Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 53


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 53



Akan tetapi di tengah perjalanan, nenek itu banyak rewel dan kadang-kadang timbul niat buruknya untuk mengganggu penduduk dusun yang mereka lalui di tengah perjalanan. See-thian Hoat-su menentangnya dan kembali mereka cekcok dan bertentangan. Akhirnya, nenek yang ilmu silatnya masih kalah tinggi dibandingkan bekas suaminya ini ngambek dan pergi meninggalkan guru dan murid itu. Setelah ditinggalkan oleh Nenek Durganini, See-thian Hoat-su menjadi kecewa dan membatalkan niatnya untuk kembali ke Himalaya. Dia mengajak muridnya kembali ke timur, karena dia tidak akan merasa tenang selama nenek yang pernah menjadi isterinya itu masih berkelana di timur. Dialah yang harus mencegah kalau bekas isterinya itu menggunakan ilmu mendatangkan kerusakan dan malapetaka kepada penduduk yang tidak berdosa.

   "Adik kecil, apakah ceritamu itu benar? Benarkah Tambolon dan kawan-kawannya sudah berada di sini?"

   Tek Hoat bertanya kepada Siang In. Kontan dara ini cemberut dan bertolak pinggang.

   "Eh, kau manusia sombong, ya? Dumeh (mentang-mentang) sudah disebut orang taihiap (pendekar besar) kau lalu merasa tua sekali, ya?"

   Tentu saja Tek Hoat yang belum pernah bertemu dengan seorang dara seperti ini menjadi melongo.

   "Eh, eh, kok marah? Apa salahku?"

   Perwira Jayin dari Bhutan dan empat orang pembantunya yang sudah mengenal Siang In, bahkan sudah sama-sama menjadi tawanan raja liar Tambolon, menahan senyumnya. Siang In memandang ke kanan kiri, kepada rombongan itu dan dengan hidung diangkat ke atas dia menuding kepada Tek Hoat.

   "Coba....! Dia masih pura-pura bertanya apa kesalahannya? Kau menyebut aku adik kecil, apakah itu bukan menghina namanya? Sudah sebegini, masih disebut anak kecil? Kalau aku anak kecil, apakah engkau sudah kakek-kakek?"

   Semua rombongan itu tertawa dan muka Tek Hoat menjadi merah. Akan tetapi pemuda ini tersenyum. Pada dasarnya, Tek Hoat adalah seorang yang jenaka dan lincah gembira pula. Kalau dia berubah menjadi pendiam adalah karena banyak hal yang menekan hatinya. Kini dia memandang dengan mata berseri. Dara remaja ini benar-benar jenaka dan kemarahannya itu dia tahu adalah dibuat-buat.

   "Kalau begitu, biarlah aku menyebutmu nyonya tua yang galak!"

   Tek Hoat menggoda. Dara itu membelalakkan matanya, kelihatan menjadi makin cantik. Dia lalu menarik muka seperti nenek-nenek, tubuhnya agak membungkuk, suaranya lalu gemetar seperti seorang wanita tua yang sudah tua sekali, dan dia menjura ke arah Tek Hoat dengan lagak seorang nenek.

   "Baiklah, kakek tua renta yang sudah pikun. Mengapa sudah setua ini kau masih belum juga mati-mati? Apakah tidak merasa bosan?"

   Kembali rombongan itu tertawa karena suara dan sikap dara itu persis nenek-nenek tua. Tek Hoat juga tertawa dan dia lalu berkata,

   "Sudahlah, Nona. Maafkan aku. Aku hanya ingin bertanya apakah benar Tambolon sudah tiba di sini karena belum lama ini aku masih bertemu dengan mereka di timur."

   "Itu Suhu datang kalau kau tidak percaya, sudah jangan tanya aku, kau tanya saja kepada Suhu!"

   Tek Hoat menoleh dan benar saja dari jauh datang seorang kakek tua renta yang larinya cepat sekali. Perwira Jayin dan para pembantunya cepat memberi hormat.

   "Locianpwe, terima kasih atas peringatan Locianpwe tentang gerombolan itu. Sekarang bagaimana baiknya? Belum lama, baru seminggu ini kami juga telah dihadang oleh gerombolan Hek-tiauw Lo-mo dan kalau tidak ada Ang-taihiap ini tentu kami sudah celaka semua."

   Kakek itu bukan lain adalah See-thian Hoat-su. Dia terkejut mendengar bahwa rombongan ini seminggu yang lalu dicegat oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia memandang kepada Tek Hoat dengan kagum. Seorang yang dapat menolong rombongan ini dari gangguan Hek-tiauw Lo-mo, biarpun masih begitu muda, tentu memiliki kepandaian yang tinggi sekali, pikirnya. Akan tetapi sekali pandang saja, dia tahu bahwa Tek Hoat pernah mengalami luka-luka dalam yang amat hebat, maka dia terkejut sekali.

   "Ahh, engkau telah terpukul hebat sekali, orang muda!"

   Tek Hoat menjadi kagum dan dia menjura.

   "Sudah berangsur baik, Locianpwe, berkat rawatan dan pengobatan rombongan ini."

   "Rombongan ini harus mengambil jalan lain. Cepat! Jangan melalui hutan ini. Mudah-mudahan saja belum terlambat dan tidak akan bertemu dengan mereka. Dan engkau harus diobati secepatnya, orang muda, agar tenagamu pulih dan kau dapat membantu kalau toh mereka masih dapat mengejar."

   Mendengar kata-kata kakek ini, pewira pengawal Bhutan itu tidak ragu-ragu lagi dan cepat me-merintahkan rombongannya mengambil jalan berbelok ke selatan, mengambil jalan memutari bukit di depan dan menyimpang dari jalan besar. Adapun Kakek See-thian Hoat-su lalu mengajak Tek Hoat ke dalam bilik keretanya itu dan setelah dia menotok dan mengurut beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu, dia memanggil muridnya.

   "Berikan dia obatmu penyembuh luka dalam yang manjur itu!"

   Kata kakek ini yang segera meninggalkan mereka untuk ikut menjaga di bagian depan barisan itu.

   "Hemm, enaknya! Sudah menghina masih minta obat. Panggil dulu aku sebagaimana mestinya, nanti kuberi obat yang paling manjur,"

   Siang In berkata dengan sikap jual mahal. Kalau saja Tek Hoat sudah tidak melihat kesesatannya dan mengambil keputusan untuk merubah watak dan sikapnya, tentu dia akan menjadi marah dan akan menghina gadis ini. Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk dalam.

   "Nona yang baik, aku minta maaf dan kau berikanlah obat itu."

   Siang In tersenyum.

   "Nah, begitu dong! Sekarang engkau menjadi sahabatku, tidak usah minta pun tentu akan kuberikan obat itu."

   Dia lalu mengeluarkan sebungkus obat yang berwarna merah dan berbentuk bulat kecil. Dia menyerahkan dua butir kepada Tek Hoat sambil berkata,

   "Telan semua dan kau tidur, nanti setelah bangun baru terasa khasiatnya."

   Kemudian dia tersenyum manis dan meloncat turun dari dalam kereta. Tek Hoat memandang dua butir obat di telapak tangannya itu sambil berkata seorang diri,

   "Betapa baiknya semua orang. Betapa manisnya dara itu, akan tetapi mana bisa dia menandingi Syanti Dewi....?"

   Lalu ditelannya dua butir obat itu dan dia pun merebahkan dirinya. Begitu memasuki perutnya, terasa hawa panas memenuhi perut dan dadanya, kemudian seluruh tubuh sehingga dia mengeluarkan keringat. Nyata manjur sekali obat itu dan Tek Hoat menjadi makin kagum. Tentu saja dia tidak tahu bahwa gadis itu, Teng Siang In, adalah puteri mendiang ahli obat Yok-sian (Dewa Obat) yang amat terkenal di dunia kang-ouw, dewa atau ahli pengobatan yang tinggal di Lembah Pek-thouw-san. Menjelang senja, rombongan ini telah mengelilingi bukit dan memasuki hutan kecil. Tiba-tiba tanpa ada sebabnya, tahu-tahu hutan di sekeliling mereka terbakar! Rombongan ini tentu saja berhenti dan terkejut sekali. Akan tetapi See-thian Hoat-su yang berada di depan rombongan itu berteriak,

   "Jangan panik! Ini hanya ilmu siluman!"

