Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 21


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



Setelah mendapatkan kenyataan bahwa pasukan telah meninggalkan tempat itu, Kian Bu terlngat akan pesan Sai-cu Kai-ong, maka tanpa membuang waktu lagi dia langsung pergi dengan cepat menyusul ke puncak Bukit Nelayan, yaitu bukit di tepi sungai sebelah selatan kota Pao-teng di mana Sai-cu Kai-ong tinggal. Beberapa hari kemudian, setelah dia tiba di puncak Bukit Nelayan, benar saja dia bertemu dengan Sai-cu Kai-ong dan kakaknya juga berada di situ, berbaring di dalam sebuah kamar dan keadaannya tidaklah separah ketika dia tinggalkan berkat perawatan yang baik dari seorang ahli pengobatan yang pandai, yaitu Sai-cu Kai-ong. Kakek itu girang dan kagum sekali menerima jamur panca warna dari Kian Bu.

   "Benar...., benar inilah jamur yang mujijat itu.... aihhh, Suma-taihiap, sungguh engkau hebat sekali, dan kakakmu tentu akan sembuh dengan cepat berkat obat ini,"

   Kata kakek itu sambil membawa masuk jamur itu untuk dibuatkan ramuan obat. Kian Bu memandang girang dan menoleh ketika kakaknya berkata,

   "Bu-te, engkau telah bersusah-payah untukku. Aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu, adikku."

   Kian Bu duduk di atas bangku dekat pembaringan kakaknya, wajahnya berseri gembira dan dia berkata,

   "Lee-ko, kau tidak semestinya mengucapkan terima kasih kepadaku, karena yang berjasa mendapatkan jamur mujijat itu bukanlah aku...."

   "Aku tahu, memang Locianpwe Sai-cu Kai-ong juga telah melimpahkan budi kepadaku, akan tetapi engkau yang bersusah payah mendapatkannya, padahal menurut cerita Locianpwe itu, amat sukarlah mendapatkannya dan kau telah berhasil dalam waktu singkat."

   "Ah, sama sekali bukan aku. Kalau tidak ada pertolongan orang itu, kiranya belum tentu satu bulan lagi aku sudah dapat kembali, bahkan belum tentu bisa mendapatkan jamur itu."

   "Ah, begitukah? Siapakah penolong yang budiman itu, adikku?"

   "Dia adalah seorang yang amat kau kenal baik, Koko."

   "Siapa?"

   "Pacarmu!"

   Kian Lee terkejut dan mengerutkan alisnya memandang wajah adiknya yang berseri dan kemudian dia tersenyum. Biarpun adiknya ini telah mengalami banyak sekali perubahan, rambutnya putih semua persis seperti keadaan ayah mereka si Pendekar Super Sakti, wajah adiknya itu sudah nampak dewasa dan "matang", namun ternyata adiknya masih belum kehilangan sifat kebengalannya!

   "Kian Bu, jangan main-main kau!"

   Katanya menegur karena dia mengira bahwa yang dimaksudkan oleh Kian Bu itu tentulah Ceng Ceng, atau Lu Ceng, atau kini telah menjadi isteri Kao Kok Cu putera sulung Jenderal Kao Liang yang dulu berjuluk Topeng Setan. Begitu mendengar adiknya menyebut "pacarmu", terbayanglah wajah Ceng Ceng, akan tetapi Kian Lee cepat mengusir bayangan itu karena maklum bahwa tidak semestinyalah kalau dia membayangkan wajah isteri orang lain! Melihat wajah kakaknya menjadi agak muram, Kian Bu segera teringat dan maklum, maka cepat-cepat dia menyambung,

   "Bukan dia maksudku, Lee-ko, akan tetapi dara cantik jelita yang menjadi pacarmu dalam cinta pertamamu. Hayo, masa kau lupa lagi siapa yang menerima cinta pertamamu?"

   Kian Lee masih mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa adiknya ini bengal dan suka menggoda orang, terutama menggoda wanita-wanita muda. Dia sendiri jarang bergaul dengan wanita, dan selama hidupnya, baru satu kali dia jatuh cinta, jatuh cinta benar-benar dan ternyata yang dicintanya itu, Ceng Ceng, keponakan tirinya sendiri! Ceng Ceng adalah puteri gelap dari mendiang Wan Keng In, sedangkan Wan Keng In itu adalah anak kandung dari ibunya sendiri, jadi satu ibu lain ayah dengan dia! Tentu saja tidak mungkin dia berjodoh dengan Ceng Ceng dan kenyataan itu sebenarnya banyak menolongnya, karena kalau tidak, tetap saja dia akan patah hati, malah lebih parah lagi karena ternyata Ceng Ceng mencinta seorang laki-laki lain, yaitu Kao Kok Cu!

   "Aku tidak mengerti siapa yang kau maksudkan itu, Bu-te,"

   Katanya menggeleng ,kepala. Kian Bu tertawa.

   "Dia sendiri tidak mau memperkenalkan namanya. Akan tetapi dia adalah seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali Koko, galak dan lincah, menunggang seekor garuda, pakaiannya serba hitam dan ilmu kepandaiannya hebat."

   Kian Lee tetap tidak dapat menduga siapa adanya gadis itu.

   "Siapakah dia, Bu-te? Katakanlah, siapa dia dan mengapa kau tadi mengatakan bahwa dia adalah pacarku."

   "Dia tidak bilang begitu, Koko, maafkan aku. Akan tetapi dia hanya mengatakan bahwa dia dahulu pernah menolongmu dan mengobati pahamu yang terluka parah lima enam tahun yang lalu...."

   "Aihhh....! Dia....?"

   Tentu saja Kian Lee teringat baik akan peristiwa itu. Lima tahun lebih yang lalu dia terluka oleh ledakan senjata rahasia Mauw Siauw Mo-li, dan dia tentu akan tertawan musuh dan tidak berdaya dalam keadaan luka itu kalau tidak ditolong oleh seorang gadis cilik yang manis dan mungil, murid keponakan Mauw Siauw Mo-li sendiri, gadis yang muncul bersama banyak kucing, Kim Hwee Li atau puteri tunggal dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Terbayanglah dia wajah anak yang cantik itu.

   "Benar dia, tentu kau ingat sekarang bukan, Koko?"

   Tanya Kian Bu sambil tersenyum dan menyelidiki wajah kakaknya. Dia tahu bahwa kakaknya telah patah hati karena kasih tak sampai dan dia akan senang kalau kakaknya ini mendapatkan seorang pacar baru, dan gadis pakaian hitam itu memang hebat!

   "Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?"

   Kian Lee menegaskan.

   "Benar, dialah orangnya yaang memungkinkan aku secepat ini memperoleh jamur itu untukmu, Koko."

   Kian Bu lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia mencari jamur dan bertemu dengan Hwee Li yang memboncengkannya turun ke bawah tebing itu. Tentu saja dia tidak berani menceritakan tentang peristiwa memalukan dan lucu ketika dia terserang oleh nafsu berahi yang bangkit ketika dia dibonceng di belakang tubuh Hwee Li dan betapa Hwee Li menjadi marah-marah dan menyerangnya sehingga dia terjatuh ke bawah.

   "Dia.... dia cinta padamu, Koko."

   "Hushhhhh....!"

   Kian Lee membentak dengan muka berubah merah.

   "Jangan menyalahtafsirkan kebaikan orang, Bute. Apakah karena dia dahulu pernah mengobati pahaku, kemudian sekarang membantumu mencari jamur panca warna, lalu kauanggap kebaikan hatinya itu sebagai tanda jatuh cinta? Kau sungguh terlalu merendahkan kebaikan orang, Bute."

   "Bukan begitu, Lee-ko. Aku tentu saja tidak akan sembarangan bicara kalau tidak ada bukti-bukti nyata. Buktinya menyatakan bahwa dia cinta kepadamu."

   "Hemmm, kau masih bengal seperti dulu, Kian Bu. Hayo apa buktinya?"

   Kian Lee mendesak.

