Jodoh Rajawali 41
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 41
Siang In sengaja berkata-kata dengan nyaring dan panjang lebar ketika dia melihat datangnya rombongan pasukan penjaga. Itulah pasukan penjaga pintu gerbang benteng Kui-liong-pang yang tertarik oleh suara ribut-ribut dan puluhan orang perajurit kini mengepung tempat itu dan tentu saja ikut mendengarkan. Muka Koksu Nepal itu sudah menjadi merah karena dia merasa dihina.
"Bocah lancang mulut, apa maksudmu?"
"Maksudku, Koksu, bahwa seorang koksu adalah seorang yang tentu memegang kata-katanya yang dianggap lebih berharga daripada nyawa, bukan seorang yang suka menjilat kembali kata-katanya seperti anjing yang suka makan tahi. Koksu, aku hendak bertanya apakah engkau biasa suka makan tahi?"
Sepasang mata itu mendelik dan Kian Lee menjadi heran dan bingung. Akal apa yang hendak dipergunakan Siang In maka dara ini begitu nekat membakar hati koksu sedemikian rupa yang mendekati penghinaan paling besar?
"Ha-ha-ha-ha-ha! Baru ini aku mendengar seorang koksu dipermainkan bocah cilik, ditanya apakah biasa makan tahi? Hi-hik, Ngo-te, bagaimana sih rasanya tahi orang? Mungkin enak juga, ya?"
"Bocah perempuan bosan hidup, kalau kau bermaksud menghinaku....!"
Ban Hwa Sengjin hampir tak dapat menahan kesabarannya lagi karena dia melihat betapa di antara para perajurit juga ada yang menutupi mulut tanda bahwa mereka juga merasa geli. Siang In mengangkat kedua tangan ke depan.
"Sabar.... sabarlah, Koksu yang mulia! Aku tidak menghina, aku hanya bertanya, karena aku pun tentu saja tidak percaya bahwa Koksu suka menjilat ludah sendiri, suka menarik janjinya sendiri. Seorang koksu negara tidak mungkin menarik kata-katanya sendiri, juga seorang locianpwe tingkat atas, baik dari dunia terang maupun gelap, kiranya akan menjaga nama dan tidak sudi menarik janjinya sendiri."
(Lanjut ke Jilid 40)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 40
"Sudah tentu saja tidak! Lebih baik mati daripada menarik janji sendiri!"
Kata koksu yang cerdik itu.
"Aku berjanji, dengarkan kalian semua! Aku berjanji kepada Nona ini dan kepada pemuda ini bahwa mereka boleh mengajukan pendapat yang terakhir. Kalau pendapat mereka itu tidak tepat dan keliru atau bohong, mereka akan di jatuhi hukuman mati dan pelaksanaannya akan diserahkan kepada Toat-beng Sian-su! Sebaliknya kalau pendapat mereka itu tepat, benar dan tidak bohong, mereka akan dihukum dengan potong hidung dan kedua telinga, tidak dibunuh. Nah, kata-kataku ini siapa yang berani membang-kang atau menarik kembali?"
Siang In kini bangkit berdiri, tangan kanannya masih menggandeng tangan Kian Lee yang masih duduk di atas tanah. Dengan wajah berseri dia berkata lantang,
"Koksu yang terhormat, maukah engkau bersumpah bahwa engkau akan menepati janjimu?"
Ban Hwa Seng-jin makin marah, mengepal tinju dan tentu dia sudah, menghantam remuk kepala anak perempuan itu di saat itu juga kalau saja tidak ada begitu banyak orang yang menonton.
"Tidak perlu sumpah, aku mempertaruhkan kedudukanku sebagai koksu dan sebagai orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok!"
Teriaknya berang.
"Sudahlah, In-moi, biar aku yang menyatakan pendapatku sebagai ucapan terakhir seorang gagah...."
"Sssttttt....! Kau tidak boleh bicara apa-apa, Koko. Akulah yang bertanggung jawab dan aku yang mewakili kita berdua,"
Kata Siang In. Melihat dara dan pemuda itu bisik-bisik, Ban Hwa Sengjin ingin melampiaskan rasa mendongkolnya karena merasa dihina dan dipermainkan oleh dara itu.
"Kami masih mempunyai banyak urusan penting, dan urusan orang-orang seperti kalian berdua adalah urusan kecil yang harus segera diselesaikan. Hayo ucapkan pendapat kalian yang terakhir. Kami memberi waktu hitungan sampai dua puluh. Su-ok, kau hitunglah!"
Kakek pendek gendut itu tertawa dan dasar orang licik bukan main, dia lalu menghitung dengan kecepatan membalap,
"Satu-dua-tiga...."
Dan selanjutnya, akan tetapi hitungannya sedemikian cepatnya sehingga sebentar saja dia sudah menghitung sampai lima belas. Kian Lee memandang dara itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
"Berhenti!"
Tiba-tiba Siang In berseru nyaring.
"Dengarkan pendapat kami yang terakhir!"
Kakek pendek gendut itu berhenti dan suasana menjadi sunyi bukan main, sunyi yang amat menegangkan karena setiap orang seolah-olah menahan napas ingin mendengar apa yang akan menjadi pendapat atau ucapan terakhir dari dara itu.
Suma Kian Lee juga menahan napas karena pemuda ini berpikir, apa artinya mengucapkan pendapat terakhir? Apa pun pendapatnya, tidak ada pilihan lain, kalau ucapan itu tepat dihukum potong hidung dan telinga, kalau tidak tepat dibunuh. Lebih baik mengatakan sesuatu yang dapat memukul atau menusuk hati mereka dan biarlah dibunuh, karena hiduppun apa gunanya kalau dipotong hidung dan telinganya? Apalagi bagi seorang dara seperti Siang In! Tiba-tiba Kian Lee merasa kasihan sekali kepada dara itu dan tak disadarinya dia menggenggam tangan dara itu lebih erat lagi. Dia tahu nasib apa yang menanti Siang In. Kalau dipotong hidung dan telinganya, dara itu akan menjadi seorang yang berubah menakutkan, dan itu lebih hebat daripada mati.
Kalau dihukum bunuh, tentu akan dihina dan diperkosa lebih dulu oleh si jangkung tanpa dia mampu menolongnya. Maka dia sudah mengambil keputusan, sebelum dijatuhkan hukuman kepada dia dan Siang In, dia akan menggunakan tenaga terakhir untuk membunuh dara itu! Lebih baik dia membunuh dara itu daripada dara itu mengalami penghinaan yang hebat!. Siang In menoleh dan memandang kepada Kian Lee karena merasa tangannya digenggam erat, dia tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya kepada pemuda itu! Bukan main! Dalam keadaan seperti itu, dara ini masih pandai bergurau! Lalu dara itu mengangkat mukanya dan berdiri tegak, lalu berkata dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di situ.
"Koksu, dengarlah baik-baik kata-kata terakhir kami berdua yang tidak boleh diubah oleh siapapun juga, yaitu begini : Kami berdua akan dihukum mati!"
Suasana masih hening dan ketika dara itu telah mengucapkan kata-katanya yang amat singkat dan lantang itu dan semua orang saling pandang. Mengapa dara itu, hanya meninggalkan kata-kata terakhir seperti itu? Kami berdua akan dihukum mati! Cuma sebegitu, apa artinya?
"Ha-ha-ha! Jadi hanya itu yang menjadi pendapat atau pesan terakhir kalian? Bagus, memang sebaiknya begitu karena kami masih banyak urusan. Nah, Ngo-ok, engkau kuserahi tugas untuk menghukum mati mereka berdua!"
Tiba-tiba Siang In berseru.
"Ah, jadi ternyata Koksu dari Nepal adalah seorang yang biasa makan tahi?"
Semua orang terkejut sekali dan Ban Hwa Sengjin terkejut dan marah.
"Kau sudah mau mampus masih berani menghina orang! Dasar anak perempuan setan....!"
Sementara itu, Ngo-ok sudah meloncat ke depan, tangannya yang panjang sudah digerakkan dan pada saat itu, Kian Lee juga mengerahkan tenaganya untuk turun tangan membunuh Siang In agar jangan mengalami penghinaan.
