Jodoh Rajawali 36
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 36
"Siluman Kecil....!"
Kian Bu mendengar bisikan-bisikan yang keluar di sana-sini di antara para pengepung itu. Tahulah dia bahwa para perajurit atau anak buah pasukan itu bukanlah orang-orang asing karena ternyata telah mengenalnya. Memang, para penjaga yang kini menjadi pasukan berseragam itu adalah anak buah Kui-liong-pang, maka tentu saja mereka mengenal Siluman Kecil karena biarpun jarang di antara mereka ada yang pernah melihatnya, setidaknya mereka telah mendengar nama pendekar itu dan keadaannya yang aneh menyeramkan.
"Aha, kiranya tempat kami mendapatkan kehormatan, dikunjungi oleh seorang tokoh besar yang namanya menggemparkan dunia persilatan. Sicu, benarkah engkau yang dijuluki orang Siluman Kecil?"
Kian Bu mengerling ke kiri dan melihat bahwa dari sebuah pintu muncul beberapa orang tinggi besar mengiringkan seorang pemuda tinggi tegap yang tampan. Pemuda itu memakai pakaian yang serba indah gemerlapan, kepalanya tertutup sorban yang dihiasi permata besar dan bulu burung dewata, tubuhnya tinggi tegap, kulitnya kecoklatan, matanya yang cekung itu mempunyai biji mata yang amat tajam seperti mata burung hantu, hidungnya panjang melengkung ke bawah seperti paruh betet, rambutnya hitam agak kemerahan, hampir menyamai kulitnya.
Usia pemuda ini sekitar tiga puluh tahun dan pembawaannya ramah, namun juga penuh dengan wibawa. Agaknya inilah Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal itu, pikirnya. Kian Bu memperhatikan orang-orang yang berjalan di belakang pangeran ini. Pertama-tama dia mengenal Hek-tiauw Lo-mo, kakek yang menjadi majikan Pulau Neraka itu. Semenjak dia berusia belasan tahun, dia sudah mengenal kakek ini, bahkan dia bersama kakaknya, Kian Lee, pernah menjadi tawanan kakek itu di Pulau Neraka (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Dan setelah dia dewasa, dalam peristiwa pemberontakan dua orang Pangeran Liong, dia pun pernah bertemu dengan lawan ini. Bukan itu saja, tadi pun dia telah bertanding segebrakan melawan kakek ini yang kini makin lihai saja.
Namun, sebaliknya, kakek yang seperti raksasa itu agaknya tidak lagi mengenal Kian Bu, dan kini memandang dengan penuh perhatian karena hati kakek ini tertarik sekali ketika mendengar bahwa orang yang disangkanya maling dan yang tadi ternyata memiliki kepandaian amat tinggi itu ternyata adalah Siluman Kecil, nama tokoh yang dalam waktu beberapa tahun ini menggemparkan dunia persilatan dengan sepak terjangnya yang hebat sehingga nama itu ditakuti oleh seluruh tokoh kaum sesat dan disegani oleh semua tokoh golongan putih pula. Di samping Hek-tiauw Lo-mo berdiri Hek-hwa Lo-kwi, kakek bermuka tengkorak yang menjadi majikan lembah itu atau ketua dari Kui-liong-pang. Juga dia melihat kakek bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut dan memegang tongkat kayu cendana.
Selain tiga orang kakek ini, nampak pula banyak orang-orang yang kelihatannya berkepandaian dan yang tidak dikenalnya. Memang banyaklah yang datang mengepung "maling"
Itu, di antaranya terdapat Khiu Sek, atau yang oleh para anggauta Kui-liong-pang lebih dikenal dengan sebutan Khiu-pangcu, bekas ketua Huang-ho Kui-liong-pang sebelum Hek-hwa Lo-kwi muncul di situ. Juga hadir pula Hoa-gu-ji, yang memegang senjata dayung panjang. Seperti juga Khiu-pangcu, Hoa-gu-ji yang tinggi kurus ini pun merupakan tokoh Kui-liong-pang. Masih ada lagi tiga orang kakek yang bukan orang-orang biasa, karena mereka itu adalah para pembantu Hwa-i-kongcu, tokoh-tokoh Liong-sim-pang yang kini bergabung dan bersekutu dengan Pangeran Nepal. Mereka bertiga itu adalah Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-Liong-ong Ciok Gu To.
Di samping tiga orang tokoh Liong-sim-pang ini, masih terdapat pula beberapa orang yang berpakaian sebagai orang-orang Bhutan, dan mereka ini adalah para pembantu Mohinta, panglima muda dari Bhutan itu. Kian Bu maklum bahwa dia kini dikepung oieh orang-orang pandai. Hanya Koksu Nepal saja yang tidak dilihatnya berada di situ, namun orang-orang ini sudah cukup tangguh kalau mereka maju semua untuk mengeroyoknya. Mendengar pertanyaan yang diajukan oleh pangeran dari Nepal itu, yang bertanya dengan sikap ramah, Kian Bu yang cerdik maklum bahwa pangeran ini agaknya sedang mencari dan mengumpulkan tenaga yang kuat untuk membantunya! Dia teringat akan sikap dua orang Pangeran Liong yang dulu memberontak. Dua orang pangeran tua itu pun selalu berusaha mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk membantu mereka dalam usaha pemberontakan mereka.
Kini, Pangeran Nepal ini agaknya juga bersikap ramah untuk berusaha menariknya agar suka menjadi kaki tangannya! Akan tetapi perhatiannya sebagian ditujukan ke arah sekelilingnya, untuk mencari kemungkinan meloloskan diri andaikata terpaksa harus menggunakan kekerasan. Hatinya merasa tidak enak sekali ketika dia melihat tubuh Jenderal Kao Liang yang tinggi besar itu berdiri di sudut, memimpin pasukan itu dan sikapnya gagah dan tidak peduli, seolah-olah tidak mengenalnya! Dengan menggerakkan jari-jari kakinya, tanpa mengangkat kaki, Kian Bu telah memutar tubuhnya menghada-pi pangeran itu. Sejenak mereka berdua saling pandang dan sang pangeran bergidik juga melihat sepasang mata dari balik tirai rambut putih itu menyambar dengan ketajaman yang menusuk perasa-an. Hebat orang ini, pikirnya, kalau saja aku dapat menaklukkannya!
"Tidak keliru dugaan itu. Bukankah aku berhadapan dengan Pangeran Bharuhendra dari Nepal?"
Tanya Kian Bu dengan suara lirih namun terdengar jelas sekali oleh semua yang hadir. Semua orang terkejut dan pangeran itu juga ter-cengang, akan tetapi dia tersenyum lebar dan wajahnya kehilangan kebengisannya kalau tersenyum. Memang dia cukup tampan, bahkan amat tampan bagi ukuran orang Nepal yang menyukai hidung melengkung.
"Ha-ha-ha, sungguh Sicu amat mengagumkan! Dugaan Sicu benar sekali, akan tetapi aku lebih dikenal di sini sebagai Pangeran Liong Bian Cu. Tentu Sicu dapat menduga bahwa ayahku adalah mendiang Pangeran Liong Khi Ong, ibuku seorang Puteri Nepal. Ha-ha-ha, sungguh girang sekali kami dapat berkenalan dengan Sicu dan merasa terhormat bahwa tempat kami ini mendapat kunjungan dari Sicu. Kami harap saja Sicu datang sebagai sahabat, karena memang sudah lama kami telah mendengar nama besar Sicu, hanya tidak tahu bagaimana kami dapat menghubungi Sicu. Silakan, Sicu, marilah kita bicara di dalam sebagai sahabat-sahabat."
Jelaslah bagi Kian Bu. Memang sudah diduganya demikian. Suruh dia membantu seorang anak pemberontak, seorang pangeran asing yang tak salah lagi tentu mempunyai niat yang tidak baik terhadap pemerintah? Tidak sudi! Dia bukan seorang pengkhianat, bukan pula seorang pemberontak. Dia mengerling ke arah Jenderal Kao Liang dan melihat betapa kebetulan sekali jenderal itu memandang kepadanya. Orang tua itu cepat menundukkan muka dan kelihatan berduka sekali. Kesempatan itu dipergunakan oleh Kian Bu untuk menegur jenderal yang dianggapnya pengecut dan pengkhianat itu.