   "Ketika dia mengobati pahamu dahulu tentu saja aku tidak dapat membuktikannya, apalagi ketika itu dia tentu masih kecil, belum dewasa, maka tidak patut bicara tentang cinta. Akan tetapi sekarang, hemmm.... dia telah menjadi seorang dara dewasa yang cantik jelita dan manis sekali, Koko...."

   "Hal itu belum menjadi bukti bahwa dia cinta padaku, agaknya padamulah dia jatuh hati, Bu-te, karena engkau selalu pandai merayu wanita!"

   "Tidak, Lee-ko, dengarlah dulu ceritaku. Kukatakan tadi bahwa dia menolongku membonceng garudanya turun ke dasar tebing. Nah, dalam penerbangan itu dia bertanya mengapa kau terluka, dan dia tadinya sudah menunjukkan pula bahwa hanya karena mendengar Suma Kian Lee terluka saja maka dia mau membantuku. Ketika aku berterus terang mengatakan bahwa kau terluka oleh pukulanku, sebelum aku sempat menceritakan bahwa hal itu kulakukan tanpa sengaja dia sudah menjadi begitu marah dan dia menyerangku sampai aku terjungkal dari atas punggung garudanya!"

   "Ahhh....!"

   Kian Lee terkejut sekali

   "Untung burung itu telah terbang rendah dan hampir sampai di dasar tebing sehingga aku selamat. Akan tetapi bukankah hal itu jelas membuktikan bahwa dia cinta padamu sehingga ketika dia mendengar engkau luka terpukul olehku dia lalu marah dan hendak membunuhku?"

   "Hemmm, dia ganas....!"

   Kian Lee berkata lirih. Tentu saja dia tidak memikirkan gadis itu, melainkan memikirkan bahaya yang mengancam adiknya.

   "Akan tetapi dia sudah kuceritakan bahwa perkelahian antara kita adalah karena tidak tahu, maka dia berbaik kembali dan mau mengantarku naik dengan garudanya setelah aku berhasil me-nemukan jamur itu."

   "Karena petunjuk wanita gila itu seperti yang kau ceritakan tadi? Ah, sungguh hebat pengalamanmu, adikku. Siapa kira di tempat itu kau bertemu dengan pelayan Ibu Tek Hoat yang menceritakan peristiwa hebat yang menimpa diri Ang Siok Bi itu. Entah Tek Hoat sudah mendengar atau belum bahwa ibunya dibunuh oleh Mohinta dan teman-temannya dari Bhutan."

   Percakapan mereka terhenti karena munculnya Sai-cu Kai-ong yang datang bersama Siauw Hong dan Gu Sin-kai. Siauw Hong membawa periuk obat yang terisi godokan obat yang berwarna hijau.

   "Ah, Suma-taihiap,"

   Kata Sai-cu Kai-ong kepada Kian Bu.

   "Kakakmu tidak boleh diajak bicara terlalu banyak. Dia harus banyak istirahat karena luka yang dideritanya amat hebat. Jamur panca warna ini akan menyelamatkannya, namun dia harus banyak beristirahat."

   Kakek ini lalu mengambil periuk dari tangan Siauw Hong dan memberi minurn ramuan jamu panca warna yang telah digodok dengan obat-obat lain itu kepada Kian Lee. Rasanya pahit dan baunya tidak sedap, agak amis dan wengur, akan tetapi ada hawa yang hangat menjalar dari perut setelah Kian Lee menghabiskan obat semangkok itu.

   "Sekarang, beristirahatlah, Taihiap,"

   Kata Sai-cu Kai-ong kepada Kian Lee.

   "Setiap hari Taihiap harus minum obat, ramuan ini tiga mangkok, pagi siang dan sore."

   Maka mulailah Kian Lee minum obat campur jamur mujijat itu, dilayani oleh Siauw Hong yang menggodokkan obatnya dan Kian Bu yang menjaganya siang malam. Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali atas perkenan Sai-cu Kai-ong, Kian Bu memondong tubuh Kian Lee yang belum boleh banyak bergerak itu keluar dari kamar, menuruni puncak dan menuju ke tepi sungai. Kian Bu menurunkan tubuh kakaknya di atas rumput hijau. Hawa amat nyaman di pagi hari itu, apalagi setelah matahari pagi yang murni dan jernih itu mulai melimpahkan cahayanya yang keemasan.

   "Sekarang tiba saatnya engkau menceritakan semua pengalamanmu, Bu-te. Mengapa selama lima tahun ini engkau tidak pernah pulang ke Pulau Es dan ke mana saja engkau pergi? Mengapa pula rambutmu menjadi putih semua seperti itu? Apakah memang karena engkau mewarisi warna rambut Ayah, ataukah ada terjadi hal lain?"

   Mendengar pertanyaan kakaknya itu, tiba-tiba saja wajah Siluman Kecil itu menjadi muram kembali. Kalau tadinya semenjak dia mencari obat jamur dan bertemu dengan Hwee Li, hampir pulih kembali kegembiraannya dan hampir nampak kembali sifat-sifat Kian Bu yang lincah gembira, kini dia kembali muram seperti wajah Siluman Kecil selama ini! Dia menarik napas panjang dan berkata lirih dan lambat,

   "Aku telah tenggelam di dalam kedukaan hebat, Koko. Semenjak aku melihat pencurahan kasih sayang dari Puteri Syanti Dewi kepada Ang Tek Hoat di dalam hutan, semenjak aku melihat kenyataan bahwa puteri yang kucinta dengan sepenuh jiwa raga itu ternyata mencinta orang lain, aku tidak dapat menahan guncangan batin karena kecewa dan duka, dan aku tenggelam di dalam kesedihan seperti hampir gila dan tidak ingat apa-apa lagi...."

   Kian Lee menarik napas panjang dan memegang tangan adiknya penuh kasih sayang dan belas kasihan.

   "Aku tahu, adikku. Aku telah mengenal pula perasaan itu. Lanjutkanlah ceritamu."

   "Aku seolah-olah menjadi bosan hidup. Alam di sekelilingku berubah seperti neraka dan aku tidak ingin kembali ke Pulae Es, tidak ingin bertemu siapapun juga kecuali bertemu dengan malaikat maut yang boleh mencabut nyawaku. Aku pergi merantau ke manapun kakiku membawaku, tanpa tujuan, tanpa kemauan dan yang ada hanya perasaan merana dan sengsara."

   "Ah, kasihan sekali kau, Bu-te. Tidak kusangka seorang yang segagah dan selincah engkau, yang selalu gembira dan nakal, ternyata begitu lemah setelah tertimpa kekecewaan cinta...."

   Kian Lee memandang dengan sinar mata terharu sekali.

   "Aku sendiri pun merasa heran, Koko. Tadinya kuanggap bahwa cinta terhadap wanita hanya merupakan permainan belaka. Akan tetapi cintaku terhadap Shanti Dewi sungguh lain sama sekali. Puteri itu telah menguasai seluruh jiwa ragaku, setiap bulu di tubuhku seperti telah mencintainya dan tidak mau berpisah lagi dari sisinya, maka begitu terjadi perpisahan dan kenyataan bahwa aku tidak dapat mendekatinya, aku jatuh dan hancur lebur. Akan tetapi biarlah kulanjutkan ceritaku agar tidak membosankan engkau yang mendengar aku merengek-rengek tentang cintaku yang gagal, Koko. Dengarlah."

   Kian Bu lalu bercerita. Dengan hati patah dan hancur dia lalu merana, naik turun gunung, menyeberangi sungai dan telaga, masuk keluar hutan-hutan besar dan lebat, sama sekali tidak mempedulikan lagi dirinya sehingga pakaiannya compang-camping, tubuhnya kurus dan wajahnya pucat, rambutnya terurai riap-riapan tanpa pernah dibereskan. Karena membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sedemikian rupa, dan mungkin karena ditambah dengan keturunan, dalam waktu beberapa bulan saja sudah tumbuh rambut putih di kepalanya.

