Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 46


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 46



"Agaknya kita telah didahului tamu-tamu tidak diundang. Jarang ada orang luar berani mendatangi Pulau Es. Nirahai dan Lulu, kita sudah saling berjanji tidak akan mencari urusan di luar, karena aku tahu bahwa kalian masih mempunyai kekerasan hati, maka apa pun yang terjadi nanti, kuharap kalian tinggal diam dan menonton saja. Biarlah aku sendiri yang akan menanggulanginya."

   Nirahai dan Lulu saling pandang, tersenyum dan keduanya mengangguk. Telah terjadi perubahan besar atas diri pria ini, pria berkaki buntung yang mereka cinta dan junjung tinggi. Kalau dahulu Suma Han merupakan seorang pendekar sakti yang berhati lemah, kini mulai tampak kejantanannya, dan pertama-tama kejantanannya itu diperlihatkan dengan menguasai kedua orang isterinya!

   Setelah menarik perahu kecil mereka di pantai yang dangkal, ketiganya melompat turun ke darat dan berdiri tegak dengan sikap tenang, memandang Bhong Ji Kun yang sudah diberi kabar oleh anak buahnya dan kini berlarian datang menyambut bersama seluruh pembantunya, dengan senjata siap di tangan masing-masing. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan berdebar penuh kegelisahan hati Bhong Ji Kun ketika melihat bahwa yang datang bukan hanya Pendekar Super Sakti seorang, melainkan ditemani oleh Puteri Nirahai bekas Ketua Thian-liong-pang dan Lulu bekas Majikan Pulau Neraka! Baru Pendekar Super Sakti seorang saja sudah merupakan seorang lawan yang amat menakutkan dan amat berat dilawan, apalagi masih ada dua orang wanita sakti itu!

   Dengan sikap tenang Suma Han, Nirahai, dan Lulu berdiri di pantai. Hanya mata mereka yang bergerak, melirik ke arah Bhong Ji Kun dan para pembantunya yang datang dari kanan-kiri. Diam-diam Suma Han merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa yang boleh dicatat sebagai lawan tangguh hanyalah Bhong Ji Kun sendiri, Thian Tok Lama, dan agaknya orang yang memegang tombak gagang panjang itu. Dia merasa sanggup untuk mengatasi mereka. Akan tetapi dia merasa curiga melihat sikap Bhong Ji Kun yang kelihatannya sama sekali tidak takut kepadanya, padahal dia datang bersama Nirahai dan Lulu, sendiri saja sudah cukup untuk menandingi Bhong Ji Kun! Akan tetapi kakek itu begitu berani menyambutnya dengan sikap seolah-olah keadaannya lebih kuat. Tentu ada apa-apanya ini!

   "Aha, Pendekar Super Sakti, engkau baru datang? Sudah lama kami mengharapkan kedatanganmu!"

   Kata Bhong Ji Kun sambil menekan debar jantungnya.

   "Hemm, mengunjungi tempat orang tanpa ijin, dan selagi tempat itu ditinggalkan penghuninya. Hanya orang seperti engkaulah yang tidak malu melakukan kedua hal itu, Im-kan Seng-jin,"

   Kata Suma Han dengan suara halus namun nadanya cukup membuat para pembantu Bhong Ji Kun merasa serem. Di antara mereka semua, hanya Ciat Leng Souw seorang yang belum pernah bertemu dengan Suma Han, hanya mendengar nama julukannya saja. Kini, melihat bahwa orang yang disohorkan sebagai dewa atau siluman itu, ternyata hanyalah seorang yang wajahnya masih muda dan tampan, rambutnya putih semua, dan sebuah kakinya buntung, senjatanya hanya sebatang tongkat butut. Apanya sih yang perlu ditakuti? Berubah wajah Bhong Ji Kun mendengar ucapan itu.

   "Harap To-cu (Majikan Pulau) tidak salah paham, karena sesungguhnya kedatangan kami ke sini bukan sebagai tamu tidak diundang."

   "Tidak sebagai tamu, melainkan sebagai pelarian-pelarian perang yang sudah hancur kekuatannya!"

   Nirahai tak dapat menahan hatinya dan berkata nyaring, akan tetapi tidak melanjutkan karena Lulu menyentuh tangannya, membuat dia teringat akan larangan suaminya! Bhong Ji Kun menjura ke arah Nirahai dan Lulu.

   "Pelarian sementara! Karena itulah, maka kami bergembira sekali kini berhadapan dengan Pendekar Super Sakti dan dengan Ji-wi Lihiap (Kedua Wanita Pendekar) yang berilmu tinggi, karena kami yakin bahwa dengan kerja sama antara kami dengan Sam-wi (Anda Bertiga), kekalahan kami akan tertebus dan akhirnya perjuangan kami akan berhasil."

   "Apa? Mengajak kami bekerja sama....?"

   Nirahai kembali berseru saking herannya.

   "Aihh, dia sudah gila!"

   Lulu juga tidak dapat menahan untuk berseru heran. Siapa orangnya tidak akan heran. Dia dan Nirahailah yang memimpin pasukan pemerintah menghan-curkan pemberontak ini, dan sekarang bekas Koksu pemberontak itu mengajak mereka untuk bekerja sama memberontak. Hanya orang gila saja yang mengajukan usul demikian. Akan tetapi Suma Han berpikir lain. Sejak tadi dia sudah curiga menyaksikan sikap Koksu Bhong Ji Kun yang memberontak itu sama sekali tidak gentar bahkan kelihatan terlalu berani. Sekarang dengan pertanyaannya itu, yaitu mengusulkan kerja sama, bahkan bukan mengusulkan, karena kata-katanya itu seperti menentukan, makin jelas bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang membuat bekas Koksu ini yakin akan kemenangannya!

   "Im-kan Seng-jin, apa yang membuat engkau begitu yakin bahwa kami akan suka bekerja sama denganmu? Tidak perlu bersikap rahasia, katakanlah saja!"

   Suma Han berkata sambil memandang tajam. Akan tetapi, teringat akan nasihat mendiang Maharya agar berhati-hati menghadapi Pendekar Siluman ini, terutama jangan sekali-kali menentang pandang matanya,

   Sejak tadi Bhong Ji Kun tidak pernah berani bertemu pandang dengan pendekar itu. Bhong Ji Kun bertepuk tangan, isarat yang memang sudah diatur sebelumnya dan muncullah seorang Mongol raksasa mengempit tubuh Kwi Hong yang kaki tangannya terbelenggu wajahnya pucat dan pakaiannya compang-camping. Bukan main kagetnya Suma Han melihat ini, akan tetapi selain raksasa Mongol itu siap untuk memukul kepala Kwi Hong dengan tangannya yang besar dan kuat, juga Thai-lek-gu yang gendut telah meloncat ke dekat Gozan dan menodongkan goloknya kepada gadis tawanannya itu! Tidak ada gunanya menggunakan kekerasan untuk mencoba menolong keponakannya, pikir Suma Han. Dia tentu kalah cepat dan andaikata dia dapat membunuh semua orang itu, tentu Kwi Hong akan terbunuh lebih dulu.

   "Ahh, Si Jahanam menawan Kwi Hong....!"

   Lulu berteriak. Nirahai juga terkejut ketika mendengar bahwa murid atau keponakan suaminya telah menjadi tawanan. Mengertilah dia kini mengapa bekas Koksu itu bersikap seberani itu. Kiranya sama sekali bukan gila, melainkan licin dan curang sekali! Melihat betapa Suma Han menggerakkan jari tangan ke arah mereka, maklumlah kedua orang wanita itu bahwa mereka dilarang untuk turun tangan. Dan memang mereka pun sudah cukup cerdik untuk tidak sembarangan turun tangan, karena hal ini berarti kematian bagi Kwi Hong.

   "Kwi Hong! Bagaimana engkau bisa tertawan?"

