Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 22


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



Dia berhenti sebentar.

   "Entah berapa puluh tahun setiap hari pinni bersembahyang mohon belas kasihan dari Kwan Im Pouwsat agar kehidupan Han Han diberkahi dan dia dapat hidup berbahagia. Ternyata doa pinni terkabul, dia hidup berbahagia dan mempunyai putera yang seperti engkau. Tentu saja pinni merasa gembira sekali...."

   "Ah, betapa mulia hatimu, Suthai. Cintamu terhadap ayah demikian suci murni....dan sekarang Suthai telah menyelamatkan nyawa saya....ah, bagaimana saya akan dapat membalas semua budi Suthai ini, budi Suthai yang telah dilimpahkan dalam cinta kasih yang demikian suci murni terhadap ayah dan dalam pertolongan kepada saya?"

   "Budi? Membalas budi? Omitohud.... manusia selalu mengikat dan melibatkan diri dalam budi dan dendam, itulah biang segala pertentangan! Akan tetapi, karena hal itu telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai tingkat kemanusiaan, maka agar hatimu jangan merasa penasaran dan jangan merasa berhutang budi, baiklah kau balas dengan cara.... mau kuanggap sebagai anakku. Ketahuilah Kian Bu, ketika engkau baru siuman tempo hari dan menyebut ibu kepadaku, aku seperti lupa diri, lupa bahwa aku adalah seorang nikouw, dan aku merasa seolah-olah engkau adalah anakku sendiri."

   Kian Bu menggigit bibirnya. Bukan main wanita tua ini! Demikian halus perasaannya, demikian mulia hatinya dan siapakah yang tidak akan merasa bangga kalau mempunyai seorang ibu seperti wanita tua ini? Tanpa ragu-ragu dia lalu menggerakkan tangan kanannya menyentuh dada sambil berkata,

   "Ibu...."

   Kim Sim Nikouw merangkulnya dan menangis! Sampai lama nikouw itu menangis sambil memeluk Kian Bu, kemudian dia dapat menekan perasaannya, duduk dan dengan muka basah air mata namun bibirnya tersenyum dan sinar matanya bercahaya, dia mengelus dahi pemuda itu.

   "Terima kasih, anakku, terima kasih. Percayalah, aku akan menyembuhkanmu, engkau akan dapat bergerak lagi seperti sediakala."

   "Terima kasih, Ibu. Akan tetapi sungguh aneh, aku belum mengetahui nama Ibu."

   Kian Bu tertawa, Kim Sim Nikouw juga tertawa dan suasana menjadi gembira.

   "Dahulu aku bernama Kim Cu, anakku, akan tetapi sekarang aku adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio ini dengan beberapa orang nikouw pembantu yang menjadi murid-muridku dalam hal keagamaan dan melayani orang-orang yang datang bersembahyang ke kuil ini"

   "Aku ingin sekali cepat sembuh, Ibu."

   "Jangan khawatir, akan tetapi kita harus bersabar, anakku. Kiranya tidak percuma aku mempelajari pengobatan selama puluhan tahun ini."

   "Aku harus cepat sembuh agar dapat mencari Sin-siauw Sengjin"

   Kata Kian Bu sambil mengepal tinju kanannya. Kim Sim Nikouw mengerutkan alisnya dan memandang wajah anak angkatnya itu.

   "Kau mendendam karena kekalahan itu dan hendak membalasnya?"

   Kian Bu juga memandang dan ketika bertemu pandang mata yang sinarnya lembut dan penuh teguran itu, dia cepat menggeleng kepalanya,

   "Tidak, Ibu. Bukan karena kekalahan itu, melainkan karena aku harus merampas kembali kitab-kitab peninggalan pendekar sakti Suling Emas yang telah dicurinya."

   Kim Sim Nikouw membelalakkan matanya.

   "Apa maksudmu?"

   "Jelas bahwa Sin-siauw Sengjin itu seorang penipu atau seorang pencuri. Dia dapat memainkan ilmu-ilmu dari Suling Emas, padahal sepanjang pengetahuanku, ilmu-ilmu itu terjatuh ke tangan ibu tiriku yang berada di Pulau Es. Tentu dia telah mencurinya, atau mungkin juga memalsukan ilmu-ilmu itu. Maka, setelah sembuh aku harus menghadapinya lagi dan membongkar rahasia ini."

   Nikouw itu mengerutkan alisnya.

   "Ah, dia amat lihai. Bahkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang yang kau pergunakan pun tidak mampu mengalahkannya."

   "Betapapun, setelah sembuh, akan kucoba lagi menandinginya, Ibu."

   "Kau dapat belajar, anakku! Dan jangan kira bahwa ibumu ini selama ditinggalkan oleh ayahmu, selama puluhan tahun ini, hanya menganggur saja! Tidak, aku telah mempelajari teori ilmu-ilmu baru, anakku."

   "Aku telah melihat bahwa ginkang ibu amat luar biasa."

   "Itu satu di antaranya. Aku telah mempelajari ilmu meringankan tubuh itu dan telah menciptakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), akan tetapi itu belum dapat diandalkan untuk menandingi kakek itu. Dahulu aku bersama ayahmu pernah mempelajari Ilmu Swat-im Sin-ciang dari Ma-bin Lo-mo, dan aku tahu bahwa ayahmu telah pula mempelajari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang yang menjadi lawannya. Biarpun aku bukan ahli Hwi-yang Sin-ciang, namun aku tahu akan sifat-sifatnya dan aku telah mencoba untuk menggabungkan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sendiri tidak berhasil melatihnya, akan tetapi menurut perhitunganku, maka baik Hwi-yang Sin-ciang maupun Swat-im Sin-ciang tidak akan mampu menandinginya."

   "Ah, kalau begitu Ibu harus mengajarkannya kepadaku!"

   Kian Bu berseru dengan girang sekali, akan tetapi alisnya lalu berkerut karena ketika dalam kegirangannya itu dia mencoba bergerak, ternyata kaki tangan kirinya maslh lumpuh.

   "Ah, mana mungkin aku dapat belajar dalam keadaan begini?"

   "Kau harus bersabar, anakku. Keada-anmu memang parah dan kurasa dalam waktu setahun barulah boleh diharapkan engkau akan sembuh. Dan mempelajari Jouw-sang-hui-teng bukanlah hal yang mudah, memerlukan waktu lama, latihan dan ketekunan. Apalagi melatih penggabungan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sudah mencoba sampai belasan tahun belum juga berhasil."

   "Ah, kalau begitu akan sukar sekali! Dan aku ingin secepatnya menemui Sin-siauw Sengjin!"

   "Hemmm, lupakah kau bahwa engkau herjanji akan menemuinya lagi setelahlewat lima tahun?"

   "Apa? Apakah maksudmu, Ibu?"

   Kian Bu berseru kaget. Nikouw itu tersenyum.

   "Agaknya pukulan kakek itu hebat sekali sehingga engkau sampai tidak ingat lagi apa yang kau ucapkan. Engkau telah berjanji kepadanya bahwa engkau mengaku kalah dan dalam waktu lima tahun lagi engkau akan membuat perhitungan."

   "Ah, kenapa begitu lama?"

   "Sebaiknya begitu malah, anakku. Engkau dapat menunggu sampai sembuh sama sekali, lalu engkau masih banyak waktu untuk berlatih dan meningkatkan kepandaianmu agar kelak kalau engkau menghadapinya, engkau tidak akan kalah lagi. Pula, janji seorang pendekar pasti tidak akan diingkari sendiri, bukan?"

   Kian Bu menarik napas panjang dan terpaksa dia membenarkan kata-kata ibu angkatnya itu dan semenjak hari itu, dia dirawat dan diobati oleh Kim Sim Nikouw yang amat tekun itu.

   "Demikiahlah, Lee-ko, riwayatku semenjak kita saling berpisah dan itu pula sebabnya mengapa aku tidak pernah pulang ke Pulau Es."

   Kia Bu mengakhiri ceritanya.