"Pangeran, saya datang bukan sebagai musuh, karena saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan Pangeran, akan tetapi melihat betapa Koksu Nepal bersekutu dengan Gubernur Ho-nan, saya mendapatkan kesan kurang baik terhadap orang-orang Nepal. Maaf, Pangeran, bukan maksud saya untuk menyinggung Paduka, akan tetapi saya bukanlah seorang rendah dan hina yang dapat diajak bersahabat kalau yang mengajaknya itu termasuk golongan pemberontak."
"Uhhh...."
Suara ini lirih saja, akan tetapi Kian Bu maklum bahwa suara itu keluar dari tenggorokan Jenderal Kao Liang. Ketika dia mengerling, jenderal itu sudah mundur dan menyelinap di antara para pasukan. Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya terlalu marah demi mendengar ucapan Kian Bu itu sehingga mereka tidak mendengar suara yang keluar dari tenggorokan jenderal itu, karena dalam waktu yang bersamaan mereka pun sudah mengeluarkan suara menggereng marah. Namun, Pangeran Liong Bian Cu benar-benar amat cerdik. Dia dapat menekan kemarahannya, memberi isyarat dengan tangan kepada para pembantunya agar jangan turun tangan lebih dulu, kemudian dia merangkap kedua tangan di depan dada, menghadapi Kian Bu dan berkata sambil tersenyum,
"Hebat sekali! Sicu masih muda, sudah mengangkat nama besar, dan ternyata memiliki jiwa pahlawan pula! Kalau Sicu berkeberatan untuk datang sebagai sahabat kami, lalu kami harus menganggap Sicu datang ini sebagai apakah?"
Diam-diam Kian Bu kagum juga atas ketenangan pangeran itu. Bahkan para pembantu pangeran itu sudah memandang kepadanya dengan marah, akan tetapi sang pangeran ini sendiri sama sekali tidak kelihatan marah! Dia pun balas menjura dengan hormat dan berkata halus.
"Maaf, Pangeran. Memang kedatanganku ini lancang dan untuk itu aku mohon maaf. Aku datang bukan sebagai musuh dan bukan pula sebagai sahabat, melainkan sebagai seorang yang mendengar adanya hal yang tidak semestinya dan karenanya terpaksa aku datang untuk minta kepada pangeran agar suka memberes-kan yang tidak semestinya itu."
"Hemmm, Sicu mendengar apakah?"
"Bahwa Pangeran telah menawan seorang wanita yang bernama Syanti Dewi, maka aku minta agar Pangeran suka membebaskan dia!"
Katanya dengan suara tegas.
"Ahhh....! terdengar suara bentakan marah dan sang pangeran menoleh. Yang membentak itu adalah Mohinta sendiri, putera panglima tua di Bhutan. Seperti kita ketahui, Mohinta dan para pembantunya telah tiba di dalam benteng itu dan menjadi sekutu Pangeran Nepal itu pula. Sang pangeran lalu tersenyum dan berkata kepada Kian Bu,
"Sicu, perkenalkanlah, inilah dia Saudara Mohinta, panglima muda dari Bhutan yang bertanggung jawab atas keselamatan Puteri Syanti Dewi. Lebih baik dialah yang menjawab permintaanmu tadi, karena dia lebih berhak."
Mohinta lalu melangkah maju menghadapi Kian Bu yang memandang kepadanya dengan penuh perhatian.
"Siluman Kecil, tahukah engkau siapa adanya nama yang kau sebutkan tadi?"
Tanya Mohinta dengan marah.
"Syanti Dewi? Dia adalah Puteri Bhutan...."
Jawab Kian Bu.
"Nah, dia adalah Puteri Bhutan dan junjungan kami! Pada saat ini, akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Puteri. Beliau berada di sini sebagai tamu agung, bagaimana engkau berani menuduh yang bukan-bukan? Hak apakah yang ada padamu untuk menguruskan diri beliau?"
Tentu saja Kian Bu merasa terdesak. Kalau benar orang ini adalah tokoh Bhutan, tentu saja dia tidak berhak mencampuri. Akan tetapi, dia tentu saja tidak mau mengalah secara mudah.
"Aku adalah seorang sahabat baiknya. Bukan aku tidak percaya, akan tetapi aku baru yakin akan kebenaran ucapanmu itu kalau aku sudah dapat berhadapan dan bicara dengan dia sendiri. Persilahkan dia keluar dan bicara sendiri denganku."
"Keparat! Kau kira dia wanita macam apa, mudah saja diajak bicara oleh segala macam orang sepertimu?"
Mohinta mendamprat dan dia sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya untuk menghantam muka Siluman Kecil. Pemuda rambut putih ini diam saja, sama sekali tidak mengelak, akan tetapi ketika kepalan tangan Mohinta sudah dekat sekali dengan mukanya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis.
"Krekkk!" "Aughhh....!"
Mohinta terpelanting dan memegangi lengan kanannya yang patah tulangnya! Para pembantunya maju dengan senjata terhunus, akan tetapi Pangeran Liong Bian Cu yang tersenyum menyaksikan semua itu mengangkat tangan membentak mereka agar mundur.
"Aku tahu orang macam apa adanya Puteri Syanti Dewi. Dia seorang wanita yang bijaksana agung dan berbudi mulia, tidak seperti engkau manusia rendah yang sombong!"
Kian Bu membentak ke arah Mohinta yang sudah dibantu orang-orangnya untuk bangkit berdiri.
"Mengingat bahwa engkau adalah orang Bhutan, maka aku memandang nama Puteri Syanti Dewi mengampuni nyawamu."
Gerakan Kian Bu tadi cepat bukan main, akan tetapi tidak mengejutkan para tokoh yang hadir karena mereka semua tahu bahwa kepandaian Mohinta masih jauh terlalu rendah untuk menyerang seorang tokoh seperti Siluman Kecil. Pangeran Liong Bian Cu tertawa lagi.
"Hebat sepak terjangmu, Sicu. Akan tetapi harus kau ketahui bahwa urusan Puteri Bhutan tentu saja kita harus tunduk kepada peraturan Bhutan dan di sini, yang berkuasa mengenai hal itu adalah Panglima Mohinta. Selain itu, apakah masih ada keperluan lain yang mendorong kedatanganmu ini?"
"Selain menuntut agar Syanti Dewi dibebaskan, juga aku menuntut agar keluarga Kao yang ditawan di sini, dibebaskan semua!"
Kembali semua orang terkejut. Alangkah beraninya pemuda ini! Akan tetapi sang pangeran tersenyum saja, lalu berkata tidak acuh,
"Engkau menduga yang bukan-bukan, Sicu. Puteri Syanti Dewi dari Bhutan merupakan tamu agung kami yang dikawal oleh Panglima Mohinta sendiri, sedangkan keluarga Kao juga merupakan keluarga yang menjadi tamu kami, bahkan minta perlindungan kami dari pengejaran pasuhan istana yang memusuhi mereka."
"Hemmm, aku tidak percaya! Biar aku menemui mereka dan bertanya sendiri!"
"Sikapmu terlalu keras dan engkau terlalu tidak mempercayai orang, Sicu. Persoalan keluarga Kao sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kao-goanswe, maka biarlah dia saja yang menghadapimu dan menjawabmu."
Begitu mendengar ucapan sang pangeran, Jenderal Kao yang tadinya menyelinap di antara para pasukan, kini melangkah maju dua tindak dan berkata, suaranya lantang akan tetapi matanya memandang kosong, tidak menatap wajah Kian Bu.
"Siluman Kecil, harap kau jangan mencampuri urusan kami sekeluarga Kao!"
Setelah berkata demikian, dia mundur lagi dan berdiri di antara para perajurit dengan muka menunduk, kelihatan berduka sekali. Kian Bu merasa heran bukan main.
