Kisah Sepasang Rajawali 23
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 23
"Oughhhh....!"
Kembali dia mengeluh, tubuhnya gemetar, matanya dipaksa-paksa untuk dipejamkan, kedua tangan mengepal tinju dan belenggu di kaki tangannya berbunyi berkerincingan. Agaknya pemuda itu sedang menderita hebat, bahkan seperti terjadi pergulatan hebat di sebelah dalam dirinya. Ceng Ceng yang sudah meloncat bangun dan memandang penuh perhatian itu, memandang penuh selidik dan biarpun dia belum memeriksa langsung, memandang keadaan pemuda itu dia sudah dapat menduga dan berseru,
"Kau keracunan, racun yang membuat darahmu menjadi panas dan.... ehh.... haiii....!"
Ceng Ceng berteriak kaget karena tiba-tiba pemuda itu menubruknya!
"Gila kau....!"
Ceng Ceng membentak sambil mengelak ke kiri. Akan tetapi begitu tubrukannya luput, pemuda itu sudah dapat membalik dan menubruk lagi dengan gerakan yang bukan main cepatnya. Ceng Ceng kembali mengelak, akan tetapi dia kalah cepat maka dia membarengi dengan tangkisannya pada kedua lengan tangan yang hendak menangkapnya itu.
"Dukkk.... ihhhh....!"
Ceng Ceng terhuyung dan menjadi marah sekali. Dia telah mengerahkan sin-kangnya ketika menangkis tadi, namun dia masih saja terhuyung tanda bahwa pemuda itu selain memiliki gerakan cepat, juga memilik tenaga yang amat kuat!
"Keparat!"
Dia memaki, marah sekali. Orang yang telah ditolongnya dan dibebaskannya itu membalas dengan serangan. Dengan kemarahan memuncak, kini Ceng Ceng membalas dengan pukulan keras dan beruntun, cepat sekali kedua tangannya menyambar ke arah pelipis dan menurun ke lambung dari kanan kiri, dan selain cepat dan kuat, dia juga mengerahkan tenaga yang mengandung racun.
"Ouhhhh....!"
Kembali laki-laki itu mengeluarkan suara keluhan dalam, akan tetapi dengan sigapnya, biarpun kaki tangannya dibelenggu, dia dapat mengelak dan menangkis semua pukulan serangan Ceng Ceng. Dara itu makin terkejut karena dia memperoleh kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini hebat bukan main, biarpun dibelenggu kaki tangannya namun agaknya tidak kalah oleh Hek-tiauw Lo-mo! Ketika dia menerjang lagi dan kedua tangannya memukul dada dan perut, pemuda itu tidak mengelak sama sekali.
"Dukkk! Desss!"
Dada dan perut pemuda itu terkena pukulannya yang mengandung racun, akan tetapi ada hawa sin-kang kuat yang membuat kedua tangannya terpental kembali dan kedua lengannya seperti lumpuh seketika. Dan sebelum dia sempat bergerak lagi, tahu-tahu kaki pemuda itu telah menyambar kakinya sendiri dan sekali lagi Ceng Ceng roboh terguling!
"Keparat, kau sudah bosan hidup!"
Bentaknya sambil meloncat bangun dan dengan pedang Ban-tok-kiam di tangan dia menyerang lagi. Akan tetapi sebelum dia sempat menusuk, tiba-tiba pemuda itu sudah mendahuluinya, dengan gerakan aneh sekali kedua lengannya bergerak, rantai belenggu mengeluarkan bunyi berdencing nyaring menulikan telinga, lenyap bentuk rantainya dan berubah menjadi sinar hitam yang menyambar dahsyat didahului oleh angin pukulan yang amat kuat ke arah kepala Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng menjadi terkejut sekali melihat serangan maut yang amat dahsyat ini, secepatnya dia mengelak ke samping akan tetapi tiba-tiba lengan tangannya yang memegang pedang menjadi lemas, pedangnya terlepas dan jatuh ke lantai guha karena entah bagaimana caranya, pergelangan tangannya telah kena ditotok oleh jari tangan pemuda itu.
"Aihhh....!"
Ceng Ceng menjerit akan tetapi kembali sinar hitam rantai belenggu menyambar ke bagian tubuhnya. Dia membuat gerakan mengelak ke belakang, namun tiba-tiba dia sudah roboh tertotok dalam keadaan lemas dan telentang di atas lantai. Dan pemuda itu dengan mata mengeluarkan sinar mengerikan lalu menubruknya, memeluk dan menciumi mukanya. Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati Ceng Ceng, bercampur dengan rasa malu yang membuat dia hampir pingsan. Dia tidak mampu melawan lagi, tubuhnya sudah lemas dan menjadi lebih lemas dan gemetar saking tegangnya ketika dia merasa betapa hidung dan bibir yang amat panas itu, yang mendengus-denguskan napas yang memburu, merayapi seluruh mukanya.
Lehernya, telinganya, matanya, dahinya, hidungnya dan kemudian bibirnya diciumi oleh pemuda itu! Jerit tertahan mencekik leher Ceng Ceng. Selama hidupnya, belum pernah dia dicium pria, apalagi dicium bibirnya seperti itu, ciuman penuh nafsu yang seolah-olah membetot semangat dari tubuhnya! Dalam keadaan setengah pingsan Ceng Ceng memejamkan matanya ketika bibir yang panas itu mencium mulutnya, kemudian mendadak muka orang itu terangkat dan menjauh. Dia memaksa diri memicingkan mata dan melihat betapa pemuda itu berlutut, menutupi muka dan seperti orang menangis! Kemudian pemuda itu mendengus aneh dan meloncat berdiri, menurunkan kedua tangannya, memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh duka, lalu sekali meloncat dia lenyap berberkelebat ke luar guha!
Ceng Ceng mengeluarkan keluhan panjang dan air matanya bergerak menuruni kedua pipinya. Hatinya lega bukan main. Nyaris dia mengalami hal yang amat mengerikan dan yang hanya dapat dia bayangkan di dalam mimpi buruk saja. Ngeri dia membayangkan hal itu, dan kegelapan hatinya untuk sementara menghapus bayangan pengalaman tadi ketika dia diciumi oleh pemuda itu. Akan tetapi dia masih tidak berdaya, dia masih tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Dia tidak tahu apakah bahaya sudah tidak ada lagi. Baru saja dia terbebas dari bahaya yang leblh mengerikan daripada kematian, akan tetapi bagaimana kalau para pengejar, ketua lembah dan orang-orangnya secara tiba-tiba muncul di situ selagi dia masih belum mampu bergerak? Bagalmana kalau orang-orang lembah yang ganas dan kejam itu mengganggunya.
"Uhuuuhhh...."
Ceng Ceng terisak penuh rasa takut. Selama hidupnya baru tadi ketika dia dipeluk dan diciumi dia merasa ngeri dan ketakutan yang lebih hebat lagi. Sukar untuk membayangkan dia diganggu oleh orang-orang lembah. Lebih hebat daripada tadi!
"Keparat kau.... keparat kau....!"
Dia memaki-maki pemuda itu yang meninggalkan dia seperti itu. Dia telah menolong pemuda itu, kenapa pemuda itu berbalik memperlakukannya seperti itu? Dan kini meninggalkannya dalam keadaan tertotok dan sama sekali tidak berdaya?
"Hekkk....!"
Napas Ceng Ceng terhenti dan matanya memandang terbelalak ke luar guha. Tampak bayangan orang di luar guha, bayangan yang perlahan-lahan datang mendekat! Bayangan orang lembah? Makin dekat bayangan itu makin ngeri rasa hati Ceng Ceng. Dia berusaha mengerahkan sin-kangnya untuk membebaskan diri dari totokan, namun sia-sia belaka. Dia tidak berani bersuara bahkan napas pun ditahan agar jangan mengeluarkan bunyi. Akhirnya bayangan itu muncul di depan guha dan ternyata adalah pemuda tadi! Rambutnya awut-awutan, mukanya merah dan matanya kembali mengeluarkan sinar aneh yang berapi-api. Dengan langkah satu-satu pemuda itu menghampiri Ceng Ceng, langkah yang seolah-olah terjadi di luar kehendaknya.
