Jodoh Rajawali 45
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 45
Pemuda ini sama sekali tidak teringat bahwa kembalinya ke kota raja sama artinya dengan kembali ke gua singa. Dia sekeluarga telah diusir dengan halus dari kota raja di mana diam-diam banyak terdapat musuh-musuh ayahnya, maka kini dia kembali ke kota raja, tentu saja banyak orang akan mengenalnya. Baru setelah enam orang itu menghadang dan hendak menangkapnya, Kok Han terkejut dan insyaf bahwa dia berada di tempat yang berbahaya! Teringatlah dia akan musuh-musuh ayahnya, maka dia dapat menduga bahwa enam orang ini tentulah utusan seorang di antara musuh-musuh ayahnya itu. Kok Han mewarisi ketabahan ayahnya, maka biarpun dia sudah dikepung, dia tidak menjadi gentar dan dengan sinar mata tajam dan suara tenang dia menghampiri mereka dan berkata,
"Siapakah kalian? Apa sebabnya kalian hendak menangkapku?"
"Tidak perlu banyak cakap, lebih baik engkau ikut bersama kami dengan tenang dan kau boleh bicara, dengan majikan kami,"
Kata seorang di antara mereka yang mukanya hitam dan sikapnya bengis sekali. Kok Han mengerutkan alisnya, sikapnya masih tenang.
"Siapakah majikan kalian? Dan bagaimana kalau aku tidak sudi menyerah?"
"Bocah sombong, kami akan menggunakan kekerasan dan engkau akan menyesal!"
Bentak si muka hitam sambil meraba gagang goloknya, sikapnya keren sekali. Kini Kok Han menjadi marah. Hatinya sedang tertekan kekhawatiran teringat akan keadaan keluarganya, dan juga sedang bingung karena dia tidak tahu ke mana harus mencari kakak sulungnya di dalam kota raja yang besar itu, dan kini dia diganggu orang. Apalagi karena dia tahu bahwa orang-orang ini adalah kaki tangan musuh-musuh ayahnya yang mungkin juga menjadi biang keladi malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya, maka pemuda ini menjadi marah bukan main. Mukanya yang pucat itu berubah merah dan dia menatap wajah enam orang itu dengan mata terbelalak.
"Penjahat-penjahat hina! Kami keluarga dari bekas Panglima Kao Liang tidak mengenal takut, apalagi terhadap kaki tangan segala macam pembesar durna yang memusuhi kami!"
Dia berseru dengan keras dan nyaring sehingga terdengar sampai jauh dan dengan gerakan cepat Kok Han sudah menerjang ke depan. Enam orang itu terkejut, lebih terkejut mendengar bentakan itu daripada menghadapi serangan pemuda itu, sehingga dua orang di antara mereka kena dipukul oleh Kok Han dan mereka terpelanting ke atas tanah. Empat orang yang lain sudah menubruk dan menyerang Kok Han yang melawan dengan nekat. Terjadilah perkelahian di depan rumah makan itu, mengejutkan semua orang dan biasa seperti setiap kali ada perkelahian, orang-orang hanya menjauhkan diri atau menonton saja. Tempat itu segera terkurung oleh banyak orang yang menonton.
Biarpun dua orang yang dipukulnya tadi kini sudah bangkit kembali dan dia dikeroyok oleh enam orang, namun Kok Han adalah seorang pemuda yang sejak kecil digembleng oleh ayahnya dan memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan baik. Maka kini dia mengamuk dan enam orang itulah yang sering menerima pukulan dan tendangan oleh pemuda ini sehingga jatuh bangun. Enam orang itu menerima perintah untuk menangkap Kok Han, maka mereka tadi tidak mempergunakan senjata. Akan tetapi ketika mereka mendapat kenyataan betapa lihainya pemuda itu, kini mereka mulai mencabut senjata masing-masing dan para penonton menjadi gempar dan cepat menjauhkan diri. Namun Kao Kok Han tidak menjadi gentar. Dia berdiri tegak di tengah-tengah, memandang kepada enam orang yang telah mengelilinginya dengan senjata pedang dan golok di tangan itu. Kok Han diam-diam meraba gagang pedangnya dan mengambil keputusan untuk membela diri sekuatnya.
"Tahan....!"
Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan enam orang itu berhenti bergerak, lalu menjura ke arah kakek berusia enam puluh tahun yang muncul di antara para penonton itu. Ketika Kok Han menoleh, wajahnya berubah pucat. Kakek itu adalah seorang panglima yang berpakaian preman dan dia mengenal benar Panglima Chang ini, seorang panglima tua yang menjadi musuh besar ayahnya karena ayahnya pernah membongkar praktek kecurangan dan korupsi dari Panglima Chang ini sehingga panglima ini pernah mengalami hukuman turun pangkat sampai beberapa tingkat! Dia maklum bahwa pencampurtanganan panglima yang tentu diam-diam amat membenci ayahnya itu merupakan hal yang tidak menguntungkan baginya. Dugaannya memang benar karena panglima itu lalu melangkah maju dan tertawa mengejek.
"Hemmm, kiranya bocah anak dari bekas jenderal pengkhianat! Eh, bocah she Kao, di mana adanya ayahmu yang khianat itu? Apakah engkau diutus untuk memata-matai kerajaan?"
Tentu saja Kok Han tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Saking marahnya dia sampai melupakan sopan santun lagi dan terhadap panglima tua ini dia mendamprat,
"Kakek tua bermulut busuk! Ayahku adalah seorang gagah sejati, bukan pengkhianat macammu!"
Memang inilah yang dikehendaki oleh Panglima Chang ini. Agar semua orang mendengar bahwa dia dimaki dan dihina oleh pemuda ini sehingga dia dapat turun tangan dengan ada alasannya. Maka dia lalu berkata keras,
"Ah, bocah sombong! Engkau berani menghina dan memaki aku, Panglima Chang? Biarpun aku berpakaian preman, akan tetapi aku masih mampu untuk menangkapmu. Ayahmu adalah seorang pengkhianat, kalau tidak mana mungkin dia sampai dihentikan dan diusir? Dan kau hendak memberontak pula dengan menghina seorang panglima?"
"Manusia she Chang yang hina! Siapa tidak mengenal kepalsuanmu?"
Kok Han kembali membentak, makin marah.
"Cu-wi sekalian mendengar betapa bocah ini menghinaku. Terpaksa aku harus menghajarmu!"
Setelah berkata demikian, kakek ini lalu bergerak maju, tangannya menyambar dan ujung lengan bajunya yang lebar itu telah menyerang ke depan dan menotok ke arah pundak Kok Han! Kao Kok Han maklum bahwa kakek ini tidak boleh disamakan dengan enam orang pengeroyoknya tadi. Kalau enam orang tadi hanya kaki tangan pembesar yang hanya mengandalkan kekasaran dan kekerasan belaka seperti tukang-tukang pukul bayaran, kakek ini adalah seorang panglima yang memiliki kepandaian tinggi. Maka begitu melihat tangan kakek itu bergerak dan ujung lengan bajunya menyerang ke arah pundaknya, dia cepat melangkah mundur mengelak. Akan tetapi, lengan baju yang luput sambarannya itu disusul oleh cengkeraman jari-jari tangan ke arah leher pemuda itu.
"Ehhh!"
Kok Han berseru kaget dan cepat dia membuang tubuh ke atas ke belakang dan pada saat itu, sambil tertawa kakek itu sudah menendang. Kok Han yang sedang membuang tubuh atas ke belakang itu tentu saja menjadi makin kaget, dia terpaksa menjatuhkan diri, akan tetapi gerakannya kurang cepat sehingga betisnya masih tersentuh ujung sepatu. Dia bergulingan dan meloncat bangun, betis kakinya terasa nyeri, akan tetapi Kok Han tidak peduli dan dia sudah mencabut pedangnya. Kakek itu memandang sambil tersenyum lebar.
"Bagus, kau malah membawa senjata untuk membunuh orang? Nah, majulah!"