   Dia lalu meloncat ke atas sebuah batu besar, bersedakap dan berteriak,

   "Durganini, kau terlalu! Terpaksa aku melawanmu!"

   Kakek itu bersedakap terus dan tak lama kemudian, rombongan orang Bhutan itu melihat hujan turun secara tiba-tiba dan api yang berkobar itu padam. Akan tetapi anehnya, mereka semua tidak tertimpa hujan! Kiranya baik kebakaran maupun hujan itu hanyalah bayangan yang ditimbulkan oleh kekuatan sihir yang mujijat saja! Tak lama kemudian dari balik pohon-pohon bermunculan banyak orang dan di depan sendiri tampak Tambolon, Si Petani Maut Liauw Kui, Si Siucai Maut Yu Ci Pok, dan si nenek hitam Durganini yang menghadang rombongan!

   "Orang gila, kau berani melawan aku?"

   Durganini memaki bekas suaminya dan dengan ganas dia melontarkan tongkatnya ke udara. Tongkat itu berubah menjadi seekor naga yang turun me-nyambar ke arah See-thian Hoat-su yang masih berdiri di atas batu. See-thian Hoat-su cepat meloncat turun, menyambar segenggam tanah dan melontarkannya ke arah naga yang menyerangnya dengan dahsyat itu.

   "Darrr....!"

   Tampak kilat menyambar dan naga itu berubah menjadi tongkat butut kembali, melayang ke tangan Durganini, akan tetapi See-thian Hoat-su terhuyung karena memang dia kalah kuat dalam ilmu sihir.

   "Kau perempuan iblis!"

   Kakek itu me-maki dan tubuhnya sudah menyambar ke arah bekas isterinya untuk merampas tongkat. Durganini memaki dengan hantaman tongkatnya, akan tetapi See-thian Hoat-su menangkis dengan lengan kiri sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun Si Nenek Ganas. Durganini mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya keserempet jari tangan See-thian Hoat-su sehingga dia memekik kesakitan, terhuyung dan menudingkan tongkatnya.

   "Kau.... kau berani memukulku?"

   Teriakan ini disertai suara tangis, persis seperti lagak seorang isteri yang marah kepada suaminya! Tambolon juga sudah mencabut pedangnya dan membantu gurunya menerjang See-thian Hoat-su. Sedangkan Liauw Kui dan Yu Ci Pok memimpin anak buah mereka menyerbu Perwira Jayin dan pasukannya. Terjadilah pertempuran yang hebat.

   "Heeeiii, bangun! Bangun kau....! Wah, celaka, malasnya orang ini!"

   Diguncang-guncang pundaknya itu, Tek Hoat terbangun dengan kaget dan dia meloncat turun dari kereta. Kiranya yang menggugahnya adalah Siang In.

   "Lekas bantu, lihat Suhu terdesak hebat oleh nenek siluman itu dan Tambolon!"

   Tek Hoat meraba pinggangnya dan baru teringat dia ketika tangannya meraba tempat kosong, bahwa pedang yang diandalkannya, yaitu Cui-beng-kiam, telah terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo.

   "Kenapa kau sendiri tidak membantu gurumu?"

   Tanyanya.

   "Uh, mana aku berani? Kau bantu gu-ruku, mereka itu lihai sekali, dan aku akan membantu Paman Jayin!"

   Kata Siang In yang memang belum begitu tinggi ilmu silatnya sehingga dia merasa ngeri kalau harus membantu suhunya menghadapi orang-orang seperti Tambolon dan gurunya itu. Tek Hoat menggerak-gerakkan kedua lengannya. Memang lebih enak daripada kemarin. Dia menarik napas panjang, juga dadanya tidak nyeri lagi. Dikerahkan sin-kangnya dan dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa keadaannya jauh lebih baik daripada yang sudah-sudah. Maka dia lalu meloncat dan terjun ke dalam pertempuran, menyerang Tambolon dengan pukulan dahsyat yang dilakukan dengan pengerahan sin-kangnya. Tambolon terkejut, maklum bahwa lawannya ini lihai sekali. Dia mengelak dan berkata,

   "Eh, orang muda. Lupakah kau akan hubungan baik kita baru-baru ini? Kau bantulah kami dan engkau akan mendapat bagian, kau takkan kecewa!"

   "Manusia keparat, siapa sudi mendengar bujukanmu?"

   Tek Hoat membentak dan sudah menerjang lagi, mengirim pukulan mautnya. Tambolon menyambut dengan tangan kirinya dan membarengi dengan bacokan pedangnya.

   "Dessss....!"

   Tambolon terjengkang ke belakang dan Tek Hoat terkena ujung pedang pundak kirinya, akan tetapi hanya luka kecil saja dan dia terus mendesak Tambolon yang ternyata kalah tenaga. Akan tetapi Tek Hoat mengerutkan alisnya. Memang dia telah mampu mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi begitu bertemu dengan lawan yang kuat, dalam pertemuan tenaga dahsyat tadi, biarpun dia berhasil membuat Tambolon terjengkang, akan tetapi dadanya terasa agak nyeri. Sementara itu Tambolon sudah menubruk maju dengan serangan pedangnya yang membabi buta. Tek Hoat mengelak dengan cepat, akan tetapi kembali dia diam-diam mengeluh karena pengerahan gin-kangnya juga membuat dadanya sakit. Ini menandakan bahwa luka di dadanya belum sembuh benar.

   "Sut-sutt-sing.... desss!"

   Biarpun Tek Hoat dapat menghindarkan diri dari sambaran pedang yang bertubi-tubi itu, akan tetapi sebuah tendangan mengenai lambungnya dan dia terlempar, jatuh terguling-guling. Sialnya, dia terlempar ke dekat Nenek Durganini yang sedang bertanding melawan bekas suaminya.

   "Hiyyaaahhh!"

   Nenek itu mengeluarkan pekik dahsyat dan tangan kirinya bergerak ke arah leher Tek Hoat. Pemuda yang masih bergulingan ini terkejut sekali. Ternyata kini sepuluh jari tangan nenek itu telah mengeluarkan kuku yang panjang runcing dan ketika dia mengelak, kuku jari tangan itu lewat dekat mukanya dan dia mencium bau yang amis, tanda bahwa kuku-kuku itu mengandung racun yang hebat! Dia berusaha meloncat berdiri, akan tetapi kaki kanan nenek yang memakai gelang itu menyambar.

   "Desss....!"

   Kembali dia roboh. See-thian Hoat-su hendak menolongnya, akan tetapi Tambolon sudah menerjang kakek itu dengan putaran pedangnya secara dahsyat sehingga terpaksa kakek itu mengelak ke sana-sini. Tek Hoat terus didesak oleh Nenek Durganini, dan begitu dia bangkit, dua cakar beracun itu menyambarnya. Tek Hoat mengelak ke sana-sini, akan tetapi tetap saja leher dan pundaknya kena dicakar. Panas dan perih rasanya! Tek Hoat terkejut, cepat dia melempar tubuh ke atas tanah dan ketika nenek itu menendang, dia membiarkan dirinya ditendang.

   "Desss....!"

   Tubuh pemuda itu bergulingan menabrak benda keras.

   "Bresss!"

   Ketika dilihatnya, ternyata tubuhnya tertumbuk kepada roda kereta! Nenek itu terkekeh-kekeh dan sudah lari menghampirinya dengan kedua tangan bergerak-gerak menyeramkan. Tek Hoat bangkit dengan kepala pening, siap untuk melawan mati-matian. Akan tetapi tiba-tiba pintu bilik depan kereta itu terbuka dan sebuah tangan yang halus namun kuat mencengkeram pungung bajunya dan menarik tubuh pemuda itu ke dalam bilik kereta yang segera ditutupkan. Nenek itu marah-marah dan hendak mencengkeram kereta, akan tetapi pemilik tangan halus itu menusukkan pedang menembus pintu kereta.

