Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 52


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 52



"Manusia sombong, agaknya engkau telah berkhianat dan memihak Hek-tiauw Lo-mo. Minggir....!"

   Milana maju dan mendorong Topeng Setan agar ke pinggir akan tetapi Topeng Setan menggerakkan tangan kanannya menangkis.

   "Desss....!"

   Milana terlempar hampir jatuh oleh tangkisan itu, baiknya Bun Beng cepat menyambar lengannya. Milana dan Bun Beng terkejut bukan main. Apalagi Milana. Wanita perkasa ini tadi su-dah mengerahkan seluruh tenaganya karena dia dapat menduga bahwa Topeng Setan ini memiliki kepandaian hebat, namun dia terlempar oleh tangkisan itu. Sungguh hebat orang ini. Hek-tiauw Lo-mo, pembantunya yang utama Ji Song, dan Mauw Siauw Moli juga kaget bukan main melihat betapa Topeng Setan dapat menangkis dan membuat puteri yang mereka segani dan ta-kuti itu terlempar! Akan tetapi, Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang melihat Suma Kian Bu muncul bersama Milana dan Gak Bun Beng menjadi girang dan juga khawatir.

   "Kian Bu....!"

   Dia berseru memanggil akan tetapi pemuda itu sudah cepat melompat ke belakang dan menghilang karena dia merasa malu sekali kalau sampai wanita cantik yang membuat dia mabuk dan lupa daratan, membuat dia tenggelam dalam permainan cinta dan nafsu berahi, akan membuka rahasia yang memalukan di depan encinya dan suhengnya. Pada saat itu, Milana sudah menjadi marah bukan main.

   "Kau mundurlah, biar aku menghadapinya,"

   Kata Bun Beng, akan tetapi Milana yang sudah penasaran itu membantah.

   "Biar aku mencobanya sekali lagi!"

   Puteri Milana sudah mengerahkan tenaga sakti dari Pulau Es, yaitu tenaga Swat-im Sin-kang.

   Setelah mengerahkan tenaga mujijat ini, tangan puteri itu kelihatan mengkilap kebiruan dan di ruangan itu menyambar hawa yang amat dingin! Topeng Setan maklum bahwa puteri ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, maka dia pun terpaksa mengerahkan ilmunya yang mujijat, yang baru saja dikuasainya, yaitu tenaga Sin-liong-hok-te. Tubuhnya memasang kuda-kuda rendah sekali, hampir menelungkup, lengan kanannya lurus ke depan dengan jari-jari tangan membentuk kepala ular, tu-buhnya kaku kejang dan anehnya, lengan kiri yang hanya tinggal lengan bajunya yang kosong itu seolah-olah "hidup", dapat bergerak-gerak lurus ke belakang dan kopat-kapit seperti ekor naga!

   "Pergi!"

   Milana membentak dan wanita ini sudah mendorong dengan lengan tangannya. Hawa yang amat dingin menyambar ke arah Topeng Setan. Pukulan yang didasari tenaga Swat-im Sin-kang ini hebat dan dahsyat bukan main. Dengan ilmu ini yang sudah sampai di puncaknya, air pun terkena hawa pukulan ini akan menjadi beku! Topeng Setan memapaki dengan lengan kanannya dalam tangkisan yang dahsyat pula.

   "Desss....!"

   Kembali tubuh Milana terlempar ke belakang sedangkan Topeng Setan hanya melangkah mundur dua langkah saja. Dan kembali Gak Bun Beng yang menyambar lengan Milana. Sekali ini Milana tidak banyak membantah ketika Bun Beng yang maju menghadapi Topeng Setan. Hek-tiauw Lo-mo dan para pembantunya memandang heran dan terkejut, akan tetapi juga girang bahwa "pembantu"

   Mereka itu dapat menolong mereka menghadapi para lawan yang tangguh itu.

   Diam-diam Hek-tiauw Lo-mo memberi isyarat kepada sumoinya dan kepada para pembantu dan anak buahnya dan diam-diam mereka itu mundur ke dalam. Mereka hendak mempergunakan kesempatan selagi para musuh sibuk menghadapi To-peng Setan yang hebat itu untuk meloloskan diri karena mereka merasa tidak akan menguntungkan kalau melawan pasukan pemerintah yang dipimpin sendiri oleh Puteri Milana. Gak Bun Beng memandang tajam dan dengan penuh keheranan. Selama hidupnya yang penuh dengan pengalaman dan pertempuran melawan orang-orang pandai, tokoh-tokoh sesat dari seluruh dunia persilatan belum pernah dia bertemu dengan orang yang menggunakan ilmu pukulan semacam yang diperlihatkan Topeng Setan ini.

   Penghimpunan sin-kang dengan tubuh merendah hampir menelungkup itu! Dia sendiri pernah melatih diri di bawah pimpinan Bu-tek Siauw-jin tokoh besar di Pulau Neraka dengan sin-kang mujijat yang dinamakan Tenaga Sakti Inti Bumi, yang juga pengerahan tenaganya dilakukan dengan menelungkup di atas tanah, akan tetapi sungguh berbeda lagi dengan yang diperlihatkan Topeng Setan tadi. Apalagi gerakan ilmu silat yang aneh itu, lengan kanan seperti kepala ular dan lengan buntung diwakili lengan baju seperti ekor naga, sungguh amat mengerikan dan hebat. Kalau sin-kang Si Topeng Setan mampu menandingi Swat-im-sin-kang, sungguh amat luar biasa. Biarpun dia tahu bahwa Milana belum mencapai kesempurnaan dalam latihan Swat-im Sin-kang, namun tingkat wanita ini amat tinggi dan sukar mencari tandingannya.

   "Kau agaknya berkeras hendak membela Hek-tiauw Lo-mo!"

   Kata Gak Bun Beng.

   "Terpaksa aku pun harus menggunakan kekerasan."

   "Harap.... harap Taihiap mundur saja...."

   Topeng Setan berkata dengan cemas.

   "Aku tidak tahu apa yang memaksamu, akan tetapi jelas engkau membela musuh, maka terpaksa aku akan berusaha menyingkirkanmu!"

   Bun Beng kini mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang di tangan kanannya, tenaga ini sudah dia perkuat dengan tenaga sakti Inti Bumi sehingga lengan kanannya itu kelihatan merah membara seperti baja yang terbakar api dan mengeluarkan uap.

   Hawa di sekitarnya menjadi panas sekali sehingga para pengawal yang sudah tiba di situ, tidak berani mendekat saking panasnya. Topeng Setan terkejut bukan main, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang benar-benar sakti, akan tetapi karena dia harus melindungi keselamatan Ceng Ceng, dia tidak gentar dan kalau perlu dia akan mempertaruhkan nyawanya. Gak Bun Beng mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, menggunakan tangan kanan dengan jari terbuka untuk menghantam. Serangkum hawa panas sekali menyambar dan Topeng Setan terpaksa menyambutnya dengan telapak tangan kanannya, seperti tadi tubuhnya mengambil posisi rendah dan lengan baju kirinya tergerak-gerak di belakangnya seperti mengatur keseimbangan.

   "Blarrr....!"

   Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti di udara ini, terasa oleh semua orang, bahkan beberapa orang pengawal yang sudah menonton dari jarak jauh ada yang terpental. Topeng Setan berseru keras dan pada saat kedua tangan bertemu tadi, kakinya melangkah ke belakang, akan tetapi tiba-tiba "ekor naga"

   Yang berupa lengan baju kirinya itu menyambar, tubuhnya miring.

   "Pyarrr....!"

