Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 44


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 44



"Nah, katakanlah, apa yang kalian kehendaki? Tidak baik menyimpan dendam di dalam hati,"

   Katanya dengan halus dan penuh kasih sayang karena memang sesungguhnya pendekar ini masih menaruh hati cinta yang mendalam ter-hadap kedua orang isterinya itu. Setelah melihat sikap halus dari suami mereka itu, dua orang isteri yang juga amat kagum dan mencinta suami mereka, berbalik merasa kasihan.

   "Kami besok hendak pergi meninggalkan pulau,"

   Tiba-tiba Lulu, yang kini telah menjadi seorang nenek berusia hampir enam puluh tahun itu, namun masih memiliki raut wajah yang cantik, berkata penuh semangat. Memang wanita ini tidak pernah kehilangan semangatnya sejak dahulu sampai sekarang.

   "Kami harus pergi menyusul dan mencari anak-anak kita,"

   Puteri Nirahai menerangkan dengan tenang.

   "Kau harus ingat, suamiku, mereka berdua itu telah cukup umur, telah berusia dua puluh satu dan dua puluh tahun. Kami ingin melihat mereka itu menjadi suami dari isteri yang baik. Sudah tiba waktunya bagi kita untuk mempunyai mantu."

   "Hemmm...., bagaimana mungkin wanita-wanita yang sudah mulai lanjut usianya seperti kalian berdua ini hendak melakukan perjalanan yang demikian jauh dan berbahaya?"

   Pendekar Super Sakti berkata halus, penuh kekhawatiran.

   "Habis, kalau engkau yang menjadi ayahnya diam saja, terpaksa kami yang menjadi ibu mereka turun tangan. Mendiamkannya saja mereka pergi tanpa berita lebih lama lagi, kami bisa mati karena gelisah!"

   Lulu berkata. Suma Han menghela napas panjang, lalu meraih kembali mangkok nasinya.

   "Baiklah, nanti kita bicarakan hal itu, kalian tidak perlu mogok makan untuk itu, membahayakan kesehatan sendiri."

   Dua orang isterinya itu saling pandang, timbul harapan mereka bahwa sekali ini suami mereka akan menaruh perhatian, maka mereka pun lalu mengisi mangkok dengan nasi dan makan bersama suaminya. Mereka makan tanpa berkata-kata, seperti biasa kalau mereka makan, dengan mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada apa yang mereka lakukan saat itu.

   Setelah selesai makan dan dua orang isterinya menyingkirkan mangkok piring, Pendekar Super Sakti duduk termenung. Sudah lama dia tinggal bertiga saja bersama dua orang isterinya sejak dua orang puteranya pergi, enam tahun yang lalu. Semua anak buah atau pelayan dan pembantu di Pulau Es, telah dia suruh pulang ke tempat asal masing-masing meninggalkan Pulau Es, sehingga dia tinggal bertiga saja dengan dua orang isterinya. Dia telah membagi-bagikan sebagian harta kepada para anak buah itu yang dengan hati berat meninggalkan Pulau Es karena mereka maklum bahwa pendekar sakti itu dalam usia tuanya ingin hidup mengasingkan diri di tempat sunyi itu, tidak ingin mencampuri urusan dunia ramai lagi,

   Maka tidak membutuhkan bantuan para anak buah itu lagi. Akan tetapi kini, timbul urusan kedua orang puteranya sehingga mau tidak mau dia harus pula memikirkan. Beberapa kali pendekar itu menarik napas panjang. Betapa hidup ini selalu menjadi permainan keinginan. Sejak kecil sampai sudah setua dia masih juga belum dapat bebas dari keinginan-keinginan. Kalau pun sekarang, dalam usia tua dia sudah tidak menginginkan apa-apa untuk dirinya sendiri yang sudah tua, keinginan itu bukannya mati, melainkan meluas menjadi keinginan untuk melihat anak-anaknya berbahagia! Dan untuk memperjuangkan kebahagiaan anak-anaknya, maka dia maupun kedua orang isterinya mau melakukan apa saja! Hidup penuh dengan ikatan, sehingga tidak mungkin dapat bebas selama dirinya masih terikat,

   Terikat kepada keluarga, kepada harta benda, kepada kedudukan, kepada nama! Ah, dia tidak boleh membiarkan kedua orang isterinya itu pergi ke daratan besar. Kalau mereka pergi, tentu mereka akan menimbulkan onar, terutama sekali Lulu, dan tentu akan terjadi geger di dunia kang-ouw, dan belum tentu mereka berdua akan kembali ke Pulau Es! Tidak, dia tidak harus membiarkan mereka pergi, dia yang harus pergi sendiri! Betapa kebanyakan dari kita masih belum melihat betapa cinta kasih kita terhadap anak-anak kita adalah palsu belaka! Betapa sesungguhnya kita, secara halus dan tentu saja tidak akan ada yang mau mengakuinya, hanya ingin mempergunakan anak-anak kita sebagai jembatan atau perabot untuk memperoleh kesenangan bagi diri kita sendiri, yaitu melihat anak-anak kita taat, berbakti kepada kita,

   Kemudian kelak menjadi seorang yang terpandang di masyarakat, pendeknya menjadi seorang anak kita yang mengangkat tinggi nama kita! Menjadi seorang anak kita yang dapat kita banggakan, dapat kita sandari, dan dapat kita andalkan! Mulut kita mengatakan bahwa kita ingin membahagiakan anak, akan tetapi mata kita tidak ada yang melihat dengan waspada betapa kita telah membentuk anak-anak kita menjadi boneka sesuai dengan selera kita, membentuk kebahagiaan-kebahagiaan mereka yang sesuai dengan perumusan kita tentang kebahagiaan. Karena itu, karena kebodohan kita, karena ketamakan kita, maka kita sama sekali bukan membahagiakan mereka, melainkan sebaliknya kita melempar anak-anak kita ke dalam kehidupan yang penuh dengan konflik dan ke-sengsaraan tiada hentinya.

   Karena perumusan kita tentang bahagia adalah kaya raya, mulia, terhormat, terpandang, padahal semua ini tiada lain hanya mendatangkan iri hati dan konflik antara sesama manusia, dan konflik ini tak dapat tiada mendatangkan penderitaan batin. Kita hendak mengikat anak-anak kita dengan apa yang kita namakan cinta, padahal sesungguhnya hanyalah pamrih untuk memuaskan hati sendiri belaka. Kalau kita benar mencinta anak-anak kita, kiranya kita tidak akan membiarkan anak-anak kita bersaingan, bermusuhan, berebutan, dan terutama sekali tidak akan membiarkan anak-anak kita berperang! Saling bersaing, dalam sekolah, saling berebutan dalam mencari nafkah, saling bermusuhan dalam mencari kedudukan dan kemuliaan, kemudian saling membunuh dalam perang.

   Kita mengajarkan semua itu dan toh kita mengaku cinta kepada anak-anak kita! Kita lupa bahwa kalau kita mencinta anak-anak kita, selayaknya kalau kita memberi kebebasan kepada mereka, dengan pengamatan yang penuh perhatian, menunjukkan bahaya-bahaya agar mereka mengerti, menunjukkan kesesatan-kesesatan agar mereka tidak sampai memasukinya, dan menuntun mereka, bukan memaksa mereka melalui jalan tertentu, dengan penuh kasih sayang, bukan dengan cinta yang berpamrih memuaskan diri sendiri melalui anak-anak! Semalam suntuk Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya bercakap-cakap tentang kedua orang anak mereka.

   "Kian Lee dan Kian Bu bukan kanak-kanak lagi, mereka sudah dewasa, kata Pendekar Super Sakti antara lain kepada dua orang isterinya.

   "Dan mereka pun telah memiliki kepandaian cukup sehingga mereka tentu mampu menjaga diri sendiri. Tentang jodoh, kalian tentu mengerti bahwa mereka berhak untuk memilih calon jodoh mereka masing-masing sendiri, dan tidak baik kalau kita yang mencarikan jodoh untuk mereka."