   "Selama kurang lebih tiga tahun aku memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan ibu angkatku itu, Kim Sim Nikouw dan selain aku dapat sembuh sama sekali, aku juga dapat menguasai Jouw-sang-hui-teng. Dari ilmu ginkang yang diajarkan oleh ibu angkatku ini, aku lalu menciptakan Ilmu Sin-ho-coan-in (Bangau Sakti Menerjang Mega), yaitu ginkang istimewa itu kugabungkan dengan dasar-dasar gerakan dari ilmu ayah Soan-hong-lui-kun."

   Semenjak tadi, Kian Lee mendengarkan penuh perhatian, dengan hati terharu dan kagum.

   "Dan pukulanmu yang membuat tubuh seperti disiram air panas itu....?"

   Tanyanya kagum.

   "Itulah hasil dari melatih diri menggabungkan dua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, yang teorinya diberikan oleh ibu angkatku. Memang amat sukar dan berbahaya sekali melatih penggabungan itu sehingga engkau dapat melihat sendiri rambutku."

   "Hemmm, rambutmu lalu menjadi putih semua?"

   Kian Lee memandang kepala adiknya itu.

   "Itu disebabkan melatih sinkang mujijat itu?"

   "Sebagian dari sebab itu, sebagian pula mungkin karena akibat pukulan Sin-siauw Sengjin, dan sebagian pula karena kedukaan yang menyiksaku selama itu. Setelah selesai berlatih selama tiga tahun dan berhasil, aku masih harus menanti dua tahun lagi untuk memenuhi janjiku terhadap Sin-siaw Sengjin. Maka dalam waktu dua tahun itu aku berusaha untuk menentang kejahatan di sekitar daerah Ho-nan sehingga banyak orang kang-ouw mulai mengenalku dan memberi julukan Siluman Kecil kepadaku."

   Kian Lee mengangguk-angguk.

   "Sudah lama aku mendengar dan mengenal nama-mu itu, Bu-te. Semenjak aku mendengar nama itu memang aku sudah ingin sekali bertemu dengan orangnya, sungguhpun aku sama sekali tidak menyangka bahwa kaulah orangnya. pertama-tama, aku ingin bertemu karena ketika aku terancam bahaya, orang-orang yang tunduk kepadamulah yang menolongku, dipimpin oleh Nona Phang Cui Lan. Dan kedua kalinya aku ingin sekali bertemu dengan Siluman Kecil untuk menegurnya."

   Kian Bu memandang kepada kakaknya dengan heran.

   "Menegurnya?"

   "Benar, dan sekarang aku akan langsung menegurmu, Bu-te. Aku mengenalmu sebagai seorang yang suka menggoda orang, terutama sekali kepada wanita. Akan tetapi apa yang kau lakukan terhadap Nona Cui Lan sungguh keterlaluan!"

   "Eh, ada apa dengan dia?"

   Kian Bu bertanya dengan mata terbelalak.

   "Dia seorang gadis yang begitu baik, lemah lembut, halus budi pekertinya, hatinya penuh dengan cinta kasih yang murni terhadap dirimu, akan tetapi engkau melupakan dia begitu saja dan membiarkan dia merana. Bagaimana engkau dapat bersikap demikian kejam terhadap seorang gadis yang sebaik dia, Bu-te?"

   Kian Lee lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Cui Lan di istana Gubernur Ho-nan, kemudian tentang keberanian gadis itu ketika menolong Gubernur Ho-pei dan ketika mengerahkan teman-teman untuk menyelamatkannya, tentang pengakuan gadis itu kepadanya, akan cinta kasih-nya terhadap Siluman Kecil yang dinyatakan dalam nyanyiannya yang penuh kerinduan. Mendengar semua penuturan Kian Lee yang disertai teguran keras itu, Kian Bu menundukkan mukanya dan berulang kali dia menarik napas panjang. Setelah Kian Lee berhenti bercerita dan menegurnya, dia berkata,

   "Justeru karena aku tahu bahwa dia mencintaku maka aku sengaja menjauhkan diriku, Koko. Aku sudah tahu dari semula ketika aku menolongnya bahwa gadis itu jatuh cinta kepadaku, maka aku segaja menjauhkan diri bahkan bersikap tidak manis kepadanya dengan maksud agar dia membenci-ku karena hanya itulah yang kukira dapat mengobati cintanya yang hanya sepihak. Koko yang baik, salahkah aku kalau Cui Lan jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak dapat membalas cintanya? Salahkah aku kalau sampai saat ini pun aku masih mencinta Syanti Dewi dan tidak mungkin jatuh cinta kepada orang lain? Koko, apakah hanya untuk tidak merusak hati Cui Lan aku harus pura-pura membalas cintanya dan bersikap palsu?"

   Kian Lee menjadi terharu dan memegang tangan adiknya yang menjadi agak pucat wajahnya. Dia menghela napas.

   "Tentu saja tidak, adikku. Asal engkau tidak mempermainkannya, dan mendengar ceritamu, agaknya memang engkau tidak pernah menggodanya dan bukan salahmu kalau dia mencintamu tanpa dapat kaubalas karena engkau mencinta orang lain. Aihhh, mengapa kita berdua menjadi korban cinta dan mengalami banyak kesengsaraan karena cinta? Sungguh kasihan sekali Nona Phang Cui Lan, dan kasihan pula engkau, adikku...."

   "Lee-ko, tidak perlu engkau mengasihani dia atau aku. Dan setelah aku bertemu dengan ibu angkatku, Kim Sim Nikouw, baru terbuka mataku bahwa memang selama ini kita berdua amat lemah, bahkan sampai saat ini pun aku masih melihat kelemahanku sendiri dalam persoalan cinta. Kita sebenarnya bukanlah mencinta orang lain melainkan mencinta diri sendiri, Koko. Karena itulah maka kita menderita ketika orang yang kita cinta tidak membalas cinta kita, dan kita berduka karena kita kehilangan orang yang kita cinta. Cinta kasih seperti yang terdapat dalam hati ibu angkatku, itulah baru cinta kasih yang suci murni namanya, dan sungguh ayah kita berbahagia sekali dicinta oleh seorang seperti ibu angkatku itu"

   "Memang luar biasa sekali Kim Sim Nikouw seperti yang kau ceritakan itu, adikku. Dan agaknya seperti dia pulalah Nona Phang Cui Lan, dan mudah-mudahan dapat pula mengatasi tekanan batinnya karena cinta tidak terbalas seperti nikouw itu. Dan aku girang mendengar bahwa engkau tidak menggodanya, Bute"

   "Ah, aku bukan lagi adikmu yang suka menggoda orang seperti lima tahun yang lalu, Lee-ko. Aku sudah cukup banyak menderita karena wanita, dan agaknya akan sukar bagiku untuk jatuh cinta lagi kepada wanita lain."

   Biarpun mulutnya berkata demikian, namun tanpa disadarinya sendiri, tahu-tahu wajah Hwee Li yang amat cantik itu terbayang di depan matanya! Dia cepat melawan ini dengan kata-kata,

   "Dan aku akan mencontoh ibu angkatku, aku akan berbahagia sekali kalau mendengar bahwa Syanti Dewi hidup berbahagia di samping orang yang dicintanya, yaitu Ang Tek Hoat. Kasihan dia, mungkin dia belum tahu bahwa ibunya telah tewas oleh orang-orang Bhutan."

   Dia lalu menceritakan lagi tentang wanita gila, bekas pelayan dari Ang Siok Bi, ibu Ang Tek Hoat itu. Mendengar penuturan ini, Kian Lee menarik napas panjang.

   "Sungguh aku khawatir sekali bahwa kenyataannya tidak seperti yang kau harapkan itu, adikku."

   "Apa maksudmu, Lee-ko?"

   "Tentang kebahagiaan Syanti Dewi di samping Tek Hoat itu. Belum lama ini aku bertemu dengan Ang Tek Hoat, dan agaknya dia telah tersesat lagi. Dia membantu orang-orang jahat, bahkan dia tidak segan-segan untuk mengeroyok aku di tempat kediaman penjahat-penjahat."