   Pada suatu hari, tanpa disadarinya dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-pei sebelah selatan dan mendaki sebuah bukit. Karena dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, maka dia tidak peduli pula akan cegahan orang-orang ketika dia tiba di bawah bukit. Orang-orang itu memperingatkannya agar tidak naik ke bukit itu, karena menurut mereka, bukit itu berada di bawah kekuasaan kakek dewa yang menghuni di gedung tua di puncak bukit itu dan kakek dewa itu amat galak, Tidak memperkenankan sembarangan orang mendekati gedungnya. Akan tetapi Kian Bu tidak mempedulikan itu semua, bahkan dia seperti sengaja hendak menempuh bahaya karena baginya pada waktu itu, kalau kematian datang, hal itu dianggapnya baik sekali! Dia seperti orang nekat dan dengan sembarangan saja dia lalu mendaki bukit yang sunyi itu pada waktu matahari mulai tenggelam.

   Senjakala mendatangkan sinar layung yang kemerahan di permukaan bukit, membuat segala sesuatu seperti menyala kekuningan, terang sekali dan sesungguhnya amatlah indahnya. Namun bagi seorang yang sedang dilanda kedukaan hati dan pikirannya sendiri, tidak ada apa-apa yang indah, adanya hanya mengesal-kan dan menjemukan hati belaka. Jelaslah bahwa indah dan buruk hanyalah penilaian yang sesuai dengan keadaan hati seseorang belaka. Kenyataannya tidaklah baik atau buruk, melainkan ya sudah begitu, apa adanya, tidak baik tidak buruk, tidak indah tidak jelek. Hanya pikiran dan hati sendirilah yang memberi penilaian, sesuai dengan suka dan tidak suka, menyenangkan dan tidak menyenangkan, menguntungkan dan merugikan. Ketika malam mulai datang, gelap menyelimuti cahaya terakhir dari matahari, Kian Bu menghentikan langkahnya dan duduklah dia di atas batu di tepi jurang, melamun,

   Kadang-kadang merenung ke dalam kegelapan, kadang-kadang pula dia berdongak memandang langit yang terhias bintang-bintang muda yang berkedap-kedip lemah di langit yang masih muda warnanya. Pikirannya kosong, melayang-layang tanpa arah tujuan tertentu, suasana menjadi lengang dan kesepian menyelimutinya, menimbulkan ketrenyuhan hati yang makin merana. Dia tidak tahu di mana dia berada. Sebenarnya pada saat itu dia telah berada di Pegunungan Tai-hang-san, di sebuah di antara puncak bukit-bukit di sekitar pegunungan itu. Tiba-tiba terdengar suara suling melengking, memecah kesunyian malam, menyelinap di antara suara belalang dan jengkerik serta binatang-binatang kecil yang biasa meramaikan suasana keheningan malam. Kian Bu tertarik oleh suara suling itu. Sungguh nyaring sekali suara suling itu, peniupnya tentu seorang yang pandai.

   Seperti ada daya tarik luar biasa pada suara suling itu. Kian Bu lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke arah suara itu. Sementara itu, bintang-bintang di langit mulai nampak lebih terang karena langit makin tua warnanya, dan bintang-bintang itu kelihatan seperti permata-permata indah tergantung pada beludru hitam yang bersih. Tidak begitu gelap keadaan di tempat itu sehingga Kian Bu dapat melihat seorang kakek yang duduk bersandarkan batang pohon dan meniup suling. Suara suling itu terhenti seketika dan kakek itu meloncat, di tangan kanannya nampak sebatang tongkat dan sebatang suling yeng putih berkilau telah diselipkan di ikat pinggangnya. Kakek itu tinggi kurus dan usianya tentu sudah enam puluh lima tahun lebih. Sikapnya agung dan gagah ketika dia berdiri dengan kaki terpentang lebar, tongkatnya melintang dan matanya memandang Kian Bu penuh perhatian dan kecurigaan.

   "Siapa kau? Mau apa naik ke bukit ini yang berada di bawah kekuasaan kami? Hayo cepat kau pergi dari sini sekarang juga!"

   Bentak kakek itu. Kian Bu mengerutkan alisnya.

   "Apakah engkau ini yang dinamakan orang di bawah sana sebagai kakek dewa?"

   Tanyanya. Kakek itu mendengus dan menggerakkan tongkatnya yang panjahg.

   "Kalau benar mau apa?"

   "Hemmm, kalau benar begitu, namamu saja kakek dewa, akan tetapi sikapnya lebih menyerupai kakek iblis."

   "Bocah keparat! Berani engkau memaki Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak)? Hayo pergi, aku masih sabar dan dapat mengampunimu. Aku tidak mau ribut dengan seorang bocah masih ingusan."

   Kian Bu yang memang sedang murung itu, menjadi marah.

   "Kakek sombong, kalau aku tidak dapat mengalahkan engkau lebih baik aku mati saja!"

   Ucapan yang sebenarnya keluar dari hati yang kesal itu tentu saja membuat Gin-siauw Lo-jin menjadi marah bukan main.

   "Bocah tak tahu diri! Pergi!"

   Bentaknya, dan tangan kirinya menampar. Dia mengira bahwa Kian Bu adalah seorang pemuda ugal-ugalan dari bawah gunung, maka dia bermaksud untuk menampar pundaknya agar pemuda itu takut dan lari. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat pemuda itu tidak mengelak atau menangkis.

   "Plakkk!"

   Tubuh kakek itu terhuyung dah hampir roboh! Maklumlah kakek itu bahwa dia berhadapan dengan seorang pandai yang agaknya memang datang untuk mengacau, maka sambil berseru keras dia sudah menggerakkan tongkat panjangnya menyerang.

   "Wuuuuuttttt....! Wirrrrr...."

   Kian Bu juga kaget. Bukan main lihainya tongkat itu, gerakannya cepat dan mengandung angin pukulan yang dahsyat. Ternyata bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang benar-benar amat lihai, maka dia pun tidak mau mengalah begitu saja. Cepat dia mengelak dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang seru dan kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan kaget ketika melihat betapa tongkatnya membalik dan telapak tangannya panas ketika bertemu dengan lengan pemuda itu.

   "Keparat!"

   Bentaknya dan dengan sepenuh tenaganya karena penasaran, dia mengarahkan hantaman tongkatnya pada kepala Kian Bu. Sekali ini dia menyerang untuk membunuh! Kian Bu menanti sampai tongkat itu menyambar dekat, lalu dia menggerakkan kedua lengannya memapaki dari kanan kiri dengan gerakan menggunting.

   "Krekkk-krekkkkk!"

   Tongkat panjang itu patah-patah menjadi tiga potong dan bagian tengahnya terlempar jauh.

   "Ehhhhh....!"

   Kakek yang mengaku berjuluk Gin-siauw Lo-jin itu berseru keras saking kagetnya dan marahnya. Dia adalah murid pertama dari Sin-siauw Seng-jin (Kakek Dewa Seruling Sakti) yang menjadi ahli waris dari pendekar sakti Suling Emas, dan tongkatnya itu adalah sebuah benda pusaka yang selama puluhan tahun berada di dalam tangannya dan belum pernah terkalahkan.

   Akan tetapi kini patah menjadi tiga bertemu dengan lengan pemuda ini! Tentu saja dia menjadi penasaran, malu dan hal ini membuat ia marah bukan main. Kemarahan sudah pasti timbul karena penonjolan kepentingan pribadi tersinggung, dan penonjolan kepentingan pribadi selalu mengejar kesenangan baik lahir batin. Satu di antara kesenangan batin adalah bayangan betapa pandainya diri sendiri. Membayangkan bahwa diri sendiri pandai, gagah perkas, berkuasa dan sebagainya adalah menyenangkan dan kalau bayangan ini dirusak oleh kenyataan, maka akan menjadi marahlah batin. Demikian pula halnya kakek Gin-siauw Lo-jin itu. Selama ini dia merasa dirinya amat hebat, tongkatnya amat hebat, akan tetapi ke-nyataan bahwa tongkatnya patah-patah bertemu dengan lengan pemuda itu membuatnya marah bukan main.