   Suma Han menegur muridnya. Air mata bercucuran dari kedua mata Kwi Hong dan suaranya berduka sekali ketika dia menjawab,

   "Harap Paman tidak mendengarkan permintaan iblis-iblis ini. Biarkan aku mati, Paman, memang sudah patut kalau aku harus mati. Aku telah ditipunya, aku telah bersekutu dengan pemberontak-pemberontak laknat ini, karena menyangka bahwa pemerintah adalah musuh Paman. Setelah pemberontakan gagal, aku malah mengajak mereka menyembunyikan diri ke pulau ini. Akan tetapi, ternyata mereka adalah iblis-iblis yang jahat. Aku telah salah, dan aku rela mati. Harap Paman tidak mengorbankan apa-apa untukku!"

   "Wah, dia benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa!"

   Bhong Ji Kun memuji.

   "Akan tetapi kami masih sangsi apakah Pendekar Super Sakti yang terkenal itu memiliki cukup kegagahan seperti muridnya untuk berkorban demi muridnya. Terserah pilihanmu, To-cu!"

   "Jahanam busuk!"

   Nirahai membentak.

   "Keparat hina!"

   Lulu juga memaki. Akan tetapi Suma Han mengangkat kedua tangannya menyuruh kedua orang wanita itu bersa-bar dan tidak turun tangan. Kemudian dia menghadapi Bhong Ji Kun dan berkata,

   "Bhong Ji Kun, engkau tentu mengerti dengan baik bahwa sampai mati sekalipun kami bertiga tidak mau melibatkan diri dalam pemberontakan yang kau pimpin itu. Permintaanmu sebagai pengganti kebebasan keponakanku sungguh tidak masuk akal. Pikirlah baik-baik sebelum terpaksa kami membasmi kalian sebagai penukar nyawa murid dan keponakanku."

   Diam-diam Bhong Ji Kun mempertimbangkan. Tidak dapat diragukan lagi, kalau Pendekar Super Sakti mengamuk di bantu dua orang wanita sakti yang entah bagaimana kini menjadi baik dengan Pendekar Super Sakti, tentu dia dan semua pembantunya ditukar hanya dengan nyawa gadis itu!

   "Tentang kerja sama biarlah kita bicarakan kemudian,"

   Kata Bhong Ji Kun yang cerdik itu.

   "Sekarang kuganti penukarannya. Pertama kami mau membebaskan muridmu asal engkau dan dua orang wanita itu tidak mengganggu kami."

   "Sudah tentu! Kalau engkau suka membebaskan Kwi Hong, kami pun tidak akan mengganggumu dan kalian boleh pergi dengan aman,"

   Jawab Suma Han, jawaban yang membuat alis kedua orang wanita sakti itu berkerut. Mereka sama sekali tidak setuju kalau orang-orang macam Bhong Ji Kun dan teman-temannya itu dibiarkan pergi begitu saja! Akan tetapi keduanya tidak berani membantah! Agaknya mereka pun sudah menarik pelajaran dari pengalaman mereka setelah mereka menderita batin karena asmara gagal selama belasan tahun.

   "Dan ke dua, engkau harus menyerahkan kitab-kitab pusaka peninggalan Bu Kek Siansu yang tentu tadinya berada di Pulau Es kepada kami."

   "Kitab-kitab pusaka Pulau Es tidak berada padaku. Ketika pasukan yang kaupimpin menyerbu ke sini, pusaka-pusaka itu telah dibawa oleh pembantuku."

   "Hemm, jangan kau main-main dengan nyawa muridmu, To-cu dan amat memalukan kalau seorang pendekar dengan kedudukan seperti engkau mengeluarkan kata-kata membohong."

   Sepasang mata Suma Han mengeluarkan cahaya menyambar seperti kilat, membuat Bhong Ji Kun terkejut dan cepat menundukkan muka.

   "Bhong Ji Kun, untuk kata-katamu itu saja, dalam lain keadaan sudah cukup menjadi alasan bagiku untuk menghancurkan mulutmu!"

   Nada dalam suara Pendekar Super Sakti itu membuat wajah bekas Koksu itu menjadi pucat karena dia merasa betul betapa penuh wibawa dan bukan ancaman kosong saja kata-kata itu.

   "Siapa yang bisa percaya bahwa seorang To-cu tidak menyimpan sendiri pusaka istananya?"

   Dia membela diri.

   "Pusaka ada di sini....!"

   Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan bayangannya berkelebat datang. Kiranya orang ini adalah Phoa Ciok Lin yang datang membawa sebuah peti kayu cendana yang berukir indah. Melihat peti ini, Kwi Hong dengan suara tangisnya berkata,

   "Bibi.... jangan.... jangan berikan kepada mereka....! Lebih baik aku mati daripada mengorbankan pusaka-pusaka itu....!"

   Phoa Ciok Lin, wakil dalam Pulau Es, pembantu Suma Han yang usianya sebaya dengan kedua isteri pendekar itu, me-ngerling kepada Suma Han dan dua orang isterinya, tersenyum penuh syukur akan tetapi pandang matanya sayu penuh derita batin, kemudian cepat menghampiri bekas Koksu dan berkata,

   "Im-kan Seng-jin, engkau membutuhkan pusaka Pulau Es? Inilah pusaka-pusaka itu, boleh kuserahkan kepadamu asal engkau membebaskan Kwi Hong lebih dulu!"

   Mata Bhong Ji Kun dan kawan-kawannya terbelalak penuh gairah memandang ke arah peti berwarna coklat itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun yang sudah biasa melakukan segala macam tipu muslihat, tentu saja menjadi seorang yang tidak mudah percaya dan selalu berprasangka buruk. Memang demikianlah, watak seseorang dibentuk oleh kebiasaan dan pengalamannya sendiri. Seorang pembohong akan selalu tidak percaya kepada kata-kata orang lain, seorang penipu akan selalu curiga terhadap semua orang.

   "Suma To-cu, benarkah ini peti berisi pusaka Istana Pulau Es?"

   Tanyanya sambil menoleh ke arah Suma Han. Pendekar ini mengangguk dan suaranya dingin sekali ketika menjawab,

   "Dia adalah wakilku dan kepercayaanku yang membawa pusaka Istana Pulau Es."

   Makin berseri wajah Bhong Ji Kun.

   "Suma-tocu, aku mau menukar muridmu dengan pusaka-pusaka itu, akan tetapi berjanjilah bahwa engkau tidak akan menghalangi dan merampas kembali kalau peti berisi pusaka telah diserahkan kepadaku."

   "Aku berjanji!"

   "Paman, jangan! Lebih baik aku mati!"

   "Diam kau!"

   Suma Han membentak dan Kwi Hong hanya terisak menangis.

   "Im-kan Seng-jin, bebaskan Kwi Hong, baru akan kuserahkan kepadamu peti berisi pusaka ini!"

   Kembali Phoa Ciok Lin mendesak, wajahnya yang cantik itu agak pucat. Bhong Ji Kun tersenyum lega. Setelah mendapatkan janji Suma Han, siapa lagi yang dia takuti? Dia lalu memberi isyarat dengan anggukan kepala kepada Gozan dan Thai-lek-gu. Dua orang ini lalu melepaskan belenggu kaki tangan Kwi Hong, lalu mendorong tubuh dara yang sudah lemas dan lemah itu ke arah Pendekar Super Sakti. Kwi Hong jatuh berlutut di depan kaki pamannya, menangis terisak-isak dan tidak berani mengangkat muka. Suma Han sama sekali tidak mempedulikan dia, hanya memandang ke arah Phoa Ciok lin dengan alis berkerut dan hati menekan kegelisahan.

   "Tawanan telah kubebaskan, berikan peti itu!"

   Bhong Ji Kun berkata sambil mengulur tangan hendak mengambil peti dari tangan Phoa Ciok Lin. Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara ketawa aneh, petinya terlempar ke belakang, ke arah Suma Han, sedangkan dia sendiri seperti gila telah menubruk bekas Koksu itu dengan pukulan kedua tangannya, pukulan maut yang amat berbahaya.

   "Ciok Lin, jangan....!"

