Jodoh Rajawali 38
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 38
"Muridmu telah mengundang aku untuk berkunjung ke pantai Po-hai, akan tetapi kebetulan kita bertemu di sini."
Kian Bu mengingatkan tantangan Ang-siocia.
"Harap Taihiap sudi melupakan urusan itu karena ketahuilah bahwa kitab-kitab pusaka yang ditinggalkan oleh orang tua itu dan diambil oleh muridku yang bodoh adalah kitab-kitab palsu. Dan tentang undangan muridku, biarlah di sini aku mintakan maaf kepada Taihiap...."
Dia menjura dan Kian Bu cepat-cepat mengangkat tangan membangunkan orang tua itu. Dia sudah menduganya demikian, maka diam-diam dia mentertawakan Ang-siocia yang memperoleh kitab-kitab palsu.
"Sudahlah, urusan yang lalu biarlah lalu karena semua itu hanya urusan kecil saja. Aku merasa girang bahwa kita sekarang bertemu sebagai sahabat. Akan tetapi, urusan kami di dalam benteng ini adalah amat berbahaya, maka sungguh tidak enak kalau sampai membuat Ji-wi ikut-ikut terancam bahaya."
"Aku ada rencana yang baik sekali!"
Tiba-tiba Swi Hwa berkata dengan sinar mata bercahaya.
"Kalau rencanaku dijalankan, bukan saja kita dapat memasuki benteng itu seperti masuk ke dalam rumah sendiri, akan tetapi juga agaknya mudah saja menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri Bhutan itu tanpa ada bahaya dan tanpa pertempuran!"
Hwee Li sudah merasa girang sekali mendengar ini.
"Bagaimana rencanamu itu, Enci?"
"Engkau lihat dua orang kakek itu, Adik Hwee Li? Nah, biarkan mereka itu membawa Taihiap ini dan engkau pulang ke dalam benteng sebagai tawanan, bukankah dengan begitu mudah saja bagi kalian untuk memasuki benteng?"
"Ahhh....!"
Kian Bu sampai mengeluarkan seruan saking kaget dan herannya. Dia, memandang gadis pakaian merah itu dengan alis berkerut. Sudah gilakah gadis ini, pikirnya. Juga Hwee Li yang biasanya cerdik itu, memandang terbelalak kepada Swi Hwa.
"Enci, jangan main-main....!"
Swi Hwa tertawa geli.
"Siapa main-main, adikku sayang? Apakah kau mempunyai cara yang lebih baik daripada itu? Bayangkan saja. Dua orang kakek ini menunggang garuda itu membawa kalian berdua sebagai tawanan. Nah, siapa yang akan menghalangi mereka di dalam benteng?"
"Tapi.... tapi, itu rencana gila! Susah-susah kita tangkap, lalu kini kau mengusulkan agar kita melepaskan dua orang iblis itu dan membiarkan mereka menangkap kami berdua?"
Hwee Li sudah mulai marah karena merasa dipermainkan. Akan tetapi jawaban Swi Hwa mengusir kemarahannya dan membuat dia makin terheran-heran, demikian pula Kian Bu.
"Siapa suruh kau membebaskan mereka, adikku? Biarkan mereka digerogoti semut-semut merah! Aku belum gila menyuruh kau membebaskan dia."
"Eh, bagaimana kau ini? Tadi kau katakan...."
Swi Hwa lalu mendekati dan merangkul Hwee Li, berkata lirih berbisik-bisik agar tidak terdengar oleh dua orang kakek iblis yang hanya kelihatan kepalanya saja di atas tanah itu dan yang memandang ke arah mereka dengan mata melotot.
"....aku dan Suhu yang menyamar sebagai mereka dan membawa kalian ke dalam benteng...."
Kian Bu terkejut. Sungguh permainan yang amat berbahaya! Menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi? Mungkin Hek-sin Touw-ong dapat menyamar sebagai salah satu di antara mereka, akan tetapi nona itu?
"Ah, mana bisa hal itu dilakukan? Sebelum kita memasuki benteng, tentu Ji-wi telah ketahuan dan kalau Ji-wi mengalami celaka, kami akan merasa tidak enak sekali,"
Katanya. Juga Hwee Li tidak dapat menerima rencana itu.
"Enci Swi Hwa, harap jangan kau main-main. Kita bukan menghadapi sekumpulan anak-anak kecil yang mudah kau permainkan dengan penyamaran. Kita bukan sedang bermain di atas panggung sandiwara...."
"Wah, wah! Kalian memandang rendah kepandaian guruku, ya?"
Swi Hwa berdiri sambil bertolak pinggang dan kelihatan marah. Gurunya lalu menyentuh lengannya, memandang penuh teguran dan Swi Hwa menurunkan kedua tangannya kembali dan membuang sikapnya yang marah.
"Apa yang dikatakan oleh muridku ini memang benar. Akal itu memang amat baik dan kami kira kami dapat melakukan penyamaran itu sebaik-baiknya."
"Suhu, mereka tentu tidak percaya. Lebih baik kita buktikan. Mari kita bersembunyi di sana sebentar, Suhu."
Gadis berpakaian merah itu lalu menarik tangan gurunya, diajak pergi ke belakang semak-semak belukar tak jauh dari situ sambil membawa buntalannya yang agak besar. Hwee Li hanya saling pandang dengan Kian Bu, terheran-heran dan tidak percaya, akan tetapi juga tertarik sekali. Tempat guru dan murid itu menyelinap lenyap adalah semak-semak belukar yang menyambung dengan pohon-pohon. Tak lama kemudian, terdengarlah dari sebelah kiri, dari balik pohon-pohon, suara seorang nenek-nenek yang agak gemetar menawarkan dagangannya,
"Sepatuuuuu.... sepatu rumpuuuuut....! Barang baik harga murah lekas.... beliiiii....!"
"Eh? Di dalam tempat sunyi seperti ini ada orang jualan sepatu rumput?"
Tanya Hwee Li dan dia memandang heran kepada seorang nenek yang datang terbongkok-bongkok membawa beberapa buah sepatu rumput. Akan tetapi Kian Bu memandang kepada nenek itu dan mukanya berubah.
"Dia....? Dia.... adalah nenek itu....!"
Teringatlah dia akan nenek penjual sepatu rumput di daerah Ho-nan itu. Jantungnya berdebar. Nenek ini yang dituduhnya mengambil uangnya sekantung. Dan uang itu tadi dikembalikan oleh Ang-siocia!
"Kau kenapa, Kian Bu? Kau kenal dia....?"
Hwee Li bertanya. Akan tetapi Kian Bu yang masih bingung itu memandang dan selagi dia hendak lari menghampiri, nenek itu telah lenyap di balik semak-semak! Melihat sikap Kian Bu, Hwee Li makin heran.
"Kian Bu, siapakah nenek-nenek itu tadi?"
Akan tetapi yang ditanya hanya memandang bengong ke arah semak-semak. Jadi gadis berpakaian merah itukah kiranya yang menyamar sebagai nenek-nenek itu dahulu? Bukan main! Dan dia sudah bicara dengan nenek itu berhadapan sampai cukup lama, namun dia sama sekali tidak tahu, bahkan uangnya sekantong pun dicurinya atau dicopetnya tanpa dia merasa. Benar-benar hebat gadis itu. Hebat ilmu penyamarannya, juga hebat ilmu copetnya!
"Hai, bukankah itu engkau, Twako? Apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak saling jumpa!"
Kian Bu terkejut dan menoleh ke kanan, juga Hwee Li memandang. Dia melihat seorang pemuda tampan yang bersikap gembira sekali keluar dari pohon sebelah kanan, sikapnya jelas telah lama mengenal Kian Bu.
"Eh, kau di sini, Kang-kongcu....?"
Kata Kian Bu. Tentu saja dia mengenal Kang Swi, pemuda royal yang menjadi teman seperjalanannya menuju ke Ho-nan tempo hari. Akan tetapi, pemuda itu sudah menyelinap pergi lagi.