   "Crattt! Aihhhh.... aduhhhh....!"

   Nenek itu tertusuk pedang tangannya dan terasa sakit bukan main. Karena tidak disangka-sangkanya, maka ujung pedang itu dapat melukai tangannya dan nenek yang pikun ini segera membalikkan tubuhnya, me-nangis lalu mengamuk kepada bekas suaminya, agaknya dia sudah lupa sama sekali akan Tek Hoat yang tidak kelihatan lagi itu. Tek Hoat membuka mata memandang dan.... dia terbelalak, matanya melebar dan mulutnya ternganga. karena ternyata yang menolongnya itu bukan lain adalah.... Syanti Dewi!

   "Ya Tuhan.... sudah.... sudah matikah aku....? Ataukah.... ini hanya.... mimpi....?"

   Tek Hoat menggosok-gosok matanya. Syanti Dewi yang duduk di atas bangku kereta itu memandang dengan dua titik air mata berlinang, mengulurkan tangan menyentuh leher dan pundak itu dan terdengar suaranya halus,

   "Kau.... kau.... terluka lagi...."

   Disentuhnya luka-luka itu dengan ujung jarinya yang halus.

   "Kau.... kau.... Syanti Dewi....?"

   Tek Hoat menangkap ujung tangan itu dan menciumnya.

   "Aku.... aku.... ah, benarkah aku masih hidup?"

   Kedua pipi puteri itu menjadi merah sekali dan jantungnya berdebar ketika dia merasa betapa ujung jarinya diciumi dan merasakan hembusan napas yang panas dari pemuda itu mengenai jari-jari tangannya.

   "Engkau masih hidup dan aku memang Syanti Dewi.... aku.... akulah yang berada di bilik depan kereta ini...."

   Tek Hoat menjadi girang bukan main, girang dan juga jengah dan malu. Setiap saat dia teringat kepada puteri ini, dicari-carinya dan dikenang, dikhawatirkannya. Siapa tahu, seminggu lamanya dia berada di satu kereta dengan puteri ini! Dan teringatlah dia betapa dia sering kali menggandrungi puteri ini, bersenandung memuji-muji puteri ini. Tiba-tiba dia teringat. Pertempuran itu masih ber-langsung.

   "Ah, aku harus melindungimu, aku harus membasmi mereka.... kalau tidak.... Paduka akan celaka.... kiranya mereka itu menyerang karena Paduka berada di sini...."

   "Kau.... kau masih terluka...."

   Akan tetapi Tek Hoat sudah tidak peduli lagi. Begitu melihat bahwa Syanti Dewi berada di situ, mengertilah dia mengapa gerombolan Hek-tiauw Lo-mo menyerang rombongan ini, dan mengapa pula kini gerombolan Tambolon juga menyerang rombongan ini. Kiranya mereka itu tahu bahwa Sang Puteri berada di dalam kereta.

   Hanya dialah yang tolol, yang goblok, sekereta sampai seminggu lamanya tidak tahu! Hatinya girang, tapi juga khawatir, dan dia meloncat keluar dari kereta itu, cepat menutupkan pintunya kembali seolah-olah dia hendak menyembunyikan mustika agar tidak terlihat oleh lain orang! Kakek See-thian Hoat-su masih dikeroyok dua oleh Tambolon dan Durganini, kakek ini terdesak hebat, agaknya juga sudah terluka karena pangkal lengan kirinya berdarah. Siang In masih mengamuk membantu Perwira Jayin dan para anggauta rombongan, akan tetapi mereka pun terdesak hebat oleh Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, karena memang tingkat kepandaian dua orang pembantu Tambolon ini lebih tinggi dari mereka. Senjata pikulan dari Liauw Kui dan senjata sepasang poan-koan-pit dari Yu Ci Pok memang berbahaya sekali,

   Dan hanya karena Jayin yang dibantu oleh Siang In dan empat orang perwira pembantunya itu melakukan perlawanan gigih, maka pertandingan masih berlangsung dengan seru dan mati-matian. Tek Hoat maklum bahwa yang boleh diandalkan oleh rombongan ini hanyalah Kakek See-thian Hoat-su. Dia sendiri sudah terluka parah, dan kalau kakek itu roboh, tentu yang lain akan celaka semua. Maka dia lalu menerjang maju lagi membantu kakek itu dan kini entah bagaimana, pertemuannya dengan Syanti Dewi seolah-olah memulihkan semua tenaganya. Ketika dia menyerbu dan meng-hantam, Tambolon sampai terpental ke belakang dan bergulingan sambil memaki-maki, bangkit berdiri lagi dan menerjang Tek Hoat yang merasa betapa dadanya sakit akan tetapi kini dia pertahankan dengan semangat baru. Dia harus hidup. Dia harus menang, karena kalau tidak, Syanti Dewi akan celaka.

   "Sutt.... singgg-singgg....!"

   Pedang di tangan Tambolon menyambar-nyambar ganas. Tek Hoat mengelak dua kali dan dari samping dia memukul dengan tangan miring, ke arah lambung raja liar itu. Tambolon terkejut dan tidak sempat mengelak akan tetapi karena dia maklum bahwa pemuda itu sudah terluka dan dalam keadaan tidak sehat sehingga tenaganya pun tidak sepenuhnya, dia lalu berlaku nekat, menyambut hantaman itu dengan tangan kirinya sambil mengerahkan seluruh sin-kangnya.

   "Desss....!"

   Sekali ini hebat sekali pertemuan tenaga sin-kang yang sama kuatnya, dan akibatnya, kembali tubuh Tambolon terpental, mulutnya muntahkan darah segar sedangkan tubuh Tek Hoat terguling-guling sampai beberapa kaki jauhnya dan wajah pemuda ini pucat sekali, napasnya terengah-engah dan sesak sehingga dia menggunakan tangannya untuk menekan dadanya. Dengan mata mendelik Tambolon meloncat bangun, mengusap darah dari bibirnya dengan gemas, kemudian mengangkat pedangnya sambil lari menerjang Tek Hoat.

   Sementara itu, kakek See-thian Hoat-su masih belum merobohkan Durganini karena sesungguhnya kakek ini masih merasa kasihan kepada bekas isterinya yang dia tahu berubah jahat karena sudah pikun dan disalahgunakan oleh muridnya, Tambolon yang penuh ambisi dan jahat itu. Ketika melihat betapa Tek Hoat sudah tidak berdaya dan Tambolon mengejar hendak membunuhnya, dia terkejut sekali, akan tetapi karena jaraknya agak jauh, dia maklum bahwa dia tidak akan dapat menyelamatkan pemuda perkasa itu. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tempat itu muncul seorang kakek berlengan tunggal yang berpunggung bongkok! Punggungnya demikian bongkoknya sehingga ketika dia datang berjalan cepat ke arah pertempuran, kepalanya seperti meluncur di depan saja, sedangkan kedua kakinya seperti terseret jauh di belakang.

   Atau cara kakek ini berjalan seperti setengah merangkak! Anehnya, bukan main cepatnya karena tahu-tahu dia telah berada di situ. Hebatnya, bersama dengan kakek bongkok yang aneh ini datang pula angin berputar yang seperti ombak dahsyatnya, dan semua orang, termasuk Tek Hoat, Tambolon, Durganini dan See-thian Hoat-su terdorong dan terhuyung ke belakang oleh angin dahsyat ini. Jangan ditanya lagi para anggauta rombongan orang Bhutan dan anak buah Tambolon, mereka semua roboh jungkir balik dan tumpang-tindih antara kawan dan lawan seperti daun-daun kering diamuk angin puyuh. Kakek bongkok yang berdirinya seperti mau "tiarap"

   Itu menggerakkan kedua lengannya seperti orang mencegah mereka bertempur, lalu berkata,

   "Antara sesama manusia, mengapa saling bunuh? Tanpa saling bunuh pun, apakah ada di antara kalian yang kelak bebas dari kematian?"