   Kian Lee lalu menceritakan semua pengalamannya, tentang perjalanannya mencari adiknya itu, kemudian pertemuannya dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang menyerangnya dan menuduhnya mencuri harta pusaka Jenderal Kao dan menculik keluarganya.

   Kemudian tentang pengalamannya ketika dia berada di istana Gubernur Ho-nan, dan selanjutnya ketika dia mengawal Phang Cui Lan dan Gubernur Ho-pei sampai pertemuannya dengan Tek Hoat dan dia dikeroyok dan dirobohkan. Mendengar cerita kakaknya itu bermacam perasaan mengaduk di hati Kian Bu. Dia terharu sekali mendengar akan sepak terjang Phang Cui Lan yang patut dipuji, dan dia marah dan khawatir men-dengar betapa Ang Tek Hoat membantu Hek-eng-pangcu, dan betapa Tek Hoat telah menjatuhkan fitnah kepada dirinya yang dikatakan merampas harta benda keluarga Kao Liang. Akan tetapi kekhawatirannya lebih besar daripada kemarahannya terhadap Tek Hoat, yaitu khawatir tentang diri Syanti Dewi.

   "Apakah yang telah terjadi dengan Syanti Dewi?"

   Katanya dengan alis berkerut.

   "Andaikata Syanti Dewi berada di sisi Tek Hoat, tidak mungkin orang itu melakukan penyelewengan! Kalau Tek Hoat sudah kumat lagi gilanya, hal itu tentu berarti bahwa Syanti Dewi tidak lagi berada di dekatnya. Tentu telah terjadi sesuatu!"

   Dia mengepal tinju dan kelihatan gelisah.

   "Dan aku sendiri yang akan menghajar Tek Hoat kalau dia menghancurkan kehidupan Syanti Dewi!"

   "Tenanglah, Bu-te. Dalam keadaan seperti kita sekarang yang belum tahu semua persoalannya, tidak baik untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan dan dugaan-dugaan, apalagi mengandung kemarahan di dalam hati terhadap seseorang. Bahkan aku sendiri yang sudah dia jatuhkan dalam pengeroyokan, aku masih ingin tahu mengapa dia melakukan hal itu, karena aku yakin bahwa tentu ada sesuatu yang mendorongnya berbuat demikian."

   "Hemmm, aku sudah tahu bahwa dia jahat, Koko. Akan tetapi...."

   Kian Bu tidak melanjutkan kata-katanya karena dia maklum bahwa Tek Hoat adalah keponakan kakaknya ini, keponakan langsung dari ibunya, karena Tek Hoat adalah cucu kandung dari ibu Kian Lee. Karena teringat akan hal ini maka dia diam saja. Mereka lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing selanjutnya. Kian Bu bercerita tentang pembalasannya yang berhasil terhadap Sin-siauw Sengjin, dan tentang pusaka-pusaka Suling Emas yang agaknya sebagian telah dicuri oleh Ang-siocia dan menurut tantangan gadis itu, dia akan menanti di pantai Po-hai di teluk sebelah utara.

   "Hemmm, banyak persoalan kita hadapi, adikku. Urusan Jenderal Kao Liang maslh belum beres, muncul pula urusan warisan Suling Emas yang juga harus kita jernihkan."

   "Akan tetapi engkau belum sehat benar, Lee-ko. Biarlah kita menanti sampai engkau sudah sehat benar, nanti kita bersama menyelidiki persoalan-persoalan itu sampai beres. Nah, itu dia tabibmu sudah menyusul!"

   Benar saja, munculiah Sai-cu Kai-ong.

   "Wah, jangan lama-lama membiarkan dari ditiup angin sejuk, Kian Lee taihiap!"

   Kakek itu menegur.

   "Mari kita pulang dan sudah waktunya Taihiap minum obat!"

   Kemudian dia berkata kepada Kian Bu,

   "Dan aku membutuhkan beberapa macam ramuan obat yang telah habis dan obat-obat itu hanya bisa dibeli di kota besar. Maka, kuharap engkau suka menemani Siauw Hong untuk mencari dan membelikan ramuan obat untuk kakakmu itu, Kian Bu taihiap."

   "Tentu saja saya akan suka sekali pergi, Locianpwe. Akan tetapi, Locianpwe, kami kakak beradik yang menerima banyak budi Locianpwe, menganggap Locianpwe sebagai paman sendiri, maka harap buang saja sebutan taihiap kepada kami,"

   Kata Kian Bu.

   "Benar apa yang dikatakan adikku, Locianpwe,"

   Sambung Kian Lee.

   "Ha, kalau begitu kalian harus membuang sebutan locianpwe dan sebut saja paman kepadaku."

   Mereka bertiga tertawa dan Kian Lee lalu dipondong lagi oleh adiknya, kembali ke tempat tinggal kakek itu yang seperti istana kuno di-kelilingi tembok tebal seperti benteng. Ketika tiba di pintu gerbang dan melihat dua orang kakak beradik itu memandang kagum, Sai-cu Kai-ong berkata,

   "Biarlah kelak kalau Kian Lee telah sembuh, kalian akan kubawa berkeliling dan melihat-lihat rumah peninggalan nenek moyangku ini."

   Mereka memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang anak buah Sai-cu Kai-ong yang berpakaian pengemis dan setelah merebahkan kakaknya di atas pembaringan dalam kamar, Kian Bu lalu berangkat bersama Siauw Hong mencarikan obat-obat yang dibutuhkan oleh kakek itu.

   Sudah terlalu lama kita meninggalkan Puteri Syanti Dewi yang bernasib malang itu. Kita melihat dia yang terakhir berada di dalam gedung dari Hwa-i-kongcu Tang Hun, majikan Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san dekat belokan Sungai Huang-ho. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tang Hun sastrawan yang juga ahli silat dan sihir murid Durganini ini tergila-gila kepada Syanti Dewi dan memaksa puteri itu untuk menikah dengan dia. Akan tetapi di tengah-tengah keramaian pesta pernikahan itu, secara aneh sekali Syanti Dewi telah hilang tanpa diketahui jejaknya!

   Bahkan Siang In, dara jelita yang gagah perkasa dan pandai ilmu sihir yang berusaha menolong dan membebaskan Syanti Dewi, juga tidak tahu ke mana perginya puteri itu. Bukan dia saja, malah Ang Tek Hoat, yang dengan bantuan anak buah Hek-eng-pang berusaha membebaskan Syanti Dewi, juga hanya dapat membebaskan Syanti Dewi palsu, sedangkan dia pun tidak tahu ke mana lenyapnya Syanti Dewi yang aseli! Ke manakan perginya Syanti Dewi? Dan bagaimana caranya dia dapat lenyap dari penjagaan yang amat ketat itu, bahkan lenyap dari pengejaran seorang dara perkasa seperti Siang In, dan dari pencarian seorang sakti seperti Ang Tek Hoat yang masih dibantu oleh banyak anak buah Hek-eng-pang? Mari kita ikuti pengalaman Syanti Dewi semenjak dia berada di dalam kamar sebagai calon pengantin itu.

   Seperti kita ketahui, Syanti Dewi merasa gembira dan lega ketika bertemu dengan Siang In yang mengunjunginya di dalam kamarnya. Kalau dalam beberapa hari itu dia selalu termenung berduka, tidak mau mandi, tidak mau makan, tidak mau berganti pakaian, setelah Siang In mengunjunginya dan tahu bahwa gadis yang luar biasa itu akan menolong dan membebaskannya, kegembiraan membuat dia seketika merasa lapar sekali dan dia segera memesan makan minum kepada pelayan-pelayannya sehingga para pelayan itu menjadi heran dan juga girang sekali. Dari dapur yang khusus didatangkan hidangan-hidangan, diantar oleh seorang koki tua agak gemuk yang berwajah riang dan dibantu oleh para pelayan yang menghidangkan masakan-masakan istimewa di atas meja dalam kamar sang puteri atau calon pengantin wanita itu. Syanti Dewi yang memang sudah lapar itu cepat makan dan minum, akan tetapi terkejutlah dia ketika tiba-tiba dia mendengar suara berbisik di telinganya,

   "Perut kosong jangan terlalu cepat diisi, dan jangan terlalu banyak."