"Jangan.... ah, jangan...."
Ceng Ceng merintih perlahan sambil memandang dengan muka penuh ketakutan. Pemuda itu kelihatan bingung, menjadi makin beringas dan sudah berlutut di dekat Ceng Ceng. Sampai hampir pecah rasa dada Ceng Ceng karena jantungnya berdebar keras penuh ketegangan. Pemuda itu menggerakkan tangannya sehingga rantai belenggu berdencingan, lalu jari-jari tangannya mengelus pipi Ceng Ceng. Dara ini mengeluh dan memejamkan matanya lagi, kemudian dikeraskan hatinya dan dia membuka mata lalu memaki.
"Keparat laknat! Apa yang akan kau lakukan? Tidak malukah engkau? Aku telah berusaha menolong-mu dan kau membalasnya dengan penghinaan seperti ini? Manusia macam apa engkau? Laki-laki macam apakah engkau ini?"
Kemarahan mengusir semua rasa takut dan ngeri dan kini Ceng Ceng memandang dengan mata bersinar-sinar. Pemuda itu seperti terpukul oleh dampratan itu, dia bangkit berdiri lagi, meragu dan tiba-tiba tangannya bergerak menampar kepalanya sendiri, lalu membalikkan tubuh dan terhuyung pergi ke pintu guha.
Hati Ceng Ceng menjadi lega. Tiba-tiba Ceng Ceng menjadi pucat. Sampai di pintu guha, pemuda itu berhenti, perlahan-lahan membalikkan tubuhnya, memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh gairah berahi, kemudian mengeluarkan suara keluhan dalam di kerongkongannya lalu.... meloncat seperti seekor harimau menerkam ke arah tubuh Ceng Ceng! Ceng Ceng menjerit akan tetapi mulutnya tersumbat ciuman dan ketika jari-jari tangan pemuda itu bekerja, Ceng Ceng merintih dan pingsan tidak ingat apa-apa lagi! Apa bedanya manusia dengan binatang kalau kesadarannya lenyap? Kesadaran lenyap menghilangkan pengertian, dan yang tinggal hanyalah kekerasan berdasarkan dorongan kebutuhan jasmaniah belaka, seperti binatang. Naluri yang ada hanyalah naluri kebutuhan badan.
Demikian pula dengan keadaan pemuda itu. Terpengaruh oleh racun yang amat hebat, yang bagi orang lain tentu mendatangkan akibat maut yang tak mungkin dapat dihindarkan lagi, pemuda ini kehilangan kesadarannya. Biarpun dia sudah berusaha melawannya dengan sedikit ingatan yang masih ada, namun hawa racun itu akhirnya menang, merampas seluruh kesadarannya dan membuat dia bertindak seperti binatang dan menurutkan dorongan kebutuhan jasmani yang pada saat itu dikuasai oleh nafsu berahi yang amat dahsyat sebagai akibat pengaruh racun yang memenuhi tubuhnya. Maka terjadilah hal yang tak mungkin dapat terelakkan lagi oleh Ceng Ceng dan tak mungkin dapat dipertahankan lagi oleh pemuda itu. Beberapa lama kemudian, tampak pemuda itu melangkah keluar dari guha, berkali-kali menampar kepalanya sendiri, dengan wajah muram namun tidak liar lagi, dan mulutnya mengeluarkan kata-kata berulang-ulang,
"Terkutuk....! Terkutuk....!"
Jauh lebih lama kemudian, Ceng Ceng mengeluh dan siuman.
Ternyata dia sudah dibebaskan dari totokan, tubuhnya terasa sakit-sakit dan ada sesuatu yang tidak wajar. Ceng Ceng teringat akan semua pengalamannya sebelum dia pingsan. Ingatan ini mengejutkan hatinya, apalagi, setelah dia melihat betapa pakaiannya terbuka dan terdapat noda darah di pahanya, tiba-tiba dia menjerit dan roboh pingsan lagi! Perlahan-lahan dara yang tertimpa malapetaka itu siuman, merintih dan menangis dengan sedih sekali. Dia mencengkerami tanah dan batu, memukul-mukul tanah dan menangis makin sedih. Makin dikenang, makin dibayangkan, makin sakit rasa hatinya karena dia kini sudah merasa yakin bahwa dia telah diperkosa oleh pemuda itu. Tiba-tiba dia meloncat berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang terbuka, kedua tangannya dikepal, lalu disambarnya pedang Ban-tok-kiam yang masih berada di lantai guha.
"Jahanam....! Keparat buruk....! Manusia laknat! Iblis keji, aku bersumpah akan membunuhmu! Aku akan menyiksamu, akan kusayat-sayat tubuhmu, kuhan-curkan kepalamu, kuremuk semua tulang di tubuhmu!"
Dia memaki-maki dengan air mata bercucuran, kemudian sambil menangis dia membetulkan pakaiannya dan lari keluar dari guha dengan pedang terhunus di tangannya. Timbul kebenciannya yang hebat kepada pemuda itu, kepada laki-laki pada khususnya, kepada manusia pada umumnya. Tanpa disadarinya, saat itu terjadilah perubahan hebat pada dirinya.
Di lubuk hatinya tumbuh perasaan benci yang amat berat, yang meracuni seluruh darahnya, yang mengakibatkan watak yang kejam di dalam dirinya. Peristiwa hebat yang mengguncangkan seluruh batinnya itu menambah dengan hebatnya perubahan yang memang mulai terjadi di dalam dirinya akibat ilmu tentang racun yang sifatnya kejam semenjak dia menjadi murid Ban-tok Mo-li. Dengan semangat berapi-api untuk mencari pemuda itu dan mengadu nyawa dengannya, Ceng Ceng kembali memasuki dusun yang menjadi sarang Lembah Bunga Hitam. Dari jauh sudah tampak olehnya serombongan orang yang jumlahnya sembilan, dan orang-orang itu menjadi terkejut ketika melihat seorang gadis dengan pedang di tangan berlari cepat mendatangi dan langsung menyerang mereka dengan ganas!
Dengan kemarahan dan kebencian meluap di dalam hatinya, Ceng Ceng merobohkan dua orang, lalu menghadapi pengeroyokan tujuh orang anggauta lembah. Pedang Ban-tok-kiam merupakan senjata ampuh yang membuat jerih para pengeroyoknya. Seorang di antara mereka lalu bersiul-siul dan datanglah lebah-lebah beterbangan. Lebah putih yang beracun! Melihat ini, Ceng Ceng yang masih memutar pedangnya, cepat mengeluarkan bubuk hijau dan menanti sampai lebah-lebah itu datang mendekat. Disebarnya bubuk hijau itu di sekeliling dirinya dan lebah-lebah yang terkena serbuk hijau ini sebagian jatuh dan mati, sebagian lagi mabok dan tidak dapat dikendalikan lagi oleh anggauta lembah yang bersiul-siul! Sebaliknya,
Ceng Ceng lalu mengeluarkan serbuk merah, sambil menyerbu ke depan dan menaburkan serbuk merah ini ke udara, kemudian dengan gerakan pedangnya yang diputar-putar sehingga mendatangkan angin, dia berhasil membuat serbuk merah yang kini berubah menjadi semacam uap merah, menyambar ke arah para pengeroyoknya! Orang-orang lembah yang kesemuanya adalah ahli-ahli racun, ternyata tidak mengenal uap merah ini. Mereka hanya menjauhkan diri lalu menghampiri Ceng Ceng dari arah lain agar tidak terkena serbuk merah. Akan tetapi mereka mencium bau tajam dan celaka bagi mereka yang terdekat, karena kelihaian racun serbuk merah ini adalah pada baunya. Begitu mencium bau keras ini, dua orang menjadi pening dan terhuyung-huyung, berseru,
"Celaka!"