   Durganini yang sudah pikun itu tidak terpengaruh oleh ucapan aneh ini, tidak seperti See-thian Hoat-su yang sudah berdiri tegak dan bersikap hormat. Sebaliknya Durganini malah melangkah maju mendekati kakek bongkok itu, kedua tangannya lurus ditujukan ke arah kakek bongkok itu sambil membentak dengan suara yang amat berpengaruh. Nenek ini sudah mengerahkan kekuatan sihirnya!

   "Tua bangka bongkok, kau yang sudah mau mampus, hayo cepat bergulingan di atas tanah!"

   "Durganini, jangan....!"

   See-thian Hoat-su mencegah namun terlambat. Semua orang di situ merasa betapa ada pengaruh yang amat jahat dan mengerikan terbawa oleh suara dan gerakan kedua tangan Durganini,

   Bahkan ada di antara perajurit yang tanpa disadarinya tahu-tahu sudah merebahkan diri di atas tanah dan bergulingan seperti orang gila! Akan tetapi yang paling aneh adalah ketika semua orang melihat bahwa kakek bongkok itu hanya menggeleng-geleng kepala sambil menghela napas, sama sekali tidak bergerak dan lucunya, kini Durganini tahu-tahu merebahkan diri dan bergulingan di atas tanah dengan hebatnya! Tek Hoat yang sudah setengah pingsan itu melihat dengan terbelalak, akan tetapi pengerahan tenaga terakhir dengan Tambolon tadi membuat kepalanya pening dan pandang matanya berkunang. Sebuah tangan yang halus memegang lengannya. Dia menoleh dan kiranya Syanti Dewi yang memegang lengannya. Puteri itu lalu menariknya perlahan-lahan dan pergi dari situ selagi semua orang terpesona oleh peristiwa aneh tadi.

   "Kau terluka parah.... sebaiknya kita menyingkir dari tempat berbahaya ini...."

   Tek Hoat menggeleng kepala.

   "Aku.... aku harus melawan.... aku harus melindungimu...."

   Akan tetapi Syanti Dewi memaksanya pergi, setengah menyeretnya dan keduanya lalu menyelinap ke dalam hutan yang lebih lebat. Sementara itu, melihat Durganini makin lama makin hebat bergulingan, kakek bongkok itu mengangkat tangan ke atas.

   "Sadarlah semua.... bangkitlah...., dan lenyaplah semua kekuatan gelap....!"

   Aneh, mereka yang bergulingan di atas tanah, termasuk Durganini, menjadi terkejut, sadar dan terheran-heran, lalu Durganini bangkit dengan napas terengah-engah dan wajah pucat. Kini dia memandang kepada kakek bongkok itu dengan sinar mata ketakutan karena dia maklum bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti luar biasa.

   "Siapa yang pernah bertemu dengan muridku? Harap katakan, di mana muridku? Apakah ada yang melihatnya? Dia berusia kira-kira dua puluh lima tahun, pemuda yang bertubuh tinggi besar, wa-jahnya tampan dan gagah, matanya tajam seperti mata naga, sikapnya gagah seperti seekor singa, namanya Kok Cu.... siapakah yang pernah bertemu dengan dia?"

   See-thian Hoat-su dan Durganini menggeleng kepala dan tidak ada seorang pun yang pernah mendengar tentang pemuda murid kakek bongkok itu. See-thian Hoat-su cepat memberi hormat dan bertanya dengan suara tergetar penuh kagum.

   "Kalau saya tidak keliru sangka, Locianpwe ini adalah Yang Mulia Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir....?"

   Kakek bongkok itu menghela napas dan menggerakkan tangannya, seolah-olah tidak mempedulikan kata-kata itu.

   "See-thian Hoat-su, Durganini dan Tambolon, apakah kalian pernah bertemu dengan muridku Kok Cu itu?"

   Tiga orang itu terkejut bukan main. Selama hidup mereka, baru sekarang mereka bertemu dengan kakek tua renta itu, akan tetapi kakek ini begitu saja menyebut mereka seolah-olah sudah lama mengenal mereka. Otomatis mereka menggeleng kepala karena memang mereka belum pernah bertemu dengan pemuda yang dimaksudkan kakek itu.

   "Sudahlah, aku mencari di tempat lain!"

   Kata kakek itu dan sekali berkelebat dia sudah lenyap! Selagi semua orang tertegun dan melongo, tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan dari jauh di atas bukit tampaklah debu mengepul tinggi dan datang sebuah pasukan besar dari barat yang jumlahnya tentu tidak kurang dari seratus orang. Tambolon belum dapat mengenal pasukan itu, maka dia sudah berteriak lagi,

   "Serbu!"

   Dan pertandingan pun mulai lagi! Sungguh mereka ini seperti serigala-serigala yang haus darah dan tadi pertempuran terganggu sebentar karena munculnya kakek bongkok luar biasa itu. Durganini kembali menyerang See-thian Hoat-su seperti sikap seorang isteri galak yang mencemburui suaminya, tak pernah mau sudah menyerang! Karena dikeroyok dua oleh bekas isterinya dan Tambolon, sedangkan Tek Hoat sudah tidak ada lagi untuk membantunya, kakek ini tentu saja kembali terdesak hebat dan kewalahan. Akan tetapi tak lama kemudian pasukan itu tiba dan bersoraklah pihak rombongan Perwira Jayin karena ternyata bahwa pasukan itu adalah pasukan dari Bhutan yang dikirim oleh rajanya untuk menyusul Perwira Jayin yang belum ada kabarnya dalam mencari puteri raja.

   Tentu saja pertempuran menjadi berubah keadaannya dan terpaksa Tambolon membujuk gurunya untuk lari menyingkir karena menghadapi pasukan pilihan dari Bhutan yang terlatih baik dan yang jumlahnya jauh lebih besar itu, tentu saja dia dan anak buahnya kewalahan dan terancam bahaya kemusnahan. Maka berlarilah mereka, meninggalkan para korban di antara anak buah raja liar Tambolon. Sementara itu, Syanti Dewi yang dulu sudah berpengalaman ketika menemani Gak Bun Beng yang juga menderita sakit payah, kini setengah menyeret tubuh Tek Hoat yang hampir pingsan itu. Akhirnya, karena tenaganya habis dan napasnya terengah-engah, Syanti Dewi berhenti di belakang semak-semak yang rimbun.

   "Aihh...., kau terluka lagi...."

   Katanya sambil menggunakan saputangannya menyeka darah yang mengucur dari luka di leher dan pundak Tek Hoat yang pecah kembali.

   "Syanti.... puteri.... saya.... saya harus membantu teman-teman menghadapi mereka...."

   Tek Hoat bangkit akan tetapi terhuyung.

   "Tidak.... tidak....! Apakah kau mau bunuh diri? Tidak, aku melarang kau pergi. Aku melarang!"

   Syanti Dewi memegangi lengannya erat-erat. Tek Hoat membalik dan menghadapi puteri itu, memandang dengan mata terbelalak.

   "Paduka.... paduka peduli apa.... kalau saya mati....?"

   Syanti Dewi mengerutkan alisnya.

   "Ang Tek Hoat, kau sudah berkali-kali menolong aku dan menyelamatkan aku dengan pengorbanan dirimu, dan kau masih bertanya aku peduli apa? Kau anggap aku ini orang apa? Orang yang tidak mengenal budi? Kau terluka, biar aku merawat lukamu...."

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Paduka.... kau.... merawat lukaku....?"

   Tubuh Tek Hoat menjadi lemas, kepalanya pening kembali sehingga bicaranya tidak karuan lagi dan dia menurut saja ketika ditarik turun dan disuruh rebah di atas rumput.

   "Luka-lukamu harus dicuci bersih.... sayang obat-obat untuk luka yang pernah kuterima dari Jenderal Kao sebagai bekal berada di kereta...."

   "Aku mempunyai obat seperti itu...."

   Tek Hoat dengan mata masih terpejam meraba saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan.

   "Gunakan obat bubuk ini.... auhhh.... dadaku...."

   "Kenapa dadamu? Kenapa....?"

   Syanti Dewi meraba-raba dan membuka kancing baju pemuda itu untuk memeriksa. Alangkah kagetnya ketika melihat kulit dada yang putih itu tampak tanda biru bekas pukulan sedangkan ketika dia mencuci luka di leher dan pundak bekas cakaran kuku Durganini, luka-luka itu kelihatan kehitaman!

