Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 42


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 42



"Wajahmu seperti orang tolol.... hi-hik, dan orang-orang tolol merupakan orang yang boleh dipercaya, tidak seperti orang-orang pintar yang biasanya terlalu pintar, akan tetapi kepintarannya itu hanya untuk menipu orang lain. Eh, siapa sih namamu? Kalau belum kenal, mana mungkin aku menceritakan keadaanku?"

   "Aku Suma Kian Bu, dan kau...."

   "Namaku Siang In, she Teng."

   "Teng Siang In, nama yang indah, seindah orangnya."

   "Hi-hik!"

   "Kenapa kau tertawa, Siang In?"

   "Kurasa kau agaknya berdaya-upaya untuk memuji-mujiku. Apakah engkau merupakan seorang yang genit memikat pula? Tentu saja dari golongan laki-laki! Biasanya laki-laki memikat wanita dengan pujian-pujian."

   "Wah, kau agaknya serba tahu saja. Siang In, aku suka bersahabat denganmu. Engkau seorang gadis yang jujur, pandai sastra, suaramu merdu, wajahmu cantik jelita, dan kau aneh sekali, sungguh menarik hatiku. Sekarang ceritakan, siapa yang kau cari itu?"

   "Kian Bu, entah mengapa, begitu bertemu dengan engkau hatiku terus saja percaya penuh, seolah-olah sudah lama aku mengenalmu. Eh, kau tadi bilang tentang orang di bawah pohon, yang kau cari-cari tadi. Siapa dia?"

   Gadis itu tiba-tiba memandang dengan penuh kecurigaan ke kanan kiri.

   "Aku pun heran sekali. Tadi aku melihat seorang kakek tua renta berada di bawah pohon, tertidur mendengkur, akan tetapi dalam sekejap mata saja lenyap seperti setan."

   "Ihhh.... aku paling ngeri dengan segala setan!"

   Gadis itu ketakutan dan menggeser duduknya lebih dekat dengan Kian Bu. Tentu saja pemuda itu menjadi girang dan dia melanjutkan ceritanya.

   "Tadi aku mengaso di atas pohon itu dan aku tidak melihat ada orang datang dekat.... eh, tahu-tahu ada seorang kakek tua sekali tidur di bawah pohon, mendengkur dan kakek itu rambutnya sudah putih semua, tidak seperti manusia biasa. Aku sudah curiga karena kedatangannya yang tiba-tiba itu tidak lumrah, dan tadi.... eh, tahu-tahu dia lenyap begitu saja. Apa lagi kalau bukan iblis penunggu hutan ini...."

   Gadis ini makin ketakutan, mepet dan memegang lengan Kian Bu. Akan tetapi betapa kagetnya hati Kian Bu melihat wajah gadis itu menjadi pucat sekali dan ada air mata di pipinya. Gadis itu menangis saking takutnya! Kian Bu menjadi menyesal sekali dan cepat dia meloncat berdiri sambil bertepuk tangan.

   "Ha-ha-ha, engkau kena kubohongi! Tidak ada setan tidak ada apa-apa!"

   Dara itu cemberut.

   "Ihh, engkau sungguh nakal. Aku sampai hampir pingsan ketakutan. Kau bukan orang baik, kau suka bohong, aku tidak jadi berteman denganmu kalau begitu!"

   Gadis itu sudah bangkit berdiri dan hendak pergi menghampiri keledainya. Kian Bu tertegun. Bocah ini benar aneh. Biarpun belum matang benar, akan tetapi juga bukan kanak-kanak lagi, akan tetapi di samping kecantikannya dan pandainya bergaya, seperti orang dewasa, gadis ini takut kepada setan dan suka ngambek seperti anak kecil!

   "Ah, Siang In, kau maafkanlah aku. Aku hanya main-main, masa engkau menjadi marah? Maafkan aku."

   "Aku mau maafkan kalau kau berlutut dan menyebut aku nenek!"

   Gadis itu berkata cemberut dan membanting-banting kaki kanannya. Kian Bu hampir tertawa bergelak, akan tetapi untuk menyenangkan hati gadis remaja yang aneh itu, apa boleh buat dia lalu berlutut, mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan sambil menyebut,

   "Nenekku yang baik, kau ampunkan cucumu ini!"

   "Hi-hi-hik!"