   Suma Han berseru mencegah pembantunya. Namun terlambat. Serangan Phoa Ciok Lin yang hebat itu membuat Bhong Ji Kun terkejut bukan main. Untuk mengelak sudah tiada kesempatan lagi, maka dia hanya dapat menangkis pukulan ke arah pusarnya yang amat berbahaya dan terpaksa menerima tamparan pada dadanya.

   "Desss....!"

   Phoa Ciok Lin adalah murid nenek yang terkenal sebagai datuk kaum sesat, Toat-beng Ciu-sian-li, maka tentu saja ilmu kepandaiannya tinggi. Apalagi setelah dia menjadi pembantu Pendekar Super Sakti dan memperdalam ilmunya selama bertahun-tahun di Pulau Es. Biarpun tentu saja dia masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan bekas Koksu yang sakti itu, namun pukulannya itu pun bukanlah pukulan ringan sehingga tubuh Koksu yang sakti itu sampai roboh terjengkang. Akan tetapi dia sendiri pun terhuyung ke kiri karena daya tolak tenaga sin-kang bekas Koksu yang lihai itu. Dan tampak sinar putih berkelebat disusul keluhan Phoa Ciok Lin yang roboh terguling, dadanya terluka oleh tombak di tangan Sin-jio Ciat Leng Souw yang menyerangnya dengan kecepatan kilat sehingga Suma Han sendiri sampai tercengang dan tidak mampu mencegahnya.

   "Bibi....!"

   Kwi Hong menjerit dan meloncat menubruk Phoa Ciok Lin, mengangkat tubuhnya dan membawanya ke pinggir. Terdengar suara melengking tinggi nyaring dan tahu-tahu tubuh Suma Han telah berada di depan Bhong Ji Kun yang sudah bangkit kembali. Setelah menyerahkan peti pusaka dalam perlindungan Lulu dan Nirahai, Suma Han dengan marah kini menghadapi bekas Koksu dan para pembantunya.

   "Bhong Ji Kun!"

   Suaranya terdengar tegas dan penuh wibawa sehingga bekas Koksu itu dan para pembantunya memandang dengan hati gentar, akan tetapi juga dengan kesiap-siagaan para jagoan yang tahu bahwa mereka menghadapi seorang lawan tangguh.

   "Sebagai penghuni Pulau Es menghadapi orang-orang yang mengotorkan pulau, aku menantang kalian untuk mengadu ilmu!"

   Bhong Ji Kun tentu saja menjadi penasaran dan marah sekali, juga kecewa. Ia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek.

   "Ha-ha-ha, Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es yang terkenal itu ternyata hanyalah seorang yang suka bermain curang! Hendak menarik kembali janjinya, melanggar janji seperti seorang yang rendah. Hendak kemana kau taruh mukamu nanti?"

   "Bhong Ji Kun, mulutmu lancang sekali! Kuhancurkan nanti!"

   Nirahai berteriak marah mende-ngar suaminya tercinta dimaki orang. Namun Suma Han bersikap tenang, biarpun pandang matanya tajam menusuk.

   "Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, siapakah yang curang? Aku tadi berjanji tidak menghalangi apabila pembantuku menyerahkan peti. Akan tetapi dia tidak menyerahkan peti kepadamu, hal itu adalah urusan antara kamu dan dia! Dia menipumu dan engkau telah membebaskan Kwi Hong dan mengeroyok pembantuku sampai terluka hebat. Perbuatanmu sungguh tidak patut. Antara kita tidak ada perjanjian apa-apa lagi."

   "Ha-ha-ha! Bukankah kau berjanji bahwa kalau kami membebaskan muridmu, engkau akan membiarkan kami pergi tanpa mengganggu?"

   "Benar! Akan tetapi ingat, engkau membebaskan Kwi Hong bukan karena perjanjian antara kita, melainkan karena perjanjianmu dengan Phoa Ciok Lin. Sekarang aku menantang kalian mengadu ilmu, dan kalau kalian tidak berani, aku baru mau melepaskan kalian kalau kalian mau berlutut dan minta ampun kepada kedua orang isteriku!"

   Bhong Ji Kun membelalakkan matanya. Kiranya pendekar ini telah akur kembali dengan Puteri Nirahai! Dan Ketua Pulau Neraka itu pun telah menjadi isterinya! Bukan main! Akan tetapi dia tidak berani menyatakan sesuatu akan pengakuan pendekar itu, apalagi mengejek, karena kalau hal itu dia lakukan, tentu dia akan celaka di bawah tangan suami isteri, tiga orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu! Kalau harus berlutut minta ampun, benar-benar hal ini amat berat. Dia adalah bekas Koksu, bahkan seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw. Demikian pun para pembantunya adalah orang-orang gagah yang lebih menghargai nama dan kehormatan daripada nyawa.

   "Pendekar Siluman!"

   Teriaknya dengan muka merah.

   "Menyuruh kami berlutut minta ampun sama dengan menyuruh matahari timbul dari barat!"

   "Bagus, kalau begitu majulah, dan juga para pembantumu, terutama yang memegang tombak cagak gagang panjang itu!"

   Suma Han melirik ke arah Ciat Leng Souw karena hatinya masih panas mengingat betapa pembantunya, Phoa Ciok Lin roboh oleh tombak orang ini.

   "Wuuuuttt.... syettt!"

   Sin-jio Ciat Leng Souw dengan gerakan tangkas sudah meloncat dan berdiri tegak di depan Suma Han, tombaknya yang panjang itu dipalangkan di depan dada, sikapnya gagah sekali dan matanya menentang lawan sambil memperhatikan keadaan pendekar yang amat terkenal itu, kemudian berkata,

   "Pendekar Siluman! Orang lain mungkin takut mendengar namamu, tetapi, aku Sin-jio Ciat Leng Souw sama sekali tidak gentar untuk menghadapimu!"

   Suma Han memandang orang tinggi besar itu. Sekelebatan saja matanya yang tajam dapat menaksir keadaan calon lawan ini.

   Tentu memiliki tenaga yang amat kuat dan ilmu tombak yang sakti. Sayang bahwa orang gagah ini sampai dapat terbujuk menjadi kaki tangan Bhong Ji Kun. Kalau dia menghendaki, dengan kekuatan sihir, tentu Suma Han akan dapat menundukkan calon lawan ini dengan mudah. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini. Dia telah menunjukkan kegagahannya kepada dua orang isterinya, telah menunjukkan kejantanan dengan memaksa mereka mengikutinya ke Pulau Es. Sekarang pun dia harus memperlihatkan, tidak hanya kepada kedua isterinya tercinta, akan tetapi juga kepada Bhong Ji Kun dan semua pembantunya bahwa nama Pendekar Super Sakti sebagai Majikan Pulau Es bukanlah nama kosong belaka, dan bahwa dia, tanpa bantuan siapa pun, akan dapat mempertahankan pulaunya.

   "Bagus! Engkau seorang pemberani dan gagah, Ciat Leng Souw, dan tentu ilmu tombakmu lihai sekali. Cobalah robohkan aku seperti engkau merobohkan pembantuku secara membokong tadi!"

   Mendengar tantangan yang mengandung teguran dan ejekan ini merahlah muka Ciat Leng Souw. Dia adalah seorang tokoh yang terkenal di selatan dan belum pernah tombaknya menemui tandingan.

   Kalau tadi dia turun tangan melukai Phoa Ciok Lin adalah karena melihat wanita itu menggunakan kecurangan dan mengancam keselamatan Bhong Ji Kun. Melihat betapa Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan para orang gagah yang membantu bekas Koksu itu kelihatan gentar menghadapi Suma Han, dia sudah merasa penasaran sekali. Dia sudah banyak mendengar nama Pendekar Super Sakti, akan tetapi melihat betapa pendekar yang disohorkan orang itu hanya seorang yang sederhana dan berkaki buntung, dia makin penasaran dan ingin sekali mencoba kepandaiannya. Kini kesempatan itu tiba. Mendengar ucapan Suma Han, Ciat Leng Souw mengeluarkan suara menggereng dan tombak panjangnya sudah bergerak meluncur dan menyambar ke arah dada Suma Han dengan tusukan kilat.

