Kisah Sepasang Rajawali 25
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
"Siapa kau berani mencampuri urusan kami?"
Akan tetapi pada saat itu, terdengar lengking nyaring dan dari balik arca besar meloncat sesosok tubuh manusia yang langsung menerjang dan menyerang pemuda tinggi besar itu dengan kedua tangan terbuka, kedua tangan yang melancarkan pukulan-pukulan beracun yang amat ampuh. Dari kuku-kuku jari tangan itu menyambar angin dahsyat dan tercium bau harum yang aneh, tanda bahwa kuku-kuku itu mengandung racun amat hebat.
"Wut-wut-plak-plak, bretttt....!"
Pemuda tinggi besar itu pun terkejut, maklum bahwa dia diserang orang dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman beracun yang amat berbahaya, maka dia sudah mengelak dan kemudian menangkis dengan lengannya, akan tetapi tetap saja ujung dengan bajunya yang digulung di bawah sikunya tercengkeram dan robek.
"Huh.... pemberontak hina....!"
Pemuda tinggi besar itu menghardik, suaranya nyaring dan besar, matanya bernyala memandang wajah orang yang menyerangnya.
Wajah yang hitam hanya tampak matanya saja yang bersinar-sinar penuh kebencian. Ceng Ceng telah melumuri mukanya dengan kotoran dan hangus hitam di belakang arca besar sebelum dia melompat ke luar tadi. Dia melakukan hal ini karena tadinya dia ragu-ragu melihat betapa pemuda laknat itu ternyata datang untuk menolong Jenderal Kao! Kalau saja dia tidak merasa enggan dan malu terhadap Jenderal Kao, tentu dia tidak akan menyembunyikan mukanya. Akan tetapi, terjadi perang di dalam hatinya. Sebagian dia harus bersyukur dan membantu pemuda yang datang menolong Jenderal Kao, akan tetapi sebagian lagi mengingat akan kebenciannya dia harus menyerang dan sedapat mungkin membunuh pemuda laknat itu! Maka ketika kebenciannya yang menang, dia menutupi mukanya agar tidak dikenal oleh Jenderal Kao.
"Mampuslah!"
Ceng Ceng membentak, kemudian dia menubruk lagi ke depan dengan menggunakan seluruh sin-kang untuk mendorong semua racun di tubuhnya ke dalam kedua tangannya.
"Dukk! Dess..... Aahh....!"
Pemuda itu mengeluh dengan kaget ketika merasakan lengan tangannya yang menangkis menjadi panas dan gatal, tanda bahwa dia terkena racun yang amat ampuh. Akan tetapi di lain pihak, Ceng Ceng tidak kuat menahan tangkisan pemuda yang luar biasa kuat tenaga sin-kangnya itu sehingga dia terbanting ke kiri dan roboh bergulingan. Ketika dia meloncat bangun lagi, pemuda tinggi besar itu telah memondong tubuh Jenderal Kao dengan lengan kiri.
"Hendak lari ke mana kau?"
Nenek pembantu Tek Hoat meloncat ke depan dan nenek ini sudah menyerang dengan tangan kosong yang dibentuk seperti cengkeraman kuku garuda. Terdengar suara bersiutan ketika kedua cakar itu menyambar-nyambar, yang satu hendak meraih dan merampas Jenderal Kao, yang lain mencengkeram ke arah leher pemuda tinggi besar. Namun, dengan gerakan indah dan gesit, pemuda itu mengelak, lalu menggunakan tangan kanannya menyambar ke depan, menangkap pergelangan tangan yang berbentuk cakar itu dan sekali sendal, tubuh nenek itu terjungkal dan terguling-guling sampal jauh!
"Wuuuutttt....! Singggg....!"
"Aihhh....!"
Pemuda tinggi besar itu cepat meloncat dan mukanya agak berubah. Ternyata Tek Hoat telah menyerang dengan sebatang pedang yang mendatangkan hawa mengerikan. Itulah pedang Cui-beng-kiam yang amat hebat, pedang peninggalan dari Datuk Pulau Neraka yang amat sakti. Karena melihat betapa pemuda tinggi besar itu ternyata lihai sekali dan Jenderal Kao telah dipanggulnya, Tek Hoat yang tidak ingin melihat tugasnya gagal telah mengeluarkan pedang simpanannya dan menyerang pemuda itu.
Melihat betapa pemuda tinggi besar yang memanggul tubuh Jenderal Kao itu masih dapat mengelak dengan sigapnya, Tek Hoat menjadi amat penasaran. Tadinya pemuda ini menganggap dirinya sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang tidak ada lawannya. Akan tetapi ternyata pemuda tinggi besar ini hebat sekali kepandaiannya dan kalau sampai jenderal itu dapat dirampasnya, Tek Hoat akan merasa malu dan kehilangan muka terhadap dua orang pembantunya itu. Bahkan Siang Lo-mo sendiri mengakui keunggulannya dan dua orang tokoh besar itu tidak keberatan ketika ditunjuk oleh Pangeran Liong Bin Ong untuk "membantu"
Dia karena mereka sudah mengenal kelihaian Tek Hoat. Kalau sampai kini seorang pemuda saja mampu merampas Jenderal Kao, benar-benar dia akan merasa malu sekali.
"Jahanam, jangan harap akan dapat lolos dari sini....!"
Tek Hoat menghardik marah sekali dan tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke depan. Gerakannya amat ringan dan cepat. Pemuda tinggi besar itu kembali terkejut. Tak disangkanya bahwa pemuda tampan yang menculik jenderal itu ternyata bukan main lihainya. Dia hanya melihat bayangan berkelebat didahului sinar pedang Cui-beng-kiam yang mendirikan bulu roma. Pemuda tinggi besar itu maklum bahwa serangan ini bukan main hebatnya, pedang meluncur menusuk lehernya, sedangkan tangan kiri pemuda itu meraih untuk merampas jenderal di pundaknya.
"Haiiittt....!"
Pemuda tinggi besar itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking keras sekali menggetarkan hati Tek Hoat yang cepat mengerahkan khi-kangnya dan melanjutkan serangannya. Pemuda tinggi besar itu menggerakkan kepalanya dari rambutnya yang panjang dan yang tadi melingkar di lehernya itu mendadak mencuat ke depan menangkis pedang.
"Plakkk!"
Ujung rambut itu terus membelit pedang seperti ekor ular yang hidup. Tek Hoat terkejut sekali, lalu merobah cengkeraman tangan kirinya menjadi pukulan yang disertai sin-kang kuat.
"Dessss....!"
Lengan kanan pemuda tinggi besar itu menangkis dan akibatnya membuat keduanya terkejut dan terhuyung sampai lima langkah jauhnya!
Pedang yang terlibat ujung rambut terlepas. Tek Hoat menjadi merah mukanya. Hatinya makin penasaran dan kembali dia meloncat ke depan dan menyerang pemuda tinggi besar yang masih memanggul tubuh Jenderal Kao dengan tangan kirinya itu. Pedang Cui-beng-kiam berkelebat dan kembali disambut oleh ujung rambut yang tebal dan panjang. Kini Tek Hoat menggunakan tangan kiri mendorong dengan telapak tangan terbuka dan hawa sin-kang yang amat dahsyat menyambar ke depan. Dia telah mengerahkan sin-kang yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu Tek Siauw-jin yang disebut Tenaga Inti Bumi. Dahsyatnya bukan kepalang dan debu mengepul tinggi ke arah pemuda tinggi besar itu.
"Hebat....!"
Pemuda tinggi besar itu berseru kagum, kembali tangan kanannya menangkis dengan dorongan yang sama ke depan dan kini yang bertemu di udara hanyalah dua tenaga sakti yang tidak kelihatan, akan tetapi yang memiliki kekuatan dahsyat. Pada saat itu, hwesio pembantu Tek Hoat sudah menyerang dengan toyanya, menghantam punggung pemuda tinggi besar. Tentu saja pemuda yang memiliki kepandaian tinggi ini tahu akan datangnya serangan toya, akan tetapi karena dia sedang bertanding sin-kang dengan lawannya yang amat tangguh dia terpaksa menerima gebukan itu.