   "Akan tetapi, lupakah kau bahwa Kian Bu sudah meninggalkan pulau ini selama enam tahun? Kalau tidak ada apa-apa dengan dia, tidak mungkin dia seolah-olah lupa kepada orang tuanya! Dan menurut penuturan Kian Lee ketika pulang, agaknya Kian Bu juga menderita kekecewaan dalam percintaannya. Ah, aku khawatir kalau-kalau terjadi apa-apa dengan dia."

   "Aku pun tidak akan memaksa dia berjodoh dengan orang yang tidak dicintanya,"

   Lulu juga membantah.

   "Akan tetapi, dia dan Kian Bu harus pulang dulu ke sini, baru kita bicara tentang perjodohan mereka. Kian Lee berjanji akan mencari dan mengajak pulang Kian Bu, akan tetapi mengapa sampai sekarang tidak ada kabar beritanya? Dan menurut penuturannya, di dunia ramai banyak bermuncullan tokoh-tokoh kaum sesat. Biarpun kedua orang anak kita itu sudah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka itu belum banyak pengalaman, tentu berbahaya kalau berhadapan dengan datuk-datuk sesat."

   "Baiklah, kalian jangan khawatir. Aku sendiri memang sudah mengambil keputusan untuk pergi menyusul mereka. Karena kita sekarang sudah tidak mempunyai pembantu lagi, maka aku akan pergi sendiri sambil melihat-lihat keadaan di dunia ramai. Aku akan membawa Tiauw-ko (Rajawali) yang sudah tua itu. Mudah-mudahan saja dia masih kuat menyeberangkan aku ke daratan besar."

   Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi sekali Pendekar Super Sakti telah memanggil burung rajawali yang sudah tua pula. Burung ini hanya satu-satunya burung rajawali yang masih berada di pulau itu, dan ketika burung tua itu meluncur turun dan hinggap di depan pendekar itu bersama kedua orang isterinya, Suma Han memandang kepada burung itu dengan terharu.

   "Tiauw-ko, maafkan aku. Sudah setua ini engkau masih harus membantuku menyeberang lautan. Membikin lelah engkau saja, Tiuaw-ko!"

   Katanya sambil menepuk-nepuk punggung burung itu yang mengeluarkan suara menguk-nguk seperti seekor anjing setia.

   "Hati-hati dalam perjalanan!"

   Kata Nirahai.
(Lanjut ke Jilid 43)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 43
"Dan jangan lama-lama, cepat ajak pulang Kian Lee dan Kian Bu,"

   Kata pula Lulu. Suma Han tersenyum, memandang kepada dua orang isterinya dengan penuh kasih sayang, diam-diam merasa kasihan meninggalkan dua orang isterinya itu berdua saja di atas pulau yang sunyi itu. Dia membiarkan dua orang isterinya memegang kedua tangannya, kemudian setelah meremas tangan mereka dengan jari-jari tangan yang masih menggetarkan kasih yang mendalam, Suma Han lalu melepaskan pegangan tangannya dan sekali dia menggerakkan kaki tunggalnya, tubuhnya sudah mencelat ke atas punggung burung rajawali.

   "Selamat tinggal, aku pergi takkan lama!"

   Katanya.

   "Tiauw-ko, mari kita berangkat."

   Burung itu lalu menggerakkan sepasang sayapnya dan terbanglah dia ke atas. Suma Han membalas lambaian tangan kedua orang isterinya itu dengan gerakan tongkatnya, dan sebentar saja dia sudah tidak lagi dapat melihat isterinya, hanya melihat pulau itu yang nampak kecil dari atas, keputih-putihan. Dari bawah, Lulu dan Nirahai hanya melihat titik hitam dari rajawali itu untuk kemudian lenyap ditelan awan. Setelah dibawa terbang di antara awan-awan di udara, Pendekar Super Sakti merasakan kegembiraan yang luar biasa dan bangkitlah semangatnya seperti pada puluhan tahun yang lalu! Teringatlah dia akan semua pengalamannya yang lalu dan terbayanglah di depan matanya wajah-wajah para tokoh dunia persilatan.

   Apakah mereka itu masih hidup? Dan apakah mereka itu pun seperti dia, mengasingkan diri dari dunia ramai? Ah, kalau para tokoh kaum sesat bermunculan, tentu kepergiannya sekali ini tidaklah begitu mudah untuk menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan. Dia sudah tidak bergairah untuk mempergunakan kepandaian melawan seorang dalam perkelahian, dia sudah bosan harus bertanding melawan orang lain. Akan tetapi, apakah dia mungkin dapat membiarkan kejahatan merajalela dan membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di depan matanya? Biarlah, dia tidak akan bergerak kalau tidak terpaksa. Biarkan pendekar-pendekar muda menggantikan tempatnya untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, pendekar-pendekar muda seperti dua orang puteranya itu.

   Pendekar Super Sakti tidak memaksa rajawalinya untuk terbang terus. Dia tahu bahwa rajawalinya itu telah tua, setua dia dan sudah banyak berkurang tenaganya. Di sendiri tidak tahu apakah tenaganya juga banyak berkurang karena selama ini dia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengukur tenaganya. Melihat rajawali itu terengah-engah, dia lalu menyuruh burung itu menukik turun dan beberapa kali dia dan burungnya beristirahat di sebuah pulau kosong. Akhirnya, sampai juga dia di pantai daratan besar. Setelah beristirahat lagi dan melewatkan malam itu di pantai yang sunyi, pada keesokan harinya Pendekar Super Sakti melanjutkan perjalanannya menunggang rajawali yang terbang tinggi menuju ke selatan. Pada suatu hari, ketika burung itu terbang rendah di atas sebuah hutan di luar pedusunan,

   Pendekar Super Sakti merasa tertarik sekali ketika dia melihat serombongan orang berbondong-bondong memasuki hutan itu. Melihat pakaian orang-orang itu, dia mengenal mereka sebagai penghuni dusun, petani-petani miskin. Akan tetapi para petani itu kelihatan marah-marah, membawa benda-benda tajam dan pisau, kapak, cangkul dan sebagainya, seperti sepasukan orang yang tak teratur sedang melakukan penyerbuan. Dia menepuk punggung rajawali yang menukik ke bawah, lalu dia meloncat jauh ke depan sehingga dia menghadang rombongan penduduk dusun itu. Ketika orang-orang dusun yang jumlahnya belasan orang itu melihat seorang kakek berkaki buntung memegang tongkat berdiri tegak dengan sikap tenang, mereka tertegun dan berhenti, akan tetapi mereka semua bersikap siap dengan senjata dipegang erat-erat.

   "Sahabat-sahabat sekalian hendak ke manakah? Apa yang terjadi maka kalian kelihatan begitu marah?"

   Tanya Suma Han dengan suara halus dan agak gemetar karena terharu. Baru sekarang semenjak bertahun-tahun lamanya dia bertemu dengan manusia lain kecuali dua orang isterinya, dan melihat betapa begitu bertemu dia sudah melihat manusia yang hendak bertempur agaknya, maka dia merasa kasihan dan terharu sekali. Betapa kehidupan manusia penuh dengan kekerasan, penuh permusuhan.

   "Siapakah engkau? Apakah engkau sahabat dari nenek siluman itu?"

   Tanya seorang di antara mereka, seorang laki-laki yang memegang tombak dan agaknya memimpin rombongan orang itu.

   "Nenek siluman yang mana? Aku tidak melihatnya dan tidak mengenalnya,"

   Kata Suma Han dengan heran.

   "Kalau begitu, Paman, jangan ikut-ikut. Kami akan mengeroyok dan membunuh nenek siluman bermuka tengkorak itu!"

   Kata pula si pemegang tombak.