"Dukkk!"
Tiba-tiba Ji-ok Kui-bo Nio-nio menangkis lengan Ngo-ok sampai Ngo-ok menyeringai dan meloncat mundur.
"Tahan dulu!"
Ji-ok Kui-bin Nio-nio berkata.
"Sam-te, aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang pemakan tahi!"
"Eh, apa ini? Apa maksudmu?"
Ban Hwa Sengjin memandang terlongong, menyangka bahwa Ji-ok itu agaknya tentu kena sihir sehingga mengulangi kata-kata Siang In. Akan tetapi Ji-ok menggeleng-geleng kepalanya.
"Sam-te, engkau sudah menjadi koksu, mengapa masih begitu kurang luas pikiranmu? Bagaimana bunyi janji tadi? Kau bilang bahwa kalau kata-kata terakhir mereka itu benar, mereka akan dihukum potong hidung dan telinga, tidak dihukum mati. Nah, dara itu bilang bahwa mereka berdua akan dihukum mati! Kalau sekarang engkau menjatuhkan hukuman mati, berarti kata-katanya itu benar! Dan kalau kata-katanya benar, dia tidak boleh dihukum mati, melainkan dihukum potong hidung dan telinga seperti janjimu. Mengapa kau hendak melanggar janjimu?"
"Ohhh....!"
Koksu Nepal menjadi merah sekali mukanya dan mengangguk.
"Ah, benar juga. Kalau mereka dihukum mati, ucapan gadis ini jadi benar dan mereka tidak boleh dihukum mati. Untung engkau mengingatkan aku, Ji-ci. Terima kasih! Heh, Ngo-ok, terpaksa membikin kecewa hatimu. Hayo kau laksanakan hukuman ke dua, yaitu potong hidung dan telinga!"
Ngo-ok tentu saja kecewa sekali karena kini setelah ada puluhan orang perajurit di situ, ingin dia memperkosa gadis ini agar namanya makin tersohor, sebagai seorang paling kejam! Akan tetapi dia tidak berani membangkang perintah.
"Huh, kiranya Koksu Nepal hanya seorang yang biasa makan tahi busuk!"
Kembali terdengar Siang In berseru. Ngo-ok sudah bergerak ke depan, tangannya menyambar.
"Desss....!"
Kini lengannya ditangkis oleh lengan Twa-ok dan karena tenaga Twa-ok lebih hebat maka Ngo-ok yang sial itu kini terlempar dan terhuyung.
"Eh, eh apa sih salahku?"
Teriak orang yang sial ini.
"Sam-te, sekarang aku yang tidak ingin melihat Sam-te menjadi seorang pemakan tahi!"
Kata Twa-ok, seperti mengulang kata-kata Siang In sehingga sang koksu dari Nepal makin bengong terlongong.
"Apa.... apa maksudmu, Twa-ko....?"
"Sam-te, kau tidak boleh menghukum mereka dengan potong hidung dan telinga atau hukuman ke dua....!"
Kakek seperti gorila itu berkata dengan suaranya yang halus.
"Kalau kau melakukan itu, berarti engkau melanggar janjimu tadi!"
"Eh, mana mungkin? Kalau menjatuhkan hukuman ke satu, hukuman mati, baru namanya melanggar janji karena kata-kata mereka itu benar dan mereka tidak boleh dihukum mati, harus dihukum potong telinga dan hidung, hukuman ke dua. Bukankah kata-kata mereka itu benar dan harus dihukum yang ke dua itu?"
"Mana bisa?"
Bantah Twa-ok.
"Mereka berkata bahwa mereka akan dihukum mati. Nah, kalau sekarang kau menjatuhkan hukuman ke dua, yaitu potong hidung dan telinga, berarti bahwa kata-kata terakhir mereka itu tidak benar. Dan menurut janji, kata-kata yang tidak benar dijatuhi hukuman mati!"
Ban Hwa Sengjin menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak.
"Kalau begitu hukum mati!"
"Tak mungkin! Kalau dihukum mati mereka berkata benar dan harus dihukum potong!"
Bantah Ji-ok.
"Kalau begitu hukum potong....!"
Kata pula Ban Hwa Sengjin.
"Tidak bisa! Kalau dihukum potong berarti kata-kata mereka bohong dan untuk itu mereka harus dihukum mati!"
Ban Hwa Sengjin menjatuhkan dirinya di atas batu dan memegangi kepala dengan kedua tangan, bingung sekali.
Dihukum mati salah, dihukum potong pun salah! Sementara itu, Kian Lee memandang kepada Siang In dengan penuh kekaguman. Tak disangkanya bahwa dara ini benar-benar memiliki kecerdikan yang amat hebat! Dalam keadaan berbahaya seperti itu, dalam waktu sesingkat itu, dapat menemu-kan akal yang demikian luar biasa, agaknya tidak masuk di akal akan tetapi memang benar dan tepat! Dengan akal itu, Ban Hwa Sengjin dibikin mati kutu, tidak berdaya karena hukuman apa pun yang dijatuhkannya, berarti dia melanggar janji dan.... makan tahi! Empat orang dari Im-kan Ngo-ok juga bengong dan penuh kagum, juga Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, demikian pula puluhan orang perajurit itu bengong, ikut memikirkan. Siang In tersenyum.
"Boleh kau pikirkan lagi, Koksu. Kami kini bebas, kecuali kalau kau mau makan tahi lebih dulu!"
Setelah berkata demikian, Siang In menarik tangan Kian Lee dan diajak pergi dari tempat itu dengan sikap tenang sekali. Dan lima orang Im-kan Ngo-ok yang ditakuti oleh semua orang dunia hitam itu hanya memandang dengan bengong saja tanpa mampu berbuat sesuatu! Bahkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi juga tidak berani berkutik karena kalau mereka turun tangan mencegah, sama halnya dengan mendorong Koksu Nepal untuk "makan tahi"
Yang berarti menjadi anjing penjilat janjinya sendlri! Tentu saja pasukan yang mendengar semua itu pun tidak ada yang berani ber-gerak tanpa perintah koksu.
Setelah pemuda dan dara itu pergi jauh dan tidak nampak lagi, barulah terdengar Ngo-ok Toat-beng Sian-su mengomel,
"Inilah kalau Sam-ok berubah menjadi pembesar negeri yang menjaga nama dan kehormatan! Rugi kita! Rugi....!"
"Ha-ha-ha, gadis itu otaknya cerdas sekali! Ha-ha-ha, Sam-ko yang terkenal cerdik masih kena diakalinya! Ha-ha-ha!"
Si gendut pendek terpingkal-pingkal geli. Memang watak lima orang Ngo-ok ini luar biasa sekali. Girang kalau melihat orang lain menderita! Agaknya memang mereka itu sengaja melakukan hal-hal yang paling buruk di dunia ini agar sesuai dengan julukan mereka sebagai Si Jahat dari Akhirat! Muka koksu sebentar pucat sebentar merah, kedua tangannya mengepal dan sepasang matanya beringas, akan tetapi di hadapan sekian banyaknya orang, tentu saja dia tidak sudi dianggap anjing penjilat janjinya kembali! Apalagi, dia adalah seorang yang amat cerdik.
Mendengar bahwa pemuda itu adalah putera Pendekar Super Sakti, dia juga harus hati-hati dan biarlah dia mendapat malu sedikit karena diakali gadis itu, akan tetapi hitung-hitung dia membebaskan putera Pendekar Super Sakti dan mencegah munculnya seorang musuh yang menggiriskan hatinya.
"Sudahlah! Salahku sendiri, juga bocah-bocah itu dibunuh atau tidak pun apa sih artinya bagiku? Mari kita ke lembah, ada urusan lebih penting yang harus kita selesaikan!"