"Bukkk....!"
Pemuda tinggi besar itu mengeluh sedikit, tubuhnya tergetar lalu tiba-tiba dia meloncat jauh ke belakang lalu melarikan Jenderal Kao yang masih terpondong di pundak kirinya.
"Jangan lari.... ahh....!"
Tek Hoat terkejut sekali karena tiba-tiba orang yang mukanya hitam itu telah menyerangnya dengan kedua tangan yang mengandung hawa beracun! Tek Hoat mengelak dengan loncatan ke samping. Dia menjadi bingung. Jelas bahwa orang bermuka hitam ini tadi me-nyerang pemuda tinggi besar ltu mati-matian, akan tetapi mengapa kini berbalik menyerangnya?
"Apakah kau gila? Siapa kau?"
Bentaknya dan melihat orang itu tetap menyerangnya dengan ganas, Tek Hoat menjadi marah. Tentu saja dia tidak takut akan serangan orang itu dan untuk memperlihatkan kelihaiannya, dia menangkis dengan lengan kiri sambil mengerahkan tangannya.
"Desss....!"
Untuk kedua kalinya, tubuh Ceng Ceng terlempar dan terbanting sampai bergulingan. Tubuhnya sakit-sakit rasanya, akan tetapi di lain pihak Tek Hoat terkejut merasakan lengannya panas dan gatal-gatal seperti habis menyentuh ular berbulu yang beracun!
"Keparat, kau berani menggunakan racun....?"
Tek Hoat menghardik dan kini dia melangkah maju, pedang Cui-beng-kiam tergetar di tangan kanannya. Melihat ini, maklumlah Ceng Ceng bahwa dia tidak akan mampu menang menghadapi Tek Hoat yang amat lihai itu. Maka dia cepat menggosok kedua pipinya dan meloncat berdiri.
"Lihat, siapa aku? Berani kau melanggar sumpah memandang aku?"
Sejenak Tek Hoat terbelalak dan memandang bingung ketika mendapat kenyataan bahwa wajah yang tersembunyi di balik kotoran hangus itu adalah wajah seorang dara yang cantik. Akan tetapi ketika dia melihat sehelai saputangan dikeluarkan oleh gadis itu, teringatlah dia.
"Kau....?"
Serunya kaget dan heran sekali, akan tetapi otomatis dia lalu membalikkan tubuhnya membuang muka! Ceng Ceng mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat keluar dari kuil tua setelah dia menyebar tiga macam racun bubuk yang dulu dibawanya keluar dari dalam terowongan bawah tanah. Lalu dia menggunakan ilmunya berlari cepat, meninggalkan pemuda yang masih membelakanginya itu. Tek Hoat adalah seorang yang amat lihai. Biarpun matanya tidak melihat, namun telinganya dapat menangkap gerakan Ceng Ceng dan dia tahu bahwa dara itu telah meloncat pergi. Cepat dia membalik dan merasa menyesal mengapa dia dahulu begitu mudah bersumpah sehingga kini dia mengalami kesukaran dari gadis liar itu.
"Lari ke mana kau?"
Bentaknya karena dia mulai merasa marah, merasa tertipu dan dipermainkan oleh gadis itu yang mempergunakan sumpahnya sebagai senjata. Akan tetapi terkejutlah dia ketika mencium bau yang luar biasa kerasnya, dan melihat tanah di depannya mengeluarkan asap seperti terbakar! Tahulah dia bahwa gadis itu, entah bagaimana, kini telah menjadi seorang ahli racun yang amat berbahaya.
Dia berseru keras menahan napas dan cepat meloncat tinggi melampaui tanah yang mengandung racun itu. Dia menoleh dan bergidik. Racun-racun itu amat hebat, selain dapat membuat batu-batu hancur, juga ada yang mengeluarkan bau keras mujijat yang memabokkan. Maka dia mengambil keputusan untuk membiarkan Ceng Ceng pergi dan dia lalu berlari cepat hendak mengejar pemuda tinggi besar yang telah melarikan Jenderal Kao dan yang tadi telah dikejar oleh dua orang pembantunya. Kurang lebih satu li jauhnya, ketika dia berada di luar hutan, Tek Hoat berhenti tiba-tiba dan berdiri termenung memandang mayat dua orang yang meng-gelatak di atas tanah. Mayat hwesio dan nenek pembantunya tadi! Dia mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa pembantu-pembantunya begitu tidak becus,
Sedangkan orang-orang yang membantu Jenderal Kao adalah orang-orang pandai, seperti pemuda tinggi besar itu, dan dua orang pemuda tampan yang telah muncul secara tidak terduga-duga ketika dia dan para pembantunya menyerbu rombongan Jenderal Kao. Tak lama kemudian terdengar derap kaki banyak kuda dan ternyata yang muncul adalah rombongan Siang Lo-mo yang juga tidak berhasil merobohkan dua orang pemuda itu. Siang Lo-mo menyesal sekali mendengar bahwa Jenderal Kao yang telah berhasil diculik itu terampas musuh, maka bersama Tek Hoat mereka lalu menuju ke kota raja untuk melapor kepada Pangeran Liong Bin Ong akan kegagalan mereka. Sementara itu, pemuda tinggi besar itu berlari cepat sekali, menyimpang dari jalan raya yang menuju ke kota raja dan menjelang senja dia berhasil membebaskan totokan di tubuh jenderal itu.
"Dari sini ke pintu gerbang kota raja tidak jauh lagi. Engkau terluka, orang muda. Marilah ikut bersamaku ke kota raja,"
Kata Jenderal Kao sambil memandang wajah yang gagah itu dengan rasa kagum dan suka. Pemuda itu menggeleng kepala.
"Silakan Tai-ciangkun pergi ke kota raja. Sekarang sudah aman. Kita harus berpisah di sini."
Setelah berkata demikian, pemuda itu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
"Nanti dulu....!"
Jenderal Kao memegang lengan pemuda itu,
"Engkau terluka, perlu perawatan...."
Pemuda itu menoleh, menggeleng kepala.
"Aku tidak apa-apa, Ciangkun, harap jangan khawatir. Yang perlu, Ciangkun harus cepat melarikan diri ke kota raja, dan biarlah aku yang menghadang mereka yang hendak mengejarmu."
Setelah berkata demikian, pemuda itu melangkah pergi.
"Bagaimana kau dapat pergi begitu saja setelah menyelamatkan aku? Setidaknya beritahukan kepadaku siapa namamu!"
Jenderal Kao berseru penasaran. Pemuda itu berhenti, menoleh dan menjawab,
"Saya mendengar dari para penghuni dusun bahwa Ciangkun adalah Jenderal Kao yang budiman, dan terkenal, sehingga siapa pun sudah sepatutnya membantu kalau Ciangkun berada dalam kesulitan. Adapun aku.... aku seorang kelana yang tidak punya nama. Selamat berpisah, Tai-ciangkun!"
Pemuda itu berkelebat dan lenyap di balik pohon-pohon di dalam hutan.
Jenderal Kao termenung sejenak, menarik napas panjang lalu terpaksa melanjutkan perjalanan ke kota raja. Dia harus melaporkan semua pengalamannya, akan tetapi dia menyesal sekali mengapa pemuda yang amat dikaguminya, amat menarik hatinya itu tidak mau memperkenalkan diri. Juga dia masih terheran-heran melihat munculnya orang yang mukanya hitam, yang tadinya menyerang mati-matian kepada pemuda penolongnya, kemudian malah membalik dan melindunginya dari pengejaran para penculik. Benar-benar telah muncul banyak orang aneh yang berilmu tinggi, pikirnya. Juga ketika rombongannya diserbu kaki tangan pemberontak, muncul dua orang pemuda remaja yang amat lihai. Mengapa tiba-tiba saja dunia penuh dengan orang-orang muda yang berkepandaian tinggi sekali dan berwatak aneh?