   Bun Beng terkejut dan masih sempat menangkis, akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang, sedangkan Topeng Setan juga terhuyung ke belakang dengan muka pucat akibat pertemuan tenaga sakti yang pertama tadi. Topeng Setan memandang dengan mata terbelalak. Dia maklum bahwa dia sudah berhasil menguasai Ilmu Tenaga Sakti Sin-liong-hok-te, biarpun belum sesempurna gurunya,

   Namun ilmu ini hebat sekali dan menurut gurunya, jarang ada orang di dunia yang akan mampu melawannya. Akan tetapi siapa kira, baru saja dia berkesempatan mempergunakan ilmu yang dahsyat ini, dia telah menemui lawan yang begini hebat. Di lain pihak, Gak Bun Beng juga memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar keras. Baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang hebat, yang dapat mengimbangi kepandaiannya. Seolah-olah dia melihat tokoh-tokoh besar seperti Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua tokoh Pulau Neraka itu, hidup lagi! Topeng Setan ini merupakan orang yang kepandaiannya sukar ditandingi. Padahal dia sudah menggembleng dirinya dan pukulannya tadi adalah pukulan yang didasari persatuan tenaga Hwi-yang Sin-kang dan Inti Bumi.

   Kiranya di dunia ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja yang akan mampu menahan pukulannya, di samping tentu saja orang sakti seperti Pendekar Super Sakti, akan tetapi orang bertopeng ini mampu menahan bahkan membalas dan membuat dia terhuyung. Sejenak keduanya saling pandang dengan mata terbelalak, seperti dua ekor ayam jago yang berlagak sebelum saling gempur, berdiri saling pandang dan saling taksir. Tiba-tiba Bun Beng mengeluarkan suara melengking tinggi dan pendekar sakti ini sudah bergerak menyerang. Topeng Setan yang sudah memasang kuda-kuda Sin-liong-hok-te menyambut dan bertempurlah kedua orang itu. Karena dia yakin bahwa lawannya ini memang dahsyat sekali dan tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi daripadanya,

   Maka Topeng Setan tidak berani mainkan lain ilmu silat kecuali yang baru saja dikuasainya, yaitu Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat yang sejak dahulu memang sudah dihafalnya benar akan tetapi baru sekarang dia kuasai. Pula, ilmu inilah satu-satunya ilmu silat tinggi yang dikenalnya, yang cocok dimainkan dengan lengan tunggal, sedangkan ilmu silatnya yang lain, dahulu dilatihnya dengan sepasang lengan sehingga tentu sekarang menjadi canggung kalau dia mainkan dengan lengan tunggal. Sementara itu, menghadapi serangan-serangan yang aneh dari lengan kanan dan "ekor"

   Berupa lengan baju kiri itu, Gak Bun Beng mainkan ilmu silat Kong-jiu-jip-tin (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan) sambil mengerahkan tenaga saktinya berganti-ganti kadang-kadang dengan Hwi-yang Sin-kang, kadang-kadang dengan Swat-im Sin-kang yang amat dingin.

   Akhirnya Topeng Setan harus mengakui keunggulan Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Dan diam-diam Bun Beng juga harus mengakui bahwa kalau saja Topeng Setan tidak sedang terluka hebat, dan kalau saja ilmu silat aneh itu sudah dikuasainya benar, sudah terlatih matang dan banyak dipakai mengha-dapi orang pandai dalam pertempuran, belum tentu dia akan dapat menang dengan mudah! Kini Topeng Setan terhuyung dan terdesak hebat, agaknya sebentar lagi akan roboh. Topeng Setan merasa heran sekali mengapa Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li tidak membantunya, padahal kedua orang itu memiliki kepandaian hebat pula dan kalau membantunya, belum tentu dia sampai terdesak seperti ini. Ketika sebuah hantaman yang biarpun sudah ditangkisnya membuat dia ter-lempar ke belakang, dia menengok dan.... dia tidak melihat mereka. Terkejutlah dia. Celaka, pikirnya, siapa tahu dia ditipu oleh orang Pulau Neraka itu.

   "Tahan dulu....!"

   Teriaknya ketika Gak Bun Beng mendesak maju. Napasnya sudah terengah-engah dan keringatnya bercucuran.

   "Taihiap....! Puteri....! Tolonglah.... harap jangan serbu Hek-tiauw Lo-mo karena.... karena Ceng Ceng mereka jadikan sandera. Mereka akan membunuh Ceng Ceng kalau saya tidak melawan Ji-wi, maka terpaksa saya melawan agar Ceng Ceng dibebaskan...."

   Tiba-tiba terdengar suara teriakan,

   "Paman....! Kau sudah mati-matian membelaku....! Aku telah dapat lolos, Paman....!"

   Kemudian dia membalik, menghadapi Gak Bun Beng dan Puteri Milana dengan kedua tangan terkepal.

   "Paman Gak Bun Beng dan.... Bibi Puteri Milana! Kalau kalian melanjutkan mendesak dan menyerang Paman Topeng Setan, terpaksa aku akan menantang kalian!"

   "Hushhh.... Ceng Ceng, jangan kurang ajar kau terhadap mereka. Gak-taihiap, celaka, kita telah diadu domba dan ditipu oleh Hek-tiauw Lo-mo!"

   Kata Topeng Setan.

   Akan tetapi Ceng Ceng yang kegirangan melihat Topeng Setan tidak mati seperti dikhawatirkannya itu, sudah lari dan menubruk, merangkulnya dengan penuh kebanggaan dan kegirangan. Lagi-lagi dalam keadaan seperti itu, Topeng Setan telah memperlihatkan kemuliaan hatinya terhadap dia, telah membelanya mati-matian, bahkan sampai berani melawan Gak Bun Beng yang demikian sakti karena dia ditekan oleh Hek-tiauw Lo-mo yang mengancam hendak membunuhnya kalau Si Buruk Rupa ini tidak melawan Gak Bun Beng. Dia baru saja tiba dan selagi dia terheran-heran dan ke-bingungan menyaksikan Topeng Setan bertanding sedemikian hebatnya dengan Gak Bun Beng, dia mendengar ucapan Topeng Setan itu maka dia lalu berteriak dan muncul memperlihatkan diri.

   "Syukur engkau telah bebas pula, Paman. Betapa aku amat mengkhawatirkan dirimu, Paman...."

   Katanya.

   "Dan kau.... bagaimana kau dapat bebas, Ceng Ceng?"

   Topeng Setan bertanya dan mereka lalu bicara dengan asyik, tanpa mempedulikan Milana dan Gak Bun Beng yang sudah menerjang ke dalam. Akan tetapi rumah itu sudah kosong sama sekali dan di belakang mereka berjumpa dengan Suma Kian Bu.

   "Eh, kau tadi ke mana, Bu-te?"

   Tanya Milana terheran-heran. Baru sekarang dia teringat bahwa adiknya ini tidak nampak ketika mereka bertanding melawan Topeng Setan.

   "Aku.... aku tadinya menyelinap ke belakang untuk menolong Ceng Ceng, kiranya Ceng Ceng tidak ada dan mereka semua telah melarikan diri,"

   Jawab Suma Kian Bu yang sebenarnya menghindarkan diri dari Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui. Mereka semua lalu mencari-cari, mengejar ke sana-sini dan mengerahkan belasan orang pengawal, namun hasilnya sia-sia belaka. Hek-tiauw Lo-mo dan kawan-kawannya sudah melarikan diri entah ke mana, menggunakan kesempatan selagi Milana dan Gak Bun Beng sibuk bertempur melawan Topeng Setan tadi. Terpaksa mereka kembali ke tempat tadi dan melihat Topeng Setan dan Ceng Ceng masih bercakap-cakap dengan asyik sekali.

   "Orang itu hebat, entah siapa dia...."

   Diam-diam Gak Bun Beng berbisik kepada Milana dan wanita perkasa itu mengangguk menyetujui.

   "Tapi dia benar-benar setia, agaknya dia mencinta Ceng Ceng...."

   Bisiknya kembali dan biarpun tidak yakin akan hal ini, Gak Bun Beng juga mengangguk. Baginya, tanpa melihat wajah Si Kedok itu, bagaimana dia bisa menduga isi hati orang? Akan tetapi, dalam hal asmara memang wanita lebih halus perasaannya. Melihat kedatangan mereka, Ceng Ceng lalu bertanya kepada Milana,

   "Bibi Puteri Milana, bagaimana dengan Syanti Dewi? Di mana Kakak Syanti?"

