Ceritasilat Novel Online

Jodoh Rajawali 50


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 50



Dia tidak mau menceritakan betapa di dalam kamar itu, dia dan Siang In sudah saling maki dan saling serang kembali sampai muncul guru dan murid itu yang melerai mereka.

   "Eh, bagaimana bisa begitu?"

   Kian Bu bertanya sambil memandang kepada Ang-siocia yang sejak tadi juga memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan.

   "Koksu Nepal memang lihai bukan main,"

   Touw-ong bercerita.

   "Dia sudah tahu bahwa kami berdua telah memberontak dan berkhianat, akan tetapi dia sengaja pura-pura tidak tahu. Ketika bertemu dengan kami, dia menyuruh kami menjaga tawanan di dalam kamar ini. Kami berdua mengintai dan melihat dua orang Nona ini sedang.... eh...."

   Sukar bagi Touw-ong untuk menceritakan betapa dia melihat dua orang nona itu saling serang!

   "Kau dan muridmu lalu menolong kami akan tetapi terjebak pula!"

   Hwee Li melanjutkan cepat. Touw-ong mengangguk.

   "Benar, kami melihat dua orang Nona ini dan cepat kami membuka pintu dari luar. Akan tetapi begitu kami berdua masuk, pintu tertutup dari luar dan pada saat itu koksu menyemburkan asap beracun ke dalam kamar. Kami tak dapat menghindarkan asap itu dan roboh pingsan."

   Kian Bu dan Kian Lee saling pandang. Koksu Nepal itu benar-benar amat cerdik sekali. Mereka semua kini telah terjebak di situ, bahkan Ceng Ceng yang lihai juga telah dapat dipancing masuk ke dalam ruangan.

   "Ha-ha-ha, semua tikus yang mengacau benteng telah terjebak. Orang-orang muda yang bosan hidup, kalian mau berkata apalagi sekarang?"

   Tiba-tiba terdengar suara koksu dari lubang jendela yan terbuat daripada baja.

   "Kami telah terjebak oleh akal busukmu, mau bunuh lekas bunuh!"

   Ceng Ceng yang tidak kehilangan keberaniannya itu memaki. Tek Hoat memandang saudara tirinya seayah berlainan ibu itu dengan kagum.

   "Ceng Ceng, engkau masih seperti dulu, benar-benar mengagumkan hatiku,"

   Katanya. Ceng Ceng memandang saudaranya ini dan tersenyum.

   "Dan aku girang melihat engkau berdiri di fihak kami, bukan menjadi lawan kami, Tek Hoat."

   Melihat kedua orang keponakannya itu, Kian Lee yang pernah jatuh hati secara mendalam dan mati-matian kepada Ceng Ceng, memegang tangan mereka dan berkata,

   "Dan aku girang sekali mempunyai dua orang keponakan seperti kalian. Aku akan merasa bangga dapat mati bersama kalian."

   Ucapan yang jujur ini amat mengharukan hati Tek Hoat, apalagi Ceng Ceng yang maklum akan isi hati "pamannya"

   Itu sehingga dua titik air mata membasahi mata nyonya muda itu. Melihat adegan yang mengharukan itu, tiba-tiba saja Hwee Li menjadi marah. Kian Lee agaknya sama sekali tidak mempedulikan dia! Tiba-tiba saja dia menghampiri jendela dari mana tadi terdengar suara koksu dan dia membentak,

   "Eh, koksu botak menjemukan! Lekas kau beritahukan kepada Pangeran Liong Bian Cu bahwa aku adalah tunangannya dan aku menuntut agar dia membebaskan aku!"

   Akan tetapi koksu hanya tertawa mengejek dan Hwee Li menjadi makin marah lalu dia menjerit-jerit nyaring,

   "Pangeran Liong Bian Cu, apakah mulutmu berbau tahi dan tidak dapat dipercaya lagl? Kau bilang mencintaku, kau bilang bahwa aku adalah calon isterimu, mengapa kau membiarkan aku terjebak dan ditawan seperti ini? Kalau kau menghinaku, mana aku sudi menjadi isterimu?"

   Tiba-tiba nampak wajah pangeran yang tampan dengan hidung kakatua itu di balik jendela. Suaranya halus ketika dia berkata,

   "Hwee Li, manisku. Mana aku dapat melupakan engkau? Adalah salahmu sendiri sampai engkau terjebak karena engkau telah terbujuk musuh dan membantu mereka. Akan tetapi kalau engkau mau bertobat, tentu saja aku suka mengampunimu, seperti yang telah berkali-kali kulakukan."

   Kian Lee dan Kian Bu memandang kepada Hwee Li dengan alis berkerut penuh kekecewaan. Apakah puteri Hek-tiauw Lo-mo ini akhirnya memperlihatkan belangnya dan dalam keadaan terancam itu lalu timbul kepalsuannya, merengek dan minta diampuni oleh pangeran? Akan tetapi Kian Bu melihat sendiri betapa selama ini Hwee Li benar-benar menentang musuh, bahkan mati-matian membela fihak mereka yang memusuhi orangorang Nepal.

   "Pangeran, mana aku bisa percaya omonganmu kalau engkau tidak mau masuk ke sini? Masuklah dan jemputlah aku, baru aku percaya kepada omonganmu. Ribuan kali engkau menyatakan cinta, akan tetapi aku masih belum percaya benar dan sekali ini biar kupakai sebagai ujian."

   Mendengar ucapan ini, Siang In mendengus dengan penuh ejekan, akan tetapi Kian Bu dan Kian Lee saling pandang, maklum akan maksud ucapan Hwee Li yang agaknya hendak memancing pangeran itu masuk agar dapat ditangkap. Maka kakak beradik ini sudah siap untuk turun tangan begitu melihat sang pangeran masuk ke dalam ruangan itu. Akan tetapi, dari luar ruangan itu terdengar suara ketawa Koksu Nepal.

   "Ha-ha-ha. Nona Hwee Li, engkau kira kami hanya anak-anak kecil yang mudah kau bujuk dan tipu begitu saja."

   "Hwee Li, kekasihku, kau keluarlah dari ruangan itu, melalui pintu. Akan tetapi yang lain jangan bergerak, dan setelah tiba di luar, aku tentu akan membebaskanmu dan permintaan apa pun yang kau ajukan akan kupertimbangkan."

   Mendengar ini, Hwee Li mengerutkan alisnya. Akalnya gagal. Akan tetapi dia masih mempunyai harapan.

   "Benarkah bahwa semua permintaanku kau penuhi?"

   "Akan kupertimbangkan,"

   Jawab pangeran. Tidak ada lain jalan bagi Hwee Li. Harapan satu-satunya untuk menolong, semua orang yang tertawan hanyalah membujuk pangeran yang benar-benar jatuh cinta kepadanya itu. Kalau perlu, untuk menyelamatkan mereka, terutama menyelamatkan Kian Lee, dia siap untuk mengorbankan diri!

   "Baiklah, aku akan keluar."

   Dia lalu menoleh, sekali ini dia menatap Kian Lee dan berbisik,

   "Harap kalian jangan bergerak, aku akan membantu kalian, jangan khawatir."

   Kemudian dia melangkah menuju ke pintu ruangan itu.

   "Hwee Li, jangan mudah terbujuk musuh!"

   Ceng Ceng berkata, memperingatkan muridnya karena dia khawatir kalau-kalau muridnya itu akan celaka di tangan Pangeran Nepal. Hwee Li menoleh dan tersenyum kepada nyonya muda itu.

   "Harap Subo jangan khawatir, aku dapat menjaga diri,"

   Katanya. Seluruh urat syaraf di tubuh Kian Lee, Kian Bu, Ceng Ceng, dan Tek Hoat sudah menegang dan mereka sudah siap menerjang keluar kalau pintu itu terbuka.