Harus diakuinya pula bahwa pemuda yang menculiknya, yang masih amat muda, telah memiliki ilmu kepandaian yang mengejutkan dan mengerikan. Melihat adanya orang-orang seperti dua orang kakek aneh dan pemuda lihai itu berada di pihak pemberontak, tahulah dia bahwa keadaannya sudah berbahaya dan haruslah pihak Kaisar cepat-cepat turun tangan. Dia akan merundingkan hal ini dengan Puteri Milana, karena hanya puteri yang sakti itulah yang dia harapkan akan dapat memperingatkan Kaisar dan mengatur kekuatan dari dalam untuk menghancurkan pemberontak dan kaki tangannya. Sambil melanjutkan perjalanan secepatnya, jenderal yang gagah perkasa ini beberapa kali mengepal tinju. Sejak muda dia mengabdikan diri kepada kerajaan dan telah mengalami banyak hal.
Dia hanya mengenal satu cara untuk mengamankan dunia, untuk mengamankan negara, yaitu dengan kekerasan, dengan tegas menghukum yang jahat dan dengan mati-matian membela yang benar. Maka kini hanya ada satu niat yang tercurah di dalam perhatian hati dan pikirannya, yaitu menumpas pihak pemberontak dengan kekerasan, membasmi mereka tanpa mengenal ampun lagi, karena hanya jalan inilah yang dianggapnya paling tepat untuk mengamankan negara. Betapa banyaknya orang berpendapat seperti Jenderal Kao, yaitu bahwa keamanan dan kedamaian hanya dapat dicapai melalui kekerasan dan dengan cara membasmi mereka yang menentang. Ada pula orang berpendapat bahwa kedamaian hanya dapat tercapai dengan jalan anti kekerasan dan mengajar orang-orang supaya hidup baik dan bajik. Kedua pendapat yang kelihatannya berlawanan ini sebetulnya sama saja,
Yaitu ingin merubah keadaan kehidupan manusia di dunia yang semenjak ribuan tahun sampai sekarang selalu penuh dengan pertentangan, kekacauan, permusuhan dan kebencian ini. Yang pertama adalah ingin membentuk dunia yang damai dengan cara kekerasan, yang kedua ingin membentuk dunia yang damai dengan cara lain. Kita semua lupa agaknya bahwa dunia adalah masyarakat, dan masyarakat adalah hubungan antara manusia, yaitu kita-kita ini juga. Merubah dunia atau merubah masyarakat tidak akan mungkin apabila kita-kita ini, masing-masing manusia, tidak berubah lebih dulu. Pemberontakan demi pemberontakan, revolusi demi revolusi, sepanjang sejarah berkembang, telah terjadi di seluruh pelosok dunia. Namun, pemberontakan itu disusul oleh pemberontakan lain, revolusi disusul oleh revolusi lain, pembaharuan disusul oleh pembaharuan yang lain.
Setiap bentuk revolusi lahiriah hanya mendatangkan permusuhan dan pertumpahan darah, saling bunuh-membunuh dan akhirnya hanya menanam bibit kebencian pada pihak yang kalah, dan menanam bibit kekuasaan kepada pihak yang menang. Di bagian yang menang timbullah perpecahan-perpecahan lagi karena memperebutkan pahala atas jasa-jasa mereka di dalam perjuangan yang lalu. Tentu saja di dalam perebutan ini pun terdapat yang menang dan yang kalah. Yang menang akan menduduki puncak pimpinan, sedangkan yang kalah, yang tidak kebagian akan menjadi penasaran dan sakit hati, akan timbul keluhan dan tuntutan akan ketidak-adilan dan muncullah pemberontakan-pemberontakan baru dari mereka yang merasa dikesampingkan, mereka yang merasa berhak namun tidak memperoleh bagian.
Sumber segala kekacauan ini, segala perebutan ini, baik perebutan kekuasaan maupun perebutan harta benda, terletak pada diri pribadi masing-masing manusia sendiri. Maka tidak mungkin menyalahkan kepada masyarakat karena kita sendiri yang membentuk masyarakat. Dunia akan berubah, masyarakat akan berubah kalau diri kita masing-masing berubah! Segala macam pemberontakan, revolusi, pembaharuan sosial, akan gagal selama diri sendiri masing-masing tidak berubah lebih dulu. Kalau manusianya sudah berubah, otomatis masyarakat dan dunia akan mempunyai wajah lain! Tidak sekacau dan sekejam ini di mana kebencian dan permusuhan tampak setiap saat di manapun juga, di mana di satu pihak orang hidup berkelebihan di lain pihak ada yang kelaparan.
Segala macam tindakan dalam hidup akan menjadi palsu dan rusak apabila ditunggangi oleh si aku, karena tindakan itu tak lain tak bukan hanyalah merupakan cara bagi si aku untuk mencapai tujuannya! Dan si aku ini amatlah cerdik dan liciknya, amatlah lihainya seperti Kauw Cee Thian Si Raja Monyet yang terkenal di dalam cerita See-yu yang pandai berpian-hoa (berganti rupa) sampai menjadi tujuh puluh dua macam. Biasa saja si aku ini bersembunyi di balik istilah-istilah muluk seperti tanah air, negara dan bangsa, bendera pusaka, Tuhan, kemerdekaan, perdamaian, kebahagiaan, dan sebagainya yang muluk-muluk lagi. Namun kalau kita mau membuka mata melihat sesungguhnya apa yang berkecamuk di dalam batin dan pikiran kita,
Akan tampaklah oleh kita bahwa semua itu hanya dipergunakan oleh si aku untuk mencapai tujuan yang menguntungkan bagi si aku, baik keuntungan lahiriah maupun keuntungan batiniah. Maka segala istilah itu lalu dibubuhi kata-kata "ku", menjadi negaraku, bangsaku, Tuhanku, dan sebagainya yang merupakan bentuk lain dari pada si aku sendiri! Maka muncullah pertentangan yang tak dapat dihindarkan lagi antara negaraku dan negaramu, agamaku dan agamamu, kebenaranku dan kebenaranmu, Tuhanku dan Tuhanmu, dan sebagainya. Mungkin usaha seperti yang direncanakan oleh Jenderal Kao itu akan berhasil seperti yang dibuktikan dalam sejarah, namun hasil ini untuk sementara, dan seperti dibuktikan oleh sejarah pula. Pemberontakan-pemberontakan timbul tenggelam di jaman Pemerintah Ceng seperti juga di jaman pemerintah-pemerintah terdahulu.
Setiap pemberontakan menentang kekuasaan yang bercokol tentu diberi nama yang indah-indah dan gagah seperti perjuangan demi rakyat, demi bangsa, bahkan ada kalanya menarik nama Tuhan tanpa segan-segan lagi sampai pemberontakan itu berhasil menumbangkan kekuasaan yang ada. Akan tetapi setelah kekuasaan baru timbul, disusul oleh pemberontakan yang lain, yang lebih seru, dengan menggunakan rakyat, bangsa atau Tuhan sebagai topeng, namun pada hakekatnya sama saja sungguhpun mungkin istilah-istilahnya yang berbeda sesuai dengan jamannya. Jenderal Kao Liang melanjutkan perjalanannya ke kota raja dengan hati-hati. Dia maklum bahwa pihak pemberontak tentu tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja dan tentu akan berusaha untuk menangkapnya kembali. Dia tidak takut akan bahaya yang mengancam dirinya, akan tetapi dia lebih mengkhawatirkan keadaan negara.