Hati yang diliputi kedukaan dan ke-khawatiran mudah menjadi marah dan nekat. Melihat kakek yang menjadi musuh besar ayahnya, yang mengeluarkan kata-kata menghina ayahnya, dan kini menantangnya, biarpun dia maklum bahwa kakek ini lihai sekali, membuat Kok Han lupa diri dan dia menjadi marah bukan main. Orang yang marah lupa segala, lupa akan kesadaran dan yang ada hanyalah kebencian di dalam hatinya yang perlu dilampiaskan dengan ucapan atau tindakan kasar dan keras untuk menyakiti orang yang dibencinya. Sambil berseru keras, Kok Han menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi, Chang-ciangkun sudah siap dengan sebatang cambuk kulit berwarna hitam yang tadi dipakainya sebagai ikat pinggang.
"Tar-tar-tarrr....!"
Tiga kali ikat pinggang cambuk itu meledak dan pedang itu bukan saja sudah ditangkisnya, malah dua kali cambuk itu sudah mematuk dan Kok Han meloncat ke belakang sambil mengusap pangkal lengan kanannya yang berdarah dan juga pundaknya yang ber-darah. Bajunya di dua bagian itu telah robek berikut kulitnya! Bukan main lihainya permainan cambuk kakek itu! Panglima Chang tertawa bergelak. Girang bukan main hatinya. Sudah belasan tahun lamanya semenjak rahasianya dibongkar oleh Jenderal Kao sehingga dia tidak hanya mengalami penurunan pangkat, akan tetapi juga merasa dibikin malu dan terhina, telah menahan-nahan hatinya yang penuh dendam terhadap Jenderal Kao.
Akan tetapi karena jenderal itu amat lihai dan juga amat kuat kedudukannya, dia tidak dapat berbuat apa pun juga. Kini, dia memperoleh kesempatan, berhadapan dengan putera jenderal musuh besarnya itu, dan dia boleh menghajar anak ini sebagai pengganti Jenderal Kao seenaknya karena bukankah banyak saksinya betapa pemuda itu menghinanya? Mereka kini berhadapan sebagai dua orang yang bertanding karena mempertahankan kehormatan masing-masing! Dan dia tidak akan cepat-cepat membunuh putera Jenderal Kao ini, hendak dihajarnya sampai habis-habis kulitnya dengan cambuknya, barulah dia akan menangkapnya sebagai tuduhan mata-mata yang hendak memberontak! Kalau sudah begitu, puaslah dia dapat membalas dendam sakit hatinya terhadap Jenderal Kao Liang!
"Ha-ha-ha, bocah pelarian sombong! Bocah macam engkau ini berani melawan Chang-ciangkun? Ha-ha-ha, hayo kau berlutut minta-minta ampun dan bersumpah tujuh turunan tidak akan berani melawanku lagi, baru aku akan mengampunimu! Tar-tar-tarrr!"
Kok Han cepat memutar pedangnya, akan tetapi cambuk-an ke tiga mengenai lengan kanannya yang memegang pedang sehingga lengan itu berdarah. Akan tetapi dia tidak melepaskan pedangnya, apalagi harus berlutut minta ampun!
"Manusia hina, lebih baik seribu kali mampus daripada menyerah kepada seorang pembesar durna macam engkau!"
Dia memutar pedangnya dengan cepat dan menerjang lagi seperti seekor harimau terluka dan yang tidak mengenal bahaya lagi.
"Tar-tar-tar-suuuuuttttt....!"
Karena jari-jari tangannya yang memegang pedang kena dihajar cambuk, maka ketika ujung cambuk itu membelit pedang dan ditarik, Kok Han tidak dapat mempertahankan pedangnya lagi yang sudah terampas oleh kakek Chang. Kakek itu tertawa bergerak dan mengambil pedang itu, sekali dia menggerakkan kedua tangan terdengar bunyi nyaring dan pedang itu telah dapat dipatahkannya lalu dilempar ke atas tanah! Kok Han terkejut bukan main akan tetapi dia menjadi bertambah marah. Dengan nekat dia, menerjang maju lagi dengan tangan kosong, hanya untuk disambut oleh ujung cambuk yang melibat kedua kakinya dan ketika cambuk ditarik, pemuda itu tentu saja terguling ke atas tanah!
"Tar-tar-tarrr!"
Cambuk itu kini meledak-ledak di atas kepala Kok Han, mematuk-matuk dan menyengat-nyengat.
Kok Han hanya dapat menutupi dan melindungi kepala dan mukanya, akan tetapi tentu saja tidak lagi mampu mengelak dari sambaran cambuk yang bertubi-tubi itu sehingga pakaiannya menjadi robek-robek berikut kulit tubuhnya sehingga pakaiannya mulai berlepotan darah. Akan tetapi pemuda itu meloncat bangun lagi dan hendak menyerbu ke depan. Melihat kenekatan pemuda ini, diam-diam Panglima Chang terkejut juga. Akan tetapi hatinya sudah puas, sudah dapat mencambuki putera musuh besarnya itu di tengah jalan. Kini dia memutar cambuknya dan bermaksud untuk merobohkan pemuda itu dengan totokan ujung cambuknya, untuk diserahkan kepada enam orang tadi yang dia tahu adalah anak buah seorang jaksa yang juga menjadi musuh besar Jenderal Kao, dan tentu saja jaksa itu akan menuntut pemuda ini sebagai seorang pengkhianat atau pemberontak.
Akan tetapi, begitu dia meluncurkan ujung cambuknya ke arah jalan darah di leher pemuda itu untuk menotoknya, tiba-tiba cambuk itu terhenti di tengah udara. Dia membetot-betot, akan tetapi sia-sia belaka dan ketika dia melihat, ternyata ujung cambuknya itu telah dipegang oleh seorang wanita cantik yang tahu-tahu telah berdiri di sebelah belakangnya. Wanita itu paling banyak berusia dua puluh empat tahun, cantik jelita dengan sepasang mata yang amat tajam, akan tetapi rambutnya kusut dan wajahnya membayangkan kemuraman seolah-olah wanita muda secantik itu telah menderita tekanan batin yang hebat dan pada saat itu wanita ini kelihatan marah sekali sehingga sinar matanya seperti mengeluarkan api.
"Siapa kau? Perempuan lancang, hayo lepaskan cambukku, berani kau mencampuri urusan Panglima Chang?"
Bentaknya dan sekali lagi dia mencoba membetot cambuknya. Akan tetapi, tiba-tiba saja tangan kiri wanita itu bergerak ke depan, ke arah mukanya dan dua jari tangan yang kecil mungil menusuk ke arah kedua mata panglima itu dengan gerakan yang amat cepat dan sedemikian kuatnya sehingga sebelum jari tangan datang, lebih dulu ada angin menyambar ke muka panglima itu! Chang-ciangkun terkejut bukan main melihat serangan yang amat hebat ini karena kalau dia kurang cepat, tentu sepasang matanya akan menjadi buta! Maka dia lalu menggerakkan tangan kirinya untuk menangkis dan sekalian menangkap lengan tangan wanita itu.
"Plakkk!"
"Ahhh!"
Chang-ciangkun berseru kaget ketika tiba-tiba tangan yang menusuk matanya itu mengubah gerakan dan menampar ke arah tangan kanannya dan yang memegang gagang cambuk. Tangannya menjadi lumpuh rasanya dan ketika ujung cambuk ditarik oleh wanita itu, dia tidak mampu mempertahankan lagi. Cambuk itu telah dirampas!
"Jahanam busuk, berani kau mencambuki adik iparku? Mestinya engkau kubunuh untuk itu, akan tetapi biarlah kuambil dulu kedua telingamu!"
"Tar-tar-tarrr!"
Cambuk itu meledak-ledak di udara ketika diputar oleh wanita itu. Chang-ciangkun marah bukan main.
"Bangsat perempuan, engkau harus dihajar!"