Timbul keraguan apakah benar orang tua itu adalah jenderal gagah perkasa yang pernah dikenalnya itu? Ataukah hanya orang yang mirip mukanya? Sikapnya demikian aneh dan jelas bahwa orang itu bertindak bukan atas kemauan sendiri, melainkan terpaksa atau tertekan. Benar-benar hatinya merasa tidak puas sekali. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Betapapun juga, dia harus membe-narkan bahwa Puteri Bhutan tidak bisa dijumpakan kepada seorang laki-laki asing, dan dalam hal itu tentu saja Panglima Butan yang mengawalnya mempunyai hak penuh untuk menolak permintaannya. Mengenai keluarga Kao, kalau Jenderal Kao Liang sendiri sudah mengatakan demikian, dia dapat berbuat apakah? Dia merasa ragu-ragu, bingung, memandang ke kanan kiri seperti hendak menanya-kan pendapat orang lain, kemudian dia mengangkat kedua bahunya dan berkata,
"Ahhh.... kalau begitu, kehadiranku tidak dibutuhkan orang lagi. Biarlah aku pergi saja...."
Dia melangkah pergi, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu melangkah maju dan memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada.
"Sicu, setelah semua urusan beres, maka biarlah dalam kesempatan ini kami mengundang Sicu untuk duduk di dalam dan bercakap-cakap sebagai seorang tamu yang terhormat."
Kian Bu menahan langkah kakinya.
Tentu saja di dalam hatinya dia merasa tidak sudi untuk bersahabat dengan pangeran asing yang mungkin bersekutu dengan fihak pemberontak ini, akan tetapi dia teringat akan Syanti Dewi. Hatinya bimbang ragu, ingin dia bertemu dengan puteri itu dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa puteri itu selamat, mendengar dengan telinganya keterangan dari mulut puteri itu sendiri bahwa sang puteri tidak terancam bahaya. Kalau dia menerima undangan Pangeran Nepal ini, mungkin saja dia memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan Syanti Dewi, akan tetapi kalau dia memenuhi undangan itu, bukankah berarti bahwa dia telah menerima kebaikan dari seorang musuh negara? Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar suara nyaring bening,
"Tangkap dia....!"
"Eh, mau apa kau?"
Terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo. Kian Bu menoleh dan dia melihat seorang dara cantik jelita berpakaian sutera serba hitam, dipegangi lengan kirinya oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dara itu meronta dan menudingkan telunjuknya ke arah Kian Bu sambil berseru,
"Tangkap dia! Pangeran, dia adalah mata-mata kerajaan! Dia adalah Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti, dia masih cucu dari kaisar sendiri! Karena itu, dia tentulah mata-mata kerajaan, maka harus ditangkap!"
Kian Bu tertegun mengenal dara itu yang bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo. Mendengar seruan puterinya ini, Hek-tiauw Lo-mo juga menjadi girang dan melepaskan pegangan tangannya. Dia sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang golok gergaji di tangan kanan. Kini Kian Bu menggerakkan kepala sehingga rambut putihnya semua terbang ke belakang kepalanya dan mukanya yang tampan nampak. Hek-tiauw Lo-mo segera mengenal wajah ini dan dia pun terkejut. Kiranya putera Pendekar Super Sakti yang dikenal orang sebagai pendekar aneh yang berjuluk Siluman Kecil!
"Benar-benar dia putera Majikan Pulau Es!"
Teriaknya sambil menerjang ke depan.
"Tangkap mata-mata musuh!"
Mendengar ini, Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main. Kalau benar bahwa Siluman Kecil adalah putera Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, cucu kaisar sendiri, maka jelaslah bahwa kehadirannya ini berbahaya bukan main!
"Tangkap dia!"
Perintahnya sambil melangkah mundur ke tempat aman. Sementara itu, Hwee Li sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya, menghantam dada Kian Bu yang masih keheranan itu dengan tangan kanan. Pemuda ini tentu saja merasa amat heran melihat sikap Hwee Li.
Gadis ini jelas mencinta kakaknya dan ketika membantunya mencari obat, Hwee Li bersikap manis kepadanya. Kenapa sekarang gadis ini membuka rahasianya sehingga dia terancam bahaya? Dia cepat mengelak dan hendak balas mendorong, ketika dia mendengar bisikan gadis. itu,
".... kau tangkaplah aku....!"
"Wuuuttttt....!"
Dorongannya diperlemah, namun tetap saja tubuh Hwee Li terdorong ke belakang dan tentu akan terjengkang dan terbanting kalau saja dia tidak berjungkir-balik ke belakang dengan amat lincahnya. Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo telah menyerang Kian Bu dengan golok gergajinya dari depan, sedangkan dari kiri Hek-hwa Lo-kwi telah menyerangnya dengan tangannya yang kini berubah hitam sampai ke siku, tanda bahwa tangan itu mengerahkan tenaga mujijat yang mengandung racun berbahaya sekali.
Namun Kian Bu cepat bergerak dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini, dengan mudahnya dia dapat menghindarkan diri dari dua serangan maut itu. Akan tetapi, ke manapun dia meloncat, dia selalu dipapaki serangan dari semua orang yang telah mengepungnya. Di sebelah dalam kepungan itu, dia dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda, Hwee Li, Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hai-liong-ong Ciok Gu To, tokoh-tokoh Kui-liong-pang dan para pembantu Mohinta, sedangkan di sebelah luarnya dia dikepung oleh puluhan orang anak buah pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang! Dengan demikian, betapapun dia melesat ke sana-sini, tetap saja dia tidak mampu lolos dari kepungan itu. Akan tetapi, yang membuat Kian Bu makin bingung dan ragu adalah sikap Hwee Li dan bisikan dara itu tadi!
Dia tidak mengerti dan menjadi ragu-ragu apalagi melihat betapa dara itu terus mendesaknya, bahkan menjadi penyerang terdepan seolah-olah dara itu amat benci kepadanya dan hendak mengadu nyawa! Akan tetapi, tentu saja dia tidak tega melukainya, maka gerakan Kian Bu menjadi kurang gesit dan ketika akhirnya dia berhasil merobohkan lima enam orang pengeroyoknya, tiba-tiba sinar hitam yang amat lebar menimpanya dan tahu-tahu dia telah tertangkap oleh jala hitam tipis yang dilepas oleh Hek-tiauw Lo-mo. Kian Bu meronta, namun jala itu memang aneh sekali sifatnya. Amat lemas dan halus tipis sekali sehingga dapat dikepal dalam genggaman tangan, akan tetapi uletnya melebihi baja dan mempunyai sifat mengkerut sehingga kalau yang terperangkap itu meronta, malah makin ketat melibat! Tiba-tiba Hwee Li menubruknya.
"Mampuslah kau, mata-mata hina-dina!"
Bentaknya dan kini semua orang pengepung berteriak-teriak girang melihat pemuda itu telah tertawan. Dan di antara bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan ini, Kian Bu mendengar suara Hwee Li yang halus sekali,
".... tolol, cepat tangkap aku, jadikan sandera....!"
Kini mengertilah pendekar muda yang sakti itu. Kiranya sejak tadi Hwee Li menunjukkan jalan keluar yang amat cerdik. Akan tetapi apa gunanya menangkap Hwee Li? Bukankah gadis itu sendiri agaknya tidak leluasa bergerak, buktinya tadi dicurigai ayahnya sendiri dan ditangkap lengannya? Dalam keadaan yang berbahaya itu, dia tidak mau banyak membantah, ketika melihat Hwee Li menghantam ke arah kepalanya dengan kepalan tangan kanan, menghantam sekuatnya, dia sengaja menerimanya dengan bahunya.
"Desss....!"
Tubuh Kian Bu terguling-guling di dalam gulungan jala itu.
"Ha-ha-ha, bagus Hwee Li anakku, bagus! Hantam dia sampai mampus!"
Hek-tiauw Lo-mo tertawa sambil memegangi ujung tali jala. Tadinya Hwee Li terkejut melihat betapa Kian Bu sengaja menerima hantamannya dengan bahu, akan tetapi dara ini memang cerdik sekali, maka dia segera mengerti akan maksud Kian Bu. Pemuda itu membiarkan dirinya terpukul agar tidak ada orang yang akan mencurigainya nanti. Maka cepat dia menubruk dan memukul lagi. Benar saja dugaannya, sekali ini Kian Bu mengulur tangannya dan menangkap pergelangan tangannya, terus secepat kilat jari tangan pemuda itu menotok jalan darah thian-hu-hiat dan seketika dia menjadi lemas.