Dia harus berusaha sekuat tenaga agar jangan sampai tertangkap pemberontak sebelum dia tiba di kota raja, sebelum dia menyampaikan semua pengalamannya kepada Kaisar atau setidaknya Puteri Milana. Mengertilah jenderal ini bahwa kalau sampai dia tertawan atau terbunuh, tentu pihak pemberontak akan memutarbalikkan kenyataan, melaporkan kepada Kaisar bahwa dialah yang akan memberontak dan dengan demikian kedudukan para pimpinan pemberontak di kota raja menjadi aman dan mereka dapat menyusun kekuatan. Tidak, dia tidak boleh tertangkap kembali. Maka jenderal ini hanya melakukan perjalanan di waktu malam, kalau siang dia bersembunyi dan pakaian perangnya pun sudah dibuangnya dan dia hanya memakai pakaian biasa seperti seorang penduduk biasa.
Dengan cara demikian, setelah lewat dua malam, akhirnya sampailah jenderal ini di kota raja pagi-pagi sekali, menumpang pada seorang pedagang sayur-sayuran yang mengangkut dagangannya dengan gerobak. Setelah masuk di kota raja, jenderal ini tidak banyak membuang waktu lagi, langsung saja dia menuju ke istana Puteri Milana dan kepada para pengawal yang menjaga di depan dia minta berjumpa dengan puteri itu. Para pengawal yang mengenal jenderal ini cepat melapor kepada majikan mereka dan tidak lama kemudian, Jenderal Kao Liang yang disuruh menunggu di kamar tamu disambut oleh Puteri Milana, Panglima Han Wi Kong suami puteri itu, dan dua orang pemuda tampan yang segera dikenal oleh jenderal itu. Melihat dua orang pemuda ini, Jenderal Kao cepat berseru,
"Bukankah Ji-wi yang telah datang menolong ketika rombongan kami diserang pemberontak?"
"Sayang kami tidak berhasil menyelamatkanmu, Goanswe,"
Kata Kian Lee.
"Siang Lo-mo dan para pembantunya dapat kami pukul mundur, akan tetapi Goanswe telah dilarikan orang,"
Kata Kian Bu.
"Sudahlah, kita harus bergembira bahwa ternyata Kao-goanswe dapat menyelamatkan diri dan tiba di sini. Kao-goanswe, mereka ini adalah adik-adikku, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu dari Pulau Es,"
Kata Milana.
"Ahhh.... pantas.... kiranya putera-putera dari Pendekar Super Sakti!"
Jenderal itu berseru kaget, heran dan kagum sekali.
"Goanswe, silakan duduk."
Han Wi Kong mempersilakan jenderal itu dan mereka lalu duduk mengitari meja. Jenderal Kao menceritakan semua pengalamannya, didengarkan oleh mereka berempat dan Puteri Milana mengerutkan alisnya. Setelah jenderal itu selesai bercerita, Milana mengangguk-angguk.
"Sudah pasti sekali bahwa tentu Pangeran Tua yang menjadi biang keladi ini semua. Agaknya dia berhasil membujuk Kaisar untuk memanggilmu, Goanswe, dan sementara itu dia telah menaruh kaki tangannya di tengah jalan. Untung bahwa kau bisa lolos berkat pertolongan pemuda tak terkenal itu."
"Nanti saya akan menghadap Kaisar untuk membuka rahasia mereka itu!"
Jenderal Kao berkata penuh rasa penasaran.
"Sebaiknya jangan begitu. Masih belum waktunya untuk menentang mereka secara terbuka karena kita belum memperoleh bukti pemberontakannya. Biarkan saya saja yang menyampaikan semua ini kepada Kaisar, sedangkan Goanswe sebaiknya dengan diam-diam kembali ke utara, biar dikawal dan ditemani dua orang adikku ini. Yang penting adalah agar supaya Kim Bouw Sin si panglima pemberontak itu jangan sampai lolos. Dia merupakan saksi dan bukti yang amat kuat untuk membongkar pemberontakan Pangeran itu. Kao-goanswe sendiri maklum betapa kuat kedudukan dua orang Pangeran Liong, pengaruh mereka besar dan tentu saja Kaisar merasa segan untuk menentang adik-adiknya itu. Tanpa bukti dan saksi yang cukup, berbahayalah menentang mereka secara terbuka."
"Akan tetapi kalau dibiarkan saja, makin lama kedudukan mereka makin kuat dan amat berbahayalah bagi negara."
Jenderal itu membantah.
"Karena itu, tugas kita ada dua. Pertama, dengan kekuatan pasukan yang dipimpin oleh Goanswe, kita harus menindas pemberontakan di manapun, dan aku akan membantu dari dalam untuk membersihkan mereka dari kota raja. Ke dua, kita harus mengumpulkan bukti dan saksi sebanyaknya dan sekuatnya untuk disampaikan kepada Kaisar agar pembersihan dapat dilakukan dengan sah. Maka kalau Goanswe terlalu lama di sini dan meninggalkan pasukan, saya khawatir kalau-kalau pasukan yang di utara dapat dipengaruhi dan dikuasai pemberontak."
Jenderal Kao menepuk meja.
"Bagus sekali! Memang apa yang Paduka kemukakan itu tepat semua dan harus dilaksanakan. Baiklah, hari ini juga saya akan kembali ke utara setelah saya menjumpai keluarga saya. Memang, yang terpenting adalah agar manusia rendah Kim Bouw Sin itu tidak sampai lolos!"
"Kedua adik saya Kian Lee dan Kian Bu akan mengawal dan menemani Goanswe,"
Kata Milana sambil mempersilakan Jenderal itu minum teh panas yang dihidangkan oleh pelayannya.
"Hati saya akan menjadi tenang kalau begitu,"
Kata Sang Jenderal karena dia sudah menyaksikan sendiri kelihaian dua orang muda ini, apalagi setelah sekarang dia tahu bahwa mereka adalah putera-putera Pendekar Super Sakti!
"Kami akan menemani Goanswe dan sehidup semati dalam perjalanan sampai ke benteng di utara,"
Kata Kian Lee.
"Akan tetapi sebaiknya kita berangkat meninggalkan kota raja malam nanti...."
Kata Kian Bu.
"Eh, mengapa harus menanti sampai malam?"
Kian Le berkata. Kian Bu mengejap-ngejapkan matanya kepada kakaknya itu, akan tetapi Kian Lee tetap tidak mengerti.
"Mengapa? Katakan saja, mengapa harus malam nanti baru berangkat? Tidak usah pakai bahasa rahasia, kita di sini berada diantara orang sendiri,"
Kata Kian Lee.
"Aihh, masa Lee-ko tidak mengerti? Tidak enak kalau harus kukatakan begitu saja."
"Adik Kian Bu, jangan membikin kami penasaran karena ingin tahu. Mengapa kau mengusulkan demikian?"
Panglima Han Wi Kong ikut bicara.
"Waah, kalau begitu terpaksa saya bicara akan tetapi harap Kao-goanswe lebih dulu maafkan saya,"
Kian Bu berkata.
"Eh, tentu saja.... katakanlah apa yang terkandung di hatimu, Siauw-sicu (Orang Muda Gagah),"
Jenderal itu berkata sambil tersenyum.
"Kao-goanswe baru saja tiba dari utara, baru saja terbebas dari ancaman bahaya maut, dan baru saja hendak menjumpai dan berkumpul dengan keluarganya di kota raja. Bagaimana kami berdua tega untuk mendesak-desaknya agar cepat-cepat meninggalkan mereka? Maka sebaiknya malam nanti kita berangkat."
Milana tersenyum, Kian Lee menjadi merah mukanya karena marah kepada kelancangan adiknya, Han Wi Kong mengangguk-angguk dan Jenderal Kao tertawa bergelak sambil memegang pundak Kian Bu.
"Siauw-sicu, engkau jujur dan memperhatikan kepentingan orang lain. Sungguh bagus sekali!"
"Bu-te, kau memang nakal!"