   Yang menjawabnya adalah Suma Kian Bu,

   "Menurut penuturan Perdana Menteri Su, puteri itu kini telah dikawal oleh para utusan Bhutan sendiri kembali ke negaranya...."

   "Ah....! Kiranya dia bermain curang....!"

   Ceng Ceng berseru.

   "Siapa?"

   "Ang Tek Hoat. Dia menolongku dari tahanan di sini, akan tetapi dia membawaku, dan menukarkan aku dengan Enci Syanti yang tadinya tertawan oleh Tambolon. Untung aku dapat meloloskan diri...."

   Dia tidak menceritakan kepada orang lain kecuali kepada Topeng Setan tadi betapa dia secara aneh dan tiba-tiba memiliki tenaga mujijat yang amat dahsyat itu. Selagi mereka bercakap-cakap, datang serombongan pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang! Begitu tiba di situ dan melihat Ceng Ceng, jenderal ini menjadi girang sekali.

   "Ceng Ceng.... ahhh, Nona yang baik....! Ternyata benar engkau masih hidup....!"

   Dengan suara serak karena terharunya dia menghampiri Ceng Ceng dan memeluknya seperti memeluk anaknya sendiri.

   "Banyak yang mengatakan bahwa kau masih hidup, akan tetapi sukar bagiku untuk percaya setelah melihat kau terjerumus ke dalam sumur maut! Aihhh, betapa bahagia rasa hatiku dapat bertemu denganmu!"

   Ceng Ceng segera memberi hormat dan hatinya terharu sekali. Jenderal ini merupakan satu di antara orang-orang di dunia ini yang amat baik kepadanya.

   "Paman, inilah dia Paman Jenderal Kao Liang yang sering kuceritakan kepadamu, seorang yang amat mulia hatinya!"

   Katanya kepada Topeng Setan memperkenalkan. Jenderal Kao Liang terkejut sekali melihat orang yang bertopeng seperti setan dan amat buruk, lagi lengannya buntung sebelah itu.

   "Siapa.... siapa dia....?"

   Gak Bun Beng yang mene-rangkan,

   "Goanswe, dia adalah Topeng Setan yang amat terkenal, yang menjadi pembantu dan pengawal Ceng Ceng, akan tetapi ternyata ilmu kepandaiannya hebat bukan main, saya sendiri sampai kewalahan dibuatnya!"

   Dengan singkat pendekar ini menuturkan kepada Jenderal Kao tentang peristiwa tadi. Sang Jenderal mengangguk-angguk, kagum memandang ke arah Topeng Setan yang hanya menunduk.

   "Selama orang-orang jahat itu masih berkeliaran, negara tidak akan aman,"

   Katanya.

   "Setelah kini pemberontakan dapat terbasmi, para kaki tangan pemberontak harus dibersihkan karena jelas bahwa mereka tidak mau insyaf dan melanjutkan kejahatan mereka. Saya akan mengerahkan semua kekuatan untuk membasmi mereka."

   Lalu kepada Ceng Ceng dia berkata,

   "Harap kau suka ikut bersamaku dan singgah di rumahku karena banyak hal yang harus kubicarakan denganmu, anak yang baik."

   Ceng Ceng menoleh kepada Topeng Setan yang masih menunduk saja, hatinya bimbang karena dia tidak mau berpisah lagi dari Topeng Setan, akan tetapi menolak permintaan jenderal yang amat baik hati itu pun dia merasa tidak enak. Melihat keraguan Ceng Ceng, jenderal yang gagah perkasa dan berwatak jujur itu lalu tertawa dan dengan suara lantang berkata,

   "Anak Ceng, biarlah disak-sikan oleh para tokoh perkasa di sini, bahkan oleh Puteri Milana yang masih terhitung bibi luarmu, aku mengundangmu untuk membicarakan soal perjodohan! Aku ingin sekali mengambil engkau sebagai mantuku, Ceng Ceng!"

   Puteri Milana terbelalak, lalu tersenyum dan mengangguk-angguk setuju, sedangkan Gak Bun Beng juga tersenyum. Dia sudah mendengar bahwa putera sulung jenderal ini, yang tadinya lenyap, kini telah pulang dan telah menjadi seorang pemuda yang amat lihai dan telah membantu pelaksanaan penghancuran para pemberontak. Biarpun dia sendiri tidak mengenal pemuda itu, namun melihat Jenderal Kao, seorang yang dia ketahui betul sifat dan keadaannya, amat baiklah kalau gadis yang gagah ini menjadi mantu jenderal itu. Akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng berseru keras,

   "Eh, Paman....! Paman Topeng Setan, kau tunggu aku....!"

   Semua orang menoleh dan melihat bahwa Topeng Setan telah pergi dari situ tanpa pamit lagi. Mendengar teriakan Ceng Ceng, dia hanya menoleh sebentar, lalu melangkah pergi lagi tanpa mengeluarkan kata-kata.

   "Paman Jenderal Kao, harap suka maafkan saya. Biarlah lain kali saja saya pergi mengunjungi rumah Paman untuk menghaturkan terima kasih. Paman Gak, Bibi Puteri, maafkan saya....!"

   Ceng Ceng lalu berlari cepat mengejar Topeng Setan yang sudah agak jauh. Semua orang memandang ketika dara itu berhasil menyusul Topeng Setan dan mereka berdua itu berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap. Sungguh pasangan yang sama sekali tidak patut dan berat sebelah! Jenderal Kao Liang menggosok-gosok dagunya, mengelus jenggot dengan hati penasaran dan kecewa.

   "Sungguh manusia aneh Topeng Setan itu...."

   "Akan tetapi kesetiaannya terhadap dara itu tidak perlu diragukan lagi, Kao-goanswe. Karena itu tenangkanlah hatimu, dara itu tidak akan dibiarkan meng-alami malapetaka."

   Jenderal Kao Liang dan pasukannya lalu melanjutkan perjalanan untuk mencari dan membasmi kaki tangan bekas pemberontak yang masih berkeliaran, sedangkan Gak Bun Beng dan Puteri Milana melanjutkan perjalanan mereka untuk mengejar rombongan Syanti Dewi untuk melindunginya.

   "Bu-te, aku dan Gak-suheng akan mengantarnya sampai ke Bhutan. Kau sebaiknya pulang dulu ke Pulau Es dan ceritakan semua yang telah terjadi kepada Ayah dan Ibu dan katakan bahwa setelah mengantar Syanti Dewi ke Bhutan, kami berdua akan pergi ke Pulau Es menghadap Ayah dan Ibu."

   Kian Bu hanya mengangguk, akan tetapi setelah semua orang pergi, dia tidak menuju ke Pulau Es, sebaliknya dia pun menuju ke barat karena dia ingin mencari kakaknya, Suma Kian Lee yang tidak diketahuinya ke mana perginya itu. Juga dia masih perlu waktu panjang untuk memulihkan perasaannya yang terguncang karena dia malu dan menyesal akan semua perbuatannya bersama dengan Mauw Siauw Mo-li. Kini baru dia insyaf betapa dia telah terpikat oleh wanita yang hina, seorang datuk kaum sesat yang gila laki-laki. Sungguh dia merasa menyesal sekali kepada dirinya sendiri yang dianggap amat lemah dan mudah jatuh oleh kecantikan wanita.

   Kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda itu berjalan dengan tenang melalui lembah pegunungan, dikawal oleh tiga puluh enam orang yang kelihatan gagah perkasa, kesemuanya menunggang kuda dan biarpun mereka berpakaian seperti orang-orang biasa, bukan pakaian seragam piauwsu (pengawal barang), namun dari cara mereka menunggang kuda, duduk dengan tegak dan kuda mereka teratur rapi di belakang dan di depan kereta, dapat diduga bahwa mereka itu adalah orang-orang yang biasa berbaris dengan kuda dan mengenal disiplin. Pemimpinnya, seorang laki-laki tinggi besar dengan kumis dan jenggot pendek rapi, kelihatan gagah sekali dan mereka melanjutkan perjalanan berkuda itu menuju ke barat tanpa banyak kata-kata. Kereta itu sendiri amat besar, tidak seperti kereta biasa, agaknya kereta yang khusus dibuat untuk keperluan itu.