"Tunggu, Kang-kongcu....!"
Kian Bu hendak menghampiri dan tiba-tiba dia tersentak kaget bukan main ketika teringat akan nama itu. Kang Swi! Dan Ang-siocia bernama Kang Swi Hwa! Ah, pantas saja tadi ketika Ang-siocia memperkenalkan diri sebagai Kang Swi Hwa kepada Hwee Li, dia merasa seperti mengenal baik nama itu.
Kang Swi dan Kang Swi Hwa! Kiranya satu orang! Dia makin kagum dan terheran. Nona itu ternyata telah menyamar sebagai nenek-nenek penjual sepatu, kemudian menyamar sebagai pemuda Kang Swi tanpa dia ketahui sama sekali! Penyamaran sebagai nenek penjual sepatu yang mencopet uangnya itu sudah hebat, akan tetapi penyamarannya sebagai pemuda Kang Swi lebih hebat pula! Dia telah berhari-hari melakukan perjalanan bersama "pemuda"
Itu, melihat Kang Swi memasuki sayembara, sampai pertempuran yang terjadi ketika mereka bertempur memperebutkan Pangeran Yung Hwa. Dan sama sekali dia tidak tahu bahwa "pemuda"
Itu adalah Ang-siocia pula yang menyamar. Pantas saja ketika mereka kehabisan kamar penginapan.
"pemuda"
Itu tidak mau tidur sekamar dengan dia! Hwee Li masih bingung.
"Eh, Kian Bu, siapakah nenek-nenek penjual sepatu itu tadi? Dan siapa pula pemuda yang menegurmu tadi? Agaknya engkau mengenal mereka, akan tetapi begitu muncul dan melihatmu, mereka terus pergi."
Wajah Kian Bu menjadi merah. Dia merasa malu sendiri mengapa dia sampai dapat dipermainkan oleh gadis itu!
"Mereka.... mereka tadi adalah penyamaran Nona itu...."
"Enci Swi Hwa? Ah, benarkah?"
Hwee Li tertegun, akan tetapi pada saat itu, dari arah belakangnya terdengar suara tertawa. Hwee Li hampir menjerit mendengar suara ketawa bekas ayahnya itu. Dia cepat membalikkan tubuhnya dan terbelalak memandang kakek raksasa yang berdiri di depannya.
"Ha-ha-ha, anakku Hwee Li yang cantik manis, anakku sayang, marilah engkau ikut ayahmu kembali ke Pulau Neraka....!"
"Tidak, tidak....! Engkau bukan ayahku! Engkau.... heeeee?"
Hwee Li teringat, memutar tubuhnya dan melihat betapa kepala Hek-tiauw Lo-mo masih berada di tempat yang tadi, di mana dia menguburkan tubuh kakek itu bersama kakek Hek-hwa Lo-kwi sampai ke leher! Cepat dia membalik dan memandang lagi, akan tetapi jelas bahwa Hek-tiauw Lo-mo benar-benar berdiri di depannya! Bulu tengkuknya meremang dan dia menjerit,
"Kau iblis tua bangka! Kau setan....!"
Dan dia bergerak hendak menyerang. Akan tetapi, Kian Bu memegang tangannya dan menahannya.
"Nanti dulu, Enci Hwee Li. Lihat dulu baik-baik siapa dia...."
"Ha-ha-ha, anak durhaka kau! Hendak melawan ayah sendiri? Berani engkau melawan Hek-tiauw Lo-mo? Ha-ha-ha!"
Dan kini raksasa itu tertawa, nampak giginya yang bertaring dan tangan kanannya sudah mencabut golok gergajinya, sedangkan tangan kirinya memegang jala hitam tipis.
"Sudah kulihat, dia memang iblis tua itu!"
Hwee Li berkata sambil memandang terbelalak kepada raksasa di depannya.
"Ehhh, Lo-mo, mengapa banyak membuang waktu? Kita tangkap dua bocah ini dan kita seret ke depan Pangeran Liong Bian Cu, bukankah kita akan memperoleh hadiah yang amat besar dan kedudukan tinggi kelak? Ha-ha-ha, mari kita tangkap mereka!"
Hwee Li terkejut memandang kakek bermuka tengkorak yang baru muncul. Hek-hwi Lo-kwi! Tidak salah lagi. Dia cepat menoleh dan melihat betapa kepala Hek-hwa Lo-kwi masih nampak di sana! Bagaimana dua orang kakek iblis ini mampu membebaskan diri sedangkan kepalanya masih kelihatan di sana? Dia makin bingung dan kini hanya dapat memandang dengan mata terbelalak seperti melihat setan di tengahari!
"Ha-ha-ha, Lo-kwi. Lihat, bukankah anakku ini sekarang sudah besar dan cantik sekali? Pantas Pangeran Nepal itu sampai terkentut-kentut kegilaan kepadanya. Ha-ha-ha!"
Hek-tiauw Lo-mo berkata lagi. Tiba-tiba Kian Bu menjura kepada dua orang kakek itu sambil berkata,
"Kepandaian menyamar dari Locianpwe dan Nona sungguh membuat saya merasa kagum dan takluk!"
Mendengar ini, baru Hwee Li sadar. Akan tetapi dia masih belum percaya dan ketika Hek-tiauw Lo-mo melangkah dekat, dia otomatis mundur-mundur. karena jerih.
"Hi-hik, Adik Hwee Li, apakah sekarang engkau merasa takut kepadaku? Sikapmu ini amat menyenangkan, Adik Hwee Li. Nah, apakah sekarang engkau percaya akan kemampuan Encimu ini dan Suhu?"
"Kau.... kau.... Enci Swi Hwa....!"
Kini barulah Hwee Li percaya setelah mendengar suara gadis itu.
Akan tetapi dia masih terheran-heran bukan main. Kang Swi Hwa adalah seorang gadis cantik yang tingginya hampir sama dengan dia. Bagaimana sekarang telah mengubah diri menjadi seorang kakek raksasa yang tinggi itu? Dengan berindap-indap dia menghampiri Hek-tiauw Lo-mo palsu itu dan meneliti. Memang serupa! Bahkan wajah yang seperti raksasa bertaring itupun sama. Tubuhnya tinggi besar pun serupa. Kulitnya kehitaman juga sama. Hanya kini nampak olehnya betapa tangan Hek-tiauw Lo-mo palsu ini terlalu kecil, tidak sebesar tangan bekas ayahnya, sungguhpun aneh sekali, tangan Swi Hwa yang tadinya berkulit halus itu kini menjadi kasar sekali. Dia makin terheran-heran, berjalan mengelilingi Hek-tiauw Lo-mo palsu itu seperti seorang pedagang sapi sedang memeriksa seekor sapi yang hendak dibelinya.
"Bagaimana, Adik Hwee Li? Apakah masih ada kekurangannya?"
Hwee Li berhadapan dengan Swi Hwa dan memegang tangannya, akan tetapi cepat dilepasnya kembali dengan jijik. Orang ini terlalu mirip Hek-tiauw Lo-mo sehingga menimbulkan jijik kepadanya.
"Bagus sekali, Enci. Sayang ada satu perbedaan menyolok."
"Tanganku terlalu kecil?"
"Bukan itu saja, terutama sekali.... baunya!"
"Baunya?"
"Ya, kau tadi berbau sedap harum, sekarang pun masih harum. Padahal, seingatku bau iblis tua itu amat apek!"
"Ha-ha-ha, Lo-mo, agaknya engkau tadi habis mandi minyak wangi, maka baumu menjadi harum! Hati-hati, lebih baik kau hilangkan bau harum itu dengan menggosok rambutmu dengan bunga tahi ayam!"
Terdengar Hek-hwa Lo-kwi berkata. Hwee Li bergidik. Kakek ini memang Hek-hwa Lo-kwi, sedikit pun tiada bedanya! Maka kagumlah dia. Kagum bukan main dan dia pun menjura.
"Hek-sin Touw-ong, aku benar-benar kagum sekali. Kalian memang hebat!"
Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa kini menanggalkan aksi mereka dan bicara dengan suara mereka sendiri.
"Nah, setelah kalian percaya, marilah kalian membiarkan kami berdua membawa kalian ke dalam benteng sebagai tawanan. Dengan cara ini, tentu akan mudah untuk mengelabuhi mereka, dan terbuka kesempatan kita untuk menolong mereka yang ditawan,"
Kata Hek-sin Touw-ong.
"Nanti dulu, Locianpwe. Aku masih penasaran...."
Kian Bu kini memandang kepada Hek-tiauw Lo-mo palsu alias Swi Hwa itu.
"Jadi kalau begitu nenek penjual sepatu itu...."
"Akulah yang menyamar, Taihiap. Maafkan aku, kalau tidak begitu, mana bisa aku mencopet kantung uangmu?"
Kata Swi Hwa sambil tertawa. Lucu sekali melihat raksasa Hek-tiauw Lo-mo bersikap seperti itu dan mengeluarkan suara begitu merdu.
"Dan.... Kang-kongcu itu....?"
"Hi-hik, maaf bahwa aku telah mempermainkanmu, Taihiap. Akulah Kang Swi aku memang sedang bertualang mencari pengalaman, maka mendengar tentang sayembara itu aku ingin memasuki dan meluaskan pengetahuan."
"Akan tetapi.... kau telah membantu Gubernur Ho-nan, Nona, dan tahukah engkau bahwa gubernur itu adalah seorang pengkhianat yang agaknya bersekutu dengan Pangeran Nepal?"
Hek-tiauw Lo-mo palsu itu mengangguk-angguk.
"Tadinya aku tidak tahu apa-apa. Tahuku hanya aku telah diterima menjadi pengawal dan tentu saja aku bertindak sebagai pengawal. Setelah aku tahu duduknya perkara, terus saja aku meninggalkan Ho-nan. Tak sudi aku menjadi kaki tangan pengkhianat dan pemberontak."
Kian Bu mengangguk-angguk dengan hati lega.
"Kalau begitu baiklah, mari kita berangkat."
"Akan tetapi tidak mungkin menunggang garuda kalau berempat,"
Kata Hwee Li.
"Terlalu berat bagi garuda dan juga punggungnya tidak dapat menampung empat orang. Pula, kalau garuda kembali ke sana tentu akan sukar bagi kita untuk meloloskan diri kalau-kalau ada bahaya mengancam, maka biarlah kita jalan kaki saja dan biarkan garudaku terbang di atas benteng agar dia siap kalau sewaktu-waktu kupanggil."
Semua orang setuju dan Hwee Li lalu membisiki telinga garuda yang dipanggilnya turun, kemudian menepuk lehernya. Garuda itu terbang ke angkasa dan empat orang itu berangkat meninggalkan tempat itu.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Kian Lee, putera dari Pulau Es itu. Telah diceritakan di bagian depan betapa Kian Lee meninggalkan puncak Bukit Nelayan di tepi sungai di kaki Pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal dari Sai-cu Kai-ong untuk pergi mencari Kian Bu. Adiknya itu pergi tanpa pamit dan Kian Lee menduga bahwa adiknya tentu akan pergi ke pantai Po-hai, seperti diceritakan oleh Kian Bu yang akan memenuhi tantangan Ang-siocia yang telah mencuri pusaka palsu yang disimpan Sin-siauw Seng-jin. Akan tetapi setelah lama mencari-cari di pantai Po-hai, dia tidak dapat menemukan siapa-siapa, juga tidak dapat menemukan jejak adiknya. Hati Kian Lee mulai merasa tidak enak dan dia menduga-duga ke mana perginya adiknya itu yang kini telah terkenal sebagai pendekar Siluman Kecil yang amat tinggi kepandaiannya.
Karena telah melakukan penyelidikan ke seluruh pantai tanpa hasil, akhirnya Kian Lee meninggalkan pantai, masih bingung tidak tahu ke mana dia harus mencari adiknya itu. Belum jauh dia meninggalkan pantai Po-hai, menyusuri lembah muara Sungai Huang-ho, tibat-tiba dari jauh dia melihat orang-orang sedang bertempur, secara aneh dan dari gerakan mereka yang gesit itu mudah diketahui bahwa yang sedang bertanding adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi. Cepat Kian Lee berlari menghampiri, akan tetapi dia berlari sambil menyelinap di antara batu-batu dan akhirnya dia tiba di dekat tempat itu, mengintai dari balik sebuah batu besar dan memandang penuh perhatian. Kini dia merasa kagum dan juga terheran-heran. Yang bertanding itu adalah seorang dara cantik jelita yang amat aneh caranya bersilat karena dara ini mempergunakan sebuah senjata istimewa sekali,
Yaitu sebatang payung yang berkembang! Senjata seperti ini sebetulnya tidaklah terlalu asing bagi Kian Lee, karena ibu tirinya, yaitu ibu kandung Kian Bu, Puteri Nirahai, adalah seorang yang ahli bersilat dengan payung. Akan tetapi, dara cantik ini memainkan payungnya seperti orang menari-nari saja, bukan seperti orang bersilat, apalagi berkelahi! Padahal, saat itu dia dikeroyok oleh dua orang lawan yang amat tangguh dan yang amat tinggi tingkat ilmu silatnya! Kian Lee memandang penuh perhatian kepada dara cantik jelita itu. Dara itu cantik jelita dan manis bukan main, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya dari sutera yang halus dan indah, yang mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan lekuk leng-kungnya yang menonjol dan menggairahkan.
Tubuh yang amat menarik dari seorang dara yang sudah dewasa dan bagaikan sekuntum bunga sedang mekar. Wajahnya manis sekali, sepasang matanya bergerak-gerak jenaka dan sinarnya tajam dan aneh, hidungnya kecil dan mulutnya selalu tersenyum manis, sehingga dalam keadaan bertanding itu dia seperti orang main-main saja. Gerakan tubuhnya cekatan dan aneh, kedua kakinya kadang-kadang mencuat dengan tiba-tiba, tanda bahwa dara ini memiliki keistimewaan dalam ilmu tendangan yang berbahaya bagi fihak lawan. Adapun dua orang pengeroyok itu pun bukan orang-orang yang lemah. Sebaliknya malah ilmu kepandaian mereka tinggi sekali, tidak kalah sebetulnya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat dari dara berpayung itu. Mereka adalah seorang wanita muda berusia dua puluh dua tahun dan seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun.
Wanita itu berpakaian serba hijau dan gerakannya amat gesit, seperti seekor burung beterbangan saja ketika dia menghadapi lawannya. Wanita muda ini juga cukup cantik, akan tetapi pandang matanya membayangkan kekerasan hati dan keganasan. Adapun laki-laki yang mengeroyok itu jelas bukanlah orang Han aseli. Matanya agak biru, kulitnya bule dan rambut-nya coklat, akan tetapi wajahnya tampan sekali dan wajahnya membayangkan kehalusan budi. Tiba-tiba Kian Lee terkejut bukan main ketika melihat wanita baju hijau itu menggosok-gosok kedua tangannya dan membuat gerakan berputar-putar di depan dada. Dia maklum bahwa gerakan seperti itu tentu mengandung tenaga sinkang mujijat, maka dia sudah siap untuk menolong jika ada yang terancam bahaya.
"Sumoi, jangan!"
Tiba-tiba laki-laki yang berkulit putih itu mencegah dan wanita baju hijau itu mengurungkan pu-kulannya yang mujijat. Agaknya laki-laki yang menjadi suheng itu tidak memperbolehkan sumoinya menurunkan tangan maut terhadap dara cantik berpayung itu.
"Hi-hik, kalian ini pembohong-pembohong besar! Penculik-penculik hina! Masih belum mau tunduk kepada nonamu?"
Si cantik jelita itu berseru dengan suaranya yang nyaring halus, kemudian dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara melengking yang amat aneh namun menggetarkan perasaan.