Lalu meninggalkan gelanggang pertempuran. Sementara itu, Ceng Ceng sudah menerjang lagi, pedangnya berhasil merobohkan seorang lagi karena hawa beracun yang keluar dari pedang itu, dan ludahnya merobohkan dua orang lain!
"Mampuslah kalian, keparat! Mampuslah!"
Berkali-kali mulutnya berkata demikian karena dia membayangkan para pengeroyok itu sebagai pemuda yang telah memperkosanya, atau setidaknya mereka itu dianggap wakil pemuda itu yang harus dibalasnya.
Oleh karena itu, sepak terjangnya mengerikan, dan dia mengamuk seperti seekor harimau kelaparan. Akan tetapi berbondong-bondong datanglah orang-orang lembah yang tadinya meninggalkan lembah itu untuk melakukan perang melawan orang-orang Pulau Neraka. Karena menyangka bahwa gadis itu tentulah seorang di antara orang orang Pulau Neraka, mereka menyerbu dan mengeroyok. Ceng Ceng tidak peduli dan sama sekali tidak gentar menghadapi pengeroyokan banyak orang ini. Dia mengamuk terus, menggerakkan pedangnya yang ampuh dan menyebar racun-racunnya, melakukan pukulan-pukulan beracun bahkan menyerang dengan ludahnya. Banyak di antara para pengeroyoknya roboh menjadi korban dan akhirnya terdengar bentakan keras,
"Mundur semua!"
Dan Ceng Ceng berhadapan dengan seorang kakek tua yang amat mengerikan. Kakek ini usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tinggi kurus dan mukanya hanya kelihatan tengkorak terbungkus kulit belaka. Pakaiannya serba hitam dan matanya hampir hitam seluruhnya karena bagian putihnya juga gelap, kemerahan mengarah warna hitam sehingga kalau dia memandang orang, amatlah mengerikan.
"Nona, siapakah kau? Apakah kau seorang Pulau Neraka?"
"Banyak cerewet! Engkau tentu Ketua Lembah Bunga Hitam, bukan? Nah, majulah!"
Bentak Ceng Ceng yang sudah menerjang maju dengan pedangnya menyerang kakek itu. Kakek itu bertangan kosong, ketika dia menggerakkan kedua tangannya, terdengar suara,
"Cringgg....!"
Dan tangan kanan Ceng Ceng tergetar. Kiranya kakek itu telah menggunakan kuku jari tangannya menyentil dan sentilan ini saja sudah membuat pedangnya tergetar dan hampir terlepas dari pegangan! Hal ini cukup menjadi bukti bahwa kepandaian kakek ini hebat sekali, tenaga sin-kangnya juga jauh lebih tinggi dan kuat daripada tenaganya sendiri. Namun tidak ada sedikit pun rasa gentar di dalam hati dara yang sudah terbakar hangus oleh rasa dendam yang amat hebat itu. Mati baginya bukan apa-apa lagi dan yang terasa hanyalah kebencian, kebencian yang bernyala makin besar dan membakar semua perasaan ini.
Dengan kenekatan yang luar biasa dia menyerang kakek bermuka tengkorak itu dengan pe-dangnya. Ketua Lembah Bunga Hitam itu tertawa dan menghadapi Ceng Ceng dengan tangan kosong saja, akan tetapi biarpun demikian, segera dia membuat dara itu kalang-kabut karena memang kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi. Ceng Ceng kembali mengalami pertandingan seperti ketika dia melawan Ketua Pulau Neraka, dan merasa dipermainkan tanpa dapat mendesak lawan sama sekali. Biarpun dia juga membantu pedangnya dengan pukulan beracun tangan kiri, dan bahkan menggunakan rambutnya dan ludahnya yang beracun, namun tetap saja dia dipermainkan dan didesak hebat.
"Ha-ha-ha, bocah lancang, ilmu kepandaianmu lumayan dan pengetahuanmu tentang racun hebat. Lekas kau berlutut dan menjadi muridku, dan aku akan mengampunkan kesalahanmu...."
"Mampuslah!"
Ceng Ceng membentak dan menusukkan pedangnya dengan nekat dan dahsyat.
"Pedang baik....!"
Kakek itu mengelak.
"Tapi kau keras kepala!"
Pada saat pedang meluncur lewat, kakek itu menggerakkan kakinya yang merupakan tendangan berputar, sama sekali tidak diduga oleh Ceng Ceng sehingga lambung dara ini terkena tendangan. Dia terjengkang dan terbanting keras. Akan tetapi sebelum kakek itu menyusul dengan serangan lain yang tentu akan merupakan bahaya bagi Ceng Ceng. Tiba-tiba terdengar suara lembut yang datangnya dari arah sumur tua yang pernah dipakai oleh Ceng Ceng untuk bersembunyi mengintai ketika pemuda yang telah memperkosanya itu menjadi tawanan dalam kerangkeng!
"Thio Sek, apakah kau sudah melupakan Istana Gurun Pasir....?"
Ceng Ceng mendapat kesempatan untuk meloncat berdiri karena tiba-tiba, mendengar suara itu, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut setengah mati, mengeluarkan suara lirih dan berdiri bengong seperti orang melihat setan di tengah hari.
"Thio Sek, majikan kita menanti engkau datang menyerahkan kitab dan nyawa!"
Kembali suara aneh dan halus itu terdengar dari dalam sumur. Ketua lembah memandang ke arah sumur, mukanya pucat sekali sehingga dia makin mirip dengan mayat hidup, kemudian terdengar keluhan aneh dari dalam kerongkongannya dan dia membalikkan tubuhnya, mencelat jauh dan lari secepatnya, dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari situ. Anak buahnya yang melihat keadaan ketua mereka ini, juga serentak lari pergi terbirit-birit dengan ketakutan. Ceng Ceng masih berdiri dengan pedang Ban-tok-kiam di tangannya. Hatinya lega karena baru sekarang dia sadar bahwa dia telah terbebas dari ancaman bahaya maut, ditolong oleh suara dari sumur itu. Teringatlah dia ketika dia pernah melihat bayangan samar-samar di dasar sumur.
Timbul keinginan-tahunya. Tentu ada seorang aneh di dalam sumur itu. Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri sumur itu, menjenguk ke dalam. Akan tetapi tidak tampak apa-apa lagi, bahkan bayangannya pun tidak ada. Tentu orang itu sudah pergi, pikirnya. Betapa lihainya orang itu. Suara sorak-sorai mengejutkannya. Dia cepat membalik dan melihat tujuh orang laki-laki memasuki pintu gerbang dusun itu sambil bersorak. Orang-orang ini semua memegang senjata di tangan kanan dan seekor ular berbisa di tangan kiri, sikap mereka buas dan seperti orang-orang yang gila. Apalagi ketika mereka melihat Ceng Ceng, mereka segera menyerbu dengan kata-kata yang membuat dada Ceng Ceng seperti dibakar, karena mereka mengeluarkan kata-kata kotor terhadap dirinya!
"Ha-ha, nona manis kesepian sendiri!"
"Engkau tentu sudah lama rindu kepada laki-laki!"
"Kami datang untuk menghiburmu, Nona!"
"Kalau kami bertujuh masih terlampau sedikit, teman-teman kami masih banyak di belakang!"