   "Kami adalah penduduk dusun di sana, dan aku adalah kepala dusun. Kami hendak membunuh nenek siluman!"

   "Nanti dulu, sabarlah. Mana ada siluman di dunia ini, dan andaikata ada setan, masa dia keluar di siang hari? Sesungguh-nya, apakah yang telah terjadi?"

   Tanya Suma Han yang merasa bahwa tentu terjadi kesalahpahaman di sini sehingga dia khawatir kalau orang-orang dusun ini akan kesalahan membunuh orang. Melihat keadaan Pendekar Super Sakti yang aneh itu, kepala dusun dan orang-orangnya agaknya jerih juga. Kakek berkaki sebelah ini tidak mereka kenal, rambutnya putih panjang dan halus, wajahnya begitu berwibawa dan dari mana kakek ini datang? Karena jerih, kepala dusun lalu bercerita,

   "Seorang anak dusun kami sedang menggembala delapan ekor lembu di dalam hutan, lalu muncul nenek iblis itu yang menggunakan tangannya memukul pecah kepala seekor lembu. Penggembala itu marah-marah, akan tetapi apa yang dilakukan oleh nenek itu? Dia malah memukuli semua lembu sampai delapan ekor lembu itu tewas semua! Anak itu lalu lari ketakutan dan melapor kepada kami, maka kini kami hendak menyerbu ke dalam hutan dan menangkap atau membunuh nenek siluman itu."

   Diam-diam Pendekar Super Sakti terkejut. Seorang nenek dapat memukul pecah kepala lembu begitu saja? Mukanya seperti tengkorak? Tentu bukan orang sembarangan, dan kalau memang benar nenek itu demikian jahatnya, maka amatlah berbahaya bagi orang-orang dusun ini untuk menyerbunya.

   "Di manakah nenek itu?"

   Tanyanya.

   "Di tengah hutan ini!"

   Kepala dusun menuding ke depan.

   "Kalau begitu, harap kalian jangan tergesa-gesa, biarkan aku menemuinya lebih dulu. Kalau kalian tergesa-gesa, jangan-jangan kalian juga akan dibunuhnya seperti lembu-lembu itu!"

   Ucapan Suma Han ini membuat wajah mereka menjadi pucat, karena sebenarnya mereka memang sudah merasa ngeri dan jerih mendengar penuturan anak penggembala itu akan wajah si nenek yang amat mengerikan. Mereka tadi hanya berani karena semangat mereka dibakar oleh kepala dusun yang merasa marah. karena kehilangan lembu-lembunya. Dialah pemilik lembu-lembu itu. Kini melihat kakek berkaki sebelah itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan bantuan tongkatnya, mereka mengikuti dari belakang, akan tetapi agak jauh karena mereka juga curiga kepada kakek aneh ini di samping rasa takutnya terhadap nenek itu.

   Dan tak lama kemudian, Suma Han melihat seorang wanita yang duduk di atas sebuah batu sambil makan benda putih lunak yang masih berdarah. Tiba-tiba saja dia menjadi muak, karena dia dapat menduga bahwa yang dimakan oleh nenek itu tentulah otak lembu yang mentah! Otak yang mentah dan masih berdarah, diambil dari kepala seekor lembu. Dan muka nenek itu sungguh mengerikan! Bukan muka, melainkan kedok, kedok tengkorak aseli! Dan nenek itu kelihatan tenang-tenang saja, padahal nenek itu tentu tahu akan kedatangan banyak orang itu yang kini berhenti di tempat agak jauh, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh kengerian. Dengan sikap tenang, Suma Han melangkah dan menghampir tempat itu dan dari jauh dia sudah melihat bangkai delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk dan yang malang melintang di tempat itu,

   Satu di antaranya telah hancur kepalanya sehingga tidak kelihatan lagi, agaknya itulah yang diambil otaknya oleh nenek itu, sedangkan tujuh ekor yang lain juga mati dengan kepala pecah, sungguhpun belum hancur seperti yang seekor itu. Masih baik nenek ini tidak membunuh orang, pikir Suma Han. Tentu ada yang menyebabkan nenek ini marah-marah dan membunuh semua lembu itu, padahal andaikata dia membutuhkan otak lembu, tentu hanya seekor saja yang dibunuh, tidak semua. Kini Suma Han telah berdiri di depan nenek yang masih makan otak berdarah itu, hanya dalam jarak lima meter. Sudah tentu nenek itu dapat melihatnya, akan tetapi agaknya nenek itu tidak mempedulikannya dan sengaja pura-pura tidak melihat, masih enak-enak makan otak itu dengan mulut tengkoraknya yang amat lebar, di balik mana terdapat mulutnya sendiri yang kecil.

   Gigi-gigi di depan tengkorak itu kelihatan berlepotan darah dan otak, dan kem-bali Suma Han menjadi muak. Sudah terlalu lama dia tidak melihat kebuasan dan kejahatan manusia, hidup dengan tenang dan tenteram di Pulau Es, kini menyaksikan tingkah seorang aneh di dunia kang-ouw yang begini mengerikan dia menjadi muak. Suma Han menanti sampai nenek itu menghabiskan sisa otak yang dimakannya. Dia berdiri tanpa bergerak, bersandar kepada tongkatnya dan memandang dengan sinar lembut, diam-diam dia merasa kasihan mengapa ada seorang wanita yang mau hidup seperti itu, mukanya ditutup tengkorak aseli, seolah-olah hendak bersembunyi dari dunia, ataukah hendak memperingatkan dunia bahwa di balik wajah setiap orang manusia, apa pun kedudukannya, tiada lain hanyalah sebuah tengkorak yang mengerikan seperti itu?

   Apakah nenek ini hendak menyindirkan bahwa di akhir semua kehidupan yang beraneka ragam, yang mendatangkan segala macam peristiwa itu, tiada lain hanyalah ada maut yang menanti? Suma Han tidak dapat menafsirkan apa yang dimaksudkan oleh nenek itu dengan mengenakan kedok tengkorak aseli di depan mukanya. Dan tentang otak mentah yang dimakannya, dia tahu bahwa memang di dalam otak berdarah itu terkandung obat penguat bagi nenek tua ini. Kini wanita tua itu sudah selesai makan dan agaknya dia pun mulai memperhatikan Suma Han, buktinya mata di balik tengkorak itu berkilauan dan bergerak dari atas ke bawah, terutama sekali memperhatikan kaki yang buntung sebelah itu. Akan tetapi karena nenek itu tidak bicara atau bergerak, Suma Han lalu bertanya dengan suara halus,

   "Sobat, maafkan kalau aku mengganggumu. Akan tetapi mengapakah engkau membunuh delapan ekor lembu yang tidak bersalah apa-apa ini?"

   Terdengar suara mendengus di balik kedok itu, dan mata di balik kedok itu berputar liar seperti mata setan, kemudian terdengar suaranya nyaring melengking dengan mulut tengkorak bergerak-gerak aneh,

   "Kubunuh mereka agar anak itu melapor ke dusun, agar semua orang dusun datang ke sini!"

   Suma Han mengerutkan alisnya yang putih. Jawaban yang aneh!

   "Kalau mereka sudah datang ke sini?"

   Dia mendesak dengan suara masih halus.

   "Sialan! Mereka tidak datang ke sini, yang datang malah engkau ini kakek buntung menyebalkan! Kalau mereka datang, tentu dengan enak aku akan membunuh mereka semua, akan tetapi yang datang hanya engkau kakek buntung, dibunuh pun tidak ada harganya!"

   Diam-diam Suma Han terkejut juga. Kiranya nenek ini adalah seorang yang amat jahat! Demikian jahatnya sehingga bukan hanya membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi tidak membunuh si penggembala hanyalah dengan maksud untuk memancing datangnya semua orang dusun untuk dibunuhnya!

   "Sobat yang baik, apakah kesalahan semua orang dusun itu maka engkau hendak membunuh mereka?"