   "Bocah setan, kau datang mengantar nyawa!"

   Serunya dan nampak sinar putih berkelebat ketika dia mencabut suling perak dari ikat pinggangnya.

   Ketika dia dan Suma Kian Lee, kakaknya, meninggalkan Pulau Es untuk pergi ke kota raja mencari encinya, yaitu Puteri Milana, oleh ayah ibu mereka di Pulau Es, mereka dilarang membawa senjata. Dan memang dua orang pemuda Pulau Es itu tidak lagi membutuhkan senjata. Seorang yang sudah memiliki ilmu kepandaian setingkat mereka memang sebenarnya tidak memerlukan lagi senjata. Selain kedua lengan dan kedua kaki mereka merupakan senjata yang ampuh, bahkan setiap buah jari tangan mereka merupakan senjata ampuh, juga setiap benda yang mereka temukan dapat saja mereka pergunakan sebagai senjata. Kini, melihat kakek itu mencabut suling perak yang tadi ditiupnya, Kian Bu bersikap waspada. Dia adalah seorang yang sedang tenggelam ke dalam kekecewaan dan kedukaan, tentu saja melihat orang yang dianggapnya keterlaluan itu dia menjadi marah.

   "Sing-sing-singgggg....!"

   Sinar perak berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar dahsyat, disertai bunyi berdesingan yang nyaring.

   "Bagus!"

   Kian Bu berseru kagum karena memang hebat gerakan suling itu. Cepat dia mengelak ke sana-sini dan kemudian terkejutlah dia ketika dia melihat cara suling itu digerakkan. Dia mengenal gerakan itu. Cepat dia menghindarkan diri dan karena penasaran dia tidak balas menyerang melainkan mengelak ke sana-sini untuk mempelajari gerakan lawan lebih lanjut.

   Tidak salah lagi, itulah gerakan dari jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat! Dan ilmu ini adalah sebuah di antara ilmu-ilmu keistimewaan kakaknya, Suma Kian Lee, yang mewarisinya dari ibunya, yaitu Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka, bahkan yang mewarisi kitab-kitab ilmu silat peninggalan pendekar sakti Suling Emas! Dia sendiri mengenal dan dapat memainkan Ilmu Pat-sian Kiam-hoat karena selain dia menerima petunjuk dari ibu tirinya itu, juga ibunya sendiri, Puteri Nirahai adalah seorang wanita yang serba bisa dan telah mempelajari semua Ilmu, termasuk ilmu dari Suling Emas ini! Setelah kakek itu menyerangnya sampai sepuluh jurus dan dia yakin bahwa ilmu yang dimainkan itu adalah Pat-sian Kiam-hoat, dia meloncat ke belakang sambil berseru,

   "Bukankah yang kau main-kan itu Pat-sian Kiam-hoat?"

   Kakek itu tertegun dan memandang kepadanya dengan heran, kemudian tersenyum mengejek karena mengira bahwa pemuda yang lihai itu merasa takut.

   "Hemmm, kau sudah mengenal ilmu silatku yang hebat? Bagus, kalau begitu lekas kau berlutut minta ampun dan mengenalkan dirimu agar engkau tidak akan menjadi setan penasaran tanpa na-ma, tewas di ujung suling mautku,"

   Kata kakek itu yang merasa mendapatkan kembali harga dirinya.

   "Hemmm, maling hina! Dari mana kau mencuri Ilmu Pat-sian Kiam-hoat?"

   Kian Bu membentak marah. Kakek itu terkejut dan tentu saja dia menjadi marah sekali. Dikiranya pemuda itu menjadi gentar mengenai ilmunya, tidak tahu malah menghinanya dan mengatakannya maling! Terngiang bunyi di dalam telinganya, merah pandang matanya karena darahnya sudah naik ke kepala saking marahnya.

   "Bocah lancang bermulut busuk, mampuslah!"

   Bentaknya dan dia sudah menggerakkan lagi suling
(Lanjut ke Jilid 21)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21
peraknya, kini dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi sampai suling itu mengeluarkan suara melengking nyaring seperti ditiup mulut! Kian Bu cepat mengelak akan tetapi kini dia mengelak lalu membalas serangan lawan dengan pukulan Swat-im Sin-ciang.

   "Wusssss...."

   Kakek itu pun mengelak karena kaget sekali betapa hawa yang menyambarnya membawa rasa dingin yang menyusup tulang, lalu sulingnya kembali menghujankan serangan. Pertandingan itu cukup hebat karena memang suling kakek itu amat lihai. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia ber-temu dengan pemuda Pulau Es, putera Pendekar Super Sakti yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali, maka lewat tiga puluh jurus lebih, hawa sakti dari Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu menyambar dadanya dan Gin-siauw Lo-jin berteriak keras dan roboh terguling dalam keadaan pingsan dan dengan suling masih tergenggam tangan.

   Kian Bu memandang tubuh yang rebah pingsan itu, diam-diam merasa heran bagaimana kakek ini dapat menguasai ilmu simpanan dari ibu tirinya yang mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, kemudian dia menghapus peluhnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Dia sudah tidak mempedulikan lagi kakek itu karena sudah mulai tenggelam lagi dalam kedukaannya. Akan tetapi ketika dia berjalan di lereng bukit itu, di bawah sinar bintang-bintang di langit, peristiwa pertemuannya dengan kakek yang pandai ilmu peninggalan Suling Emas itu membuat dia ingat kepada Suma Kian Lee, kepada ibu tirinya, kepada ayah bundanya sendiri dan kepada Pulau Es dan bangkitlah rasa rindu di dalam hatinya.

   Teringat kepada mereka semua yang tercinta membuat hatinya makin merasa prihatin, merasa betapa sunyi hidupnya, betapa sengsara hatinya dan pemuda ini lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput, terasa lemah seluruh tubuh dan dia duduk bersamadhi sampai pagi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah disadarkan oleh kicau burung yangriang gembira menyambut datangnya pagi yang cerah dan indah. Akan tetapi tidak terasa keindahan itu di hati Kian Bu yang sedang gundah-gulana. Dia teringat akan kakek yang dirobohkannya semalam dan hatinya segera merasa menyesal. Tidak ada persoalan hebat antara dia dan kakek itu, namun dia telah merobohkan-nya dan meninggalkannya rebah pingsan. Jangan-jangan kakek yang sudah tua itu akan tewas karenanya.

   Dia menyesal sekali. Bukan wataknya untuk membunuh orang begitu saja, padahal tidak ada persoalan penting di antara mereka. Teringat akan ini Kian Bu cepat bangkit dan pergi mendaki bukit itu lagi menuju ke tempat di mana dia berketahi dengan kakek itu semalam. Akan tetapi ketika dia tiba di tempat itu, di situ sunyi saja dan kakek itu sudah tidak ada lagi di tempat dia rebah semalam. Yang ada hanya burung-burung beterbangan sambil berkicau riuh-rendah. Padahal dia tahu betul bahwa di situ tempatnya, bahkan tongkat panjang yang patah-patah milik Gin-siauw Lo-jin pun masih berada di situ. Sudah siuman agaknya kakek itu lalu pergi dari situ. Kian Bu menarik napas lega. Baik kalau kakek itu tidak mati! Akan tetapi belum puas hatinya kalau belum dapat bertemu untuk menyatakan penyesalannya dan minta maaf.

   Lebih baik dia berkenalan dengan kakek itu dan bertanya secara baik-baik tentang Ilmu Silat Pat-sian Kiam-hoat itu. Siapa tahu masih ada hubungan atau pertalian perguruan antara kakek itu dengan ibu tirinya! Kalau benar demikian, bukankah berarti bahwa dia telah merobohkan kerabat atau kawan sendiri? Dia merasa makin menyesal dan mulailah dia mencari-cari di sekitar tempat itu. Akan tetapi sunyi saja di sekeliling situ, sunyi yang amat indah karena pagi itu memang cerah sekali. Tiba-tiba dia mendengar suara orang bersenandung, lapat-lapat terdengar olehnya. Cepat Suma Kian Bu melangkah menuju ke arah suara itu yang makin lama makin nyata. Kiranya itu adalah suara wanita yang amat merdu dan kiranya bukan nyanyian yang disenandungkan itu, melainkan doa yang dinyanyikan dengan suara yang amat merdu dan halus.