   Panjang kereta dua kali panjang kereta biasa, maka penariknya adalah empat ekor kuda, tidak dua ekor seperti biasa kalau hanya menarik penumpang. Di bagian paling belakang dari rombongan itu terdapat seekor kuda menarik sebuah kereta kecil yang terisi barang-barang perbekalan mereka. Orang-orang yang kelihatan gagah itu ternyata dapat bekerja sama dengan cepat dan setiap kali jalan terlalu mendaki sehingga empat ekor kuda yang menarik kereta besar itu kelihatan payah, mereka lalu langsung meloncat turun dan beberapa orang ikut mendorrong roda kereta sehingga kereta itu dapat mendaki dengan lancar dan perjalanan tidak perlu dihentikan. Biarpun mereka tidak tergesa-gesa, namun perjalanan itu tidak pernah berhenti kecuali kalau hendak makan atau bermalam di tengah perjalanan.

   Pagi hari itu amat cerah. Jalan yang dilalui rombongan itu pun datar sehingga kuda mereka berlari congklang dan kereta bergerak lancar. Suara derap kaki kuda menimbulkan bunyi irama yang lucu dan menggembirakan, dan barisan kuda itu akhirnya memasuki sebuah hutan kecil yang mulai diterobos sinar matahari pagi yang membangunkan semua binatang penghuni hutan. Beberapa ekor kelinci dan tikus lari berserabutan melintasi jalan dan menyelinap ke balik semak-semak ketika rombongan itu tiba. Burung-burung terbang ketakutan dari pohon-pohon di kanan kiri jalan. Kuda-kuda mereka agaknya merasa gembira pula tiba di dalam hutan di antara pohon-pohon dan daun-daun segar. Beberapa di antara mereka meringkik dan mendengus, agaknya bau daun-daunan dan tanah yang sedap menimbulkan gairah dan kegembiraan mereka.

   Tentu saja jauh bedanya dengan bau pengap di kota-kota dan dusun-dusun yang penuh manusia. Akan tetapi, selagi rombongan yang terdiri dari tiga puluh enam orang termasuk kusir kereta dan komandan rombongan itu menjalankan kuda dengan hati tenang gembira, tiba-tiba terdengar bunyi berdesing dan tahu-tahu tiga batang tombak menancap di tengah jalan di depan Si Pemimpin. Cepat pemimpin rombongan ini menahan kudanya, mengangkat tangan kiri memberi tanda agar rombongan itu berhenti. Kemudian beberapa orang pembantunya melarikan kuda dari belakang ke depan dan lima orang pemimpin rombongan yang berkuda itu berjajar memenuhi jalan sambil memandang ke arah tiga batang tombak yang masih menggetar di atas tanah itu.

   Mereka menyangka bahwa tentu ada perampok-perampok yang "bosan hidup"

   Berani menghadang mereka. Akan tetapi ketika dari balik pohon-pohon besar muncul seorang kakek tinggi besar bersama seorang wanita cantik dan di belakang mereka terdapat belasan orang yang dipimpin oleh seorang kakek gendut tinggi besar, rombongan berkuda ini menjadi terkejut sekali. Andaikata benar mereka itu perampok, tentu bukan perampok-perampok sembarangan. Orang-orang yang datang bersama kakek tinggi besar itu adalah orang-orang yang berwajah me-nyeramkan sekali, seperti setan-setan karena wajah mereka itu samar-samar masih membayangkan warna-warna bermacam-macam, ada yang kehijauan dan ada yang kemerahan!

   "Haii, rombongan yang melakukan perjalanan, jangan kalian takut, kami bukan perampok. Ketahuilah, kami adalah orang-orang Pulau Neraka dan aku adalah Hek-tiauw Lo-mo. Hayo kalian turun dari kuda, berikan kereta itu untukku dan berikan kepada anak buahku masing-masing seekor kuda dan kami tidak akan membunuh kalian."

   Rombongan itu belum pernah mendengar tentang Pulau Neraka atau Hek-tiauw Lo-mo maka tentu saja mereka menjadi marah mendengar ucapan yang bernada sombong itu. Apalagi harus menyerahkan kereta yang dikawalnya dengan rapi, tentu saja mereka tidak sudi melaksanakan permintaan ini. Pemimpin rombongan lalu berkata, suaranya tegas dan bernada keras,

   "Hek-tiauw Lo-mo, kami serombongan pelancong tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, maka harap kalian jangan mengganggu kami. Kuda dan kereta ini kami butuhkan sekali untuk melanjutkan perjalanan kami. Akan tetapi penolakan kami bukan berarti bahwa kami pelit. Nah, sedikit emas dan perak ini kiranya cukup bagi kalian untuk membeli kuda!"

   Setelah berkata demikian, pemimpin rombongan itu melemparkan sebuah kantung kecil ke arah Hek-tiauw Lo-mo! Kakek ini menerimanya dan merobeknya, sehingga isinya yang berupa potongan-potongan emas dan perak berhamburan ke atas tanah.

   "Ha-ha-ha, ada orang berani memberi sedekah kepada Hek-tiauw Lo-mo. Penghinaan ini selama hidupku belum pernah kuterima. Ji Song, hajar mereka!"

   Perintahnya kepada pembantunya yang selama ini tidak pernah ketinggalan memimpin para anak buahnya. Ji Song, kakek gendut tinggi besar, segera berteriak memberi aba-aba dan majulah belasan orang anak buah Pulau Neraka itu menyerbu. Akan tetapi pemimpin rombongan itu pun memberi aba-aba dan bagaikan perajurit-perajurit yang terlatih baik, para anak buahnya juga meloncat dari atas kuda dan menyambut serbuan itu sehingga terjadilah pertempuran yang seru. Akan tetapi betapa kaget hati pemimpin itu menyaksikan kehebatan pihak lawan, terutama kakek gendut tinggi besar. Maka dia sendiri bersama empat orang pembantunya lalu meloncat turun dan disambut oleh wanita cantik itu sambil tertawa-tawa. Wanita cantik itu bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li!

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, Hek-tiauw Lo-mo yang telah kehilangan Ceng Ceng, menggunakan siasat adu domba ketika dia diserbu oleh pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Puteri Milana dan Gak Bun Beng, dan menggunakan kesempatan selagi Topeng Setan melayani mereka, dia mengajak sumoinya itu dan semua anak buahnya untuk meloloskan diri. Mauw Siauw Mo-li penasaran sekali karena kehilangan Kian Bu, pemuda yang amat memuaskan hatinya itu, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo penasaran karena kehilangan Ceng Ceng. Mereka terus mencari ke barat dan di hutan itu mereka bertemu dengan rombongan berkuda itu yang hendak mereka rampas kereta dan kudanya agar perjalanan mereka lebih lancar dan cepat.

   Biarpun dikeroyok oleh lima orang pimpinan rombongan itu, Mauw Siauw Mo-li masih melayani seenaknya saja. Untung bahwa lima orang pemimpin rombongan itu adalah laki-laki yang gagah perkasa dan rata-rata berwajah tampan menarik. Laki-laki muda tampan dan menarik merupakan kelemahan Mauw Siauw Mo-li sehingga hati wanita ini tidak tega untuk membunuh mereka. Dia hanya mempermainkan mereka, menangkis senjata mereka dengan pedangnya yang bersinar hijau, sedangkan jari-jari tangan kirinya tidak hentinya mencolek sana-sini di tubuh kelima orang lawannya itu sambil mengeluarkan kata-kata pujian yang membuat lima orang itu terkejut, terheran, akan tetapi juga menjadi muak.