   Akan tetapi ketika Hwee Li melangkah sampai di belakang pintu, tiba-tiba dia menjerit dan tubuhnya terjeblos ke bawah. Kiranya lantai di belakang pintu itu dipasangi alat dan begitu dara itu menginjaknya, lantai itu bergerak meluncur ke bawah membawa tubuh dara itu bersamanya. Semua pendekar yang berada di situ meloncat, akan tetapi lantai itu telah tertutup kembali dan tubuh Hwee Li sudah lenyap! Ternyata tubuh Hwee Li telah terbawa turun dan begitu dia tiba di ruangan bawah, di situ telah menanti Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal! Hwee Li hendak mengamuk, akan tetapi pangeran itu menubruknya dan pada saat yang sama Koksu Nepal telah mengirim totokan. Hwee Li tak mungkin dapat melawan dua orang yang amat lihai itu dan di lain saat dia telah tertotok dan dipondong oleh Pangeran Liong Bian Cu.

   "Bunuh mereka semua! Bakar saja ruangan itu dari luar!"

   Sang pangeran berteriak dengan girang setelah dia berhasil menangkap kekasihnya. Mereka yang tertawan di dalam mendengar perintah ini dan mereka menjadi bingung, kembali mereka berusaha mencari jalan keluar dengan mengetuk-ngetuk tembok, memeriksa dinding, jendela dan pintu, juga meloncat ke atas untuk mencoba menerobos atap. Namun semua itu sia-sia karena memang ruangan itu dibuat secara khusus untuk menjebak lawan-lawan tangguh dan pembuatannya telah direncanakan sendiri oleh Koksu Nepal. Dalam keadaan yang menegangkan urat syaraf itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring disusul suara hiruk-pikuk,

   "Kebakaran! Kebakaran!"

   "Gudang ransum terbakar!"

   "Tolonggggg....! Lekas bantu padamkan. Ransum terbakar....!"

   Mereka yang terkurung di dalam ruangan itu saling pandang. Kian Lee, Kian Bu, dan Siang In tidak mengerti apa artinya itu, akan tetapi Ceng Ceng, Ang-siocia dan Hek-sin Touw-ong tersenyum girang.

   "Ah, siasat Jenderal Kao Liang mulai dijalankan dengan baik!"

   Kata Touw-ong dan dia lalu duduk bersandar tembok dengan wajah girang.

   "Ransum di sini akan terbakar habis dan benteng ini sudah dikurung! Sebentar lagi tentu tentara kerajaan akan menyerbu. Ah, kalau mereka yang jahat ini dapat dihancurkan, kematian kitapun tidak akan sia-sia!"

   Kata Ang-siocia sambil memandang kepada Kian Bu. Dia tahu bahwa mereka telah terjebak dan agaknya tidak ada harapan lagi untuk hidup, maka wanita muda ini tidak ragu-ragu lagi untuk menyatakan rasa hatinya terhadap Siluman Kecil.

   "Terutama sekali, aku rela mati bersama Taihiap,"

   Katanya sambil memandang kepada pendekar itu.

   "Bukankah kita pernah melakukan perjalanan bersama yang amat menyenangkan? Kalau kita mati bersama, berarti sekali lagi melakukan perjalanan bersama Taihiap, betapa bahagianya rasa hatiku!"

   Hek-sin Touw-ong mengerutkan alisnya. Murid yang dicintanya itu telah dia tetapkan untuk menjadi jodoh dari Siauw Hong,

   Murid dari Sai-cu Kai-ong yang telah mengetahui rahasia kewanitaan Ang-siocia yang menyamar pria. Akan tetapi dia tahu pula bahwa muridnya ini telah jatuh hati kepada Siluman Kecil, maka di samping rasa tidak puasnya melihat sikap dan mendengar kata-kata muridnya, dia juga merasa terharu sekali. Kian Bu sendiri terkejut mendengar ucapan itu dan melihat sinar mata Ang-siocia yang penuh kemesraan kepadanya. Baru sekarang dia mengerti bahwa dara cantik ini ternyata jatuh cinta kepadanya! Otomatis dia menoleh kepada Siang In dan makin terkejutlah dia ketika melihat sinar mata Siang In penuh dengan api kemarahan. Dia menjadi bingung dan tidak menjawab kata-kata Ang-siocia, apalagi karena pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk dan nyala api, di antara teriakan-teriakan orang yang kebingungan.

   "Darrr....! Blaaarrrrr....!"

   Ledakan-ledakan yang bertubi-tubi menggetarkan ruangan itu. Dinding seperti bergoyang dan akan runtuh rasanya, lantai yang dipijak juga tergetar hebat. Lalu terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dan terdengarlah suara ribut-ribut luar biasa di sebelah luar.

   "Apa.... apa artinya itu?"

   Kian Lee bertanya heran.

   "Itu itu merupakan satu di antara siasat ayah mertuaku!"

   Ceng Ceng berseru dengan wajah penuh ketegangan. Dan memang yang dikatakannya itu benar adanya. Jenderal Kao Liang telah mengatur rencana siasatnya dengan rapi. Dia minta kepada Puteri Milana untuk menggunakan pasukannya mengurung benteng itu dengan ketat, kemudian dengan bantuan Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu, dia melakukan pembakaran-pembakaran pada gudang-gudang ransum. Dua orang pendekar itu memasang obat-obat bahan bakar di dalam gudang-gudang dan ketika saatnya tiba,

   Jenderal Kao Liang yang berada di menara dan gapura terbesar, melepas anak-anak panah berapi ke arah gudang-gudang itu sehingga dalam beberapa waktu singkat gudang-gudang itu terbakar semua. Api menjulang tinggi dan sukar dipadamkan karena api telah membakar alat-alat bahan bakar yang telah ditaruh di dalam gudang-gudang itu. Kemudian, dengan menekan tombol-tombol rahasia yang dipasangnya ketika dia mengatur pembangunan benteng itu, tombol-tombol rahasia yang hanya diketahuinya sendiri dan merupakan rencananya semenjak semula, Jenderal Kao Liang mulai meledakkan dinding-dinding benteng dengan alat-alat peledak yang sudah ditanamnya di tempat-tempat tersembunyi. Bunyi ledakan bertubi-tubi itu meruntuhkan pintu-pintu gerbang dan dinding-dinding.

   Melihat ini, Puteri Milana yang sudah siap siaga, cepat memerintahkan pasukan-pasukannya untuk menyerbu. Waktu itu, matahari mulai mengusir kegelapan malam dan di antara kabut pagi bercampur asap ledakan dan debu, seperti semut-semut saja pasukan kerajaan menyerbu benteng yang sudah kacau-balau oleh kebakaran-kebakaran yang disusul ledakan-ledakan itu. Dapat dibayangkan betapa gegernya keadaan di dalam benteng itu. Mula-mula semalam suntuk penghuni benteng sudah dikacaukan oleh pendekar-pendekar muda yang menyelundup ke dalam benteng, yang dibantu pula oleh Touw-ong dan Ang-siocia yang berkhianat sehingga terjadi banyak hal yang membingungkan, kemudian, menjelang pagi, disusul pula dengan kebakaran-kebakaran pada gudang-gudang ransum, hal yang amat mengejutkan,

   Dan kini, tanpa mereka ketahui apa sebabnya, pintu-pintu gapura benteng dan dinding-dinding banyak yang runtuh oleh ledakan-ledakan dahsyat tadi. Lebih hebat lagi, kini pasukan kerajaan yang banyak jumlahnya telah menyerbu masuk melalui pintu-pintu dan dinding-dinding yang runtuh, seperti air bah saja me-nyerang dengan gegap-gempita. Koksu Nepal dan Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main, tidak tahu apa yang terjadi dan mereka baru sadar bahwa Jenderal Kao Lianglah yang melakukan semua itu. Mereka mengira bahwa semua itu terjadi karena kelihaian Puteri Milana yang memang sudah mereka dengar akan kepandaiannya mengatur pasukan. Tentu saja mereka menjadi jerih dan Koksu Nepal cepat mengeluarkan aba-aba kepada para pasukannya untuk menahan serbuan musuh. Dia sendiri mengempit tubuh Cin Liong sedangkan Pangeran Liong Bian Cu memanggul tu-buh Hwee Li.

   Mereka ingin mempergunakan dua orang tawanan ini sebagai sandera untuk dapat melarikan diri melalui pintu rahasia apabila keadaan memaksa dan memerlukan. "Bakar ruangan ini!"