Bentaknya dan dia sudah mencabut pedangnya. Akan tetapi, wanita cantik itu menggerakkan tangannya dan cambuk itu menyambar ke bawah seperti kilat cepatnya. Chang-ciangkun terkejut dan mencoba untuk menangkis dengan pedangnya, akan tetapi tangkisannya itu luput dan ujung dari cambuk itu masih terus meluncur ke bawah, ke arah telinga kirinya.
"Prattt! Aduhhhhh....!"
Chang-ciangkun menjerit dan menggunakan tangan kiri untuk mendekap telinganya. Daun telinganya yang kiri telah putus dan terlempar ke atas tanah, seperti dikerat dengan pisau tajam saja ketika disambar oleh ujung cambuk tadi!
"Dan sekarang telinga kananmu!"
Wanita itu membentak dan kembali cambuknya menyambar. Chang-ciangkun sudah terkejut dan ketakutan setengah mati. Tahulah dia bahwa wanita ini lihai bukan main, dan kini dia pun memutar pedangnya melindungi tubuhnya. Namun, seperti sinar kilat saja, ujung cambuk itu sudah mendesing-desing dan menyambar-nyambar, kemudian mencari jalan masuk melalui sinar pedang, menyambar ke arah telinga kanan.
"Prattt! Aughhhhh....!"
Chang-ciangkun menjerit dan melempar pedangnya untuk menggunakan tangan kanan mendekap pinggir kepala kanan yang sudah tidak berdaun telinga lagi itu. Darah bercucuran dari kedua tempat bekas sepasang daun telinga yang telah putus. Cambuk itu masih meledak-ledak di udara.
"Sekarang engkau mampus! Ataukah lebih dulu kusayat hidungmu?"
Wanita cantik itu mengancam dengan suara bengis. Mendengar ini Chang-ciangkun terisak dan kedua kakinya menggigil, lalu dia jatuh berlutut dan dengan suara setengah menangis dia minta-minta ampun! Takutnya bukan main karena dia maklum bahwa nyawanya berada di tangan wanita itu.
"Sudah, isteriku, jangan bunuh dia!"
Tiba-tiba terdengar suara halus dan Ceng Ceng, wanita itu, lalu
(Lanjut ke Jilid 44)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 44
menoleh. Ketika dia melihat Kao Kok Cu si Naga Sakti sudah berada di sebelahnya, dia menarik napas panjang dan membuang cambuknya.
"Twako....! Twaso....!"
Kok Han berseru dengan girang bukan main. Tadi ketika dia melihat twasonya (kakak ipar terbesar) datang menolongnya dan menghajar Chang-ciangkun, dia sudah merasa girang bukan main. Kini melihat munculnya kakaknya, tentu saja dia amat girang, melupakan penderitaannya dan dia lalu menghampiri sambil berseru girang memanggil mereka.
"Mari kita pergi dari tempat ini,"
Kata Kao Kok Cu dengan tenang dan tanpa mempedulikan lagi kepada Panglima Chang yang masih berlutut sambil menangis, dan para penonton yang memandang kepada mereka dengan mata terbelalak, tiga orang itu lalu meninggalkan tempat itu menuju ke rumah penginapan di mana Kao Kok Cu dan isterinya bermalam.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Si Naga Sakti Gurun Pasir ini bersama isterinya telah berhasil melapor kepada Pangeran Yung Hwa sehingga pangeran itu memanggil kakaknya, yaitu Pangeran Mahkota Yung Cheng yang berada di Kuil Siauw-lim-si. Akhirnya pangeran mahkota pulang ke kota raja dan berhasil mengundang datang Puteri Milana yang segera tiba di kota raja. Mendengar perkembangan ini, Kao Kok Cu dan isterinya merasa lega karena mereka merasa yakin bahwa dengan pimpinan Puteri Milana, tentu usaha kaum pemberontak akan dapat dihancurkan. Mereka mulai melakukan penyelidikan sendiri untuk mencari jejak hilangnya keluarga ayah mereka. Akan tetapi mereka belum juga berhasil dan pada hari itu, secara kebetulan sekali Ceng Ceng melihat Kok Han sedang dihajar oleh Panglima Chang.
Tentu saja Nyonya muda ini menjadi marah sekali dan hampir saja dibunuhnya panglima itu kalau saja suaminya tidak cepat datang mencegahnya. Akan tetapi hatinya sudah puas karena dia telah memberi hajaran keras, membuntungi kedua daun telinga pembesar yang sewenang-wenang itu. Setelah mereka tiba di rumah penginapan, Kok Cu lalu memeriksa luka-luka adiknya dan merasa lega bahwa luka-luka itu tidak berbahaya, hanya merupakan pecah-pecah pada kulit belaka dan dia cepat memberi obat kepada adiknya dan Kok Han lalu berganti pakaian. Semua ini dikerjakan sambil bercakap-cakap dan Kok Han menceritakan semua yang telah terjadi, betapa ayahnya dan kakaknya, Kok Tiong, ditawan oleh tokoh Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, juga bahwa keluarga Kao tentu juga ditawan di lembah.
"Hoa-gu-ji, tokoh Kui-liong-pang itu memperlihatkan cincin ibu dan hiasan rambut ji-soso (kakak ipar ke dua), maka ayah dan ji-ko tidak berani melawan dan bukti itu jelas menyatakan bahwa semua keluarga tentu ditawan di lembah."
Kao Kok Cu mengepal tinjunya.
"Mari kita serbu ke sana!"
Teriak Ceng Ceng tidak sabar lagi. Anak mereka diculik orang belum juga berhasil mereka temukan, sekarang keluarga suaminya semua ditawan orang! Nyonya muda ini benar-benar merasa berduka dan marah bukan main. Memang di waktu belum menikah dahulu, Ceng Ceng adalah seorang gadis yang berhati baja, keras dan ganas, apalagi dia pernah menjadi murid dari Ban-tok Mo-li (baca Kisah Sepasang Rajawali), maka begitu kini dilanda duka yang bertubi-tubi, kekerasan hatinya pun muncul kembali sehingga dia memberi hajaran yang ganas sekali kepada Chang-ciangkun tadi. Akan tetapi Kao Kok Cu yang biasa bersikap tenang dalam segala macam keadaan itu, biarpun hatinya juga terasa panas mendengar betapa ayahnya juga ditawan musuh, lalu berkata dengan nada suara halus dan tegas,
"Kita pergi menghadap Puteri Milana lebih dulu untuk melaporkan keadaan lembah yang mencurigakan itu. Aku mempunyai perasaan bahwa ditangkapnya ayah dan semua keluarga ini tentu ada hubungannya dengan usaha para pemberontak itu, entah apa kehendak mereka."
Maka pada hari itu juga, Kao Kok Cu, Kao Kok Han, dan Ceng Ceng pergi menghadap Panglima Puteri Milana yang ketika itu sedang membuat persiapan dengan bala tentaranya yang hendak di-pimpinnya untuk menghancurkan usaha para pemberontak. Girang sekali hati Puteri Milana ketika dia melihat siapa orangnya yang minta menghadap dia itu. Segera dia mengenal Ceng Ceng.
"Kau.. Ceng Ceng...?"
Seru puteri itu sambil melangkah maju dan memegang tangan wanita itu.
"Akan tetapi kenapa kau nampak muram seperti ini? Apa yang telah terjadi?"
Berjumpa dengan wanita agung yang masih menjadi bibi tirinya itu, dan melihat sikap yang ramah, hampir saja Ceng Ceng menitikkan air matanya. Akan tetapi dia segera teringat dengan siapa dia berhadapan. Puteri Milana adalah seorang wanita perkasa, puteri Pendekar Super Sakti, yang selain memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sekali, juga memiliki kepandaian ilmu perang yang hebat. Maka tidak patutlah kalau sampai dia menangis di depan wanita perkasa itu.
"Ah, dan engkau adalah Kao-taihiap yang dulu berjuluk Si Topeng Setan itu, bukan? Hebat, aku sudah lama mendengar julukanmu yang baru, yaitu Naga Sakti Gurun Pasir, Taihiap!"