Maka pergilah tujuh orang kakek sakti itu diikuti oleh pasukan memasuki lembah kembali dengan hati mendongkol. Sementara itu, Kian Lee yang hanya nanar dan lemas seketika, akan tetapi tidak sampai terluka parah, dalam waktu tidak lama pun sudah pulih kembali kesehatannya. Mereka berdua merasa lega bahwa para kakek sakti itu tidak melakukan pengejaran, dan Kian Lee seperti masih belum dapat mempercayai bahwa mereka dapat lolos dari bahaya sedemikian mudahnya. Kian Lee berhenti dan berkata kepada Siang In sambil memandang penuh kagum,
"Adik Siang In yang hebat! Sungguh masih sukar aku untuk dapat percaya betapa dengan mudahnya kita dapat terlepas dari bahaya maut! Dan hampir aku tidak percaya bahwa, engkau yang begini muda dapat mengakali orang-orang sakti seperti mereka itu. Dalam waktu sedemikian singkatnya engkau telah memperoleh akal yang demikian mengagumkan!"
Siang In tersenyum, senang hatinya dipuji seperti itu tentu saja! Akan tetapi dia seorang dara yang jujur, maka dia menahan ketawanya dan berkata,
"Ah, Lee-koko, siapa sih yang pintar? Aku sama sekali tidak pintar, hanya koksu itu yang tolol!"
"In-moi, akalmu itu benar-benar hebat dan menandakan bahwa engkau memang pintar sekali, mengapa merendahkan diri? Dengan akalmu itu, memang koksu menjadi tak berdaya dan mati kutu sama sekali, karena menjatuhkan hukuman kepada kita dengan cara apa pun, tetap saja berarti dia melanggar janji. Bukan main!"
"Hi-hik, memang demikianlah, Koko. Akan tetapi itu sama sekali bukanlah akalku, karena aku hanya menirunya dari dongeng kuno yang pernah kubaca! Jadi bukan akalku, melainkan akal kuno yang pernah dipergunakan orang untuk menyelamatkan diri dari hukuman seorang raja lalim yang menjatuhkan peraturan hukuman yang seperti itu."
"Ah, begitukah?"
Kian Lee terheran. Siang In tertawa.
"Itulah hasilnya orang suka membaca, asalkan bukan sembarangan membaca, melainkan memperhatikan isinya dengan seksama. Dari bacaan itu kita dapat memperoleh banyak manfaatnya, Koko. Koksu itu saja yang tolol tidak mengenal akal kuno yang kupergunakan, hi-hik!"
Suma Kian Lee tertawa juga, mentertawakan kebodohan koksu, akan tetapi diam-diam makin kagum kepada dara ini yang sudah memperlihatkan ketabahan dan kecerdikan luar biasa, yang telah berhasil menyelamatkan nyawa mereka, akan tetapi tidak menjadi sombong, sebaliknya malah membuka rahasia kecerdikannya dengan jujur bahkan kecerdikannya itu hanyalah meniru dari akal dalam dongeng kuno belaka! Akan tetapi kegembiraan segera mereda ketika dia teringat akan peristiwa tadi dan melihat betapa gawatnya keadaan. Agaknya Koksu Nepal itu telah mengumpulkan orang-orang pandai di lembah itu!
"In-moi, aku harus menyelidiki keadaan di lembah! Aku harus tahu apa yang sedang diiakukan oleh koksu itu...."
"Ah, hal itu berbahaya sekali, Lee-ko! Baru empat orang teman koksu tadi saja sudah memiliki kepandaian yang amat mengerikan, dan di sana terdapat banyak pula pasukan anak buah koksu. Mana mungkin engkau seorang diri akan dapat menghadapi mereka semua!"
Siang In memandang khawatir, tidak lagi bersendau-gurau mendengar niat pemuda itu yang hendak menyelidiki sarang dari koksu yang lihai dan dibantu oleh banyak orang pandai itu.
"Aku bukan bermaksud melawan mereka, In-moi, melainkan hendak menyelidiki keadaan mereka, kemudian aku harus segera melaporkan ke kota raja. Sudah menjadi kewajibanku untuk mencegah bahaya yang mengancam kota raja. Agaknya ada apa-apa di lembah itu, agaknya koksu sedang merencanakan gerakan besar yang berbahaya bagi kota raja.
"Kalau begitu memang baik sekali, Lee-ko, akan tetapi aku ikut!"
"Baru saja kau terlepas dari ancaman bahaya dahsyat, Siang In, moi-moi, lebih baik kau jangan ikut, terlalu berbahaya bagimu."
Siang In mengerutkan alisnya.
"Biarpun aku bodoh, kiranya sedikit banyak aku akan dapat membantumu, Lee-ko, dan dengan pergi dua orang, kalau ada bahaya kita dapat saling membantu, bukan?"
Kian Lee tidak dapat membantah atau melarang lagi, apa pula kalau diingat bahwa andaikata tidak ada Siang In di waktu dia menghadapi para kakek sakti tadi, tentu dia telah tewas.
"Baiklah, In-moi. Kita pergi berdua, karena memang aku pun hanya hendak menyelidiki keadaan luarnya saja. Akan tetapi kita harus berhati-hati sekali karena sekali lagi kita bertemu dengan mereka, kiranya mereka tidak akan mau membiarkan kita lolos lagi."
Siang In menjadi gembira, sekali. Timbul kembali kenakalan dan kejenakaannya.
"Wah, kalau cuma menghadapi tua bangka-tua bangka tolol macam itu saja, aku menyimpan banyak macam akal untuk mengelabui mereka, Lee-ko!"
"Akal dari dongeng kuno?"
Siang In terkekeh dan menutupi mulutnya sehingga terpaksa Kian Lee juga tersenyum. Dekat dengan seorang dara seperti Siang In ini, tidak mungkin orang dapat berdiam diri saja tanpa ketularan kegembiraannya. Maka berangkatlah dua orang itu dengan hati-hati, menyelinap dan bersembunyi-sembunyi, menuju ke benteng lembah untuk menyelidiki keadaan benteng itu. Pangeran Liong Bian Cu girang bukan main ketika melihat munculnya Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi membawa dua orang tawanan, yaitu Kian Bu dan Hwee Li! Akan tetapi dia tidak melihat adanya burung garuda, maka pangeran ini merasa khawatir dan bertanya,
"Bagus, Ji-wi telah berhasil menangkap merekea kembali. Akan tetapi di mana adanya burung garuda itu?"
Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya dan berkata dengan suaranya yang parau,
"Celaka, anak durhaka ini telah melukainya dan sekararg saya membiarkan burung itu mengobati lukanya sendiri dan beristirahat di hutan, di luar benteng."
Keterangan itu melegakan hati Pangeran Liong Bian Cu dan dia menghampiri Hwee Li dengan wajah berseri.
"Sayang, beruntung sekali engkau dapat bebas dari mata-mata ini!"
Akan tetapi Hwee Li cemberut dan Hek-tiauw Lo-mo lalu berkata,
"Bocah ini kalau dibiarkan terlalu bebas bisa berbahaya, Pangeran. Maka sebaiknya kuatur penjagaan di sekitar kamar dia dan sang puteri sekarang juga."
"Dan saya mohon ijin untuk membunuh pemuda yang telah melukai saya ini! Saya terluka oleh pukulannya dan setelah dia sekarang tertawan, hati saya tidak akan pernah puas sebelum membalas dendam ini dengan nyawanya!"
Kata Hek-hwa Lo-kwi yang memegang lengan Kian Bu atau Siluman Kecil yang terbelenggu. Pangeran Liong Bian Cu memang merasa agak jerih kepada Siluman Kecil, apalagi mendengar bahwa pemuda rambut putih ini adalah putera Pendekar Super Sakti, maka dia tidak berani sembarangan. Sekarang, mendengar bahwa Hek-hwa Lo-kwi hendak membunuhnya karena dendam pribadi, berarti dia bebas dari pemuda yang ditakutinya itu.
"Kalau engkau mau membunuhnya karena urusan pribadimu, terserah, Lo-kwi. Akan tetapi harus kau bereskan juga agar tidak ada bekas-bekasnya!"
Hek-hwa Lo-kwi tertawa.
"Ha-haha, jangan khawatir, Pangeran!"