   "Ah, kau terluka parah....!"

   Dia berseru penuh kekhawatiran.

   "Tidak mengapa.... tidak mengapa, harap paduka cepat kembali ke sana, biarlah saya mengurus diri sendiri...."

   "Tek Hoat!"

   Tiba-tiba Syanti Dewi berkata dengan nada suara agak keras.

   "Mengapa kau begini angkuh?"

   Tek Hoat memandang dengan mata terbelalak.

   "Saya....? Angkuh....?"

   "Engkau terluka parah dan perlu ditolong, mengapa engkau seolah-olah menolak pertolonganku? Engkau benar-benar mengusirku agar kembali ke sana, agar tertawan oleh Tambolon?"

   "Ah, tidak...., tidak.... jangan paduka salah sangka....!"

   "Engkau sungguh.... memuakkan perutku!"

   Syanti Dewi bangkit berdiri dan membelakangi Tek Hoat. Pemuda ini menjadi bengong dan dia bangkit duduk, memandangi tubuh belakang Syanti Dewi. Dia benar-benar tidak mengerti harus berkata dan berbuat apa. Sikap wanita ini menbingungkannya, dan dia tidak dapat menyelaminya. Ketika dia melihat pundak puteri itu berguncang perlahan, dia terkejut. Puteri itu menangis! Tentu merasa tersinggung dan sakit hatinya, pantas dia dikatakan memuakkan dan memuakkan perut!

   "Ahh, Puteri Syanti Dewi, harap paduka sudi mengampuni saya.... saya sungguh tidak tahu terima kasih.... saya memang membutuhkan bantuan dan paduka demikian rela membantu, akan tetapi saya keras kepala, sombong dan.... memuakkan perut, maafkan saya...."

   Dengan kaku dia lalu merebahkan dirinya sehingga kepalanya terbentur batu di belakangnya.

   "Aduhhh....!"

   Syanti Dewi cepat membalik dan berlutut. Melihat belakang kepala Tek Hoat menjendol, dia lalu menggosok-gosoknya dan mulutnya berbisik,

   "Kasihan.... orang muda yang malang...."

   "Saya.... saya tidak muda lagi...., paduka lebih muda...."

   "Tek Hoat, aku akan marah kalau kau terus menerus merendahkan diri, menyebut aku puteri dan paduka. Engkau mau bersahabat ataukah tidak?"

   Bibir yang merah itu cemberut.

   "Baikiah.... baiklah, put...., eh, Syanti Dewi. Engkau tentu lebih muda daripada aku...."

   Syanti Dewi tersenyum, agak lega karena wajah pemuda itu tidak sepucat tadi.

   "Tentu saja, kau tadi bilang tidak muda lagi, agaknya engkau sudah kakek-kakek."

   "Aku sudah tua, sudah terlalu tua oleh dosa...."

   "Sudah, jangan banyak cakap. Biarkan aku membalut luka-lukamu dan memberi obat-obat secukupnya."

   Dengan jari-jari tangan cekatan, sedikit pun tidak jijik melihat darah membeku dan luka kehitaman yang mengerikan, Syanti Dewi mengobati dan membalut luka-luka itu. Bukan main nyerinya, akan tetapi Tek Hoat menggigit giginya menahan sakit.

   "Orang-orang muda, apakah kalian pernah bertemu dengan muridku?"

   Tiba-tiba saja kakek bongkok itu berdiri di dekat mereka, membuat Syanti Dewi kaget dan hampir menjerit kalau saja dia tidak menutupi mulut dengan tangannya. Tek Hoat juga bangkit duduk dan memandang tajam, siap melindungi Syanti Dewi yang dipeluknya dengan lengan kiri. Ketika dia mengenal kakek bongkok yang tadi datang secara ajaib dan secara mujijat pula melerai pertempuran, dia bertanya dengan hormat,

   "Locianpwe, siapakah murid Locianpwe itu?"

   "Dia pemuda gagah perkasa, tinggi besar dan usianya dua puluh lima tahun, namanya Kok Cu...."

   "Maafkan saya, Locianpwe, saya belum pernah bertemu dengan dia...."

   Jawab Tek Hoat sejujurnya. Kakek itu menghela napas panjang.

   "Kalau begitu, biar aku mencari di lain tempat...."

   "Nanti dulu, Locianpwe!"

   Syanti Dewi berseru ketika kakek itu berkelebat lenyap. Dalam sekejap mata saja kakek itu kelihatan lagi dan Tek Hoat diam-diam kagum bukan main. Selama hidupnya baru sekali ini dia bertemu dengan seorang yang memiliki kesaktian sehebat ini!

   "Kau mau bicara apa, Nona?"

   "Entah dia murid Locianpwe atau bukan, akan tetapi saya pernah mendengar nama Kok Cu. Dia itu adalah Kao Kok Cu putera sulung Jenderal Kao Liang yang dahulu kabarnya lenyap di gurun pasir, bukan? Kalau Locianpwe mencari dia, sebaiknya ke kota raja menemui Jenderal Kao Liang."

   "Aihhh....!"

   Tiba-tiba kakek bongkok itu menepuk dahinya.

   "Jadi putera Jenderal Kao....?"

   Sepasang matanya yang mencorong itu kini bersinar-sinar sehingga mengejutkan dan menakutkan hati Syanti Dewi dan Tek Hoat. Mata kakek ini tidak lumrah mata manusia, mencorong seperti mengandung api!

   "Orang muda, engkau menderita keracunan yang lumayan. Di sini aku menerima berita tentang muridku, sudah sepatutnya pula kalau aku merubah sedikit keadaanmu agar lekas sembuh!"

   Kakek itu lalu menggerakkan lengannya dan Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan ngeri. Kakek itu berdiri kurang lebih tiga meter jauhnya dari Tek Hoat, akan tetapi lengannya terus memanjang sampai akhirnya telapak tangannya menempel di punggung pemuda itu, mengusap beberapa kali di punggung, leher dan pundak, kemudian lengan itu ditarik.

   "Aku pergi!"

   Terdengar suaranya akan tetapi orangnya sudah lenyap! Syanti Dewi bengong, menoleh ke kanan kiri dengan bulu tengkuk meremang. Sukar dia percaya bahwa kakek tadi seorang manusia, pantasnya sebangsa dewa atau juga siluman! Tiba-tiba Tek Hoat berseru kaget,

   "Aihh.... aku sudah sembuh!"

   Syanti Dewi cepat berlutut mendekati dan ketika dia memeriksa, benar saja, warna biru kehitaman di dadanya lenyap, juga luka-luka di leher dan pundaknya sudah tidak hitam lagi, bahkan hampir kering. Akan tetapi tubuhnya masih lemas sehingga ketika dia bangkit berdiri, dia terhuyung. Tek Hoat lalu berlutut.

   "Terima kasih, Locianpwe."

   "Akan tetapi kenapa kau kelihatan lemas sekali, Tek Hoat?"

   "Semua racun telah lenyap dari tubuh, dan luka-lukaku tidak ada artinya lagi. Akan tetapi tenagaku belum pulih dan aku perlu mengaso...."

   Pada saat itu terdengar sorak-sorai dan pertempuran makin menghebat, terdengar dari tempat itu. Mendengar ini, Syanti Dewi terkejut, cepat dia menarik lengan Tek Hoat dan diajaknya terus lari memasuki hutan yang lebat itu, makin jauh ke dalam. Kalau saja dia tahu bahwa sorak-sorai itu adalah tanda kedatangan pasukan pembantu dari negerinya, tentu dia tidak akan lari ketakutan. Setelah racun yang berada di tubuhnya lenyap semua berkat kesaktian kakek bongkok, tubuh Tek Hoat menjadi lemas sekali.