   "Hemm, Sumoi, apakah pada saat begini sudah kumat lagi penyakitmu gila laki-laki? Hayo kau bunuh mereka agar lebih cepat urusan ini beres!"

   Teriak Hek-tiauw Lo-mo yang duduk di bawah pohon menonton pertempuran. Dia sendiri merasa terlalu tinggi untuk melayani orang-orang yang kepandaiannya tidak berapa tinggi itu dan dia mendongkol menyaksikan sumoinya yang mempermainkan lima orang lawannya.

   "Hi-hi-hik, baiklah, Suheng. Wah, sayang sekali, aku terpaksa harus merobohkan kalian, orang-orang ganteng!"

   Mauw Siauw Mo-li tertawa dan pedangnya lalu berubah berkelebatan menjadi gulungan sinar hijau yang amat cepat. Lima orang lawannya terkejut sekali dan mereka pun menggerakkan senjata mereka untuk membela diri, akan tetapi biarpun mereka sama sekali tidak dapat menyerang dan hanya mempertahankan diri, tetap saja mereka terhimpit dan terdesak hebat oleh sinar hijau itu dan agaknya pertahanan mereka tidak akan berlangsung lama. Tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat terjun ke medan pertempuran ini, didahului sinar yang seperti halilintar menyilaukan mata.

   "Cringgg.... trakkkk!"

   Mauw Siauw Mo-li mengeluarkan pekik kaget ketika pedangnya yang bersinar hijau itu disambar oleh sinar kilat itu dan ternyata ujung pedangnya yang merupakan pedang pusaka ampuh itu telah patah! Ketika dia yang telah meloncat mundur memandang ke depan, kiranya di depannya telah berdiri seorang pemuda tampan gagah yang dikenalnya baik karena pemuda ini bukan lain adalah Tek Hoat!

   Setelah pemuda itu menyerahkan Syanti Dewi kepada Perdana Menteri Su, hatinya lega bukan main karena kekasih hatinya itu telah berada dalam keadaan aman. Barulah dia teringat akan Ceng Ceng dan Topeng Setan. Dia suka sekali kepada Ceng Ceng dan agaknya akan mudah baginya untuk jatuh cinta kepada gadis itu andaikata tidak ada Syanti Dewi di dunia ini. Maka setelah meninggalkan istana Perdana Menteri, dia bergegas keluar dari kota raja dan kembali ke tempat Tambolon di sebelah selatan untuk menolong gadis itu. Diam-diam dia merasa khawatir juga kalau-kalau dia akan terlambat. Dan ketika dia tiba di tempat itu, ternyata bahwa Tambolon dan kawan-kawannya telah pergi dan demikian pula Ceng Ceng, entah pergi ke mana, entah lolos ataukah dibawa pergi oleh Tambolon. Maka ia menjadi gelisah juga dan dia cepat pergi ke dusun Nam-lim untuk menolong Topeng Setan.

   Akan tetapi dusun bekas sarang kaum sesat ini pun telah kosong! Terpaksa dia lalu meninggalkan tempat itu dan secepatnya dia menuju ke barat, karena dia dapat menduga bahwa tentu Syanti Dewi akan dikawal dan dipulangkan ke Bhutan maka sebaiknya kalau dia mengamat-amati dari jauh. Demikianlah, pada pagi hari itu dia melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li mencegat rombongan berkuda, dan melihat orang-orang yang menjadi musuh-nya ini sekarang, orang-orang yang telah menangkap Topeng Setan dan Ceng Ceng, dia menjadi marah dan tanpa mengetahui siapa mereka yang didesak oleh Mauw Siauw Mo-li, dia sudah mencabut Cui-beng-kiam dan sekali tangkis dia telah mematahkan ujung pedang sinar hijau di tangan Siluman Kucing itu.

   "Eh, kau.... bocah tampan? Kau di sini....? Kenapa kau melawan aku?"

   Mauw Siauw Mo-li menegur, setengah marah karena kerusakan pedangnya, akan tetapi juga girang karena sejak dahulu dia ada hati terhadap pemuda tampan itu yang dahulu merupakan tangan kanan dari Pangeran Liong Khi Ong. Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah meloncat ke depan dan menghadapi Tek Hoat dengan alis berkerut.

   "Bocah lancang! Kenapa engkau mencampuri urusanku? Hayo minggat, sebelum aku marah dan membunuhmu!"

   Kalau saja Hek-tiauw Lo-mo tidak bersikap kasar dan bicara dengan baik, agaknya Tek Hoat yang tidak mengenal rombongan itu akan merasa sungkan untuk mencampuri dan akan pergi. Akan tetapi entah mengapa, semenjak dia bertemu dengan Syanti Dewi dan orang-orang seperti Milana dan lain-lain,

   Dia merasa betapa dirinya amat rendah dan hina, betapa dia adalah seorang pemuda yang tersesat dan jahat, betapa dia karena semua perbuatannya yang jahat, sama sekali tidak berharga untuk berdekatan dengan Syanti Dewi. Hal ini membuat dia merasa menyesal bukan main akan perbuatan-perbuatannya yang sudah-sudah. Dia bukan anak penjahat, mengapa dia telah tersesat sedemikiah jauhnya? Penyesalan inilah, terutama sekali bayangan wajah Syanti Dewi yang lembut dan penuh welas asih, yang membuat dia merasa tidak senang dengan orang-orang dari golongan sesat karena dia mengang-gap bahwa mereka itulah yang menyeretnya ke lembah kesesatan. Kini, Hek-tiauw Lo-mo bersikap kasar, maka dia menjadi makin marah dan mengambil keputusan untuk melawannya dan membela rombongan yang tak dikenalnya ini.

   "Hek-tiauw Lo-mo, engkau manusia sombong dan jahat! Kau kira aku takut kepadamu?"

   Bentaknya dan pedang Cui-beng-kiam yang menggiriskan itu melintang di depan dadanya. Hek-tiauw Lo-mo memang benar telah menjadi Ketua Pulau Neraka, akan tetapi dia bukanlah asli penghuni Pulau Neraka. Dia adalah pendatang baru yang menggunakan ilmunya untuk menaklukkan orang-orang Pulau Neraka, maka dia tidak mengenal pedang di tangan Tek Hoat itu. Akan tetapi Kakek Ji Song, kakek gendut gundul yang memang merupakan tokoh Pulau Neraka asli, begitu melihat pedang di tangan Tek Hoat, seketika dia menjadi ketakutan, gemetar dan berseru,

   "Cui-beng-kiam....!"

   Lalu dia menjauhkan diri dari situ. Hal ini adalah tidak aneh.

   Cui-beng-kiam ini dahulunya adalah pedang milik Cui-beng Koai-ong, yaitu tokoh nomor satu dari Pulau Neraka, yang merupakan iblis Pulau Neraka, orangnya mengerikan seperti mayat hidup, kepandaiannya tidak lumrah manusia. Seperti kita ketahui, pedang pusaka ini berikut kitab-kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin terjatuh ke tangan seorang tokoh Pulau Neraka lainnya, yaitu Kong To Tek dan akhirnya terjatuh ke tangan Tek Hoat. Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li yang tidak mengenal pedang ini lalu bergerak menerjang pemuda itu dari kanan kiri. Hek-tiauw Lo-mo yang dapat menduga akan kelihaian pemuda yang pernah menjadi tangan kanan pemberontak ini, langsung mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu sebatang golok besar tajam yang punggungnya berbentuk gergaji!

   Senjata ini terbuat dari baja pilihan sehingga mengkilap dan amat tajam, ketika digerakkan menjadi gulungan sinar biru dan mengeluarkan suara berdesing. Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui juga marah sekali karena kerusakan pedangnya, akan tetapi karena yang patah hanya ujungnya sedikit, dia masih dapat menyerang dengan ganas. Dia merasa menyesal sekali bahwa obat peledaknya yaitu senjatanya yang paling diandalkan, telah habis dan belum memperoleh kesempatan untuk membuat lagi, maka kini dia hanya dapat menyerang dengan pedang buntung dibantu oleh cakaran tangan kirinya yang juga amat berbahaya. Tek Hoat mengamuk. Kadang-kadang dia menyeringai menahan rasa sakit. Luka-lukanya akibat pertempuran membela Syanti Dewi di dalam hutan melawan Pak-thian Lo-mo, Lam-thian Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo masih belum sembuh sama sekali.