   "Trakk!"

   Tombak itu tertangkis oleh tongkat di tangan kiri Suma Han. Benar saja dugaan pendekar buntung itu, tenaga jago dari selatan ini memang kuat sekali. Betapapun juga, kalau Suma Han menghendaki, dengan pengerahan sin-kangnya yang mujijat, dia akan dapat mengalahkan lawan dalam pertemuan tenaga pertama kali itu. Akan tetapi dia tidak mau mengalahkan lawan dengan menggunakan sin-kangnya yang jarang ada tandingannya, juga tidak mau menggunakan kekuatan pandang matanya yang dapat melum-puhkan pikiran orang. Melihat betapa lawannya sudah cepat sekali menarik kembali tombaknya yang tertangkis lalu menggerakkan tombak dengan lihai sehingga tampak sinar panjang menyambar-nyambar,

   Suma Han cepat menghindar dan selanjutnya dia memperguna-kan ilmunya yang amat dahsyat, yaitu Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun. Ilmu silat yang mujijat ini merupakan gerakan-gerakan berdasarkan gin-kang yang hanya dapat dilakukan oleh orang berkaki buntung! Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung terbang dan betapa pun Ciat Leng Souw mainkan tombaknya dengan hebat, tetap saja gerakan tombaknya tidak dapat mengikuti berkelebatnya bayangan lawan yang makin lama makin cepat seperti kilat menyambar-nyambar dan sebentar saja kepalanya menjadi pusing dan pandang matanya berkunang karena bayangan lawannya menjadi bertambah banyak! Hal ini bukan terjadi karena ilmu sihir, melainkan saking cepatnya Suma Han bergerak.

   "Siluman....!"

   Ciat Leng Souw berseru dan dia mulai merasa gentar.

   "Krekkk! Plak! Plak!"

   Tubuh yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang,

   Wajahnya pucat dan dari mulutnya mengalir darah segar, tombaknya patah-patah dan akhirnya dia roboh terguling dan mengeluh. Suma Han telah berdiri dengan tegak, tongkat di tangan dan dia tidak mempedulikan lagi Ciat Leng Souw yang dirobohkan. Pendekar ini dengan sikap tenang menanti majunya jago lain di fihak musuh. Dia telah berhasil mengalahkan Ciat Leng Souw tanpa membunuhnya, hanya mematahkan tombaknya dan dua kali menampar pundak lawan, membuat tulang kedua pundak Ciat Leng Souw patah! Melihat ini, Gozan, jagoan Mongol yang seperti raksasa, Liong Khek, Si Muka Pucat yang bersenjatakan pancing, Thai-lek-gu Si Pendek Gendut yang bertangan panjang dengan sepasang golok jagal babinya, dan tiga orang panglima kaki tangan Bhong Ji Kun sudah bergerak maju mengurung Suma Han.

   "Tak tahu malu!"

   Lulu membentak.

   "Betapa gagahnya, main keroyokan!"

   Nirahai juga mengejek.

   "Biarkan saja tikus-tikus ini, kalian jaga saja peti itu!"

   Suma Han menoleh kepada dua orang isterinya sambil tersenyum. Padahal tanpa dia beritahu pun Nirahai dan Lulu tidak akan bergerak membantu suami mereka karena mereka maklum bahwa menghadapi pengeroyokan itu, suami mereka tidak perlu dibantu, apalagi mereka bertugas menjaga peti pusaka Istana Pulau Es.

   Gozan sebagai seorang jagoan Mongol yang juga memandang rendah Suma Han, apalagi dia mengandalkan ilmu gulatnya dan tenaganya, sudah tidak sabar lagi dan sambil memekik dia lari menerjang dan hendak menangkap pendekar kaki buntung itu dengan kedua lengannya yang berotot kuat. Menghadapi serangan ini, Suma Han hanya berdiri tenang saja, bahkan ia tidak mengelak sama sekali ketika kedua tangan lawan ini mencengkeram pundak dan pinggangnya. Akan tetapi, betapa terkejut hati Gozan ketika dia merasa seolah-olah jari-jari tangannya mencengkeram baja yang dingin dan keras! Dia mengerahkan tenaga, hendak mengangkat tubuh itu dan membantingnya namun betapa pun dia mengerahkan seluruh tenaganya, tubuh yang hanya berdiri dengan satu kaki itu sama sekali tidak bergoyang.

   "Pergilah!"

   Suma Han membentak sambil menggoyangkan tubuh dengan gerakan berputar.

   "Krekk! Krekk!"

   Gozan terpelanting roboh dan mengaduh-aduh, kedua lengannya tergantung lumpuh karena sambungan siku dan pergelangan kedua tangannya telah terlepas, terbawa oleh gerakan memutar tubuh Pendekar Super Sakti tadi. Liong Khek dan teman-temannya sudah menerjang maju, menggunakan senjata mereka. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh Suma Han.

   Pendekar ini tenang-tenang saja memegang tongkatnya, kemudian secara tiba-tiba tongkatnya diputar, dan terdengarlah suara nyaring disusul runtuhnya senjata para pengeroyok yang patah-patah dan terpental ke sana-sini, kemudian tampak bayangan Suma Han berkelebat di antara mereka. Para pengeroyok mengeluh panjang pendek dan seorang demi seorang terlempar ke kanan-kiri tanpa dapat melawan lagi karena sambaran tongkat Suma Han yang terarah dan dengan tenaga terbatas para pengeroyok itu menderita patah tulang, tertotok lumpuh, atau terluka dalam! Belasan orang itu roboh hanya dalam waktu belasan jurus saja! Tadinya memang hanya enam orang yang maju, akan tetapi begitu Gozan roboh, semua kaki tangan bekas Koksu itu maju mengeroyok. Kini hanya tinggal Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama berdua saja masih berdiri dengan muka agak pucat, namun sikap mereka ditenang-tenangkan ketika Suma Han mengha-dapi mereka.

   "Bhong Ji Kun, sekarang aku ingin merasai kelihaianmu. Dan Thian Tok Lama, kita adalah lawan-lawan lama yang sudah puluhan tahun tak pernah saling mengukur kepandaian. Agaknya engkau telah memperoleh kemajuan hebat, hanya sayangnya, semenjak dahulu kedudukanmu tidak mengalami kemajuan dan selalu menjadi kaki tangan pemberontak!"

   Wajah Thian Tok Lama menjadi merah mendengar ejekan ini, karena memang dia dan sutenya yang sudah tewas, Thai Li Lama, dahulu pernah terlibat pula dalam pemberontakan (baca cerita PENDEKAR SUPER SAKTI).

   Thian Tok Lama sudah pernah mengalami bertanding melawan Pendekar Super Sakti dan dia merasa gentar karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah jauh oleh Majikan Istana Pulau Es itu, akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk mengaku kalah, apalagi di situ ada Bhong Ji Kun yang dia andalkan. Bekas Koksu ini biasanya amat percaya kepada kepan-daiannya sendiri, namun biar dia belum pernah bentrok dan mengadu ilmu melawan Pendekar Super Sakti, nama pendekar ini membuat dia merasa gentar, apalagi setelah menyaksikan betapa dengan mudah saja pendekar itu tadi merobohkan semua anak buahnya nyalinya menjadi kecil. Dia memang cerdik dan dengan suara dibuat-buat agar tidak kentara perasaan jerihnya, dia bertanya,

   "Suma-tocu, apakah engkau me-nantang kami maju berdua? Benarkah engkau berani menghadapi kami berdua tanpa bantuan orang lain?"

   Berkata demikian bekas Koksu itu sengaja melirik ke arah Nirahai dan Lulu. Kalau seorang saja di antara kedua orang wanita sakti itu maju, tentu dia dan Thian Tok Lama takkan mampu menandinginya. Akan tetapi kalau pendekar kaki buntung sebelah ini dia keroyok bersama Thian Tok Lama dia masih tidak percaya kalau mereka berdua tidak akan mampu keluar sebagai pemenang!

   "Bhong Ji Kun manusia pengecut!"

   Nirahai membentak marah.