   Akan tetapi Syanti Dewi terus memaksanya untuk memasuki hutan lebih dalam sehingga pemuda ini berjalan terhuyung-huyung dipapah oleh dara itu. Hati pemuda ini terharu bukan main. Seorang dara begitu lembut dan halus, seorang puteri kerajaan, kini memapahnya, tersaruk-saruk menerjang semak-semak belukar yang penuh duri sehingga kaki tangan dara itu yang tidak terlindung, luka-luka dan lecet-lecet berdarah. Akhirnya senja telah tiba dan biarpun di luar hutan itu orang masih dapat melihat keadaan, akan tetapi di tengah hutan besar yang lebat itu, di mana pohon-pohon raksasa dengan daun-daunnya yang lebat merupakan atap yang menghalangi sinar matahari yang sudah condong ke barat sudah amat gelap sehingga tidak mungkin melanjutkan perjalanan.

   "Kita berhenti di sini...."

   Syanti Dewi berkata terengah-engah, sebagian karena lelah memapah tubuh Tek Hoat, akan tetapi terutama sekali karena tegang takut dikejar Tambolon. Tek Hoat menjatuhkan diri terguling, rebah di atas rumput. Syanti Dewi yang sudah lelah itu lalu membuat api unggun dan tak lama kemudian dia sudah duduk berlutut di dekat tubuh Tek Hoat yang rebah kelelahan.

   "Dewi.... Syanti Dewi.... mengapa engkau begini bersusah payah untukku...."

   Tek Hoat mengeluh, hatinya terharu sekali.

   "Jangan mengucapkan kata-kata seperti itu, Tek Hoat. Sudah berkali-kali engkau menyelamatkan aku dengan taruhan nyawamu, apa artinya bantuanku ini selagi engkau dalam keadaan sakit?"

   Hening sejenak.

   "Tujuh hari lamanya aku di kereta itu.... dan selama itu engkau berada di bilik kereta depan?"

   Puteri itu tersenyum dan mengangguk. Wajahnya memang sudah kelihatan merah oleh sinar api unggun, sehingga kalau toh sepasang pipinya berubah merah pun tidak akan kentara.

   "Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau bersembunyi?"

   "Engkau tahu, Tek Hoat. Banyak pihak yang jahat ingin menghalangiku kembali ke Bhutan. Setelah aku dilarikan oleh Bibi Puteri Milana dari istana, aku bertemu dengan ayah angkatku, Jenderal Kao Liang. Aku diberi dua losin orang pengawal dan di tengah jalan malah tertawan oleh Tambolon. Setelah engkau menyelamatkan aku dan mengantarku ke rumah Perdana Menteri Su, aku lalu ditemukan dengan Paman Panglima Jayin dari Bhutan. Agar perjalananku aman, maka aku lalu disuruh oleh Paman Jayin agar bersembunyi di dalam kereta besar itu, dan tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapapun juga. Bilik belakang itu adalah tempat alat-alat keperluanku. Akan tetapi engkau muncul pula dan karena engkau telah terluka ketika membantu kami, maka aku memerintahkan Paman Jayin untuk menolongmu ke dalam bilik belakang. Ketika engkau masih pingsan.... aku merawatmu. Akan tetapi engkau siuman dan aku lalu masuk kembali ke bilik depan."

   Jantung Tek Hoat berdebar tegang ketika dia teringat akan semua pengalamannya di dalam bilik kereta itu.

   "Dan aku.... aku mengigau tentang dirimu, aku.... aku bernyanyi.... menyebut-nyebut namamu.... kau.... kau mendengar semua itu....?"

   Kembali Syanti Dewi tersenyum dan mengangguk. Karena keadaan Tek Hoat itulah maka mula-mula Syanti Dewi tertarik sekali, merasa kasihan dan timbul perasaan kasih di dalam hatinya terhadap pemuda ini. Dalam keadaan tidak sadar pemuda ini dengan jelas menyatakan cinta kasih yang mendalam terhadap dirinya dan hatinya merasa terharu sekali.
(Lanjut ke Jilid 52)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 52
"Kalau begitu...."

   Tek Hoat tidak mampu melanjutkan.

   "Mengapa, Tek Hoat?"

   "Kalau begitu aku telah melakukan dosa besar terhadapmu, Syanti Dewi."

   "Hemm, mengapa?"

   "Engkau seorang puteri yang agung, seorang puteri kerajaan yang mulia, seorang dara yang cantik jelita dan berbudi mulia, sedangkan aku...."

   "Kau adalah penolongku berkali-kali, sejak kau menyamar sebagai tukang pe-rahu."

   "Tidak, aku adalah seorang yang jahat sekali, Dewi...."

   "Lagi-lagi kau merendah. Sikapmu itu sungguh tidak menyenangkan, Tek Hoat. Penyesalan diri secara berlebihan tidak ada gunanya sama sekali kecuali mendatangkan perasaan muak kepada orang lain. Yang penting adalah menyadari bahwa dirinya telah bertindak keliru. Kesadaran ini akan mendatangkan perubahan, bukan hanya penyesalan kosong belaka!"

   "Maaf, akan tetapi kau.... kau sungguh tidak tahu siapa aku?"

   "Siapa bilang aku tidak tahu siapa engkau, Tek Hoat? Aku malah mengetahui lebih banyak tentang dirimu daripada engkau sendiri! Dulu ketika engkau hendak meninggalkan aku di istana Perdana Menteri Su, aku tidak sempat lagi menceritakan hal ini. Sesungguhnyalah, aku lebih tahu daripada engkau sendiri tentang dirimu."

   Tek Hoat memandang terbelalak heran.

   "Apa yang kau maksudkan, Dewi?"

   Hati Syanti Dewi terharu. Pemuda itu kini menyebutnya Dewi dan satu-satunya orang yang menyebutnya demikian hanyalah Gak Bun Beng. Ada persamaan baginya antara pemuda ini dengan Gak Bun Beng!

   "Maksudku, aku telah bertemu dengan ibumu yang bernama Ang Siok Bi! Dan aku telah mendengar ibumu bicara dengan Bibi Puteri Milana sehingga terbukalah rahasia yang agaknya belum kau ketahui sendiri tentang dirimu."

   Tentu saja Tek Hoat terkejut bukan main dan bagaikan diserang ular dia bangkit duduk, tidak peduli akan tubuhnya yang lemas sehingga hampir dia terguling.

   "Kau berjumpa dengan ibuku? Di mana? Kapan? Dan apa yang dibicarakannya dengan Puteri Milana?"

   Syanti Dewi tersenyum. Dia melihat gairah dan kerinduan membayang di mata pemuda itu ketika menyebut ibunya dan giranglah hatinya menyaksikan ini karena dia tahu bahwa pemuda ini mencinta ibunya.

   "Sebelum aku menceritakan semua itu, aku ingin tahu lebih dulu apakah engkau mengenal nama Gak Bun Beng?"

   Tiba-tiba wajah pemuda itu menjadi muram.

   "Tentu saja! Sampai mati pun aku tidak akan melupakan nama itu!"

   "Dan engkau tadinya mengira dia sudah mati, bukan?"

   "Benar, akan tetapi aku girang bahwa dari Puteri Milana aku mendengar bahwa dia masih hidup. Aku harus dapat mencarinya dan bertemu muka dengan dia!"

   Kata-kata ini dikeluarkan dengan nada ke-ras.

   "Aku tahu, engkau masih menganggap dia musuh besarmu. Untung terbuka rahasia itu sehingga aku mengetahui, karena kalau tidak, dan engkau masih terus menganggap dia musuh besarmu.... hal itu.... akan amat mendukakan hatiku, Tek Hoat. Ketahuilah bahwa dia itu sesungguhnya bukanlah musuh besarmu, bahwa Gak Bun Beng adalah semulia-mulianya manusia, seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang patut dihormati dan dikagumi...."

   "Dewi! Apa maksudmu?"

   "Dengarlah baik-baik apa yang kudengar dari pembicaraan antara ibumu dan Bibi Milana. Sebelum bertemu dengan Bibi Milana, Ibumu sendiri, Bibi Ang Siok Bi itu, juga menganggap Gak Bun Beng sebagai musuh besarnya yang sudah mati. Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng belum mati, bahkan sama sekali bukan musuh besarnya. Katakanlah dulu, Tek Hoat, apa yang diceritakan oleh ibumu tentang ayahmu dan tentang Gak Bun Beng?"