Milana menegur akan tetapi sambil tersenyum. Sedangkan Kian Lee memandang adiknya itu dengan mata penuh teguran. Jenderal Kao berkata,
"Memang saya setuju dengan usul itu, bukan sekali-kali karena saya ingin terlalu lama melepas rindu terhadap keluarga. Saya sudah tua, dan berpisah dengan keluarga sudah merupakan hal yang tidak asing lagi bagi saya. Akan tetapi memang sebaiknya kalau malam nanti baru kita berangkat agar tidak menarik perhatian pihak pemberontak. Biarlah mereka menyangka bahwa saya masih menjadi buronan dan sebaiknya kalau tahu-tahu saya telah berada kembali di benteng agar mereka tidak sempat lagi mengusahakan lolosnya Kim Bouw Sin."
"Memang tepat sekali, Kao-goanswe. Kim Bouw Sin merupakan saksi yang penting sekali,"
Milana berkata.
"Akan tetapi ada lagi orang yang lebih penting dan yang amat membutuhkan perlindungan saya, yang terpaksa saya tinggalkan ketika utusan Kaisar datang."
Jenderal itu berkata.
"Dia itu adalah Puteri Bhutan, Syanti Dewi."
"Ehhh....?"
Milana berseru kaget dan heran sekali.
"Bagaimana dia yang dikabarkan hilang itu bisa berada di utara? Menurut para penyelidikku, Syanti Dewi berhasil lolos dari kepungan pemberontak, dikawal oleh seorang gadis perkasa, akan tetapi lalu hilang, dan kabarnya ditolong oleh seorang nelayan tua ketika Syanti Dewi dan pengawalnya itu hanyut di sungai."
"Memang demikianlah,"
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab jenderal itu.
"Dan nelayan tua itu adalah Gak Bun Beng taihiap yang mengantarnya ke benteng saya."
"Ah....?"
Seruan yang keluar dari mulut Milana agak tergetar, namun dia sudah dapat menguasai hatinya yang berdebar keras, sedangkan suaminya, Panglima Han Wi Kong, diam saja pura-pura tidak melihat keadaan isterinya ketika mendengar disebutnya nama Gak Bun Beng.
"Sedangkan gadis perkasa yang mengawalnya itu adalah adik angkat Sang Puteri sendiri, yang juga telah mendahului datang ke benteng utara akan tetapi.... dia tewas ketika menyelamatkan saya. Gak-taihiap meninggalkan Puteri Syanti Dewi kepada saya dengan harapan untuk melindunginya dan kalau waktunya tiba mengantarnya ke kota raja atau kembali ke Bhutan. Akan tetapi terpaksa dia saya tinggalkan ketika utusan Kaisar tiba. Saya amat mengkhawatirkan keadaan puteri yang sudah saya anggap seperti anak saya sendiri itu. Nah, sekarang saya harus singgah ke rumah dulu menjenguk keluarga, kemudian saya akan cepat kembali ke utara dan saya bergembira sekali ditemani oleh Ji-wi Siauw-sicu yang lihai ini."
Semua orang mengangguk setuju dan tak lama kemudian, dengan kereta milik Milana sendiri sehingga tidak akan ada yang berani mengganggunya. Jenderal Kao bersembunyi di dalam kereta yang membawanya ke gedung tempat tinggal keluarganya, di ujung kota raja sebelah timur. Kian Lee dan Kian Bu mengawal di belakang kereta dengan menunggang kuda sehingga orang-orang yang telah mendengar bahwa mereka adalah adik-adik dari Puteri Milana, jadi juga masih cucu dari Kaisar, menduga bahwa yang berada di dalam kereta tentulah Puteri Milana yang mereka kagumi. Kereta itu memasuki halaman gedung keluarga Jenderal Kao dan setelah jenderal itu turun dan menyelinap masuk diikuti oleh Kian Lee dan Kian Bu yang disambut dan dipersilakan menunggu di ruangan tamu, kereta itu kembali ke istana Puteri Milana.
Tentu saja terjadi pertemuan yang amat mengharukan dan penuh dengan kegembiraan dan pelepasan rindu antara Jenderal Kao dan keluarganya. Sementara itu Kian Lee dan Kian Bu kembali dulu ke istana kakak mereka untuk membuat persiapan sebagai bekal di perjalanan. Menjelang senja, barulah mereka berdua datang ke gedung keluarga Jenderal Kao dan untuk menanti datangnya malam kedua orang muda ini asyik bermain siang-ki (catur) di ruangan tamu yang luas. Jenderal Kao keluar sebentar menemui mereka dan mengatakan bahwa mereka akan berangkat setelah malam menjadi gelap dan keadaan di luar menjadi sunyi. Dia sudah mengatur dengan kepala penjaga malam itu sehingga mereka akan dapat keluar dari pintu gerbang utara tanpa banyak halangan dan dengan diam-diam.
Dua orang kakak beradik itu menyetujui, kemudian melanjutkan permainan catur mereka. Setelah malam mulai sunyi, tampak sesosok bayangan manusia berkelebat cepat sekali naik ke atas genteng gedung itu dari arah kiri. Gerakannya lincah, ringan dan cekatan dan dia berindap-indap mengintai ke bawah gedung dari atas genteng. Bayangan hitam ini bukan lain adalah Ceng Ceng! Seperti telah di-ceritakan di bagian depan, dara ini telah berhasil lolos dari kuil setelah dia membikin Tek Hoat tidak berdaya dengan saputangan dan sumpah pemuda itu, kemudian melarikan diri sambil menyebar racun sehingga Tek Hoat tidak mengejarnya. Ceng Ceng lalu menuju ke kota raja dengan hanya satu tujuan, yaitu mencari pemuda laknat itu. Di tengah perjalanan inilah dia melihat Jenderal Kao Liang.
Hatinya girang sekali karena pemuda laknat yang menjadi musuh besarnya itu tentu mempunyai hubungan dengan jenderal ini, bahkan yang terakhir dia melihat pemuda itu menolong Jenderal Kao. Akan tetapi, untuk keluar begitu saja menemui jenderal ini, dia tidak sanggup. Pertama, dia masih teringat akan kebaikan jenderal ini kepadanya, bahkan melihat betapa dalam menghadapi kematian, jenderal ini masih teringat kepadanya dan bersembahyang kepada arwahnya! Kedua, dia kini merasa tidak seperti dulu lagi, selalu timbul rasa rendah diri dan malu bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya dahulu sebagai sahabat-sahabat baik. Ke tiga, setelah pemuda itu menolong Jenderal Kao, tentu pemuda itu menjadi sekutu jenderal ini. Bagaimana dia dapat menjumpai jenderal ini dan menanyakan pemuda yang hendak dibunuhnya itu?
Tidak, sebaiknya dia membayangi jenderal ini yang tentu akhirnya akan membawanya bertemu dengan pemuda laknat itu! Demikianlah, dengan hati-hati, Ceng Ceng membayangi Jenderal Kao dari jauh, sampai jenderal itu memasuki kota raja. Ketika jenderal itu memasuki istana Puteri Milana, dia tidak berani ikut masuk karena malam telah terganti pagi dan istana itu dijaga ketat. Apalagi setelah dia memperoleh keterangan bahwa istana itu milik Puteri Milana, dia makin tidak berani masuk! Kakeknya dahulu telah berpesan kepadanya untuk membawa Syanti Dewi kepada Puteri Milana. Sekarang, tanpa Syanti Dewi, bahkan dengan diri yang sudah "kotor", bagaimana dia berani berhadapan dengan Pu-teri Milana yang dipuji-puji dan dijunjung tinggi namanya oleh mendiang kakeknya?