"Ayah...., tolong...."
Hwee Li berteriak lirih dengan tubuh lemas dan lengannya masih dipegang oleh Kian Bu.
"Keparat, lepaskan anakku!"
Hek-tiauw Lo-mo mendekati dengan golok gergaji di tangan, juga Hek-hwa Lo-kwi dan lain-lain tokoh yang berkumpul di situ melangkah maju.
"Berhenti! Mundur semua atau gadis ini akan kubunuh lebih dulu!"
Kian Bu menghardik dan jari tangannya telah terjulur keluar dari celah-celah jala itu, menempel di tengkuk Hwee Li. Hek-tiauw Lo-mo dan semua orang terkejut, maklum bahwa sekali menggerakkan jari tangannya, pemuda itu memang akan dapat menewaskan Hwee Li tanpa ada yang akan sanggup menolongnya karena jari tangan itu telah menempel di jalan darah yang mematikan. Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia laiu menerjang maju dengan goloknya.
"Keparat! Kalau engkau berani membunuh anakku, maka aku akan menyiksamu dan akan mencincang tubuhmu!"
Agaknya dia tidak peduli akan ancaman terhadap anaknya itu dan masih hendak melanjutkan serangannya. Tentu saja Kian Bu menjadi bingung sekali dan mulai menyesal akan akal yang digunakan oleh Hwee Li, yang ternyata, seperti telah disangsikannya tadi, telah gagal. Orang macam Hek-tiauw Lo-mo yang berwatak seperti iblis itu mana mempunyai rasa sayang kepada anak sendiri? Dia sudah berniat melepaskan Hwee Li dan sedapat mungkin mempertahankan nyawanya ketika tiba-tiba terdengar seruan berwibawa.
"Locianpwe, tahan dulu!"
Hek-tiauw Lo-mo menahan gerakan goloknya dan melangkah mundur. Baru teringat dia bahwa hampir saja dia membahayakan nyawa anaknya. Dia sendiri memang tidak peduli apakah Hwee Li akan mati atau hidup, akan tetapi dia lupa bahwa tentu saja ada orang yang amat mempedulikan hal itu, dan orang ini tentu saja adalah Pangeran Liong Bian Cu yang amat mencinta Hwee Li! Kini pangeran itu muncul dan memandang kepada Kian Bu yang masih tertawan dalam jala dan yang memegang lengan Hwee Li yang tertotok lemas dan menempelkan jari tangannya di tengkuk dara itu. Dia memandang penuh kekhawatiran, lalu berkata dengan gagap,
"Suma-sicu, harap kau suka melepaskan dia."
Hwee Li menoleh ke arah pangeran itu dan berkata lirih,
"Lekas...., lekas.... Pangeran.... kenapa kau tidak cepat menolong tunanganmu ini....? Lekas.... ahhhhh...."
Mengertilah kini Kian Bu. Kiranya Hwee Li adalah tunangan pangeran berhidung betet ini! Hatinya menjadi girang. Memang Hwee Li merupakan seorang sandera yang amat berharga. Akan tetapi di samping kegirangan hatinya, juga timbul keheranan. Kalau Hwee Li menjadi tunangan pangeran itu, mengapa Hwee Li bersikap begini dan agaknya hendak menolongnya? Dia tidak mengerti, akan tetapi dia pun tidak mau banyak pusing menikirkan hal itu.
"Mudah saja melepaskan dia, Pangeran, akan tetapi aku pun berhak minta dibebaskan pula,"
Katanya.
"Tentu saja! Kau lepaskanlah tunanganku itu, dan kami akan membebaskanmu."
"Hemmm, kedudukan kalian adalah jauh lebih kuat, maka sepatutnyalah kalau aku yang lebih dulu minta dibebaskan, baru kemudian aku akan membebaskan Nona ini."
"Kau.... kau tidak percaya kepada omonganku?"
Pangeran Liong Bian Cu membentak marah, akan tetapi dia lalu menarik napas panjang, dan berkata kepada Hek-tiauw Lo-mo,
"Locianpwe, harap kau suka melepaskan jalamu itu dan biarkan dia bebas."
Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut, memandang kepada Kian Bu dengan mata lebar dan melotot penuh kemarahan, akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan beberapa kali gerakan, jala yang menyelimuti tubuh Kian Bu itu ditariknya terlepas. Memang jala itu merupakan senjata yang amat aneh, tali pengikatnya berada di tangan kakek ini maka dia dapat menggerakkan jala itu sesuka hatinya. Kian Bu bangkit berdiri dan masih memegang pergelangan tangan Hwee Li. Dia mengangguk kepada pangeran itu dan berkata,
"Biarlah sekarang aku pergi saja dan nanti setelah tiba di luar daerah ini aku pasti akan membebaskan tunanganmu ini, Pangeran."
Tanpa menanti jawaban, Kian Bu lalu memondong tubuh Hwee Li, kemudian meloncat dengan kecepatan seperti terbang saja keluar dari tempat itu. Hek-tiauw Lo-mo bergerak hendak mengejar, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi, akan tetapi pangeran itu mengangkat tangan mencegah mereka, lalu berkata lirih,
"Jangan ceroboh, Adinda Hwee Li berada dalam kekuasaannya!"
"Ah, tapi siluman itu! Bagaimana kalau dia tidak membebas-kan Hwee Li?"
Hek-tiauw Lo-mo berkata dengan alis berkerut.
"Kita harus membayangi dia!"
Hek-hwa Lo-kwi juga mengangguk-angguk. Sang pangeran menjadi bingung, dia berjalan hilir-mudik dengan kedua tangan di belakang pinggulnya, wajahnya agak pucat. Dia amat mencinta Hwee Li dan kini kekasihnya itu terancam bahaya tanpa dia berani mengerahkan orang--orangnya karena kekasihnya itu berada dalam ancaman seorang musuh yang amat lihai.
"Kenapa tidak menggunakan garuda saja....?"
Tiba-tiba Gitananda berkata.
"Ah, benar! Hanya dengan cara itu Ji-wi Locianpwe dapat membayanginya dan menjaga keselamatan Adinda Hwee Li!"
Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan wajahnya berseri.
"Kenapa aku melupakan garuda itu?"
Dia mencela diri sendiri.
"Lo-kwi, hayo kau bantu aku menghadapi Siluman Kecil!"
Hek-hwa Lo-kwi sejak dahulu memang selalu tidak mau mengalah terhadap Hek-tiauw Lo-mo, maka kini mendengar ajakan itu, dia membuang muka.
"Urusan anakmu sendiri, kenapa kau hendak merepotkan orang lain? Katakan saja engkau tidak berani menghadapi siluman itu sendirian saja!"
"Siapa tidak berani? Biar ditambah engkau sekalipun, aku tidak takut!"
Hek-tiauw Lo-mo menghardik. Melihat dua orang pembantunya yang kukoai (aneh wataknya) itu mulai cekcok sendiri, Pangeran Liong Bian Cu cepat berkata,
"Harap Hek-hwa locianpwe suka membantu Hek-tiauw Locianpwe menyelamatkan Adinda Hwee Li."
Barulah dua orang kakek iblis itu tidak berani banyak ribut lagi dan tak lama kemudian mereka telah menunggang di atas punggung burung garuda besar itu yang mulai mengibaskan sayapnya dan terbang ke atas, memasuki udara yang gelap. Pangeran Liong Bian Cu lalu memerintahkan kakek Gitananda untuk memimpin sepasukan pengawal melakukan pengejaran jalan darat, dan Jenderal Kao mendapat tugas menjaga benteng dengan ketat agar jangan sampai dapat diselundupi musuh lagi. Dengan pengerahan tenaga dan kepandaiannya, bagaikan terbang cepatnya Kian Bu melarikan diri keluar dari benteng melalui pintu gerbang tanpa ada yang mencoba untuk menghalanginya.
