda itu lenyap kembali, agaknya berdiri di bagian belakang dan sengaja menyembunyikan diri. Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!

   Melihat kehadiran pemuda yang dia tahu amat lihai ini, dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang hebat. Ceng Ceng yang cerdik dapat menduga bahwa tentu pemuda itu mewakili kaum pemberontak untuk menguasai golongan sesat. Melihat munculnya Tek Hoat, otomatis Ceng Ceng juga menyelinap ke belakang para anggauta Tiat-ciang-pang agar pemuda itu tidak melihatnya. Dari belakang beberapa orang dia mengintai dan mencari-cari, namun Tek Hoat tidak kelihatan bayangannya lagi. Teriakan kesakitan membuat Ceng Ceng menoleh dan memandang ke atas panggung. Ternyata dua orang penjudi itu terhuyung dan terluka oleh golok kedua orang kakak beradik she Ma dan kini dua orang perampok tunggal itu menggunakan kaki menendang lawan yang sudah terluka.

   Dua orang penjudi terlempar ke bawah panggung dan cepat mereka ditolong oleh kawan-kawan mereka yang segera mengundurkan diri karena setelah dua orang jagoan mereka kalah, mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk kemenangan bagi golongan mereka. Dua orang saudara Ma masih berdiri di atas panggung memegang golok mereka sambil tersenyum-senyum memandang ke empat penjuru. Beberapa kali mereka mengajukan tantangan kepada calon beng-cu lain untuk menguji kepandaian, akan tetapi tidak kelihatan ada yang meloncat naik. Hal ini memang disengaja oleh para kaki tangan pemberontak yang dipimpin oleh Si Tangan Malaikat setelah dia mendapat perintah dari pemuda yang mewakili utusan Pangeran Liong Bin Ong. Tek Hoat memang amat cerdik.

   Kalau orang-orangnya sendiri yang maju dan merampas kedudukan beng-cu, hal itu akan terlalu mencolok dan kurang baik, kecuali kalau memang terpaksa. Kalau sekarang dua orang saudara Ma yang dia tahu merupakan orang-orang bermuka dua, dapat menjadi beng-cu, hal itu lebih baik. Mudah untuk mempengaruhi dua orang ini, dengan jalan menyogok dengan uang. Yang penting bagi dia, atau bagi pemberontak adalah agar kaum sesat jangan sampai dikuasai oleh Tiat-ciang-pang yang anti pemberontak dan mempunyai kesetiaan kepada kerajaan. Oleh karena inilah, maka dia memerintahkan agar anak buahnya, ter-masuk Si Tangan Malaikat, jangan menyambut tantangan dua orang saudara Ma, bahkan boleh menyumbang suara untuk mengangkat mereka sebagai beng-cu! Ma Ciang dan Ma Kai yang melihat bahwa mereka tidak disambut orang, menjadi heran dan juga girang. Ma Ciang lalu berkata lantang,

   "Saudara sekalian, rekan-rekan yang terhormat! Kalau memang tidak ada lagi calon yang merasa cukup kuat untuk mengalahkan kami, maka kami minta agar kalian memberi suara mengangkat kami sebagai beng-cu dan wakilnya!"

   "Setuju....!"

   "Kita mengangkat kedua saudara Ma sebagai beng-cu dan wakilnya!"

   Keadaan menjadi ribut karena suara mereka yang memberikan suaranya, tentu saja didukung oleh semua anak buah para pemberontak yang menyelundup di antara mereka. Hanya golongan yang tadi kalah saja yang diam dan hanya menonton dengan wajah muram, sedangkan golongan Tiat-ciang-pang tidak ada seorang pun yang bersuara.

   "Lu-siocia (Nona Lu), lihatlah betapa anak buah pemberontak mendukung mereka, sedangkan dua orang itu adalah orang-orang bermuka dua yang mudah saja dibeli. Apakah Nona tidak akan turun tangan?"

   Bisik Tong Hoat Ketua Tiat-ciang-pang kepada Ceng Ceng. Ceng Ceng menggelengkan kepalanya.

   "Sudah kukatakan bahwa aku tidak akan mencampuri urusan pemilihan beng-cu, dan aku hanya turun tangan kalau anak buah pemberontak sendiri yang naik ke panggung, itu pun kalau engkau tidak mampu mengatasinya, Pangcu."

   Ketua itu mengangguk.

   "Baiklah, aku hanya mengharapkan bantuan Nona untuk membela negara karena aku pun bukan seorang yang haus akan kedudukan bengcu."