   Tak lama kemudian nampaklah orangnya yang berdoa itu dan kiranya dia adalah seorang nikouw (pendeta Buddha wanita) yang sedang memetik daun obat. Nikouw itu sudah tua, tentu sudah hampir enam puluh tahun usianya. Tubuhnya masih ramping, wajahnya masih berkulit halus dan putih, masih nampak nyata bekas kecantikan seorang wanita, dan kini wajah itu nampak agung dan suci, di bawah kerudung yang berwarna kuning. Seorang nikouw tua yang berwajah lembut, yang memetik daun obat sambil berdoa, begitu bahagia nampaknya. Tiada bedanya antara dia dan burung yang sedang berkicau di atas dahan pohon, asyik dengan keriangan menyambut pagi yang indah!

   Ah, nikouw itu agaknya tidak asing dengan tempat ini. Tentu dia tahu di mana dia dapat bertemu dengan Gin-siauw Lo-jin! Berpikir demikian, Kian Bu lalu membalikkan tubuh hendak menghampiri, akan tetapi pada saat itu, nikouw tadi pun agaknya sudah selesai memetik daun obat dan melangkah pergi. Dan terkejutlah pemuda Pulau Es itu. Sekali berkelebat, nikouw tua itu seperti terbang saja cepatnya meninggalkan tempat itu! Bukan main cepat dan ringannya gerakan kedua kaki nikouw itu yang seolah-olah dapat terbang di atas rumput, pergi sambil terus bersenandung! Tentu saja Kian Bu menjadi kagum bukan main. Mengapa bermunculan begitu banyak orang pandai di tempat ini, pikirnya. Gin-siauw Lo-jin itu sudah hebat, bahkan pandai memainkan ilmu silat tinggi Pat-sian Kiam-hoat.

   Dan nikouw ini pun bukan main ilmu ginkangnya, seolah-olah pandai terbang saja. Dia menjadi penasaran dan mengerahkan ginkangnya untuk lari mengejar. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu menandingi kecepatan gerakan nikouw itu! Nikouw itu seperti terbang di atas rumput-rumput, mendaki bukit dan dia terus mengejar, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena Kian Bu merasa penasaran sekali. Dia telah dilatih ginkang oleh ayah dan ibunya sendiri, padahal ayahnya adalah seorang ahli dalam Ilmu Soan-hong-lui-kun, yaitu gerakan kijang yang kecepatannya tiada ke duanya di dunia ini! Biarpun dia sendiri tidak mungkin dapat mewarisi Ilmu Soan-hong-lui-kun yang hanya dapat dimainkan oleh seorang yang berkaki tunggal seperti ayahnya,

   Namun dia telah memiliki ginkang yang hebat, tidak kalah oleh kecepatan ibunya, Puteri Nirahai yang terkenal itu. Namun, kini dia tidak mampu menyusul nikouw tua itu! Kian Bu merasa malu dan heran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya, namun maklumlah dia bahwa dia benar-benar jauh kalah cepat. Akan tetapi nikouw itu berhenti di dekat puncak bukit dan mulai memetik daun-daun obat yang lain lagi, tetap sambil bersenandung seolah-olah larinya yang amat cepat tadi sama sekali tidak membuatnya lelah, padahal Kian Bu sendiri agak terengah karena mengerahkan seluruh tenaga. Teringatlah pemuda ini akan niatnya bertanya kepada nikouw itu tentang Gin-siaw Lo-jin. Kini lebih mantap lagi hatinya bahwa dia harus minta maaf kepada kakek itu karena ternyata bahwa bukit ini benar-benar dihuni oleh orang-orang pandai sekali.

   "Maafkan saya, Suthai...."

   Nikouw itu menoleh dan tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat dan keranjang terisi daun obat itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke atas tanah, menggelinding sampai ke dekat kaki Kian Bu! Sejenak nikouw itu hanya berdiri bengong memandang wajah Kian Bu, lalu dia berkata lirih,

   "Omitohud....!"

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seruan ini agaknya menyadarkannya dari kekagetan atau keharuan itu dan dia tersipu-sipu memandang ke arah keranjang yang isinya tumpah semua itu.

   "Maaf, Suthai, saya telah mengagetkan Suthai...."

   Kata Kian Bu yang cepat-cepat mengambil keranjang itu dan mengumpulkan dauh-daun yang berserakan, memasukkannya kembali ke dalam keranjang, lalu menyerahkannya kepada nikouw itu penuh hormat. Nikouw itu memandang dengan mata tetap membayangkan keheranan dan penuh rasa tertarik, memandang Kian Bu sejak tadi dari atas ke bawah, lalu menarik napas panjang dan bibirnya berkemak-kemik membaca doa yang tidak terdengar.

   "Ah, tidak.... sama sekali tidak. Sicu siapakah?"

   Suara itu halus sekali dan sinar mata itu penuh kelembutan sehingga Kian Bu seketika merasa suka dan hormat sekali kepada nikouw tua ini. Akan tetapi dia yang sudah melakukan kelancangan merobohkan orang di tempat yang dihuni orang-orang pandai ini segera menjura tanpa berani memperkenalkan namanya, melainkan bertanya.

   "Kalau saya boleh mengganggu kesibukan Suthai, saya ingin bertanya apakah Suthai tahu di mana saya dapat bertemu dengan Gin-siauw Lo-jin?"

   "Gin-siauw Lo-jin? Ah, di puncak itulah tempat tinggalnya "

   Jawab nikouw itu sambil menuding ke arah puncak bukit akan tetapi matanya tetap saja tidak pernah meninggalkan wajah Kian Bu yang rambutnya panjang terurai dan dibiarkan awut-awutan itu. Kian Bu menjadi girang sekali dan kembali dia menjura,

   "Banyak terima kasih atas petunjuk Suthai dan sekali lagi maaf atas kelancangan saya mengganggu kesibukan Suthai."

   Setelah berkata demikian, pemuda itu membalikkan tubuh dan berjalan mendaki puncak.

   "Nanti dulu.... Sicu.... siapakah Sicu?"

   Terdengar nikouw itu bertanya. Kian Bu menoleh dan merasa tidak enak. Dia telah berbuat salah di tempat itu, bagaimana harus memperkenalkan nama? Akan tetapi, nikouw itu demikian ramah dan halus budi, tidak mungkin pula tidak menjawab.

   "Suthai, saya she Suma...., maaf!"

   Dia lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat naik ke atas puncak. Sama sekali dia tidak tahu betapa jawaban itu membuat nikouw ini kembali menjadi pucat sekali wajahnya, matanya terbelalak dan tangan kirinya otomatis menyentuh dada kiri.

   "Omitohud.... omitohud.... omitohud...."

   Berulang-ulang dan memuji dan tidak mempedulikan lagi keranjangnya yang jatuh untuk kedua kalinya dan kini dia telah melangkah perlahan-lahan naik ke puncak, sepasang matanya memandang ke arah bayangan Kian Bu dan mulutnya masih terus menyerukan pujian untuk Sang Buddha. Sementara itu, Kian Bu sudah mendaki puncak dengan cepat dan tibalah dia di depan sebuah rumah yang besar dan kuno. Rumah itu kelihatan sunyi saja seperti tidak ada penghuninya, akan tetapi ketika dia menghampiri pintu depan, terdengarlah suara dari dalam, suara yang berwibawa dan mengandung tenaga khikang amat kuat,

   "Inikah pemuda yang kau ceritakan itu?"

   "Benar, Suhu."

   Kian Bu terkejut. Suara yang menyebut "suhu"

   Itu adalah suara Gin-siauw Lo-jin! Dan kini keluarlah dua orang dari dalam rumah kuno itu yang bukan lain adalah Gin-siauw Lo-jin bersama seorang kakek yang lebih tua lagi, yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh lima tahun, namun masih bersikap agung dan gagah. Kian Bu merasa tidak enak sekali melihat dua orang kakek itu memandang kepadanya dengan muka membayangkan kemarahan, maka cepat-cepat dia menjura dengan sikap hormat.