Maka dia menanti sambil bersembunyi di luar dan ketika dia melihat kereta yang dikawal oleh dua orang pemuda tampan yang juga telah dikenalnya, diam-diam dia membayangi pula. Girang hatinya ketika dia dapat melihat Jenderal Kao turun dari kereta itu memasuki gedung. Apalagi ketika dia mencari keterangan dan mendengar bahwa gedung itu adalah tempat tinggal keluarga Jenderal Kao Liang, dia segera menanti dan mengintai sampai datangnya malam. Kini Ceng Ceng sudah meloncat naik ke atas genteng gedung itu. Kini timbul tekad di hatinya bahwa kalau dia tidak bisa menemukan pemuda laknat itu di dalam gedung Jenderal Kao, dia akan menampakkan diri dengan menutupi sebagian mukanya dengan saputangan, kemudian menanyakan kepada jenderal itu tentang si pemuda tinggi besar.
Akan tetapi, Ceng Ceng sama sekali tidak menyangka bahwa gerak-geriknya telah sejak tadi diikuti oleh dua pasang mata yang memandang dengan penuh keheranan, kecurigaan juga kegelian. Yang memandang ini adalah Kian Lee dan Kian Bu. Mereka berdua tadi masih asyik bermain catur di ruangan tamu dan tentu saja pendengaran mereka yang sudah terlatih secara hebat itu segera dapat menangkap suara tidak wajar dari atas genteng. Keduanya saling pandang, mengangguk dan di lain saat mereka telah mengintai dari balik wuwungan, mengawasi gerak-gerik Ceng Ceng dengan heran. Kedua orang pemuda ini tidak turun tangan karena mereka terheran-heran mengenal wajah Ceng Ceng ketika ada sinar lampu dari bawah menyorot ke atas tepat menimpa wajah cantik itu.
"Dia....!"
Kian Lee berbisik dan jantungnya berdebar. Sejak bertemu dengan Ceng Ceng di pasar kuda, hatinya sudah tertarik sekali oleh kecantikan dara ini dan sekarang, gadis yang seringkali dikenangnya itu berada di atas gedung Jenderal Kao dengan gerak-gerik mencurigakan sekali.
"Sssttt...."
Kian Bu menegur.
"Bu-te, jangan.... jangan tergesa-gesa turun tangan.... jangan sampai keliru, kita membayanginya saja...."
Bisik Kian Lee. Kian Bu menahan senyumnya. Rasakanlah, pikirnya. Setiap menghadapi wanita cantik, sikap kakaknya ini selalu dingin.
Baru sekarang kakaknya kelihatan gugup dan tegang melihat seorang gadis cantik! Akan tetapi dia mengangguk setuju karena dia pun tidak ingin salah tangan sebelum tahu apa maksud kedatangan gadis yang aneh itu. Kini Ceng Ceng yang sama sekali tidak pernah mengira bahwa dirinya dibayangi oleh dua orang pemuda yang amat lihai, berlutut di atas genteng dan mengintai ke bawah, lalu melayang turun dengan amat ringannya, berindap-indap menghampiri jendela dan mengintai dari balik jendela dengan melubangi kertas jendela. Dari lubang kecil itu dia melihat Jenderal Kao duduk menghadapi meja bersama seorang wanita setengah tua yang masih cantik dan lemah lembut, dan dua orang anak laki-laki, bercakap-cakap dalam suasana yang mesra.
Ceng Ceng dapat menduga bahwa tentu jenderal itu bercakap-cakap dengan isteri dan putera-puteranya. Dia melirik ke sana-sini, namun tidak tampak pemuda laknat yang dicarinya. Hatinya kecewa sekali. Dia sudah terlanjur masuk, penasaran kalau sampai tidak menemukan orang yang dicarinya. Diambilnya segulung kertas, kertas yang telah direndam obat yang dapat menimbulkan asap beracun yang membius orang. Dia ingin membius mereka yang berada di dalam kamar itu agar tertidur semua baru dia akan menggeledah dan mencari. Kalau tidak berhasil menemukan pemuda itu, baru dia akan memakai topeng dan memaksa Jenderal Kao memberitahukan di mana adanya si laknat itu. Akan tetapi, baru saja dia hendak membakar kertas itu pada lampu yang tergantung di situ, tiba-tiba terdengar bentakan Kian Lee,
"Nona, apa yang hendak kau lakukan itu?"
Melihat menyambarnya dua sosok bayangan orang yang bagaikan sepasang burung rajawali melayang dari luar itu, Ceng Ceng terkejut bukan main. Tidak ada jalan keluar baginya untuk lari karena dua orang pemuda lihai itu melayang dari luar, maka cepat dia mendorong daun jendela dan terpaksa dia meloncat ke dalam di mana Jenderal Kao dan anak isterinya berada! Saking gugupnya, lupalah dia untuk menutupi mukanya dengan saputangan dan baru dia teringat setelah dia telah berada di dalam kamar itu dan Jenderal Kao sudah memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan muka pucat, tanda bahwa jenderal itu telah mengenalnya! Maka cepat dia mengeluarkan bubukan putih dari sakunya, meremas-remasnya dengan tangan kanan dan tampaklah asap putih tebal mengebul dan menyelimuti dirinya.
"Kau.... kau.... Nona Ceng...."
Jenderal Kao hanya dapat berkata demikian karena hatinya tergoncang hebat. Ceng Ceng cepat menggunakan asap tebal sebagai selimut dan melompat lari melalui jendela di seberang lain dari kamar itu.
"Bangsat, hendak lari ke mana kau?"
Dua orang putera Jenderal Kao yang berada di situ hendak meloncat mengejar.
"Jangan.... mengganggunya....! Biarkan dia pergi....!"
Jenderal Kao membentak dan dua orang pemuda yang usianya belasan tahun itu dengan kaget menahan gerakan mereka. Dari jendela dari mana Ceng Ceng masuk tadi berkelebat dua sosok bayangan dan Kian Lee bersama Kian Bu sudah berada di dalam kamar itu. Lega hati mereka melihat bahwa keluarga Jenderal Kao selamat, maka cepat mereka berlari ke arah jendela di seberang yang sudah terbuka.
"Ji-wi Siauw-sicu (Kedua Orang Gagah Muda), harap jangan mengejar dia....!"
Kembali Jenderal Kao berseru keras kepada dua orang pemuda Pulau Es ini sehingga mereka kaget dan heran, lalu membalik dan memandang kepada jenderal itu.
"Dia.... dia tadi...., dia bukan manusia melainkan arwah! Aihhh, sungguh kasihan Nona Ceng....!"
Jenderal itu lalu menoleh kepada dua orang puteranya.
"Lekas kau suruh pelayan mempersiapkan meja sembahyang. Aku harus menyembahyangi rohnya agar tidak penasaran dan dapat tenang...."
Dua orang putera Jenderal Kao itu, yang bernama Kao Kok Tiong berusia enam belas tahun dan Kao Kok Han berusia tiga belas tahun, mengangguk dan meninggalkan kamar untuk melakukan perintah ayah mereka. Kedua orang pemuda ini, seperti juga ayah mereka, sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat dan ilmu perang, mereka memiliki kepandaian yang lumayan dan amat taat serta tunduk kepada ayah mereka, sikap perajurit-perajurit yang amat baik!
"Kao-goanswe, dia bukan arwah, dia manusia biasa,"
Kian Bu berkata. Jenderal itu menggeleng kepala dan memandang dua orang pemuda itu, wajahnya masih pucat sekali dan pandang matanya sayu.
"Aku belum menceritakan tentang dia secara panjang lebar kepada kalian dan kepada Puteri Milana. Akan tetapi kalau tidak ada Nona Lu Ceng atau Candra Dewi itu, sekarang aku tentu sudah menjadi setan penasaran di dalam sumur maut."
Ketika dua orang puteranya kembali bersama pelayan yang membawa meja dan segala keperluan sembahyang, jenderal itu menceritakan tentang usaha pemberontak menjebaknya di sumur maut dan betapa Lu Ceng telah menyelamatkan nyawanya dengan pengorbanan dirinya.
"Akan tetapi, kami berdua pernah berjumpa dengan dia, Goanswe! Bahkan kami membantu dia menghadapi segerombolan orang liar yang merupakan ahli-ahli tentang racun di Lembah Bunga Hitam!"