   Gadis itu terkekeh dan Kian Bu juga bangkit sambil tertawa-tawa. Keduanya tertawa gembira dan duduk lagi di atas akar pohon. Aneh, Kian Bu merasa gembira sekali dan lenyaplah semua bayangan gelap dari masa lalu. Dia kini sudah lebih matang dan hati-hati, tidak mau gampang saja jatuh cinta. Dara ini merupakan seorang sahabat yang amat menyenangkan.

   "Siang In, sekarang kau ceritakan tentang dirimu dan mengapa engkau berada di tempat sunyi ini seorang diri dan siapa itu wanita genit memikat yang kau cari itu."

   Setelah kini bebas dari perasaan takut akan setan, sepasang pipi dara itu menjadi kemerahan lagi, bibirnya yang manis merekah penuh senyum dan matanya yang jeli bersinar-sinar.

   "Tidak ada apa-apanya yang menarik dalam riwayatku,"

   Gadis itu memulai.

   "Orangnya saja sudah amat menarik, apalagi riwayatnya."

   Kian Bu berkata dan pandang matanya tidak menyembunyikan rasa kagumnya.

   "Eh, Twako.... kau mau kan kusebut twako? Aku tidak mempunyai kakak laki-laki, maka biarlah engkau menjadi penggantinya. Kalau aku tidak merasa yakin bahwa engkau seorang yang baik, tentu aku curiga melihat sikapmu terlalu manis, pujian-pujianmu terlalu muluk itu. Sikapmu seperti laki-laki perayu wanita benar!"

   "Aku hanya bilang sejujurnya, masa tidak boleh? Aku suka akan kembang indah harum, suka melihat dara secantik engkau. Apakah aku harus membohong mengatakan engkau gadis buruk?"

   Siang In tertawa.

   "Akan tetapi sinar matamu kalau memandangku.... hihhh, aku menjadi ngeri dibuatnya! Nah, aku mau bercerita tentang diriku. Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi...."

   "Aduh kasihan....!"

   "Akan tetapi aku mempunyai seorang enci (kakak perempuan)...."

   "Juga cantik jelita seperti engkau?"

   "Ihh, Twako. Engkau mata keranjang benar!"

   "Lho, kenapa mata keranjang? Pertanyaan wajar, kan? Masa aku harus bertanya apakah encimu itu tampan dan gagah, kan menjadi banci nanti!"

   Mereka berdua tertawa-tawa lagi dan hutan yang biasanya sunyi itu kini bergema suara tertawa pemuda dan dara itu.

   "Tentu saja enciku yang bernama Siang Hwa amat cantik melebihi aku yang buruk ini. Kami berdua tinggal di lereng gunung sana itu melanjutkan usaha mendiang Ayah, menanam obat-obatan yang kami jual ke kota dan sebagian kami bagi-bagikan kepada rakyat miskin yang membutuhkan pertolongan obat."

   "Aih, kiranya engkau ini ahli obat, ya? Lengkap benar kepandaianmu?"

   "Lengkap apanya?"

   "Coba kuhitung. Satu, engkau pandai memelihara kuda keramat, dua, engkau pandai meniru gaya wayang dan berperan sebagai wanita genit memikat, tiga, engkau pandai ilmu silat, dan empat, engkau pandai ilmu pengobatan!"

   "Huh, engkau hanya memuji kosong saja, kalau kudengarkan kepalaku bisa berubah menjadi segentong besarnya. Sudah, tak perlu memuji-muji, tapi dengarkan ceritaku. Mendiang ayahku barulah berani disebut ahli pengobatan karena beliau itu terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Yok-sian...."

   "Ahhh....!"

   Kian Bu berteriak dan meloncat berdiri. Teringat akan setan yang amat ditakuti, Siang In juga meloncat dan memandang ke kanan kiri.

   "Ada apa?"

   Dia sudah memegang lengan pemuda itu lagi.

   "O, tidak ada apa-apa, aku hanya terkejut mendengar julukan ayahmu."

   "Huh, kekagetanmu membikin aku kaget."

   Mereka duduk kembali di atas akar pohon.

   "Apakah ayahmu itu Suheng dari kakek yang berjuluk Sin-ciang Yok-kwi?"

   "Eh, bagaimana engkau bisa, mengenal julukan Susiok (Paman Guru)?"

   "Wah, engkau yang kami caci-cari, ketemu sekarang orangnya!"

   "Lho, kenapa mencari-cari aku?"

   Kian Bu lalu menceritakan tentang "keponakannya"

   Yang terluka hebat oleh pukulan beracun dan menurut keterangan Sin-ciang Yok-kwi, seorang di antara mereka yang kiranya dapat mengobati gadis keponakannya itu adalah keturunan Yok-sian.