   "Huh, semua orang kalau bisa akan kubunuh! Peduli apa mereka bersalah atau tidak? Kau pun seharusnya dibunuh, akan tetapi terlalu enak bagimu kalau kau dibunuh. Engkau sudah tua bangka, kakimu buntung pula, dan wajahmu membayangkan penderitaan. Heh-heh, engkau tentu menderita sekali dan sisa hidupmu yang tinggal tidak berapa lama itu, biarlah kau lewatkan dalam siksaan dan penderitaan. Kalau dibunuh sekarang, sungguh terlalu enak bagimu!"

   Suma Han tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan orang sejahat ini! Dia teringat bahwa di dunianya kaum sesat terdapat Im-kan Ngo-ok, Si Lima Jahat dari Akhirat yang kabarnya mempunyai watak yang luar biasa jahatnya.

   "Hemmm, sobat baik, apa gunanya engkau sengaja melakukan kejahatan seperti itu? Apakah manfaatnya bagimu kalau kau membunuhi orang-orang yang tidak berdosa?"

   "Gunanya? Manfaatnya? Ha, tentu saja untuk mengisi kenyataan pada sebutan Ji-ok Kui-bin Nio-nio, ha-ha-ha!"

   Suma Han mengangguk-angguk. Kiranya nenek ini adalah orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ah, hebat juga kalau Im-kan Ngo-ok yang kabarnya sudah tidak pernah meninggalkan dunia mereka sendiri itu kini turun ke dunia ramai!

   "Hai, kau siapakah?"

   Tiba-tiba nenek itu berseru, seolah-olah baru terkejut melihat betapa kakek buntung itu sedikit pun tidak kelihatan jerih kepadanya.

   "Aku? Aku hanya seorang tua bangka buntung seperti katamu tadi, tidak ada apa-apanya yang patut diperhatikan!"

   Jawab Suma Han yang tidak ingin memperkenalkan diri, juga tidak ingin mencari perkara karena maksudnya pun bukan hendak memusuhi nenek ini melainkan hendak melindungi agar orang-orang dusun itu tidak sampai celaka. Kalau tadi dia tidak curiga dan para penghuni dusun itu sudah mendahuluinya tiba di sini, tentu mereka itu sudah menggeletak mati seperti bangkai-bangkai lembu itu!

   "Kalau buntung keduanya mungkin akan patut diperhatikan orang!"

   Tiba-tiba nenek itu berkata dan telunjuk kanannya menuding ke depan, ke arah kaki kanan Suma Han yang tidak buntung. Suma Han terkejut. Wanita ini benar-benar amat jahat sekali, begitu kejam dan ganas melebihi semua tokoh hitam yang pernah ditemuinya di waktu dia masih berkecimpung di dunia kang-ouw dahulu.

   "Cusss....!"

   Hawa yang dingin sekali menyambar ke arah kakinya dan tahulah pendekar ini bahwa wanita berkedok tengkorak itu telah menguasai ilmu pukulan luar biasa yang digerakkan dengan Im-kang, yang amat berbahaya karena hawa yang menyambar dari gerakan telunjuk itu bukan main dahsyatnya, seperti tusukan pedang saja. Dan memang Ji-ok telah mengeluarkan ilmunya yang hebat, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang) untuk membikin buntung kaki yang tinggal satu itu! Tentu saja setelah dia sendiri diserang, Suma Han tidak dapat lagi menyembunyikan kepandaiannya, karena dia harus membela diri. Tangan kirinya yang memegang tongkatnya itu bergerak cepat dan dia telah menudingkan tongkatnya ke depan, ke arah telunjuk Ji-ok yang menuding ke arah kakinya itu.

   "Wirrrrr....!" Ji-ok mengeluarkan jerit tertahan ketika sambaran hawa dari telunjuknya itu kembali dan membuat tangannya terasa tergetar hebat. Cepat dia menyimpan tenaganya, mengerahkan telunjuknya lagi dan kini menunjuk ke arah dada kakek buntung kakinya itu! Kembali Suma Han memapakinya dengan tongkat yang ditudingkan dan untuk kedua kalinya Ji-ok tergetar hebat, bahkan kini sampai mundur selangkah. Mata di balik kedok itu mengeluarkan sinar berapi. Baru dia percaya bahwa kakek buntung itu benar-benar telah mampu menangkis serangan Kiam-ci sampai dua kali, bahkan yang kedua kalinya membuat dia terdorong ke belakang!

   "Siapakah engkau?"

   Bentaknya. Suma Han menarik napas panjang.

   "Seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung,"

   Jawabnya tenang.

   "Kau.... rambutmu putih, kaki kirimu buntung kau.... kau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es....?"

   Ji-ok berseru kaget bukan main.

   "Ha-ha-ha, Ji-moi, apakah kau tidak mengenalnya? Lihat rajawali di atas itu! Siapa lagi kalau bukan Pendekar Siluman yang datang bersama rajawalinya?"

   Suma Han kagum mendengar suara yang datang dibawa angin ini. Seorang yang amat lihai, pikirnya, akan tetapi dia tidak menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara, melainkan tetap memandang nenek berkedok itu karena dia tahu betapa bahayanya orang-orang seperti nenek ini yang suka bertindak curang. Dia tetap tenang dan waspada, tidak ingin mencari permusuhan, akan tetapi tentu saja dia pun harus menjaga diri terhadap datuk-datuk jahat seperti Im-kan Ngo-ok.

   Nama lima orang manusia iblis itu sudah amat terkenal dan agaknya kalau ada yang satu, tentu ada pula yang lain. Buktinya, suara tadi tentulah suara Twa-ok, yaitu Si Jahat Pertama, dapat dikenal dari cara dia memanggil nenek itu dengan Ji-moi (adik ke Dua). Siapa lagi yang menyebut nenek itu adik ke dua kalau bukan Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok? Tegang juga rasa hati Suma Han. Orang ke dua saja sudah memiliki pukulan sakti yang dahsyat dari jari telunjuknya tadi, apalagi orang yang pertama! Dugaannya memang benar, dan ketika ada angin berkesiur, muncullah kakek yang seperti gorilla atau monyet besar itu, dengan langkahnya yang kaku dan kedua lengannya tergantung di bawah lutut! Suma Han memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi juga penuh kewaspadaan.

   "Ji-moi, sudah lama aku ingin sekali melihat rajawali dari Pulau Es. Biar kupanggil dia ke sini!"

   Kata kakek bermuka orang utan itu dengan sikapnya yang lemah lembut dan suaranya yang halus. Kemudian dia mengangkat kedua tangannya ke atas, ke arah rajawali yang terbang berputaran di atas, pohon-pohon sambil mengeluarkan suara yang menggetar tinggi. Burung rajawali itu seperti kaget dan tiba-tiba terbangnya menjadi kacau. Melihat ini, Suma Han merasa khawatir akan keselamatan burungnya yang sudah tua itu, maka dia lalu mengeluarkan suara melengking halus, suara yang menjadi tanda bagi rajawalinya untuk terbang tinggi menjauhi tempat itu, kemudian dengan suara yang tenang dia berkata,

   "Sobat, apakah engkau hendak bermain-main dengan rajawali? Nah, dia sudah datang menyambarmu!"

   Twa-ok Su Lo Ti adalah seorang Jahat Nomor Satu, biarpun dia bersikap lembut dan bersuara halus, namun di dalam hatinya selalu terkandung keinginan untuk mencelakakan orang lain secara halus namun keji! Tadi begitu melihat Ji-ok berhadapan dengan Majikan Pulau Es, dia tidak langsung menghadapi pendekar yang amat terkenal itu, melainkan lebih dulu hendak meruntuhkan tunggangannya, yaitu burung rajawali.