Kian Lee yang bersembunyi di belakang batu itu sampai terkejut bukan main karena tiba-tiba dia merasa betapa jantungnya ikut tergetar! Tak disangkanya bahwa nona itu memiliki kekuatan khikang yang demikian ampuhnya. Akan tetapi lebih terkejut lagi dia ketika mendengar dara manis itu mulai terkekeh, tertawa geli. Anehnya, dia melihat dua orang pengero-yoknya itu pun mulai tertawa-tawa! Dan karena tertawa-tawa yang agaknya di luar kehendak mereka itu maka gerakan mereka menjadi kacau dan hampir saja pinggang wanita baju hijau kena disambar tendangan dara manis itu dan kepala si laki-laki bule hampir kena dihantam ujung payung yang sebentar tertutup sebentar terbuka itu! Kian Lee kaget setengah mati ketika tiba-tiba dia pun menyeringai lebar! Tidak sampai mengeluarkan suara tertawa seperti dua orang pengeroyok itu,
Akan tetapi ada kekuatan aneh yang seolah-olah memaksanya untuk tertawa ketika dia mendengar suara tertawa merdu dari dara itu! Ketika merasa betapa hatinya geli dan mulutnya menyeringai, Kian Lee mengerti bahwa dara cantik berpayung itu ternyata telah mempergunakan ilmu sihir! Sebagai putera Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang terkenal dengan kekuatan sihirnya yang mujijat, biarpun dia tidak mempelajari ilmu itu, namun dia tahu apabila ada orang mempergunakan sihir. Tadinya dia merasa bingung dan tidak tahu harus membantu siapa karena dia tidak mengenal mereka bertiga itu dan tidak tahu urusan apa yang membuat mereka bertempur mati-matian seperti itu. Akan tetapi setelah kini nona berpayung itu menggunakan sihir, hatinya merasa tidak senang. Nona itu berlaku curang kalau menggunakan sihir, pikirnya.
Maka Kian Lee yang melihat betapa kini dua orang pengeroyok itu yang masih terus tertawa-tawa dan kelihatan bingung mendapat serangan hebat oleh dara berpayung, bahkan sudah dua kali mereka itu terkena tendangan yang membuat mereka terhuyung-huyung, akan tetapi dalam keadaan terhuyung tetap saja mereka tertawa terpingkal-pingkal, Kian Lee tidak ragu-ragu lagi untuk turun tangan menentang dara tukang sihir itu. Dengan pengerahan sinkangnya, Kian Lee mengeluarkan suara melengking yang mengandung khikang, lengkingan suaranya seperti seekor burung rajawali marah, menggetar dan menggema di seluruh penjuru tempat itu. Dara cantik yang terkekeh-kekeh itu terkejut bukan main dan dua orang pengeroyoknya seketika juga sadar dan tidak tertawa lagi. Kini dengan kemarahan meluap mereka lalu menyerang dara itu.
"Siluman jahat!"
Bentak wanita baju hijau sambil mengirim pukulan dahsyat yang biarpun dapat dielakkan oleh dara itu namun membuat kuda-kudanya menjadi rusak dan dia terpaksa harus meloncat ke belakang dan menggerakkan payungnya sehingga payung itu terbuka membentuk perisai yang melindungi tubuhnya, sedang kaki kanannya sudah menyambar ke arah dada pengeroyok pria tadi. Namun orang bule itu pun dapat mengelak dan membalas dengan serangan yang cukup dahsyat.
Seketika dara berpayung itu kini terdesak hebat! Siapakah dara cantik berpayung yang pandai ilmu sihir itu? Tentu para pembaca sudah dapat mengenalnya. Dia memang Teng Siang In, dara yang cantik jelita dan jenaka itu, murid terkasih dari See-thian Hoat-su si ahli sihir. Seperti telah kita ketahui, dara ini pun berkeliaran di sekitar pantai Lautan Po-hai untuk mencari Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi usahanya tidak berhasil, bahkan dia tidak dapat menemui gurunya karena kakek itu pun tidak berada di dalam Gua Tengkorak. Maka dengan hati kesal dia terpaksa meninggalkan pantai itu. Ketika pada suatu hari dia tiba di sebuah dusun dan memasuki rumah makan, hatinya yang kesal menjadi makin jengkel melihat lagak laki-laki yang menjadi kuasa rumah makan itu, yang begitu melihat dia masuk, sudah meninggalkan mejanya dan tersenyum-senyum lebar menyongsong kedatangannya.
"Ah, silakan masuk, silakan, Nona. Kami menyediakan meja terbaik untuk Nona....!"
Dan diiringi seorang pelayan yang tersenyum-senyum melihat lagak majikannya ini waktu mempersilakan Siang In untuk duduk di dekat meja kasir di mana kuasa itu duduk! Melihat betapa kuasa restoran itu tidak menyambut tamu lain dan mengistimewakan dia dengan lagak menjemukan, tentu saja Siang In maklum betapa laki-laki itu mencari muka, maka hatinya yang sedang kesal menjadi makin kesal!
"Nona kelihatan lelah sekali, tentu melakukan perjalanan jauh? Bolehkah saya bertanya, dari mana...."
Kuasa itu, seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan bertubuh tinggi besar gendut seperti raksasa, tidak melanjutkan kata-katanya karena Siang In sudah bangkit dari bangkunya dan melangkah menghampirinya. Laki-laki itu memandang heran dan girang, mengira bahwa Siang In menyambut sikapnya dan hendak melayaninya, akan tetapi tiba-tiba Siang In mengeluarkan sebuah mata uang dari saku bajunya dan meletakkannya di atas meja kasir.
"Ini untuk harga makanan yang akan kupesan, selebihnya biar untuk menutup mulutmu yang lebar!"
Setelah berkata demikian, Siang In membalikkan tubuh dan kembali duduk di bangkunya, akan tetapi sekarang dia memilih bangku yang membelakangi kuasa atau kasir itu. Laki-laki tinggi besar itu tadinya menjadi merah mukanya, merah karena malu dan marah, merasa dihina orang di depan umum, akan tetapi ketika dia memandang ke atas meja, ke arah uang perak itu dan menggerakkan tangan hendak mengambilnya, wajahnya berubah menjadi pucat sekali karena uang perak itu ternyata telah menancap sampai rata dengan permukaan meja dan tidak dapat diambilnya! Untuk mengambil uang perak itu kiranya harus dipergunakan alat untuk mencongkelnya keluar!
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tahulah dia bahwa dara yang cantik seperti bidadari itu adalah seorang pendekar wanita kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga memiliki tenaga mujijat dan sekali tekan saja sudah mampu membuat uang perak itu menancap sampai rata dengan permukaan meja! Hati Siang In merasa puas ketika mendengar betapa kuasa itu dengan suara bisik-bisik lalu memerintahkan pelayan untuk melayaninya dengan cepat dan baik, dan selanjutnya benar saja tidak berani lagi bicara kepadanya sepatah kata pun. Akan tetapi segera perhatian Siang In tertarik akan bunyi rengek seorang anak kecil. Dia menengok dan melihat seorang anak laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berkulit putih dan bermata kebiruan seperti orang asing akan tetapi yang berpakaian Han, bersama seorang wanita cantik berpakaian hijau yang menuntun seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima tahun memasuki restoran itu.
"Kenapa belum juga sampai?"
Terdengar anak itu bertanya dengan suara merengek. Melihat anak laki-laki itu, timbul rasa suka di hati Siang In. Anak itu matanya tajam dan penuh keberanian, mulutnya dikatupkan keras-keras tanda bahwa anak ini memiliki kekerasan hati, akan tetapi alisnya berkerut seperti anak yang marah.
"Sssttt, kita makan dulu...."