   "Locianpwe, saya Suma Kian Bu datang untuk minta maaf atas semua kejadian malam tadi,"

   Katanya dan ucapan ini ditujukan kepada Gin-siauw Lo-jin. Akan tetapi yang menjawabnya adalah kakek yang lebih tua itu, yang berkata dengan suara keren,

   "Orang muda, engkau semalam telah mengalahkan muridku yang pertama, berarti bahwa engkau sungguh sangat lihai. Dan sekarang engkau muncul pula di sini, sungguh engkau bernyali besar. Apakah engkau hendak menyatakan bahwa engkau berani pula bertanding ilmu melawan kami yang mewarisi ilmu dari pendekar maha sakti Suling Emas?"

   Kian Bu mengerutkan alisnya. Dia sudah merendahkan diri, sudah mengalah dan datang untuk minta maaf, akan tetapi ucapan dari kakek tua ini sungguh di luar dugaannya. Tersembunyi kesombongan besar dalam ucapan itu! Dan juga dia merasa penasaran dan curiga. Bukankah pewaris ilmu-ilmu dari Suling Emas adalah orang tuanya di Pulau Es? Bukankah kitab-kitab ilmu dari pendekar Suling Emas terjatuh ke tangan ibu Lulu, ibu tirinya dan bahkan pusaka suling emas menurut ibunya pernah dipakai sebagai senjata oleh ibunya sendiri? Mengapa kakek ini sekarang mengaku sebagai pewaris pusaka Suling Emas? Namun, sebagai seorang pemuda yang terdidik baik, dia masih mampu menahan diri.

   "Maaf, Locianpwe, saya datang bukan untuk mengajak bertanding ilmu dengan siapapun juga,"

   Jawabnya dengan suara agak kaku.

   "Hemmm, kalau begitu kau takut?"

   Sepasang mata Kian Bu bersinar dan mengandung kemarahan ketika dia memandang kepada kakek tua itu. Benar-benar besar kepala dan sombong si tua bangka ini, pikirnya gemas.

   "Tidak ada soal takut atau berani, Locianpwe. Saya datang untuk menyatakan penyesalan saya atas peristiwa yang terjadi semalam dan saya mau minta maaf."

   "Hayo lekas kau berlutut dan minta ampun dengan pai-kwi (menyembah dengan berlutut) sebagai delapan kali, baru kami pikir-pikir apakah dapat mengampunimu!"

   Kakek itu membentak lagi. Berkobar kemarahan di dalam hati Kian Bu. Dia mengangkat dada dan berdiri dengan sikap menantang.

   "Saya Suma Kian Bu selama hidup tidak pernah bersikap pengecut! Saya selalu berani menanggung semua perbuatan saya. Jangan harap Locianpwe akan dapat melihat saya merendahkan diri seperti itu!"

   "Ha, kau menantang?"

   "Terserah penilaian Locianpwe kepada saya."

   "Orang muda, engkau memang ber-nyali besar. Hemmm, engkau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah Sin-siauw Seng-jin, dan dia ini adalah muridku yang pertama. Aku adalah pewaris dari pendekar maha sakti Suling Emas dan biasanya, sekali aku turun tangan tentu lawanku akan mati. Aku masih menaruh kasihan kepadamu...."

   "Cukup, Locianpwe. Aku tidak takut akan segala ancaman, tidak takut mati. Akan tetapi tentang mewarisi pusaka pendekar Suling Emas, hal itu kiranya masih harus diselidiki lebih dulu! Kalau memang benar pusaka itu ada pada tangan Locianpwe, maaf kalau saya berani mengatakan bahwa Locianpwe tentu telah mencurinya!"

   "Keparat!"

   Gin-siauw Lo-jin marah sekali dan sudah menerjang maju dengan pukulan tangan kanan.

   "Desssss....!"

   Tubuh Gin-siauw Lo-jin terpental dan tentu dia sudah terbanting ke atas tanah kalau saja tangan kiri Sin-siauw Seng-jin tidak diulur dan dengan cekatan sekali kakek ini menangkap leher baju muridnya dan mencegah muridnya terbanting. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengagumkan Kian Bu, sebaliknya Sin-siauw Seng-jin juga terbelalak melihat betapa tangkisan orang muda itu membuat muridnya terpental!

   "Orang muda, engkau benar-benar berani sekali. Terpaksa aku tidak memandang lagi usia, dan bersiaplah untuk menandingi pewaris ilmu-ilmu Suling Emas!"

   Orang ini terlalu menonjol-nonjolkan diri sebagai pewaris Suling Emas, pikir Kian Bu dengan hati mendongkol. Jelas bahwa dia telah mengaku-aku saja, atau kalau melihat betapa muridnya dapat mainkan Pat-sian Kiam-hoat, agaknya kakek ini telah mencuri kitab-kitab itu dari Pulau Es!

   "Baiklah, ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu-ilmu yang palsu itu."

   Sin-siauw Seng-jin sudah marah sekali dan karena dia maklum betapa lihainya pemuda itu, maka dia sudah mencabut suling emas yang terselip di pinggangnya dan menerjang maju.

   "Swinggggg.... singgggg....!"

   Kian Bu terkejut. Sinar emas ber-kilauan itu memang hebat bukan main dan dia terbelalak memandang ke arah suling emas di tangan kakek itu yang tadi hampir saja mengenai kepalanya kalau dia tidak cepat-cepat mengelak.

   Dari mana kakek ini mendapatkan senjata pusaka ampuh itu? Apakah benar itu suling emas, senjata dari pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang lalu, seperti yang diceritakan olah ibunya? Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berheran-heran lebih lama lagi karena sinar emas itu bergulung-gulung dan sudah menerjangnya dari segala jurusan dengan amat dahsyat! Kian Bu cepat mengelak dan membalas dengan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Namun ternyata kakek itu gesit sekali, juga ketika dengan lengan kiri menangkis, dari lengannya menyambar hawa sinkang yang amat kuat, bahkan tidak kalah kuatnya dari tenaga sinkang yang dikuasai oleh Kian Bu sendiri sehingga keduanya terhuyung ke belakang!

   Kakek itu makin terkejut, akan tetapi juga Kian Bu merasa kaget dan berhati-hati. Makin lama, makin terheran-heranlah Kian Bu melihat betapa kakek itu dengan suling emasnya memainkan ilmu-ilmu yang dikenalnya sebagai Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai Kun-hoat, dan yang terakhir suling itu mengeluarkan suara melengking dan mendengung-dengung seperti ditiup orang ketika kakek itu membuat gerakan corat-coret aneh sekali. Kian Bu mengenal gerakan ini sebagai ilmu mujijat Hong-in Bun-hoat, ilmu yang amat ampuh dari pendekar Suling Emas, yang amat sukar dipelajari, bahkan ibu tirinya, Lulu, sendiri pun belum dapat menguasainya secara sempurna! Ilmu ini didasari kepandaian sastra, kepandaian menulis huruf indah dan dari gerakan corat-coret huruf inilah maka diciptakan ilmu silat yang amat mujljat ini.

   "Kau kau pencuri....!"