   "Ibu menyatakan bahwa ayahku bernama Ang Thian Pa dan bahwa ayahku itu dibunuh oleh penjahat Gak Bun Beng yang juga telah berhasil dibunuh oleh Ibu. Dan ternyata sekarang bahwa Gak Bun Beng masih hidup...."

   "Dia sama sekali bukan penjahat, melainkan seorang pendekar besar berhati mulia! Ibumu dahulu salah duga, Tek Hoat, dan beginilah menurut percakapan antara ibumu dan Puteri Milana. Dahulu di waktu masih gadis, ibumu telah diperkosa oleh seorang penjahat muda yang dilakukan dalam gelap dan penjahat muda itu mengaku bernama Gak Bun Beng karena Gak Bun Beng adalah musuh besarnya.... eh, kenapa kau?"

   Syanti Dewi terkejut melihat pemuda itu memegangi kepalanya.

   "Tidak, tidak apa-apa, teruskan!"

   Tek Hoat berkata. Kepalanya seperti dihantam palu godam mende-ngar permulaan cerita itu, karena dia seolah-olah diejek dan disindir, teringat akan perbuatannya sendiri yang melakukan segala kejahatan menggunakan nama Gak Bun Beng pula!

   "Nah, tentu saja ibumu menganggap Gak Bun Beng sebagai musuh besarnya dan pada suatu hari, bersama wanita-wanita lain yang menjadi korban pemuda jahat yang menyamar sebagai Gak Bun Beng, ibumu dan beberapa orang wanita berhasil mengeroyok Gak Bun Beng sampai pendekar itu terjerumus ke dalam jurang yang dalam dan disangka mati. Ibumu lalu pergi dan tak pernah muncul kembali sehingga dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng belum tewas. Di antara para pengeroyok itu terdapat Bibi Milana. Bibi Milana akhirnya tahu bahwa Gak Bun Beng tidak berdosa, dan penjahat yang sesungguhnya, telah tewas menebus dosanya. Akan tetapi ibumu agaknya tidak atau belum tahu sehingga ketika melahirkan engkau, dia hendak menanam bibit kebencian di hatimu terhadap Gak Bun Beng yang disangka pemerkosanya."

   Dengan wajah pucat sekali Tek Hoat memandang Syanti Dewi. Andaikata bukan puteri itu yang bercerita seperti ini, bukan wanita yang dipujanya, dicintanya dan tentu saja dipercayanya, tentu dia akan marah dan akan membunuh yang bercerita itu.

   "Dewi.... Dewi.... demi Tuhan....! Benarkah itu....?"

   "Aku mendengar sendiri, dan perlu apa aku membohongimu?"

   "Lalu.... lalu bagaimana....? Lalu siapa orang itu? Siapa.... pemerkosa Ibu dan.... ayahku itu....?"

   "Dia bernama Wan Keng In, putera tiri dari Pendekar Super Sakti sendiri. Jadi engkau masih cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan engkau bukan she Ang, karena itu she Ibumu melainkan she Wan."

   "Dan.... dan Ang Thian Pa.... ah, bisa jadi dialah kakekku.... bekas ketua Bu-tong-pai.... ahh, Ibuuu...!"

   Tek Hoat menjerit lalu terguling dan pingsan. Tentu saja Syanti Dewi menjadi sibuk sekali, mengguncang-guncang tubuh pemuda itu dan memanggil-manggil. Panglima Jayin dan anak buahnya, juga pasukan yang baru tiba dan berhasil menyelamatkan mereka, dibantu pula oleh See-thian Hoat-su dan Teng Siang In, setelah Tambolon dan anak buahnya melarikan diri, bingung karena Puteri Syanti Dewi dan Tek Hoat tidak berada di dalam kereta!

   "Celaka, kita kena diperdaya musuh!"

   Jayin berseru dan dia lalu menyebar orang-orangnya untuk mencari ke sana-sini.

   "Hemmm, nenek gila itu sungguh keterlaluan. Tidak salah lagi, tentu mereka telah berhasil menawan Sang Puteri dan pemuda itu. Pemuda itu terluka hebat, tentu tidak mampu melawan. Awas kau, Durganini, sekali ini aku tidak akan mengampunimu kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sang Puteri!"

   See-thian Hoat-su membanting-banting kakinya.

   "Suhu, kenapa tidak tadi-tadi kau merobohkan nenek itu dan baru sekarang mengancam setelah dia pergi dan berhasil menculik Sang Puteri?"

   Muridnya menegur dan kakek itu hanya menunduk dan menarik napas panjang. Harus diakuinya bahwa dia lemah terhadap bekas isterinya itu sehingga kini mengakibatkan malapetaka.

   "Betapapun juga, kita harus berusaha mencari dan mengejar mereka,"

   Panglima Jayin yang merasa khawatir sekali akan keselamatan puteri junjungannya berkata. Tiba-tiba terdengar Siang In berseru nyaring,

   "Heiii....! Kiranya kau laki-laki genit juga berada di sini....!"

   Semua orang menengok dan ternyata yang muncul adalah Suma Kian Bu! Seperti telah kita ketahui, baik Kakek See-thian Hoat-su maupun Panglima Jayin dan empat orang pembantunya pernah berkenalan dengan Kian Bu, bahkan sama-sama menjadi tawanan Tambolon, kemudian sama-sama melarikan diri di atas rakit dan melawan anak buah Tambolon.

   Tentu saja kemunculan pemuda perkasa ini menrgirangkan semua orang. Akan tetapi Siang In yang girang sekali bertemu kembali dengan pemuda ini, tidak memberi kesempatan kepada orang-orang lain untuk menyambut Kian Bu. Dia sudah lari menghampiri Kian Bu dengan kegembiraan meluap dan tak terbendung lagi dia memegang lengan tangan Kian Bu sambil bicara dengan asyik, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Kian Bu untuk bernapas lagi! Siang In teringat akan pertemuan-nya yang pertama dengan Kian Bu, maka sambil tertawa cekikian menutupi mulutnya dia mencerita-kan dengan suara nereces tiada hentinya tentang pengalamannya, betapa dia menjadi murid See-thian Hoat-su dan lain sebagainya.

   Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau ingat pertemuan kita dahulu? Wah, aku sudah kangen sekali kepada Pek-liong, kudaku yang hebat itu. Kau menyebutnya keledai, ya? Salah! Dia itu kuda, kuda peranakan keledai, jadi masih kuda juga namanya! Dan aku sekarang sudah lebih pandai meniru gayamu dahulu itu! Hayo kita ke sana, kuperlihatkan kepadamu!"

   Siang In menowel dagu Kian Bu begitu saja di depan banyak orang lalu menarik tangan Kian Bu pergi dari situ. Semua orang tersenyum-senyum dan See-thian Hoat-su tertawa bergelak melihat kepolosan sikap dara remaja yang masih kekanak-kanakan itu. Wajah Kian Bu menjadi merah sekali. Pemuda ini menyeringai dan serba salah, akan tetapi kalau dia berkeras menolak, dia merasa tidak tega. Dara itu begitu polos, begitu jenaka dan kekanak-kanakan sehingga di balik semua lagaknya itu tidak tersembunyi maksud-maksud tertentu, melainkan wajar terbawa oleh kegembiraannya. Maka dia pun membiarkan dirinya ditarik menjauhi semua orang sehingga tidak tampak lagi oleh mereka.

   "Nah, kau lihat. Bukankah begini lagak wanita genit memikat itu?"

   Siang In mulai beraksi, mengitari tubuh Kian Bu, berlagak, mengerling, tersenyum simpul, manisnya bukan main, melebihi orang yang ditirunya sendiri, yaitu Mauw Siauw Mo-li. Dia menowel, menyodok, mencubit dengan wajah menengadah, begitu menantang, begitu menggoda agar Kian Bu memuji kepandaiannya. Akan tetapi, dara itu sama sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya sekarang ini bukanlah Kian Bu yang dahulu lagi! Bukan Kian Bu yang masih hijau dan kekanak-kanakan pula.