Bisik wanita baju hijau dan kebetulan sekali mereka bertiga, duduk di meja dekat meja Siang In. Anak itu, duduknya kebetulan menghadap ke arah Siang In. Dara ini yang merasa suka kepada anak itu lalu mengejap-ngejapkan mata dan tersenyum kepadanya. Lalu Siang In mengambil sepasang sumpit yang berada di atas meja, ditiupnya sepasang sumpit itu dan ketika dia mendirikan sumpit dan melepaskan tangan, sepasang sumpit itu menari-nari di atas meja! Anak itu terbelalak, wajahnya lalu berseri dan dia segera turun dari bangkunya dan lari menghampiri meja Siang In untuk nonton sumpit menari! Melihat ini, wanita baju hijau itu cepat bangkit berdiri. Dia tidak melihat sumpit menari maka melihat anak itu menghampiri meja Siang In, cepat dia memegang tangan anak itu dan berkata sambil menarik muka manis kepada Siang In,
"Harap maafkan anak saya yang tidak tahu aturan!"
Lalu dia menarik tangan anak itu kembali ke mejanya. Siang In mengerutkan alisnya. Hemm, kau boleh menipu orang lain akan tetapi tidak bisa membohongi aku, pikirnya. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa wanita berbaju hijau itu biarpun usianya sudah kurang lebih dua puluh dua tahun akan tetapi adalah seorang perawan. Bagaimana bisa mempunyai anak sebesar itu? Akan tetapi, karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai sangkut-paut dengan mereka, maka dia tidak dapat mencampuri urusan orang lain.
Betapapun juga, dia merasa tidak senang karena dia tahu bahwa anak itu jelas bukan anak wanita itu, atau anak pria itu. Wajah anak itu sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan wanita atau laki-laki itu, apalagi kalau diingat bahwa wanita itu adalah seorang yang masih perawan, belum menikah, maka jelas tidak mungkin mempunyai anak! Tadinya Siang In sudah tidak mau memperhatikan lagi karena merasa tidak berhak mencampuri urusan orang. Mungkin saja anak itu adalah anak angkat dari wanita itu, dan hal ini bukannya aneh. Maka ketika masakan yang dipesan-nya telah datang, dia segera mulai makan. Tiba-tiba perhatiannya tertarik lagi kepada wanita baju hijau dan laki-laki bule itu karena dia mendengar mereka bicara dalam bahasa Mongol! Dan ke-betulan Siang In mengenal bahasa ini yang dipelajarinya dari gurunya!
"Sudah kukatakan bahwa tidak baik membawa anak ini ke restoran. Bisa menarik perhatian orang saja. Sebaiknya kau beli makanan dan membawa makanan itu ke hutan di timur dekat lembah, kami menanti di sana!"
Demikian kata wanita baju hijau itu dengan suara lirih dan dalam bahasa Mongol,
Akan tetapi cukup dapat ditangkap oleh telinga Siang In yang terlatih. Wanita baju hijau itu lalu memondong anak itu dan membawanya keluar dari rumah makan dengan cara tergesa-gesa, meninggalkan laki-laki bule itu memesan masakan dan minta agar masakan-masakan itu dibungkus saja karena hendak dibawanya keluar. Makin besarlah rasa kecurigaan Siang In. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres atas diri anak kecil itu. Jelas bukan anak mereka dan jelas pula bahwa mereka berusaha menyembunyikan anak itu dari umum! Penculikankah? Siang In cepat menyelesaikan makannya dan ketika laki-laki bule itu membawa keluar makanan yang dibungkus dan meninggalkan restoran dengan cepat, dia pun bangkit dan segera membayangi orang itu.
Kecurigaannya makin besar ketika dia melihat betapa laki-laki bule itu setelah tiba di luar dusun lalu berlari cepat sekali, ternyata orang itu memiliki kepandaian tinggi dan ilmunya berlari cepat menunjukkan bahwa orang itu bukanlah orang biasa. Maka dia pun cepat mengejar dan membayanginya terus. Akan tetapi ketika laki-laki itu tiba di dalam hutan, yang menyambutnya hanya wanita baju hijau itu saja, sedangkan anak tadi entah berada di mana. Dan ternyata bahwa laki-laki itu ternyata tahu pula bahwa dia dibayangi, karena begitu tiba di situ dan bertemu dengan wanita baju hijau, dia bicara berbisik-bisik, dan setelah meletakkan bungkusan makanan di bawah pohon, laki-laki itu lalu mennbalik berseru dengan nyaring,
"Nona yang membayangi orang, harap keluar dan bicara!"
Siang In terkejut, akan tetapi sambil tersenyum dia lalu keluar dari balik pohon dan dengan langkah gontai dan tenang dia menghampiri mereka. Dia tidak mempedulikan pandang mata kagum dari laki-laki bule itu. Pandang mata pria seperti itu sudah biasa dia hadapi dan selama laki-laki tidak mengganggu-nya, dia pun tidak mempedulikan pandang mata mereka penuh kagum itu. Sedikit banyak pandang mata kaum pria seperti itu mendatangkan perasaan nyaman, juga di dalam hatinya dan memperting-gi harga dirinya! Laki-laki itu cukup sopan dan hormat, karena dia segera menjura kepada Siang In yang mengempit payung hitamnya, tidak seperti wanita baju hijau yang memandang dengan sinar mata penuh selidik dan alis dikerutkan.
"Nona, kami melihat bahwa Nona bukanlah orang sembarangan, akan tetapi yang membuat kami heran adalah mengapa Nona mengikuti saya ketika menuju ke sini? Ada urusan apakah yang hendak Nona bicarakan dengan kami?"
Melihat sikap pria asing itu, Siang In juga balas menjura.
"Sebenarnya, antara aku dan kalian tidak ada urusan apa-apa, dan aku pun tidak akan berani mengganggu orang tanpa sebab. Akan tetapi ada terjadi hal-hal yang mencurigakan hatiku dan yang tentu akan membuat aku selalu merasa penasaran sebelum memperoleh keterangan dari kalian berdua."
"Hemmm, bocah yang lancang. Kau menghendaki keterangan apakah?"
Tiba-tiba wanita baju hijau itu berkata, suaranya jelas mengandung kemarahan. Akan tetapi Siang In tetap saja tersenyum, dan bukan main manisnya dara ini kalau hatinya sedang tegang dan ditutup oleh senyumnya yang khas.
"Aku hanya ingin bertanya, mengapa ada seorang gadis mempunyai anak dan mengapa ada anak disembunyikan dari umum dan di mana pula adanya anak tadi? Biar aku bertanya sendiri kepada-nya!"
Mendengar ini, wanita baju hijau itu memandang marah.
"Jangan mencampuri urusan orang lain!"
Siang In tersenyum.
"Sayang, sudah menjadi watakku untuk mencampuri se-gala macam urusan yang tidak beres. Mengapa kalian tidak mau menjawab? Apakah kalian menculik anak itu?"
Mendengar ini, wanita baju hijau itu segera menyerangnya dengan pukulan yang datangnya cepat dan kuat sekali. Diam-diam Siang In terkejut bukan main. Kiranya wanita ini pun memiliki kepandaian hebat! Cepat dia mengelak dan balas menyerang. Segera mereka berdua sudah saling serang dengan dahsyatnya. Melihat ini, laki-laki asing itu pun melompat maju dan berkata,
"Sumoi, tidak perlu membunuh dia, robohkan saja agar kita dapat melarikan diri!"
Katanya. Menghadapi pengeroyokan mereka,
Siang In segera mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya tidak mampu untuk menandingi mereka, maka dia cepat menggerakkan payungnya. Akan tetapi dua orang yang ternyata amat lihai itu sama sekali tidak mengeluarkan senjata, melainkan mengeroyoknya dengan kedua tangan kosong saja. Dan selagi dia terdesak itulah muncul Kian Lee yang mengintai dan menonton pertempuran itu. Ketika Siang In terpaksa mengerahkan ilmu sihir untuk menghadapi dua orang lawan tangguh itu sehingga dia sudah dapat mendesak mereka, niat hati Siang In hanya merobohkan mereka kemudian memaksa mereka mengaku tentang anak itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba terdengar bunyi lengking yang luar biasa hebatnya, seperti bunyi lengking seekor burung rajawali sehingga hatinya tergetar dan kekuatan sihirnya membuyar.