   Biarpun dia tidak langsung memusuhi Pendekar Siluman, melainkan secara halus hendak mencelakai burungnya, namun jelas bahwa perbuatannya ini selain amat kejam, juga menunjukkan bahwa dia lebih dulu ingin mengganggu dan menyusahkan lawan sebelum berhadapan secara langsung! Ketika dia mendengar pendekar itu mengeluarkan suara melengking halus, dia merasa betapa jantungnya berdebar dan suaranya yang menggetar dan yang ditujukan ke arah burung rajawali di atas itu membuyar. Maka dia terkejut dan cepat menengok, memandang ke arah pendekar itu ketika mendengar pendekar itu bicara kepadanya. Dan pada saat itu, sehabis ucapan pendekar dari Pulau Es itu, dia mendengar suara sayap burung dan ketika dia memandang kembali ke depan, dia melihat seekor rajawali sudah terbang meluncur hendak menyambarnya!

   "Ha-ha-ha, burung yang baik, hendak terbang ke manakah engkau?"

   Katanya dan dia cepat menggerakkan kedua tangannya, di goyang-goyang di depan mukanya, dengan tubuh agak membongkok. Burung rajawali yang sedang terbang itu, tertahan terbangnya dan biarpun dia menggerak-gerakkan kedua sayapnya, mencakar-cakar dan memekik-mekik, namun burung itu tetap saja tidak mampu terbang pergi, seolah-olah kakinya terikat oleh tali yang tidak nampak!

   "Ha-ha-ha, burung yang baik, aku butuh beberapa lembar bulumu untuk kujadikan sapu. Hayo lepaskan beberapa ekor bulumu, burung rajawali yang baik!"

   Kakek bermuka gorilla itu menggerak-gerakkannya jari tangannya ke arah burung yang tidak mampu terbang pergi dan benar saja, beberapa lembar bulu panjang dari ekor dan sayapnya jatuh berguguran ke bawah. Pada saat itu, kepala dusun dan para penghuni dusun itu sudah maju dekat. Mereka tertarik sekali melihat betapa kakek tua yang buntung itu berhadapan dengan nenek iblis dan betapa kini muncul pula seorang kakek seperti gorilla. Saking tertariknya, mereka tidak ingat lagi bahwa nenek itu telah melakukan hal yang keji, dan mereka lupa akan takutnya. Tiba-tiba Ji-ok berseru,

   "Eh, Twako, apa yang kau lakukan itu? Lihat baik-baik, itu bukan rajawali! Engkau telah dipermainkan orang!"

   Mendengar ucapan Ji-ok ini, Twa-ok cepat menahan napas, mengerahkan sinkangnya dan mengeluarkan suara gerengan seperti monyet. Dia adalah seorang yang telah mempelajari ilmu sihir dan kebatinan, maka begitu dia mengerahkan kekuatan batinnya, kini matanya dapat melihat jelas dan ternyata burung rajawali yang dipermainkannya tadi bukan lain hanyalah sepotong ranting pohon dengan daun-daunnya, dan yang berguguran tadi adalah daun-daun dari ranting itu! Kiranya tadi Suma Han telah melemparkan sepotong ranting, dan menyulapnya menjadi rajawalinya yang kini telah terbang tinggi menurut perintah majikannya!

   "Hemmm....!"

   Kakek yang menjadi orang pertama dari Im-kan Ngo-ok mendengus dan begitu dia menghentikan kedua tangannya, ranting itu pun meluncur jatuh ke atas tanah. Tadi ranting itu ditahan oleh tenaga kedua tangannya yang mempermainkannya, dan andaikata burung rajawali yang tadi dipermainkan dengan hawa sakti kedua tangannya, tentu rajawali itu sudah tewas! Pada saat Twa-ok dan Ji-ok menoleh ke arah kakek buntung itu, mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu lenyap dari depan mereka Keduanya terkejut bukan main.

   Bagaimana mungkin seorang berkaki buntung sebelah dapat bergerak secepat itu? Seperti kilat menyambar saja! Dan memang hal ini tidak mengherankan kalau mereka mengetahui bahwa Pendekar Super Sakti memang telah mempergunakan kesaktiannya untuk menghadapi mereka. Ketika mereka berdua menoleh, ternyata kakek buntung itu telah berdiri di depan rombongan penghuni dusun, membelakangi orang-orang itu seperti hendak melindungi mereka. Melihat ini, Twa-ok cepat menjura dengan hormat ke arah Suma Han. Pendekar Super Sakti sudah siap dan waspada, karena dia harus melindungi semua orang ini. Akan tetapi ternyata kakek bermuka gorilla itu tidak melakukan penyerangan, dan hanya menjura dan mengangkat kedua tangan ke depan dada secara wajar.

   "Aih, sudah puluhan tahun kami mendengar nama besar Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es, dan ternyata nama besar itu bukanlah kosong belaka. Akan tetapi, setelah puluhan tahun tidak muncul di dunia kang-ouw, sekarang begitu muncul telah memamerkan permainan sulapnya yang sungguh mengagumkan, apakah kiranya tidak dipertunjukkan ke tempat yang keliru?"

   Dengan kata-kata yang halus ini, Twa-ok hendak mengejek permainan sihir tadi, sungguhpun dia telah terpedaya. Suma Han hanya memandang dengan sikap tenang dan sungguh-sungguh.

   "Aku pun telah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok dan sungguh beruntung sekali sekarang dapat berjumpa dengan Twa-ok dan Ji-ok, dua orang tertua dari Im-kan Ngo-ok yang memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi, sungguh mengherankan mengapa Twa-ok dan Ji-ok yang tersohor itu hanya seperti anak-anak kecil yang mempermainkan binatang-binatang yang tidak bersalah, membunuhi delapan ekor lembu dan hendak mencelakai burung rajawali?"

   "Wah, bukankah orang-orang tua itu hanyalah anak-anak kecil yang besar badannya?"

   Twa-ok menjura lagi. Akan tetapi sekali ini, tiba-tiba ketika dia mengangkat kedua tangannya, ada hawa pukulan yang dahsyat bukan main menyambar ke arah Suma Han! Sejak tadi memang Suma Han sudah bersiap sedia dan waspada selalu, maka kini dia telah mendahului, menggerakkan tangan kanannya mendorong ke depan, menyambut pukulan jarak jauh dari Twa-ok itu dengan iimu pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Pada saat itu, Ji-ok yang curang juga sudah cepat menudingkan telunjuknya, menggerakkan Ilmu Kiam-ci untuk menyerang ke arah kakek buntung itu.

   Tongkat di tangan kiri Suma Han diangkat dan menyambut serangan Ji-ok ini dan sekaligus Suma Han telah menyambut serangan kedua orang itu, telapak tangan kanannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang mendatangkan hawa panas sedangkan tongkat di tangan kirinya menyambar hawa Swat-im Sin-ciang yang amat dingin! Perlu diketahui bahwa dalam usia enam puluh tahun lebih itu, Suma Han telah memiliki tenaga sinkang yang sukar diukur lagi dalamnya, maka kedua ilmunya itu sudah mencapai tingkat yang hampir sempurna dan luar biasa kuatnya. Maka, sekaligus dia dapat membagi dirinya, menyam-but serangan Twa-ok dengan hawa sakti panas dan serangan Ji-ok dengan hawa sakti dingin. Orang pertama dan ke dua dari Im-kan Ngo-ok itu terkejut bukan main ketika mereka merasa betapa ada hawa yang panas sekali dan dingin sekali menyambut mereka.