   "Sayang, sekarang keponakanku itu pergi entah ke mana sehingga biarpun aku berjumpa denganmu juga percuma."

   "Dan pula, aku juga tidak bisa mengobati. Aku hanya ahli mengenal buah, bunga, daun, dan akar obat. Yang mewarisi kepandaian Ayah adalah Enci Siang Hwa. Bu-twako, kalau kau terus-terusan mengganggu ceritaku, tidak akan habis-habis riwayatku."

   "Oh, teruskanlah."

   "Seperti kuceritakan tadi, kami hidup berdua saja. Aku tukang menanam tumbuh-tumbuhan obat, mencari dan memilih bibit bibitnya dari hutan, dan enci yang menjual hasil tanaman itu ke kota. Pada beberapa hari yang lalu, aku sendirian saja di rumah, Enci sudah dua hari pergi ke kota menjual obat dan belum juga pulang, padahal biasanya tidak pernah bermalam. Lalu datang seorang wanita...."

   "Genit pemikat...."

   "Kok tahu?"

   "Yang kau cari-cari itu tentu, siapa lagi!"

   "Benar. Wanita cantik pesolek itu datang dan karena sikapnya manis budi, dan di lereng itu kami tidak mempunyai tetangga dan hari sudah malam, aku tidak keberatan ketika dia menyatakan hendak bermalam. Dia pandai bicara dan ramah sekali, sampai aku lalai dibuatnya dan pada keesokan harinya, Si Cantik Genit itu telah pergi sebelum aku bangun...."

   "Wah engkau tentu pemalas dan bangunmu kesiangan!"

   "Ngaco! Siapa bilang aku pemalas? Jam lima pagi aku sudah bangun, tidak mau keduluan ayam...."

   "Makan-nya!"

   "Ihh, kau menghina, ya? Kalau aku gembul makan, tentu tubuhku menjadi gendut. Nih, lihat, apa aku gendut?"

   "Kau ramping! Habis, tidak mau keduluan apa oleh ayam?"

   "Mandi."

   "Wah, tentu saja! Habis, ayam tidak pernah mandi, biar kau bangun jam sembilan dan mandi jam sepuluh juga tidak akan keduluan ayam. Sudahlah, lalu bagaimana?"

   "Ya sudah habis. Wanita cantik genit memikat itu pergi dan aku lalu melakukan pengejaran sampai di sini. Tadinya aku mencari di pegunungan itu tidak ketemu, lalu aku pulang menanti Enci kembali dari kota untuk melaporkan hal itu. Akan tetapi sampai lima hari Enci tidak pulang-pulang, aku khawatir Enci mendapatkan halangan biarpun dia pandai ilmu silat dan tidak sembarangan orang mampu mencelakainya. Aku lalu mengajak Pek-liong pergi mencari Enci dan perempuan maling kitab itu."

   "Pek-liong (Naga Putih)....?"

   "Itulah dia Pek-liong."

   Dara itu menuding ke arah keledai yang masih enak enak makan rumput. Kian Bu menahan gelinya. Keledai kecil itu dinamakan Naga Putih!
(Lanjut ke Jilid 41)

   Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 41
"Wah, kasihan sekali engkau, Siang In."

   "Sudah, aku tidak minta kasihanmu, sekarang kau ceritakan riwayatmu."

   "Riwayatku? Aku orang biasa saja...."

   "Tidak, engkau luar biasa. Tidak ada pemuda gunung buta huruf yang mengenal sajak Li Shang Yin dan Yen Siang!"

   "Habis, menurut penglihatanmu, aku orang apa?"

   "Engkau tentu seorang pemuda kota, seorang sastrawan lemah yang terbuai khayal, agak berfilsafat dan engkau perayu wanita tapi tidak kurang ajar dan.... sudah, kau ceritakan riwayatmu."

   "Riwayatku tidak ada apa-apanya. Namaku Suma Kian Bu dan aku sedang merantau untuk menghibur hati dan melihat keindahan alam, aku suka akan kesunyian maka aku berada di hutan ini. Eh, sekarang kau hendak ke mana, Adik Siang In yang baik?"

   Dara itu lupa bahwa penuturan riwayat Kian Bu itu sama sekali tidak lengkap, karena dia sudah terpikat oleh sikap dan pertanyaan yang ramah itu.

   "Aku hendak mencari enciku dan perempuan genit itu."