Para penjaganya yang sudah menerima perintah itu hanya memandang dengan bengong melihat pemuda itu berlari cepat memondong tubuh dara tunangan pangeran itu keluar dari pintu gerbang dan menghilang di dalam gelap. Hwee Li sendiri memejamkan mata karena ngeri. Dia sudah biasa menunggang garuda yang terbang tinggi di angkasa dan juga cepat sekali, akan tetapi kini berada dalam pondongan pemuda rambut putih ini yang berlari tidak lumrah cepatnya, dia merasa ngeri juga. Setelah jauh meninggalkan lembah itu dan tiba di padang rumput yang sunyi, yang diterangi oleh sinar bulan sepotong dan dibantu oleh bintang-bintang di langit, barulah Kian Bu membebaskan totokan yang membuat tubuh Hwee Li lemas tadi, dan menurunkannya dari pondongan. Kemudian dia menjura kepada dara itu sambil berkata,
"Nona, sekali lagi engkau telah menolongku, kalau dulu engkau menolongku mencarikan obat untuk kakakku, kini engkau malah menolong aku dan membebaskan aku dari cengkeraman maut. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas budimu yang besar itu."
"Siapa berterima kasih kepada siapa? Akulah yang harus berterima kasih kepadamu,"
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Hwee Li.
"Tidak, engkau yang telah melepas budi besar kepadaku, Nona, dua kali malah, dan yang terakhir ini sungguh engkau telah menyelamatkan aku dari cengkeraman maut. Aku berhutang nyawa kepadamu."
"Hi-hik, berhutang nyawa? Lalu kapan kau akan membayar hutangmu itu?"
Kian Bu gelagapan, akan tetapi memang pada dasarnya dia adalah seorang pemuda yang berwatak gembira, maka kini bertemu dengan seorang dara lincah seperti Hwee Li, kumat kembali wataknya itu.
"Ah, biarlah aku akan selalu membayangimu dan menanti saat balk. Kalau engkau terancam bahaya maut, aku akan menolongmu sehingga dengan demikian aku akan dapat membayar hu-tangmu itu."
"Hemmm...."
Hwee Li lalu duduk di atas rumput. Indah sekali suasana di padang rumput itu. Angin malam semilir menggerakkan ujung-ujung rumput yang seperti air laut sedang bergelombang lembut. Bau sedap harum rumput bercampur tanah mendatangkan rasa nyaman dan membuat orang ingin menarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya. Sinar bulan lembut menyentuh mesra. Semuanya nampak serba lembut, tidak ada kekerasan yang terbawa dalam sinar matahari siang.
"Kau benar-benar ingin membalas budi kepadaku?"
"Benar! Sungguh, Nona, hanya aku tidak tahu dengan cara bagaimana aku harus membalas kebaikan hatimu dan budi yang telah berkali-kali kaulepaskan kepadaku itu."
"Kalau ada sebuah permintaanku, benar engkau mau memenuhinya?"
"Benar, pasti akan kupenuhi permintaanmu itu, asal dapat membalas budimu dengan itu."
"Nah, mulai sekarang, jangan lagi menyebut nona kepadaku."
"Ehhh....?"
Kian Bu melongo. Masa hanya sedemikian sederhana permintaannya? Dan apa maksudnya? Apakah dia harus menyebut namanya saja? Namanya Hwee Li, nama yang indah dan enak diucapakan.
"Lalu.... menyebut apa?"
Tanyanya, ragu.
"Kau harus menyebut aku enci (kakak perempuan)."
"Hehhh....? Tapi.... tapi aku lebih tua daripada engkau....! Usiaku sudah dua puluh tahun lebih, dan engkau paling banyak delapan belas...."
"Tujuh belas!"
Potong Hwee Li dengan cepat.
"Nah, baru tujuh belas malah!"
"Hemmm, baru permintaan sedemikian saja engkau sudah banyak cerewet. Katakan saja engkau tidak mau! Apalagi untuk membayar hutang nyawa segala....!"
Hwee Li bersungut-sungut dan memalingkan muka dari pemuda itu.
"Ah, tentu saja aku mau. Enci Hwee Li, jangan marah. Aku akan menyebutmu enci, cici, kakak ataukah enso (kakak ipar)....?"
"Ihhh! Tak tahu malu!"
Hwee Li membentak dan mukanya berubah merah sekali, akan tetapi karena sinar bulan juga mengandung warna kemerahan, maka perubahan warna muka ini tidak dapat kentara. Sebaliknya, Kian Bu termenung dan hatinya terharu, dia tidak mau menggoda lagi. Jelaslah bahwa permintaan dara ini membuktikan bahwa dara ini benar-benar mencinta kakaknya! Dia merasa girang dan terharu. Ah, derita batin kakaknya tentu akan terobati kalau kakaknya memperoleh dara cantik jelita dan lincah jenaka ini sebagai kekasih dan calon isteri!
"Maafkan aku, Enci Hwee Li, aku berjanji tidak akan menyebutmu so-so lagi...."
Hwee Li menoleh dan matanya yang indah itu melotot.
"Berjanji tidak akan menyebut akan tetapi terus-menerus mengulang! Kau menantang, ya?"
"Eh, oh.... tidak...., maafkan. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti apa yang kaumaksudkan ketika mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih kepadaku. Engkau sudah berkali-kali menolongku, kalau sekarang mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih, bukankah itu artinya mengejekku?"
"Huh, kau tidak tahu. Apakah kau kira aku begitu ceroboh dan usil untuk mempertaruhkan nyawaku menolongmu kalau hal itu tidak penting bagiku?"
"Maksudmu....?" "Bukan aku yang menolongmu, melainkan engkaulah yang telah membebaskan aku dari kurungan benteng itu. Aku adalah seorang tawanan pula di sana, mengertikah engkau?"
Tentu saja Kian Bu menjadi terkejut bukan main. Tadi dia mendengar bahwa dara jelita ini adalah tunangan dari Pangeran Nepal itu, dan sekarang mengaku sebagai tawanan.
"Tawanan? Bukankah ayahmu juga berada di sana? Kalau Hek-tiauw Lo-mo menjadi pembantu pangeran itu, mana mungkin engkau menjadi tawanan?"
"Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahku, melainkan musuh besarku!"
"Ehhhhh....?"
Kan Bu memandang dengan mata terbelalak.
"Dia.... dia bahkan musuh yang telah membunuh ibuku...."
Hwee Li menunduk, hatinya berduka teringat akan riwayatnya itu.
"Ahhh....! Kalau begitu kionghi (selamat) kepadamu, Enci!"
Dan Kian Bu benar-benar telah bangkit berdiri dan memberi selamat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk di depan dara itu. Hwee Li meloncat berdiri.
"Engkau.... engkau manusia kejam! Engkau siluman liar!"
Dan tiba-tiba dara itu telah menerjang dan menyerang Kian Bu dengan hebatnya! Begitu menyerang, tangannya meluncur menotok ke arah jalan darah di leher Kian Bu, sedangkan kakinya yang kecil itu cepat sekali menyusul dengan tendangan yang juga merupakan totokan dengan ujung sepatu mengarah lambung!
"Eh.... plakkk! Ohhh.... plekkk!"
Kian Bu terhuyung-huyung ke belakang karena dia menangkis tanpa mengerahkan sinkangnya sehingga dia terdorong oleh tenaga totokan dan tendangan itu. Dengan penasaran dan marah karena serangannya yang tiba-tiba dan amat cepat itu dapat ditangkis, bahkan tangan dan kakinya terasa nyeri, Hwee Li telah menerjang lagi, seperti seekor naga mengamuk saja. Namun sekali ini Kian Bu telah siap, dan dengan mudah pemuda ini terus-menerus mengelak.
"Eh, nanti dulu.... wah, Enci.... eh, Ciciku yang baik.... tahan dulu....!"
Melihat Hwee Li terus menyerang, tiba-tiba tubuh Kian Bu melesat jauh dan lenyap! Hwee Li termangu-mangu, dan merasa heran, lalu bersungut-sungut,
"Tak tahu aturan, adik macam apa dia itu! Orang menceritakan ibunya dibunuh orang malah memberi selamat!"