Ceng Ceng yang sedang berduka dan marah itu, tentu saja makin meledak kebenciannya terhadap pria. Sambil mengeluarkan seruan seperti lengking seekor binatang yang dahsyat, dia menyerbu, tangan kirinya sudah siap dengan segenggam bubuk putih yang tadi dia keluarkan dari saku bajunya, pedangnya diputar-putar di atas kepala. Tujuh orang itu tentu saja memandang rendah, sambil tertawa mereka menyambut dan mengurung.
"Yang memegang lebih dulu, mendapat giliran lebih dulu, ha-ha!"
Akan tetapi suara ketawa mereka terhenti seketika karena selagi mereka menangkis pedang Ceng Ceng yang menyambar-nyambar, dara ini menyebar bubuk putih ke udara. Terdengar teriakan-teriakan kaget karena bubuk putih yang dipandang rendah itu begitu tampak oleh mereka, menimbulkan rasa pedas di mata mereka sehingga air mata mengalir ke luar dan pandangan mata mereka menjadi kabur.
Dalam keadaan seperti ini, mudah saja Ceng Ceng menggerakkan pedangnya dan empat orang roboh dan tewas seketika disambar Ban-tok-kiam! Tiga orang lain terkejut bukan main. Mereka meloncat ke belakang, menggosok-gosok mata mereka. Celaka, makin digosok makin pedas dan gatal, bahkan kini mata mereka mulai membengkak! Seorang di antara mereka cepat mengeluarkan sebuah tanduk menjangan dan meniupnya sehingga terdengarlah suara mengaung. Adapun dua orang temannya sudah menerjang Ceng Ceng yang mengejar mereka. Ular di tangan kiri mereka mendesis-desis dan ketika mereka lontarkan, dua ekor ular itu menyambar Ceng Ceng. Gadis ini mengangkat lengan kirinya menangkis dan dua ekor ular itu dengan tepat menggigit dan bergantung kepada lengan kiri itu.
Dua orang itu girang sekali karena menyangka bahwa tentu gadis yang sudah tergigit dua ekor ular mereka itu akan roboh. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat Ceng Ceng mengibaskan lengan kirinya dan dua ekor ular itu terbanting ke atas tanah dan.... berkelojotan! Agaknya bukan gadis itu yang keracunan, sebaliknya dua ekor ular itulah, karena hawa beracun yang dikerahkan gadis itu dari lengan yang tergigit membuat dua ekor ular itu seperti dibakar kepanasan. Selagi dua orang itu masih bengong, Ceng Ceng sudah meloncat, pedang Ban-tok-kiam menyambar. Mereka berusaha menangkis, namun terlambat, apalagi karena hawa beracun dari pedang itu sudah membuat mereka lemas. Robohlah dua orang ini dengan leher hampir buntung! Orang terakhir itu masih meniup tanduk menjangan berkali-kali.
Dalam ngeri dan takutnya menyaksikan kehebatan dara itu, dia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk meniup suling memanggil teman-temannya. Akan tetapi suara mengaung dari tanduk yang ditiup itu segera terhenti dan dia pun roboh di bawah tusukan pedang Ceng Ceng yang menembus perutnya! Barulah agak puas hati Ceng Ceng setelah berhasil membunuh tujuh orang itu. Akan tetapi baru saja dia mencabut kembali pedang Ban-tok-kiam dari dalam perut lawan terakhir setelah dia membiarkan pedang itu "meminum darah"
Agak lama di dalam tubuh orang itu, terdengar suara hiruk-pikuk. Dia menoleh dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat seorang kakek perkasa dengan langkah lebar menghampiri tempat itu. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo Ketua Pulau Neraka, diikuti oleh belasan orang anak buahnya!
"Keparat! Bocah setan, kau lagi! Kau berani membunuh tujuh orang anak buahku? Sekarang terpaksa aku tidak dapat mengampunimu lagi!"
Kakek itu berseru marah bukan main setelah dia melihat mayat tujuh orang anak buahnya menggeletak di sekitar tempat itu. Baru sekarang Ceng Ceng tahu bahwa tujuh orang yang tadinya disangka adalah anak buah Lembah Bunga Hitam, ternyata adalah anak buah Pulau Neraka yang menjadi musuh Lembah Bunga Hitam! Akan tetapi dia tidak takut.
Tanpa menjawab dia sudah menerjang ke depan, disambut oleh Hek-tiauw Lo-mo yang dalam kemarahannya telah mengeluarkan sebuah di antara senjata-senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah jala tipis yang digulung dan dikepal dalam tangannya. Dia ingin menangkap gadis itu, sebelum dibunuh dia akan menyiksanya dan akan diperasnya agar gadis itu dapat menyerahkan ilmunya yang hebat tentang racun kepadanya. Ceng Ceng yang menerjang ke depan hanya melihat bayangan hitam melebar seperti payung menerkamnya. Dia kaget dan memutar pedangnya menangkis. Terdengar suara berdencingan dan pedangnya bertemu dengan benda yang keras akan tetapi ulet dan bayangan itu terus menerkamnya, tidak terhalang oleh putaran pedangnya. Tahu-tahu dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sehuah jala tipis yang lebar dan ke mana pun dia bergerak, dia tidak dapat membebaskan diri dari dalam jala itu!
Dia melihat kakek raksasa itu memegang tali jala dari tempat yang jauhnya ada tiga empat meter, sambil tertawa. Kemarahannya timbul dan dia menjadi nekat, biarpun berada di dalam jala, dia meloncat dengan maksud menerjang kakek itu dan menyerang dengan pedangnya dari balik jala. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu membetot dan Ceng Ceng yang merasa kakinya diangkat, kehilangan keseimbangan tubuhnya dan terguling roboh di dalam jala. Dia mengamuk, meronta, memutar pedangnya, namun sia-sia belaka, seperti seekor ikan besar dalam jala, semua gerakannya terbatas dan hanya gerakan sia-sia belaka. Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan belasan orang anak buahnya juga tertawa girang melihat gadis yang liar dan buas itu telah tertawan. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti ketika terdengar suara orang mengejek,
"Aih, Lee-ko, orang-orang di sini sungguh tidak tahu malu, ya? Belasan orang laki-laki mengeroyok seorang wanita muda, aturan mana yang dipakai ini? Sungguh curang, licik dan tidak tahu malu!"
Semua orang menengok dan Hek-tiauw Lo-mo terkejut sekali melihat dua orang pemuda tampan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Kalau sampai ada dua orang asing dapat muncul di tempat itu tanpa diketahui oleh dia sendiri dan anak buahnya, maka hal ini hanya membuktikan bahwa yang datang adalah orang-orang luar biasa! Akan tetapi, melihat bahwa mereka hanyalah dua orang pemuda remaja yang masih amat muda sekali, dia memandang rendah. Dengan tangan kiri memegang tali jala di mana Ceng Ceng tertawan, dia membentak,
"Eh, dari mana datangnya dua bocah lancang ini dan siapakah kalian?"
Ceng Ceng juga sudah berhenti meronta dan dari dalam jala dia memandang ke luar. Matanya terbelalak lebar. Kini dia mengenal dua orang pemuda itu. Tidak salah lagi. Dua orang itu adalah dua orang pemuda yang pernah berjumpa dengan dia di pasar kuda!
Dua orang pemuda yang tampan dan seorang di antaranya ceriwis, pandang matanya nakal dan mulutnya selalu tersenyum penuh gairah, sedangkan yang ke dua pendiam dengan sinar mata yang tajam dan tenang. Ceng Ceng sendiri memandang rendah. Kalian mencari mampus, pikirnya. Tentu dua orang pemuda ini akan tewas di tangan Ketua Pulau Neraka dan anak buahnya yang lihai. Akan tetapi dia tidak peduli. Biarlah mampus semua laki-laki di dunia ini, apalagi dua orang pemuda tampan ini mengingatkan dia akan pemuda laknat yang dicarinya dan dibencinya. Mampuslah kalian! Mampuslah kalian semua laki-laki di dunia! Ceng Ceng memandang dan kini mereka telah mulai bertanding. Dua orang pemuda itu tadinya bersikap tenang saja. Akan tetapi pemuda yang lebih muda, yang tersenyum-senyum dan bermata nakal, memandang Ketua Pulau Neraka dan berkata,
"Aih, kiranya Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya. Pantas saja tidak segan melakukan kecurangan, kiranya Ketua Pulau Neraka yang seperti iblis. Masih baik kita keburu datang untuk mencegah perbuatanmu yang buruk!"