   Dia menoleh ke kanan kiri. Di situ hanya ada lima enam orang pelayan wanita, dan koki itu ternyata masih berdiri di sudut tanpa dipedulikan oleh para pelayan. Ketika dia bertemu pandang dengan kakek yang berpakaian koki itu, tiba-tiba kakek itu mengedipkan sebelah matanya. Syanti Dewi terkejut dan dia seperti sudah mengenal wajah koki itu. Tahulah dia bahwa suara bisikan yang didengarnya tadi, tentu adalah suara koki itu yang entah bagaimana dapat menjadi bisikan di dekat telinganya tanpa didengar oleh para pelayan agaknya. Akan tetapi sebagai seorang yang sudah banyak bergaul dengan orang-orang yang memiliki kesaktian hebat, seperti pendekar sakti Gak Bun Beng, bekas tunangan-nya Ang Tek Hoat, puteri sakti Milana, dan banyak lagi orang dari golongan hitam yang berilmu tinggi, Syanti Dewi tidak lagi merasa heran dan tahulah dia bahwa koki itu adalah seorang yang berilmu tinggi!

   "Harap kau suruh mereka itu keluar, kecuali pelayan yang berbaju biru itu,"

   Kembali terdengar bisikan tadi. Syanti Dewi tentu saja tidak mempercayai suara itu begitu saja biarpun dia seperti pernah mengenal wajah koki itu, akan tetapi anehnya, ada pengaruh mujijat yang membuat dia tidak dapat menolak lagi! Seperti di luar kehendaknya sendiri, dia lalu berkata,

   "Kalian semua keluarlah, kecuali engkau yang baju biru. Aku tidak suka makan ditunggu banyak orang."

   Para pelayan itu tersenyum dan mereka pun pergi meninggalkan kamar itu, tanpa mempedulikan koki tua yang masih berdiri seperti arca di sudut kamar.

   "Kau tutupkan daun pintunya, kunci dari dalam."

   Kembali Syanti Dewi berkata kepada pelayan baju biru seperti bukan atas kehendaknya sendiri. Pelayan baju biru yang cantik itu mengangguk, lalu menutupkan daun pintu dan mengun-cinya, kemudian dia kembali duduk di dekat sang puteri untuk melayaninya. Kini kakek yang berpakaian koki itu melangkah maju mendekati meja, dipandang penuh perhatian dan dengan hati mulai curiga oleh Syanti Dewi. Agaknya baru sekarang pelayan baju biru itu melihat kakek ini. Dia terkejut dan heran.

   "Ihhh, kau masih di sini? Tidak boleh, hayo cepat keluar...."

   Akan tetapi tiba-tiba tangan kakek itu bergerak ketika melihat kenyataan pelayan itu lari ke pintu, dan tahu-tahu dia telah menjambak rambut pelayan itu, diseretnya mendekati meja di mana Syanti Dewi masih bengong, lalu terdengar kakek itu berkata lirih namun dengan nada penuh ancaman,

   "Jangan berteriak, jangan banyak ribut, kalau tidak akan kuhancurkan kepalamu! Kau diam dan menurut saja kalau ingin selamat!"

   Tiba-tiba sebuah totokan di tengkuk pelayan tua membuatnya lemas dan tidak dapat bergerak lagi, hanya matanya saja yang terbelalak memandang dengan penuh rasa takut. Dicobanya untuk mengeluarkan suara, akan tetapi sekali tekan pada leher wanita itu oleh jari tangan kakek aneh tadi, si pelayan tidak dapat mengeluarkan suaranya sama sekali seperti orang gagu!
(Lanjut ke Jilid 22)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22
"Hemmm, apa artinya ini? Siapa engkau?"

   Syanti Dewi bangkit berdiri dan memandang tajam.

   "Heh-heh, kau lupa lagi kepadaku, Puteri?"

   Kakek itu melepaskan penutup kepalanya seperti yang biasa dipakai oleh koki untuk mencegah rambut kepalanya rontok dan masuk ke dalam masakan. Kini kelihatan kepalanya yang botak dan sedikit rambutnya yang putih. Biarpun sudah lima tahun tidak berjumpa lagi dengan kakek ini dan biarpun kakek ini sekarang agak gendut perutnya, namun melihat wajah yang tersenyum-senyum itu teringatlah Syanti Dewi.

   "Ah, bukankah Locianpwe ini guru Siang In? Locianpwe See-thian Hoatsu....?"

   Tanyanya dengan heran.

   "Ha-ha-ha, ternyata ingatanmu kuat sekali, Puteri! Benar, Siang In adalah muridku."

   Hati Syanti Dewi girang sekali. Beberapa tahun yang lalu ketika dia dikejar-kejar oleh Raja Tambolon dan anak buahnya, dia pernah ditolong dan disela-matkan oleh kakek yang pandai ilmu sihir ini dan dari percakapannya dengan Siang In dia tahu bahwa kakek ini adalah guru Siang In (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Maka tentu saja dia menjadi girang dan menaruh kepercayaan kepada kakek ini."

   "Locianpwe, baru saja Siang In juga datang dan berjanji hendak membawaku keluar dari sini...."

   "Itulah sebabnya aku datang sendiri, Puteri Syanti Dewa. Keadaan di sini amat berbahaya dan terlalu banyak orang pandai menghendaki dirimu. Rencana Siang In tentu akan gagal kalau aku tidak cepat turun tangan. Sekarang kau diamlah saja dan menurut segala petunjukku."

   Syanti Dewi tidak terkejut mendengar itu karena dia maklum bahwa dia berada di tempat berbahaya, maka dia lalu mengangguk.

   "Cepat kau tanggalkan pakaian luarmu,"

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bisik kakek itu dan ketika, Syanti Dewi melihat kakek itu mulai menanggalkan pakaian luar pelayan yang ditotoknya itu, mengertilah dia maksudnya dan tanpa ragu-ragu lagi dia membalikkan tubuhnya dan menanggalkan pakaian luarnya. Dia tidak perlu merasa malu dalam keadaan seperti itu, apalagi yang melihat dia dalam pakaian dalam yang tipis itu hanya seorang kakek sakti yang sudah amat dipercaya.

   "Aih, sukarnya....!"

   Kakek itu mengomel ketika dia mencoba untuk mengenakan pakaian luar Syanti Dewi pada pelayan itu sehingga Syanti Dewi yang cepat sudah mengenakan pakaian luar pelayan itu segera membantunya. Kakek itu memang cerdik. Yang dipilihnya adalah seorang pelayan yang selain cantik juga memiliki bentuk tubuh yang hampir sama dengan bentuk tubuh Syanti Dewi sehingga ketika pakaian mereka saling ditukar, dapat pas sekali. Setelah selesai, kakek itu lalu berbisik,

   "Cepat kau atur rambutnya seperti sanggul rambutmu dan tambah bedak di mukanya biar wajahnya seputih wajahmu."

   Syanti Dewi cepat melakukan semua perintah itu, kemudian See-thian Hoat-su sendiri menggunakan alat penghias yang terdapat di dalam kamar itu untuk mengubah bentuk bibir dan alis serta mata Syanti Dewi dengan menggunakan pemerah bibir dan penghitam. Sebentar saja, ketika dia selesai dan Syanti Dewi melihat bayangannya sendiri dalam cermin, puteri ini hampir tertawa geli melihat betapa dia sudah berubah menjadi seorang wanita yang bermata sipit, alisnya tebal dan mulutnya lebar, mukanya ada beberapa totol hitam yang melenyapkan semua kemanisannya.

   "Mari cepat...."

   Kata kakek itu dan dia segera menarik pelayan yang sudah mengenakan pakaian Syanti Dewi, mendudukkannya di atas kursi, lalu dia memandangnya dengan sinar mata penuh pengaruh yang amat kuat sambil berkata,

   "Kau tidak akan dapat bicara semalam ini dan akan menurut saja apa yang dilakukan orang-orang kepada dirimu!"