"Wah, engkau salah sangka, Enci Hwee Li...."
Tiba-tiba Hwee Li membalikkan tubuhnya dan kiranya pemuda berambut putih itu telah berdiri di belakangnya! Kian Bu cepat mengangkat kedua tangan ke atas, tanda takluk dan tergesa-gesa menyambung ucapannya sebelum dara yang galak itu sampai menyerangnya lagi,
"Dengarkan dulu! Aku memberi selamat kepadamu bukan untuk itu, melainkan mendengar bahwa engkau bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo! Sejak dahulu pun aku sudah tidak percaya, masa iblis jelek menakutkan macam Hek-tiauw Lomo bisa mempunyai seorang anak yang cantik molek dan manis jelita seperti engkau...."
"Wah, engkau memang seorang adik yang bejat moralnya!"
"Lhoh, kenapa lagi?"
"Engkau memuji-muji kecantikan cicimu, hemmm, ada maksud kotor apa di dalam hatimu?"
Kian Bu tersenyum.
"Aihhh, segala yang kuucapkan ternyata kau anggap salah saja. Sudahlah aku minta maaf. Aku tadi memberi selamat saking girang hatiku mendengar bahwa engkau bukanlah puteri Hek-tiauw Lo-mo, maka aku memberi selamat dan saking girang hatiku sampai aku tadi lupa bahwa ibumu telah terbunuh oleh iblis itu! Hemmm, jangan khawatir, aku akan membantumu membalaskan dendam orang tuamu itu, Enci Hwee Li. Lalu...., siapakah orang tuamu, kalau aku boleh bertanya?"
Akan tetapi Hwee Li sudah duduk lagi dan tidak menjawab, hanya menunduk.
Keadaan menjadi sunyi, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kian Bu memang merasa girang, karena kalau dara ini bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo, berarti dara ini makin pantas menjadi jodoh kakaknya. Betapapun cantiknya dan baiknya, kalau dia ini puteri Hek-tiauw Lo-mo, wah, agak sukar juga karena setidaknya, orang tua mereka di Pulau Es tentu tidak akan sudi berbesan dengan iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, melihat Hwee Li tidak menjawab pertanyaannya tentang orang tuanya, dia pun tidak berani mendesak, karena dia mengira bahwa tentu dara itu masih merasa berduka atas kematian orang tuanya di tangan Hek-tiauw Lo-mo. Di lain fihak, Hwee Li juga tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Dia menyuruh Kian Bu menyebutnya enci karena memang dia merasa bahwa pemuda ini adalah adik Kian Lee, maka sudah sepantasnya menyebut enci, bukan enso (kakak ipar) karena memang belum waktunya! Dan kini, sukar baginya untuk mengaku bahwa dia adalah keturunan mendiang Kim Bouw Sin, panglima di perbatasan yang pernah menjadi pemberontak itu! Bagaimanakah keluarga Suma akan memandangnya kalau mereka mendengar bahwa dia adalah keturunan pemberontak Kim Bouw Sin? Padahal, dia tahu bahwa keluarga Pulau Es adalah keluarga pahlawan, bahkan ibu Kian Bu Siluman Kecil ini adalah seorang puteri istana kaisar! Maka, dia tidak berani mengaku di depan Kian Bu siapa adanya orang tuanya yang sesungguhnya. Melihat Hwee Li menunduk seperti orang berduka itu, Kian Bu mengira bahwa dara itu teringat akan orang tuanya, maka dia lalu mengalihkan percakapan.
"Enci Hwee Li, jadi engkau telah ditahan secara paksa di dalam benteng itu? Akan tetapi aku mendengar bahwa engkau.. eh, engkau adalah tunangan pangeran itu!"
"Tidak sudi! Dia memaksa aku menjadi tunangannya, dia dan iblis tua bangka itu dan para pembantunya. Akan tetapi, siapa sudi menjadi isterinya?"
"Eh, kenapa? Bukankah pangeran itu gagah dan tampan, seorang pangeran kerajaan pula?"
"Tampan? Dia me.... memuakkan....!"
Hwee Li teringat betapa dia pernah diciumi oleh pangeran itu dalam keadaan tak dapat menghindar.
"Terutama.... hidungnya! Dan matanya! Seperti burung hantu.... ihhh, menjijikkan!"
Dan Hwee Li meludah karena dia teringat akan ciuman-ciuman dahulu itu.
Kian Bu tidak mau mengukur isi hati dara itu lagi. Hatinya girang karena selain dara ini ternyata bukan puteri dari iblis Pulau Neraka itu, juga ternyata Hwee Li bukanlah tunangan pangeran dari Nepal itu, melainkan dipaksa sebagai tunangannya. Sekarang tahulah dia mengapa Hwee Li menolongnya. Memang benar pengakuan dara ini tadi bahwa Hwee Li bukan semata-mata menolongnya, melainkan juga hendak menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri dari dalam benteng. Dan memang perhitungan dara itu amat cerdik. Karena "membiarkan"
Dirinya ditawan dan dijadikan sandera oleh Kian Bu, maka biarpun tokoh-tokoh lain tidak peduli, namun pangeran itu ternyata merasa khawatir akan keselamatan tunangannya dan membiarkan Kian Bu lolos membawa Hwee Li.
"Kalau begitu, Enci Hwee Li, apakah engkau tidak akan kembali ke sana setelah berhasil lolos bersamaku?"
Akhirnya Kian Bu bertanya.
"Kembali ke sana? Apakah engkau gila? Terang aku tidak akan kembali ke sana, akan tetapi.... aku terpaksa harus kembali ke sana."
"Ehhh? Engkau memang aneh, Enci."
Kian Bu memandang heran.
"Setelah berhasil lolos, mengapa hendak kembali lagi ke sana? Katanya engkau membenci sang pangeran?"
"Hushhh, aku bukan hendak kembali untuk dia. Pertama-tama, aku harus berhasil membalaskan sakit hati ibuku terhadap ibliss tua bangka dari Pulau Neraka itu."
"Hemmm, tidak mudah! Dia lihai sekai!."
"Takut apa? Dengan adanya engkau di sampingku yang membantuku, apakah kau kira aku tidak mampu membekuk batang lehernya?"
"Aku....? Ah, akan tetapi.... belum tentu aku akan kembali ke sana."
Hwee Li meloncat bangun, berdiri dan menghadapi Kian Bu dengan kedua tangan menekan pinggangnya yang ramping. Dia membanting kaki kanannya dua kali, tanda bahwa dia merasa kesal dan marah.
"Engkau ini seorang adik macam apa? Engkau harus kembali ke sana bersamaku, membantu aku!"
Terlalu sekali bocah ini, pikirnya. Belum apa-apa saja lagaknya sudah begini memerintah dan memaksa. Bagalmana kalau kelak benar-benar menjadi kakak iparku? Wah, kakaknya, Kian Lee harus bekerja keras untuk menundukkan si liar ini!
"Bagaimana kalau aku tidak.... sanggup?"
Dia tidak jadi mengatakan tidak mau, khawatir nona itu akah marah-marah dan menyerangnya lagi seperti tadi. Betapapun juga, dia tidak dapat lupa bahwa nona ini pernah menyelamatkan nyawa kakaknya ketika menolongnya mencarikan jamur mujijat itu, kemudian telah menyelamatkan nyawanya sendiri ketika dia tertawan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu tadi.
"Engkau harus sanggup dan engkau harus mau!"
Jawab Hwee Li.
"Tanpa kuminta sekalipun engkau pasti akan kembali ke sana!"
"Eh, bagaimana engkau begitu pasti, Enci....?"
Kian Bu terheran.
"Karena ketahuilah bahwa keluarga Jenderal Kao Liang juga menjadi tawanan di tempat itu. Dia sendiri, isterinya, puteranya, cucu-cucunya dan keluarganya. Aku tahu bahwa engkau tentu akan mencoba untuk menolong mereka."