   Setelah berkata demikian, Tong Hoat berteriak keras mengatasi suara gaduh mereka yang sedang menyokong suara kepada dua orang saudara Ma. Teriakannya ini membuat semua orang ini diam, apalagi ketika mereka melihat Ketua Tiat-ciang-pang sudah meloncat naik ke atas panggung. Dua orang saudara Ma memang sudah sejak tadi menanti munculnya jagoan dari Tiat-ciang-pang ini, maka kini mereka menghadapi Tong Hoat sambil tersenyum. Ma Ciang berkata,

   "Aihh, kiranya Pangcu sendiri sebagai tuan rumah yang memberi penghormatan kepada kami! Apakah Pang-cu dan semua anggauta Tiat-ciang-pang tidak rela kalau kami yang terpilih menjadi beng-cu?"

   Ma Kai juga berkata,

   "Agaknya pangcu dari Tiat-ciang-pang juga menginginkan kedudukan beng-cu!"

   Tong Hoat memandang tajam dan suaranya terdengar lantang oleh semua orang ketika dia menjawab,

   "Saya adalah pangcu dari Tiat-ciang-pang dan saya sama sekali tidak haus akan kedudukan beng-cu. Kalau kami mempelopori pertemuan dan mengadakan pemilihan beng-cu ini adalah karena kami melihat adanya perpecahan di antara kami. Sekarang, Ji-wi telah menang dari dua orang saudara dari golongan penjudi tadi. Akan tetapi, seorang beng-cu dan wakilnya harus orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi untuk dapat diandalkan oleh golongan kita semua. Oleh karena itu, terpaksa karena tidak ada lagi yang mau naik, saya sendiri yang akan menguji apakah Ji-wi sudah tepat dan pantas untuk menjadi beng-cu dan wakilnya. Kalau memang cukup kuat dan lihai, tentu saja kami juga akan setuju jika Ji-wi diangkat menjadi pimpinan."

   "Bagus! Dengan lain kata-kata Pangcu menantang kami berdua! Kai-te (Adik Kai), hayo kita coba kelihaian pang-cu dari Tiat-ciang-pang ini!"

   Setelah berkata demikian, Ma Ciang dan Ma Kai memutar-mutar golok mereka di atas kepala dan bergerak mengelilingi Ketua Tiat-ciang-pang itu.

   "Tidak adil! Tidak adil!"

   Tedengar teriakan dari para anggauta Tiat-ciang-pang.

   "Dua orang me-ngeroyok satu orang sudah tidak adil!"

   "Apalagi kalau menggunakan golok mengeroyok seorang bertangan kosong!"

   Teriakan-teriakan ini terdengar susul-menyusul dan disokong pula oleh golongan yang tadinya diwakili oleh dia orang penjudi. Golongan ini memang tidak pro atau anti pemberonta-kan, akan tetapi melihat Ketua Tiat-ciang-pang akan dikeroyok dua, mereka merasa tidak senang. Ma Ciang dan Ma Kai menjadi malu juga, wajah mereka merah dan sambil tertawa Ma Ciang menyimpan goloknya diturut oleh adiknya, lalu berkata,

   "Baiklah, kalau pang-cu dari Tiat-ciang-pang ngeri melihat darah, kami akan melayani dengan tangan kosong pula, kecuali kalau Pang-cu jerih menghadapi kami bersama."

   Ucapan ini pun lantang terdengar oleh semua orang. Tong Hoat mengerutkan alisnya, dia maklum bahwa kedua orang ini hanya besar mulutnya belaka. Biarpun mereka menggunakan golok, dia pun tidak takut, apalagi bertangan kosong. Melihat gerakan mereka tadi ketika melawan dua orang jagoan pertama, dia sudah dapat menilai tingkat mereka dan merasa pasti akan dapat mengalahkan mereka berdua, bersenjata maupun tidak.

   "Silakan Ji-wi maju, saya sudah siap menghadapi Ji-wi maju bersama!"

   Teriaknya. Ma Ciang dan Ma Kai menjadi girang. Mereka mengira bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini telah berhasil mereka bakar hatinya sehingga malu untuk mundur. Sambil menggereng seperti dua ekor harimau kelaparan, mereka menerjang ke depan, mencengkeram dan memukul. Tong Hoat sudah siap. Tubuhnya bergerak mengelak dan menangkis, lalu mengirim pukulan balasan.

   "Dukkk! Dukkk!"

   Dua orang bersaudara Ma terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Lengan mereka terasa sakit sekali ketika beradu dengan lengan Tong Hoat yang tentu saja mengerahkan ilmunya Tangan Besi! Namun dua orang itu bukan menjadi jera bahkan menjadi penasaran dan marah, lalu menerjang lagi dengan lebih dahsyat, disambut dengan tenang oleh Tong Hoat. Lega hati Ceng Ceng menyaksikan jalannya pertandingan itu.