Kata pula Milana sambil memandang wajah pria yang menimbulkan rasa kagum di hatinya itu.
"Paduka terlalu memuji,"
Kata Kao Kok Cu.
"Dia ini adalah adik saya, Kao Kok Han, dan dia datang membawa berita tentang keadaan lembah Huang-ho yang mencurigakan, maka kami mengambil keputusan untuk menghadap Paduka Puteri Milana untuk...."
"Ahhh, Kao Kok Cu! Bukankah engkau ini suami Ceng Ceng? Isterimu adalah keponakanku, maka engkau harus menyebut bibi kepadaku, jangan begitu merendah, membikin aku merasa tidak enak saja. Pula, aku sekarang bukan lagi puteri istana, melainkan tenaga bantuan dari luar yang diminta oleh Pangeran Mahkota Yung Ceng."
Melihat sikap yang terbuka dan ramah ini, diam-diam Kok Cu merasa kagum sekali dan dia bersama isterinya lalu bercerita tentang keadaan keluarga Jenderal Kao yang hilang diculik orang, juga tentang putera mereka yang juga lenyap diculik orang. Puteri Milana menarik napas panjang dan memotong,
"Aihhh, demikianlah memang kehidupan orang-orang gagah dan orang-orang ternama, di mana-mana mempunyai banyak musuh dan sewaktu-waktu tentu ada saja perbuatan musuh curang untuk mencelakai kita. Sungguh aneh sekali, siapa orangnya yang begitu berani menculik keluarga yang demikian banyaknya dari Jenderal Kao Liang? Dan menculik putera kalian dari Gurun Pasir! Sungguh berani mati sekali!"
"Bukan itu saja, Bibi,"
Kata Ceng Ceng.
"Bahkan adik Kok Han baru saja datang dan menceritakan bahwa ayah mertuaku dan adik Kok Tiong juga terpaksa pergi mengikuti musuh karena mereka membawa bukti bahwa keluarga Kao telah mereka tawan."
Lalu Kok Han menceritakan kembali pengalamannya kepada Milana yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah Kok Han selesai bercerita, Kok Cu berkata kepada Milana, suaranya sungguh-sungguh.
"Sebetulnya, urusan keluarga kami ini adalah urusan kami sendiri dan kami tidak akan berani mengganggu Bibi yang sudah cukup repot untuk menanggulangi para pemberontak dengan tugas Bibi yang mulia itu. Bahkan kami sendiri, mendengar akan adanya usaha pemberontakan, tanpa diminta tentu akan membantu Bibi sekuat tenaga, kalau saja tidak ada urusan pribadi yang cukup hebat ini. Akan tetapi, kami merasa bahwa ada pertalian antara diculiknya keluarga ayah dengan usaha pemberontak. Kalau memang para penculik itu hanya memusuhi ayah secara pribadi, mengapa mereka menawan semua keluarga, tidak membunuhnya? Juga mereka kini menawan ayah, tentu ada kehendak mereka yang tersembunyi, dan keadaan lembah itu sungguh mencurigakan. Karena itulah maka kami sengaja melapor kepada Bibi."
Milana mengangguk-angguk.
"Memang aku pun mempunyai kecurigaan demikian, Kok Cu. Setelah aku memimpin pasukan menggempur Ho-nan, tentu aku memimpin pasukan menyelidiki ke lembah itu."
"Terserah kepada kebijaksanaan Bibi Milana, akan tetapi kami tidak dapat membantu usaha mulia Bibi itu karena kami hendak lebih dulu menyelidiki ke lembah. Hanya adik saya Kok Han ini kiranya akan dapat menyumbangkan tenaganya, mewakili ayah untuk membantu Bibi menghadapi para pemberontak."
Kok Han yang memang sebetulnya telah diberi tahu oleh kakaknya, segera berkata dengan gagah,
"Semenjak muda ayah telah menghabiskan waktu dan te-naganya untuk membela negara, maka karena kini ayah tidak dapat membantu, biarlah saya mewakili ayah untuk membela negara, Bibi Milana. Harap bantuan saya yang tidak berharga ini dapat diterima."
Milana memandang kagum dan mengangguk-angguk.
"Keluarga Kao memang terkenal keluarga gagah perkasa dan setia kepada negara sampai turun-temurun, sayang sekali istana tidak sadar akan hal ini dan tenaga sehebat itu kini dihentikan dan dikeluarkan dari istana. Baiklah, Kao Kok Han, kau membantu kami."
Setelah meninggalkan Kok Han bersama Milana agar pemuda itu dapat membantu Milana menghadapi pemberontak, Kok Cu dan Ceng Ceng lalu meninggalkan kota raja, menuju ke lembah untuk melakukan penyelidikan lebih dulu.
Mereka sengaja meninggalkan Kok Han di kota raja bersama Milana, bukan hanya agar memberi kesempatan kepada adik itu untuk ikut membela negara menghancurkan pemberontak, akan tetapi juga karena mereka berdua akan lebih leluasa untuk melakukan penyelidikan berdua saja, mengingat bahwa tingkat kepandaian Kok Han belum dapat diandalkan untuk menghadapi lawan-lawan yang tangguh. Kok Han lalu ikut bersama Milana untuk menyusun dan menggembleng pasukan-pasukan yang akan dipimpin untuk menggempur para pemberontak dan putera bungsu dari Jenderal Kao ini oleh Milana diserahi pimpinan atas sebuah pasukan istimewa. Milana sengaja melaporkan tentang putera Jenderal Kao yang membantu ini dan pangeran mahkota menerima laporan dengan girang.
"Memang ayahanda kaisar lemah sekali, mendengarkan omongan dan bujukan pembesar-pembesar khianat sehingga Jenderal Kao yang gagah perkasa menjadi korban. Kalau saja tidak terjadi hal itu, kalau saja Jenderal Kao masih bertugas di sini, kiranya pemberontakan itu tidak akan sampai berlarut-larut dan sudah dihancurkannya sebelum menjadi kuat. Sekarang puteranya ikut mewakili ayahnya membantu, sungguh menggirangkan hatiku!"
Kata pangeran itu. Beberapa hari kemudian, Milana sudah siap dengan pasukannya dan ketika dia sudah bersiap-siap untuk memimpin pasukannya, secara tidak terduga-duga muncullah Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li!
"Enci Milana....!"
Begitu menghadap panglima wanita itu, Suma Kian Bu berseru dengan suara girang sekali karena dia memang sudah merasa amat rindu kepada kakaknya itu. Sejenak Milana tertegun, memandang kepada pemuda berambut putih panjang yang berdiri di depannya itu. Rambut itulah yang membuatnya tertegun dan ragu-ragu akan tetapi tiba-tiba dia meloncat turun dari kursinya, berlari menghampiri pemuda itu.
"Bu-te....! Kian Bu.... benar-benar engkaukah ini....?"
"Enci Milana....!"
Milana merangkul adiknya, mereka saling berangkulan menumpahkan rasa rindu masing-masing. Enci dan adik sekandung ini saling pandang dan di kedua mata Milana nampak air mata membasahi matanya.
"Kian Bu.... kau.... kenapakah kau? Rambutmu ini...."
Kian Bu tersenyum dan melangkah mundur setelah kakaknya melepaskan rangkulan.
"Enci, lupakah Enci bahwa rambut ayah juga putih semua!"
"Tapi.... tapi ayah...."
Milana sudah mendengar dari ibunya bahwa putihnya rambut ayahnya adalah karena penderitaan hati yang amat hebat selagi ayahnya masih muda, maka teringatlah dia akan keadaan adik kandungnya ini, tentang kegagalan cinta kasih adiknya itu dengan Puteri Syanti Dewi! Hatinya seperti ditusuk rasanya dan kembali dia melangkah maju dan merangkul leher adiknya sambil memejamkan mata agar jangan sampai air matanya keluar.
"Enci yang baik, apakah buruknya rambut putih?"