   Dan ketika mereka berdua mengerahkan tenaga dan mendesak, secara tiba-tiba saja terdengar Suma Han mengeluarkan suara menggetar dari dalam dada dan mendadak Twa-ok agak menggigil dan Ji-ok berseru kaget. Kiranya, begitu mengeluarkan suara menggetar tadi, Pendekar Super Sakti telah mengubah hawa saktinya, kalau tadi yang kanan panas dan yang kiri dingin, kini berubah sama sekali, yang menghadapi Twa-ok berubah dingin dan yang melawan Ji-ok berubah panas. Kedua orang datuk kaum sesat itu terkejut dan cepat-cepat mereka melangkah mundur sambil menghentikan serangan mereka! Suma Han juga tidak mendesak dan menghentikan pula tenaga saktinya. Kemudian, Suma Han mengetukkan tongkatnya ke atas tanah. Batu yang terkena ketukan itu mengeluarkan bunyi keras dan nampak api berpijar saking kerasnya ujung tongkatnya menumbuk batu.

   "Twa-ok dan Ji-ok, dengarlah baik-baik. Aku sengaja meninggalkan pulau bukan sekali-kali untuk bermusuhan dengan siapapun juga, melainkan untuk mencari putera-puteraku dan mengajak mereka pulang. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku akan membiarkan orang-orang menghinaku atau mengganggu orang lain di depan mataku!"

   Ucapan itu halus, akan tetapi mengandung wibawa yang hebat dan gagah, dan dua orang tokoh Im-kan Ngo-ok itu terbelalak memandang ketika melihat betapa tubuh Suma Han perlahan-lahan berubah menjadi besar seperti raksasa! Akan tetapi mereka segera sadar bahwa Pendekar Siluman itu mempergunakan kekuatan batinnya,

   Maka cepat mereka menunduk, berkemak-kemik dan menguatkan batin, sehingga ketika mereka memandang lagi, tubuh pendekar itu sudah biasa lagi, hanya kelihatan berwibawa dan menimbulkan rasa jerih di dalam hati mereka. Twa-ok bukan seorang bodoh. Dia tadi bersama Ji-ok telah mengadu tenaga dan kalau terjadi pertandingan, belum tentu dia dan Ji-ok akan mampu menandingi Pendekar Super Sakti yang benar-benar amat lihai ini. Kalau saja tiga orang saudaranya yang lain berada di situ, tentu dia akan nekat menggunakan kekuatan untuk menyerang dan mengeroyok. Akan tetapi, tugasnya masih banyak dan dia menganggap belum tiba saatnya untuk mempertaruhkan keselamatannya mengadu nyawa dengan seorang tokoh besar seperti Majikan Pulau Es ini. Maka dia lalu tersenyum dan menjura lagi, pemberian hormat yang wajar.

   "Maaf, maaf, kalau belum mengadu tenaga belum saling mengenal kata orang!"

   Dia mengangguk-angguk.

   "Pendekar Super Sakti memang lihai sekali, kami berdua amat kagum. Akan tetapi kalau Taihiap bermaksud mencari puteramu Siluman Kecil, kurasa belum tentu dia akan mau pulang ke Pulau Es."

   Mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, Suma Han tertarik.

   "Siluman Kecil? Siapa yang kau maksudkan?"

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha-ha-ha, apakah Taihiap juga hendak merahasiakan keadaan puteramu yang penuh rahasia itu? Bukankah puteramu itu bernama Suma Kian Bu, biarpun usianya masih muda namun rambutnya sudah putih semua, di dunia kang-ouw dijuluki Siluman Kecil?"

   Suma Han hanya mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak tahu bahwa di dunia kang-ouw Suma Kian Bu dijuluki orang Siluman Kecil, dan tidak tahu pula bahwa rambut puteranya itu telah menjadi putih semua!

   "Dia tidak mungkin mau pulang setelah dia hidup penuh kesenangan bersama seorang dara cantik jelita...."

   Twa-ok sengaja menghentikan kata-katanya yang merupakan pancingan dan dia memperhatikan wajah pendekar itu. Akan tetapi dia belum mengenal baik siapa adanya Suma Han, seorang pendekar yang amat hebat kekuatan batinnya sehingga kalau dia hendak "membaca"

   Keadaan hati pendekar itu, dia kecelik. Tidak ada tanda apa-apa pada wajah yang berwibawa itu, kecuali sepasang matanya saja yang menyambar dan membuat seorang manusia iblis seperti Twa-ok Su Lo Ti sendiri sampai bergidik. Bukan mata manusia, pikirnya.

   "Kalau kau hendak memberi tahu, lanjutkanlah. Kalau tidak, aku pun tidak akan memaksakan keterangan apa pun darimu, Twa-ok."

   Wajah kakek bermuka gorilla itu menjadi merah karena malu.

   "Dia ke manapun berdua dengan Nona Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Agaknya mereka itu saling mencinta.... ha-ha-ha, begitulah orang muda."

   Mendengar ini, sesungguhnya hati Suma Han terkejut bukan main, terkejut, penasaran dan tidak senang, akan tetapi wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu sehingga Twa-ok tidak tahu apakah bidikannya itu mengenai sasaran ataukah tidak.

   "Twa-ok, mari kita coba lagi, aku masih penasaran. Tidak mungkin kita berdua kalah oleh kakek buntung!"

   Ji-ok berkata, akan tetapi Twa-ok meng-geleng kepalanya.

   "Ji-moi, engkau seperti seorang gadis bodoh saja. Kalau kau mau main-main dengan dia, nah, lakukanlah, akan tetapi aku tidak ikut campur. Dan engkau sudah membunuh delapan ekor lembu milik orang dusun. Sungguh lancang, Ji-moi, sungguh kasihan sekali orang-orang dusun itu."

   Kakek bermuka gorilla itu lalu menoleh kepada orang-orang kampung yang dikepalai oleh kepala dusun itu, lalu menjura sambil berkata.

   "Kami mohon maaf atas kelancangan kami dan bukan maksud kami hendak merugikan kalian yang sudah hidup serba kekurangan.

   "Oleh karena itu, biarlah kami mengganti harga delapan ekor lembu ini...."

   Kakek itu merogoh saku jubahnya yang lebar, lalu mengeluarkan beberapa potongan uang perak, dikepalnya uang itu lalu diletakkannya di atas batu dekat bangkai-bangkai lembu.

   "Dan daging-daging tembu ini kami berikan kepada kalian untuk dipakai berpesta."

   Dia lalu menghampiri bangkai-bangkai lembu itu dan menepuk-nepuk perut-perut lembu yang gemuk.

   "Lembu gemuk, daging lezat...."

   Katanya berkali-kali sampai semua lembu ditepuk-tepuknya. Kemudian dia berkata kepada Ji-ok,

   "Ji-moi, hayo kita pergi!"

   Tanpa pamit lagi kedua orang datuk kaum sesat itu berkelebat dan lenyap dari situ. Suma Han sejak tadi mengikuti gerak-gerik kakek muka gorilla itu, dan hatinya lega ketika dia tidak melihat kakek itu menyerang orang-orang dusun seperti yang telah dikhawatirkannya.

   Dia tadi sudah siap sedia untuk turun tangan melindungi orang-orang dusun itu apabila kakek muka gorilla dan nenek muka tengkorak itu menyerang mereka. Melihat kesudahan dari peristiwa itu, kepala dusun menjadi girang bukan main. Bukan saja lembu-lembunya diganti dengan uang perak yang dari jauh saja sudah nampak cukup banyak untuk pengganti harga lembu-lembunya, akan tetapi juga kakek dan nenek aneh yang semula disangka siluman jahat itu malah mengembalikan bangkai-bangkai lembu agar dagingnya dapat mereka makan! Dan daging delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk itu merupakan bahan makanan yang amat lezat dan banyak bagi orang-orang dusun yang mungkin hanya setahun sekali pernah menikmati daging lembu! Maka dia lalu berseru,

   "Saudara-saudara, kita telah kejatuhan rejeki, tak usah sungkan-sungkan, mari kita bagi-bagi daging lembu-lembu itu!"

   Para penduduk dusun itu bersorak girang dan kepala dusun itu pun sudah lari ke arah batu di mana Twa-ok tadi menaruh beberapa potong uang perak.