   Teriak Koksu Nepal dan perintah ini segera dilaksanakan oleh para pengawalnya. Kemudian koksu, pangeran, dan dikawal oleh empat orang dari Im-kan Ngo-ok yang lain, juga para pembantu, cepat meninggalkan tempat itu untuk membantu para pasukan yang sedang menahan serbuan tentara kerajaan. Api mulai berkobar membakar ruangan di mana para pendekar itu terkurung dan agaknya mereka akan terbakar hangus kalau saja pada saat api sudah mulai berkobar tinggi, pintu tahanan itu tidak dibuka orang dari luar. Beberapa orang pengawal roboh oleh terjangan sesosok tubuh yang gerakannya seperti seekor naga dan orang ini berhasil membuka pintu ruangan.

   Para pendekar yang sudah mulai putus asa di sebelah dalam, melihat terbukanya pintu, cepat berloncatan keluar dan ternyata yang menolong mereka itu adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu! Bersama Bun Beng, Kok Cu melaksanakan siasat ayahnya, yaitu membantu ayahnya membakari gudang-gudang ransum, kemudian karena dia khawatir akan puteranya yang kabarnya dibawa oleh Ji-ok, dia menyusul ke istana pangeran. Di situ dia melihat ruangan depan dibakar, maka dia segera dapat menduga bahwa tentu kawan-kawannya terkurung di dalam ruangan itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu membuka pintu ruangan yang memang dipalang dari depan sehingga semua orang yang terkurung dapat diselamatkannya, termasuk isterinya sendiri.

   "Di mana Cin Liong?"

   Tanya Kok Cu kepada isterinya yang sudah memeluknya.

   "Dia.... dia tadi dibawa oleh koksu...."

   Isterinya menjawab penuh kekhawatiran dan menuding ke depan. Dari lubang jendela dia tadi melihat ke mana puteranya dibawa oleh kakek botak itu. Tanpa banyak cakap mereka semua lalu lari mengejar. Akan tetapi Ang Tek Hoat tidak ikut mengejar karena dia sudah lari menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi. Keadaan di kanan kiri sudah kacau-balau, perang campuh terjadi di mana-mana dan banyak rumah-rumah yang terbakar. Ketika Tek Hoat tiba di depan rumah yang tadinya menjadi tempat tinggal Puteri Syanti Dewi, jantungnya berdebar penuh ketegangan melihat betapa rumah itu juga sedang terbakar!

   "Dewi....!"

   Dia berseru berkali-kali dan mencari-cari jalan untuk memasuki rumah yang terbakar itu. Akan tetapi dia tidak mungkin dapat masuk dan tiba-tiba dia melihat seorang pengawal lari menjauhkan diri. Cepat dia meloncat dan dengan mudah dia mencengkeram tengkuk orang itu.

   "Hayo katakan, di mana Sang Puteri Bhutan?"

   Bentaknya. Melihat wajah pemuda itu pucat sekali, sepasang matanya melotot dan mengeluarkan sinar bengis, pengawal itu makin ketakutan.

   "Dia.... dia sudah sejak tadi.... dibawa pergi oleh panglima dari Bhutan dan orang-orangnya...."

   "Mohinta....?"

   Orang itu mengangguk dan Tek Hoat mengendurkan cengkeramannya.

   "Ke mana dibawanya?"

   Orang itu menggeleng kepala.

   "Hamba tidak tahu...."

   Tek Hoat melepaskan orang itu dan meloncat pergi. Hatinya panas sekali akan tetapi dia mengerti bahwa Mohinta tentu melarikan sang puteri keluar dari benteng dan ke mana lagi dibawanya kalau tidak kembali ke Bhutan? Dia lalu meloncat dan mencari-cari, tentu saja menuju ke pintu depan yang sudah roboh dan di mana terjadi perang campuh yang amat seru.

   Tiba-tiba dia melihat Koksu Nepal yang mengempit tubuh anak laki-laki kecil, bersama Pangeran Liong Bian Cu yang memanggul tubuh Hwee Li, diikuti oleh para pembantu mereka, tergesa-gesa menuju ke arah selatan. Dan dia melihat pula Kao Kok Cu, Ceng Ceng, dan yang lain-lain mengejar mereka. Koksu dan kawan-kawannya itu cepat memasuki sebuah rumah besar yang kosong, dan para pengejarnya cepat menyusul. Melihat ini, Tek Hoat merasa bahwa dia pun harus membantu mereka karena bukankah Pangeran Nepal dan Koksu Nepal itu yang menjadi biang keladi sehingga Syanti Dewi tertawan di tempat itu? Pula, dia maklum akan kelihaian koksu dan para pembantunya sehingga Kok Cu dan para pendekar lain itu tentu membutuhkan bantuannya.

   "Tek Hoat, mari bantu, kami merampas kembali puteraku!"

   Teriak Ceng Ceng ketika dia melihat saudaranya itu. Tek Hoat hanya mengangguk dan dia pun ikut pula menyerbu ke dalam rumah. Tidak ada perlawanan dari dalam dan ternyata koksu dan pangeran berdiri tegak, para pembantunya di belakang mereka dan kedua orang ini tersenyum.

   "Berhenti!"

   Teriak koksu sambil mengangkat tubuh Cin Liong ke atas.

   "Melangkah maju berarti anak ini akan kami bunuh lebih dulu!"

   Tentu saja menghadapi para pendekar itu, koksu sama sekali tidak takut karena dia mempunyai banyak pembantu, apalagi di situ ada Im-kan Ngo-ok lengkap yang amat kuat. Akan tetapi, kakek botak ini maklum bahwa biarpun mereka dapat mengalahkan rombongan pendekar ini, atau setidaknya mengimbangi mereka, namun dia dan kawan-kawannya tidak mungkin dapat melawan puluhan ribu tentara kerajaan yang tentu akhirnya akan menang karena jumlahnya yang jauh lebih banyak, sedangkan pasukan-pasukannya sudah kehilangan pimpinan.

   "Hemmm, kalau sudah menderita kekalahan lalu muncullah watak pengecut dan curang!"

   Kao Kok Cu mengejek.

   "Koksu Nepal, aku mendengar bahwa selain engkau menjadi koksu dari Kerajaan Nepal, juga engkau terkenal sebagai Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok. Sekarang, secara curang engkau telah berhasil menawan puteraku. Oleh karena itu, marilah kita bertanding secara gagah untuk memperebutkan puteraku itu. Kalau aku kalah, tentu saja engkau berhak membawa puteraku sebagai sandera. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menyerahkan puteraku itu dengan baik-baik kepadaku."

   Ban Hwa Sengjin menyeringai.

   "Enak saja engkau, Naga Sakti Gurun Pasir! Kami membutuhkan anakmu ini untuk dapat keluar dari sini dengan selamat. Kalau anak ini kuserahkan kepadamu, lalu kau mengandalkan pasukan yang puluhan ribu banyaknya, tentu saja kami takkan sanggup meloloskan diri."

   "Dengarlah, Koksu Nepal. Di antara kita pribadi tidak ada permusuhan, mengapa kami harus mencegah kalian melarikan diri? Aku berjanji sebagai seorang gagah bahwa kalau Cin Liong sudah kembali kepadamu, kami tidak akan menghalangi engkau untuk melarikan diri."

   Ban Hwa Sengjin berpikir-pikir. Dia dapat percaya omongan seorang pendekar besar seperti Kao Kok Cu ini. Kalau orang-orang gagah di depannya ini tidak menghalangi, tentu dia dan teman-temannya dapat melarikan diri melalui pintu rahasia, karena halangan dari para pasukan saja tentu tidak ada artinya baginya. Yang berbahaya adalah orang-orang muda perkasa ini turun tangan mencegah mereka lari.

   "Baiklah, kami percaya omongan Naga Sakti Gurun Pasir! Kau bawa dulu anak ini, Twa-heng!"