   "Ke mana?"

   Dara itu mengerutkan alisnya.

   "Entahlah. Sampai di sini aku kehilangan jejak. Di dusun seberang gurun itu ada yang melihat Si Perempuan Genit menuju ke sini, maka aku mengejar. Kiranya bertemu dengan engkau, dan sialnya engkau tidak melihat perempuan itu."

   "Mari kubantu engkau mencari dia dan encimu."

   "Ke mana?"

   "Ke mana saja, dan karena menurut penyelidikanmu, wanita itu lewat ke jurusan ini, kita tentu akan dapat menemukan jejaknya lagi di luar dusun ini, asal kita dapat melewati dusun."

   "Aku pernah mencari daun-daun obat di hutan ini dan di sebelah barat hutan ini terdapat perkampungan."

   "Bagus sekali. Kalau begitu kita mencari ke sana. Hayo kita berangkat!"

   Siang In kelihatan girang sekali. Dia mengambil payungnya dari telinga keledai karena biar keledai itu makan rumput, payung tadi masih saja tergantung di telinganya, kemudian menuntun keledainya.

   "Kenapa tidak kau tunggangi?"

   "Ah, tidak. Enakan berjalan bersama engkau, Twako. Kalau hanya aku sendiri menunggang keledai dan kau jalan, tidak enak, ah!"

   "Ditunggangi berdua pun kasihan, keledai kecil begitu."

   "Ih, jangan memandang rendah kuda keramatku, ya? Mau mencoba kekuatannya? Mari kau meloncat ke punggungnya,"

   Siang In menantang. Karena ingin tahu, Kian Bu menurut dan naik ke punggung kuda atau keledai itu.

   "Kau maju sedikit, beri tempat untukku!"

   Siang In berseru. Kian Bu makin heran, akan tetapi dia menggeser ke depan dan tiba-tiba dia merasa betapa bagian belakang tubuhnya bersentuhan ketat dengan sesuatu yang lunak dan hangat. Tubuh dara itu yang sudah duduk di belakangnya! Dia merasa geli dan bulu tengkuknya berdiri semua sehingga dia tertawa-tawa.

   "Apa cekikikan? Lihat betapa kuatnya kuda keramatku Pek-liong agar engkau tidak menghinanya lagi. Pek-liong, terbanglah!"

   Siang In mengeprak perut keledai itu dengan tumit kakinya.

   Dan hampir saja Kian Bu berteriak saking kagetnya ketika tiba-tiba keledai itu meloncat ke depan lalu berlari cepat sekali! Benar-benar cepat larinya, tidak kalah oleh kuda besar yang manapun sehingga dia melihat pohon-pohonan berlari-lari di kanan kirinya dan telinganya mendengar desir angin! Tentu saja Kian Bu sama sekali tidak merasa takut karena ilmunya berlari cepat tidak kalah cepatnya dengan larinya keledai ini, dan sebetulnya dia merasa nikmat dan senang sekali karena punggungnya beradu ketat dengan dada gadis itu ketika keledai berlari, akan tetapi karena dia ingin dianggap sebagai "sastrawan lemah"

   Maka dia sengaja berteriak-teriak ketakutan. Siang In menghentikan keledainya dan tertawa.

   "Bagaimana? Kau masih berani menghina Pek-liong?"

   Dia melompat turun dan Kian Bu juga merosot turun. Dilihatnya keledai itu bernapas biasa saja sehingga diam-diam dia menjadi kagum juga.

   "Wah, wah, sebentar lagi dia tentu benar-benar terbang. Agaknya kudamu ini memang penjelmaan naga putih, Adik Siang In."

   Gadis itu gembira sekali mendengar pujian ini dan mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap, bersendau-gurau dan tertawa-tawa, kalau dilihat dari jauh seperti sepasang orang muda sedang bertamasya saja layaknya. Betapa indahnya hidup ini bagi orang-orang muda, maka kasihanlah orang-orang muda yang tidak mampu menikmati keindahan hidup, bahkan terseret mencari-cari kesenangan hampa yang mengotorkan tubuh dan jiwa! Dusun itu cukup besar dan ramai, menjadi tempat perhentian mereka yang melakukan perjalanan di perbatasan utara itu. Hari telah senja ketika Kian Bu dan Siang In tiba di dusun ini.

   "Perutku lapar...."

   Siang In berkata sambil menekan perutnya.

   "Sama...."

   Kian Bu menjawab.