Kian Bu berkata untuk menghibur hati encinya, akan tetapi kata-kata itu bahkan dirasakan seperti menikam hati wanita perkasa itu.
"Aihhh, sungguh mengharukan sekali, Kian Bu. Pertemuan mengharukan antara enci yang mencinta dan adiknya...."
Mendengar suara wanita yang nyaring dan seperti mengejek ini, Milana cepat melepaskan rangkulannya dan memandang. Dia tadi memang melihat bahwa adiknya datang bersama seorang dara berpakaian hitam yang amat cantik,
Akan tetapi pertemuannya dengan adiknya itu membuat dia lupa kepada dara itu dan kini setelah dara itu mengeluarkan suara yang demikian mengejek, dia cepat memandang dengan alis berkerut, sinar matanya tajam menyambar dengan penuh selidik kepada dara yang berdiri dengan sikap tenang dan lagak yang angkuh itu. Memang Hwee Li, dara itu, marah sekali menyaksikan pertemuan antara enci dan adik yang demikian mengharukan dan mereka berdua itu seolah-olah sudah melupakan dia, seolah-olah dia tidak ada di situ! Maka dia sengaja mengeluarkan kata-kata mengejek tadi. Bagi Hwee Li, dia memang tidak mengenal apa artinya takut, apa artinya sopan santun. Biar di dalam istana sekalipun, di depan kaisar sekalipun, dia akan mengeluarkan apa pun yang berada dalam pikirannya melalui mulut tanpa sungkan-sungkan dan ragu-ragu lagi.
"Siapakah dia ini?"
Milana bertanya, Kian Bu yang juga mendengar ucapan Hwee Li tadi cepat-cepat memperkenalkan gadis itu kepada encinya.
"Enci, dia ini adalah Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo...."
"Ehhh....? Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka? Pantas! Dia puteri dari iblis jahat itu! Kenapa kau ajak dia ke sini, Bu-te?"
Milana menjadi merah mukanya dan matanya melotot memandang kepada Hwee Li, siap untuk menerjang dan menyerang gadis itu.
"Dia.... dia bukan musuh, Enci, bahkan dia telah beberapa kali menolongku, menolong Lee-ko. Dia adalah sahabat baikku, Enci, dan dia bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo, maksudku bukan anak kandungnya, hanya anak angkat...."
"Anak angkat pun bukan, bahkan tua bangka iblis itu adalah musuh besarku, pembunuh dari ibu kandungku!"
Hwee Li melanjutkan. Agar jangan menimbulkan salah sangka karena sikap Hwee Li yang kasar itu, Kian Bu cepat-cepat menceritakan semua hal mengenai Hwee Li kepada encinya, betapa dia pernah tertawan di dalam benteng dan diselamatkan oleh Hwee Li, kemudian dia menceritakan tentang keadaan di dalam benteng lembah. Dalam penuturan ini, Hwee Li yang mengetahui lebih banyak tentang lembah, juga menambah cerita Kian Bu dan setelah bercakap-cakap, Milana mendapat kenyataan betapa Hwee Li adalah seorang dara yang polos, jujur dan terbuka, juga pemberani dan tidak suka untuk berpalsu-palsu dengan sopan santun buatan.
Ketika mendengar keadaan di dalam benteng lembah, terkejutlah Milana. Betapa benteng itu dibangun oleh Jenderal Kao yang dipaksa karena seluruh keluarganya tertawan di situ, betapa putera Kao Kok Cu dan Ceng Ceng juga berada di situ. Malah Puteri Syanti Dewi juga tertawan di lembah dan mereka telah gagal dalam usaha mereka untuk menyelamatkan Syanti Dewi. Akan tetapi yang paling mengejutkan hati Milana adalah keadaan di lembah yang telah menjadi benteng amat kuat itu. Apalagi ketika dia mendengar bahwa Pangeran Liong Bian Cu, keturunan dari Pangeran Liong Khi Ong yang memberontak, kini mengumpulkan orang-orang sakti dan memaksa Jenderal Kao membentuk barisan amat kuat di benteng yang kuat pula itu, maklumlah dia bahwa keadaannya benar-benar amat gawat.
"Ah, sungguh celaka! Kiranya keturunan dua orang Pangeran Liong yang memberontak itu telah menimbulkan pemberontakan pula yong lebih berbahaya, Karena benteng itu didirikan di antara Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, maka keadaannya menjadi lebih berbahaya daripada pemberontakan kedua pangeran beberapa tahun yang lalu. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng juga baru saja datang melapor, maka sebaiknya kalian berdua juga cepat pergi menyusul mereka, membantu mereka yang menyelidiki lembah. Aku akan mengerahkan pasukan, lebih dulu menyerbu Ho-nan untuk menaklukkan Gubernur Ho-nan karena dari sanalah sumbernya tenaga bantuan kepada para pemberontak."
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kian Bu dan Hwee Li tidak lama tinggal di kota raja. Mereka lalu berangkat lagi untuk kembali ke lembah, untuk membantu Kok Cu dan Ceng Ceng karena mereka pun maklum bahwa tempat itu amat berbahaya, membutuhkan bantuan orang-orang sakti dan juga membutuhkan serbuan pasukan yang kuat untuk dapat menghancurkan pemberontakan-pemberontakan dan juga menyelamatkan semua orang yang tertawan di situ. Setelah dua orang muda itu pergi, Milana lalu mengirim utusan cepat-cepat memberitahukan kepada suaminya tentang keadaan yang berbahaya itu.
Dia menulis surat kepada suaminya, menceritakan semuanya dan mengharapkan suaminya untuk turun tangan pula membantu, agar suaminya langsung menuju ke lembah karena dia hendak memimpin pasukan menyerbu Propinsi Ho-nan lebih dulu. Pagi yang amat sunyi di tepi Sungai Huang-ho. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, isterinya, duduk di atas batu-batu besar yang memenuhi sepanjang tepi sungai itu. Batu-batu sebesar kerbau yang halus dan keputihan. Bagian tepi sungai ini sunyi sekali, karena jalan menuju ke situ tertutup oleh semak-semak belukar dan hutan-hutan yang lebat. Sudah lama juga, tidak kurang dari satu pekan lamanya, suami isteri itu berada di tepi Sungai Huang-ho. Dari tempat yang mereka pergunakan sebagai tempat meiewatkan malam ini dapat nampak tembok benteng lembah yang kokoh kuat. Mereka berdua bercakap-cakap. Semenjak terjadinya peristiwa penyerbuan,
Kini tembok benteng itu oleh Pangeran Liong Bian Cu diperkuat penjagaannya, tidak hanya penjagaan di setiap pintu gerbang dan perondaan di sepanjang tembok benteng, akan tetapi juga di atas tembok dipasangi alat-alat rahasia, jebakan-jebakan dan juga banyak disembunyikan pasukan-pasukan panah dan orang-orang pandai untuk mencegah masuknya mata-mata musuh. Suami isteri ini telah menyelidiki selama beberapa hari dan mendapat kenyataan bahwa tempat itu memang kokoh kuat, dan juga penuh dengan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Ceng Ceng sudah tidak sabar menanti lebih lama lagi. Suaminya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan dia sendiri pun tidak akan mudah dikalahkan orang. Mengapa suaminya belum juga mau menyerbu masuk, padahal keluarga suaminya semua berada di dalam benteng itu?
"Kalau menyelinap secara diam-diam tidak mungkin, marilah kita serbu saja dari pintu gerbang. Apa sih sukarnya merobohkan puluhan orang penjaga di sana? Kalau kita sudah berada di dalam, kita akan bertindak melihat suasana dan keadaan. Kalau mereka mau diajak bicara baik-baik, kita tuntut dibebaskannya seluruh keluarga, kalau mereka berkeras, kita turun tangan saja mengamuk!"
Ceng Ceng berkata sambil duduk di atas batu dan matanya yang tadi melamun memandang ke arah tembok benteng, kini memandang suaminya dengan alis berkerut. Dia sudah tidak sabar lagi untuk lebih lama menanti. Kok Cu menggeleng kepalanya.