Kian Bu menunduk dan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa kecewa sekali kalau dia mengingat akan jenderal yang dulu amat dikagumi dan dihormatinya itu. Masih berkumandang di telinganya betapa jenderal itu sendiri menolak ketika dia menuntut pembebasan keluarga jenderal itu, apalagi melihat kenyataan kemudian betapa jenderal itu benar-benar telah menjadi pembantu pangeran dari Nepal, seorang musuh negara! Maka dia menggeleng kepalanya.
"Tidak, aku tidak akan mencampuri urusan Jenderal Kao...."
"Akan tetapi dia melakukan semua itu karena terpaksa, Kian Bu!"
Hwee Li berkata dan kini dia telah duduk kembali.
"Jangan kau mengira bahwa Jenderal Kao telah menjadi seorang pengkhianat! Keluarganya ditawan dan semua diancam akan disiksa di depan matanya kalau dia tidak menurut, kalau dia tidak mau membangun benteng itu."
"Huh, laki-laki macam apa itu? Seorang gagah tidak akan mementingkan diri sendiri dan keluarganya. Untuk menyelamatkan keluarga lalu menjual diri kepada musuh negara hanya dapat dilakukan oleh orang yang lemah dan pengecut."
"Akan tetapi dia tidak berkhianat! Dia hanya berjanji untuk membangun benteng dan memimpin pertahanan di benteng itu, dia tidak berjanji untuk menyerang kerajaan. Dia terpaksa, Kian Bu, siapa orangnya yang dapat bertahan melihat keluarganya terancam bahaya maut dan siksaan? Selain itu, di sana masih ada seorang lain yang ditahan dan yang pasti akan kau coba selamatkan. Dia adalah Bibi Syanti Dewi!"
"Bibi....? Kau menyebutnya bibi?"
Kian Bu bertanya heran.
"Tentu saja! Habis disuruh menyebut apa?"
"Dia usianya tidak berselisih banyak denganmu."
"Dasar kau yang tolol! Apakah sebutan orang itu tergantung dari usianya? Andaikata dia lebih muda daripada aku sekalipun, tetap saja aku menyebut bibi kepadanya. Dia adalah kakak angkat dari guruku, habis suruh aku menyebut apa kepadanya?"
Kian Bu makin terheran dan juga bingung. Bocah ini adalah murid dari Ceng Ceng, dan Ceng Ceng adalah seorang keponakannya, puteri dari mendiang kakak tirinya! Ceng Ceng sendiri menyebut paman kepadanya, jadi semestinya Hwee Li yang menjadi murid Ceng Ceng ini harus menyebutnya susiok-kong (paman kakek guru)! Akan tetapi, malah dia diharuskan menyebut enci kepada dara ini yang masih terhitung murid cucu keponakannya! Dan bagaimana kalau kakaknya sampai berjodoh dengan dara ini? Bukankah hal itu berarti menikah dengan cucu keponakan sendiri? Dan anak mereka kelak? Bukankah anak itu masih cucu buyut keponakan? Wah, dia menjadi bingung sendiri. Persetan segala macam sebutan-sebutan itu!
"Bagaimana, Kian Bu. Engkau tentu akan menyelamatkannya, bukan? Tadi engkau mati-matian datang seorang diri memasuki benteng untuk menolong Bibi Syanti...."
Kian Bu menggeleng kepala.
(Lanjut ke Jilid 36)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 36
"Sekarang tidak perlu lagi. Dia adalah Puteri Bhutan, dan di sana terdapat Panglima Bhutan yang tentu saja berhak untuk melindunginya. Dan kalau dia berada di sana sebagai tamu...."
"Wah, engkau ini berjuluk Siluman Kecil, namamu menggemparkan seluruh dunia, eh, kiranya hanya seorang bocah yang bodoh belaka! Siapa bilang Bibi Syanti menjadi tamu? Dia pun diculik oleh kakek Gitananda dan menjadi tawanan di sana. Memang si Mohinta yang tak tahu malu itu tadinya hendak minta dibebaskannya Bibi Syanti Dewi, akan tetapi pengkhianat hina-dina itu malah bersekutu dengan pangeran blo"on itu...."
"Eh, kok ada pangeran blo'on segala?"
"Maksudku, pangeran hidung kakatua itu. Mohinta bersekutu, menjadi kaki tangan Pangeran Nepal dan mereka berjanji untuk mengguna-kan Bibi Syanti sebagai sandera untuk menundukkan Kerajaan Bhutan! Dan kelak Mohinta dijanjikan akan dikawinkan dengan Bibi Syanti Dewi.... Coba, apa kau rela?"
"Ahhh....!"
Kian Bu meloncat berdiri dan mengepal tinjunya, mukanya menjadi merah sekali tanda bahwa Siluman Kecil ini marah bukan main. Mereka berani mempermainkan Syanti Dewi? Berarti harus berhadapan dengan dia! Melihat pemuda itu termenung dan mengepal tinju, kelihatan marah sekali, Hwee Li memandangnya dan tiba-tiba sepasang matanya memandang sayu.
"Kian Bu.... dia.... dia.... Bibi Syanti Dewi...."
Dia tidak melanjutkan kata-katanya ketika Kian Bu cepat menoleh kepadanya, lalu menunduk. Ketika berada di dalam benteng, antara dia dan Syanti Dewi terdapat hubungan yang amat akrab dan di dalam percakapan yang penuh kepercayaan, Syanti Dewi pernah menceritakan semua pengalamannya, betapa Kian Bu menderita karena terpaksa ditolak cintanya dan betapa puteri itu merasa kasihan dan berdosa terhadap pemuda Pulau Es yang amat baik itu, betapa sang puteri tidak dapat membalas cintanya karena sang puteri telah mencinta orang lain! Ketika Hwee Li bertanya siapa adanya orang lain itu, sang puteri tidak mau menjelaskan. Kini Hwee Li melihat sendiri betapa Kian Bu masih mencinta puteri yang menolak cintanya itu, dan dia merasa kasihan, tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
"Dia kenapa....?"
Kian Bu mendesak bertanya, suaranya agak gemetar.
"Dia.... harus ditolong, kalau tidak, bukan hanya Bibi Syanti Dewi yang akan celaka, dipaksa menikah dengan Mohinta itu, bahkan kerajaan ayahnya tentu akan celaka akibat pemberontakan Mohinta yang dibantu oleh Pangeran Nepal."
"Ha-ha-ha-ha, lihat Lo-mo, anakmu itu sungguh tak tahu malu!"
Tiba-tiba terdengar suara orang dari atas. Kian Bu cepat memandang ke atas, demikian pula Hwee Li dan di langit yang sudah mulai remang-remang menanti datangnya fajar itu nampak seekor burung garuda besar yang ditunggangi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi!
"Tutup mulutmu yang berbau busuk, Lo-kwi, atau kugampar kau sampai jatuh ke bawah!"
Hek-tiauw Lo-mo membentak. Burung garuda itu menukik turun dan dengan cepat dua orang kakek itu sudah meloncat ke atas tanah di depan Kian Bu, sedangkan garuda itu sudah terbang lagi ke atas.
"Hemmm, begini sajakah Siluman Kecil yang terkenal hebat itu?"
Hek-hwa Lo-kwi mengejek sambil menghadapi Kian Bu.
"Ternyata, hanya seorang hina yang tidak dapat memegang janjinya sendiri!"
"Huh, manusia dari Pulau Es mana bisa dipercaya omongannya?"
Hek-tiauw Lo-mo menyambung sambil menyeringai penuh kebencian. Bagi bekas tokoh Pulau Neraka ini, segala yang berbau Pulau Es amat dibencinya. Dan biarpun dia tahu bahwa putera Pendekar Super Sakti ini memiliki kepandaian hebat, bahkan telah berjuluk Siluman Kecil yang menggemparkan namanya di sepanjang lembah Huang-ho, namun dia tidak merasa takut. Pernah dia menyaksikan kepandaian pemuda ini ketika jaman pemberontakan dua orang Pangeran Liong beberapa tahun yang lalu dan dia merasa masih sanggup menandinginya. Apalagi kini ada Hek-hwa Lo-kwi yang membantunya. Tentu saja dia belum tahu tentang kemajuan Kian Bu yang telah memperoleh ilmu mujijat itu.