   Dia yakin bahwa Ketua Tiat-ciang-pang yang benar-benar lihai ilmu silatnya bertangan kosong itu akan dapat mengalahkan kedua orang lawannya dengan mudah sehingga dia tidak perlu turun tangan membantu. Setelah melihat munculnya Tek Hoat, dia menjadi makin ragu untuk mencampuri urusan pemilihan beng-cu ini. Kecuali kalau Tek Hoat yang maju, jelas bahwa pihak pemberontak ingin menguasai golongan ini dan kalau demikian halnya, dia tentu akan turun tangan! Sekarang, melihat Tong Hoat mendesak kedua orang lawannya, perhatiannya kembali ditujukan untuk mencari musuh besarnya dan dia mulai bergerak perlahan mencari-cari di antara para hadirin yang banyak jumlahnya itu. Pertandingan di atas panggung masih berjalan dengan seru. Dua orang saudara Ma dengan bernapsu mencoba untuk mengalahkan Ketua Tiat-ciang-pang, akan tetapi karena memang kalah tingkat dan kalah kuat,

   Mereka terdesak terus dan setiap kali Tong Hoat menangkis dengan pengerahan tenaga, mereka tentu terdorong dan terhuyung ke belakang dan menyeringai kesakitan, tanda bahwa dalam pertemuan lengan itu mereka jauh kalah kuat. Betapapun kedua orang itu mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, namun belum sampai lima puluh jurus akhirnya mereka harus mengakui keunggulan Tong Hoat. Ketua Tiat-ciang-pang ini menggunakan kekuatan tangan besinya menampar dalam kesempatan yang terbuka dan berturut-turut mereka terlempar dari atas panggung. Biarpun Ketua Tiat-ciang-pang yang masih mengingat akan hubungan antara golongan tidak memukul keras sehingga mereka tidak sampai terluka parah, namun keduanya tidak berani nekat naik lagi karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan Ketua Tiat-ciang-pang itu.

   "Bagus! Tiat-ciang-pang mengundang orang hanya untuk memamerkan kepandaian sendiri!"

   Terdengar seruan orang dan dari bawah panggung tampak seorang laki-laki tinggi kurus meloncat naik ke panggung. Ketika semua orang memandang, mereka berbisik-bisik dengan hati tegang karena maklum bahwa tentu akan terjadi pertandingan yang amat hebat antara pendatang baru yang mereka kenal baik ini menghadapi Ketua Tiat-ciang-pang. Orang tinggi kurus ini bukan lain adalah tokoh besar golongan maling yang berjuluk Tangan Malaikat! Kini Tangan Malaikat hendak menantang Tangan Besi, tentu saja akan terjadi pertandingan ramai! Sebetulnya sudah lama terdapat kebencian antara dua golongan ini, yaitu golongan para maling dan golongan pencopet dan perampok yang bergabung di dalam perkumpulan Tiat-ciang-pang.
(Lanjut ke Jilid 27)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 27
Hal ini adalah karena Tiat-ciang-pang memandang rendah golongan maling, bahkan tidak mau menerima seorang pencuri sebagai anggauta, maka tentu saja golongan ini merasa terhina dan menaruh dendam. Ketika tokoh maling yang berjuluk Tangan Malaikat itu yang bernama Lauw Sek, datang dari selatan dan bergabung dengan golongan maling, mereka merasa menemukan seorang jagoan dan secara tidak resmi mengangkat Lauw Sek sebagai pimpinan mereka. Lauw Sek Si Tangan Malaikat ini dengan mudah saja terpikat oleh kaum pemberontak, dan diam-diam Lauw Sek membawa teman-temannya untuk bersekutu dengan kaki tangan pemberontak yang ingin menguasai kaum sesat. Lauw Sek adalah seorang yang memiliki kepandaian cukup tinggi maka dia berani memakai julukan Tangan Malaikat yang menyatakan bahwa selain pandai ilmu silat, juga dia adalah seorang ahli mencopet dan mencuri.

   Akan tetapi selama ini ia tidak begitu bodoh untuk mencari perkara dengan Tiat-ciang-pang yang merupakan perkumpulan besar yang banyak anggautanya. Sekarang, dalam pertemuan resmi ini, dimana diadakan pemilihan beng-cu, apalagi karena didukung oleh kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, dia menjadi berani untuk menentang dan menghadapi orang yang selama ini memang dibenci oleh dia dan kawan-kawannya. Kini kedua orang yang diam-diam saling membenci itu berhadapan di atas panggung. Tong Hoat juga membenci orang ini karena memang dia selalu memandang rendah kaum pencuri yang di-anggapnya merupakan pengecut besar, apalagi setelah dia mengetahui bahwa Tangan Malaikat dan kawan-kawannya telah merendahkan diri untuk diperalat oleh kaum pemberontak.

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 25 Pendekar Super Sakti Eps 45 Pendekar Super Sakti Eps 39

Cari Blog Ini