Mendengar ini, Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya menjadi terkejut bukan main. Jarang ada orang yang mengenal Ketua Pulau Neraka, apalagi hanya dua orang pemuda remaja ini.
"Kalian siapa, bocah lancang?"
Bentaknya.
"Kami adalah orang-orang yang akan menghabiskan riwayatmu, Hek-tiauw Lo-mo. Kami adalah Sepasang Rajawali Putih!"
Mendengar julukan yang tak pernah didengar sebelumnya ini, Hek-tiauw Lo-mo mendongkol. Tentu bocah ini sengaja menggunakan julukan Rajawali Putih untuk mempermainkannya, karena dia sendiri berjuluk Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam).
"Keparat, bersiaplah untuk mampus!"
Bentaknya tanpa peduli lagi akan nama mereka dan dia sudah memberi isyarat kepada para anak buahnya. Belasan orang itu maju mengepung dua orang pemuda itu yang tetap bertangan kosong.
Akan tetapi begitu mereka menyerbu ke depan, dua orang pemuda itu mengeluarkan suara melengking seperti dua ekor rajawali, dan Ketua Pulau Neraka menjadi bengong dan kaget melihat betapa dua orang pemuda itu kini bergerak secepat burung-burung rajawali. Mereka berkelebat ke sana-sini dan berturut-turut robohlah empat orang anak buah Pulau Neraka tanpa mereka itu tahu bagaimana mereka dirobohkan karena cepatnya gerakan dua orang pemuda itu! Ceng Ceng sendiri memandang kagum. Kini dia melihat Ketua Pulau Neraka melepaskan tali jala dan maju sendiri menyerbu, setelah melolos sebatang cambuk baja lemas yang tadinya membelit pinggangnya yang besar. Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika cambuk itu menyambar-nyambar ganas mengikuti berkelebatnya bayangan dua orang pemuda itu.
Hebat memang tenaga Hek-tiauw Lo-mo dan cambuk panjang itu dahsyat sekali. Namun dengan lincah, dua orang pemuda itu dapat mengelak dengan loncatan-loncatan yang tampaknya tubuh mereka itu meloncat ke sana-sini seperti kilat menyambar. Ceng Ceng meronta setelah melihat tali jala tidak dipegang lagi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dari dalam jala, dia menarik tali yang mengikat jala dan perlahan-lahan dia dapat membebaskan diri, Setelah bebas, dengan pedang diputar ganas dia menyerbu dan menyebar racun di antara para anak buah Pulau Neraka. Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo menjadi khawatir sekali. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan betapa dua orang pemuda itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Ketika dia menggunakan sin-kang sekuatnya di kanan kiri mendorong ke depan, pemuda yang lebih tua menyambut dorongan tangan itu dengan tangan kanannya.
"Dukkk!"
Hek-tiauw Lo-mo meloncat mundur dan mukanya menjadi pucat. Dia mengenal ilmu sin-kang Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang membuat lengan kirinya terasa dingin sekali.
"Pulau Es....!"
Serunya dan kini matanya terbelalak lebar. Dia ingat akan dua orang putera Majikan Pulau Es yang pernah ditawannya dan dua orang anak itu berhasil melarikan diri dengan menunggang dua ekor burung rajawali putih.
"Kiranya kalian...."
Dua orang pemuda itu memang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Mereka hanya tersenyum dan kini Hek-tiauw Lo-mo maklum bahwa kalau sampai ayah atau ibu dua orang pemuda itu ikut datang, dia dan anak buahnya akan celaka. Maka dia bersuit nyaring lalu meloncat ke belakang, dan larilah Ketua Pulau Neraka ini diikuti oleh sisa anak buahnya. Kian Lee dan Kian Bu tidak mengejar. Kian Bu berpaling memandang Ceng ceng yang masih berdiri dengan pedang di tangan.
"Syukur kau telah selamat, Nona,"
Kata Kian Bu yang lebih berani menghadapi seorang wanita daripada kakaknya.
"Dan selamat berjumpa untuk yang ke dua kalinya. Kita saling bertemu untuk pertama kali di pasar kuda itu. Ingat, bukan? Perkenalkan, namaku adalah Suma Kian Bu dan ini adalah kakakku, Suma Kian Lee. Bolehkah kami mengetahui namamu?"
Tiba-tiba Ceng Ceng menggerakkan pedangnya ke kiri.
"Crekkk!"
Dan roboh kembalilah anggauta Pulau Neraka yang tadinya hendak bangkit duduk. Orang yang tadinya menderita luka itu, roboh dan tewas karena pedang Ban-tok-kiam membacok lehernya hampir putus! Melihat ini, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee terkejut sekali.
Kian Lee mengerutkan alisnya sedangkan Kian Bu memandang bengong. Dan kagum akan kecantikan dan kegagahan dara ini, akan tetapi mengapa dara ini sekarang menjadi seorang manusia yang begini buas dan kejam, jauh sekali bedanya dengan dahulu ketika mereka jumpa di pasar kuda? Dahulu, dara itu berwajah cantik manis dan berseri, agaknya selalu riang dan sinar matanya menari-nari, bibirnya selalu tersenyum. Akan tetapi sekarang, biarpun cantiknya masih sama, bahkan bertambah karena kelihatannya kecantikannya makin matang, tubuhnya makin padat berisi, gerak-geriknya makin lincah, namun di balik wajah yang cantik jelita itu terbayang sifat yang dingin membeku, kebencian yang membayang dari pandang matanya, bibirnya ditarik seperti orang yang kesakitan dan menderita hebat, dan perbuatannya tadi amatlah kejam dan mengerikan.
Membacok mati seorang bekas lawan yang sudah tidak berdaya seperti itu hanya dapat dilakukan oleh seorang yang berhati kejam dan penuh kebencian! Segala macam kekacauan, kejahatan dan permusuhan di dunia ini bersumber kepada pikiran. Pikiran adalah si aku yang berkembang karena ingatan. Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dan menyusahkan ditumpuk di dalam ingatan dan menjadi pupuk bagi pikiran yang menciptakan si aku. Si aku yang ingin mengulang kembali kesenangan yang pernah dinikmatinya. Si aku yang ingin menghindari kesusahan yang pernah diderita. Maka muncullah rasa khawatir, rasa takut kalau-kalau akan mengalami lagi hal yang menyusahkan dan kalau-kalau tidak akan dapat mengalami hal yang menyenangkan.