   "Mari kita cari kedai makanan."

   Sambil menuntun Pek-liong, Kian Bu berjalan bersama Siang In memasuki dusun dan mencari-cari. Akhirnya mereka melihat sebuah kedai makanan dan Kian Bu segera mencancang keledai itu di luar kedai, kemudian mereka berdua masuk ke dalam kedai makanan yang penuh dengan orang makan minum itu. Di antara para tamu, Kian Bu mengenal dua orang penunggang kuda yang dilihatnya dari atas pohon di hutan tadi, maka dia lalu mengajak Siang In duduk di meja tak jauh dari mereka. Kian Bu memasang telinga dan mendengar percakapan bisik-bisik dua orang itu. Ternyata mereka berdua "lolos"

   Dari kejaran mata-mata musuh dan menurut percakapan itu, kiranya mereka menduga adanya banyak mata-mata musuh yang berkeliaran di daerah itu dan yang agaknya menyelidiki keadaan.

   "Kita harus cepat lapor kepada pimpinan."

   Demikian kata Si Cambang Tebal yang segera menghentikan percakapan setelah melihat masuknya beberapa orang tamu lagi dan duduk di dekat mereka. Tiba-tiba mereka itu kelihatan terkejut, bergegas bangkit, memanggli pelayan membayar makanan yang belum habis mereka makan dan mereka berdua dengan sikap tergesa-gesa menyelinap keluar melalui pintu samping. Melihat sikap mereka, Kian Bu menjadi terheran-heran. Dia maklum bahwa pasti dua orang itu melihat sesuatu yang membuat mereka seperti ketakutan, maka otomatis dia lalu menengok ke arah pintu depan.

   "Aahhhh...."

   Dia menahan seruannya dan bengong memandang ke luar. Melihat sikap Kian Bu dan mendengar seruan kagum ini, Siang In juga cepat menengok dan memandang ke luar. Di luar warung, di seberang jalan, tampaklah seorang wanita cantik sekali, berpakaian menyala, rambutnya digelung tinggi ke atas, sedang memandang dan longak-longok mengulur leher, agaknya ada yang sedang dicari-carinya.

   "Itu dia....!"

   Tiba-tiba Siang In menjerit, membuat Kian Bu tersentak kaget. Siang In meloncat dan lari ke pintu kedai itu.

   Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Brussss....!"

   Tanpa dapat dicegah lagi, Siang In bertumbukan dengan seorang laki-laki setengah baya yang secara tiba-tiba masuk pintu kedai itu dan diiringkan oleh empat orang yang kelihatannya gagah dan tegap. Karena Siang In tidak mengira ada orang masuk pada saat perhatiannya tercurah kepada wanita cantik yang berada di seberang jalan, dan pria itu pun agaknya tidak mengira akan ada orang lari ke luar, maka tumbukan antara mereka tak dapat dihindarkan lagi. Siang In terpelanting dan hampir roboh. Untung laki-laki setengah tua itu dengan gerakan cepat telah menyambar dan memegang lengan Siang In sehingga dara ini tidak sampai terbanting jatuh. Laki-laki setengah tua itu tersenyum dan bertanya dengan sikap sopan dan suara halus sambil melepaskan pegangannya,

   "Maafkan saya, Nona. Untung tidak sampai jatuh. Apakah ada yang sakit....?"

   Siang In membelalakkan matanya dan membentak marah,

   "Orang kurang ajar dari mana jalan nabrak-nabrak saja?"

   Kian Bu sudah tiba di samping gadis itu, memegang lengannya dan berkata,

   "Sudahlah, engkau sendiri yang kurang hati-hati, berlari ke luar. Paman ini tidak bersalah...."

   Kian Bu setengah menarik tangan Siang In dan dara ini bersungut-sungut dan setelah mengirim lirikan marah kepada laki-laki setengah tua yang dengan tenang dan sabar tersenyum memandang, dia lalu melanjutkan langkahnya keluar dari kedai, pandang matanya mencari. Akan tetapi, wanita cantik tadi sudah tidak kelihatan lagi.

   "Sialan! Orang buta tadi yang jadi gara-gara sampai dia hilang lagi!"

   "Eh, orang buta mana?"

   "Yang menabrak aku tadi, kalau matanya tidak buta, masa nabrak-nabrak?"

   Kian Bu tersenyum. Biarpun sedang muring-muring, gadis ini makin cantik saja!

   "Sudahlah, aku sendiri juga tidak tahu siapa yang menabrak tadi, dia atau engkau."