Dia lalu terdesak hebat dan terancam bahaya, akan tetapi Siang In tidak putus asa dan tidak menjadi gentar. Dengan nekat dia melawan terus, menggunakan payungnya untuk melindungi tubuhnya dari desakan kedua orang lawannya. Karena tadi mereka berdua hampir saja menjadi korban ilmu sihir dara cantik jelita itu, kini suheng yang bule itu tidak lagi melarang sumoinya mempergunakan ilmu pukulan mujijat tadi. Mereka ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi, putera mendiang Pangeran Liong Bin Ong dengan ibu seorang selir berkulit putih dari pangeran itu, sedangkan sumoinya itu adalah Kim Cui Yan, Si Walet Hijau, yaitu puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin yang pernah memberontak. Sesungguhnya yang menculik putera Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah kedua orang inilah!
Penculikan itu pun didasarkan atas sakit hati mereka atas kematian orang tua mereka karena kegagalan mereka ketika memberontak. Karena mereka tahu bahwa Kao Kok Cu adalah putera sulung dari Jenderal Kao yang merupakan musuh besar utama mereka, maka kedua orang murid dari nenek iblis Kim-mouw Nio-nio ini lalu menculik puteranya. Mereka tidak berani melakukan hal ini secara terang-terangan karena mereka maklum akan kesaktian Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang juga memiliki kepandaian hebat, maka mereka melakukan penculikan atas diri putera tunggal mereka untuk menyiksa batin mereka se-bagai pembalasan dendam mereka. Semenjak melakukan penculikan itu, hati mereka selalu gelisah, apalagi setelah mendengar betapa ayah dan ibu anak yang mereka culik itu telah melakukan pengejaran,
Maka tentu saja mereka selalu bersembunyi-sembunyi. Akhirnya mereka mendengar akan pergerakan Gubernur Ho-nan yang bersekutu dengan Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal, maka kini mereka bermaksud untuk mengunjungi pangeran itu yang masih merupakan saudara sepupu dari Liong Tek Hwi. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Teng Siang In sehingga terjadilah perkelahian itu. Kini Siang In benar-benar terdesak hebat dan mulailah hati dara ini khawatir. Dua orang lawannya ini benar-benar tangguh dan kalau sampai laki-laki yang kini muncul dari balik batu yang tadi membuyarkan kekuatan sihirnya itu turun tangan pula, akan celakalah dia! Dia tidak berani menggunakan sihirnya lagi setelah tadi dibuyarkan oleh lengking penuh tenaga khikang dahsyat itu.
"Mampuslah kau siluman jahat!"
Bentak Kim Cui Yan sambil menyerang dengan pukulannya yang mujijat dan paling diandalkan, yaitu pukulan sakti Swat-lian Sin-ciang yang mendatangkan hawa dingin itu. Ketika itu, Siang In sedang terhuyung karena baru saja dia menangkis pukulan Liong Tek Hwi dengan payungnya, akan tetapi tenaga pukulan pemuda itu sedemikian kuatnya sehingga dia terdorong dan hampir roboh. Kini, wanita baju hijau itu menerjangnya sedemikian dahsyatnya sehingga tidak sempat lagi agaknya bagi Siang In untuk mengelak. Dia merasa betapa ada hawa dingin sekali menyambar ke arahnya, maka dia cepat membuang diri ke belakang dan tubuhnya terus dia gulingkan menjauh. Akan tetapi Kim Cui Yan terus mengejarnya dengan pukulan-pukulan Swat-lian Sin-ciang yang amat berbahaya itu.
"Desss....!"
Tubuh Kim Cui Yan terdorong ke belakang dan wanita baju hijau ini terkejut bukan main. Pukulannya yang berdasarkan Im-kang yang amat kuat itu membalik dan tubuhnya menggigil. Ternyata pemuda tampan yang kini muncul dari balik batu, pemuda yang tadi melengking dan membuyarkan pengaruh sihir dari dara berpayung itu, kini membalik dan menolong dara berpayung dan tangkisannya mengandung hawa yang lebih kuat dan lebih dingin daripada Swat-lian Sin-ciang! Melihat betapa pemuda tampan itu benar-benar amat hebat kepandaiannya, Kim Cui Yan menjadi gentar dan khawatir kalau-kalau tempat persembunyian anak yang diculiknya diketahui orang, maka dia berseru,
"Suheng, mari kita lari!"
Dia berseru dalam bahasa Mongol dan suhengnya yang memang segan untuk bermusuhan dengan orang-orang lihai tanpa sebab, tidak membantah dan keduanya sudah melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu dan melupakan bungkusan makanan yang tadi dibeli oleh Liong Tek Hwi!
"Hayo, majulah! Tak perlu kau pura-pura membantuku, majulah, jangan kira aku takut padamu! Hayo maju dan keroyok sekali, kau manusia tak tahu malu!"
Kian Lee hanya berdiri melongo menghadapi dara yang sudah berdiri di depannya sambil menodongkan payungnya ke arah dadanya itu.
"Eh, Nona aku tidak berniat buruk...."
"Huh, pandai kau pura-pura, ya? Kau tak tahu malu dan curang, kau tadi membantu mereka dengan sembunyi-sembunyi. Kalau tidak karena engkau, tentu aku sudah dapat membekuk mereka berdua itu! Sekarang mereka dapat lolos dan semua ini karena engkau yang menjadi biang keladinya. Kalau memang kau gagah, hayo kau lawan aku!"
Siang In sudah menyerang dengan payungnya, menusuk ke arah dada pemuda itu untuk menotok jalan darahnya.
"Eihhh....!"
Kian Lee cepat mengelak dan meloncat mundur.
"Sabar dulu, Nona. Harap jangan salah sangka. Kalau tadi aku membantu mereka adalah karena aku tidak tahu urusan antara kalian bertiga, maka aku hanya membantu siapa yang terancam bahaya. Setelah keadaan berbalik dan kau yang terancam bahaya, maka aku lalu membantumu. Aku tidak mempunyai niat buruk...."
"Dasar cerewet, pandai bicara kau, ya? Kau kira aku takut padamu, ya? Kalau memang berani, jangan main keroyok. Nah, teman-temanmu sudah pergi, mari kita bertanding satu lawan satu, hendak kulihat sampai di mana sih tingginya kepandaianmu!"
Sejak tadi Kian Lee memandang wajah dara ini dan dia kagum bukan main. Memang luar biasa cantik dara ini, boleh dibandingkan dengan Hwee Li! Hampir sama pula galaknya, hanya dara ini mempunyai sifat-sifat lucu dan melihat lagak dara ini, teringatlah dia kepada Kian Bu. Ah, kalau saja ada Kian Bu di situ, tentu ramai bertemu dengan seorang dara seperti ini.
Sejenak Kian Lee bengong saja, akan tetapi kini melihat dara itu bertolak pinggang dan mengalungkan gagang payungnya yang melengkung itu di leher sendiri sehingga kelihatan lucu, dengan mulut cemberut muka kemerahan akan tetapi matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang pagi yang berseri-seri. Lucu sekali! Manis sekali! Kian Lee tak dapat menahan ketawanya. Melihat pemuda itu tertawa, sepasang mata Siang In melotot makin besar. Makin besar makin indah, dan makin lucu dalam pandangan Kian Lee sehingga pemuda ini terus saja tertawa. Melihat dara itu bertolak pinggang dan menantang-nantang dengan sikapnya yang dibuat-buat agar kelihatan galak dan menakutkan, entah mengapa, Kian Lee yang biasanya selalu bersikap sopan terhadap wanita, kini tidak dapat menahan geli hatinya. Geli dan gembira. Dan makin pemuda itu tertawa, makin marahlah Siang In.
"Bagus, kau mentertawakan aku, ya? Kau lihat mukaku ini ada apa sih maka kau tertawa-tawa seperti orang gila?"