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan kini dua orang lihai yang mengeroyoknya itu pun mengeluarkan seluruh daya upaya mereka untuk membunuhnya. Sebetulnya suheng dan sumoi itu sama sekali tidak merasa sakit hati atas kematian Hek-wan Kui-bo karena di antara mereka bertiga biarpun terhitung suheng dan sumoi, akan tetapi tidak mempunyai hubungan akrab, bahkan saling mengiri dan saling mencurigai. Kematian Hek-wan Kui-bo di tangan pemuda ini tidak mendatangkan perasaan dendam. Akan tetapi, karena kini Tek Hoat berani menentang mereka, maka mereka teringat akan hal itu yang sedikitnya merupakan pukulan bagi nama mereka, maka tanpa berunding lebih dulu, keduanya kini berusaha sekuat tenaga untuk membunuh Tek Hoat. Tek Hoat juga maklum akan kelihaian lawan, maka dia memutar pedangnya yang ampuh itu dan mengeluarkan semua kepandaiannya.

   Ilmu yang diwarisinya dari Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin memang hebat sekali. Dari kitab peninggalan Bu-tek Siauw-jin dia telah memperoleh ilmu menghimpun tenaga sakti, sedangkan dari kitab-kitab Cui-beng Koai-ong dia memperoleh ilmu-ilmu pukulan beracun, ilmu pedang yang dinamakan Cui-beng Kiam-sut dan obat perampas ingatan. Kini dia menggerakkan pedangnya berdasarkan sin-kang yang sesungguhnya berpusat pada ilmu mujijat atau Ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi dan dia memainkan Cui-beng Kiam-sut yang luar biasa gerakannya itu. Hebat bukan main pertandingan antara tiga orang ini. Sinar pedang Cui-beng-kiam berubah menjadi gulungan sinar kilat menyambar-nyambar menyilaukan mata, dan sinar ini dikeroyok oleh gulungan sinar hijau dan biru!
(Lanjut ke Jilid 51)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 51
Adapun lima orang pemimpin rombongan itu kini sudah saling gempur melawan kakek gundul Ji Song yang lihai dan teman-temannya. Akan tetapi karena jumlah para anak buah Pulau Neraka ini kalah jauh dan karena ternyata anggauta rombongan berkuda itu pun rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka pertandingan antara mereka itu berjalan seru dan akhirnya pihak Pulau Neraka mulai terdesak. Mauw Siauw Mo-li yang sudah marah kini tidak lagi memperlihatkan sikapnya yang gila laki-laki, apalagi dia teringat akan sucinya yang tewas oleh pemuda ini dan pedangnya yang menjadi buntung. Lebih-lebih lagi karena dia yang mengeroyok dengan suhengnya yang dia tahu amat lihai, selama hampir seratus jurus masih belum juga dapat mengalahkan pemuda ini. Dia gemas dan penasaran sekali.

   "Ang Tek Hoat, kau manusia khianat! Engkau yang sudah banyak makan uang pemberontak, pada saat terakhir malah berkhianat. Manusia tak tahu malu! Sekarang engkau agaknya hendak bermuka-muka dan menjilat-jilat pantat Kaisar agaknya! Hi-hik, manusia rendah, pemuda yang hina!"

   Bukan main marahnya hati Tek Hoat mendengar ini. Diingatkan akan penyelewengan dan kejahatannya adalah hal yang amat dibencinya karena hal itu mengingatkan dia lagi akan ketidakpantasannya untuk berdekatan dengan Syanti Dewi! Tiba-tiba dia merubah ilmu pedangnya. Biarpun Cui-beng Kiam-sut adalah ilmu pedang iblis yang amat hebat, akan tetapi pertahanan kedua orang itu amat ketat dan mereka mulai dapat mengikuti gerakan dari ilmu pedang ini.

   Maka secara tiba-tiba dia merubah ilmu pedangnya dan mainkan Pat-mo Kiam-sut yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo, bekas tokoh Thian-liong-pang. Pat-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Iblis) juga merupakan ilmu pedang golongan sesat yang amat hebat sekali, dahulu menjadi satu di antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari ketuanya, yaitu Puteri Nirahai yang kini menjadi nyonya Pendekar Super Sakti. Dan perubahan mendadak ini membuat kedua orang lawan itu terkejut, terutama sekali Lauw Hong Kui yang memang didesak hebat oleh Tek Hoat yang marah mendengar ejekannya tadi. Sinar kilat menyambar ke arah ulu hati Lauw Hong Kui. Wanita hamba nafsu berahi ini memekik, cepat dia miringkan tubuhnya dan menangkis.

   "Cringgg.... trekk.... aughhh....!"

   Tangkisan itu memang tepat, akan tetapi saking kuatnya Tek Hoat menggerakkan pedangnya, kembali pedang sinar hijau dari wanita itu terbabat putus dan Cui-beng-kiam masih sempat melukai pangkal lengan kanan wanita itu sehingga kulit dan dagingnya terobek lebar dan darah bercucuran, pedangnya yang buntung tinggal pendek saja itu terlepas! Akan tetapi pada saat itu, sinar hitam menyambar dari atas ke arah kepala Tek Hoat. Pemuda ini terkejut dan cepat menangkis dengan Cui-beng-kiam.

   "Plakkkk....!"

   Makin kagetlah hati Tek Hoat karena ternyata bahwa sinar hitam itu adalah sehelai jala tipis yang tadi dikepal di tangan kiri Ketua Pulau Neraka dan jala ini terbuat dari bahan yang amat kuat, tidak dapat diputus oleh pedang pusaka. Pedang itu telah tertangkap oleh jala! Dan golok berpunggung gergaji itu menyambar ganas ke arah lehernya!

   Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li yang juga marah sekali karena lengannya terluka parah dan pedangnya rusak, menerjang ke depan dengan hantaman tangan kirinya dengan pengerahan sin-kang dan dia telah mempergunakan pukulan beracun ke arah kepala Tek Hoat. Pemuda ini maklum akan datangnya bahaya besar. Pedangnya tak dapat di-gerakkan lagi karena telah tertangkap dan terbelit jala tipis, dan andaikata dia hanya mementingkan pedangnya, tentu dia akan terkena sambaran golok dan hantaman wanita itu. Dia teringat akan Tenaga Sakti Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu-tek Siauw-jin. Tiba-tiba dia melepaskan pedangnya, melempar diri ke bawah dan menelungkup, kemudian dengan pengerahan sin-kang sakti Inti Bumi, kedua kakinya menghantam ke atas seperti seekor jengkerik menendang. Tendangannya yang tak tersangka-sangka dan mengandung tenaga dahsyat itu memapaki golok.

   "Dessss.... crakkk....!"

   Hek-tiauw Lo-mo berteriak keras karena goloknya itu membalik sedemikian hebatnya sehingga dia tidak mampu mempertahankan lagi dan goloknya telah menghantam pundaknya sendiri sehingga tulang pundaknya retak dan bahunya terluka! Dengan kemarahan meluap, dia menguyun kakinya.

   "Bukkk! Plakkk!"

   Tek Hoat terkena tendangan pada perutnya dan terkena hantaman tangan kiri Mauw Siauw Mo-li pada punggungnya. Tubuhnya terlempar dan terbanting lalu bergulingan. Akan tetapi dia dapat meloncat bangun kembali, matanya terbelalak marah dan tangan kirinya mengusap mulutnya yang berdarah. Hek-tiauw Lo-mo menyumpah-nyumpah. Dia telah terluka, juga Mauw Siauw Mo-li telah terluka. Celakanya, anak buahnya terdesak hebat dan banyak yang sudah terluka.