Kian Bu kembali membantah.
"Dan memang dia amat berubah dibandingkan dengan dahulu, dia menjadi liar dan ganas, akan tetapi...."
Dia tidak melanjutkan karena di ujung bibirnya sudah terdapat kata-kata pujian terhadap gadis itu.
"Yang kalian jumpai tentulah orang lain, Siauw-sicu. Tidak mungkin dia, karena aku melihat dengan mata sendiri betapa dia terjerumus ke dalam sumur maut, bahkan Gak-taihiap yang mencoba untuk menyelidikinya, sudah pingsan ketika baru tiba di tengah sumur."
"Akan tetapi dia tadi...."
Kian Bu mencoba membantah.
"Yang muncul tadi jelas adalah arwahnya. Sungguh gadis yang amat baik.... sampai mati pun masih berusaha menemui dan melindungiku. Dia menghilang bersama asap putih, dia... dia arwah Nona Ceng.... akan terus berkeliaran dan penasaran kalau tidak kusembahyangi."
"Tapi...."
Kian Lee menyentuh tangan adiknya sehingga Kian Bu tidak banyak bicara lagi. Dengan hati tidak karuan rasanya, bingung dan juga penasaran, Kian Lee melihat betapa jenderal itu mengeluarkan sehelai gambar nona yang telah menarik hatinya itu, memasang gambar itu pada meja sembahyang, kemudian dia menyalakan lilin dan berkata kepada isteri dan kedua orang puteranya,
"Kalian lihat baik-baik wajah itu. Dialah yang telah menyelamatkan nyawaku dengan mengorbankan diri dan nyawanya sendiri. Dialah mgndiang Nona Lu Ceng atau Nona Candra Dewi dari Bhutan."
Sebelum jenderal itu mengajak isteri dan dua orang puteranya bersembahyang, tiba-tiba muncul seorang penjaga yang memberi hormat kepada jenderal itu dan melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang berkeras menyatakan hendak bertemu dengan keluarga Jenderal Kao Liang. Jenderal Kao mengerutkan alisnya dan sepasang matanya memandang penjaga itu dengan marah,
"Engkau mengatakan bahwa aku berada di sini?"
Penjaga itu cepat memberi hormat dengan berlutut.
"Tentu saja tidak, Taijin. Saya telah menegurnya bahwa malam seperti ini bukan waktunya orang bertemu, dan saya malah mengatakan bahwa tuan rumah, yaitu Jenderal Kao Liang, bertugas di benteng utara. Akan tetapi dia berkeras minta bertemu dengan keluarga jenderal, katanya ada urusan yang amat penting. Sikap orang itu mencurigakan dan andaikata paduka tidak ada di sini, tentu saya akan mengerahkan teman-teman untuk mengusirnya dengan kekerasan. Akan tetapi karena paduka berada di sini, saya tidak berani lancang dan terpaksa melapor...."
Wajah yang tadinya marah itu kini berseri.
"Bagus! Kau melakukan tugasmu dengan baik. Kalau begitu, antarkan dia masuk!"
"Ayah....!"
Kao Kok Tiong berseru khawatir.
"Biarkan aku yang menemuinya."
Ayahnya menggeleng.
"Orang yang datang malam-malam begini tentu hanya mempunyai dua maksud, yaitu kalau baik tentu dia membawa kabar yang amat penting bagiku, sebaliknya kalau buruk tentu dia berbahaya sekali. Maka biar dia langsung ke sini dan kuhadapi sendiri."
Kian Lee dan Kian Bu mengangguk setuju dan menganggap sikap jenderal ini amat bijaksana. Mereka berdua pun merasa curiga sekali karena orang yang datang bertamu malam hari begitu, apalagi dalam keadaan yang penuh ketegangan karena kehadiran Jenderal Kao di sini adalah suatu rahasia, memang merupakan kejadian yang aneh dan amat mencurigakan. Mereka berdua sudah siap menghadapi segala kemungkinan, karena mereka menduga bahwa orang yang datang itu lebih banyak membawa bahaya daripada membawa kebaikan. Tak lama kemudian terdengar derap langkah dua orang menuju ke kamar itu. Semua orang memandang ke pintu dengan hati tegang. Penjaga itu muncul, memberi hormat dan melapor,
"Tamu telah datang menghadap!"
Jenderal Kao memberi isyarat supaya penjaga itu mundur. Penjaga itu melangkah keluar dan muncullah tamu yang dinanti-nanti itu.
"Aha, kiranya engkau yang datang, orang muda yang gagah?"
Jenderal Kao berseru girang sekali ketika melihat bahwa tamu yang muncul itu bukan lain adalah pemuda tinggi besar yang pernah menolongnya dari tangan penculiknya ketika dia hendak dibakar hidup-hidup di dalam kuil tua. Sambil memegang lengan pemuda tinggi besar itu, Jenderal Kao menoleh kepada kedua orang pemuda Pulau Es dan kepada anak-anak dan isterinya,
"Inilah dia pemuda gagah perkasa yang telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi yang sama sekali tidak mau menyebutkan namanya! Mari masuk, dan duduklah."
Pemuda tinggi besar itu kelihatan canggung dan sungkan. Dia menjura kepada jenderal itu dan semua orang, kemudian berkata kepada Jenderal Kao,
"Harap Tai-ciangkun sudi memaafkan kedatanganku yang mengganggu ini. Sebetulnya, terpaksa sekali aku datang mengganggu...."
"Aihhh! Engkau adalah seorang pemuda perkasa, penolongku yang budiman, bagaimana bisa mengucapkan kata-kata mengganggu?"
"Sungguh, kalau tidak terpaksa saya tidak akan datang ke sini, Tai-ciangkun. Kedatanganku ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan peristiwa yang lalu diantara kita. Akan tetapi karena aku mendengar bahwa Tai-ciangkun adalah komandan di utara, maka aku datang untuk minta keterangan tentang diri seorang perwira yang belasan tahun yang lalu bertugas di sana, dan tentu dia adalah anak buah Tai-ciangkun. Aku sedang mencari-cari orang itu, maka harap Tai-ciangkun berbaik hati untuk memberitahu kepadaku di mana adanya orang itu."
Jenderal Kao mengerutkan alisnya dan mengangguk.
"Tentu saja aku akan berusaha sedapat mungkin untuk membantumu, orang muda. Siapakah adanya orang yang kau cari itu?"
"Iiihhh...."
Jerit tertahan dari isteri jenderal ini membuat semua orang memandang kepadanya. Wanita ini sedang memandang pemuda itu dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Kenapa kau?"
Jenderal itu membentak heran. Isterinya hanya menggeleng kepala lalu menutupi mukanya.
"Nah, orang muda, katakan siapa orang yang kau cari itu?"
"Aku.... aku tidak tahu namanya...."
Pemuda itu menjawab gagap dan kelihatan bingung. Memang dia bingung sekali. Ketika dia masih kecil dan tersesat di gurun pasir, dia mengalami penderitaan yang amat mengerikan, seolah-olah melihat maut mendekati dirinya sedikit demi sedikit sehingga
(Lanjut ke Jilid 25)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 25
berkali-kali dia pingsan dan siuman kembali, batinnya mengalami tekanan yang amat hebat dan berat. Ketika dia ditemukan oleh suhunya, Si Dewa Bongkok, yang diingat hanyalah namanya sendiri, bahkan she-nya (nama keluarga) nyapun dia sudah lupa, apalagi nama ayahnya. Akan tetapi samar-samar dia masih ingat bahwa ayahnya adalah seorang perwira dan mengingat bahwa dia tersesat di gurun pasir utara, maka tentu ayahnya itu seorang perwira di benteng utara. Kao Liang memandang tajam dengan alis berkerut, penuh iba dan penasaran.
"Orang muda yang baik, bagaimana aku bisa membantumu kalau kau tidak tahu nama orang yang kaucari itu? Apakah dia musuhmu?"