   "Beraninya hanya main keroyok. Hayo kau lawan aku kalau memang ada kepandaian!"

   "Aku pun siap menghadapimu satu lawan satu!"

   Lulu juga menantang. Bhong Ji Kun tersenyum.
(Lanjut ke Jilid 44)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Jilid 44
"Bukan kami yang menantang, melainkan Suma-tocu. Kalau dia tidak berani, kami pun tidak akan memaksa."

   "Im-kan Seng-jin tak perlu banyak cakap lagi. Majulah bersama Thian Tok Lama, aku sudah siap menghadapi kalian berdua."

   Terdengar Suma Han berkata, suaranya tenang karena dia tidak dapat dipanaskan hatinya oleh sikap dan ucapan Bhong Ji Kun yang cerdik.

   "Tar-tar-tar....!"

   Pecut merah di tangan bekas Koksu itu meledak-ledak di udara. Kini dia bersikap sungguh-sungguh dan telah melangkah maju dengan senjata istimewa itu di tangan. Juga Thian Tok Lama sudah siap, lengan kanannya di gerakkan berputaran perlahan dan tangan itu berubah menjadi biru, sedangkan tangan kirinya memegang golok, diacungkan di atas kepala. Dengan langkah-langkah lambat kedua orang itu menghampiri Suma Han sambil mengatur posisi yang baik, pandang mata mereka tidak pernah berkedip ditujukan kepada Pendekar Super Sakti. Suma Han berdiri dengan sikap tenang sekali, tidak bergerak seperti sebuah arca, tongkat di tangan kiri masih membantu berdirinya kaki tunggal itu, tubuh tegak akan tetapi mukanya menunduk, hanya pandang matanya yang bergerak perlahan mengikuti gerak-gerik kedua orang lawannya.

   "Hyaaaattt....! Tar-tar-tar-tar....!"

   "Haiiittt....! Sing-sing-sing-wuuutttt!"

   Serangan yang datang mengikuti pekik yang keluar dari mulut Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama hampir berbareng itu datang bagaikan hujan ke arah tubuh Suma Han.

   Pecut merah berubah menjadi sinar merah yang menyambar-nyambar dan meledak-ledak seperti halilintar, bertubi-tubi menyambar ke arah kepala dan dada Pendekar Super Sakti. Golok di tangan kiri Thian Tok Lama merupakan sinar putih yang bergulung-gulung membabat ke arah kaki tunggal lawan, sedangkan tangan kanannya digerakkan dengan dorongan dahsyat ke arah pusar Suma Han, mengeluarkan uap hitam karena pukulan itu adalah pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang (Pukulan Sakti Api Angin dan Uap Hitam), dari perut pendeta Lama ini keluar suara kok-kok seperti ayam betina habis bertelur! Suma Han maklum betapa lihainya kedua orang yang mengeroyoknya itu. Dia sudah mengenal kelihaian Thian Tok Lama dan sudah dapat mengukur sampai di mana tingkat ilmu kepandaian kakek pendeta dari Tibet ini, akan tetapi dia belum hafal benar akan sifat dan tingkat ilmu silat Bhong Ji Kun,

   Karena itulah maka dia berlaku hati-hati dan tadi hanya bersikap menanti dan berjaga-jaga. Setelah melihat kedua orang lawannya secara tiba-tiba dan serentak menerjangnya secara dahsyat, Suma Han segera mengerahkan tenaga dan mempergunakan ilmunya yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun. Tubuhnya melesat ke sana-sini, cepatnya melebihi sinar senjata lawan, bagaikan kilat menyambar untuk menghindarkan diri dari serbuan kedua orang lawannya. Ketika tubuhnya dapat lolos dari kurungan serangan kedua orang dan melesat ke udara, tampak sinar merah pecut berkelebat menyambar dari bawah mengejar bayangan Suma Han. Pendekar Super Sakti diam-diam merasa terkejut dan kagum akan kecepatan gerak senjata lawan, namun tidak menjadi gugup, kaki tunggalnya digerakkan dan tubuhnya membalik, tongkatnya menangkis sinar cambuk merah.

   "Tarrr....!"

   Tampak asap mengepul dari pertemuan dahsyat antara tongkat dan cambuk itu, dan Suma Han sudah melayang turun lagi. Diam-diam dia kagum juga akan kelihaian lawan karena dalam pertemuan tenaga tadi tahulah dia bahwa tenaga sakti bekas Koksu ini lebih kuat daripada Thian Tok Lama! Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk membanding lebih lama lagi karena cambuk merah itu sudah meledak-ledak mencari sasaran, sedangkan golok di tangan Thian Tok Lama juga sudah menerjangnya secara bertubi-tubi. Suma Han menggerakkan tongkatnya, menangkis semua serangan kedua orang pengeroyoknya. Sampai tiga puluh jurus lebih pendekar ini hanya menjaga diri, mengelak dan menangkis untuk menguji lawan.

   Melihat sikap suami mereka itu, Lulu dan Nirahai hampir kehilangan kesabaran mereka. Kalau saja mereka menurutkan watak mereka yang dahulu, tentu mereka sudah tadi-tadi turun tangan membunuh bekas Koksu dan pendeta Tibet itu. Akan tetapi mereka merasa takut kepada suami mereka, takut kalau suami mereka marah! Apalagi karena mereka yakin bahwa suami mereka tidak akan kalah, maka kedua orang wanita perkasa itu hanya menonton. Peti pusaka Istana Pulau Es terletak di depan kaki mereka. Adapun semua anak buah Bhong Ji Kun biarpun tidak ada yang tewas dan hanya terluka ketika mereka dirobohkan Suma Han, tidak ada yang berani maju lagi membantu Bhong Ji Kun. Mereka hanya menonton dan tentu saja mengharapkan agar dua orang kakek itu dapat mengalahkan Pendekar Super Sakti.

   Ternyata harapan mereka itu kosong belaka karena kini Pendekar Super Sakti mulai membuat gerakan balasan dengan tongkatnya. Begitu tongkat di tangan kirinya itu menambah gerakan menangkis dengan serangan dahsyat, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama terdesak hebat dan terpaksa banyak mundur karena betapa pun mereka memutar senjata, beberapa kali ujung tongkat itu tahu-tahu telah menyelonong depan hidung mereka dan mengancam bagian tubuh yang lemah. Ini memang siasat Suma Han yang dalam segala hal, juga dalam pertandingan, bersikap tenang dan penuh perhitungan. Kalau saja dia tadi tidak bersikap mengalah dan mempertahankan diri, kiranya tidak mudah baginya untuk mendesak kedua orang lawannya yang juga memiliki kepandaian sangat tinggi, terutama sekali mendesak Bhong Ji Kun.

   Akan tetapi, ketika dia hanya mempertahankan diri selama tiga puluh jurus lebih tadi, diam-diam dia mempelajari dasar gerak kedua orang lawannya, terutama sekali gerakan cambuk Bhong Ji Kun, karena dia sudah tahu akan kepandaian Thian Tok Lama. Tiga puluh jurus cukuplah bagi Pendekar Super Sakti ini, dan setelah mengenal dasar gerakan lawan, barulah kini dia mengeluarkan kepandaiannya untuk menyerang lawan. Thian Tok Lama merasa cemas karena hal ini memang sudah dikhawatirkannya. Adapun Bhong Ji Kun yang tadinya sudah merasa girang dan memandang rendah lawan ketika dia dan temannya seolah-olah sudah mendesak Suma Han, kini merasa terkejut bukan main.

   Tongkat pendekar kaki buntung itu gerakannya aneh sekali, sama anehnya dengan gerakan tubuh pendekar itu yang dapat mencelat ke sana-sini secara luar biasa, dan dari tongkat itu menyambar keluar hawa pukulan yang membuat bekas Koksu ini makin bingung. Tongkat itu kadang-kadang kaku melebihi baja, kadang-kadang lemas seperti batang pohon cemara, akan tetapi yang lebih hebat lagi, kadang-kadang mengandung hawa serangan panas dan ada kalanya amat dingin! Mendadak terdengar suara melengking tinggi yang keluar dari dalam dada Pendekar Super Sakti. Tongkatnya bergerak menyambut golok dan cambuk lawan dan.... tiga buah senjata melekat menjadi satu. Betapa pun Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama berusaha menarik kembali senjata mereka, sia-sia saja seolah-olah cambuk dan golok sudah menjadi satu dengan tongkat!