   "Dia! Si Buta itu! Aku harus menghajarnya!"

   Dia kembali memasuki pintu dan hampir saja menabrak seorang pelayan yang membawa baki dan sedang keluar. Untung Kian Bu sudah menarik lengannya, kalau tidak tentu terjadi tabrakan untuk kedua kalinya dan sekali ini berbahaya karena di atas baki terdapat bakmi kuah yang masih panas.

   "Eh.... Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona), mau ke mana? Ini pesanan kalian tadi.... dua bakmi kuah dan...."

   "Kau makan saja sendiri!"

   Siang In membentak dan membalikkan tubuhnya keluar dari kedai itu. Kian Bu melempar-kan mata uang ke atas baki.

   "Kami tidak jadi makan, ini uangnya,"

   Katanya dan terus menyusul Siang In yang sudah pergi menuntun keledainya sambil cemberut.

   "In-moi (Adik In), jangan marah ah...."

   "Aku harus mencari dia! Si Tolol buta itu menghalangiku!"

   Siang In cemberut dan melihat ke sana-sini mencari-cari.

   "Dia siapa?"

   "Si Genit!"

   "Ohh...."

   "Si Pemikat! Kau tidak lihat dia tadi?"

   Kian Bu mengangguk. Kiranya wanita itu yang dicari? Memang cantik, cantik sekali, akan tetapi dia belum melihat jelas benar. Agaknya wanita yang sudah matang, tidak seperti dara ini yang masih mentah, atau baru setengah matang, setengah dewasa setengah kanak-kanak, akan tetapi malah amat menarik hati. Mereka lalu mencari sampai ke setiap sudut dusun itu akan tetapi sia-sia belaka dan akhirnya Siang In berhenti di tepi jalan yang sunyi, duduk di atas rumput dan kelihatan marah dan kecewa sekali. Kian Bu lalu pergi membeli sepuluh butir kue bakpauw dan mereka makan bakpauw di tepi jalan. Lima butir bakpauw sudah cukup mengenyangkan perut, akan tetapi mencekik tenggorokan!

   Karena malam tiba, mereka lalu mencari pondokan dan bermalam di dalam dua buah kamar sederhana di pondok dusun itu, setelah memesan mi-bakso dan minum teh hangat kemudian mandi. Pada keesokan harinya, agaknya Siang In sudah tidak cemberut lagi, akan tetapi pagi-pagi sekali dia sudah menggedor pintu kamar Kian Bu dan mengajak pemuda itu cepat-cepat berangkat melanjutkan perjalanan mencari pencuri kitab itu. Kian Bu gelagapan, terpaksa hanya sempat mencuci muka, kemudian sarapan dan berangkatlah mereka lagi keluar dari dusun itu sambil bertanya-tanya tentang wanita cantik yang rambutnya digelung tinggi. Akhirnya, jejak yang mereka temukan dan ikuti membawa mereka ke sebuah dusun kecil di tepi sungai yang besar dan yang menjadi tapal batas dengan daerah liar di utara.

   Di seberang sungai itu sudah merupakan daerah liar yang tidak memperoleh penjagaan dari pasukan-pasukan pemerintah. Karena itu dusun ini cukup ramai karena menjadi tempat penyeberangan para pedagang. Banyak orang-orang suku Nomad dan liar yang menyeberang ke selatan untuk menjual rempah-rempah dan hasil sungai dan laut, sebaliknya para pedagang dari selatan banyak yang mengeduk keuntungan besar dengan membawa dagangan dan menyeberang ke utara, menjual atau menukar dagangan mereka dengan suku-suku asing di luar tapal batas. Ketika Kian Bu dan Siang In tiba di tepi sungai, di situ sudah sunyi. Waktu penyeberangan yang ramai adalah pagi dan sore, dan siang hari yang panas itu di tempat itu sudah sunyi dan hanya ter-dapat seorang penjaga perahu kosong yang duduk melenggut ngantuk.

   "Dia tentu menyeberang. Kita menyeberang saja,"

   Kata Siang In.

   "Bagaimana dengan Pek-liong?"

   "Kita tinggal saja."

   "Aih! Ditinggalkan? Sayang dong....!"

   "Bu-twako, engkau masih belum mengenal kehebatan Pek-liong. Dia kutinggalkan akan tetapi dia bisa pulang sendiri. Itulah satu di antara kelihaiannya. Kau lihat!"