Pada saat itu, sang pangeran sedang menjamu saudara misannya, yaitu Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan. Ketika dua orang ini melihat betapa Siluman Kecil menjadi tawanan, mereka terkejut bukan main. Mereka pernah diselamatkan oleh pemuda rambut putih itu, maka kini melihat betapa pemuda itu tertawan dan akan dibunuh, tentu saja mereka terkejut.
"Kanda Pangeran, jangan bunuh dia!"
Tiba-tiba Liong Tek Hwi berseru dan bangkit dari tempat duduknya.
"Dia adalah Siluman Kecil, pendekar ternama...."
Liong Bian Cu tersenyum.
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, adikku, dia adalah Siluman Kecil, akan tetapi dia adalah juga putera Pendekar Siluman, dan dia adalah cucu kaisar, dan dia adalah mata-mata yang menyelidiki ke benteng kita! Sekarang, dia telah membikin sakit hati kepada Locianpwe Hek-hwa Lo-kwi ini, maka terserah kepada Lo-kwi kalau hendak membunuhnya!"
Bukan main herannya hati kedua orang murid Kim-mouw Nio-nio mendengar bahwa Siluman Kecil adalah cucu kaisar dan putera Pendekar Siluman dari Pulau Es. Akan tetapi selagi mereka tercengang, Kian Bu sudah berkata kepada mereka dengan nada tidak senang,
"Hemmm, melihat bahwa kalian adalah sekutu dari pangeran pemberontak ini, aku tidak sudi kalian bela!"
Dan Hek-hwa Lo-kwi sudah cepat mendorongnya pergi dari situ bersama Hek-tiauw Lo-mo yang juga memegang lengan tangan Hwee Li dan setengah menyeret dara itu meninggalkan ruangan. Pangeran Liong Bian Cu tertawa dan minum araknya kemudian memperkenalkan dua orang kakek yang baru saja pergi itu kepada saudara misannya. Kemudian dia menambahkan,
"Kau lihat gadis itu tadi, adikku? Aku.... aku mengambil keputusan untuk menikah dengan dia."
Sementara itu, Kim Cui Yan sejak tadi bengong saja memandang ke arah perginya Hwee Li. Melihat wajah Hwee Li, Kim Cui Yan merasa seperti pernah mengenal dara cantik berpakaian hitam itu, akan tetapi biarpun dia mengingat-ingatnya, tetap saja dia tidak dapat mengingat kapan dia pernah mengenal dara itu. Hal ini tidak mengherankan karena wajah Hwee Li memang mirip benar dengan wajah mendiang ibu kan-dungnya, dan di waktu dia berusia kurang lebih lima enam tahun, Kim Cu Yan tentu saja sering melihat ibu tirinya, yaitu Ibu kandung Hwee Li yang menjadi selir ayahnya!
Jadi, bukan Hwee Li yang pernah dikenalnya, melainkan ibu kandung dari dara baju hitam itu. Seperti dapat kita duga, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang baru datang menghadap Pangeran Liong Bian Cu di sore hari itu dan membawa Kian Bu dan Hwee Li sebagai tawanan, se-betulnya bukan lain adalah Hek-sin Touw-ong si Raja Maling bersama muridnya, Ang-siocia atau Kang Swi Hwa! Dengan penyamaran mereka yang tepat sekali, bahkan Pangeran Liong Bian Cu yang cerdik itu pun sama sekali tidak mengenal mereka. Saking girangnya melihat Hwee Li dapat kembali, pangeran itu tidak menaruh curiga akan sikap tergesa-gesa dari dua orang kakek iblis itu yang tidak mau lama-lama berhadapan dengan dia.
"Kakanda Pangeran!"
Liong Tek Hwi berkata lagi.
"Kuharap engkau tidak membiarkan Siluman Kecil dibunuh karena ketahuilah bahwa dia pernah menyelamatkan nyawaku dan Sumoi. Tidak mungkin aku berdiam lebih lama lagi di sini kalau dia dibunuh sepengetahuanku. Harap kau memaklumi perasaan kami ini!"
Pemuda berkulit putih itu sudah bangkit berdiri, diturut oleh sumoinya. Pangeran Liong Bian Cu mengangguk-angguk.
"Baiklah, biar kusuruh pengawal memberi tahu kepada Lo-kwi agar pemuda itu ditahan saja dulu dan jangan dibunuh sekarang."
Pangeran Liong Bian Cu bertepuk tangan dan muncullah seorang Panglima Nepal dan pangeran itu lalu memberi perintah dengan cepat dalam bahasa Nepal. Orang yang berkulit coklat kehitaman itu berlutut dengan kaki kanan, lalu membalikkan tubuh dan berjalan cepat meninggalkan ruangan itu untuk menyusul Hek-hwa Lo-kwi dan menyampaikan perintah majikannya. Sementara itu, setelah berhasil menipu Pangeran Liong Bian Cu, empat orang itu, ialah Ang-siocia yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo, si Raja Maling yang menyamar sebagai Hek-hwa Lo-kwi, dan kedua orang "tawanan"
Mereka, yaitu Kian Bu dan Hwee Li, cepat meninggalkan ruangan itu dan dengan Hwee Li bertindak sebagai penunjuk jalan, pergilah mereka ke ruangan belakang!
Sementara itu, cuaca di luar sudah mulai gelap dan tergesa-gesa empat orang itu menuju ke ruangan di mana keluarga Kao ditahan. Karena di tempat ini terdapat banyak penjaga, maka kembali Hwee Li dan Kian Bu pura-pura menjadi tawanan yang dikawal oleh dua orang kakek itu sehingga para penjaga tidak menaruh curiga apa-apa. Ketika melihat betapa banyaknya keluarga Kao yang berada di dalam tahanan itu, Kian Bu terkejut bukan main, demikian pula Ang-siocia dan gurunya. Mana mungkin menyelamatkan begitu banyak orang dari tempat sekuat benteng itu? Akan tetapi mereka telah berhasil menyelundup masuk, maka harus mencari jalan untuk menyelamatkan mereka, dan Siluman Kecil sudah mencari-cari dengan pandang matanya ke dalam ruangan tahanan di balik pintu jeruji besi itu.
"Mana puteri....?"
Bisiknya tanpa menggerakkan bibir kepada Hwee Li sehingga yang dapat mendengar hanya Hwee Li seorang.
Hwee Li lalu memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi palsu yang segera membawa mereka pergi dari situ. Para penjaga tidak ada yang menaruh curiga. Mereka sudah mengenal watak aneh dari dua orang kakek iblis itu, apalagi Hektiauw Lo-kwi adalah ketua dari Kui-liong-pang, pemilik tempat itu. Mereka hanya menduga bahwa tawanan baru yang berambut putih itu tentu sengaja disuruh melihat keluarga Kao yang ditawan. Dan ketika di antara mereka ada yang mengenal pemuda rambut putih itu sebagai Siluman Kecil, mereka hanya dapat memandang heran dan setelah empat orang itu pergi, bisinglah tempat itu karena mereka berbisik-bisik bahwa Siluman Kecil yang selama ini menggemparkan daerah lembah Huang-ho, kini telah menjadi tawanan pula!
"Lekas bawa kami kepada sang puteri...."
Bisik Kian Bu setelah menjauhi tempat itu.
"Kita harus tolong sang puteri, sedangkan keluarga Kao sedemikian banyaknya."
"Kalau bisa menolong mereka seorang satu saja sudah baik,"
Kata Ang-siocia.
"Tunggu aku mencoba untuk mengeluarkan seorang di antara mereka, agaknya putera Jenderal Kao itu lebih baik diselamatkan dulu agar dia dapat membantu kita, kata Hek-sin Touw-ong.
"Nanti dulu,"
Cegah Hwee Li.
"Bisa menimbulkan kecurigaan kalau membebaskan mereka, apalagi kurasa tidak akan ada di antara mereka yang mau dibebaskan kalau tidak semua. Lebih baik kita membebaskan Puteri Syanti Dewi lebih dulu, lalu kita membikin kacau agar penjagaan itu bubar....!
"Aku sudah siap dengan bahan bakar!"
Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata sambil mengeluarkan bungkusan dari dalam saku bajunya. Memang kakek ini selalu mempersiapkan segala sesuatu, seperti seorang tukang sulap. Dengan hati-hati Hwee Li lalu mengajak mereka menuju ke kamar sang puteri yang berada di sebelah dalam, di samping kiri bangunan induk yang menjadi tempat tinggal pangeran. Akan tetapi, dari jauh saja sudah nampak bahwa tempat itu terjaga oleh Mohinta dan anak buahnya, dibantu pula oleh belasan orang perajurit Nepal karena puteri itu merupakan seorang tawanan penting bagi negara Nepal! Adapun Mohinta sendiri tidak pernah mau meninggalkan wanita yang dicintanya ini.
"Harap kalian tinggal di sini, biar aku dan ayahku ini saja yang masuk,"
Kata Hwee Li berbisik kepada Kian Bu dan Hek-hwa Lo-kwi. Melihat kedatangan empat orang itu, para penjaga sudah memandang dengan penuh perhatian,
Terutama sekali kepada Kian Bu karena tentu saja mereka tidak menaruh curiga apa-apa terhadap Hwee Li dan dua orang kakek iblis itu. Biarpun demikian, andaikata tidak bersama Hwee Li, dan seorang di antara dua orang kakek iblis itu yang masuk sendiri, tentu para penjaga itu akan melarangnya. Akan tetapi tidak ada yang berani melarang Hwee Li karena dara ini adalah calon isteri sang pangeran! Maka dengan tenang saja Hwee Li masuk ke dalam rumah itu bersama "ayahnya"
Yang berjalan dengan gagah. Tidak ada yang tahu betapa di sebelah dalam Hek-tiauw Lo-mo ini Kang Swi Hwa mengeluarkan keringat dingin dan panas karena selain tegang, dia juga merasa gerah sekali dalam penyamarannya itu, dan mukanya yang ditambal penyamaran itu terasa gatal, kakinya yang memakai ganjal terasa kaku dan sakit-sakit!
"Hwee Li....!"
Puteri Syanti Dewi berseru girang dan lari menyambut lalu merangkul Hwee Li ketika dara ini memasuki kamarnya.
"Ah, betapa girangku melihatmu.... akan tetapi...."
Puteri itu mundur kembali ketika melihat Hek-tiauw Lo-mo muncul di belakang dara baju hitam itu. Dia merasa takut sekali kalau melihat Hek-tiauw Lo-mo yang sudah lama dikenalnya itu, semenjak perantauannya yang pertama beberapa tahun yang lalu dan dia sudah tahu benar betapa jahatnya iblis tua yang menjadi ayah dari Hwee Li ini. Melihat ini, Hwee Li tersenyum dan memegang tangan puteri itu.
"Jangan takut, Bibi Syanti Dewi, dia ini adalah seorang sahabat baik, seorang gadis cantik yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo untuk menolongmu."
"Maafkan kalau saya mengejutkan anda, Puteri. Sudah lama mendengar akan kecantikan anda, dan ternyata anda seperti bidadari...."
Kata Ang-siocia atau Kang Swi Hwa dengan suara biasa yang merdu dan halus. Syanti Dewi terkejut dan juga girang, di samping rasa herannya bagaimana seorang gadis dapat menyamar sebagai seorang kakek raksasa seperti Hek-tiauw Lo-mo.
"Akan tetapi, bagaimana kita dapat...."
Tanyanya ragu.
"Jangan khawatir, di luar ada Siluman Kecil atau Suma Kian Bu dan juga Hek-sin Touw-ong yang akan membantu kita."
"Suma Kian Bu....?"
Wajah puteri itu agak berubah ketika mendengar nama ini, nama seorang pemuda yang takkan pernah dilupakannya selama hidupnya, pemuda yang selalu menimbulkan rasa iba di hatinya kalau dia teringat, karena dia tahu betapa pemuda perkasa itu amat mencintanya dan cintanya itu terpaksa ditolaknya sehingga dia menghancurkan hati pemuda itu. Seorang pemuda perkasa yang sudah berkali-kali menolongnya, putera dari Pulau Es, dan amat mencintainya, namun terpaksa ditolaknya karena cintanya hanya untuk Tek-Hoat seorang! Hwee Li tidak tahu akan rahasia antara sang puteri dan Siluman Kecil, maka dia hanya mengira bahwa Syanti Dewi girang mendengar nama itu karena tentu saja puteri ini sudah mengenalnya.
"Marilah, Bibi, sekarang juga kita pergi. Kita tidak banyak waktu...."
Hwee Li memegang tangan puteri itu dan menariknya bersama Hek-tiauw Lo-mo lalu keluar dari dalam kamar itu. Para penjaga dan juga para pengawal Bhutan yang berada di situ tidak menaruh curiga melihat sang puteri keluar bersama Hwee Li, karena memang antara dua orang wanlta cantik ini terdapat persahabatan yang amat akrab. Akan tetapi, baru saja tiga orang ini keluar dari kamar dan Kian Bu berdiri seperti terpesona ketika melihat sang puteri, sebaliknya Syanti Dewi juga memandang pemuda itu dengan mata terbelalak saking kagetnya menyaksikan perubahan pada diri Kian Bu, terutama rambutnya, selagi mereka saling pandang dengan penuh perasaan terharu, tiba-tiba datang seorang pengawal bangsa Nepal yang menghampiri Hek-hwa Lo-kwi palsu.
"Pangcu, atas perintah dari pangeran, tawanan ini agar dibawa kembali ke sana, tidak boleh dibunuh dulu."
Hek-sin Touw-ong yang menyamar sebagai Hek-hwa Lo-kwi terkejut.
"Eh, ada urusan apakah?"
Tanyanya cemas.
"Entahlah, akan tetapi pangeran mengutus saya untuk memberi tahu kepada Pangcu agar tawanan ini dibawa kembali ke sana."
Hek-sin Touw-ong menjadi bingung dan hatinya merasa tidak enak sekali.
Orang macam Pangeran Nepal itu bukanlah orang sembarangan dan tentu memiliki kecerdikan luar biasa. Hal ini dapat dilihatnya ketika dia tahu melihat sepasang mata Pangeran Nepal itu. Mengelabuhi orang seperti itu dengan penyamarannya memang mungkin dapat, akan tetapi hanya sekelebatan saja. Kalau dia harus menghadap dan banyak bicara dengan pangeran itu, tentu penyamarannya akan dikenal. Apalagi kalau Siluman Kecil diserahkan kepada pangeran itu, tentu akan berbahaya malah. Dalam keadaan bingung dia menengok ke arah Hek-tiauw Lo-mo palsu. Dia mengandalkan kecerdikan muridnya ini. Akan tetapi, berada di tempat asing itu dan menghadapi banyak orang pandai, bahkan Ang-siocia yang biasanya cerdik itu menjadi bingung dan khawatir. Dalam keadaan seperti itu Hwee Li yang cepat berkata.
"Dia ini musuh besar kami, harus dibunuh! Dan kami akan mengajak sang puteri untuk menyaksikan pelaksanaan pembunuhan terhadap musuh besar ini! Mari, Bibi Syanti!"
Dia menggandeng tangan puteri itu dan memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi untuk cepat pergi dari situ. Hek-hwa Lo-kwi lalu mendorong tubuh Siluman Kecil yang dibelenggunya itu ke depan dengan kasar. Para penjaga menjadi bingung, juga utusan orang Nepal ltu menjadi bingung. Dia merasa ragu-ragu untuk memaksa Hek-hwa Lo-kwi yang menjadi pangcu (ketua) dari Kui-liong-pang dan sebenarnya adalah tuan rumah di lembah itu. Juga dia tahu baik bahwa Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang tokoh pembantu dari majikannya, sedangkan Hwee Li adalah tunangan sang pangeran dan puteri itu adalah Puteri Bhutan, seorang tamu agung,! Akan tetapi baru saja lima orang itu bergerak, Mohinta yang sejak tadi memandang dan mendengar-kan saja sudah berteriak,
"Tahan!"
Dia meloncat maju menghadang.
"Mohinta, manusia pengkhianat!"