   Katanya dan dia melemparkan tubuh Cin Liong kepada Twa-ok yang menerimanya sambil tersenyum. Sebetulnya diam-diam dia tidak setuju dengan sikap koksu yang menerima tantangan itu karena kakek gorilla ini maklum betapa lihainya Naga Sakti Gurun Pasir. Kalau dia sendiri yang maju, barulah lebih banyak harapan untuk menang.

   Akan tetapi yang ditantang oleh si lengan buntung itu adalah koksu, maka kalau koksu mewakilkan kepadanya tentu saja hal itu menjatuhkan nama Ban Hwa Sengjin, sebagai orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok dan juga sebagai seorang Koksu Nepal. Kini dua orang sakti itu sudah saling berhadapan. Sikap Kok Cu tenang saja, bahkan lengan kirinya yang buntung, memperlihatkan lengan baju kosong itu kelihatan menyedihkan dan menimbulkan rasa iba. Akan tetapi, di lain fihak Ban Hwa Sengjin kelihatan gelisah dan khawatir, sebagian besar wibawa dan keangkuhannya lenyap, bahkan dia menoleh ke kanan kiri seperti hendak mencari perlindungan. Memang di dalam hatinya, kakek botak ini merasa terhadap pendekar lengan buntung yang sederhana ini karena dia sudah mendengar banyak hal yang luar biasa tentang Istana Gurun Pasir dan pengnuninya.

   "Ban Hwa Sengjin, majulah!"

   Kao Kok Cu berkata dengan tenang. Akan tetapi kakek botak itu tidak menjawab, melainkan diam saja, memandang tajam dan dia menggerak-gerakkan kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dan kedua telapak tangan Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengeluarkan uap kehitaman! Itulah tanda bahwa si kakek botak ini telah mengerahkan tenaganya yang luar biasa karena agaknya dia tahu benar bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara dahsyat seperti gerengan seekor beruang marah, membuat tempat itu tergetar dan tubuhnya lalu bergerak meluncur ke depan, lalu berpusing cepat sekali dan dia mulai menerjang ke arah Kok Cu! Namun, Kok Cu juga sudah siap sedia.

   Begitu diserang, dia langsung menggunakan ilmunya yang paling hebat, yaitu Sin-liong-ciang-hoat, tubuhnya tiba-tiba saja membungkuk dan lurus ke depan, pangkal lengan kirinya bergerak dan lengan baju yang kosong itu mengeluarkan bunyi mencicit, menyambar ke depan menyambut pukulan lawan dan hendak menggulung tangan lawan! Ban Hwa Sengjin atau Lakshapadma menarik kembali tangannya dan tiba-tiba dia melayangkan kaki kanan-nya dengan tendangan kilat yang mendatangkan angin dahsyat sekali. Sepatunya yang berlapis baja itu merupakan senjata ampuh dan jangankan tubuh manusia, biar dinding batu pun akan ambrol kalau terkena hantaman kaki yang bersepatu baja ini. Namun, tubuh Kok Cu dapat mendoyong ke belakang, lurus ke belakang dan kembali lengan baju kosong itu meluncur ke depan, menotok ke arah lambung lawan.

   "Prakkk!"

   Ban Hwa Sengjin menangkis dengan tangan kirinya dan dia menggunakan pertemuan tenaga sakti itu untuk berjungkir balik ke belakang, kemudian kembali dia menggerakkan tubuhnya berpusing dengan ilmunya yang aneh dan disebut Thian-te-hong-i. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan aneh di mana nampak tubuh kakek botak itu berpusing seperti gasing dan tubuh Kok Cu seperti rebah lurus disanggah oleh sebelah kaki, seperti seekor naga yang gerakkannya aneh bukan main. Siluman Kecil mendekati Tek Hoat. Dia merasa makin suka kepada keponakan ini yang agaknya kini telah berubah, tidak lagi mau membantu kaum pemberontak. Dia maklum bahwa kehadiran Tek Hoat di dalam benteng itu sama sekali bukan untuk membantu pemberontak, melainkan untuk melindungi Syanti Dewi. Teringatlah dia akan rahasia tentang kematian ibu pemuda itu, maka dia berbisik,

   "Tek Hoat, tahukah engkau siapa pembunuh ibumu?"

   Ang Tek Hoat terkejut bukan main, matanya terbelalak memandang kepada Kian Bu, dan wajahnya berubah. Dia menggeleng kepalanya dan pandang matanya penuh selidik menatap wajah Siluman Kecil.

   "Tahukah engkau?"

   Dia balas bertanya. Kian Bu mengangguk.

   "Secara kebetulan aku bertemu dengan Cui Ma yang telah menjadi gila, dan sebelum dia mati dia sempat menceritakan bahwa yang membunuh ibumu adalah Mohinta dan kawan-kawannya dari Bhutan...."

   "Keparat!"

   Tek Hoat berseru demikian kerasnya sehingga mengejutkan semua orang, akan tetapi dua orang yang sedang bertanding itu tidak mempedulikan dan terus saja berkelahi. Tek Hoat memandang kepada Kian Bu dengan muka berubah merah, matanya beringas dan dia mendengarkan ketika Kian Bu menceritakan dengan singkat pertemuannya dengan Cui Ma, pelayan dari Ang Siok Bi, ibu pemuda itu.

   "Kalau begitu, aku harus mengejarnya sekarang juga!"

   Tek Hoat berseru dan dia menangkap tangan Kian Bu.

   "Paman, terima kasih!"

   Dengan kecepatan kilat Tek Hoat melompat keluar dari tempat itu dan tanpa mempedulikan perang yang masih berjalan seru, dia menyusup di antara tentara yang saling bertempur, terus dia melarikan diri keluar dari dalam benteng itu. Perkelahian antara Ban Hwa Sengjin dan Kao Kok Cu masih berlangsung dengan hebatnya. Kedua fihak yang menonton pertandingan ini merasa tegang sekali, akan tetapi Ceng Ceng bersikap tenang saja, bahkan dia tidak pernah melepaskan pandang matanya dari puteranya yang dipondong oleh Twa-ok. Dia merasa yakin akan kemenangan suaminya, yang dikhawatirkan adalah kalau flhak Im-kan Ngo-ok tidak akan memegang janjinya.

   Akan tetapi dia melihat kakek gorilla itu tersenyum-senyum dan agaknya puteranya tidak diganggunya. Sebenarnya, Ban Hwa Sengjin sudah merasa kewalahan sekali menghadapi ilmu silat yang aneh dari lawannya, juga setiap kali mereka beradu tenaga sakti, dia merasa betapa dadanya menjadi sesak, tanda bahwa tenaga sinkang dari lawan yang buntung sebelah lengannya itu benar-benar amat luar biasa kuatnya. Hal ini tidaklah aneh karena Kao Kok Cu telah berhasil memiliki tenaga mujijat yang timbul karena penguasaan Ilmu Sin-liong-hok-te dari gurunya, Si Dewa Bongkok yang juga hanya berlengan sebelah. Ilmu silat dari Ban Hwa Sengjin, sebagai orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, sudah mencapai tingkat tinggi sekali, apalagi Ilmu Silat Thian-te Hong-i itu sukar sekali dilawan.

   Selain itu, juga dia telah memiliki pengalaman yang amat luas, maka dia merupakan lawan yang tangguh bagi Kok Cu. Akan tetapi, dengan bekal kepandaiannya yang luar biasa, yang diperolehnya dari gemblengan Si Dewa Bongkok, apalagi dengan tenaga sakti dari Sin-liong-hok-te, kalau dia menghendaki, Kok Cu tentu akan mampu merobohkan kakek botak itu. Akan tetapi, pendekar ini adalah seorang yang memiliki pandangan luas dan tidak mau menuruti perasaan hatinya. Dia maklum bahwa selama ini dia tidak mempunyai permusuhan dengan Im-kan Ngo-ok, dan bahwa diculiknya puteranya pun sesungguhnya bukan perbuatan Im-kan Ngo-ok, melainkan merupakan balas dendam dari puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin kepada ayahnya. Kalau kini Cin Liong terjatuh ke tangan Im-kan Ngo-ok, hal itu hanya merupakan kebetulan saja.