   "Jangan sentuh perak itu dan jangan dekati lembu-lembu itu!"

   Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang terkejut ketika melihat bahwa kakek berkaki buntung sebelah tadi kini sudah berdiri menghadang antara mereka denngan bangkai-bangkai lembu dan uang di atas batu itu. Tentu saja kepala dusun dan anak buahnya menjadi terkejut dan marah. Kiranya kakek buntung ini malah yang jahat! Nenek bermuka tengkorak yang mereka sangka siluman itu bersama temannya yang bermuka monyet, ternyata malah orang-orang yang amat baik, karena biarpun telah membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi selain lembu-lembu itu dibayarnya dengan cukup, juga daging lembu-lembu itu diberikan kepada orang dusun. Sebaliknya kakek berkaki buntung sebelah ini malah agaknya yang akan merampas atau merampok uang dan daging lembu itu!

   "Orang tua, apa maksudmu? Apakah kau hendak merampok semua itu?"

   Kepala dusun bertanya dan dia sudah memegang tombaknya erat-erat, sedangkan para penduduk dusun itu pun sudah mempersiapkan senjata mereka. Kalau tadi saja menghadapi siluman yang berwajah mengerikan mereka tidak takut, apalagi menghadapi kakek berkaki buntung sebelah ini! Tentu saja semua pertandingan adu tenaga sakti antara kakek buntung ini dan kedua orang kakek dan nenek yang menyeramkan tadi tidak ada seorang pun yang mengetahui, dan mereka hanya mengira bahwa kakek tua ini adalah seorang biasa saja. Ditegur seperti itu, Suma Han menarik napas panjang.

   "Ah, kalian tidak tahu akan bahaya yang mengancam nyawa kalian. Ketahuilah bahwa pada permukaan uang perak itu telah dilumuri racun dan sekali saja kalian menyentuhnya, kalian akan tewas. Dan bangkai-bangkai lembu itu pun telah mengandung racun."

   Semua orang terkejut akan tetapi tidak percaya.

   "Bohong.... bohong....! Dia ingin memiliki sendiri semua itu!"

   Terdengar mereka berteriak-teriak. Suma Han melihat ada beberapa ekor burung gagak terbang datang dan hinggap di atas cabang pohon yang berdekatan. Dia tahu bahwa burung-burung itu tertarik oleh bangkai-bangkai lembu, maka dia lalu berkata,

   "Kalian lihatlah sendiri!"

   Dia menggunakan tongkatnya mencokel daging di punggung seekor lembu, lalu melontarkan gumpalan daging itu ke arah gagak-gagak yang bertengger di cabang pohon. Tiga ekor burung gagak cepat menyambut daging itu dan memperebutkannya. Akan tetapi, begitu mereka menelan sedikit potongan daging, tiga ekor burung itu tiba-tiba berkaok nyaring lalu tubuh mereka terbanting ke atas tanah, berkelojotan dan mati! Semua orang terkejut bukan main! Ternyata tiga ekor burung gagak itu telah mati keracunan! Tubuh mereka kini menggigil ketakutan dan mereka memandang kepada Suma Han dengan muka pucat.

   "Daging lembu-lembu ini sudah tidak dapat dibersihkan lagi. Maka harap kalian cepat mengubur mereka di sini juga agar racun itu tidak menjalar ke mana-mana. Tentang uang perak itu, jangan khawatir, aku setua ini tidak lagi membutuhkan perak dan emas, dan aku akan mencoba untuk membersihkan racun yang berada di situ."

   Kini kepala dusun percaya penuh dan dia lalu mengerahkan orang-orangnya untuk menggali lubang besar, kemudian mereka menyeret kaki mayat lembu-lembu itu dan menguburnya di dalam lubang besar dan menutupnya dengan tanah. Sementara itu, Suma Han mengerahkan sinkang ke telapak kedua tangannya, lalu mengambil uang perak itu dan mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang. Kepala dusun itu melihat dengan mata terbelalak betapa dari uang perak itu mengepul uap hijau! Setelah "membakar"

   Racun yang melumuri perak itu sampai habis, barulah Suma Han meletakkan uang perak itu ke atas batu sambil berkata,

   "Sekarang kau boleh mengambil perak ini tanpa bahaya. Dan kuperingatkan kalian, kalau kalian melihat dua orang itu atau seorang di antara mereka, lebih baik kalian menyingkir dan sama sekali jangan mendekati mereka. Nah, aku pergi!"

   Melihat kakek itu melangkah pergi dibantu tongkatnya, kepala dusun dan anak buahnya segera berlutut dan kepala dusun itu berseru,

   "Harap Locianpwe sudi meninggalkan nama besar Locianpwe untuk kami ingat."

   Suma Han menoleh, menarik napas panjang ketika melihat mereka berlutut, dan berkata,

   "Aku hanya seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung."

   Setelah berkata demikian, dia melangkah terus, diikuti pandang mata para penduduk dusun itu dengan terbelalak sampai akhirnya kakek yang berjalan dengan agak terpincang itu lenyap dari pandang mata mereka. Seperti kita ketahui, Twa-ok dan Ji-ok itu sedang menjalankan tugas dan diperintahkan oleh Pangeran Nepal melalui koksu, yaitu untuk mencari Siluman Kecil dan Hwee Li, juga Puteri Syanti Dewi dari Bhutan. Mereka itu mencari-cari jejak tiga orang itu tanpa hasil sampai akhirnya tiba di dusun itu. Saking jengkelnya karena tidak juga berhasil menemukan tiga orang buronan itu, Ji-ok yang berwatak aneh dan keji itu mencari perkara dan hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya dengan membunuhi semua orang dusun di tempat itu! Dan andaikata tidak secara kebetul-an Suma Han lewat di situ,

   Sudah tentu seluruh penghuni dusun itu akan menjadi korban kekejaman wanita yang merupakan Si Jahat Nomor Dua dari Im-kan Ngo-ok itu. Suma Han telah memanggil burung rajawalinya dan kini dia melanjutkan penerbangannya untuk mencari putera-puteranya. Dia sudah tidak ingat lagi kepada dua orang jahat itu, akan tetapi ucapan Twa-ok tentang Pendekar Siluman Kecil benar-benar menggores di hatinya. Siluman Kecil! Kian Bu kini berjuluk Siluman Kecil? Hampir dia tertawa. Mengapa puteranya itu memakai julukan seperti itu? Dia sendiri, di luar kehendaknya, dijuluki orang-orang dari dunia sesat sebagai Pendekar Siluman, julukan yang sesungguhnya amat tidak disukainya. Akan tetapi kini puteranya malah berjuluk Siluman Kecil! Dan rambutnya sudah putih semua? Benarkah itu? Diam-diam hati pendekar sakti ini merasa tegang.

   Apa yapg telah menimpa diri puteranya yang nakal itu sehingga rambutnya menjadi putih semua dan berjuluk Siluman Kecil? Benar-benar pendekar yang sakti luar biasa ini merasa amat heran dan dia tertawa seorang diri mengingat kemungkinan akan kebenaran berita itu. Kalau benar, mengapa Kian Bu menuruni rambutnya yang putih? Dan lebih aneh pula, dia sendiri dijuluki orang Pendekar Siluman, kenapa justeru puteranya itu pun mempunyai julukan Siluman Kecil? Benar-benar luar biasa dan sama sekali tidak diduga-duganya. Akan tetapi ketika dia teringat berita yang mengatakan bahwa puteranya gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, alisnya yang sudah putih itu berkerut. Puteranya bermain gila dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka yang dia tahu bukan merupakan manusia baik itu? Hal ini sungguh tidak menyenangkan dan harus dicegah!