"Isteriku, dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana keselamatan semua keluarga terancam, amatlah tidak bijaksana kalau kita menggunakan kekerasan begitu saja. Memang tentu mudah bagi kita untuk menyerbu masuk, akan tetapi kalau tempat itu penuh dengan pasukan musuh, dan banyak pula terjaga oleh orang-orang pandai, bagaimana kita akan dapat membebaskan semua keluarga ayah itu? Sebelum kita bergerak, kalau mereka itu mengancam keselamatan keluarga ayah, apa yang dapat kita lakukan? Harap kau bersabar. Kita menanti kesempatan baik, kalau ada di antara anggauta pasukan yang keluar dan dapat kita tangkap, kita akan dapat memaksanya menceritakan semua keadaan sehingga kita dapat me-lakukan tindakan tepat."
Ceng Ceng hendak membantah, akan tetapi suaminya memberi isyarat dengan matanya dan ketika Ceng Ceng mencurahkan perhatian, dia pun mendengar suara yang mencurigakan di sebelah belakang, dari dalam hutan kecil yang lebat itu. Suami isteri ini masih duduk dengan tenang, akan tetapi waspada dan semua syaraf di tubuh mereka menegang. Ke-duanya makin yakin bahwa penjagaan di sekitar tembok benteng itu memang amat kuat dan cermat sehingga agaknya kehadiran mereka telah diketahui oleh fihak musuh! Dugaan mereka ini ternyata benar segera terdengar suara sebelum orangnya nampak.
"Ha-ha-ha, Ngo-te, sungguh akhir-akhir ini Sam-ko menjadi penakut sekali. Hanya dua orang laki-laki dan wanita muda di sini. Sepasukan orang saja cukup untuk menangkap mereka, mengapa mesti menyuruh kami? Ha-ha-ha, ini namanya menangkap dua ekor ikan teri menggunakan jala yang besar! Ha-ha-ha!"
Lalu terdengar suara ke dua, suara orang yang agaknya malas bicara,
"Su-ko, kuku ibu jari perempuan itu untukku!" "Ha-ha-ha, dia cantik juga, Ngo-te. Engkau memang beruntung hari ini!"
Ceng Ceng dan Kok Cu masih duduk ketika nampak dua bayangan berkelebat.
Mereka berdua terkejut. Melihat cara bayangan itu berkelebat sedemikian cepatnya, suami isteri ini maklum bahwa yang datang bukanlah orang-orang biasa, melainkan dua orang yang termasuk orang-orang yang berilmu tinggi sekali, bukan tokoh-tokoh kang-ouw umum saja yang mampu bergerak seperti itu. Maka suami isteri ini cepat bangkit berdiri dan memandang kepada dua orang itu dengan mata terheran-heran karena yang berdiri di depan mereka adalah dua orang yang amat aneh bentuk tubuhnya. Yang seorang amat jangkung sehingga Kao Kok Cu sendiri yang sudah termasuk seorang pria yang tinggi, agaknya hanya sampai di bawah pundak kakek jangkung itu! Dan yang seorang lagi, yang kepalanya gundul, berpakaian hwesio, adalah seorang yang amat gendut akan tetapi juga amat pendek,
Begitu pendeknya sehingga paling-paling sampai di dada Ceng Ceng tingginya. Benar-benar seorang tosu jangkung dan seorang hwesio pendek yang aneh, karena keadaan tubuh keduanya amat berlawanan, yang seorang tinggi kurus dan yang ke dua gendut pendek. Sebaliknya, Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su sama sekali tidak mengenal suami isteri itu, karena biarpun namanya terkenal di seluruh dunia persilatan sebagai seorang tokoh sakti seperti dalam dongeng, namun Kok Cu dan isterinya jarang sekali meninggalkan Istana Gurun Pasir. Ketika melihat betapa cantiknya Ceng Ceng, seketika kumatlah penyakit Ngo-ok Toat-beng Sian-su dan dia sudah memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh nafsu, terutama memandang kepada ibu jari tangan Ceng Ceng dengan kukunya yang mengkilap dan terpelihara baik-baik itu.
"Su-ko, aku tidak tahan lagi. Kau lihatlah pertunjukan yang menarik!"
Kata si jangkung dengan suara serak. Yang dimaksudkan dengan pertunjukan menarik adalah betapa dia dengan cara sadis memperkosa wanita di depan Su-ok, kemudian mencabut kuku ibu jari wanita yang telah diperkosanya lalu dibunuhnya.
"Heh-heh-heh, senang sekali, aku suka menonton. Kau juga, lengan buntung?"
Tanya si gendut pendek kepada Kok Cu. Senang karena dia melihat si lengan buntung ini akan dipaksa menyaksikan isterinya diperkosa sampai mati secara kejam sekali oleh si jangkung. Akan tetapi Kok Cu diam saja, wajahnya yang tampan sama sekali tidak memperlihatkan apa-apa,
juga Ceng Ceng hanya berdiri memandang si jangkung hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kilat dan diam-diam Ceng Ceng sudah mengerahkan tenaganya yang mujijat dan kedua tangannya yang berkulit putih halus itu tanpa diketahui orang kini telah berubah menjadi dua tangan maut yang mengandung Ilmu Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun)! Tiba-tiba si jangkung melangkah maju dan Kok Cu berbisik kepada isterinya.
"Berhati-hatilah."
Lalu suami ini malah menyingkir dari samping isterinya. Ceng Ceng berdiri dengan kedua kaki terpentang, sepasang matanya tidak pernah meninggalkan si jangkung yang memandang kepadanya dengan mata seperti terpejam. Setelah jarak di antara mereka tinggal kurang dari dua meter, si jangkung berhenti dan kedua mata sipit itu bergerak-gerak mengamati tubuh Ceng Ceng dari atas ke bawah,
Lalu dia mengangguk-angguk puas, dan begitu kakinya yang panjang melangkah dan tubuhnya bergerak, tahu-tahu ada dua lengan panjang sekali menyambar dari kanan kiri, menubruk ke arah kedua pundak Ceng Ceng! Ngo-ok yang jangkung itu tentu saja memandang rendah kepada Ceng Ceng dan mengira bahwa wanita cantik yang menjadi calon korbannya ini sekali tubruk saja tentu akan menyerah dan dapat dipeluknya. Akan tetapi sekali ini, Si Jahat Nomor Lima ini benar-benar kecelik sekali. Karena wanita cantik yang ditubruknya dengan menggunakan kedua lengan panjangnya itu sama sekali tidak mengelak atau meloncat mundur, bahkan Ceng Ceng melangkah maju dan kedua tangannya dihantamkan ke arah dada dan lambung Ngo-ok!
"Wuuuttttt....!"
Melihat pukulan yang mengeluarkan suara aneh dan nampak sinar menghitam dari tangan itu, Ngo-ok terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa pukulan itu adalah pukulan yang mengandung racun amat hebatnya. Tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat, maka tentu saja dia segera mengenal pukulan ini. Dia mengeluarkan suara teriakan serak dan tubuhnya ditarik ke belakang, terpaksa kedua tangannya ditarik pula untuk melindungi tubuhnya.
"Duk! Dukkk!"
Kedua lengan Ceng Ceng dapat ditangkisnya, akan tetapi akibatnya, tubuh si jangkung terlempar ke belakang dan kedua lengannya terasa panas sekali! Dan pada saat itu, Ceng Ceng sudah melangkah maju pula dan melancarkan pukulan-pukulan saktinya.
"Aaahhhhh....!"