   "Haiiittt!"

   Bhong Ji Kun menggunakan tangan kiri memukul dengan telapak tangan didorongkan ke depan.

   "Hyaaattt!"

   Thian Tok Lama sudah menggunakan pula tangan kanannya, melakukan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam. Suma Han maklum akan bahaya maut ini. Pukulan tangan kosong Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tidak kalah ampuhnya dbandingkan dengan Hek-in-hwi-hong-ciang dari pendeta Lama itu. Cepat dia melepaskan tongkatnya selagi kedua lawannya mencurahkan perhatian pada pukulan mereka, kemudian dengan tubuh tegak pendekar kaki tunggal ini sudah mendorongkan pula kedua tangannya ke depan menyambut pukulan kedua lawannya.

   "Desss! Desss!"

   Tubuh Bhong Ji Kun menggigil dan terhuyung ke belakang.

   Dia telah terkena hantaman Inti Es yang selain menolak pukulannya sendiri juga dengan kekuatan dahsyat masih mendorongnya. Sedangkan Thian Tok Lama terlempar ke belakang dan terbanting roboh dengan muka merah seperti dibakar. Dia tadi dilawan dengan pukulan panas Inti Api yang luar biasa dahsyat dan kuatnya. Dengan kemarahan meluap-luap, Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah meloncat bangun lagi tanpa mempedulikan darah yang menetes keluar dari ujung bibir mereka. Bhong Ji Kun menerjang dengan cambuknya yang tadi sudah terlepas dari tongkat Suma Han. Akan tetapi karena benturan tenaga sakti tadi telah mendatangkan luka di dalam dadanya, gerakannya tidak sedahsyat tadi dan menghadapi serangan ini, Suma Han yang telah memegang tongkatnya lagi bersikap tenang sekali.

   "Tar-tarrr....!"

   Cambuk merah itu menyambar ke arah kepala, ujungnya seperti patuk burung garuda mematuk ke arah ubun-ubun kepala Suma Han. Dengan sikap tenang Suma Han menggerakkan tongkatnya menangkis, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar kilat berkeredepan menusuk ke arah dada pedekar itu. Suma Han mengeluarkan seruan kaget, maklum bahwa lawannya menggunakan senjata yang luar biasa ampuhnya, maka sambil menggerakkan tubuh mencelat ke kanan, tongkatnya bergerak menangkis senjata yang berkeredepan itu.

   "Cringgg! Trakkk!"

   Tongkat di tangan Pendekar Super Sakti itu patah menjadi dua bertemu dengan pedang itu.

   "Li-mo-kiam....!"

   Suma Han berteriak kaget dan cepat dia mendorongkan kedua tangannya, yang kiri memukul ke arah pergelangan tangan kiri lawan yang memegang Pedang Iblis itu, sedangkan yang kanan mendorong ke arah dada Bhong Ji Kun.

   "Desss! Augghhh....!"

   Pedang Iblis Betina terlepas dari pegangannya dan cepat disambar oleh Suma Han, sedangkan tubuh bekas Koksu itu terjengkang seperti dihantam palu godam raksasa yang amat kuat. Mulutnya muntahkan darah segar. Dia terkena pukulan yang mengandung tenaga sakti Inti Api, yang sama sekali tidak diduganya karena dia mengira bahwa lawannya akan menggunakan Im-kang seperti tadi. Apalagi dia telah mempergunakan Li-mo-kiam yang dirampasnya dari Kwi Hong dan melihat pendekar itu terkejut dan tongkatnya patah, hatinya sudah girang sekali, membuat kewaspadaannya berkurang.

   "Singggg.... trakkkk! Desss!"

   Golok di tangan Thian Tok Lama patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam, tangan kanan Thian Tok Lama yang melancarkan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang bertemu dengan tangan kiri Suma Han yang menyambutnya dengan Im-kang sehingga pendeta Lama dari Tibet ini terpental sampai beberapa meter jauhnya dan roboh pingsan dengan muka pucat kebiruan! Suma Han memandang Li-mo-kiam di tangannya, mengebutkan bajunya dan menghampiri Bhong Ji Kun yang sudah merangkak bangun sambil meringis. Suma Han memandang bekas Koksu itu dan berkata dengan suara dingin penuh wibawa,

   "Bhong Ji Kun, bawa semua kaki tanganmu ke perahumu dan lekas tinggalkan tempat ini!"

   Sambil meringis Bhong Ji Kun bangkit berdiri, mukanya pucat dan mulutnya masih berlepotan darahnya sendiri. Dia memandang ke sekelilingnya. Thian Tok Lama masih pingsan dan anak buahnya tidak seorang pun tewas, akan tetapi semua menderita luka yang membuat mereka tidak berdaya. Dia mengangguk, menarik napas panjang dan berkata,

   "Engkau hebat. Pendekar Super Sakti. Sekali ini aku mengaku kalah, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku menebus kekalahan ini."

   Sambil terhuyung-huyung, bekas Koksu ini mengambil cambuk merahnya, lalu menyuruh anak buahnya membawa teman yang lukanya agak berat, menggotong Thian Tok Lama, kemudian tanpa berkata apa-apa kepada Suma Han dia bersama anak buahnya naik perahu yang segera dilayarkan meninggalkan Pulau Es, menuju ke selatan.

   "Anjing-anjing macam itu mengapa tidak dibunuh saja?"

   Baru sekarang Nirahai membuka mulut mencela suaminya.

   "Memang sepantasnya mereka dibunuh, kalau tidak kelak hanya akan menimbulkan kekacauan saja."

   Lulu juga berkata tak puas, dan memandang bekas kakak angkat yang kini menjadi suaminya yang tercinta itu. Suma Han menarik napas panjang.

   "Aku kasihan kepada orang-orang sesat seperti itu. Mudah-mudahan kekalahan mereka ini menjadi pelajaran dan membuat mereka bertobat. Pula, aku tidak menghendaki pembunuhan di pulau ini, apalagi aku tidak ingin memulai hidup baru kita dengan pembunuhan."

   "Akan tetapi mereka telah membunuh pembantumu!"

   Kata Nirahai. Suma Han terkejut dan menengok, seolah-olah baru teringat kepada pembantunya yang setia itu. Dengan cepat dia menghampiri, diikuti oleh Nirahai dan Lulu. Mereka bertiga berlutut dekat Phoa Ciok Lin yang masih rebah di atas tanah dipeluki oleh Kwi Hong yang masih menangis terisak-isak. Melihat keadaan Phoa Ciok Lin yang dadanya ditembus tombak, Suma Han maklum bahwa nyawa pembantunya itu tak mungkin ditolong lagi. Melihat muridnya atau keponakan-nya, alisnya berkerut. Dara inilah yang menjadi gara-gara, pikirnya penuh kekecewaan dan penyesalan.

   "Perlu apa engkau menangis lagi? Menangis setelah terlambat tiada gunanya! Mengapa sebelumnya engkau tidak berpikir panjang dan percaya kepada orang-orang seperti mereka?"

   Tangis Kwi Hong semakin meledak ketika dia mendengar suara yang bernada penuh teguran dari pamannya itu. Dia merebahkan tubuh Phoa Ciok Lin perlahan-lahan di atas tanah, kemudian men-jatuhkan diri berlutut di depan Suma Han sambil menangis dan berkata,

   "Harap Paman bunuh saja aku yang berdosa ini!"

   Suma Han memandang tajam, kerut di alisnya makin mendalam.

   "Hemm, per-nahkah aku mengajarmu bersikap seperti pengecut ini? Setiap orang membuat kesalahan, dan sikap terbaik adalah menyadari kesalahan itu, bukan dengan penyesalan yang menimbulkan keinginan untuk bunuh diri! Sekarang aku mempunyai tugas untukmu, kalau engkau melaksanakan tugas ini dengan baik berarti engkau mempunyai keinginan untuk menebus kesalahanmu. Sanggupkah engkau?"