Siang In menuding ke arah dahi di antara kedua matanya. Otomatis Kian Lee memandang ke arah sepasang mata dara itu dan tiba-tiba saja dia merasa tubuh-nya tergetar dan dia tidak mampu mengalihkan pandang matanya. Sebelum dia sadar bahwa dia telah terpengaruh oleh ilmu sihir dari padang mata dara itu, sudah terdengar suara Siang In, suara yang merdu setengah berbisik, akan tetapi mengandung getaran yang kuat sekali wibawanya,
"Engkau adalah seekor monyet!"
Seperti orang kehilangan semangat, Kian Lee yang sudah tidak tertawa lagi akan tetapi mulutnya masih tersenyum itu, berkata,
"Aku adalah seekor monyet...."
Agak meragu suaranya, seperti diusahakannya untuk dilawan, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk perangkap sihir.
"Bagus! Dan kau pandai menari-nari. Hayo kau menari yang baik!"
Kembali suara Siang In terdengar penuh wibawa dan sepasang matanya yang lebar itu memandang seperti mengeluarkan sinar berpengaruh yang menundukkan Kian Lee.
"Tidak.... tidak....!"
Kian Lee berusaha melawan, akan tetapi kaki tangannya sudah bergerak sendiri dan dia menari-nari! Berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari!
"Heiii, menari yang baik! Engkau pandai menari dan seorang penari tidak boleh bersungut-sungut, harus tersenyum! Menari dan tersenyumlah kau!"
Kian Lee tidak dapat membantah.
Dia terus menari-nari dan kini mulutnya tersenyum, dan Siang In menonton sambil berdiri bertolak pinggang, akan tetapi sepasang matanya makin lama makin kehilangan kekuatannya karena mata itu kini mulai terbelalak keheranan ketika dia melihat betapa wajah itu mengingatkan dia akan wajah seorang pemuda yang selama ini selalu terbayang di lubuk hatinya, pemuda yang dicari-carinya selama ini, pemuda yang.... dibencinya akan tetapi juga yang tak pernah dapat dilupakannya, yaitu Suma Kian Bu! Setelah pemuda ini menari dan tersenyum, dia melihat persamaan antara mereka, terutama pada sinar matanya! Dan karena Siang In tidak mencurahkan seluruh perhatian dan kekuatan sihirnya, muka Kian Lee yang meronta-ronta dalam batin itu berhasil melepaskan diri. Dia mengeluh, terhuyung dan menutupi muka dengan kedua tangannya,
"Aihhh.... Suma Kian Lee.... sekali ini kau dibikin malu oleh seorang anak-anak...."
Mendengar ini, Siang In terkejut bukan main. Suma Kian Lee! Tentu saja masih saudara dari Suma Kian Bu, pemuda yang dicari-carinya! Dia terkejut dan juga menyesal mengapa dia tadi terburu nafsu mempermainkan pemuda ini engan sihirnya.
"Ah.... kau.... kau bernama Suma Kian Lee....?"
Katanya agak gagap. Kian Lee menggoyang-goyang kepalanya mengusir kepeningan, kemudian memejamkan mata untuk mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Barulah dia membuka mata menghadapi dara itu, alisnya berkerut karena dia teringat betapa tadi dia dipermainkan sehingga dia terpaksa menari-nari seperti orang gila tanpa dia mampu mencegahnya karena dia sudah terperangkap ke dalam kekuatan sihir yang hebat.
"Hemmm, engkau seorang nona yang amat aneh. Kita tidak pernah saling bermusuhan, akan tetapi engkau tega mempermainkan aku seperti itu. Memang aku Suma Kian Lee, dan siapakah engkau, Nona?"
"Apakah engkau kakak dari Suma Kian Bu?"
Wajah Kian Lee berseri seketika,
"Ah, jadi engkau sudah mengenal adikku itu? Tahukah kau di mana dia sekarang?"
Siang In kecewa. Tadinya dia mengharapkan bahwa pertemuannya dengan saudara Kian Bu akan dapat membawa dia bertemu dengan Kian Bu, kiranya orang ini malah bertanya kepadanya di mana adanya Kian Bu! Dia menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu dia berada di mana. Aku.... aku sedang mencari Puteri Syanti Dewi yang diculik orang dan kabarnya dibawa ke sekitar daerah ini."
Kian Lee makin tertarik dan memandang lebih tajam penuh selidik. Dipandang seperti itu oleh pemuda yang bersikap halus dan amat tampan ini, Siang In merasa malu sendiri dan teringat akan kenakalannya tadi, kedua pipinya menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya.
"Nona, engkau mengenal pula Puteri Syanti Dewi?"
"Mengenal? Dia sahabat baikku, kami sudah seperti saudara saja. Sayang dia sampai dapat lolos dari penjagaanku!"
"Kalau engkau sudah mengenal Kian Bu, dan menjadi sahabat baik Syanti Dewi, berarti engkau seorang sahabatku pula. Siapakah namamu, Nona?"
"Aku Teng Siang In."
Kian Lee mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.
"Teng Siang In....? Siang In....?"
Tiba-tiba wajahnya berseru ketika dia mengangkat muka memandang wajah nona itu.
"Ah, tahu aku sekarang! Bukankah engkau murid See-thian Hoat-su? Kian Bu pernah bercerita tentang dirimu kepadaku!"
Wajah itu menjadi makin merah dan makin cantik saja. Siang In melangkah maju mendekati Kian Lee, bertanya mendesak,
"Benarkah? Apa saja yang diceritakannya tentang diriku kepadamu?"
Kian Lee menggeleng kepala.
"Tidak banyak, hanya bahwa engkau dan encimu yang bernama.... ah, lupa lagi aku...."
"Mendiang Enci Siang Hwa?"
"Benar, Siang Hwa yang menurut Kian Bu tewas di perahu. Katanya bahwa engkau dan encimu adalah keturunan atau anak-anak dari mendiang Yok-sin, ahli pengobatan yang amat terkenal di lembah Pek-thouw-san, dan bahwa engkau kemudian menjadi murid See-thian Hoatsu. Ah, pantas saja engkau pandai ilmu silat, ahli dalam ilmu sihir, dan tentu engkau seorang ahli pengobatan pula, Nona."
Kian Lee memandang penuh kagum.
"Engkau masih begini muda sudah amat pandai, sungguh mengagumkan."
Wajah yang tadinya berseri amat cantiknya mendengar pujian itu, tiba-tiba saja berubah sama sekali menjadi bersungut-sungut, seperti langit yang tadinya cerah tiba-tiba tertutup mendung. Luar biasa sekali cepatnya perubahan pada wajah dara ini, menunjukkan bahwa keadaan hatinya juga mudah sekali berubah. Dara seperti ini mudah marah, mudah gembira, mudah berduka dan mudah bersuka, akan tetapi biarpun bersungut-sungut, tidak pernah kehilangan kemanisannya wajahnya yang memang cantik rupawan. Dan pada dasarnya dara ini berwatak jenaka dan periang, sehingga bersungut-sungut pun hanya sebentar saja, seperti angin lalu.
"Pandai apanya? Kalau tidak ada engkau yang datang menolong, tentu aku yang kau puji-puji pandai ini sudah menjadi mayat!"
Dia termenung lalu melanjutkan,
"Dua orang itu ternyata lihai sekali!"
Kian Lee lalu teringat kepada dua orang yang tadi mengeroyok dara ini.
"Ah, siapakah mereka, Nona? Dan mengapa pula kau berkelahi dengan mereka?"
Kembali terjadi perubahan pada wajah cantik itu. Kalau tadi bersungut-sungut menunjukkan kekesalan hatinya, kini berubah marah dan sepasang mata yang indah itu seperti memancarkan cahaya berapi yang panas, yang ditujukan kepada Kian Lee, dan suaranya nyaring dan marah,
"Aih, kalau tidak ada engkau yang lancang turun tangan menggangguku, tentu sekarang juga aku sudah berhasil membekuk mereka Hemmm, kalau tidak teringat betapa tadi engkau menyelamatkan nyawaku, tentu kau sudah kuanggap musuh dan kuserang mati-matian! Engkau ini memang seorang aneh, membikin aku bingung apa yang harus kulakukan terhadap dirimu!"