Bentak Syanti Dewi penuh kebencian. Dia sudah tahu akan kehadiran Mohinta di tempat itu dan dia amat benci kepada Panglima Bhutan ini yang menurut Hwee Li telah berniat memberontak dan bersekutu dengan orang Nepal.
"Engkau mau apa? Minggir!"
Akan tetapi Mohinta tersenyum dan menggeleng kepala.
"Lekas kau melapor kepada Sang Pangeran Bharuhendra!"
Teriak Mohinta kepada pengawal Nepal tadi, lalu dia menghadapi lima orang itu.
"Sebelum ada keputusan dari sang pangeran, kalian berlima tidak boleh meninggalkan tempat ini!"
Mohinta memang cerdik sekali. Tentu saja dia tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi adalah dua orang tokoh besar yang sakti dan yang menjadi pembantu-pembantu Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu. Akan tetapi melihat betapa mereka hendak membawa pergi Syanti Dewi, dia merasa curiga dan tidak mau memperkenankan mereka membawa pergi sang puteri begitu saja. Dia sampai berada di situ adalah demi sang puteri ini, maka tidak boleh orang membawanya pergi di luar pengawasannya. Melihat orang Nepal tadi kini membalik dan berlari cepat menuju ke tempat tinggal Pangeran Liong Bian Cu yang seperti istana di tengah-tengah lembah itu, terkejutlah Hwee Li.
"Cepat!"
Serunya dan dia sudah menerjang Mohinta. Panglima Bhutan ini terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo palsu telah menendang sehingga dia roboh terguling! Hwee Li cepat menyambar tangan Syanti Dewi dan diajaknya berlari menuju ke pintu belakang lembah. Gegerlah keadaan di situ, apalagi setelah Mohinta meloncat bangun kembali dan berteriak-teriak dengan suara keras,
"Tangkap pemberontak! Kepung! Tahan, mereka hendak melarikan Sang Puteri Bhutan dan tawanan!"
Para pengawal maju mengepung dan menghadang. Melihat ini, Siluman Kecil menggerakkan kedua tangannya dan patahlah belenggu tangannya. Para pengawal mengeroyok dan terjadilah pertempuran. Terdengar pengawal memukul tanda bahaya dan keadaan menjadi makin geger! Dengan mudah saja Siluman Kecil, Hwee Li, Ang-siocia, Hek-sin Touw-ong dan juga Puteri Syanti Dewi sendiri yang membantu merobohkan para pengawal itu. Akan tetapi kini nampak puluhan orang pengawal dan perajurit datang berlarian, juga anak buah Kui-liong-pang dan muncul orang-orang pandai seperti Hwai-kongcu Tang Hun dan tiga orang pembantunya yang lihai, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hai-liong-ong Ciok Gu To dan masih banyak lagi para pembantu Pangeran Nepal yang datang berlarian ke tempat itu.
"Cepat kita lari!"
Hwee Li berseru sambil menyambar tangan Syanti Dewi dan mereka semua sudah melarikan diri dikejar oleh puluhan orang pengawal. Akan tetapi suara tanda bahaya itu telah menggerakkan para penjaga di sebelah belakang dan kini ke manapun mereka melarikan diri, selalu mereka dihadang oleh puluhan orang, bahkan mulai nampak pasukan dengan teratur sekali menjaga dan menghadang semua jalan.
"Celaka! Suhu, lekas lepas api!"
Teriak Ang-siocia sambil mengamuk ketika kembali mereka sudah dikeroyok. Hek-hwa Lo-kwi palsu, yaitu penyamaran Hek-sin Touw-ong, cepat meloncat ke atas genteng dan dari situ dia melemparkan empat buah benda ke empat penjuru. Terdengar ledakan-ledakan disusul oleh berkobarnya api yang membakar rumah-rumah yang dilempari bahan peledak itu. Suasana menjadi makin kacau-balau dan lima orang itu kembali dikepung dan dikeroyok. Akan tetapi, para anggauta Kui-liong-pang tidak ada yang berani mengeroyok ketua mereka!
Dan juga banyak orang tidak berani menghadapi Hek-tiauw Lo-mo, apalagi menyerang Hwee Li yang menjadi tunangan sang pangeran. Maka pengepungan itu hanya untuk mencegah mereka melarikan diri saja, dan hanya Siluman Kecil saja yang dikeroyok oleh banyak orang. Akan tetapi justeru ini yang mencelakakan para pengeroyok karena setiap gerakan pemuda ini pasti merobohkan beberapa orang sekaligus. Hwee Li juga dikepung dan dara ini mengamuk dengan hebat. Karena gugup maka dara ini tidak tahu bahwa sebetulnya, kalau dia tidak bergerak, tidak akan ada orang yang berani menyerangnya! Akan tetapi karena dia mengamuk, maka para pengepung itu bergerak hanya untuk membela diri saja. Dara ini lupa bahwa sebetulnya tidak mungkin ada seorang pun di antara mereka yang berani melukai kekasih dan tunangan Pangeran Nepal!
Syanti Dewi yang tadinya mendapatkan harapan untuk lolos dari tempat itu, kini begitu melihat bahaya, tidak mau tinggal diam. Selama dia berkumpul dengan Hwee Li di tempat itu, dia telah mempelajari ilmu silat dari dara ini sehingga dia telah memperoleh kemajuan. Maka ketika melihat beberapa orang anak buah Mohinta berusaha menangkapnya, dia pun mengamuk dan kaki tangannya telah merobohkan beberapa orang. Pengeroyokan menjadi makin rapat, sungguhpun keadaan amat kacau oleh kebakaran-kebakaran itu. Tiba-tiba Syanti Dewi menjerit dan ketika Hwee Li menoleh, ternyata puteri itu telah dipeluk oleh Mohinta. Kiranya Mohinta yang cerdik ini telah menyelinap dengan diamdiam, dan ketika melihat kesempatan selagi Syanti Dewi mengamuk, dia sudah menubruk dari belakang dan merangkul puteri itu.
"Keparat, lepaskan Bibi Syanti!"
Hwee Li membentak dan menerjang maju, akan tetapi dia cepat menahan gerakannya dan meloncat mundur dengan muka pucat ketika melihat betapa Mohinta menodongkan pisau runcing ke leher Syanti Dewi.
"Mundur kau! Atau kubunuh dia!"
Bentak Mohinta yang cerdik. Melihat ini, tentu saja Hwee Li menjadi pucat dan dia menjadi marah, lalu mengamuk dan sekaligus merobohkan empat orang pengepung.
"Kita gagal! Lari....!"
Hwee Li berteriak karena maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menolong Syanti Dewi dan kini paling perlu adalah menyelamatkan diri lebih dulu. Akan tetapi hampir saja Hwee Li celaka ketika Hwa-i-kongcu Tang Hun yang sudah tiba di situ menubruk dari samping. Pemuda yang menjadi ketua Liong-sim-pang ini memang lihai bukan main. Biarpun Hwee Li dapat mengelak, akan tetapi karena dara ini baru saja mengamuk dan mencurahkan perhatian kepada empat orang yang dirobohkan itu, elakannya kurang cepat dan tangannya yang kiri dapat dicengkeram oleh Hwai-kongcu! Hwee Li mengerahkan tenaga meronta, akan tetapi cengkeraman itu seperti jepitan baja yang amat kuat dan Hwa-i-kongcu tersenyum menyeringai sambil berkata,
"Nona, sang pangeran akan berterima kasih kalau aku dapat menahanmu sehingga tidak sampai melarikan diri...."
"Wuuuttttt, desss....!"
Tubuh Hwai-kongcu terlempar dan bergulingan. Dia dapat meloncat bangun lagi, kepalanya nanar. Untung dia tadi masih menangkis ketika mendengar sambaran angin dahsyat dari kiri. Ternyata Siluman Kecil sudah menerjangnya tadi untuk menolong Hwee Li dan akibat dari tangkisannya itu, dia sampai terlempar dan pandang matanya berkunang, kepalanya menjadi pening. Tang Hun terkejut setengah mati, tidak mengira bahwa sedemikian ampuh dan dahsyatnya serangan dari Siluman Kecil maka dia hanya memandang dengan mata terbelalak dan hati gentar, tidak berani bergerak lagi! Melihat keadaan yang gawat ini, Hek-si Touw-ong lalu berseru,
"Lari ke atas....!"