   "Biar harus mengorbankan nyawa, akan saya laksanakan tugas itu, harap Paman lekas beritahukan kepada saya."

   "Kau pergilah meninggalkan pulau ini, carilah Milana sampai dapat, bawa dia ke pulau ini menyusul kami. Juga kau selidiki di mana adanya Gak Bun Beng yang sudah kusuruh mencari Milana. Mereka telah kami tunangkan dan keduanya harus menyusul kami di sini untuk dilaksanakan pernikahannya. Juga kau harus mencari Wan Keng In, selain minta dia menyerahkan Lam-mo-kiam juga katakan kepadanya bahwa ibunya telah berada di Pulau Es, menjadi isteriku. Nah, berangkatlah!"

   Wajah Kwi Hong seketika pucat ketika dia mendengar perintah ini.

   Biarpun amat sukar menundukkan Wan Keng In, apalagi memaksanya menyerahkan Lam-mo-kiam dan mengajaknya ke Pulau Es, namun hal itu masih tidak membuat dia terkejut. Yang membuat wajahnya pucat adalah ketika dia mendengar akan pertunangan antara Gak Bun Beng dan Milana! Jantungnya seperti ditusuk rasanya dan cepat menundukkan mukanya untuk menyembunyikan kepucatan wajahnya dan dua titik air mata yang sudah bergantung di bulu matanya. Dia mengangguk, kemudian menerima pedang Li-mo-kiam yang disodorkan pamannya. Tanpa menjawab, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dia sudah berlari-lari ke pantai, meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang tadi dipergunakan oleh Phoa Ciok Lin, dan meluncurkan perahu dengan cepatnya menuju ke utara, melalui celah-celah pegunungan es yang terapung di lautan.

   Suma Han berdiri tegak memandang bayangan keponakannya itu dengan alis berkerut. Pendekar Super Sakti ini diam-diam merasa kasihan dan terharu. Dia memang sengaja tadi memberitahu-kan tentang pertunangan antara Bun Beng dan Milana, karena dia tahu bahwa keponak-annya itu menaruh hati cinta kepada Bun Beng. Dia ingin agar keponakannya yang mudah dibujuk orang jahat itu belajar melihat kenyataan hidup dan menghadapinya dengan penuh keberanian! Hal ini akan menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri, membuatnya waspada dan tidak lengah. Mengingat betapa dia telah menggembleng dara itu, dan bahwa Bu-tek Siauw-jin juga sudah menurunkan ilmu kepada keponakannya itu, dia tidak khawatir lagi akan keselamatan Kwi Hong yang tentu sudah cukup kuat untuk menjaga diri, apalagi dengan Li-mo-kiam di tangannya.

   "Taihiap engkau sungguh kejam....!"

   Mendengar suara Phoa Ciok Lin, Suma Han cepat menengok lalu berlutut di dekat kedua isterinya. Kiranya pembantunya itu telah siuman dari pingsannya dan kini memandang kepadanya dengan muka pucat sekali dan mata sayu. Dengan terharu dia, memegang tangan wanita yang sedang sekarat itu tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.

   "Taihiap, apakah engkau tidak tahu.... bahwa Kwi Hong mencinta Bun Beng seperti.... seperti.... aku mencintamu? Aku bukan seorang muda, aku dapat melihat bahwa cintaku sia-sia, bahwa aku bertepuk sebelah tangan.... dan demi cintaku.... aku bahagia menyaksikan engkau telah dapat berkumpul dengan kedua orang wanita yang kau cinta. Aku.... aku.... demi cintaku kepadamu, aku dengan senang hati suka berkorban, aku akan mati dengan hati tenteram.... akan tetapi Kwi Hong masih muda sekali! Dapatkah dia bersikap seperti aku? Taihiap.... kasihan dia.... entah apa yang akan terjadi dengan dia.... tapi.... aku percaya kepadamu Taihiap, selamat tinggal....!"

   Phoa Ciok Lin menghembuskan napas terakhir, dan agaknya kekhawatiran di dalam hatinya mengenai nasib Kwi Hong tidak dapat mengusir kebahagiaan hatinya menyaksikan orang yang amat dikasihinya itu akhirnya dapat berkumpul dengan Lulu dan Nirahai, sehingga tepat seperti yang diucapkannya tadi, dia menghembuskan napas terakhir dengan senyum di bibirnya! Suma Han menarik napas panjang, berbisik,

   "Ciok Lin, akupun cinta padamu, akan tetapi bukan cinta seperti yang kau maksudkan itu...."

   Kemudian, dibantu oleh Lulu dan Nirahai yang tidak berkata sesuatu, Suma Han menguburkan jenazah Phoa Ciok Lin di bagian yang paling tinggi di pulau itu agar kuburannya tidak selalu tertimbun oleh salju. Ketika mereka bertiga berdiri di depan kuburan itu dan kebetulan mereka menghadap ke selatan, mereka melihat udara di selatan amat gelap dan tampak kilat menyambar-nyambar dan awan hitam bergumpal-gumpal amat menakutkan. Nirahai yang belum pernah menyaksikan penglihatan seperti itu, menjadi ngeri dan memegang tangan suaminya.

   "Ihhh! Apakah di sana itu?"

   Lulu yang menjawabnya, karena Lulu sudah bertahun-tahun tinggal di Pulau Es ini,

   "Badai. Di selatan ada badai mengamuk, Suci. Dan anjing-anjing tadi yang di sini mendapat pengampunan, ternyata tidak diampuni oleh Tuhan. Mereka tentu tewas semua ditelan badai!"

   "Untung bahwa Kwi Hong tadi mengambil jalan ke utara."

   Suma Han berkata.

   Dia menggandeng tangan ketua orang wanita itu dan dengan penuh kasih sayang mereka bertiga berjalan bergandengan menuju ke istana Pulau Es, menuju ke hidup baru setelah belasan tahun ketiga orang sakti ini merana oleh cinta yang putus diantara mereka. Mereka tidak memikirkan apa-apa lagi. Mereka hendak melepaskan rindu selama belasan tahun itu, melepaskan dahaga dengan menghirup madu cinta kasih di antara mereka sekenyang dan sepuas mungkin! Pemuda itu berjalan cepat sekali. Wajahnya berseri dan mulutnya sering kali tersenyum menandakan keriangan hatinya. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan. Betapa hatinya tidak akan merasa bangga, bahagia dan riang setelah kini secara resmi dia diterima oleh Pendekar Super Sakti dan isterinya sebagai calon mantu!

   Dia malah diberi tugas oleh suami isteri itu untuk mencari Milana! Kekasih hatinya! Calon isterinya! Tersenyum dia membayang-kan betapa dara itu akan menjadi merah mukanya, menjadi malu-malu kalau dia nanti menceritakan tentang pertunangan mereka! Dan yang lebih daripada segala yang menyenangkan hatinya adalah kalau dia mengingat akan pertemuannya dengan Milana yang terakhir kalinya, di mana dara itu dengan jelas membayangkan bahwa Milana pun membalas cinta kasihnya! Tadinya, kebahagiaannya karena dara itu membalas cintanya masih diliputi awan keraguan kalau-kalau ayah bunda dara itu tidak menyetujui. Akan tetapi sekarang setelah kedua orang tua itu menyatakan setuju, biarpun belum disahkan, dunia seolah-olah berubah bagi pandang mata Bun Beng!

   Sinar matahari menjadi lebih cemerlang. Tumbuh-tumbuhan menjadi lebih segar. Segala yang dipandangnya, yang didengarnya, menjadi lebih indah menyenangkan. Bun Beng mempercepat gerakan lari kakinya. Kota raja tidak jauh lagi. Setelah keluar dari hutan besar yang terakhir di sebelah utara kota raja ini, dinding yang mengelilingi kota raja sudah akan tampak. Heran sekali dia, mengapa sebelum ini dia tidak melihat keindahan hutan besar ini? Daun-daun kering yang memenuhi tempat itu, yang terinjak oleh kakinya terasa lunak, biasanya tampak buruk, sekarang menimbulkan perasaan senang melihatnya, begitu rapi bertumpuk di atas tanah, seperti diatur saja. Dan seolah-olah sengaja disebar untuk menjadi permadani yang lunak halus bagi kedua kakinya.