Kian Lee adalah seorang pemuda pendiam yang biasanya tidak suka banyak bicara, akan tetapi menghadapi seorang dara seperti ini, yang memiliki kepribadi-an amat menarik, yang berubah-ubah sikapnya, penuh daya hidup dan semangat, mau tidak mau dia terseret juga.
"Apa maksudmu?"
Tanyanya.
"Mengingat kau tadi menggagalkan usahaku yang hampir berhasil menangkap dua orang penculik
(Lanjut ke Jilid 38)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 38
itu, sepatutnya kau kubunuh, akan tetapi mengingat kau telah menyelamatkan nyawaku, tidak mungkin aku memusuhimu."
Kian Lee tersenyum, akan tetapi dia kurang memperhatikan semua kata-kata yang seperti kanak-kanak itu karena dia teringat akan penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, maka dia berkata,
"Nona Siang In...."
"Sudahlah, kalau kau tidak menganggap aku sahabat, lebih baik aku pergi saja...."
Dan tiba-tiba Siang In membalikkan tubuhnya, mengempit payungnya dan berjalan pergi. Lenggangnya yang wajar tidak dibuat-buat itu menonjolkan keindahan tubuhnya karena dia berjalan seperti orang menari-nari saja layaknya! Tentu saja Kian Lee menjadi bengong dan ketika sadar bahwa dara itu benar-benar meninggalkannya, dia cepat melompat dan mengejar, lalu berdiri menghadang di depan dara itu dengan pandang mata penuh keheranan.
"Nona Siang In.... mengapa kau...., apa salahku?"
"Kau tadi berkata bahwa karena mengenal adikmu dan karena aku sahabat baik dari Puteri Syanti Dewi, maka kau menganggap aku sebagai sahabatmu, akan tetapi kau menyebutku nona-nona segala macam! Sebutan nona membuat aku merasa berhadapan dengan orang asing, dan terhadap seorang asing aku tidak sudi banyak bicara lagi!"
Dan dara itu sudah mau melangkah pergi lagi saja. Hampir saja Kian Lee menggaruk-garuk kepalanya karena merasa kewalahan menghadapi dara ini.
"Habis, aku harus menyebutmu apakah?"
"Namaku Siang In, tanpa nona-nonaan bagi seorang sahabat. Engkau tentu lebih tua dariku, tentu saja tidak harus menyebut enci."
"Ah, baiklah Adik Siang In. Maafkan aku."
Wajah yang tadinya keruh dan marah itu tiba-tiba menjadi cerah berseri dan dara itu lalu duduk di atas sebuah batu yang terdapat tidak jauh dari situ.
"Nah, sekarang katakanlah, engkau mau bicara apa tadi?"
"Bicara apa....?"
Kian Lee menjadi bingung karena sikap dara itu benar-benar mengocoknya, membuat dia lupa lagi akan apa yang sedang hendak dikatakannya tadi.
"Bukankah kau tadi ingin mengatakan sesuatu kepadaku? Carilah sampai kau teringat, kalau tidak, aku bisa mati karena penasaran dan ingin tahu apa yang akan kau katakan tadi!"
Kian Lee mengerutkan alisnya, duduk di atas rumput di depan dara itu dan mengingat-ingat. Celaka, kalau orang sedang terlupa akan sesuatu, makin diingat akan makin sulit untuk dapat teringat. Melihat pemuda itu demikian tersiksa karena mengingat-ingat hal yang sudah lupa sama sekali, Siang In merasa tidak tega.
"Eh, kau sudah makan?"
Tiba-tiba dia bertanya. Kian Lee terkejut, memandang bengong.
"Makan....?"
Tanya bingung. Siang In tersenyum, manis sekali, dan mengangguk.
"Ya, makan. Kalau belum, aku dapat menyediakan nasi dan masakan-masakan yang paling lezat untukmu, dalam sekejap mata saja."
"Ah, jangan main-main, Adik Siang In. Di dalam hutan seperti ini mana mungkin engkau bisa membeli.... ah, ataukah engkau barangkali hendak menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan masakan?"
Siang In mengangguk, masih tersenyum.
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa sukarnya? Bukankah ayahmu juga Pendekar Siluman yang merupakan ahli sihir nomor satu di dunia ini? Apa sukarnya menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan masakan lezat?"
"Hemmm, jangan coba mengelabuhi aku, In-moi (Adik In). Biarpun mungkin bisa, akan tetapi nasi dan masakan jadi-jadian itu tidak mungkin dapat dimakan sampai mengenyang-kan perut."
"Akan tetapi aku bisa! Dan aku tanggung kau akan menikmatinya dan perutmu akan kenyang, Lee-koko!"
"Aku tidak percaya,"
"Tidak percaya? Nah, kau boleh tutup mata sebentar!"
Sambil tersenyum seperti melayani seorang anak kecil main-main, Kian Lee memejamkan matanya. Dengan telinganya dia dapat menangkap dara itu bergerak, melesat pergi dari situ dan tak lama kemudian kembali lagi, melakukan gerakan-gerakan lalu terdengar dara itu berkata,
"Nah, sudah jadi! Bukalah matamu, Lee-ko!"
Sambil tersenyum Kian Lee membuka matanya dan dia terbelalak! Di depannya, di atas rumput, terhampar nasi dan beberapa macam masakan sedap yang diletakkan di atas daun pembungkus, masih mengepul hangat-hangat!
"Nah, silakan makan!"
Kata Siang In tersenyum.
"Aku sih sudah makan kenyang tadi."
Kian Lee mengerahkan sinkangnya, mengerahkan kekuatan batin untuk membuyarkan sihir itu, akan tetapi nasi dan masakan itu masih ada saja di situ, tidak mau lenyap. Dan bau sedap masakan itu meremas-remas perutnya yang lapar, maka tanpa banyak pikir lagi dia lalu mulai makan. Bukan main lezatnya! Perut lapar bertemu nasi dan masakan hangat tentu saja lezat! Dan dara itu sudah menyulap pula seguci air jernih dari saku jubahnya. Kian Lee makan sampai kenyang dan setelah minum, dia mengusap bibirnya dan perutnya, memandang dara itu dan tersenyum.
"Hebat.... engkau memang hebat. Kiranya kau benar-benar telah menyediakan makanan ini.... ah, sekarang aku teringat apa yang akan kukatakan kepadamu!"
Siang In tertawa geli, terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya manis dan agak genit, akan tetapi menarik hati sekali.
"Tentu saja! Kalau pikiran kosong, maka segala sesuatu akan teringat. Kalau pikiran dikerjakan, hal yang terlupa mana mungkin dapat teringat? Pikiran penuh dengan kenangan dan ingatan, sampai penuh sesak dan bertumpuk-tumpuk. Nah, sekarang katakan, apa yang akan kau bicarakan tadi?"
"Aku mau bicara tentang Syanti Dewi. Bukankah engkau kehilangan dia di dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu di puncak Naga Api yang menjadi sarang Liong-sim-pang?"
Siang In meloncat bangun dan wajahnya berseri.
"Engkau tahu? Di mana dia sekarang?"
"Tenanglah dan dengarkan ceritaku. Yang melarikan Syanti Dewi dari puncak Naga Api itu bukan lain adalah See-thian Hoat-su...."
"Eh, guruku?"
Dara itu berteriak.
"Benar, akan tetapi puteri itu telah diculik orang lagi dari tangan gurumu di pantai Po-hai...."
"Di Gua Tengkorak?"
"Benar, aku mendengar semua itu dari Nyonya Kao Kok Cu...."
Kisah Sepasang Rajawali Eps 25 Sepasang Pedang Iblis Eps 53 Kisah Sepasang Rajawali Eps 60