   Siang In lalu melepaskan kendali keledai itu, lalu berkata,

   "Pek-liong, kau pulanglah dan jaga rumah baik-baik! Hayo!"

   Dia menepuk pantat kuda keledai itu tiga kali dan binatang itu meringkik, terus lari congklang pergi dari tempat dengan cepat. Kian Bu melongo. Benar-benar hebat binatang itu. Kelihatannya saja seekor keledai bodoh, kiranya seekor binatang yang jinak dan cerdik! Mereka lalu membangunkan tukang perahu yang mengantuk. Tukang perahu kelihatan ogah-ogahan menyambut mereka. Menyeberangkan dua orang saja merugikan dia, karena biasanya, perahunya itu menyebe-rangkan sedikitnya lima belas orang penumpang. Kalau dua orang itu mau membayar lebih....

   "Sudahlah jangan khawatir, kami bayar dobel!"

   Kata Kian Bu tak sabar. Akan tetapi, dibayar dobel pun masih rugi dan dengan malas-malasan tukang perahu itu mendayung perahunya ke te-ngah. Belum jauh perahu meluncur, terdengar orang-orang berteriak memanggil dan ternyata di tepi sungai itu sudah berdiri lima orang laki-laki yang dikenal oleh Siang In dan Kian Bu sebagai laki-laki gagah yang ditabraknya di kedai bersama empat orang pengikutnya! Tentu saja tukang perahu menjadi girang dan cepat mendayung kembali perahunya ke pinggir.

   "Tidak usah kembali, terus saja!"

   Siang In membentak.

   "Aih, Nona, kasihan mereka dan saya pun ingin penghasilan lebih,"

   Bantah tukang perahu.

   "Biarlah, In-moi. Mereka itu kelihatan orang-orang yang baik dan sopan. Masa urusan kecil begitu saja membuat engkau masih marah-marah terus? Kata Nenek, orang marah lekas tua!"

   Siang In membanting-banting kaki, akan tetapi tidak berani marah lagi karena tidak mau menjadi lekas tua, hal yang amat dibuat ngeri oleh seluruh wanita di permukaan bumi ini! Ketika lima orang itu naik ke perahu, laki-laki setengah tua yang bertubuh te-gap dan bersikap gagah itu segera tersenyum dan menjura.

   "Aih, kiranya Ji-wi yang telah berada di perahu. Terima kasih atas kerelaan Ji-wi membiarkan perahu kembali lagi untuk membawa kami, dan harap Nona sudi memaafkan peristiwa di kedai tadi."

   Mau tidak mau Siang In harus mengakui bahwa pria setengah tua itu benar-benar sopan dan halus budi. Maka dia pun meniru perbuatan Kian Bu untuk membalas penghormatan mereka, dan perahu meluncur terus ke tengah sungai karena layar telah dibentangkan dan angin bertiup keras. Tiba-tiba tukang perahu kelihatan gugup dan wajahnya menjadi pucat.

   "Celaka...."

   Bisiknya. Lima orang yang bersikap gagah itu bangkit berdiri, memandang ke arah dua buah perahu kecil yang meluncur cepat mendekati perahu mereka.

   "Siapa mereka?"

   Tanya pria setengah tua yang usianya kira-kira empat puluh tahun dan berjenggot pendek itu.

   "Mereka.... mereka.... bajak sungai...."

   Tukang perahu berbisik.

   "Biasanya tidak pernah menggang-gu...."

   "Jangan takut!"

   Laki-laki berjenggot pendek berkata tenang, kemudian bersama empat orang temannya dia berdiri di kepala perahu, mencabut golok dan dengan golok terhunus mereka menanti dua buah perahu yang meluncur datang itu. Sikap mereka gagah sehingga Siang In menjadi kagum.

   "Kiranya mereka itu pendekar-pendekar kang-ouw...."

   Bisiknya kepada Kian Bu yang hanya tersenyum saja dan sudah tentu dia pun diam-diam bersiap menghadapi segala kemungkinan. Setelah dua buah perahu yang membawa sepuluh orang yang tinggi besar dan kelihatan berslkap ganas itu mendekat, orang setengah tua yang berjenggot pendek itu berseru dengan suara nyaring dan berwibawa,

   "Kami bukanlah pedagang yang membawa banyak uang atau barang berharga, harap Cu-wi tidak mengganggu kami!"

   Sepuluh orang itu memandang, kemudian dua perahu itu melempar jangkar dan mereka semua lalu terjun ke air dan menyelam! Tentu saja lima orang gagah itu memandang dengan heran, akan tetapi tukang perahu berseru lagi,

   "Cela-ka....!"