   Kian Bu yang sekarang adalah seorang laki-laki bukan kanak-kanak lagi, sudah digembleng dalam buaian asmara dan permainan cinta oleh Lauw Hong Kui si Siluman Kucing, sudah diperkenalkan dengan madunya asmara yang memabokkan, sudah pernah menghamba kepada nafsu berahi. Kini, melihat bibir yang manis, merah merekah itu setengah terbuka menantang sekali, tersenyum simpul melihatkan sedikit gigi putih dan ujung lidah, melihat cuping hidung mancung itu agak kembang-kempis dan mata itu menyambar-nyambar dengan kerlingan memikat, dada yang mulai membusung itu mengalun naik turun, pinggang yang ramping berliuk dan pinggulnya bergerak-gerak memutar ke kanan kiri, dua kuncir rambut yang hitam panjang itu menari-nari di belakang pinggulnya saking panjangnya, jantung Kian Bu sudah berdebar seperti mau pecah.

   "Kau.... menggemaskan....!"

   Dia berbisik dan ketika dara itu dengan sikap manja dibuat-buat seperti hendak merangkul leher dengan kedua lengan, menyentuh pundaknya, dia segera menyergap, merangkul dan mencium mulut itu dengan bibirnya, dikecupnya dengan penuh kemesraan dan penuh semangat, sampai lama tidak dilepaskannya. Siang In gelagapan seperti seekor anak ayam jatuh ke air, tak dapat bernapas dan meronta-ronta, dari kerongkongannya keluar suara ah-ah-uh-uh karena mulutnya tersumbat, kedua kakinya menyepak-nyepak seperti seekor kuda marah. Setelah akhirnya Kian Bu melepaskannya, dia memandang pemuda itu dengan sepasang mata yang terbelalak lebar, seperti mata seekor kelinci ketakutan, kemudian tangan kanannya menyambar ke depan.

   "Plak-plak-plak!"

   Tiga kali pipi kiri Kian Bu ditamparnya sampai ada tapak tangan merah di atas pipi itu.

   "Kau.... kau.... jahat! Kau menjijikkan....!"

   Gadis itu lalu menangis dan membalikkan tubuh lagi sambil meludah cah-cih-cuh ke kanan kiri! Tentu saja semua orang terkejut dan terheran-heran melihat dara itu berlari keluar dari gerombolan pohon sambil menangis, kemudian menubruk dan merangkul gurunya sambil menangis tersedu-sedu.

   "Eh, ada apa? Apa yang terjadi?"

   See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi gadis itu hanya membanting-banting kedua kakinya tanpa mau memberi tahu dan terus menangis.

   "Kenapa, Siang In? Dan di mana Suma Kongcu?"

   Tanya pula gurunya, akan tetapi gadis cilik itu hanya menggeleng-geleng kepala dengan keras dan masih menangis, menyembunyikan mukanya di baju suhunya. Jayin mengejar ke tempat dari mana gadis itu tadi lari keluar, akan tetapi dia tidak melihat Kian Bu lagi.

   Kemudian dia memperoleh keterangan dari seorang anak buahnya bahwa pemuda itu setelah mendengar keterangan darinya tentang semua peristiwa yang baru terjadi, bahwa mungkin Syanti Dewi dan Tek Hoat dilarikan oleh Tambolon dan anak buahnya karena Tek Hoat dalam keadaan terluka hebat, lalu pergi dan mengatakan hendak mengejar dan mencari mereka! Jayin lalu kembali dan menceritakan hal ini kepada See-thian Hoat-su. Setelah Siang In mendengar bahwa Kian Bu telah pergi, barulah dia menghentikan tangisnya dan dia lalu duduk termenung-menung menunjang dagunya, dengan mulut cemberut dan bersungut-sungut, kadang-kadang menelan ludah. Sementara itu, Kian Bu cepat lari dari tempat itu. Dia merasa malu dan menyesal sekali mengapa dia sampai lupa diri dan berbuat seperti itu terhadap seorang dara remaja seperti Siang In!

   Dia merasa serba salah, maka dia pergi dari situ, bertemu dengan seorang pembantu Jayin dan menanyakan urusan. Ketika mendengar bahwa Syanti Dewi terculik musuh, dia terkejut dan khawatir sekali. Betapapun juga, cintanya terhadap Puteri Bhutan itu masih melekat di kalbunya, bahkan luka oleh penolakan puteri itu masih belum sembuh. Diam-diam dia harus mengakui bahwa luka itulah yang membuat dia mudah tergoda oleh Lauw Hong Kui. Andaikata cinta kasihnya diterima dan dibalas oleh Syanti Dewi, jangankan baru Hong Kui, biar ada tujuh bidadari turun dari kahyangan untuk menggodanya, tentu dia tidak akan runtuh! Dan godaan Hong Kui sebagai akibat patah hatinya terhadap Syanti Dewi itu mendatangkan akibat yang hebat, membuat dia lemah menghadapi wanita sehingga di depan Siang In tadipun dia tidak dapat menahan diri!

   Kini, Syanti Dewi yang dicintanya diculik orang! Dia lalu menyusup-nyusup ke dalam hutan yang lebat itu karena dia menduga bahwa agaknya menghadapi pasukan besar Bhutan, Tambolon tentu membawa lari puteri itu dan bersembunyi di dalam hutan lebat ini. Hutan itu makin lebat dan makin gelap saja. Malam itu terpaksa Kian Bu bermalam di atas pohon besar. Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi baru dia terbangun. Tubuhnya terlalu lelah sehingga tidur di atas pohon itu amat nikmat, membuat dia pulas sampai hampir siang baru terbangun oleh suara yang terdengar di bawah pohon. Ketika dia memandang ke bawah, dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat Tambolon dan nenek hitam yang lihai itu berjalan perlahan dan menengok ke kanan kiri.

   "Tidak salahkah kau, Tambolon?"

   Terdengar nenek itu mengomel.

   "Awas, akan kujewer telingamu kalau puteri itu tidak berada di sini."

   "Tidak mungkin salah, Subo. Di dalam keributan, puteri itu menghilang. Ka mana lagi kalau tidak ke hutan lebat ini, dan tadi kita menemukan jejak mereka dan sedikit darah. Agaknya puteri itu lari bersama Tek Hoat yang sudah terluka."

   "Heh, pemuda itu memang hebat!"

   "Tapi sudah terluka parah, Subo. Terkena guratan kuku Subo dua kali, mana bisa dia bertahan hidup? Dan masih terkena pukulan dan tendangan. Andaikata dia belum mampus pun, tentu tidak akan mampu melawan lagi."

   Mereka melanjutkan perjalanan, menyusup-nyusup dan perlahan-lahan sambil memandang ke kanan kiri. Dua orang itu tidak tahu betapa diam-diam Kian Bu membayangi mereka dari jauh, dengan hati-hati sekali. Kian Bu berani bergerak kalau kedua orang itu bergerak sehingga suara keresekan kaki mereka menginjak daun-daun kering menyembunyikan suara berisik dari kakinya sendiri. Kalau mereka berhenti, dia pun cepat berhenti. Tiba-tiba nenek itu berhenti dengan mendadak.

   "Aku mendengar suara orang!"

   Bisiknya. Tambolon terkejut, memasang telinga, akan tetapi tidak mendengar apa-apa.

   "Tidak ada suara, Subo."

   "Tolol! Tadi aku mendengar, suaranya dari belakang."

   Tambolon membalik dan memandang ke belakang. Sunyi saja. Diam-diam dia mengomeli subonya yang dianggapnya sudah pikun. Mana mungkin ada orang di belakang? Kalau ada tentu sudah mereka lewati dan mereka lihat tadi.

   "Tidak ada siapa-siapa, Subo. Mari kita lanjutkan. Aku dapat menduga ke mana mereka pergi."

   "Ke mana?"

   "Aku sudah mengenal betul hutan ini. Satu-satunya sumber air di hutan ini adalah di depan, di bawah pohon pek yang besar. Dan kalau Tek Hoat terluka parah, tentu mereka membutuhkan air. Agaknya ke sanalah mereka."

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 20 Sepasang Pedang Iblis Eps 34 Pendekar Super Sakti Eps 36

Cari Blog Ini