"Dia.... dia adalah ayahku.... akan tetapi aku tidak tahu namanya.... hanya kuingat bahwa dia adalah seorang perwira...."
Tiba-tiba Nyonya Kao bangkit dari tempat duduknya, wajahnya masih pucat dan dia menghampiri pemuda tinggi besar itu, langsung bertanya dengan bibir gemetar,
"Kau.... kau.... siapa namamu....?"
Tentu saja sikap dan perbuatan nyonya ini mengherankan semua orang. Pemuda tinggi besar itu memandang Nyonya Kao dengan ragu-ragu, kemudian menjawab lirih,
"Nama saya Kok Cu...."
"Kok Cu....?"
Teriakan ini keluar dari mulut empat orang, yaitu Jenderal Kao sendiri, isterinya, dan dua orang puteranya.
"Kok Cu anakku....!"
Nyonya Kao sudah menubruk dan merangkul leher pemuda tinggi besar itu sambil menangis.
"Kok Cu, ya Tuhan.... engkau ini....?"
Jenderal Kao juga sudah mencengkeram pundak pemuda tinggi besar itu, mukanya pucat matanya terbelalak dan bibirnya bergetar menahan keharuan hatinya.
"Twako....!"
Kao Kok Tiong memegang lengan kakak sulungnya.
"Twako...!"
Kok Han juga mendekat. Tentu saja Kok Cu, pemuda tinggi besar yang berambut panjang terurai itu, terkejut setengah mati dan sejenak dia terlalu bingung. Kenyataan yang dihadapinya terlalu mengejutkan dan sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Siapa menyangka bahwa pembesar gagah perkasa yang ditolongnya di tengah perjalanan itu, yang kemudian dia ketahui Jenderal Kao yang dijunjung tinggi seluruh rakyat di daerah utara, ternyata adalah ayah kandungnya sendiri! Sukar untuk menerima dan mempercayai kenyataan yang amat mengejutkan ini.
"Ayah dan ibuku....? Ah, bagaimana....?"
Dia dipeluki empat orang yang sudah menangis saking bahagia dan terharu itu. Jenderal Kao melihat kebingungan pemuda itu.
"Mari kita semua duduk. Kok Cu, dengarlah baik-baik. Ketika engkau dan ibumu kubawa ke utara, pada suatu hari engkau lenyap ketika sedang bermain-main di luar benteng. Pada waktu itu terjadi badai yang amat besar, maka kami semua mengira bahwa engkau tentu telah terseret badai dan terkubur di dalam gurun pasir karena berhari-hari kami mengerahkan pasukan mencarimu tanpa hasil. Ketika itu engkau baru berusia sepuluh tahun. Adikmu Kao Kok Tiong ini baru berusia setahun, dan adikmu yang bungsu Kao Kok Han belum terlahir. Memang ketika itu aku belum menjadi jenderal, akan tetapi sudah menjadi komandan dari benteng kecil di utara."
Jenderal itu lalu menuturkan dengan jelas sehingga Kok Cu baru tahu bahwa dia adalah bermarga keluarga Kao.
"Ayah...., Ibu....!"
Akhirnya dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua orang tuanya itu. Ibunya memeluknya dan Jenderal Kao tertawa bergelak, menenggak araknya sambil menoleh kepada Kian Lee dan Kian Bu.
"Ha-ha-ha-ha, susah dan senang memang sudah menjadi pakaian manusia hidup! Suka dan duka bersilih ganti menjadi bumbu manis dan pahit dalam hidup! Ji-wi Siauw-sicu, di dalam keprihatinan yang hebat bertemu dengan anak yang hilang, bukankah ini merupakan hiburan yang amat menggembirakan?"
"Kao-goanswe, kami berdua menghaturkan kionghi (selamat) kepadamu!"
Kian Lee berkata sambil membungkuk bersama adiknya.
"Terima kasih, terima kasih....!"
"Mengapa kalian begitu bodoh?"
Nyonya Kao yang masih merangkul puteranya itu berkata.
"Apakah kalian tidak melihat betapa miripnya dia dengan ayahnya? Lihat saja, bentuk badannya, mulutnya, hidungnya! Begitu melihatnya, aku sudah menduganya.... aihh, Kok Cu, kedatanganmu menambah umur ibumu...."
Wanita itu tertawa dengan air mata bercucuran.
"Ayah...."
Sebutan yang amat asing ini keluar dari bibir pemuda tinggi besar itu dengan kaku.
"Siapakah dua orang sahabat yang gagah ini?"
"Hayo kuperkenalkan! Mereka ini adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, dua orang pemuda sakti putera dari Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, adik-adik dari Puteri Milana, cucu dari Kaisar...."
"Cukuplah semua kementerengan itu, Kao-goanswe!"
Kian Bu berteriak sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Saudara Kao Kok Cu, terimalah ucapan selamat kami!"
Kian Lee berkata. Kok Cu balas memberi hormat dan ketika ayahnya menceritakan akan pertolongan kedua orang pemuda itu ketika ayahnya terancam bahaya, dia pun menghaturkan terima kasihnya. Pemuda tinggi besar ini sikapnya tenang, agak kasar karena tidak biasa berbasa-basi, bahkan hampir buta huruf, akan tetapi memiliki pribadi yang menarik, jujur, terbuka, dan tidak berpura-pura, sungguhpun terlalu dalam untuk diukur, seakan-akan menyimpan rahasia yang gelap dengan sikap diamnya.
"Ibu, saya melihat persiapan sembahyang.... siapakah...."
"Hai, Kok Cu, ayahmu telah terlalu banyak menerima budi kebaikan orang!"
Jenderal Kao berkata sambil memegang tangan puteranya dan menariknya ke depan meja sembahyang.
"Kami sekeluarga sedang menyembahyangi arwah seorang penolong yang budiman. Engkau sebagai putera sulungku, harus mengetahui mereka yang telah melepas budi kepada kita, agar kelak kalau ayahmu tidak mampu membalas budi mereka, engkau sebagai anak sulungku akan selalu mengingatnya."
Jenderal ini bersama isterinya dan tiga orang puteranya kini mulai bersembahyang, mengacungkan hio (dupa biting) dengan penuh hormat kepada gambar yang dipasang di meja sembahyang. Melihat betapa gambar gadis yang amat menarik hatinya itu disembahyangi seperti telah mati, Kian Lee merasa jantungnya seperti ditusuk dan dia memejamkan matanya. Ketika tangan Kian Bu menyentuh lengannya, dia sadar dan membuka mata.
"Mereka itu salah duga...."
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kian Bu berbisik.
"Dia belum mati."
Kian Lee mengangguk dan menghela napas panjang.
"Akan tetapi tidak perlu kita menyangkal dan berdebat dengan mereka...."
"Ahhh....!"
Semua orang terkejut melihat pemuda tinggi besar, Kok Cu, yang tadinya ikut bersembahyang meloncat ke belakang seperti diserang ular kakinya, mukanya pucat dan dia memandang kepada gambar di atas meja sembahyang.
"Hei, kau kenapa, Kok Cu?"
Jenderal Kao menegur. Mereka telah selesai bersembahyang dan tentu saja mereka terkejut menyaksikan sikap pemuda itu.
"Ayah, siapa.... siapa yang kita sem-bahyangi ini? Gambar siapa itu?"
Dia menunjuk ke arah gambar Ceng Ceng di atas meja.
"Aku belum menceritakan tentang dia kepadamu, Kok Cu. Mari duduk, akan kuceritakan padamu. Dia bernama Lu Ceng, seorang gadis perkasa yang telah tewas mengorbankan diri dalam usahanya menyelamatkan nyawa ayahmu. Kalau tidak ada dia ini, kiranya hari ini engkau tidak akan dapat bertemu dengan ayah kandungmu."
Sepasang Pedang Iblis Eps 20 Sepasang Pedang Iblis Eps 16 Pendekar Super Sakti Eps 41