   Pula, selama puteranya masih berada di tangan mereka, dia tidak boleh ceroboh dan membunuh atau melukai berat kepada Koksu Nepal. Oleh karena inilah maka dia berkelahi dengan hati-hati dan tidak mau merobohkan koksu yang boleh mengakibatkan kematiannya. Ketika mendapat kesempatan yang baik setelah dia berhasil menghindarkan diri dari tendangan Ban Hwa Sengjin, tiba-tiba tubuh Kok Cu mencelat ke atas dan dari atas, ujung lengan bajunya yang kiri dan kosong itu meluncur dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala yang botak dari lawannya. Inilah cara yang paling tepat untuk menyerang tubuh lawan yang berpusing itu. Ban Hwa Sengjin terkejut bukan main. Untuk mengelak amatlah berbahaya, maka dia lalu mengangkat tangan kiri menangkis sambaran ujung lengan baju itu.

   "Prattt!"

   Ujung lengan baju bertemu dengan tangan Ban Hwa Sengjin, terasa panas tangan itu dan ujung lengan baju seperti ekor naga sudah melibat pergelangan tangan Ban Hwa Sengjin dan tubuh Kok Cu sudah turun kembali, kini Ban Hwa Sengjin membarengi turunnya tubuh lawan di depannya itu dengan hantaman telapak tangan kanan ke arah dada Kok Cu. Pendekar ini pun menggerakkan tangan kanan menyambut.

   "Plakkkkk!"

   
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kelihatannya perlahan saja dua telapak tangan itu bertemu, akan tetapi akibatnya tubuh Ban Hwa Sengjin terhuyung setergah melayang ke belakang seperti layangan putus talinya. Dia berhasil berdiri tegak kembali, akan tetapi mukanya pucat dan ujung bibirnya mengeluarkan darah segar! Ban Hwa Sengjin sejenak menatap wajah Kao Kok Cu, kemudian mengangguk dan menjura, lalu menoleh kepada Twa-ok.

   "Twa-heng, harap kembalikan anak itu,"

   Katanya lemah dan begitu mengeluarkan kata-kata ini, beberapa titik darah menetes dari ujung mulutnya.

   Koksu Nepal itu cepat memejamkan matanya dan menarik napas panjang. Ji-ok melompat mendekatinya dan tangan kanan nenek iblis itu ditempelkan ke punggung koksu, lalu mengurut beberapa kali ke bawah. Nenek itu menolong saudaranya mengobati luka di dalam tubuh yang ternyata tidaklah terlalu berbahaya, karena bukan langsung dihantam oleh tenaga sakti lawan, melainkan terkena tenaganya sendiri yang membalik keras. Twa-ok tertawa dan melemparkan tubuh Cin Liong ke arah Kao Kok Cu. Pendekar ini menggerakkan lengan baju kiri yang menggulung tubuh anak itu, diperiksanya sebentar lalu diserahkannya anak itu kepada isterinya. Ceng Ceng memeluk anaknya dan diciuminya. Dua titik air mata membasahi pipinya ketika ibu ini akhirnya bertemu kembali dengan puteranya.

   "Eh, mana, Lee-ko....?"

   Tiba-tiba Kian Bu bertanya ketika dia tidak melihat kakaknya berada di situ lagi. Semua orang juga mencari dengan pandangan matanya, yang bukan hanya Kian Lee yang tidak nampak, bahkan juga Pangeran Liong Bian Cu telah lenyap bersama tawanannya, yaitu Hwee Li.

   "Aku tadi melihat dia mengejar Pangeran Nepal,"

   Kata Siang In. Kiranya tadi secara diam-diam, mempergunakan kesempatan selagi semua orang tertarik menonton pertandingan yang amat hebat antara Koksu Nepal dan Kao Kok Cu, Pangeran Nepal itu minta bantuan Gitananda, kakek bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut, untuk menggunakan sihirnya melindungi dia melarikan diri membawa Hwee Li bersama. Semua orang mudah saja seperti terlupa karena perhatian mereka sedang dicurahkan ke arah pertandingan itu.

   Hanya Suma Kian Lee yang tidak terpengaruh oleh karena pemuda ini sejak tadi memperhatikan Hwee Li, maka ketika Gitananda mengangkat tongkat cendana dan mempergunakan sihir, dia sudah mengerahkan sinkangnya melawan dan dia dapat melihat Pangeran Liong Bian Cu diam-diam membawa Hwee Li pergi dari tempat itu maka dia pun cepat mengejar. Sedangkan Siang In yang ahli dalam ilmu sihir, segera merasakan pengaruh sihir yang dilepas oleh Gitananda, maka dia cepat melawan dan dia sempat melihat Kian Lee mengejar sang pangeran. Melihat kekalahan Ban Hwa Sengjin, empat orang Im-kan Ngo-ok yang lain dan juga para pembantu koksu merasa penasaran.

   "Ha-ha-ha, Sam-te, biarlah kami menebus kekalahanmu dan membasmi mereka ini,"

   Kata Twa-ok dan bersama Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, dia sudah maju dan hendak mengamuk.

   Akan tetapi tiba-tiba muncul dua orang yang membawa pasukan pengawal berbaju emas yang amat rapi dan menyeramkan. Mereka itu bukan lain adalah pendekar Gak Bun Beng bersama isterinya, Milana, yang memimpin empat puluh orang anggauta pasukan pengawal baju emas yang terkenal itu. Melihat munculnya suami isteri ini, Im-kan Ngo-ok merasa gentar juga. Di antara para pendekar tadi, yang lihai sudah ada tiga orang, yaitu Siluman Kecil, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng. Kalau kini muncul pula pendekar sakti Gak Bun Beng, dan Puteri Milana, maka fihak lawan menjadi terlampau kuat, apalagi masih dibantu oleh pasukan yang amat besar. Munculnya Puteri Milana ini berarti bahwa pasukan Gubernur Ho-nan yang bertahan di situ sudah kalah. Maka koksu yang cerdik itu maklum bahwa menggunakan kekerasan sama artinya dengan membunuh diri. Cepat dia berkata lantang,

   "Twa-heng dan teman-teman semua! Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menjanjikan untuk membiarkan kita pergi, perlu apa kita yang sudah kalah ini lebih lama berada di sini? Mari kita pergi!"

   Mendengar ucapan ini, Im-kan Ngo-ok yang lain dan para pembantu koksu seperti Hwa-i-kongcu dan orang-orangnya, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan yang lain-lain mengerti akan maksudnya dan tanpa diperintah dua kali, mereka lalu mengikuti koksu pergi dari istana itu. Melihat ini, Gak Bun Beng menghadang di tengah jalan dengan sikap mengancam, akan tetapi Kao Kok Cu berkata.

   "Paman Gak, harap suka membiarkan mereka pergi karena memang kami telah menjanjikan mereka untuk pergi."

   Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, akan tetapi terdengar Puteri Milana berkata kepada suaminya,

   "Biarkanlah mereka pergi. Memang kerajaan tidak mempunyai permusuhan resmi dengan Kerajaan Nepal, dan kami hanya perlu menangkap Gubernur Ho-nan yang memberontak!"

   Gak Bun Beng mengerti bahwa dalam ucapan isterinya ini tentu terkandung maksud yang lebih dalam. Dan memang sebenarnyalah demikian. Puteri Milana maklum bahwa kerajaan sedang lemah dan kacau oleh tindakan kaisar tua yang mendengarkan bujukan para menteri durna sehingga kaisar menaruh curiga kepada semua orang, terutama orang-orang yang setia seperti Jenderal Kao Liang yang sampai dipecat.

   Dalam keadaan lemah itu, biarpun kini pangeran mahkota sudah mulai menaruh perhatian, amatlah berbahaya kalau menyatakan perang dengan Nepal secara terbuka dengan jalan menangkap atau membunuh Koksu Nepal. Yang terpenting adalah menangkap dan menghukum Gubernur Ho-nan yang memberontak. Rombongan Koksu Nepal tidak mengalami banyak hambatan karena para perajurit tidak ada yang berani mencoba menghalangi mereka sehingga mereka itu dapat melarikan diri melalui pintu rahasia dan cepat meninggalkan benteng yang sudah diduduki musuh itu. Banyak pasukan pemberontak yang tewas, akan tetapi lebih banyak lagi yang menyerah setelah melihat para pimpinan mereka melarikan diri.