Dan dia sudah mendahului meloncat ke atas genteng. Tiga orang temannya cepat berloncatan ke atas dan pada saat itu, Hek-sin Touw-ong melemparkan dua buah benda yang meledak di bawah sehingga para pengeroyok dan pengejar menjadi mawut dan kacau-balau. Mereka terus berloncatan dan Hek-sin Touw-ong mengobral bahan peledaknya, melempar-lemparkannya di seluruh tempat sehingga terdengar ledakan-ledakan bertubi-tubi dan nampak rumah-rumah di seluruh lembah dalam benteng itu kebakaran! Untung bahwa para penjaga di pintu gerbang masih bingung dan ragu-ragu melihat Hek-tiauw Lo-mo dan terutama Hek-hwa Lo-kwi palsu itu. Mereka masih belum tahu bahwa kedua orang kakek itu adalah palsu, bahkan yang tadi mengeroyok pun tidak ada yang tahu bahwa mereka itu palsu,
Dan mereka hanya mengira bahwa dua orang kakek itu hendak berkhianat dan memberontak saja. Inilah yang membuat para penjaga menjadi ragu-ragu dan mereka tidak meng-hadang dengan sepenuh hati karena mereka memang jerih terhadap dua orang kakek itu, dan tidak ada pula yang berani menyerang Hwee Li yang mereka kenal sebagai tunangan sang pangeran. Dan karena ini, maka empat orang itu berhasil keluar dari dalam benteng itu tanpa banyak kesukaran, sungguhpun mereka merasa kecewa sekali karena tidak berhasil melarikan Syanti Dewi, apalagi keluarga Jenderal Kao Liang. Benteng itu terlalu kuat dan penjagaan terlalu ketat. Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa di waktu api berkobar-kobar di dalam benteng itu, nampak bayangan berkelebatan yang sukar diikuti pandang mata.
Bayangan ini cepatnya bukan main sehingga tidak ada orang melihatnya. Apalagi setelah api berkobar-kobar, asap membubung tinggi di mana-mana, bayangan itu seperti setan saja berkelebatan di antara genteng-genteng dan api-api berkobar, dari atas dia merupakan seorang wanita cantik sekali yang berpakaian mewah. Kini wanita itu mengintai ke bawah dan melihat Mohinta yang masih merangkul Syanti Dewi yang meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Wanita ini bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui! Wanita cantik jelita ini pernah bertemu dengan Siluman Kecil dan dia amat tertarik kepada pendekar yang namanya sudah menggemparkan dunia kang-ouw itu. Akan tetapi ketika dia mengadu ilmu silat dengan pendekar itu, dia terkejut sekali dan diam-diam dia maklum bahwa dia sendiri pun tidak akan mampu menandingi pendekar itu.
Akan dicobanya lagi kalau dia mempunyai kesempatan berjumpa dengan pendekar itu. Betapapun juga, pendekar itu hanyalah seorang sutenya! Dia sudah mendengar bahwa Pendekar Siluman Kecil berguru, bahkan dianggap putera oleh gurunya, yaitu Kim Sim Nikouw di lereng Bukit Tai-hang-san, maka pendekar itu masih terhitung sutenya juga. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Pendekar Siluman Kecil itu adalah putera Pulau Es! Andaikata dia tahu akan hal ini, tentu Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui tidak akan merasa penasaran dikalahkan oleh pemuda itu. Betapapun juga, dia merasa senang juga mendapatkan kenyataan bahwa dalam hal ginkang, dia masih menang dibandingkan dengan pendekar perkasa itu. Dalam perjalanannya itu, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui juga mendengar akan berkumpulnya tokoh-tokoh besar di dalam lembah Huang-ho.
Hal ini menarik perhatiannya dan dia lalu menuju ke ben-teng itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat Siluman Kecil menjadi tawanan dua orang kakek bersama seorang dara yang cantik berpakaian hitam! Dia sendiri tidak tahu bahwa dua orang kakek itu adalah palsu, karena dia melihat empat orang itu ketika mereka sedang memasuki pintu gerbang. Karena amat tertarik melihat "sutenya"
Itu menjadi tawanan, diam-diam Bu-eng-kwi lalu membayangi. Mudah saja bagi ahli ginkang seperti dia untuk berloncatan naik melalui tembok benteng tanpa diketahui orang. Akan tetapi begitu menyaksikan keadaan benteng itu, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui menjadi terkejut bukan main dan dia kagum. Benteng ini amat hebat, pikirnya! Amat kuatnya sehingga merupakan benteng perang yang kokoh dan sukar diserbu pasukan dari luar!
Penjagaannya demikian ketat sehingga kalau dia tidak memiliki ginkang yang luar biasa, tentu amat sukar untuk dapat memasuki-nya, apalagi pasukan yang hendak masuk lewat pintu gerbang yang berlapis-lapis itu! Dia sendiri menjadi bingung setelah naik ke atas tembok dan terpaksa menyelinap dan bersembunyi agar jangan ketahuan penjaga. Dia tidak tahu ke mana dibawanya Siluman Kecil dan gadis berbaju hitam tadi oleh dua orang kakek yang kelihatan seperti iblis itu. Selagi dia bingung dan tidak tahu harus mencari ke mana, dan dia hanya mempergunakan ginkangnya yang luar biasa, yaitu semacam ilmu yang dikuasai oleh Siluman Kecil, yang disebut Jouw-san-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), dia berkelebatan di atas genteng-genteng bangunan itu dengan amat hati-hati sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya,
Tiba-tiba dia melihat Siluman Kecil, gadis cantik dan dua orang kakek yang menawan mereka tadi keluar dari bangunan induk! Dia menjadi girang sekali dan diam-diam dia membayangi dari atas. Kemudian dia menyaksikan keributan yang terjadi, disusul pertempuran dan kebakaran-kebakaran yang dilakukan oleh kakek bermuka tengkorak itu dengan senjata-senjata bahan peledaknya. Kini tahulah dia bahwa Siluman Kecil bukan ditawan, melainkan pura-pura ditawan dan betapa dua orang kakek itu malah menjadi kawan-kawan dari Siluman Kecil dan gadis cantik itu! Ketika dia melihat Puteri Syanti Dewi, Ouw Yan Hui terpesona dan kagum sekali. Belum pernah dia melihat seorang wanita secantik itu dan begitu melihatnya, seketika dia tertarik dan merasa suka seketika!
Akan tetapi, agaknya wanita aneh ini tidak akan bertindak sesuatu dan tidak sudi mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya, kalau saja dia tidak melihat Puteri Syanti Dewi dipeluk dan diseret oleh Panglima Bhutan itu secara paksa memasuki sebuah rumah. Melihat puteri jelita itu dipaksa orang, mendadak timbul kemarahan wanita ini. Dan memang menjadi pantangan bagi Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui melihat seorang wanita diperlakukan secara kasar oleh seorang pria. Ketika dia melihat lima orang penjahat Ngo-giam-lo-ong dari selatan melarikan seorang gadis, Ouw Yan Hui juga mengejarnya dan akhirnya membunuh mereka di dalam hutan karena lima orang penjahat itu telah memperkosa gadis itu sampai mati, seperti yang telah dilihat oleh Siluman Kecil.
Kini melihat, puteri cantik jelita yang amat menarik hatinya itu diseret dan dirangkul secara paksa oleh seorang Panglima Bhutan, dia marah sekali dan bagaikan seekor burung garuda yang marah, dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya sudah menyambar dari atas ke bawah, menukik turun menerjang Mohinta yang sedang berkutetan dengan Syanti Dewi. Mohinta hendak memaksa puteri itu masuk kembali agar jangan sampai terancam bahaya dilarikan orang, sedangkan Syanti Dewi yang ingin melarikan diri bersama Hwee Li, meronta-ronta. Ketika Mohinta mendengar berdesirnya angin dari atas, dia memandang dan alangkah kagetnya ketika dia melihat seorang wanita seperti seekor burung saja menyerangnya. Dia mengira bahwa yang menyerangnya itu tentu Hwee Li karena dia pun tahu bahwa tunangan sang pangeran itu lihai sekali.