Si jangkung kaget setengah mati dan cepat dia sudah berjungkir balik dengan kepala di bawah dan kaki di atas, tangan dan kakinya sibuk menangkisi pukulan-pukulan Ceng Ceng yang menjadi agak bingung juga melihat tubuh yang tiba-tiba membalik itu. Melihat ini, maklumlah Su-ok bahwa orang-orang muda yang disangka-nya lemah ini ternyata adalah orang-orang pandai. Mengertilah dia kini mengapa koksu telah memerintahkan dia dan Ngo-ok untuk menangkap dua orang ini. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia pun sudah meloncat ke depan Kok Cu, tubuhnya berjongkok dan karena tidak ingin mem-buang waktu untuk segera merobohkan laki-laki berlengan buntung kemudian membantu Ngo-ok, si pendek gendut ini begitu menyerang telah mempergunakan Ilmu Pukulan Katak Buduk yang amat lihai itu.
Angin pukulan dahsyat disertai bau amis menyambar ke arah Kok Cu. Akan tetapi pendekar sakti ini bersikap tenang saja. Ketika pukulan itu sudah datang dekat, tiba-tiba lengan kiri yang buntung, yang hanya tinggal lengan bajunya saja itu bergerak menyambar ke depan lalu bergoyang-goyang dan pukulan Katak Buduk itu membuyar! Dan tiba-tiba tangan kanan pendekar itu sudah menyelonong ke atas kepala Su-ok, mengancam hendak mencengkeram kepala yang botak itu! Su-ok terkejut, cepat melempar dirinya ke atas batu dan menggelundung, lalu meloncat dan menyerang lagi dengan pukulan Katak Buduk. Akan tetapi sekali ini, Kok Cu menerima pukulan itu dengan dorongan tangan kanannya. Pertemuan dua tenaga dahsyat itu hebat bukan main dan akibatnya, Su-ok terpental ke belakang dan dadanya terasa sesak!
"Tahan....!"
Katanya terengah.
"Apakah.... apakah Sicu ini SI Naga Sakti Gurun Pasir?"
Mendengar pertanyaan ini, Ngo-ok mengeluarkan seruan aneh dan dia pun cepat meloncat ke belakang sambil membalikkan tubuhnya lagi, memandang dengan kaget kepada laki-laki buntung lengan kirinya itu. Kok Cu mengangguk.
"Bukankah kalian ini Su-ok dan Ngo-ok dari Im-kan Ngo-ok? Hemmm.... jadi kalian inikah yang telah menculik keluarga ayahku?"
Di dalam suara itu terkandung ancaman hebat dan sepasang mata itu kini mencorong, membuat dua orang datuk kaum sesat itu diam-diam menjadi jerih sekali.
Su-ok lalu berkemak-kemik, mengerahkan tenaga khikang untuk menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit, yaitu mengirim suara dari jauh untuk memberi tahu kepada koksu. Juga Ngo-ok membantunya sehingga dua orang aneh itu hanya berdiri seperti patung, dan hanya bibir mereka yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara. Tentu saja Kok Cu tahu artinya ini dan dia hanya tersenyum mengejek karena dia tahu bahwa dua orang itu belum mahir benar dalam ilmu ini. Dugaan pendekar ini memang benar. Su-ok dan Ngo-ok demikian kaget dan gentar mendengar bahwa si lengan buntung ini adalah Naga Sakti Gurun Pasir, maka mereka tidak berani menyerang lagi dan segera mengirim berita kepada koksu melalui ilmu mengirim suara dari jauh. Tak lama kemudian, terdengarlah lapat-lapat suara koksu yang ditujukan kepada pendekar itu dan isterinya.
"Koksu Negara Nepal mengundang Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya untuk memasuki benteng lembah!"
Mendengar ini, Kao Kok Cu lalu mengangkat mukanya menghadap ke arah benteng, dadanya yang bidang itu mekar dan tiba-tiba terdengar suaranya, tidak keras akah tetapi suara itu mengandung getaran hebat dan suara itu dapat mencapai tempat jauh sekali,
"Kami datang memenuhi undangan Koksu Nepal!"
Su-ok dan Ngo-ok saling pandang dengan muka pucat. Cara Naga Sakti itu mengeluarkan suaranya saja sudah menunjukkan bahwa pendekar ini memiliki tenaga sinkang yang jauh lebih kuat daripada mereka. Orang yang sudah dapat berteriak seperti itu, menunjukkan kekuatan sinkang yang sukar diukur lagi berapa dalamnya! Untung bahwa mereka tadi tidak lancang terus menyerang karena keduanya maklum bahwa mereka bukanlah tandingan Si Naga Sakti dan isterinya ini.
"Heh-heh-heh, maafkan kami....heh-heh, kami tidak tahu bahwa Sicu adalah Si Naga Sakti dari Gurun Pasir. Heh-heh, koksu sudah mengundang Ji-wi, mari kita antarkan...."
Kata Su-ok yang pandai bicara dengan sikap ramah, sedangkan Ngo-ok hanya cemberut saja karena untuk ke sekian kalinya kembali dia gagal memperoleh seorang wanita yang telah membangkitkan birahinya!
"Kalian jalanlah lebih dulu"
Kata Kok Cu dengan sikap dingin. Dua orang kakek itu lalu berkelebat cepat. Mereka sengaja menggunakan ginkang mereka untuk bergerak cepat agar suami isteri itu tertinggal di belakang dan agar suami isteri itu minta kepada mereka jangan terlalu cepat. Akan tetapi ketika mereka menoleh, mereka melihat betapa suami isteri itu sudah berada dekat sekali di belakang mereka tanpa kelihatan mengerahkan tenaga sedikit pun juga, padahal mereka berdua sudah berusaha sekuat tenaga untuk meninggalkan mereka. Karena mereka berjalan dengan pengerahan tenaga ginkang, sebentar saja mereka telah tiba di pintu gerbang. Di sini, dua orang kakek itu berjalan dengan langkah biasa dan ketika melewati pintu gerbang yang terjaga oleh pasukan yang kuat,
Su-ok dan Ngo-ok mengangkat dada dan berjalan dengan lagak dua orang panglima yang menang perang atau dua orang yang telah berhasil "menawan"
Seorang pendekar sakti seperti Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya! Mereka lalu mempersilakan Kok Cu dan isterinya untuk berjalan di depan. Kok Cu dan Ceng Ceng juga tidak takut. Mereka melihat betapa tembok benteng itu tebal dan terjaga kuat dan diam-diam mereka terkejut menyaksikan betapa benteng itu berlapis-lapis dan luar biasa kuatnya. Memang tidak mudahlah bagi pasukan untuk menyerbu tempat ini, apalagi kalau penjagaan dilakukan sedemikian ketatnya. Juga nampak pasukan yang berjaga-jaga secara teratur sekali, ada pasukan tombak, pasukan golok, pasukan pedang dan pasukan panah.
Di atas tembok juga berjajar pasukan-pasukan yang siap menangkis setiap penyerbuan dan diam-diam Kok Cu menahan napas. Hebat memang penjagaan di benteng ini dan dia merasa lega bahwa pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang ahli seperti Puteri Milana. Biarpun demikian, dia masih menyangsikan apakah pasukan pemerintah akan dapat membobol benteng yang sedemikian kuatnya ini. Lalu dia terkejut dan mulai mengerti! Agaknya ayahnya yang berdiri di belakang semua ini! Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang mampu menciptakan benteng sekuat dan sehebat ini? Ah, tentu ayahnya dipaksa, dan karena keluarga ayahnya menjadi tawanan, maka ayahnya lalu menurut saja untuk menyelamatkan keluarganya! Benarkah dugaannya ini? Dia masih ragu-ragu.
Tak mungkin ayahnya mau membantu musuh, lebih baik mati, demikian tentu pendirian ayahnya. Suami isteri pendekar itu makin terkejut ketika mengenal orang-orang pandai di dalam benteng, di antaranya mereka melihat Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lokwi, tiga orang tua yang mereka duga tentulah Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok karena mereka pernah mendengar bagaimana rupanya Im-kan Ngo-ok. Masih banyak pula orang-orang yang kelihatan memiliki kepandaian tinggi akan tetapi yang tidak mereka kenal. Mereka semua itu dipimpin oleh Sam-ok yang berpakaian sebagai seorang pembesar, yang bertubuh raksasa berkepala botak, mengenakan mantel merah dan pakaiannya mewah. Inilah tentu Koksu Nepal, pikir Kok Cu sambil memandang penuh perhatian. Ketika melihat orang-orang yang bermacam-macam bentuknya itu menyambut, Kok Cu lalu bertanya,
"Apakah kami berhadapan dengan Koksu Nepal yang mengundang kami?"