   Dengan tubuh gemetar dan muka pucat ketakutan, Kui Cu Kam, Gubernur Ho-nan yang memberontak itu, berlutut dan ditawan bersama kaki tangannya. Puteri Milana dan para pendekar merasa lega bahwa akhirnya semua keluarga Kao dapat diselamatkan dan sambil menggiring rombongan gubernur pemberontak mereka keluar dari dalam istana dengan girang. Hanya Kian Bu yang mengerutkan alisnya dengan khawatir karena kakaknya pergi entah ke mana, melakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang melarikan Hwee Li. Ketika rombongan Puteri Milana keluar dari istana, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang amat dahsyat dan mengejutkan semua orang. Mereka terkejut sekali karena perang telah selesai dan tidak perlu lagi diadakan peledakan lain untuk menghancurkan benteng. Mereka semua memburu keluar dan terdengar teriakan yang memilukan,

   "Ayaaahhh....!"

   Mendengar bahwa teriakan itu adalah suara Kao Kok Cu, semua orang cepat lari menghampiri tempat ledakan. Yang meledak hancur dan terbakar adalah menara di mana tadi Jenderal Kao Liang mengatur ledakan-ledakan dan pembakaran-pembakaran. Kini menara itu telah terbakar dan api menyala-nyala dengan hebatnya. Dan di tengah-tengah menara yang sudah runtuh, di antara api yang bernyala-nyala, nampak berdiri tegak seorang laki-laki tua yang gagah perkasa,
(Lanjut ke Jilid 49)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 49
berdiri dengan tegak dan memandang ke arah benteng yang sudah hancur dengan wajah berseri akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata. Orang tua gagah itu bukan lain adalah Jenderal Kao Liang!

   "Ayah....!"

   Kao Kok Cu berseru dan berbareng dengan tubuh isterinya yang sudah menurunkan Cin Liong, pendekar ini melayang naik seperti berlumba dengan Ceng Ceng untuk menolong kakek itu. Namun, mereka terpaksa berjungkir balik dan turun kembali karena mereka disambut oleh api yang berkobar-kobar!

   "Kembalilah, Kok Cu dan Ceng Ceng! Aku bukan seorang pengecut, aku sudah bersumpah untuk mempertahankan benteng dengan nyawaku!"

   Terdengar Jenderal Kao Liang berseru dengan suara mengguntur.

   "Selamat tinggal semua!"

   Tangannya bergerak dan terdengar lagi ledakan dahsyat, nampak sinar api berkilauan hebat dan tempat itu hancur sama sekali. Tubuh sang jenderal lenyap bersama sisa menara yang hancur oleh ledakan itu! Ceng Ceng menangis mengguguk dan merangkul suaminya. Terdengar jerit tangis ketika para keluarga Kao keluar dari tempat mereka dan mereka hanya dapat menangis sambil memandang ke arah api yang berkobar.

   Isteri sang jenderal dan beberapa orang keluarga wanita roboh pingsan. Kao Kok Cu juga tak dapat menahan air matanya dan dia menundukkan mukanya, berdoa untuk roh ayahnya yang gagah. Dia tahu apa yang telah dilakukan ayahnya dan mengapa. Dia tidak dapat menyalahkan keputusan yang diambil oleh ayahnya itu. Ayahnya telah berkhianat kepada negara, demi menyelamatkan keluarganya. Setelah keluarganya selamat, ayahnya melaksanakan rencana yang telah diaturnya semenjak hari pertama dia dipaksa membangun benteng, yaitu menghancurkan benteng itu. Menghancurkannya bersama dia karena dia sudah berjanji kepada pangeran dan Koksu Nepal bahwa dia akan mempertahankan benteng itu dengan nyawanya.

   Dan memang dia mempertahankan dengan taruhan nyawanya di samping dia menebus dosa pengkhianatannya kepada negara! Jenderal Kao Liang tewas sebagai seorang panglima yang gagah, yang mempertahankan benteng buatannya dan yang dipimpinnya dengan mengorbankan nyawanya. Hati Kian Bu yang gelisah memikirkan Kian Lee, menjadi berduka menyaksikan peristiwa yang menimpa keluarga Kao itu. Dia tidak mampu menghibur, bahkan tidak mampu berkata apa-apa lagi. Yang banyak memberi hiburan kepada keluarga itu adalah Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana. Melihat bahwa tenaganya tidak lagi diperlukan, dan karena tidak mau mengganggu keluarga yang sedang dilanda duka itu dengan pamit, dia lalu mendekati Puteri Milana dan berkata,

   "Enci Miiana, aku akan pergi mencari Lee-ko."

   Milana memandang kepada adiknya ini.

   "Ke mana dia?"

   "Katanya mengejar Pangeran Liong Bian Cu yang melarikan Nona Hwee Li."

   Milana mengangguk.

   "Hati-hati kau, Bu-te, dan jangan terlalu lama, kalau sudah jumpa dengan Kian Lee kalian harus mengunjungi kami di puncak Telaga Warna di Beng-san. Atau kalian susul kami di kota raja karena kami harus lebih dulu pergi ke kota raja bersama pasukan dan tawanan."

   "Baik, Enci Milana."

   Kian Bu lalu pergi meninggalkan benteng itu, tidak tahu bahwa diam-diam ada orang yang membayanginya dan orang ini bukan lain adalah Teng Siang In! Dan tidak lama setelah Siang In pergi, nampak seorang lain yang juga diam-diam pergi dari situ dan orang ini adalah Kang Swi Hwa atau Ang-siocia!

   Karena para tokoh dalam cerita kita ini mulai berpencaran lagi setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan, dan karena masing-masing mengalami hal-hal yang amat hebat dan menarik, maka sebaiknya kalau kita mengikuti perjalanan mereka satu demi satu. Pertama-tama kita mengikuti perjalanan Ang Tek Hoat yang telah lebih dulu meninggalkan benteng ketika mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah dilarikan oleh Panglima Bhutan, yaitu Mohinta dan anak buahnya. Ketika mendengar dari Siluman Kecil Suma Kian Bu bahwa yang membunuh ibunya adalah Mohinta, hati pemuda ini penuh dengan dendam dan kemarahan hebat. Kematian ibunya tak pernah dapat dilupakannya, dan dia telah dengan susah payah mencari siapa mereka atau dia yang membunuh ibunya. Akhirnya dia sudah hampir putus asa untuk dapat membongkar rahasia itu karena tidak ada bukti atau saksi yang dapat menuntunnya kepada si pembunuh.

   Tak disangkanya bahwa dia akan mendengar keterangan yang demikian jelasnya dari Suma Kian Bu, paman tirinya sendiri. Kini dia mengerti dan dapat membayangkan keadaan ibunya. Tentu Mohinta dan anak buahnya itu menemukan ibunya seorang diri dalam pondoknya dan panglima muda yang keji itu telah membunuh ibunya. Akan tetapi dia ingin tahu mengapa Mohinta membunuh ibunya. Dia akan menangkap Mohinta dan memaksanya mengaku mengapa Mohinta membunuh ibunya, setelah itu baru dia akan membalas kematian ibunya. Sakit hati karena dendam membuat pemuda ini membayangkan dan merencanakan penyiksaan yang paling hebat untuk musuh besar pembunuh ibunya itu! Dendam merusak dan meracuni batin manusia.

   Kenyataan ini nampak dalam kehidupan kita sehari-hari. Betapa dendam dan amarah menguasai hati kita setiap hari. Dendam melahirkan kekerasan dan kekejaman. Dendam menciptakan permusuhan yang tidak habisnya. Betapa semenjak kita masih kecil, nafsu amarah dan dendam ini telah menguasai lubuk hati kita sepenuhnya. Kita akan marah-marah kalau kita diganggu, kalau keluarga kita diganggu, kalau negara kita di ganggu, kalau bangsa kita diganggu, kalau milik kita lahir batin diganggu. Dan kita akan membalas! Membalas berlipat ganda! Sejak masih kanak-kanak sudah nampak nafsu dendam ini. Dipukul sekali baru akan puas kalau membalas dua kali! Hati yang marah baru akan puas kalau sudah menumpahkan kemarahannya berupa makian, balas menghina, memukul dan sebagainya lagi.