   Dan baunya! Daun-daun yang sudah membusuk, menjadi sampah, bukankah biasanya mendatangkan bau tidak enak? Sekarang kalau dia mencium, terciumlah bau daun-daun busuk itu, akan tetapi sama sekali tidak busuk baunya, bahkan ada kesedapan yang khas! Jelaslah kini olehnya bahwa segala yang disebut indah atau buruk, enak atau tidak, semua tergantung dari keadaan hati seseorang! Pendapat seperti yang dialami Bun Beng itu menjadi pendapat umum. Akan tetapi selama orang memandang atau mendengar sesuatu dengan penilaian akar baik buruknya yang dipandang atau didengar itu, maka seluruhnya tergantung dari keadaan pikiran dan hati. Karena itu, kita selalu diombang-ambingkan antara suka dan duka, puas dan kecewa dan kalau dihitung dan dijumlah, jauh lebih banyak dukanya daripada sukanya, lebih banyak kecewanya daripada puasnya.

   Kalau saja kita dapat melepaskan diri dari pengaruh pikiran! Kalau saja kita dapat terbebas dari keinginan, dari pengejaran akan sesuatu yang tidak ada pada kita! Kalau kita terbebas dari rasa khawatir akan kehilangan yang kita senangi dan terbebas dari rasa takut akan sesuatu yang belum terjadi! Kalau demikian halnya, agaknya hidup ini tidaklah seperti yang kita alami sekarang ini dimana terdapat penuh pertentangan, penuh persoalan benar atau salah, penuh dengki dan iri hati, penuh benci, dan penuh dengan apa yang kita sebut kesengsa-raan lahir maupun batin! Gak Bun Beng yang sekarang telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian luar biasa berkat gemblengan terakhir yang dilakukan bersama oleh Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin, berlari seperti terbang cepatnya dan sebentar saja dia telah keluar dari dalam hutan lebat itu.

   Sejenak dia berhenti untuk memandang tembok yang megah, yang mengelilingi kota raja sehingga dari jauh kelihatan seperti sebuah benteng yang kokoh kuat. Tiba-tiba pandang matanya tertarik akan sesuatu yang bergerak tak jauh di sebelah depan, di lereng pegunungan sebelah bawah. Seorang manusia! Dan jalannya tidak wajar karena seperti terhuyung-huyung. Bun Beng segera meloncat ke depan dan berlari cepat menuju ke arah orang yang terhuyung-huyung itu. Orang itu roboh terguling dan mengeluh ketika Bun Beng tiba di sebelah belakangnya. Bun Beng cepat berlutut dan mengangkat tubuh bagian atas laki-laki setegah tua itu. Beberapa buah luka yang cukup hebat memenuhi tubuhnya, pakaiannya robek-robek dan berlepotan darah. Keadaan laki-laki itu payah sekali, napasnya empas-empis.

   "Kau kenapa, Paman? Siapa yang menyiksamu seperti ini?"

   Bun Beng bertanya. Orang itu membuka matanya, akan tetapi pandang matanya seperti orang lamur, manik matanya tidak bercahaya lagi, seperti api yang hampir padam. Mulutnya bergerak,

   "Semua tewas.... aughhh.... mereka dari Pulau Neraka.... celaka sekali.... cucu Sri Baginda mereka bawa...."

   "Apa? Milana? Paman, jawablah! Apakah Milana yang mereka bawa?"

   "Cucu Sri Baginda.... puteri Panglima Nirahai.... diculik pemuda Pulau Neraka dan...."

   Kepala itu terkulai.

   "Ke mana, Paman? Dibawa ke mana?"

   Bun Beng bertanya mengguncang-guncang tubuh yang sudah lemas itu.

   Namun tiada jawaban. Bagaimana mayat dapat menjawab? Bun Beng menghela napas panjang, pandang matanya yang tadinya penuh kebahagiaan kini berubah sama sekali. Penuh kekhawatiran dan kemarahan! Dia tidak mengenal orang ini, betapapun juga, orang ini sudah berjasa kepadanya, men-ceritakan sesuatu tentang Milana, sungguhpun ceritanya amat tidak menyenangkan. Maka dia segera menggali lubang dan mengubur jenazah orang tak dikenal itu. Semua ini dilakukannya dengan cepat dan segera dia berlari sekencangnya memasuki kota raja untuk mencari berita. Berita itu mudah didengarnya. Semua orang tahu belaka bahwa cucu Kaisar, puteri Panglima Wanita Nirahai yang amat terkenal, telah diculik dan dilarikan orang. Menurut beritanya itu, penculiknya adalah seorang pemuda tampan bersama seorang kakek yang seperti mayat.

   "Hemmm, siapa lagi kalau bukan Wan Keng In?"

   Pikir Bun Beng dengan hati panas dan kemarahan berkobar seperti api membuat mukanya kemerahan dan pandang matanya ganas. Setelah merasa yakin bahwa yang menculik kekasihnya adalah pemuda Pulau Neraka itu, Bun Beng segera meninggalkan kota raja.

   Menurut kabar, Kaisar sendiri mengerahkan para pengawal yang berilmu untuk mencari cucunya, bahkan ada berita bahwa Kaisar mengundang Pendekar Super Sakti untuk mengembalikan dara yang diculik orang itu, dengan janji pengampunan bagi pendekar yang tadinya dianggap seorang pemberontak dan buruan itu! Akan tetapi, Bun Beng maklum bahwa tak mungkin dia bisa mendapatkan keterangan di kota raja ke mana larinya Wan Keng In yang menculik kekasihnya. Setelah memutar otak, akhirnya Bun Beng menduga bahwa kemungkinan besar pemuda Pulau Neraka itu membawa kekasihnya ke Pulau Neraka! Atau setidaknya tentu pemuda iblis itu berkeliaran di utara, di sepanjang pantai. Hatinya menjadi sakit sekali, penuh kecemasan akan keselamatan kekasihnya. Ia khawatir kalau-kalau dia terlambat menolong kekasihnya.

   "Aihhh! Mengapa aku begini lemah?"

   Dia mencela diri sendiri.

   "Terlambat atau tidak, bagaimana nanti keadaannya sajalah. Yang terpenting, aku harus mencarinya sampai dapat!"

   Pikiran ini agak meredakan gelombang kecemasan yang melanda hatinya dan mulailah dia melakukan perjalanan ke utara kembali, tidak berani melakukan cepat karena dia harus melakukan penyelidikan, bertanya-tanya di sepanjang jalan.

   Karena dia menganggap bahwa orang yang terluka dan tewas ketika bertemu dengannya itu merupakan jejak terakhir dari Milana, dia lalu mengambil jalan yang ditempuh orang itu, dari tempat dia bertemu orang itu lalu terus ke utara. Di sepanjang perjalanan Bun Beng bertanya-tanya dan untuk mencegah timbulnya kecurigaan, maka dia bersikap bersahaja. Pakaiannya memang selalu sederhana, dan kini dia selalu memakai sebuah caping bundar yang pinggirannya lebar, sedangkan pedang Hok-mo-kiam tidak pernah tampak dari luar karena dia sembunyikan di balik jubahnya. Dalam penyelidikannya, secara sambil lalu dia bertanya tentang seorang nona muda yang cantik dengan gelung tinggi ke atas kepala, seorang pemuda tampan yang mukanya pucat dan pakaiannya mewah, dan seorang kakek yang kurus seperti mayat. Dia tidak mau menyebut nama-nama.

   

Kisah Pendekar Bongkok Eps 9 Pendekar Super Sakti Eps 7 Kisah Pendekar Bongkok Eps 22

Cari Blog Ini