   Setelah menanamkan kata-kata ini melalui sihir ke dalam benak pelayan itu,

   Seethian Hoat-su lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan di bawa menyelinap ke luar melalui jendela, tidak lupa untuk leblh dulu meniup padam lilin yang bernyala di atas meja. Akan tetapi baru saja mereka meloncat ke luar dan menutupkan daun jendela, Syanti Dewi menahan seruan kaget dan memegang lengan kakek itu. Dua orang pengawal berjalan dengan langkah tegap ke arah mereka! Akan tetapi, kakek itu sudah menggerakkan kedua tangannya ke arah dua orang pengawal itu. Mereka memandang, terkejut dan berdiri seperti patung dengan mata terbelalak, sama sekali tidak dapat bergerak sampai kakek itu menggandeng tangan Syanti Dewi dan menariknya pergi dari situ. Setelah kakek dan puteri itu lenyap, barulah keduanya sadar, saling pandang dan merasa terheran-heran.

   "Eh, kenapa kita berdiri bengong di sini?"

   Tanya yang seorang.

   "Heran, aku merasa seperti baru saja terjadi sesuatu, akan tetapi ternyata tidak ada apa-apa. Seperti mimpi saja,"

   Kata yang ke dua.

   "Hemmm, agaknya kita tadi terlalu banyak minum arak."

   Dan mereka melanjutkan perondaan mereka. Sementara itu, See-thian Hoat-su mengajak Syanti Dewi bersembunyi di tempat gelap, di ruangan dekat dapur yang penuh dengan pot-pot bunga dan pohon katai. Hwa-i-kongcu Tang Hun memang mempunyai kegemaran mengumpulkan bunga-bunga dan pohon-pohon katai yang aneh dan indah dalam pot-pot kuno dan dikumpulkan di ruangan itu. Bukan ruangan tertutup, akan tetapi cukup gelap dan Syanti Dewi merasa heran sekali mengapa penolongnya itu mengajaknya bersembunyi, dan di tempat terbuka seperti itu.

   "Kenapa kita tidak lari....?"

   Bisiknya.

   "Sssttttt.... kita tunggu sampai terjadi keributan,"

   Jawab See-thian Hoat-su. Syanti Dewi hendak bertanya mengapa mereka bersembunyi di tempat terbuka seperti itu, akan tetapi dia mengurungkan niatnya bicara karena pada saat itu muncul tiga orang yang berjalan ke arah tempat itu. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap, dan ternyata mereka adalah dua orang tamu yang agaknya melihat-lihat, diantar oleh seorang pengawal.

   "Ini adalah kumpulan-kumpulan bunga-bunga aneh dan pohon-pohon katai yang disayang sekali oleh Kongcu,"

   Si pengawal menerangkan. Mereka melihat-lihat bunga itu, bahkan seorang dari mereka mendekati Syanti Dewi dan mencium-cium, mendengus-dengus.

   "Hemmm, wangi....!"

   Katanya.

   "Sayang agak gelap tempat ini sehingga kita tidak dapat mengagumi bunga-bunga ini dengan jelas."

   "Besok saja kita melihat-lihat lagi ke sini,"

   Kata tamu ke dua dan mereka berjalan pergi. Syanti Dewi sudah gemetar saking tegang dan gelisahnya. Rambutnya tadi dicium-cium oleh orang itu dan dia disangka bunga! Dia terheran-heran akan tetapi ketika dia menoleh kepada kakek itu yang terkekeh geli, mengertilah dia bahwa peristiwa aneh itu adalah akibat permainan sihir kakek ini. Tentu tiga orang yang tadi datang telah melihat mereka berdua seperti bunga dalam pot, maka rambutnya dicium oleh seorang di antara mereka. Teringatlah dia akan permainan sihir dari Siang In yang membuat dara itu kelihatan seperti sebuah kursi bagi orang lain!

   "Kenapa kita harus menunggu sampai terjadi keributan, Locianpwe?"

   Dia berbisik. Kakek itu menarik napas panjang.

   "Siang In terlalu sembrono. Dia tidak melihat bahwa di sini hadir orang dari Nepal yang memiliki kekuatan sihir lebih hebat daripada dia. Kalau kita lari sekarang dan ketahuan, banyak bahayanya akan gagal karena di depan orang itu tentu saja tidak mungkin mengandalkan kekuatan sihir."

   Saat yang dinanti-nanti oleh kakek See-thian Hoat-su itu ternyata tidak lama. Tiba-tiba terdengarlah canang dipukul bertalu-talu tanda bahaya dan disusul teriakan-teriakan nyaring. Dari tempat sembunyi itu, mereka melihat berkelebatnya banyak wanita-wanita pelayan dan melihat pula seorang pelayan wanita tua yang cantik memondong Syanti Dewi palsu tadi dengan gerakan ringan sekali. Lalu terdengar keributan di ruangan pesta, disusul padamnya lampu-lampu dan ributnya suara orang bertempur!

   "Sekarang....!"

   Kakek itu berbisik dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya melarikan diri melalui jalan belakang.

   "Heiii, siapa....?"

   Akan tetapi dua orang itu sudah jatuh terjungkal oleh kakek See-thian Hoat-su sebelum dua orang pengawal itu dapat melihat jelas. Dengan cepat See-thian Hoat-su lalu memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya melompati pagar tembok di taman belakang. Tanpa banyak halangan karena semua orang sedang sibuk ber-kelahi dan mengejar-ngejar penculik Syanti Dewi palsu, See-thian Hoat-su dapat membawa pergi puteri itu dari puncak Bukit Naga Api. Setelah pergi jauh, Syanti Dewi berkata,

   "Locianpwe, bagaimana dengan Siang In? Kenapa kita tidak menanti dia?"

   Kakek itu menurunkan tubuh Puteri Bhutan dan menyeka peluhnya, lalu memandang ke angkasa yang indah penuh bintang.

   "Ahhh, dia bukan anak kecil lagi, tentu dapat menjaga diri sendiri."

   "Akan tetapi.... tentu dia akan mencari-cari Locianpwe dan saya...."

   "Dia tidak tahu bahwa aku berada di sini, dan biarlah dia mencarimu untuk meluaskan pengalamannya, ha-ha!"

   Kakek yang aneh itu tertawa dan Syanti Dewi tidak membantah lagi. Kakek ini mempunyai watak yang luar biasa anehnya dan dia tahu bahwa memang orang-orang sakti di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang kadang-kadang mendekati watak orang gila!

   "Lalu.... laiu kita akan pergi ke mana, Locianpwe?"

   Tanyanya penuh keraguan.

   "Ke tempatku di pantai Po-hai. Akhirnya Siang In tentu akan ke sana pula kalau dia tidak berhasil mencarimu. Dan kulihat engkau diperebutkan banyak orang, Puteri, maka untuk sementara waktu ini, kiranya akan lebih aman kalau kau berada di sana bersamaku. Syanti Dewi tidak membantah lagi. Dia meninggalkan Bhutan bersama Siang In, dan biarpun dia berniat mencari Tek Hoat, namun mencari seorang diri saja mana mungkin berhasil? Di bagian dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat yang amat lihai, dan tanpa seorang teman seperjalanan yang sakti seperti Siang In, dia merasa ngeri dan tidak sanggup untuk mencari Tek Hoat sendirian saja. Pula, kini dia ikut bersama guru dari Siang In, berarti dia berada di tangan yang aman dan tentu banyak harapan akan berjumpa kembali dengan gadis ahli sihir itu.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, peristiwa penculikan atas diri Syanti Dewi dari gedung Hwa-i-kongcu Tang Hun itu menimbulkan kegegeran hebat. Rombongan Hek-eng-pang yang di pimpin oleh Yang-liu Nio-nio sendiri berhasil menculik Syanti Dewi tanpa mereka sadari bahwa yang mereka culik adalah yang palsu. Mereka telah mengorbankan banyak anak buah dan Syanti Dewi telah diserahkan kepada Ang Tek Hoat yang melarikannya, akan tetapi kemudian ternyata Syanti Dewi itu hanyalah seorang pelayan! Seperti kita ketahui, saking marahnya Yang-liu Nio-nio membunuh pelayan itu dan kemudian mayatnya dilemparkan kepada Siang In oleh Tek Hoat yang merasa gemas dan berkhawatir akan diri kekasihnya. Siang In sendiri juga terkejut ketika melihat mayat yang disangkanya Puteri Bhutan itu ternyata hanya seorang pelayan. Tahulah, dia bahwa Syanti Dewi telah lenyap tanpa dia ketahui siapa penculiknya.