   Betapa nyata nampak kalau kita mau membuka mata memandang, bahwa satu di antara hal yang mendorong kita mendendam adalah karena kita selalu ingin menang dari orang lain, tidak mau kalah dalam hal apa pun juga! Kalau orang melakukan kekerasan kepada kita, kita pun tidak mau kalah keras! Kita khawatir disangka takut, disangka pengecut, dianggap tidak berani! Inilah yang mendorong kita menyambut kekerasan orang dengan kekerasan yang lebih hebat lagi. Dan bagaimana kalau ada orang bersikap baik kepada kita? Kita pun tidak mau kalah, tidak mau kalah baik, ingin dianggap lebih baik lagi. Buktinya? Kalau anda bermusuhan atau saling marah dan membenci dengan lain orang, cobalah anda mengubah diri dan bersikap manis dan baik. Akan nampak oleh anda betapa orang itu pun sebaliknya akan mengambil sikap yang lebih manis dan lebih baik pula daripada sikap anda.

   Sebaliknya, kalau dia bersikap keras dan congkak, anda akan bersikap lebih keras dan lebih congkak lagi! Kemudian kita melihat bahwa kemarahan itu mengakibatkan hal-hal buruk sekali dalam kehidupan, menimbulkan permusuhan, pertentangan dan kesengsaraan, maka lalu muncullah ajaran agar kita belajar sabar! Kita marah dan kita dianjurkan bersabar. Hal ini, seperti terbukti dalam kehidupan kita sehari-hari, sama sekali tidak ada artinya, tidak ada gunanya! Dalam keadaan marah, kita lalu mengendalikan perasaan, menekan kemarahan, dan memaksa diri untuk menjadi sabar. Memang, pada saat itu dapat kita menekan kemarahan dan menjadi sabar, namun kesabaran seperti itu adalah kesabaran palsu, kemarahan itu tidak padam, hanya ditekan dan ditutupi belaka.

   Seperti api dalam sekam, kelihatannya saja tidak menyala namun sesungguhnya masih membara dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Maka nampaklah dalam kehidupan kita betapa apabila belajar sabar itu sama sekali tidak ada gunanya karena kemarahan yang ditekan-tekan itu akan terus-menerus dan selalu muncul dan muncul lagi untuk ditekan dan dikendalikan lagi. Maka terjadilah perang batin, konflik batin antara kemarahan sebagai kenyataan dan sabar sebagai hal yang kita kehendaki. Kita lupa bahwa kemarahan tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar sabar atau dengan keinginan untuk tidak marah! Kotoran tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar bersih! Yang penting adalah berani menghadapi kenyataan. Dan kenyataan pada diri kita adalah kemarahan itulah. Itulah faktanya.

   Kita marah! Kita keras, kita pendendam, kita kejam. Inilah kenyataannya! Tidak perlu kita lari daripada kenyataan ini dan bersembunyi di balik selimut kesabaran, kebaikan dan sebagainya. Semua itu hanya palsu dan munafik belaka. Pada hakekatnya, pada dasarnya, pada intinya, kita masih pendendam, masih pemarah. Lalu, apakah kita harus membiarkan saja kenyataan bahwa kita pendendam dan pemarah? Sudah tentu tidak! Kita melihat dengan jelas bahwa harus terjadi perubahan pada diri kita, pada batin kita. Akan tetapi perubahan itu tak mungkin terjadi kalau hanya dengan jalan menentang kemarahan itu dan ingin menggantikan kedudukannya dengan kesabaran dan kebaikan. Kita HARUS berubah! Lalu bagaimana caranya untuk melenyapkan kemarahan?

   Tidak ada caranya, karena kalau disebutkan suatu cara, itu pun palsu dan merupakan penipuan belaka, merupakan pelarian seperti belajar sabar dan mengendalikan perasaan tadi. Apakah kemarahan itu? Siapa yang marah? Berbedakah kita dengan kemarahan itu? Kitalah yang marah. Kitalah kemarahan itu sendiri! Kemarahan tidak terpisah dari kita! Kitalah sumber kemarahan, kitalah pembuat kemarahan, kitalah biang keladinya. Karena itu, kalau kemarahan tiba, tidak perlu kita lari, tidak perlu kita sembunyi, sebaliknya, kita hadapi kemarahan itu, kita pandang dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian! Pernahkah anda melakukan hal ini? Biasanya, kalau kita marah, kita menjadi mata gelap, kita kehilangan kesadaran, kita tidak ingat apa-apa lagi, yang ada hanyalah nafsu ingin melampiaskan kemarahan.

   Bukankah demikian? Pernahkah dan maukah kita mencoba untuk menghadapi kemarahan itu sebagai suatu fakta, kita perhatikan kemarahan kita itu, penuh kewaspadaan dan ingin kita melihat apa yang terjadi kalau begitu! Karena kemarahan itu pada hakekatnya adalah kita sendiri, maka dengan pengamatan penuh kewaspadaan itu, dengan penuh perhatian itu, kemarahan pun tidak ada! Sebaiknya kita mencoba dalam kehidupan kita sehari-hari yang penuh coba dan goda ini. Dan kalau sudah tidak ada kemarahan lagi dalam batin kita, perlukah kita belajar sabar? Kalau kita tidak marah, perlukah kita menekan dan mengendalikan perasaan? Dan kalau tidak ada kemarahan, tidak ada benci, apa yang timbul dalam batin kita? Mungkin mata batin kita baru akan melihat apa artinya CINTA KASIH itu.

   Tek Hoat dimabuk dendam. Dalam keadaan dendam dan marah, dia merencanakan siksaan sehebat-hebatnya kepada orang yang amat dibencinya, yaitu Mohinta. Dia membuat perhitungan dan dugaan bahwa Mohinta tentu melarikan Syanti Dewi menuju ke barat, ke Bhutan. Dan memang dugaannya itu tepat. Beberapa hari kemudian setelah dia meninggalkan benteng melakukan pengejaran, dia menemukan jejak mereka. Kiranya Mohinta dan anak buahnya itu melakukan perjalanan cepat dengan menggunakan sebuah kereta dan rombongan itu me-nunggang kuda, melakukan perjalanan yang cepat. Demikianlah keterangan yang didapat oleh Tek Hoat dalam penyelidikannya.

   Maka dia lalu melakukan pengejaran secepatnya dan beberapa hari ke mudian dia berhasil menyusul rombongan itu! Begitu melihat Mohinta menunggang kuda memimpin anak buahnya yang mengawal kereta, jantung Tek Hoat berdebar kencang dan menurutkan dorongan hatinya, ingin dia seketika menerjang dan menangkap Mohinta dan membebaskan Syanti Dewi yang dia duga tentu berada di dalam kereta itu. Akan tetapi, pemuda ini dapat menahan dirinya. Nanti saja, pikirnya sambil mengintai dari balik pohon, aku harus melihat Syanti Dewi lebih dulu. Nanti kalau rombongan itu melewatkan malam, dia akan turun tangan. Maka Tek Hoat hanya mengintai sambil berjongkok di balik sebatang pohon, membiarkan kereta yang dikawal orang-orang Bhutan itu lewat.