   Teriaknya kaget dan terpaksa dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena kakek itu ternyata amat lihai. Setiap huruf yang digerakkan oleh sulingnya mengandung tenaga dahsyat dan mengeluarkan bunyi lengkingan aneh sekali. Beberapa kali Kian Bu sampai terhuyung karena terdorong oleh hawa yang amat tajam dan aneh. Dia sudah berusaha untuk membalas dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara berselang-seling, namun kakek yang lihai itu dapat pula menghindarkan diri. Bukan main hebatnya pertandingan itu. Mati-matian dan seru, sama kuat dan seratus jurus lewat dengan cepatnya. Kian Bu menjadi penasaran dan juga terheran-heran. Tidak banyak dia menemui lawan berat selama perantauannya,

   Dan ternyata kakek ini hebat sekali, sungguhpun dia masih tidak percaya bahwa ilmu-ilmu Suling Emas yang dimainkannya itu adalah ilmu-ilmu aseli, karena pada dasarnya terdapat beberapa perbedaan dengan ilmu-ilmu yang dikenalnya sebagai ilmu-ilmu peninggalan Suling Emas. Menurut ibunya, kemujijatan Ilmu Hong-in Bun-hoat terletak pada bunyi suling yang ketika dimainkan seperti ditiup orang dan mengeluarkan lagu yang amat indah dan hal ini amat mempengaruhi lawan. Akan tetapi, walaupun suling emas di tangan kakek ini juga mengeluarkan suara melengking-lengking dan seperti berlagu, namun sama sekali tidak dapat disebut indah karena bagi telinganya terdengar sumbang! Betapapun juga, harus diakuinya bahwa sukar baginya untuk dapat mengimbangi kecepatan kakek itu dan dia mulai terdesak hebat.

   Maklum bahwa kalau dilanjutkan, tentu dia yang akan celaka akibat kalah cepat oleh gerakan suling, maka Kian Bu lalu mengambil keputusan untuk menggunakan pukulannya yang paling ampuh dan paling hebat. Kalau dia tidak dapat merobohkan lawan, tentu dia yang akan roboh. Gulungan sinar emas itu terlalu cepat baginya! Maka tiba-tiba pemuda ini lalu mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking nyaring, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan dengan inti tenaga sinkang yang bertentangan, yaitu yang kanan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas sedangkan sedetik kemudian yang kiri mendorong dengan pukulan Swat-im Sin-ciang. Bukan main hebatnya dua pukulan ini yang sedemikian hebatnya sehingga pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu mampu untuk memukul hangus lawan, sedangkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dingin dapat membikin beku darah dalam tubuh lawan.

   "Ihhhhh....!"

   Kakek itu berseru keras, dia pun mendorong-kan kedua lengannya untuk menahan serangan hawa pukulan mujijat itu, dan sulingnya dia sambit-kan ke depan pada saat dia mendorongkan kedua tangannya. Suling Emas itu meluncur melalui bawah lengan kiri Kian Bu seperti kilat menyambar.

   "Desssss.... tukkkkk....!"

   Tubuh kakek itu terlempar ke belakang dan dia menggigil, sedangkan Kian Bu sendiri terpelanting dan roboh terguling karena suling itu dengan kuatnya telah menotok ketiak kirinya sehingga dia roboh dan merasa betapa separuh tubuhnya yang kiri menjadi lumpuh sama sekali!

   "Ughhh.... ughhh....!"

   Sin-siauw Seng-jin terbatuk dan dia muntahkan darah segar, akan tetapi dia segera memejamkan mata dan mengatur pernapasan sehingga sebentar saja pulih kembali ke-kuatannya. Dia membuka mata dan menghampiri Kian Bu yang masih rebah miring dengan sinar mata penuh keheranan dan penasaran. Suling Emasnya yang menggeletak di atas tanah lalu dipungutnya kembali dan diamat-amatinya.

   "Saya.... saya.... mengaku kalah, akan tetapi.... tunggu lima tahun lagi.... saya pasti akan mencari Locianpwe dan membuat perhitungan.... ahhhhh...."

   Kian Bu mengeluh karena totokan itu hebat bukan main dan agaknya bukan hanya menghentikan jalan darahnya, melainkan merusak banyak jalan darah di tubuhnya yang sebelah kiri. Mendengar ucapan Kian Bu itu, Sin-siauw Seng-jin mendengus, lalu berkata,

   "Orang muda ini terlalu berbahaya...."

   Seperti berkata kepada muridnya atau kepada dirinya sendiri, lalu nampak sinar emas berkelebat dan sulingnya sudah menyambar ke arah tubuh Kian Bu yang sudah tidak berdaya itu. Kian Bu berusaha menangkis dengan tangan kanannya yang masih dapat digerakkan, namun suling yang mengarah kepala itu tertangkis meleset dan masih mengenai tengkuknya.

   "Desss....!"

   Kian Bu mengeluh dan roboh pingsan!

   "Omitohud....!"

   Sesosok bayangan berkelebat dan demikian cepat gerakan bayangan ini sehingga tahu-tahu nikouw itu telah berada di situ, berlutut dan memeluk tubuh Kian Bu yang sudah tidak bergerak lagi, dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah! Kakek itu dan muridnya terkejut, akan tetapi mengenal siapa adanya orang yang demikian cepat gerakannya itu, Sin-siauw Seng-jin lalu berkata,

   "Kiranya Kim Sim Nikouw dari Kwan-im-bio. Hemmm, mengapa kau mencampuri urusan kami?"

   "Siancai, siancai, siancai....!"

   Kim Sim Nikouw berkata halus.

   "Seorang yang gagah perkasa seperti Locianpwe, mengapa bisa berlaku rendah, menyerang orang yang sudah tidak berdaya lagi? Mengapa di hari tua tidak mencari jalan terang, melainkan menambah kegelapan yang kelak hanya akan menggelapkan perjalanan sendiri. Omitohud.... semoga semua manusia sadar akan dosa-dosanya.... Omitohud....!"

   Wajah kakek itu menjadi pucat, lalu merah dan tanpa berkata apa-apa dia memasuki rumah gedung-nya, diikuti oleh muridnya. Terdengar daun pintu dibanting keras dan nikouw itu lalu memondong tubuh Kian Bu dan dibawa pergi. Agak berat juga baginya memondong tubuh pemuda itu, maka lalu dipanggulnya dengan gerakan kaki yang cepatnya luat biasa, nikouw itu lalu berlari seperti terbang menuju ke lereng sebelah barat dari Gunung Tai-hang-san, tidak begitu jauh dari puncak bukit itu. Perlahan-lahan Kian Bu membuka matanya akan tetapi lalu ditutupnya kembali karena pandang matanya berkunang dan dia melihat cahaya merah kuning biru menari-nari menyilaukan matanya.

   Sentuhan jari tangan halus di dahinya dirasakan hangat dan menenangkan, lalu dibukanya kembali kedua matanya. Tubuhnya lemah sekali dan dia segera teringat akan keadaan dirinya. Dia teringat bahwa dia telah roboh oleh Sin-siauw Sengjin. Tubuhnya mati sebelah! Kini pandang matanya berusaha menembus kesuraman itu dan nampaklah segores wajah yang lembut, sepasang mata yang memandangnya penuh kasih sayang. Mata ibunya? Siapa lagi orangnya yang memiliki mata sebening dan seindah itu, semesra itu memandangnya kalau bukan mata ibunya? Siapa lagi yang dapat mengangkatnya dari jurang maut kalau bukan tangan ibunya? Jari tangan siapa yang menyentuh demikian halus dan lembutnya di dahinya tadi, yang mengusir semua kepeningan kalau bukan jari tangan ibunya?

   "Ibuuu...."

   Dia memanggil dengan suara bisikan panjang. Mulut itu tersenyum dan dua buah mata yang bening itu menjadi basah! Ibunya menangis? Belum pernah dia melihat mata ibunya menjadi basah. Ibunya bukan orang cengeng, melainkan seorang wanita perkasa yang belum pernah dilihatnya menangis! Kian Bu membuka lebar matanya dan kini dia dapat melihat lebih terang. Kiranya bukan ibunya yang duduk di tepi pembaringannya, melainkan seorang nikouw yang berkerudung kain kuning. Seorang nikouw yang pernah dijumpainya di lereng bukit, nikouw pemetik daun obat yang memiliki ginkang amat luar biasa itu, yang seolah-olah pandai terbang!

   "Suthai...."

   Kian Bu memanggil lirih.

   "Omitohud.... terima kasih kepada kemurahan Sang Buddha....! Engkau sudah siuman, Suma-sicu? Aihhh, betapa khawatir hati pinni (aku) melihat engkau menggele-tak begitu lama seperti.... seperti.... sudah tak bernyawa lagi...."