"Mundur!"
Bentaknya dan seperti tadi dia mengancamkan pisaunya ke leher Puteri Syanti Dewi.
Kalau saja yang menyerangnya itu adalah Hwee Li, tentu Hwe Li tidak akan berani melanjutkan serangannya, karena khawatir kalau-kalau nyawa Syanti Dewi terancam. Akan tetapi Ouw Yan Hui sama sekali tidak peduli akan hal ini. Dia marah kepada orang Bhutan itu dan dia tidak peduli akan keselamatan Syanti Dewi yang tidak dikenalnya. Maka dia tidak menghentikan serangannya dan tubuhnya terus meluncur dan menyerang Mohinta dengan hebatnya! Mohita terkejut bukan main. Tentu saja dia pun mengancam Syanti Dewi bukan untuk membunuhnya sungguh-sungguh. Maka kini melihat wanita itu masih nekat dan menyerang terus, dia terpaksa melepaskan Syanti Dewi dan menggunakan pisaunya untuk memapaki wanita yang menyerangnya itu, karena kini dia melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan Hwee Li tunangan Pangeran Bharuhendra!
"Plakkk.... tringgg....!"
Untuk kedua kalinya malam itu, tubuh Mohinta yang sial itu terlempar dan terhuyung. Ketika dia meloncat bangun, ternyata bagaikan seekor burung garuda saja, wanita cantik berpakaian mewah itu telah berkelebat pergi sambil memanggul tubuh Syanti Dewi!
"Hei, berhenti....!"
Mohinta berseru dan cepat mengambil pisaunya yang tadi terlepas karena tangkisan wanita itu. Dia ingin menyambit, akan tetapi khawatir kalau mengenai tubuh Syanti Dewi, maka dia lalu berteriak-teriak minta bantuan dan dia sendiri lalu mengejar. Akan tetapi kemanakah dia hendak mengejar. Wanita itu hanya dengan beberapa kali lompatan saja telah lenyap di antara api dan asap yang memenuhi tempat itu. Mula-mula Syanti Dewi meronta karena terkejut sekali melihat dirinya dibawa loncat secepat itu ke atas. Akan tetapi ketika dia melihat betapa dia di panggul seorang wanita cantik dan dibawa "terbang"
Melalui api yan bernyala-nyala dan asap tebal, sehingga nampaknya setiap saat dia dapat terbakar dijilat lidah api merah, dia merasa ngeri sekali. Melihat bahwa wanita itu adalah seorang yang sama sekali tidak dikenalnya, dia berkata,
"Lepaskan aku....!" "Huh, lepaskan? Benarkah?"
Wanita itu lalu melepaskan tubuh Syanti Dewi yang berdiri di atas tembok benteng, dikelilingi api dan asap! Syanti Dewi terbelalak ngeri.
"Eh, ohhh.... tolong....!"
Teriaknya.
"Hemmm!"
Ouw Yan Hui mengejek dan dia menyambar lagi, memanggul tubuh Syanti Dewi yang saking ngerinya menjadi hampir pingsan itu, dipanggul di atas pundak kanannya lalu dia berloncatan lagi amat cepatnya seperti terbang saja!
Beberapa kali Syanti Dewi membuka mata akan tetapi terpaksa memejamkannya kembali matanya ketika melihat betapa dia dibawa lari terus di atas rumah yang terbakar dan terus ke tembok-tembok benteng yang berlapis-lapis itu untuk kemudian berloncatan keluar dari benteng seperti seekor burung terbang saja! Hampir Syanti Dewi menjerit ngeri ketika Ouw Yan Hui meloncat dari atas wuwungan tempat penjagaan di atas tembok benteng yang tebalnya hanya satu meter itu, padahal di kanan kiri tembok itu api masih berkobar! Akan tetapi sebenarnya puteri ini tidak perlu khawatir. Dengan mudah Ouw Yan Hui meloncat dan hinggap di atas tembok dengan kaki kanan, gerakannya seperti orang menari saja. Kemudian, dari atas tembok ini Ouw Yan Hui meloncat ke luar kemudian terus berlari di dalam kegelapan malam, menyusup di antara pohon-pohon di dalam hutan di luar benteng itu.
Malam telah larut dan mereka telah berada jauh sekali dari benteng di lembah Huang-ho ketika Ouw Yan Hui berhenti berlari, menurunkan tubuh Syanti Dewi. Mereka berada di lereng sebuah bukit, di dalam hutan kecil yang amat sunyi. Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui membuat api unggun dan mereka berdua duduk di dekat api unggun, saling berhadapan dan sejak tadi mereka tidak saling bicara. Kini, mereka berdua duduk saling berpandangan, dihalangi oleh api unggun yang menyinari wajah dua orang wanita itu dengan cahaya yang kemerahan. Keduanya terkejut dan kagum. Setelah kini berada di tempat yang diterangi oleh api unggun, duduk berhadapan dan berdekatan, mereka dapat melihat wajah masing-masing dengan jelas dan keduanya merasa kagum bukan main oleh kecantikan masing-masing.
Syanti Dewi memandang wanita yang duduk di depannya itu dengan penuh perhatian. Sukar menaksir berapa usia wanita ini, akan tetapi dia merasa pasti bahwa wanita ini jauh lebih tua daripada dia, sungguhpun melihat wajahnya, tentu orang akan menaksir bahwa usia wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun. Seraut wajah yang bulat seperti bulan, dengan dagu runcing, kedua pipinya halus penuh kemerahan amat mulusnya, sepasang mata yang jernih dan lembut, sungguhpun di balik kelembutan itu mengandung sifat dingin yang menyeramkan. Rambutnya digelung seperti model gelung puteri istana, dihias, dengan hiasan rambut dari emas permata yang indah dan tentu mahal sekali harganya, berbentuk burung hong. Telinganya juga memakai perhiasan yang bermata besar dan berkilauan.
Hidungnya kecil mancung, cuping hidungnya mudah kembang kempis, mulutnya kecil akan tetapi selalu terbuka secara menantang, mulut yang membayangkan berahi yang besar, sungguhpun kalau dikatupkan lalu nampak betapa wanita ini dapat berwatak kejam. Alisnya seperti dilukis saja, demikian pula sinom rambut dan anak rambut di pelipisnya. Wajah yang cantik jelita dan manis bukan main, tidak kalah oleh wanita puteri-puteri istana! Dan tubuh itu padat dan penuh lekuk lengkung menggairahkan, tubuh seorang wanita yang sudah matang. Sung-guh sukar membayangkan betapa di dalam tubuh yang penuh daya tarik kewanitaan ini dapat tersembunyi tenaga dahsyat dan ilmu yang demikian tinggi. Perhiasan wanita itu, pakaiannya yang mewah dan rapi, gelang-gelang di tangannya, sepatunya, semua menunjukkan bahwa wanita ini pantasnya seorang puteri istana atau seorang puteri yang kaya raya.
Bahkan Puteri Milana yang pernah dikenalnya, puteri istana sakti itu, tidak pernah bersolek semewah wanita ini! Syanti Dewi memandang penuh keheranan dan menduga-duga gerangan wanita yang telah menyelamatkan dirinya dari dalam benteng itu, menyelamatkannya ataukah menculiknya? Di lain fihak, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui juga terkejut, kagum dan terpesona sehingga sejenak dia tidak dapat berkata-kata, hanya menatap wajah Syanti Dewi penuh kekaguman dan perhatian. Selama hidupnya, belum pernah dia melihat wajah yang demikian sempurna kecantikannya! Tadinya dia, seperti yang dibanggakan oleh gurunya, yaitu Maya Dewi, adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan wanita Tiongkok yang sempurna!
Kisah Sepasang Rajawali Eps 4 Kisah Sepasang Rajawali Eps 7 Kisah Sepasang Rajawali Eps 27