Rasa takut ini mendorong kita untuk melakukan segala macam kekerasan di dalam kehidupan, bersumber kepada si aku yang pandai sekali mencari-cari akal sebagai alasan untuk melindungi diri sendiri, untuk mempertahankan pendiriannya yang dianggap benar. Kalau si aku dirugikan, lahir maupun batin, maka aku akan menaruh benci dan dendam, dan menggunakan alasan bahwa yang merugikan aku itu adalah jahat dan perlu dibasmi! Kalau si aku diuntungkan, lahir maupun batin, maka aku akan mencintanya dan membaikinya, dengan menggunakan alasan bahwa yang menguntungkan aku itu adalah baik dan perlu didekati. Kita memuja dan menyembah-nyembah para dewa, para nabi, bahkan Tuhan, karena kita yakin bahwa mereka itu menguntungkan kita,
Setidaknya menguntungkan batiniah dan menimbulkan harapan, menjadi pegangan, jelasnya mendatangkan harapan keuntungan lahir batin bagi kita, maka kita memuja dan menyembahnya. Sebaliknya, kita membenci dan mengutuk setan dan iblis, karena kita yakin pula, sungguhpun keyakinan ini hanya merupakan jiplakan dari tradisi belaka, bahwa setan dan iblis atau hantu itu merugikan kita, lahir maupun batin. Jelasnya, yang kita anggap baik, yaitu yang menguntungkan kita lahir maupun batin, akan kita puja-puja. Sebaliknya, yang kita anggap jahat, yaitu yang merugikan kita lahir atau batin, akan kita kutuk dan benci. Jelas, bahwa rasa suka atau benci kita bukan karena keadaan si benda di luar diri kita, melainkan diputuskan oleh pertimbangan kita sendiri, yaitu merugikan atau menguntungkan.
Rasa suka atau benci melahirkan anggapan kita tentang baik dan jahat, yang menguntungkan kita adalah baik dan yang merugikan kita adalah jahat. Kenyataan ini sudah berlangsung ribuan tahun di dalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai alat yang "lumrah". Kita tidak lagi melihat kejanggalan dan kepalsuannya. Si aku ini bisa melebar dan meluas, menjadi si kami, menjadi harta benda-ku, keluarga-ku, partai-ku, suku bangsa-ku, bangsa-ku, negara-ku, Tuhan-ku, agama-ku dan selanjutnya. Dan selama si aku ini menguasai, pertentangan dan kekacauan sudah pasti timbul, karena pertentangan muncul di antara si aku dan si kamu. Seorang manusia akan dianggap sebagai orang sejahat-jahatnya oleh pihak musuh akan tetapi manusia ini pula akan dianggap sebagai orang sebaik-baiknya oleh pihak lawan.
Seseorang bisa dianggap sebagai "pahlawan"
Oleh negaranya, akan tetapi orang ini pula akan dianggap sebagai "penjahat"
Oleh negara lain yang bermusuhan. Jadi sebutan pahlawan atau penjahat itu bukan tergantung dari keadaan si orang itu sendiri, melainkan tergantung dari negara yang bersangkutan, dirugikan atau diuntungkankah negara itu. Pertentangan di luar diri adalah pencerminan dari pertentangan yang terjadi di dalam diri sendiri. Di dalam diri sendiri terdapat kemarahan yang bertentangan dengan si aku yang ingin sabar, terdapat cemburu yang bertentangan dengan si aku yang ingin mencinta, terdapat keadaan apa adanya yang bertentangan dengan keadaan yang kukehendaki yang lain dari apa adanya. Keadaannya begini, aku ingin begitu. Si aku menjadi makin subur dipupuk oleh pikiran. Si aku adalah pikiran itu sendiri.
Dan pikiran adalah masa lalu, pikiran adalah kenangan atau ingatan masa lalu. Bebas dari masa lalu, bebas dari pikiran, berarti bebas dari si aku tukang mengacau kehidupan ini. Pikiran hanya baik kalau dipergunakan di dalam tugasnya yang tak dapat dihindarkan lagi, untuk bekerja, bicara, dan segala pelaksanaan pekerjaan sehari-hari. Namun sekali pikiran bercampur tangan memasuki perhubungan antara manusia, akan rusaklah keadaannya. Ceng Ceng telah diracuni oleh pikirannya sendiri karena dia selalu teringat akan peristiwa yang menimpa dirinya. Dirinya telah diperkosa, berarti telah dirugikan secara hebat oleh seseorang, maka kenangan akan hal ini mendatangkan kebencian yang amat hebat dan kebencian ini meracuni dirinya, membuat dia membenci semua manusia, terutama kaum pria!
Tentu saja dia mengerti bahwa dia telah diselamatkan oleh Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Andaikata dua orang yang menolongnya itu wanita, agaknya dia tidak akan segan-segan untuk menghaturkan terima kasihnya. Akan tetapi karena dua orang penolongnya adalah pria, masih muda-muda pula sehingga mengingatkan dia akan pemuda yang memperkosanya, kebenciannya terhadap kaum pria lebih besar daripada rasa terima kasihnya. Mendengar kata-kata Kian Bu dia malah menjadi gemas dan membacok mati anggauta Pulau Neraka yang belum tewas, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi kepada dua orang pemuda yang telah menyelamat-kannya tadi!
"Heiii....! Eh, Nona....!"
Kian Bu berteriak, akan tetapi Ceng Ceng tidak menjawab, menoleh pun tidak, bahkan kini dara ini melarikan diri dengan cepat, seluruh perhatiannya telah dipusatkan ke depan untuk mencari pemuda laknat yang telah memperkosanya!
"Heiiii....!"
Kian Bu berteriak lagi.
"Sudahlah, Bu-te. Orang tidak mau melayanimu, mengapa memaksa?"
Kian Lee berkata, kemudian dengan alis berkerut pemuda ini berkata,
"Aku melihat dia itu seperti orang yang menanggung penderitaan hebat. Sungguh kasihan dia...."
"Ehhh....? Gadis sombong dan angkuh seperti itu, yang telah kita tolong dan kita selamatkan nyawanya dari ancaman bahaya maut akan tetapi sepatah kata pun tidak sudi melayani kita bicara, engkau malah menaruh kasihan kepadanya?"
"Bu-te, jangan tergesa-gesa menjatuhkan pendapat akan seseorang yang belum kita kenal keadaannya. Gadis itu patut dikasihani...."
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kian Bu menghela napas.
"Kau memang aneh, Lee-ko. Banyak dara lincah jenaka, yang wajahnya seperti bulan purnama selalu berseri, yang matanya seperti bintang pagi bersinar-sinar, yang mulutnya selalu tersenyum cerah seperti matahati pagi, engkau tidak pedulikan. Akan tetapi satu ini, yang kejam dan dingin seperti.... seperti...."
"Cukup, Bu-te! Mari kita lanjutkan perjalanan kita,"
Kian Lee berkata singkat lalu pergi dari situ. Kian Bu membelalakkan matanya, menggoyang pundak lalu terpaksa mengikuti kakaknya. Bagaimana dua orang pemuda ini dapat berada di tempat itu sehingga secara kebetulan dapat menyelamatkan Ceng Ceng?
Seperti telah kita ketahui, Kian Lee dan Kian Bu berada di kota raja dan di dalam pesta yang diadakan oleh Pangeran Liong Bin Ong, dua orang pemuda Pulau Es ini telah bertemu dengan kakak mereka,
(Lanjut ke Jilid 23)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 23
Puteri Milana. Mereka diajak pulang oleh Puteri Milana dan setelah kakak beradik itu bercakap-cakap penuh kegembiraan dan keharuan, akhirnya beberapa hari kemudian Milana mengambil keputusan untuk mengirim dua orang adiknya ini menjumpai Jenderal Kao Liang di utara. Puteri ini maklum betapa pihak pemberontak telah menyusun kekuatan. Tidak ada orang lain yang lebih dapat dipercaya daripada Kian Lee dan Kian Bu untuk membawa suratnya kepada Jenderal Kao yang dia tahu merupakan satu-satunya orang yang terkuat dan menguasai bala tentara besar, juga amat setia kepada kepada Kaisar.