   Jelas bukan Tek Hoat, bukan pula rombongan Hek-eng-pang, akan tetapi jelas telah lenyap dari rumah Hwa-i-kongcu. Habis, siapa yang telah menculiknya? Dia merasa penasaran sekali dan mulai melakukan pengejaran dan penyelidikan. Sementara itu, seperti telah diceritakan pula di bagian depan, di dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu itu terdapat pula seorang tamu yang amat lihai, bahkan tamu itu telah membuyarkan kekuatan sihir dari Siang In ketika gadis yang menyamar sebagai penari dan pemain sulap ini memperlihatkan kepandaiannya. Orang itu adalah Gitananda, kakek tokoh Nepal yang tinggi besar, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut itu. Seperti kita ketahui, Gitananda juga mencoba untuk menahan diri Yang-liu Nio-nio yang dianggapnya telah menculik pengantin perempuan,

   Akan tetapi Yang-liu Nio-nio yang dibantu banyak anak buahnya itu dapat meloloskan diri dan Gitananda tidak berani melakukan pengejaran dalam gelap karena dia tahu bahwa hal itu amat berbahaya, mengingat bahwa rombongan penculik itu terdiri dari orang-orang pandai. Gitananda adalah seorang di antara pembantu-pembantu Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang mengemban tugas untuk menghubungi pembesar-pembesar yang condong untuk menentang kekuasaan kaisar. Koksu Nepal yang cerdik itu maklum bahwa untuk memperkuat kedudukannya, dia harus menghubungi tokoh-tokoh kang-ouw di dunia timur ini, dan sedapat mungkin berbaik dengan tokoh-tokoh dari golongan hitam. Oleh karena itulah, maka dia menyebar para pem-bantunya, dan ketika mendengar akan pernikahan di puncak Naga Api, yaitu pernikahan dari Hwa-i-kongcu Tang Hun yang didengarnya sebagai ketua Liong-sim-pang, seorang pemuda yang selain kaya raya,

   Juga amat lihai bahkan akhir-akhir ini kabarnya menjadi murid Durganini, tentu saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu dan mengutus Gitananda mewakilinya dan menghadiri pesta itu. Durganini adalah seorang nenek ahli sihir dari India dan Ban Hwa Sengjin sudah mengenalnya. Sebetulnya, ketika Gitananda mendengar bahwa yang menjadi pengantin puteri adalah Syanti Dewi dari Bhutan, dia terkejut sekali. Betapa akan senangnya koksu kalau sampai dia bisa mendapatkan puteri itu. Puteri itu dapat dipergunakan untuk memaksa Pemerintah Bhutan tunduk kepada Nepal! Akan tetapi tentu saja dia tidak boleh membikin marah Hwa-i-kongcu, lebih-lebih Durganini, maka Gitananda juga tidak mau mengganggu pengantin puteri.

   Akan tetapi ketika terjadi penculikan atas diri pengantin puteri, tentu saja Gitananda melihat kesempatan yang amat baik! Puteri itu diculik orang, kalau saja dia bisa merampasnya kembali dari tangan penculik. Bukan untuk diserahkan kembali kepada Hwa-i-kongcu, sungguhpun hal itu akan berarti melepaskan Liong-sim-pang sebagai sahabat. Kiranya akan lebih penting lagi diri Puteri Bhutan itu bagi Nepal, daripada persahabatan Liong-sim-pang. Pula, kalau dia bisa mendapatkan puteri itu di luar tahu Liong-sim-pang, bukankah tetap akan menjadi sahabat untuk dapat bekerja sama sewaktu-waktu jika keadaan membutuhkan karena Hwa-i-kongcu sudah melihat sendiri betapa dia telah membantu untuk melawan para penculik, biarpun tidak berhasil. Dia harus dapat mengejar penculik dan merampas kembali Puteri Bhutan tanpa diketahui oleh Hwa-i-kongcu!

   Maka setelah para penculik itu kabur, Gitananda melakukan pengejaran seenaknya karena dia perlu untuk diam-diam kembali ke kamarnya, lalu pergi lagi turun dari puncak ke tempat yang sunyi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Gitananda melepaskan seekor burung berwarna hijau yang paruhnya merah, burung kecil yang menjadi burung peliharaannya, amat terlatih dan merupakan burung yang amat cerdik. Dengan dalih memeriksa kamar pengantin wanita yang terculik malam tadi dia berhasil memasuki kamar pengantin dan berhasil pula memperoleh sehelai saputangan yang tadinya dipakai oleh Syanti Dewi, dari seorang pelayan yang disogoknya dengan sepotong emas! Kini, dia melepaskan burung itu yang membawa robekan saputangan di antara paruhnya yang merah dan kuat.

   "Carilah sampai dapat!"

   Teriak Gitananda sambil melepaskan burung itu. Burung hijau itu terbang seperti kilat cepatnya ke atas, tinggi sekali lalu mulai terbang tinggi berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin luas. Binatang yang cerdik itu mulai mencari-cari, menggunakan nalurinya mengandalkan benda yang berada di paruhnya. Sepasang matanya yang kecil melirak-lirik ke bawah, tajam sekali. Gitananda menanti sampai hampir menjelang tengah hari. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya di atas rumput ketika dia melihat sinar hijau melayang telah kembali! Benar saja, terbang sampai tiba di atas melepaskan robekan saputangan dan mengeluarkan suara mencicit.

   "Burung yang baik, kau telah menemukan dia?"

   Burung itu mencicit dan terbang ke atas lagi. Gitananda lalu mengikutinya dan burung itu sengaja terbang tidak terlalu cepat sehingga Gitananda yang memiliki ilmu berlari cepat itu dapat mengikutinya dari bawah! Dan burung itu terbang menuju ke timur! Jenggotnya yang panjang berkibar-kibar, ujung sorbannya juga berkibar sehingga kakek ini nampak gagah dan juga aneh, seperti seorang dewa dalam dongeng. Sementara itu, See-thian Hoat-su yang sedang berjalan seenaknya bersama Syanti Dewi, ketika keluar dari sebuah hutan kecil, tiba-tiba melihat seekor burung hijau terbang berputaran di atas mereka. Mula-mula Syanti Dewi yang melihat burung itu. Dara bangsawan ini sedang memandang ke atas, seolah-olah hendak mencari berita dari awan-awan di angkasa di mana adanya Ang Tek Hoat pada saat itu.

   "Eh, burung apakah itu demikian aneh?"

   Katanya sambil menuding ke atas. See-thian Hoat-su juga memandang ke atas dan dia mengerutkan alisnya. Biarpun usianya jauh lebih tua, akan tetapi kakek ini memiliki sepasang mata yang terlatih baik sekali dan dia dapat mengerahkan kekuatan pandang matanya untuk melihat jauh sehingga burung itu nampak jelas olehnya.

   "Puteri, katakan, apakah engkau mempunyai sehelai saputangan kuning?"

   Tiba-tiba dia bertanya sambil memandang ke arah burung hijau yang terbang berputaran itu.

   "Saputangan kuning....?"

   Tentu saja Syanti Dewi merasa kaget dan heran mendengar pertanyaan tiba-tiba yang janggal itu.

   "Ya.... ya, saputangan sutera kuning. Apakah engkau memakai benda itu ketika berada di puncak Naga Api, di tempat tinggal Hwa-i-kongcu?"

   "Benar.... akan tetapi kutinggalkan di kamar...."

   "Ah, celaka....! Benar, dia tentu burung mata-mata!"

   Teriak See-thian Hoat-su dengan kaget, apalagi ketika dia melihat burung itu tiba-tiba saja meluncur cepat sekali ke barat, tentu akan melapor kepada majikannya bahwa dia telah menemukan orang yang dicarinya!