   Maka dia lalu bersuit nyaring dan meloncat pergi bersama sumoinya. Anak buahnya maklum bahwa pimpinan mereka juga terdesak, maka mereka lalu melarikan diri meninggalkan medan pertempuran sambil memapah teman-teman yang terluka. Tek Hoat memandang dengan mata terbelalak, tidak dapat mengejar karena dia maklum bahwa dia sendiri pun terluka parah. Setelah melihat bahwa musuh-musuhnya lari pergi membawa pedang Cui-beng-kiam yang terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, dia mengeluh, memejamkan matanya dan terguling pingsan di dekat kereta rombongan itu. Tek Hoat, yang memang luka-lukanya akibat pertandingan melawan para pengawal lihai dari Pangeran Liong Khi Ong itu belum sembuh benar, kini mengalami pukulan dan tendangan yang hebat, tentu saja menjadi makin parah luka-luka di sebelah dalam tubuhnya.

   Dia tidak tahu bahwa selama sehari semalam dia tidak sadar. Ketika dia akhirnya siuman kembali, dia merasa dirinya terguncang-guncang perlahan dan telinganya mendengar suara bergemuruh. Dia membuka matanya. Kiranya tubuhnya memang sedang terguncang-guncang di dalam bilik kereta yang berjalan perlahan, dan suara gemuruh itu adalah suara roda-roda kereta melindas jalan yang tidak rata. Cuping hidungnya kembang-kempis karena dia mencium bau harum semerbak dan matanya mencari-cari. Kiranya di dalam bilik kecil kereta itu terdapat peralatan rias dari wanita di atas sebuah meja kecil. Sisir, cermin, bedak dan lain-lain. Dia bergerak hendak bangkit duduk dan mengeluh. Kiranya tubuhnya sakit-sakit semua, terutama di dada dan punggungnya. Dia melihat betapa luka-luka luar di lengan dan dahinya telah dibalut orang dan diobati.

   Tek Hoat menjadi terheran-heran dan menduga-duga. Tak salah lagi, tentu dia ditolong oleh rombongan itu, karena dia juga melihat ada sebuah kereta besar dari rombongan yang diserbu oleh Hek-tiauw Lo-mo itu. Akan tetapi siapakah orang-orang ini dan kereta siapa ini yang penuh dengan peralatan rias seorang wanita? Tiba-tiba kereta itu berhenti dan Tek Hoat menyingkap tirai di jendela kereta. Kiranya mereka berhenti di dalam hutan dan waktu itu adalah tengah hari. Dia mengira bahwa belum lama dia berada di situ, karena pertempuran itu terjadi di pagi hari. Baru setengah hari. Seorang yang berjenggot dan berkumis pendek, yang dikenalnya sebagai seorang di antara para pemimpin yang mengeroyok Mauw Siauw Mo-li, datang menjenguk dan diikuti seorang anggauta rombongan yang membawa makanan untuk Tek Hoat.

   "Aih, syukurlah bahwa engkau telah siuman kembali, orang muda yang perkasa! Hati kami sudah gelisah melihat kau pingsan selama sehari semalam."

   "Sehari semalam?"

   Tek Hoat berseru kaget.

   "Bukankah baru pagi tadi aku jatuh pingsan?"

   "Bukan pagi tadi, melainkan kemarin pagi,"

   Orang itu berkata sambil tersenyum dan memandang kagum.

   "Sungguh hebat engkau, dapat menandingi orang-orang iblis itu! Terpaksa kami membawamu ke dalam kereta karena engkau pingsan dan tentu saja kami tidak tega meninggalkan engkau di dalam hutan itu."

   "Ah, terima kasih....!"

   Tek Hoat mencoba untuk bangkit duduk lagi, akan tetapi dia menyeringai kesakitan.

   "Tak usah duduk. Mengasolah dulu, orang muda...."

   "Akan tetapi.... akan tetapi, siapakah kalian ini....?"

   "Kami adalah pelancong-pelancong, rombongan pelancong."

   "Dan ke mana kalian hendak pergi?"

   "Engkau sendiri hendak ke mana, orang muda? Kalau tidak satu tujuan dengan kami, biarlah kami mencarikan tempat di sebuah kota atau dusun untuk kau tinggal dan beristirahat. Jangan khawatir, kami akan meninggalkan biaya secukupnya sampai kau sembuh."

   "Terima kasih, kau baik sekali, Paman. Aku.... aku akan ke barat...."

   "Ahhh! Kalau begitu kita setujuan. Kami pun serombongan sedang menuju ke barat. Kalau begitu, biarlah engkau mengaso di kereta itu dan kami akan berusaha mengobatimu."

   Tek Hoat merasa girang sekali dan amat berterima kasih. Karena dia belum kuat bangkit duduk, maka dia mengang-kat kedua tangan ke dada sambil rebah telentang, lalu berkata,

   "Engkau sungguh baik sekali, Paman dan banyak terima kasih atas pertolonganmu ini."

   Orang itu tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Orang muda perkasa yang rendah hati! Jangan bicara tentang terima kasih dan pertolongan, karena kalau bukan engkau yang datang menolong, agaknya saat ini kami telah menjadi mayat-mayat yang diperebutkan binatang-binatang hutan! Mengasolah dan biar anak buahku ini melayanimu."

   Pemimpin rombongan itu lalu pergi dan kiranya mereka semua berhenti di hutan itu untuk makan siang.

   Orang yang membawa bubur dan asinan itu lalu hendak menyuapkan makanan, akan tetapi Tek Hoat mengucapkan terima kasih dan makan sendiri sambil rebah miring. Dia merasa berhutang budi kepada mereka ini dan diam-diam dia harus mengakui bahwa di dunia kaum sesat kiranya tidak berlaku hukum tolong-menolong seperti ini. Baru terbuka matanya bahwa manusia harus saling tolong-menolong, bantu-membantu, bukan saling bermusuhan seperti di dunia kaum sesat. Betapa tenteramnya dunia ini kalau kehidupan manusia tidak dikotori oleh permusuhan dan kebencian! Seorang di antara anggauta rombongan, seorang kakek, ternyata pandai dengan ilmu pengobatan dan setiap hari Tek Hoat diperiksa dan diberi obat minum yang pahit namun manjur juga karena dia merasa makin tenang dan makin ringan luka-lukanya di dalam tubuh.

   Tentu saja setelah dapat duduk dia pun bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk mengobati luka-lukanya sendiri. Setiap hari, bahkan setiap saat Tek Hoat tidak pernah dapat melupakan Syanti Dewi. Makin dikenang, makin sakitlah hatinya, karena dia makin melihat kenyataan bahwa dia sama sekali tidak berharga berdekatan dengan puteri itu. Jangankan menjadi.... kekasih seperti yang selalu mengganggu hatinya, bahkan menjadi sahabat pun tidak pantas, menjadi pelayannya pun tidak patut. Pendeknya dia hanya akan mengotorkan puteri itu kalau berdekatan, karena hawa di sekitar dirinya adalah kotor, hina dan jahat! Teringat akan itu semua, dia mengeluh panjang pendek di dalam bilik itu.

   "Keparat kau, Tek Hoat....!"

   Dia memaki diri sendiri sambil menjambak rambut di bilik itu, tidak peduli bahwa suara hatinya itu keluar dari mulutnya dengan suara lirih.

   "Engkau manusia sesat, manusia jahat, sejahat-jahatnya orang! Bagaimana orang macam engkau tergila-gila kepada seorang bidadari seperti Puteri Syanti Dewi? Kau sudah gila! Seperti seekor burung gagak merindukan seekor burung hong!"

   Kadang-kadang dia memaki-maki dirinya sendiri menyesali semua perbuatannya.