Dia lalu menulis surat untuk Jenderal Kao Liang, mengajak jenderal itu untuk bersama-sama menumpas pemberontak, menggunakan pengaruh kedudukannya dan menggunakan kekuatan pasukannya. Demikianlah maka pada hari itu Kian Lee dan Kian Bu tiba di dekat Lembah Bunga Hitam, melihat keadaan dusun yang keracunan, mendengar dari para pengungsi akan malapetaka yang menimpa dusun mereka. Sebagai dua orang putera Pendekar Super Sakti, biarpun mereka bukan ahli-ahli menggunakan racun, namun dengan dasar sin-kang yang amat kuat dan bersih, kedua orang pemuda ini tidak takut menghadapi pengaruh racun dan mereka tertarik mendengar kabar tentang pertandingan antara ahli-ahli racun di Lembah Bunga Hitam, maka keduanya lalu memasuki lembah itu dan secara kebetulan dapat menolong Ceng Ceng.
Setelah mereka berdua mendapat kenyataan bahwa satu di antara dua pihak yang bertanding itu adalah gerombolan penghuni Pulau Neraka dipimpin sendiri oleh Hek-tiauw Lo-mo, keduanya tidak suka mencampuri lagi, apalagi melihat betapa Ceng Ceng yang mereka tolong itu tidak memperdulikan mereka. Mereka menganggap bahwa tempat itu adalah tempat orang-orang dari golongan sesat, juga gadis yang ditolongnya itu, maka mereka lalu meninggalkan Lembah Bunga Hitam untuk melanjutkan perjalanannya ke utara, ke perbatasan untuk mencari Jenderal Kao di bentengnya. Yang tidak mengenalnya dan tidak mengetahui keadaannya, tentu akan mengira bahwa gadis cantik yang pakaiannya kusut rambutnya awut-awutan itu sedang menderita sakit jiwa.
Akan tetapi yang tahu akan keadaan Ceng Ceng pada saat itu, tentu akan merasa kasihan sekali. Sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar penuh gairah hidup itu kini tampak merah dan agak membengkak, muka yang biasanya berseri dengan kedua pipi kemerahan dan segar, seperti setangkai bunga yang sedang mekar, kini menjadi pucat dan layu. Bibir yang biasanya selalu kemerahan dan membasah itu, yang siap melontarkan senyum manis, bahkan selalu kelihatan mengarah senyum, kini kelihatan kering dan cemberut, kadang-kadang tergetar kalau tangis melanda hatinya. Air matanya sudah mengering, sumbernya sudah hampir kehabisan karena terlampau banyak dia menangis. Tiap kali dia teringat akan malapetaka yang menimpanya di dalam guha itu, air matanya bercucuran dan dadanya terisak-isak sampai sukar untuk bernapas.
Tiga hari sudah dia meninggalkan Lembah Bunga Hitam. Lupa makan lupa tidur, terus melakukan perjalanan ke selatan tanpa tujuan karena memang dia tidak tahu ke mana harus mencari pemuda laknat yang amat dibencinya itu, pemuda yang telah memperkosanya dan sekarang tujuan hidupnya hanya satu, yalah mencari dan mengadu nyawa dengan pemuda laknat itu! Sebetulnya tubuhnya lemas dan lunglai, karena sudah tiga hari tiga malam dia tidak makan tidak tidur. Jalannya tersaruk-saruk dan kadang-kadang terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya. Matahari telah naik tinggi dan panas terik menyengat kulit. Ceng Ceng berhenti di dalam bayangan batu karang dan menyeka keringatnya sambil mengeluh. Tubuhnya seperti merintih-rintih minta beristirahat, namun kekerasan hatinya melarang karena dia tidak akan berhenti sebelum bertemu dengan pemuda laknat itu!
"Nona, perlahan dulu...."
Tiba-tiba terdengar suara halus ketika dia memaksa kedua kakinya melangkah maju lagi. Suara itu sudah cukup untuk membuat darah Ceng Ceng seperti bergolak. Suara seorang laki-laki! Dan menahan langkahnya, tangan kiri dikepal dan tangan kanan meraba gagang Ban-tok-kiam, siap untuk membunuh orang! Langkah-langkah ringan dan halus menghampirinya dari belakang.
"Nona, hatiku ikut hancur menyaksikan keadaanmu...."
Ceng Ceng bergerak cepat, membalik dan tampak sinar terang berkelebat ketika Ban-tok-kiam telah dicabutnya. Ternyata yang berhadapan dengan dia adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya sederhana namun bersih, gerak-geriknya halus dan penuh hormat, sinar matanya lembut dan dia memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh perasaan iba.
"Mampuslah kau, keparat!"
Ceng Ceng menjerit dan pedang Ban-tok-kiam sudah menyambar ke arah leher kakek itu.
"Hemmmm, sabarlah, Nona!"
Kakek itu mengelak dengan gerakan halus, namun tepat sehingga pedang Ban-tok-kiam lewat di samping tubuhnya. Ketika pedang itu menyambar lagi, tahu-tahu kakek ini, dengan gerakan aneh yang sama sekali tidak dikenal Ceng Ceng, telah memegang pergelangan tangan kanan Ceng Ceng sehingga dara ini merasakan lengan kanannya lumpuh dan untung pedangnya masih belum terlepas.
"Tenanglah, Nona. Aku tidak berniat buruk. Aku hanya akan menuturkan tentang pemuda yang telah kau keluarkan dari kerangkeng itu."
"Aihhh....!"
Ceng Ceng yang kini sudah dilepas tangannya, melompat mundur dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak.
"Kau mau bilang apa? Cepat katakan!"
Bentaknya. Kakek itu menarik napas panjang.
"Aku tidak menyalahkan sikapmu ini, Nona, sungguhpun sikap ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagimu, apalagi bagi lain orang. Kita harus berani menghadapi kenyataan, berani membuka mata melihat apa yang telah terjadi dan menimpa kita sehingga kita tidak menjadi mata gelap oleh dendam. Marilah kita duduk di bawah pohon itu, dan aku akan menceritakan siapa adanya pemuda yang kau bebaskan dari kerangkeng itu dan mengapa pula dia melakukan perbuatan terkutuk itu. Maukah Nona mendengarkan?"
Tentu saja Ceng Ceng ingin sekali mendengar. Dia tidak akan mungkin dapat mencari pemuda itu kalau tidak diketahuinya siapa. Dia lalu mengangguk, menyimpan pedangnya dan mengikuti kakek itu duduk di atas batu di bawah naungan pohon sehingga hawa di tempat itu agak sejuk dan nyaman.
"Perkenalkan, Nona. Namaku adalah Louw Ki Sun, dan aku adalah pelayan dari guru pemuda tinggi besar itu."
"Kakek, aku tidak mau berkenalan dengan kau. Kalau kau tahu tentang pemuda laknat itu, lekas beritahukan kepadaku siapa dia dan di mana aku dapat mencarinya!"
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Baiklah, engkau akan mengetahui siapa adanya pemuda itu. Sudah kukatakan tadi, aku adalah pelayan dari suhunya, dan agar jelas bagimu dan juga jelas mengapa dia melakukan perbuatan itu, sebaiknya kalau engkau mendengarkan semua penuturanku dengan sabar."
Kakek yang bernama Louw Ki Sun itu lalu bercerita. Di tengah gurun pasir yang amat luas di utara terdapat sebuah istana yang amat aneh letaknya dan tidak ada orang yang dapat mendatangi tempat ini karena merupakan rahasia. Pula, siapa percaya bahwa di tengah gurun pasir terdapat sebuah istana yang megah? Istana ini di kalangan Bangsa Mongol terkenal dengan sebutan Istana Gurun Pasir, dan pada waktu itu tidak ada seorang pun bangsa Mongol yang berani mendekatinya karena istana itu dihuni oleh seorang tokoh yang luar biasa, aneh, dan juga amat sakti. Penghuni Istana Gurun Pasir itu tidak pernah meninggalkan istananya, maka tidak terkenal di dunia ramai,
Istana itu sendiri adalah sebuah istana kuno, yang pada ratusan tahun yang lalu dibangun oleh Raja Mongol untuk mengasingkan permaisurinya yang telah "dipensiun"
Karena dituduh berjina dengan seorang pelayan pria. Dibangun di tengah gurun pasir, akan tetapi anehnya, di tempat itu terdapat sumber air! Sumber air di tengah gurun pasir, benar-benar tidak masuk akal, namun kenyataannya demikianlah! Permaisuri yang malang ini tinggal bertahun-tahun di tempat itu bersama para pelayannya sampai dia mati, dan turun-temurun para pelayan itu tinggal di situ sampai lama-kelamaan jumlah mereka habis. Kini yang tinggal hanyalah Si Dewa Bongkok, yaitu tokoh aneh penghuni istana itu, seorang kakek yang tubuhnya besar dan pendek bongkok, bersama dua orang kakek pelayan yang bernama Thio Sek dan Louw Ki Sun.