   "Kita harus cepat pergi dari sini!"

   Berkata demikian, kakek itu memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya berlari cepat sekali sehingga Syanti Dewi memejamkan matanya karena merasa ngeri.

   Saking khawatirnya kalau-kalau dia akan tersusul oleh para pengejarnya yang dia tahu tentu terdiri dari orang-orang pandai sehingga membahayakan keadaan Syanti Dewi, maka See-thian Hoat-su tidak mempedulikan pandangan para penghuni dusun-dusun yang dilewatinya. Tentu saja orang-orang dusun itu terkejut dan terheran-heran melihat seorang dara cantik jelita dipondong dan dibawa lari oleh seorang kakek botak yang larinya seperti setan! Lebih-lebih lagi keheranan mereka ketika bebecapa lama kemudian, muncul pula. seorang kakek berkulit hitam, tinggi besar, kepalanya memakai sorban, jenggotnya panjang sampai ke perut dan dengan suara kaku dan asing kakek ini bertanya kepada mereka apakah mereka melihat seorang dara yang cantik jelita, yang kulitnya putih kemerahan, matanya lebar seperti sepasang bintang, sikapnya lemah lembut, halus budi dan agung, lewat di dusun itu.

   "Ah, kami melihat seorang dara cantik jelita, akan tetapi dia dipondong dan dibawa lari seorang kakek botak...."

   "Yaaa! Itulah dia! Ke mana mereka pergi?"

   Gitananda bertanya dengan girang karena dia tidak merasa ragu lagi bahwa itulah dara yang dicarinya dan benar saja, agaknya Sang Puteri Bhutan itu dilarikan seorang penculik! Kini para penghuni dusun merasa ragu-ragu karena mereka kurang percaya kepada orang asing bersorban yang bicaranya kaku ini, akan tetapi Gitananda cepat berkata,

   "Agaknya kalian belum tahu. Kakek botak itu adalah seorang penjahat besar, seorang penculik! Dan dara yang diculik itu adalah seorang puteri! Puteri Raja Bhutan dan aku adalah seorang petugas yang akan menolong sang puteri. Harap kalian cepat memberi tahu, ke mana mereka itu pergi?"

   Tentu saja para penghuni dusun merasa kasihan sekali kepada sang puteri dan berfihak kepada orang asing ini yang hendak menolong sang puteri yang terculik penjahat, maka berebutlah mereka memberi tahu ke mana arah larinya kakek botak yang memondong dan menculik sang puteri. Setelah mendengar bahwa kakek botak itu melarikan sang puteri menuju ke timur. Gitananda cepat melakukan pengejaran bersama burung hijaunya. Maka ramailah para penghuni dusun itu membicarakan peristiwa yang aneh itu sehingga cerita tentang kakek botak yang seperti iblis menculik Puteri Bhutan lalu dikejar oleh kakek seperti dewa hitam tersiar luas di dusun itu dan bahkan keluar sampai ke dusun-dusun lain.

   Sementara itu. See-thian Hoat-su yang memondong tubuh Syanti Dewi, melakukan perjalanan cepat sekali menuju ke timur dan akhirnya, beberapa hari kemudian setelah melakukan perjalanan yang hampir tidak pernah ditundanya kecuali kalau malam gelap sekali dan untuk makan, tibalah kakek ini bersama Syanti Dewi di Gua Tengkorak. tempat pertapaan See-thian Hoat-su selama bertahun-tahun ini! Syanti Dewi merasa lega ketika kakek itu mengatakan bahwa mereka telah tiba di tempat pertapaan yang tersembunyi. dan dia lalu memeriksa tempat itu. Tempat yang amat indah akan tetapi juga menyeramkan. Gua besar itu dalamnya seperti sebuah rumah saja, amat lebar dan dibagi-bagi menjadi beberapa buah kamar, bahkan ada tempat dapurnya yang terisi perabot dapur lengkap.

   Gua itu terletak di antara batu-batu karang yang besar-besar sehingga tersembunyi, dan menghadap ke luar Teluk Po-hai. Suara ombak memecah di batu-batu karang terdengar setiap saat siang malam, merupakan dendang yang tidak hentinya dan menciptakan suasana yang aneh dan berbeda sekali dari suasana di darat dan pegunungan. Angin bersilir terus jarang berhenti, dan di atas gua itu adalah sebuah bukit batu karang yang di bagian atasnya ditumbuhi bermacam pohon yang tahan hidup di tepi pantai. Di sebelah kiri gua terdapat air tawar yang bercucuran dari celah-celah batu yang pecah oleh akar-akar pohon, air yang merupakan berkah bagi penghuni gua karena memudahkan pengam-bilan air tawar yang amat dibutuhkan. Gua itu sendiri kalau dilihat dari jauh memang berbentuk seperti tengkorak manusia.

   "Jangan terlalu jauh meninggalkan gua,"

   Kata See-thian Hoat-su yang memanggil kembali Syanti Dewi yang berjalan-jalan di sekitar tempat itu sampai ke pantai Po-hai.

   "Sekarang belum aman benar. Siapa tahu orang yang mempunyai burung hijau dapat mengejar sampai ke sini. Siapapun mereka, jangan harap akan dapat merampasmu dari sampingku, Puteri. Akan tetapi kalau kau berkeliaran terlalu jauh, dan mereka menculikmu, tentu saja aku tidak tahu dan tidak berdaya untuk mencegah mereka."

   Mendengar itu, Syanti Dewi tidak lagi berani pergi jauh dan mulailah puteri ini membersihkan gua, kemudian memasak air dan menanak nasi yang semua bahannya terdapat di tempat itu. Biarpun dia seorang puteri raja, namun pengalaman beberapa tahun yang lalu ketika dia meninggalkan Kota Raja Bhutan (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali) membuat dia tidak canggung untuk melakukan pekerjaan rumah, bahkan untuk hidup secara sederhana sekali. Melihat kecekatan puteri ini, diam-diam See-thian Hoat-su merasa kagum sekali. Seorang puteri raja namun demikian gapah memainkan sapu dan pengebut bulu ayam, dan demikian cekatan untuk bergaya di dalam dapur! Malam itu Syanti Dewi menyalakan lilin sebagai penerangan di dalam gua. Heran dia mengapa di sebelah dalam gua itu tidak ada angin, padahal kalau dia berdiri di depan gua, angin bersilir tiada hentinya.

   Namun di dalam gua, api lilin tidak bergoyang sedikit pun, tanda bahwa di situ tidak dimasuki angin sama sekali! Tentu saja dara ini tidak tahu bahwa hawa bersifat seperti air, hanya akan mengalir masuk tempat yang berlubang dan ada tembusannya. Gua itu merupakan lubang yang rapat di bagian belakangnya sehingga telah penuh dengan hawa dan tidak memungkinkan lagi hawa dari luar mengalir masuk. Setelah mereka makan dengan sederhana, yaitu hanya nasi dengan lauk panggang ikan yang ditangkap oleh See-thian Hoat-su dari teluk, makan malam sederhana yang amat lezat karena hati tenang dan perut lapar ditambah tubuh lelah, mereka lalu mengaso. Saking lelahnya setelah berlari sambil memondong Syanti Dewi beberapa hari lamanya, sebentar saja See-thian Hoat-su sudah tidur mendengkur.

   Akan tetapi, Syanti Dewi tidak dapat tidur. Hatinya gelisah memikirkan nasibnya. Memang benar bahwa dia telah selamat dan aman di tangan guru Siang In, akan tetapi kapankah dia dapat ber-jumpa dengan Siang In? Dan terutama sekali, kapankah dia akan dapat bertemu dengan Tek Hoat dan bagaimana sikap Tek Hoat kalau berhadapan dengan dia? Teringat akan semua pengalamannya, Syanti Dewi menarik napas panjang. Apakah yang akan dialaminya selanjutnya.? Baru beberapa bulan yang lalu dia masih menjadi seorang puteri di istana ayahnya, hidup bahagia sekali dan menghadapi masa depan gilang gemilang, dengan Ang Tek Hoat sebagai tunangannya yang gagah perkasa dan amat dicintanya, dan pernikahan antara mereka hanya tinggal menanti saatnya saja.