   Dia lalu membayangi terus dan akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah dusun yang tidak berapa besar, dusun di antara bukit-bukit yang jauh dari kota. Dengan pengaruh uangnya dan juga pengaruh sikap anak buahnya yang galak, Mohinta dapat menyewa rumah kepala dusun itu untuk dijadikan tempat bermalam. Karena menerima uang sewa yang cukup besar dan juga jerih melihat sikap rombongan orang Bhutan itu, kepala dusun mengalah dan membawa keluarganya keluar dari rumah, bermalam di rumah seorang penduduk dusun. Tek Hoat mengintai terus dan jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat Syanti Dewi melangkah turun dari dalam kereta. Akan tetapi, perasaan tidak senang menyusup di hatinya ketika dia melihat puteri pujaan hatinya itu tersenyum genit kepada Mohinta yang membantunya turun dari kereta,

   Bahkan puteri itu lalu bergandengan tangan dengan Mohinta memasuki rumah kepala dusun yang mereka sewa untuk semalam. Tek Hoat melongo sampai lama setelah kedua orang itu memasuki rumah. Perasaan hatinya nyeri rasanya seperti ditusuk pedang. Sikap Syanti Dewi begitu mesra terhadap Mohinta. Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu genitnya, padahal seingatnya, belum pernah Syanti Dewi bersikap segenit itu baik kepadanya sekalipun. Cemburu menguasai hatinya, cemburu dan penasaran. Jadi begitukah keadaan sebenarnya mengapa Syanti Dewi bersikap dingin kepadanya ketika mereka dipertemukan oleh Koksu Nepal? Syanti Dewi telah berpaling kepada Mohinta dan agaknya bertukar hati dengan panglima muda Bhutan itu?

   Dengan hati penuh dendam dan cemburu yang membuat kepalanya pening, malam itu Tek Hoat mendekati rumah kepala dusun. Biarpun rumah itu terjaga, namun mudah saja bagi Tek Hoat untuk menyusup dan memasuki rumah, akhirnya dia berhasil mengintai ke dalam kamar besar rumah itu. Dan apa yang dilihat dan didengarnya membuat pemuda ini hampir saja jatuh pingsan! Di bawah sinar lampu remang-remang, dia melihat Mohinta yang tidak lagi memakai pakaian panglima, melainkan mengenakan pakaian tidur yang tipis, duduk di atas kursi dan Puteri Syanti Dewi duduk di atas pangkuannya dengan sikap manja sekali! Dengan hati hampir meledak saking panasnya Tek Hoat melihat betapa kedua lengan Mohinta memeluk tubuh itu dan tangan Mohinta dengan cara yang dianggapnya kurang ajar memegang-megang dada sang puteri!

   Akan tetapi puteri itu tidak marah, malah merangkul leher Mohinta dan mereka berdua berciuman dengan cara yang membuat Tek Hoat yang nengintai itu bergidik karena ciuman itu dilakukan dengan mulut ke mulut dan amat mesranya. Melihat panglima itu yang mengingatkan dia akan kematian ibunya saja sudah membuat Tek Hoat marah bukan main, apalagi melihat betapa musuh besarnya itu kini merampas pula kekasihnya, hampir Tek Hoat tidak dapat menahan sabar dan ingin dia menerjang lewat jendela. Akan tetapi, kedua orang itu kini sudah bicara berbisik-bisik dan Tek Hoat menahan hatinya untuk mendengarkan lebih dulu percakapan mereka sebelum dia menerjang masuk.

   "Ah, Sayang.... engkau sungguh manis, aku sungguh cinta padamu...."

   Terdengar Mohinta berbisik sambil membelai-belai tubuh puteri

   "Hemmmmm...."

   Sang Puteri merintih manja dan menggeliat di atas pangkuan Panglima Bhutan itu.

   "Aku pun cinta padamu.... Panglima.... akan tetapi benarkah kelak aku akan menjadi permaisurimu....?" Tek Hoat terbelalak dan merasa heran bukan main mendengar bisikan Syanti Dewi itu dan timbullah keinginan tahunya untuk mendengarkan terus.

   "Tentu saja, Manis. Akan tetapi kita harus berhasil dulu, dan untuk itu aku mengandalkan bantuan-mu. Engkau harus membantuku menundukkan raja tua itu...."

   "Ihhh, aku takut...."

   Puteri itu berbisik manja sambil menyandarkan muka di atas dada Mohinta. Mohinta memeluknya.

   "Tak usah takut. Pasukan-pasukanku sudah siap dan engkau hanya pura-pura saja menjadi tawananku, dan kalau kuancam engkau di depan raja, engkau tahu bahwa aku pun hanya pura-pura saja agar raja mau tunduk dan menyerah kepadaku. Kemudian, kalau aku sudah menjadi raja, engkau tentu menjadi permaisuriku.... hemmm.... engkau manis benar malam ini...."

   Mohinta kembali menciumnya dan Tek Hoat sudah mundur dan tidak mau melihat lagi.

   Akan tetapi dia tidak menerjang jendela itu, malah dia menjauhkan diri dan meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian, pemuda ini telah rebah di dalam gubuk di tengah sawah di luar dusun, tempat para petani mengaso dan berteduh dari sinar matahari. Dia termenung. Tidak, dia tidak akan membunuh Mohinta sekarang ini, dia harus sabar menanti sampai mereka tiba di Bhutan. Jelas bahwa Mohinta merencanakan pemberontakan terhadap raja, dan Mohinta hendak menggunakan Syanti Dewi sebagai sandera untuk menundukkan Raja Bhutan! Kalau saja benar-benar Syanti Dewi menjadi sandera, menjadi tawanan, tentu sekarang juga dia membebaskan puteri itu dan membunuh Mohinta.

   Akan tetapi, yang membuat dia penasaran adalah karena melihat kenyataan betapa puteri itu sama sekali bukan menjadi tawanan, bahkan menjadi sekutu dari Mohinta untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Dia sungguh merasa heran bukan main, bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi dengan Syanti Dewi sehingga puteri itu demikian berubah, tidak hanya menjadi genit dan aneh, akan tetapi juga menjadi jahat sehingga kini mau bersekutu dengan seorang pemberontak untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal bukan main dan terbayanglah kembali sikap Syanti Dewi ketika dipertemukan dengannya oleh koksu. Terdengar berdengung di dalam telinganya ucapan Syanti Dewi kepadanya waktu itu.

   "Ang Tek Hoat, engkau telah pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita...."

   Tek Hoat memejamkan matanya, hatinya seperti ditusuk rasanya. Jadi agaknya sang puteri telah memutuskan hubungan antara mereka dan kini bahkan telah berganti pacar! Dia makin penasaran. Andaikata berganti pacar, mengapa sang puteri begitu tidak tahu malu dan tidak mengenal susila, mau saja diperlakukan seperti itu oleh Mohinta? Dan mengapa pula sudi diajak bersekutu untuk menjatuhkan Raja Bhutan?

   "Aku harus menentang mereka!"

   Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk dan mengepal tinjunya.

   "Aku akan sabar menanti, tidak membunuh Mohinta dulu. Aku harus menggagalkan rencana busuk mereka dan membuka kedok mereka di depan Raja Bhutan! Biar Raja Bhutan menjadi terbuka matanya dan melihat betapa seorang anak haram seperti aku jauh lebih berharga daripada panglima mudanya bahkan lebih berharga daripada puterinya sendiri!"

   Pikiran ini membuat Tek Hoat akhirnya dapat tidur di dalam gubuk dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah membayangi lagi rombongan Mohinta itu.

   Dia tidak akan membunuh Mohinta di tengah jalan. Tidak, dia akan membongkar dulu kedok mereka, rahasia mereka yang busuk di depan raja, menghancurkan siasat dan rencana pemberontakan kotor mereka, baru dia akan membunuh Mohinta, pembunuh dari ibunya itu. Tentang Syanti Dewi.... ah, dia tidak berani memikirkan masa depannya dengan puteri itu, sungguhpun dia tahu bahwa selama hidupnya tidak mungkin dia melupakan puteri itu, dan apa pun yang terjadi dengan diri puteri itu, cintanya tetap mendalam dan akan terus menyala di dalam hatinya. Ketika rombongan itu sudah tiba di perbatasan barat, Tek Hoat lalu mendahuluinya dan dia hendak pergi lebih dulu ke Bhutan untuk menghadap raja dan memberitahukan tentang rencana pemberontakan Mohinta itu.

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 51 Kisah Sepasang Rajawali Eps 42 Kisah Sepasang Rajawali Eps 49

Cari Blog Ini