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua ekor anjing tua bangka tak tahu malu!"
Tiba-tiba Hwee Li membentak sehingga Kian Bu merasa tidak enak sendiri. Bocah ini memaki ayahnya dengan sebutan anjing tua bangka tak tahu malu. Biarpun Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya sendiri, biarpun mungkin saja telah membunuh orang tua Hwee Li, namun harus diakui bahwa semenjak kecil Hwee Li dirawat dan dididiknya, maka makian itu sungguh terlalu kasar dan tidak enak didengar.
"Kalian jangan menuduh orang sembarangan saja, ya? Orang gagah seperti dia ini mana bisa disamakan dengan raksasa-raksasa biadab macam kalian yang mengingkari janji dan bersikap khianat? Dia telah memegang janjinya, dia telah membebaskan aku seperti yang dijanjikan kepada pangeran brengsek itu! Hanya akulah yang tidak mau kembali ke sana. Tahukah kalian?"
Dasar Hek-tiauw Lo-mo memang seorang kasar yang sama sekali tidak mempunyai perasaan halus, maka makian-makian yang dilontarkan oleh mulut Hwee Li kepadanya itu sama sekali tidak membekas. Dia hanya tertawa bergelak. Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi yang tidak pernah merasa suka kepada rekannya ini segera membentak,
"Lo-mo, perlu apa banyak cerewet lagi? Hayo kita bunuh bocah siluman ini dan seret anakmu pulang ke benteng!"
Setelah berkata demikian, Hek-hwa Lo-kwi sudah menggosok-gosok kedua tangannya dan aneh sekali, seketika seluruh tubuhnya menjadi putih seperti kapur. Itulah ilmunya yang baru, yang dilatihnya di Lembah bersama para peng-ikutnya, yaitu sisa-sisa anak buahnya yang masih hidup ketika dia dahulu menjadi ketua Lembah Bunga Hitam (baca Kisah Sepasang Rajawali). Ilmunya ini dia namakan Pek-hiat-hoat-lek (Ilmu Sihir Darah Putih), ilmu pukulan yang mengandung hawa mujijat dan racun yang amat berbahaya. Selama berbulan-bulan dia menanam diri di dalam rumah tempurung, diikuti oleh para anak buah bekas perkumpulan Lembah Bunga Hitam yang sudah tinggi ilmunya. Akan tetapi tentu saja para anak buahnya itu tidak dapat mencapai tingkat tinggi yang dicapai oleh Hek-hwa Lo-kwi ini.
"Biar kau hajar Siluman Kecil yang sombong itu Lo-kwi. Di benteng aku pernah menangkap dia, sekarang tunjukkanlah kepandaianmu, hendak kulihat apakah kau juga mampu menangkapnya, biar aku yang membekuk batang leher betina liar ini!"
Hek-tiauw Lo-mo memang licik sekali wataknya.
Memang benar ketika Kian Bu berada di dalam benteng, dia berhasil menangkap pemuda itu menggunakan senjata jalanya yang istimewa, akan tetapi hal itu hanya dapat terjadi karena Kian Bu menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai. Kalau berhadapan satu lawan satu, jangan harap bekas ketua Pulau Neraka ini akan mampu menangkap Kian Bu! Kini, dia sengaja mengejek Hek-hwa Lo-kwi, dan dia sendiri sudah maju menubruk Hwee Li. Di dalam lubuk hatinya, Hwee Li merasa amat membenci kakek yang pernah menjadi ayahnya ini. Orang ini adalah musuh besarnya, yang telah memperkosa ibu kandungnya sampai mati! Maka, kini melihat bahwa dia tidak mendapat jalan lain kecuali melawan, dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan diam-diam dia telah mempersiapkan dirinya.
Selama beberapa tahun dia sedikit banyak telah menerima ilmu-ilmu tentang racun dari gurunya. Dia maklum bahwa kalau mempergunakan ilmu silat, tentu saja dia tidak akan mampu melawan bekas ayahnya ini. Ular-ularnya telah dirampas oleh mereka ketika dia menjadi tawanan di dalam benteng, juga semua senjata rahasia telah dirampas orang. Dia pun tidak memegang senjata apa-apa, maka begitu melihat Hek-tiauw Lo-mo menubruk, dia cepat menghindarkan diri, meloncat jauh ke kiri dan tangannya menyambar tanah di bawah kakinya. Kini kedua tangannya mengepal segenggam tanah bercampur pasir dan dia telah mengerahkan sinkangnya. Di dalam kepalan tangannya, tanah dan pasir itu berubah menjadi hitam dan telah mengandung racun yang amat hebat! Itulah satu di antara ilmu racun yang diterimanya dari gurunya.
Gurunya adalah Ceng Ceng atau Nyonya Kao Kok Cu, murid mendiang Ban-tok Mo-li si Iblis Betina Selaksa Racun! Dan memang dia berguru kepada Ceng Ceng hanya untuk mem-pelajari tentang racun seperti telah dijanjikan oleh gurunya itu (baca Kisah Sepasang Rajawali). Melihat tubrukannya dihindarkan oleh dara itu, Hek-tiauw Lo-mo tertawa. Tugasnya jauh lebih ringan daripada tugas Hek-hwa Lo-kwi yang harus menghadapi Siluman Kecil seorang diri, maka dia pun tidak mau tergesa-gesa. Dia hendak membiarkan dulu Hek-hwa Lo-kwi setengah mati menghadapi lawan tangguh itu, dan dia akan seenaknya saja menangkap bekas anaknya ini yang dianggapnya merupakan pekerjaan mudah. Nanti kalau temannya yang dibencinya itu sudah be-nar-benar membutuhkan bantuan, barulah dia akan merobohkan Hwee Li dan membantunya.
"Heh-heh, bocah kurang ajar, kau kira dapat melepaskan diri dariku? Kalau tidak mengingat pangeran, tentu aku sudah menelanjangimu dan mempermainkanmu seperti aku mempermainkan ibumu dahulu, baru kulobangi kepalamu! Ha-ha-ha!"
Hampir Hwee Li menjerit saking marah dan bencinya mendengar kata-kata itu, akan tetapi dia menahan kemarahannya, dia menggerakkan kaki berputar-putar dan mundur-mundur menjauhi lawan, akan tetapi sepasang matanya mengincar tajam, mencari kesempatan kalau lawan lengah akan diserangnya dengan "senjata"
Istimewa di dalam genggaman kedua tangannya itu. Sementara itu, Hek-hwa Lo-kwi juga sudah mulai menyerang Kian Bu. Dengan suara melengking nyaring, dia telah bergerak ke depan, kedua tangannya mengeluarkan suara seperti angin puyuh mengamuk, dan dari kedua telapak tangannya itu menyambar bau wengur yang mengeluarkan sinar putih. Kian Bu terkejut. Hebat ilmu pukulan itu, pikirnya. Ada serangkum hawa yang amat tajam dan berbau wengur menyambar.
Dia maklum bahwa bukan hanya hawa itu yang dapat melukai orang, akan tetapi juga bau itu dapat merobohkan lawan karena mengandung racun berbahaya. Namun, dia sudah cepat mengelak dan membalas dengan pukulan dari samping, dengan telapak tangan didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang. Tenaga berhawa panas membakar ini menyambar dari samping ke arah tubuh Hek-hwa Lo-kwi. Demikian cepat gerakan Kian Bu sehingga pukulan itu tidak mungkin dapat dielakkan lawan lagi. Satu-satunya jalan bagi lawan hanyalah menangkis dan hal ini pun dilakukan oleh Hek-hwa Lo-kwi tanpa ragu-ragu lagi. Dia membalik ke kiri menghadapi pemuda itu dan menggerakkan kedua tangannya ke depan untuk menyambut pukulan Kian Bu. Serangkum angin dahsyat menyambar dan segulung sinar putih nampak, bertemu dengan hawa pukulan Kian Bu yang tidak kelihatan itu.
Kisah Sepasang Rajawali Eps 53 Kisah Sepasang Rajawali Eps 24 Sepasang Pedang Iblis Eps 51