   Ketika Pendekar Super Sakti ini teringat akan berita tentang puteranya, maka dia pun membayangkan pula dua orang tokoh golongan sesat yang baru saja dijumpainya itu. Biarpun Suma Han adalah seorang pendekar yang sudah berpuluh-puluh tahun dan entah sudah berapa ribu kali berkecimpung di dunia kang-ouw dan bertemu dengan para datuk kaum sesat, namun teringat akan kekejaman Twa-ok dan Ji-ok, dia bergidik juga. Ji-ok si nenek iblis itu jelas adalah amat jahat dan kejam, akan tetapi Twa-ok yang licik itu ternyata lebih berbahaya dan lebih kejam pula. Biarpun jahat dan keji, Ji-ok tidak menyembunyikan kekejamannya, sebaliknya Twa-ok bersikap baik, lemah lembut dan ramah, akan tetapi diam-diam dia merencanakan untuk membunuh semua orang dusun itu secara amat mengerikan. Pada lahirnya, dia bersikap baik, memberikan daging semua lembu,

   Bahkan memberi uang pengganti, akan tetapi ternyata semua itu dijadikan jebakan untuk membunuh para penduduk dusun. Akan tetapi segera dia melupakan lagi wajah kedua orang datuk sesat itu dan kembali dia memikirkan putera-puteranya. Ke mana dia harus mencari Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee? Mencari mereka ke kota raja pun percuma, pikirnya. Kalau dulu, sudah pasti dua orang puteranya itu pergi ke kota raja atau kalau tidak berada di kota raja, agaknya dia akan dapat mencarinya dengan bertanya kepada puterinya, yaitu Puteri Milana yang dulu berada di kota raja. Akan tetapi, sekarang Milana tidak lagi berada di kota raja, dan sudah pergi meninggalkan kota raja bersama suaminya yang baru, Gak Bun Beng, dan dia sendiri tidak pernah tahu di mana adanya mereka itu. Tidak, dia tidak akan mencari ke kota raja.

   Dan sekarang dia sudah mempunyai pegangan, yaitu hendak mencari Pendekar Siluman Kecil yang tentu akan lebih mudah dicari daripada mencari Suma Kian Bu, karena tentu orang-orang kang-ouw lebih mengenal julukan itu daripada nama aselinya. Andaikata Pendekar Super Sakti tidak berpendapat demikian dan langsung pergi ke kota raja, tentu dia akan dapat berjumpa dengan puteranya itu karena ketika itu Milana telah memenuhi undangan dari Pangeran Mahkota Yung Cheng. Akan tetapi tentu saja pendekar itu tidak mengetahuinya. Kita tinggalkan dulu Pendekar Super Sakti yang melayang-layang di atas punggung burung rajawali itu, pertanda bahwa dunia persilatan tentu akan mengalami geger dengan munculnya kakek yang sakti ini dan kita tengok apa yang terjadi di kota raja pada waktu itu. Seorang pemuda tampan dan gagah memasuki kota raja dengan tergesa-gesa.

   Pakaian pemuda ini kelihatan kusut dan agak kotor berdebu, wajahnya juga muram dan penuh kekhawatiran, agak pucat dan dia nampak lelah sekali seperti orang yang melakukan perjalanan jauh dengan tergesa-gesa dan jarang berhenti mengaso. Ketika dia memasuki kota raja, dia kelihatan lega, akan tetapi kekhawatiran tidak pernah menghilang dari pandang matanya ketika dia memasuki sebuah rumah makan karena semenjak kemarin dia belum makan. Memang selama beberapa hari ini dia seperti lupa makan dan minum dan lupa tidur saking tegang dan khawatir hatinya. Masuknya pemuda ini ke rumah makan, tidak menarik perhatian banyak orang. Di kota raja memang banyak terdapat seorang muda seperti dia ini, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, gagah dan tampan, kelihatan terpelajar dengan gerak-gerik yang halus,

   Namun pakaiannya yang kusut dan kotor itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang di antara pemuda-pemuda terpelajar kota yang miskin. Akan tetapi, orang akan keliru kalau menyangka demikian. Tidak, pemuda ini sama sekali bukanlah pemuda miskin, bahkan dia seorang pemuda yang tadinya menjadi putera seorang yang berkedudukan tinggi sekali. Dan kenyataan ini agaknya tidak lepas dari pandang mata seorang tua berusia lima puluh tahun yang duduk di sudut rumah makan itu dan makan mi goreng dengan lahapnya. Ketika kakek ini melihat munculnya pemuda tampan itu, tiba-tiba saja dia menghentikan sepasang sumpitnya yang tadi dengan cekatan mengantar bakmi ke mulutnya, bahkan dia hampir tersedak dan cepat mendorong makanan yang menyesak di tenggorokannya itu dengan minuman.

   Semua ini dikerjakan dengan mata yang tidak pernah berkedip memandang kepada pemuda itu yang duduk menghadapi meja kosong dengan muka pucat dan memesan makanan kepada pelayan. Kemudian, kakek ini cepat membayar makanannya dan pergi meninggalkan rumah makan dengan tergesa-gesa. Pemuda itu sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi, dan setelah makanan yang dipesannya dihidangkan, dia makan dengan tenang dan lambat-lambat, cara makan seorang yang terpelajar dan yang selalu mengendalikan perasaannya. Akan tetapi, rasa lapar membuat dia makan dengan lahapnya, dan pada saat itu, yang menjadi perhatiannya hanyalah makanan di depannya, dan untuk sejenak itulah dia melupakan segala hal yang selama ini mengganggu hati dan pikirannya.

   Dia sama sekali tidak tahu betapa ketika dia sudah selesai makan, di luar rumah makan itu terdapat enam orang, yaitu kakek yang tadi makan bakmi bersama lima orang lain, berdiri di luar rumah makan dengan sikap mencurigakan dan jelas bahwa mereka itu sedang memperhatikan gerak-gerik pemuda itu. Agaknya enam orang itu memang menanti sampai pemuda itu selesai membayar harga makanan dan minuman, kemudian menarik napas lega karena perutnya tidak lapar lagi dan tenaganya agak pulih, pemuda itu lalu melangkah keluar rumah makan. Pada saat dia berada di luar rumah makan itulah dia terkejut ketika tiba-tiba enam orang yang tidak dikenalnya menghampirinya, membuat gerakan mengurung dan seorang di antara mereka, seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berkata lirih dengan nada suara mengancam,

   "Kao Kok Han, menyerahlah engkau dan ikut bersama kami!"

   Pemuda itu bukan lain adalah Kao Kok Han, putera bungsu dari Jenderal Kao Liang. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini bersama ayahnya dan kakaknya, Kao Kok Tiong, pergi menyelidiki ke sepanjang lembah Sungai Huang-ho untuk mencari jejak keluarga mereka yang diculik orang.

   Ketika Jenderal Kao Liang dihadang oleh utusan-utusan dari Pangeran Liong Bian Cu, yang dikepalai oleh Hoa-gu-ji tokoh Kui-Tiong-pang, untuk memaksa Jenderal Kao menyerahkan diri dengan memperlihatkan cincin Nyonya Kao Liang dan tusuk konde Nyonya Kao Kok Tiong, Jenderal Kao menyuruh putera bungsunya ini untuk cepat pergi ke kota raja dan mencari putera sulungnya, yaitu Si Naga Sakti Kao Kok Cu dan menyampaikan berita penangkapan atas dirinya itu. Jenderal Kao Liang bersama Kao Kok Tiong lalu dibawa pergi dan Kok Han sendiri dengan cepat lalu melarikan diri dan melakukan perjalanan jauh itu dengan hati risau. Saking khawatirnya karena melihat betapa, keluarganya yang terculik secara aneh masih belum diketahuinya nasibnya dan kini bahkan ayahnya dan kakaknya juga ditawan orang sedangkan dia belum dapat bertemu dengan kakak sulungnya,

   

Kisah Sepasang Rajawali Eps 56 Kisah Sepasang Rajawali Eps 60 Kisah Sepasang Rajawali Eps 25

Cari Blog Ini