   Kadang-kadang dia membayangkan kecantikan Syanti Dewi, kelembutannya, keramahannya, kemuliaan budinya, bahkan terdorong oleh suara hatinya, dia bersenandung memuji-muji puteri yang telah menguasai seluruh cinta kasih hatinya itu. Hampir setiap malam dia bermimpi, bertemu dengan puteri itu dan dalam mimpinya tentu dia menyebut-nyebut namanya. Apalagi ketika luka-lukanya membuat tubuhnya terserang demam, dalam keadaan tak sadar dia mengigau tentang Syanti Dewi. Berkat usahanya sendiri siulian dan menghimpun tenaga murni, ditambah pengobatan rombongan itu, seminggu kemudian kesehatan Tek Hoat sudah berangsur baik. Biarpun dia belum sembuh sama sekali, dan masih lemah, akan tetapi dia sudah dapat meninggalkan kereta dan di waktu kereta berhenti di dusun-dusun, dia dapat ikut pula turun dan bersama dengan rombongan itu makan di warung-warung.

   Hari itu mereka agak lama berhenti di dusun yang agak besar, karena rombongan itu membeli banyak ransum. Setelah melewati dusun itu, perjalanan akan melalui daerah pegunungan yang sunyi dan jarang terdapat dusun yang menjual bahan makanan, maka rombongan itu memperbanyak bekal mereka untuk keperluan di perjalanan. Tek Hoat juga membantu mereka dan karena tenaganya belum pulih kembali, dia ditugaskan untuk menghitung dan menimbang bahan-bahan makanan yang dibeli. Ketika akhirnya semua beres, dan dia hendak kembali ke kereta karena dia belum kuat naik kuda, Tek Hoat menjadi bingung. Baru sekarang dia melihat bahwa kereta yang panjang itu ternyata terdiri dari dua bilik. Dia hampir saja membuka pintu bilik yang berada di depan, akan tetapi pemimpin rombongan itu memegang lengannya dan berkata,

   "Eng-kau keliru, Taihiap."

   Dia kini disebut Taihiap setelah dia memperkenalkan diri, Ang-taihiap sebutannya.

   "Bilikmu adalah yang di belakang ini."

   "Ah, maaf. Akan tetapi siapakah yang berada di bilik depan?"

   Tanyanya.

   "Tidak ada siapa-siapa, akan tetapi Taihiap jangan membukanya. Sekali-kali harap jangan membukanya dan kami tentu saja percaya penuh kepada Ang-taihiap."

   Tek Hoat mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya dia curiga sekali. Beberapa kali ingin dia membuka pintu bilik itu kalau tidak ada orang melihatnya, akan tetapi kata-kata pimpinan rombongan itu mengingatkannya.

   "....kami tentu saja percaya penuh kepada Ang-taihiap."

   Hemm, apakah dia yang sudah menyeleweng dan tersesat itu kini juga menjadi orang yang tidak bisa dipercaya?

   Betapapun curiganya, betapapun inginnya untuk membuka pintu bilik depan itu, dia mengeraskan hati dan tidak mau membukanya! Mulai sekarang, dia harus menjadi seorang yang menjauhi segala keburukan! Dia harus memulai hidup baru dan menanggalkan semua kebiasaan lama yang busuk dan sesat! Menjelang tengah hari, kereta mulai memasuki daerah hutan yang sunyi. Akan tetapi, ketika memasuki sebuah hutan, baru saja tiba di pinggir hutan itu, tiba-tiba rombongan ini berhenti dan kereta juga berhenti. Tek Hoat terkejut. Kalau sekali ini terjadi pencegatan oleh orang-orang sakti seperti yang terjadi seminggu yang lalu, sedangkan kesehatan dan tenaganya belum pulih sama sekali, tentu mereka semua akan celaka dan dia sama sekali tidak dapat melindungi mereka.

   Padahal mereka sudah begitu baik kepadanya! Akan tetapi tidak terdengar kegaduhan, maka Tek Hoat lalu menyingkap tirai bilik keretanya dan memandang ke depan, menjenguk ke luar. Di depan, tampak seorang dara remaja berdiri menghadang rombongan itu. Tek Hoat memandang kagum. Seorang dara remaja yang amat cantik jelita, sangat cantik dan lincah, sikapnya ramah kekanak-kanakan namun memikat hati, tubuhnya tiada hentinya bergerak, sepasang matanya seperti sepasang bintang senja yang berkedip-kedip dan bersinar terang, jernih dan tajam, bibirnya yang merah itu bersungut-sungut namun bertambah manisnya. Dengan sikap yang lucu dan jenaka, namun juga agak ugal-ugalan dara itu menggunakan telunjuk tangan kanannya menyodok perut kepala rombongan yang agaknya sudah mengenalnya itu.

   "Wah, Paman mencari penyakit, ya? Kenapa melalui jalan sini? Di balik hutan ini terdapat rombongan orang jahat yang amat jahat, bukan penjahat biasa melainkan gerombolan yang berilmu tinggi. Kalau rombongan Paman ini diketahuinya, tentu celaka! Suhu sendiri merasa ngeri berhadapan dengan gerombolan itu dan Suhu yang menyuruh aku menghadang Paman di sini untuk memberi peringatan agar Paman menggunakan jalan lain!"

   Kepala rombongan itu tersenyum, agaknya dia sudah mengenal watak dara remaja yang jenaka itu sungguhpun sekali ini dia membawa berita yang mengejutkan.

   "Aih, Nona Teng, kita bertemu kem-bali di tempat yang tak tersangka-sangka ini! Di mana Locianpwe yang menjadi gurumu itu? Dan gerombolan apakah yang kau ceritakan itu?"

   "Gerombolan apa yang berbahaya kalau bukan gerombolan yang dipimpin Raja Tambolon? Musuh besarmu, bukan? Menurut Suhu, Tambolon selalu menjadi musuh besar orang-orang Bhutan!"

   Kepala rombongan itu kelihatan kaget bukan main, juga semua anggauta rombongan itu mengeluarkan seruan kaget.

   "Celaka....!"

   Kepala rombongan itu berseru. Akan tetapi Tek Hoat yang mendengarkan percakapan itu pun terkejut bukan main. Kiranya rombongan ini adalah orang-orang Bhutan! Dia meloncat turun dan pergi ke depan mendekati gadis ini yang memandang kepada Tek Hoat dengan pandang mata penuh selidik.

   "Taihiap, sekali ini kita dihadang gerombolan yang lebih berbahaya lagi,"

   Pemimpin rombongan itu berkata ketika melihat Tek Hoat mendekati mereka.

   "Paman Jayin, siapa dia yang kau sebut taihiap ini? Aku baru sekali ini melihatnya. Apa dia orang baru?"

   Dara remaja itu berkata dan dengan sinar mata penuh selidik, seperti seorang pedagang kuda yang hendak membeli seekor kuda dan menaksirnya, dia berjalan dengan gerak penuh kelembutan dan lagak yang memikat, mengelilingi Tek Hoat perlahan-perlahan sambil memandang dengan mata dipicingkan!

   Melihat sikap ini, Tek Hoat menjadi geli di dalam hatinya. Benar-benar seorang bocah perempuan yang bersemangat, lincah jenaka dan ugal-ugalan. Rambut yang dikepang dua itu melambai-lambai lucu ketika kepala yang manis itu digerak-gerakkan dan lengannya lemah gemulai sehingga pinggul yang tertutup baju panjang itu bergerak-gerak membayang dengan lemasnya. Rombongan itu kini berkerumun dan Tek Hoat lalu bertanya kepada dara remaja yang bukan lain adalah Teng Siang In itu. Seperti kita ketahui, Siang In telah diambil murid oleh See-thian Hoat-su, kakek yang sakti bekas suami nenek iblis Durganini. Mereka berdua telah saling berjumpa dan rujuk kembali. Akan tetapi dasar watak Durganini sudah pikun dan sudah berubah. Mereka berdua tadinya mengajak Siang In untuk kembali ke barat, ke Himalaya.

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 23 Pendekar Super Sakti Eps 30 Sepasang Pedang Iblis Eps 19

Cari Blog Ini