Pada suatu hari, Si Dewa Bongkok yang sedang berlatih di tengah gurun pasir menemukan seorang anak laki-laki yang berada dalam keadaan hampir mati. Jelas bahwa anak itu telah tersesat dan menderita hebat sekali selama berhari-hari di padang pasir dan merupakan suatu hal ajaib, kalau anak itu masih dapat bertahan setelah mukanya bengkak-bengkak, matanya melotot merah dan lidahnya terjulur ke luar, seluruh tubuhnya hitam dan kulitnya retak-retak! Si Dewa Bongkok cepat membawa anak itu ke istana dan berkat kepandaiannya yang tinggi, anak itu dapat diobatinya sampai sembuh. Melihat keadaan anak itu dan kenyataan bahwa anak itu berbakat baik sekali, Si Dewa Bongkok yang selamanya tidak pernah menerima murid itu lalu mengangkatnya sebagai muridnya, murid tunggal.
Seperti biasa, latihan-latihan yang diberikan oleh manusia sakti ini kepada muridnya amatiah beratnya. Pada suatu hari, Si Dewa Bongkok mengajak muridnya ke tengah gurun pasir bagian yang paling panas dan di situ dia melatih sin-kang kepada muridnya itu. Sampai tiga hari tiga malam dia melatih muridnya di tempat itu, tidak tahu bahwa terjadi geger di istananya.
"Ketika majikanku sedang melatih muridnya itu, yang menjaga istana hanya aku dan Thio Sek,"
Lauw Ki Sun menyambung ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ceng Ceng.
"Tiba-tiba datanglah seorang yang lihai dan yang berusaha untuk mencuri kitab-kitab pusaka dari majikanku. Tentu saja aku melawannya. Akan tetapi celaka, kiranya orang itu yang memiliki kepandaian tinggi diam-diam telah bersekongkol dengan Thio Sek. Tentu saja menghadapi mereka berdua, aku kalah dan aku tidak berhasil mencegah mereka melarikan diri sambil membawa sebuah kitab pusaka tentang racun dalam pukulan, catatan dari majikanku. Mereka melarikan diri karena mereka takut kalau-kalau majikanku keburu datang, dan membawa pergi kitab itu."
Kakek itu menarik napas panjang. Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah pemuda laknat yang memperkosanya, maka hal-hal lain membuat dia hanya menjadi marah karena dia tidak peduli sama sekali.
"Apa hubungannya dengan iblis laknat itu?"
Bentaknya.
"Sabarlah, Nona. Ketahuilah bahwa pencuri itu kini telah menjadi Ketua Pulau Neraka berjuluk Hek-tiauw Lo-mo, sedangkan rekanku pelayan itu adalah...."
"Ketua Lembah Bunga Hitam. Aku sudah menduganya, tapi tentang pemuda itu...."
"Benar, Thio Sek telah berjuluk Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hltam. Sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil. Sampai hari ini, secara tidak sengaja aku bertemu dengan mereka...."
"Pemuda laknat itu...."
Ceng Ceng memotong.
"Pemuda itu adalah Kok Cu, murid majikanku yang ditemukan di gurun pasir itu. Dia terpengaruh hebat oleh penderitaan badai di lautan pasir, hanya teringat akan namanya saja, yaitu Kok Cu, tidak tahu siapa nama keluarganya. Setelah dia tamat belajar, dia diperkenankan meninggalkan istana untuk mencari orang tuanya, sekalian ditugaskan untuk mencari kitab yang tercuri. Karena aku merasa bertanggung jawab akan kehilangan kitab itu, maka diam-diam aku pun membayanginya untuk membantu. Kebetulan sekali, di Lembah Bunga Hitam ini terjadi pertempuran dan ternyata yang bertempur adalah dua orang pencuri itu. Agaknya, menurut penyelidikanku, mereka telah bertengkar dan memperebutkan kitab. Mereka sama kuat dan akhirnya mendapatkan masing-masing separuh dari kitab itu. Kini mereka saling bermusuhan untuk merampas kitab yang separuh lagi. Kok Cu biarpun telah memiliki kepandaian tinggi, lebih tinggi dari aku sendiri, namun dia kurang pengalaman sehingga dapat terjebak dan terkena racun-racun yang amat jahat. Biarpun dia telah memiliki kekebalan yang luar biasa sehingga racun-racun itu tidak sampai menewaskannya, akan tetapi.... dia seperti mabok, dia tidak sadar.... dan ketika terjadi peristiwa di guha itu, dia.... dia sama sekali tidak mampu menguasai dirinya, Nona."
"Keparat! Kau tahu akan semua itu dan kau diam saja!"
Ceng Ceng sudah meloncat dan mencabut lagi Ban-tok-kiam. Kakek itu pun meloncat dan cepat mengangkat tangannya,
"Sabarlah, Nona. Ketika aku tiba di Lembah Bunga Hitam, Kok Cu telah tertangkap dan dimasukkan kerangkeng dalam keadaan keracunan hebat. Aku berada di dasar sumur ketika engkau tiba, kemudian kau menolong dan melarikan kerangkeng itu dan kau dikejar oleh Ketua Lembah Bunga Hitam dan anak buahnya. Melihat ini, aku muncul dan menyambut mereka, mencegah mereka melakukan pengejaran terus kepadamu, karena aku hanya mengira bahwa Nona tentu sudah berhasil menyelamatkan Kok Cu. Siapa tahu bahwa di dalam guha telah terjadi hal yang amat hebat itu....! Aku baru tahu setelah Kok Cu lari dari dalam guha itu seperti orang gila saking menyesalnya...."
"Tak peduli! Di mana dia sekarang! Aku akan membunuhnya, mencincang hancur tubuhnya!"
"Mana aku tahu, Nona? Dia telah melarikan diri seperti orang gila, bahkan ketika aku menjumpainya, dia seperti tidak mengenalku atau tidak mau peduli, terus lari dengan cepat meninggalkan aku. Mungkin dia ke kota raja karena dia lari ke selatan....!"
"Aku akan mengejarnya!"
Ceng Ceng berteriak dan cepat dia lari meninggalkan kakek itu dengan pedang tetap di tangan. Louw Ki Sun menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang. Kemudian melangkah perlahan-lahan kembali ke utara untuk melaporkan kepada majikannya karena untuk bertindak sendiri terhadap Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, dia tidak mampu. Kian Lee dan Kian Bu memasuki warung di dusun itu. Dari penduduk dusun yang mereka lalui sepanjang perjalanan mereka, benteng Jenderal Kao Liang tidak jauh lagi, berada di balik bukit yang melintang di depan, di sebelah utara dusun-dusun yang mereka tanyai tentang benteng itu, betapa Jenderal Kao amat terkenal dan dihormati serta dipuji oleh para penduduk dusun. Begitu mendengar bahwa dua orang pemuda ini mempunyai hubungan dengan Jenderal Kao, sikap mereka menjadi penuh hormat dan ramah tamah.
Sepasang Pedang Iblis Eps 19 Pendekar Super Sakti Eps 34 Sepasang Pedang Iblis Eps 16