   Akan tetapi tiba-tiba saja terjadi malapetaka yang amat hebat, yaitu datangnya ibu kandung Tek Hoat yang membikin marah ayahnya dengan pengakuannya yang menggemparkan, yaitu bahwa Ang Tek Hoat adalah seorang anak haram. Ayahnya marah dan memutuskan pertunangan itu sehingga Tek Hoat merasa malu dan lolos dari Bhutan! Dia menarik napas panjang. Dia mencinta Tek Hoat, mencinta pribadinya. Apa artinya riwayat hidup keluarga pemuda itu baginya? Dia dulu pun sudah tahu bahwa Tek Hoat pernah menjadi seorang tersesat, bahkan membantu pemberontak. Akan tetapi, bukankah pemuda itu sudah sadar dan kembali ke jalan benar? Betapapun juga, dia mencinta Tek Hoat, dan dia tidak peduli apa pun yang menjadi latar belakang riwayat hidup ayah dan ibu pemuda itu.

   "Syanti Dewi....!"

   Tiba-tiba dia mendengar suara halus datang dari luar Gua Tengkorak. Suara seorang wanita yang halus memanggilnya! Mimpikah dia? Syanti Dewi bangkit duduk dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika dia melirik ke arah kamar di sebelah kamarnya, dia masih mendengar suara dengkur See-thian Hoat-su. Dia harus berhati-hati. Bukankah kakek itu mengatakan bahwa boleh jadi orang-orang jahat yang hendak merampasnya kembali datang ke tempat itu?

   "Enci Syanti Dewi....!"

   Kembali terdengar bisikan yang terdengar olehnya seperti desis seekor ular.

   Siapakah dia? Siang In? Hanya Siang In yang menyebutnya enci Syanti Dewi! Akan tetapi mungkinkah Siang In? Dia curiga. Kalau benar Siang In, mengapa harus memanggilnya dengan suara lirih dari luar gua? Bukankah gua ini tempat tinggal See-thian Hoat-su, kakek yang menjadi gurunya sendiri? Mengapa gadis itu tidak langsung masuk saja menemuinya dan memanggil dari luar secara mencurigakan? Syanti Dewi sudah banyak mengalami hal-hal hebat dan tahulah dia bahwa orang-orang jahat di dunia kang-ouw amat licik dan curang, maka dia tetap saja diam saja mendengarkan, tidak mau tergesa-gesa keluar. Kembali sunyi keadaannya, sunyi yang menegangkan hati Puteri Bhutan itu. Tak lama kemudian, terdengarlah lagi suara itu, kini agak keras biarpun masih dengan suara mendesis agar tidak terlalu nyaring dan terdengar oleh kakek yang sedang tidur.

   "Kalau benar bahwa yang berada di dalam itu Puteri Syanti Dewi, harap ke luar, adikmu Candra Dewi berada di sini!"

   Syanti Dewi terkejut, jantungnya berdebar keras. Candra Dewi! Ceng Ceng! Dia tidak ragu-ragu lagi karena dia mengenal suara itu. Turunlah dia dari atas pembaringan dan dengan berindap-indap dia keluar dari kamarnya, terus berjalan keluar gua yang gelap karena penerangan hanya ada di dalam kamarnya dan di kamar See-thian Hoat-su saja. Di luar gua juga gelap, remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit. Dia melihat sesosok tubuh seorang wanita berdiri di luar gua itu. Syanti Dewi tidak berani segera ke luar, mengintai dulu dan jantungnya berdebar penuh kegirangan ketika dia mengenal bahwa orang itu memang Candra Dewi atau Ceng Ceng adanya! Wanita itu memang benar Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau nyonya Kao Kok Cu si Naga Sakti dari Gurun Pasir! Dahulu, ketika dia masih tinggal di Bhutan, Ceng Ceng diakui adik oleh Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi (baca Kisah Sepasang Rajawali).

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita perkasa ini bersama suaminya, si Naga Sakti dari Gurun Pasir Kao Kok Cu, terpaksa meninggalkan tempat mereka yang terasing dari dunia ramai, jauh di utara di gurun pasir, memasuki dunia ramai di selatan untuk mencari putera mereka yang hilang! Mereka mencium jejak putera mereka itu dibawa orang ke selatan, namun sampai sekian lamanya belum juga mereka berhasil menemukan kembali Kao Cin Liong, putera mereka yang berusia lima tahun itu. Kini Ceng Ceng kembali melakukan penyelidikan dengan terpisah dari suaminya, karena dengan melakukan penyelidikan terpisah, lebih banyak harapan untuk mendapatkan kembali jejak yang hilang itu. Di dalam perjalanannya melakukan penyelidikan dan mencari puteranya itulah Ceng Ceng mendengar desas-desus di dalam dusun-dusun yang dilaluinya tentang seorang puteri yang terculik oleh seorang penjahat dan dikejar-kejar oleh seorang kakek seperti dewa.

   Ketika dia mendengar bahwa ada "Puteri Bhutan"

   Dilarikan iblis dan dikejar dewa, dia masih belum menduga bahwa itu adalah Syanti Dewi. Akan tetapi ketika dia teringat bahwa beberapa hari yang lalu dia melihat Mohinta, putera panglima tua di Bhutan yang pernah dikenalnya, berkeliaran dengan beberapa orang pembantunya, mulailah dia curiga. Jangan-jangan Syanti Dewi yang lagi-Iagi menimbulkan geger di tempat ini! Karena hatinya merasa penasaran, dia lalu melakukan pengejaran pula dan akhirnya dia tiba di depan Gua Tengkorak pada malam hari itu. Dia tidak berani lancang menyerbu ke dalam, maka dia lalu menggunakan tenaga khikangnya untuk memanggil, karena wanita sakti ini yakin bahwa kalau mendengar suaranya, tentu Syanti Dewi akan keluar, kalau memang benar Syanti Dewi puteri yang terculik itu.

   "Adik Ceng....!"

   Syanti Dewi yang kini tidak ragu-ragu lagi itu berseru sambil lari keluar.

   "Enci Syanti....!"

   Dua orang wanita ini saling rangkul.

   "Aih, kiranya benar engkau, Enci Syanti!"

   "Adik Candra.... betapa girangnya hatiku bertemu denganmu...."

   Pada saat itu, dari balik batu besar meloncat sesosok bayangan yang tinggi besar dan bayangan ini langsung menerkam ke arah Ceng Ceng. Wanita perkasa ini cepat mendorong tubuh Syanti Dewi,

   "Enci, menjauhlah!"

   Katanya dan dia cepat membalik, menggerakkan lengannya untuk menangkis karena mengelak sudah tidak sempat lagi. Serangan bayangan hitam itu cepat bukan main.

   "Desss....!"

   Tangkisan Ceng Ceng yang dilakukan dengan cepat itu mengandung tenaga sinkang mujijat.

   Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa nyonya ini di waktu belum menikah dahulu, bersama Topeng Setan yang ternyata adalah Kao Kok Cu yang kini menjadi suami-nya, telah berhasil memperoleh anak naga yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw di Telaga Sungari, biarpun untuk itu Kao Kok Cu telah mengorbankan sebelah lengannya yang dicaplok oleh naga di telaga itu. Setelah Ceng Ceng minum darah anak naga untuk mengobati luka dan penyakit yang dideritanya, tidak saja dia sembuh dari lukanya di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi juga dia memperoleh tenaga mujijat dari khasiat darah anak naga itu. Tentu saja setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, dia telah dilatih oleh suaminya yang sakti itu dan kini dia telah dapat menguasai tenaga mujijat itu dengan baiknya, di samping ilmunya yang sudah memperoleh kemajuen pesat sekali. Tubuh Gitananda, kakek tinggi besar yang menyerangnya itu, sampai terlempar jauh ketika lengan mereka saling bertemu dengan kerasnya.

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 56 Kisah Sepasang Rajawali Eps 34 Kisah Sepasang Rajawali Eps 39

Cari Blog Ini