Ban Hwa Sengjin, yaitu Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok, atau Koksu Negara Nepal, menjura dengan sikap hormat. Diam-diam dia merasa kagum bukan main kepada pendekar lengan buntung ini. Sejak tadi dia sudah memperhati-kan dan memang pria berlengan buntung sebelah ini patut menjadi seorang pendekar sakti. Dia masuk bersama isterinya dengan tangan kosong dan suami isteri itu melangkah dengan gagahnya, tenang dan sedikit pun tidak kelihatan gentar. Sikap ini bukan hanya mengagumkan hati Sam-ok, akan tetapi juga mencengangkan semua tokoh yang sebelumnya memang sudah gentar mendengar nama Naga Sakti Gurun Pasir itu.
"Selamat datang di benteng kami, Sicu,"
Kata koksu.
"Tidak salah perkiraan Sicu, saya adalah Koksu Nepal...."
"Hemmm, kalau begitu Sam-ok dan Im-kan Ngo-ok?"
Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya karena dia melihat betapa Im-kan Ngo-ok berdiri berjajar, di sebelah kanan koksu itu nampak nenek Ji-ok dan kakek Twa-ok, sedangkan Su-ok dan Ngo-ok berdiri di sebelah kiri koksu.
"Li-enghiong berpemandangan awas benar!"
Kata koksu memuji.
"Tidak salah, selain sebagai Koksu Nepal, saya juga menjadi Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok. Ji-wi melihat sendiri betapa kuatnya keadaan kami, dengan bantuan semua tokoh yang pandai dari dunia kang-ouw."
"Apa maksudmu mengundang kami?"
Kok Cu bertanya singkat dan tegas.
"Sicu, kami atas nama Pangeran Bharuhendra dari Nepal menyampaikan undangan kepada Sicu berdua, mengajak Sicu berdua untuk bekerja sama...."
"Hemmm, apa hubungannya Pangeran Nepal dengan kami? Mengapa pula pangeran dari Nepal membuat benteng di sini? Apakah Pangeran Nepal berhubungan dengan mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?"
Semua orang saling pandang. Pendekar ini bicaranya tegas dan terus terang, penuh keberanian dan keangkuhan. Akan tetapi koksu tersenyum.
"Sicu, hendaknya Sicu rnenyadari keadaan. Pangeran Bharuhendra adalah juga Pangeran Liong Bian Cu, putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong, yang hanya melanjutkan cita-cita besar ayahnya, yaitu menumbangkan kekuasaan sekarang yang lemah dan lalim untuk membentuk suatu pemerintahan yang kokoh kuat dan bijaksana. Banyak orang yang sudah membantu perjuangan ini...."
"Hanya pengkhianat-pengkhianat yang mau membantu pemberontakan!"
Cela Ceng Ceng.
"Kami tidak sudi bekerja sama dengan pemberontak!"
Sambung Kok Cu.
"Sicu, ingatlah. Apakah Sicu masih hendak bersetia kepada kaisar yang begitu sewenang-wenang, memecat dan mengusir seorang yang berjasa besar seperti ayah-mu, Jenderal Kao itu? Ingat, bahkan ayahmu pun kini sudah bekerja sama dengan kami. Lihat benteng ini, ayahmulah yang membangun! Lihat pasukan-pasukan itu. Ayahmulah yang membentuk dan melatih sehingga keadaan kami begini kuat."
"Tidak! Ayahku kalian paksa maka sudi melakukan semua ini!"
Bentak Kok Cu marah dan kini matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti sehingga semua orang menjadi gentar sekali.
"Dan pula, siapa percaya bahwa ayahku berada di sini membantu kalian?"
Dengan ucapan ini Kok Cu memang hendak melihat bukti bahwa ayahnya masih dalam keadaan selamat.
"Sicu agaknya belum percaya kepada kami? Lo-mo, harap kau panggil Jenderal Kao ke sini!"
Mendengar perintah ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan pergi. Jantung Kok Cu berdebar tegang. Tak lama kemudian Hek-tiauw Lo-mo datang kembali, dan bersama dia datang pula Jenderal Kao Liang. Kok Cu membalikkan tubuh dan memandang kepada ayahnya, sukar dibayangkan bagaimana perasaan hati pendekar sakti ini karena pada wajahnya yang tampan dan keras itu tidak terbayang sesuatu. Ceng Ceng juga memandang kepada ayah mertuanya dengan muka berubah agak pucat, akan tetapi juga wanita ini yang sudah pandai menguasai perasaannya, tidak berkata apa-apa.
Agaknya Jenderal Kao itu tidak diberi tahu oleh Hek-tiauw Lo-mo mengapa dia dipanggil. Tadinya dia berjalan dengan langkah tenang saja di samping Hek-tiauw Lo-mo menuju ke tempat itu. Akan tetapi begitu dia melihat puteranya itu, tiba-tiba langkahnya terhenti dan matanya terbelalak memandang ke arah wajah Kok Cu, wajahnya berubah pucat sekali dan tiba-tiba saja dia membalikkan tubuhnya, membelakangi puteranya itu untuk menyembunyikan air mata yang keluar dari sepasang matanya. Dia tidak mau dilihat puteranya mengeluarkan air mata, akan tetapi kakek ini tidak dapat menahan tangisnya ketika melihat puteranya karena berbagai perasaan mencengkeram hatinya. Ada rasa haru, duka, dan juga malu bahwa puteranya tentu telah melihat, mendengar betapa dia kini telah menghambakan diri kepada pemberontak!
Lalu dengan langkah perlahan dan kepala menunduk, Jenderal Kao pergi lagi meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi. Kok Cu mengerti dan merasa terharu sekali. Dia tahu betapa hancur hati ayahnya, dan dia tahu pula bahwa ayahnya melakukan hal itu karena terpaksa, karena tidak ingin melihat keluarganya ter-siksa atau terbunuh! Dia tahu bahwa tentu koksu itu, Orang Jahat Nomor Tiga dari Im-kan Ngo-ok yang dia tahu tentu tidak segan-segan melakukan apa saja yang paling keji sifatnya, untuk memaksa ayahnya dengan jalan mengancam para keluarga yang sudah tertawan di tempat itu. Maka setelah ayahnya pergi dan lenyap di tikungan, dia lalu membalik dan menghadapi lagi koksu dan para pembantunya dengan sinar mata penuh tantangan.
"Koksu, engkau telah berhasil mem-perdayai ayahku, memaksa ayahku untuk bekerja untukmu dengan ancaman keluarga ayah. Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat membujuk aku untuk membantu pekerjaanmu yang terkutuk ini!"
Katanya dengan suara tenang dan tegas dan di dalam suara itu saja koksu ini telah mengerti benar bahwa memang tidak mungkin dapat membujuk seorang yang berhati keras dan teguh seperti Naga Sakti Gurun Pasir itu.
"Apa pun yang kau tuduhkan, kenyataan adalah bahwa ayahmu, Jenderal Kao Liang, telah bekerja sama dengan kami,"
Kata Koksu Nepal.
"Oleh karena itu sekali lagi, kami harap agar engkau dan isterimu suka bekerja sama dengan kami, Sicu. Andaikata tidak secara suka rela, tentu engkau akan melakukannya dengan bijaksana, melihat keadaan yang tak mungkin dapat diubah lagi. Sicu dan Li-enghiong, kalian lihat siapakah yang di sana itu!"
Kisah Sepasang Rajawali Eps 10 Kisah Sepasang Rajawali Eps 2 Kisah Sepasang Rajawali Eps 23