   Nikouw itu menghapus dua titik air mata dari bawah matanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar. Ketika Kian Bu hendak bangkit duduk dia mengeluh karena tubuhnya yang separuh tidak dapat digerakkan, nikouw itu lalu cepat mencegah dengan menggerakkan tangan dan memegang pundaknya, merapatkan duduknya.

   "Jangan bergerak dulu.... lukamu amat parah dan hebat...."

   "Ouhhhhh....!"

   Kian Bu mengeluh lagi. Kini pandang matanya sudah terang dan pulih kembali dan dia teringat akan semuanya.

   "Sudah berapa lama saya berada di sini, Suthai?"

   "Sudah tiga hari tiga malam engkau rebah tak bergerak, seperti mati. Syukur pagi hari ini kau siuman, itu pertanda baik sekali."

   "Jadi.... Suthai yang menolong saya....?"

   Nikouw itu menaruh telunjuk ke depan mulut.

   "Ssst.... jangan banyak bicara dulu, anakku. Kau harus beristirahat dan memulihkan kembali kesehatanmu. Jangan khawatir, selama berpuluh tahun ini tidak percuma pinni mempelajari ilmu pengobatan. Pukulan keji Sin-siauw Sengjin tidak akan membunuhmu. Pinni yang membawamu ke sini, anakku, dan sekarang beristirahatlah."

   Nikouw itu cepat mengambil sebuah mangkok dari meja dan membantu Kian Bu untuk bangkit duduk dengan merangkul pundak pemuda itu dan memberinya minum tajin dari mangkok itu sampai habis.

   "Nah, kau tidurlah sekarang, aku akan mengumpulkan dan memasak obat untukmu,"

   Kata nikouw itu setelah merebahkan kembali Kian Bu dan menyelimutinya. Kian Bu memaksa senyum dan memejamkan matanya, sebentar kemudian dia pun sudah tidur pulas.

   Beberapa hari kemudian, Kian Bu sudah sadar benar, namun tubuhnya masih setengah lumpuh biarpun dia sudah dapat bangkit duduk namun dia belum dapat turun dan belum dapat menggerakkan kaki dan tangan kirinya. Ketika pagi hari itu dia melihat nikouw itu datang dan seperti biasa melayaninya untuk makan bubur, buang air dan sebagainya, Kian Bu tak dapat menahan rasa keharuan dan terima kasihnya. Ingin dia menjatuhkan diri berlutut di depan nikouw itu, namun kaki kirinya tidak mengijinkannya. Melihat setiap hari nikouw itu merawatnya, membuangkan air kencing dan kotorannya, membersihkan tubuhnya, menyuapkan makanan, memberi obat, sungguh tiada ubahnya seperti seorang ibu sendiri! Dan nikouw itu selalu me-nyebutnya "anakku"!

   "Nah, sekarang bahaya telah lewat!"

   Pada pagi hari itu nikouw tua itu berkata dengan wajah berseri.

   "Engkau sudah tidak terancam maut lagi dan tinggal memulihkan tenaga."

   "Akan tetapi kaki tangan kiri saya belum dapat bergerak...."

   "Jangan khawatir. Memang pukulan-pukulan itu hebat sekali, dapat menghancurkan seluruh rangkaian urat-uratmu. Untung Swat-im Sin-kang di tubuhmu melindungimu, anakku. Pinni yakin engkau akan sembuh kembali sama sekali."

   "Betapa, besar budi Suthai kepada saya...."

   Kian Bu berkata dan matanya terasa panas karena dia merasa terharu sekali. Nikouw tua itu kini duduk di tepi pembaringan dan memegang lengannya.

   "Sekarang engkau sudah tidak terancam bahaya. Boleh kita bicara. Suma Kian Bu, katakanlah sejujurnya, siapa nama ayahmu?"

   "Ayah? Ayah bernama Suma Han...."

   "Han Han....ah, sudah kuduga.... wajahmu, sikapmu.... dan Swat-im Sin-ciang itu....! Dugaanku tidak salah.... ah, Han Han...."

   Dan nikouw itu menghapus air matanya, mulutnya tersenyum ketika dia memandang pemuda itu melalui air matanya.

   "Engkau puteranya! Hemmm, sudah pinni duga dan engkau anakku, Suma Kian Bu, engkau anakku...."

   "Apa maksudnya ini, Suthai?"

   Kian Bu bertanya penuh keheranan. Dia adalah anak Suma Han dan Puteri Nirahai, mengapa nikouw ini mengaku dia sebagai anaknya? Nikouw itu kembali menghapus air matanya dan melihat betapa mulutnya tersenyum di antara tangisnya, mengertilah Kian Bu bahwa tangis wanita itu bukan karena berduka, melainkan karena terharu dan gembira!

   "Jangan salah mengerti anakku. Tentu saja engkau anak dari Suma Han dan .... eh, siapa ibumu?"

   "Ibu adalah Puteri Nirahai."

   "Hemmm, pantas.... pantas....! Kuulangi lagi, jangan kau salah mengerti. Tentu saja engkau anak ayah bundamu itu, dan aku.... aku hanyalah bekas sahabat baik ayahmu, bahkan dahulu.... dahulu sekali puluhan.... tahun yang lalu, ketika namaku masih Kim Cu, antara ayahmu dan aku masih ada pertalian saudara seperguruan. Karena itu aku mengenal pukulan Swat-im Sin-ciang yang kau gunakan tadi. Dan dahulu.... dahulu.... sekali.... aku dan ayahmu senasib sependeritaan, dan aku.... aku mencintanya. Namun nasib memisahkan kami, dan kini nasib pula yang mempertemukan aku dengan engkau, puteranya! Karena engkau adalah puteranya, maka engkau seakan-akan anakku sendiri, Kian Bu."

   Kian Bu mendengarkan penuh keharuan. Nikouw ini di waktu mudanya tentu cantik jelita. Dan mencinta ayahnya! Akan tetapi mereka dipisahkan oleh nasib!

   "Bagaimana keadaan ayahmu, Kian Bu?"

   Tanya nikouw itu sambil mengusap air matanya untuk ke sekian kalinya.

   "Baik, Suthai. Baik sekali. Ayah dan ibu dan semua keluarga berada di Pulau Es, dan saya.... telah beberapa lama meninggalkan Pulau Es.

   "Jadi ayahmu hidup bahagia?"

   Kian Bu mengangguk.

   "Terima kasih kepada Sang Buddha yang maha kasih!"

   Nikouw itu berseru.

   "Betapa bahagianya mendengarkan dia dalam keadaan sehat dan bahagia!"

   Kian Bu memandang wanilta itu dan ada sesuatu yang membuatnya terharu sekali, dan yang memaksanya bertanya,

   "Di waktu muda dahulu, Suthai.... mencinta ayahku?"

   Nikouw itu memandangnya, mengangguk dan menarik napas panjang.

   "Sampai detik ini tak pernah aku berhenti mencintanya."

   "Dan ayah.... apakah ayah juga membalas cinta kasih Suthai?"

   Nikouw itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

   "Dia suka dan kasihan kepadaku, akan tetapi cinta? Mungkin sekali, ya aku yakin bahwa dia tidak mencintaku seperti aku mencintanya...."

   "Dan Suthai tidak menderita sengsara? Tidak berduka, bahkan bergembira mendengar berita tentang ayah?"

   Kian Bu makin terheran.

   "Puluhan tahun aku menderi-ta, akan tetapi sudah lama pinni sadar bahwa semua penderitaan itu bukan akibat cinta, melainkan akibat dari iba diri. Seorang yang mencinta, barulah benar-benar di katakan bahwa cintanya itu murni, apabila dia merasa bergembira kalau melihat orang yang dicintanya itu bahagia, baik orang itu menjadi jodohnya ataupun tidak. Pinni gembira mendengar dia bahagia, Han Han seorang yang amat baik...."

   Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 53 Kisah Sepasang Rajawali Eps 14 Kisah Sepasang Rajawali Eps 59

Cari Blog Ini