   Sebelum semua penumpang tahu mengapa tukang perahu begitu ketakutan, tiba-tiba perahu itu bergerak dan miring, bergoncang keras. Maka tahulah Kian Bu bahwa sepuluh orang bajak sungai itu menyelam dan dari bawah kini berusaha menggulingkan perahu.

   "Ah, bagaimana ini, Bu-twako?"

   Siang In sudah memeluk Kian Bu dengan ketakutan dan menjerit setiap kali perahu miring. Gadis ini memiliki kepandaian silat lumayan dan seorang yang pemberani, akan tetapi karena dia tidak pandai renang, menghadapi air sungai yang bergelombang itu dia ngeri. Para penumpang sama sekali tidak berdaya dan akhirnya perahu terbalik dan mereka semua terlempar ke air!

   "Bu-twako....!"

   Siang In memeluk Kian Bu erat-erat, membuat pemuda itu makin gelagapan. Kian Bu yang sejak kecil tinggal di Pulau Es dan dekat dengan lautan, tentu saja pandai berenang akan tetapi dia bukan ahli dan berenang di air laut lebih ringan daripada berenang di air sungai, maka ketika Siang In yang gelagapan itu saking takutnya memeluknya dengan ganas, Kian Bu juga menjadi repot sekali dan beberapa kali dia terpaksa minum air sungai. Ternyata bahwa lima orang gagah itu pun tidak pandai berenang sehingga dalam waktu belasan menit saja, semua penumpang termasuk Kian Bu ditawan dalam keadaan pingsan dan dinaikkan ke dalam dua buah perahu kecil, terus dibawa pergi setelah kedua tangan mereka dibelenggu. Tukang perahu menangis sambil memegangi pinggiran perahunya yang terguling.

   Rugi besar-besaran di hari itu, sungguhpun untung bahwa dia tidak dibunuh para bajak. Ketika Kian Bu membuka matanya dan siuman, dia telah berada di dalam sebuah kamar tahanan yang kuat dan dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya. Cepat dia menoleh ke kanan-kiri dan hatinya lega ketika dia melihat Siang In masih rebah di dekatnya, juga tangan dara ini terbelenggu dan biarpun Siang In masih pingsan, namun dara ini tidak mati. Demikian pula dengan lima orang gagah yang terbelenggu dan sudah mulai siuman. Kian Bu menggerakkan kedua tangannya dan dengan jari-jari tangan dia mengurut perlahan tengkuk Siang In. Gadis itu mengeluh lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk, memandang kedua lengannya yang terbelenggu di depan tubuhnya.

   "Aihh.... di mana kita?"

   Siang In bertanya dan memandang Kian Bu, lalu menoleh kepada lima orang lain yang juga sudah mulai siuman.

   "Kita agaknya menjadi tawanan bajak-bajak itu,"

   Kata Kian Bu. Dia sudah me-meriksa tali belenggunya dan kalau dia mau, tentu dia akan dapat mematahkan belenggunya itu biarpun tali itu terbuat dari otot binatang yang amat kuat. Dia melihat lima orang itu mulai merenggut-renggut tangan mereka, namun hasilnya sia-sia. Kian Bu maklum bahwa tidak sembarangan orang akan dapat mematahkan belenggu ini, harus menggunakan sin-kang tingkat tinggi. Maka dia pun dapat mengukur bahwa kepandaian lima orang itu, terutama pemimpin mereka yang berjenggot pendek, biarpun mungkin tinggi namun sin-kang mereka belumlah begitu kuat.

   "Tenang....!"

   Tiba-tiba Si Jenggot Pendek berkata.

   "Mereka menawan kita, berarti mereka tidak akan membunuh kita. Menggunakan kekerasan tidak ada gunanya, apalagi belenggu ini amat kuat. Kita harus tenang dan menanti keadaan."

   Siang In juga mencoba-coba untuk mematahkan belenggu, akan tetapi malah kulit lengannya yang menjadi nyeri.

   "Aih, Twako, bagaimana ini....?"

   Keluhnya.

   "Nona, harap jangan khawatir, kami akan melindungimu,"

   Si Jenggot Pendek berkata menghibur. Siang In cemberut.

   "Huh, melindungi bagaimana? Kalian sendiri pun tidak berdaya."

   Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke luar dari terali besi di atas pintu, lalu dia memberi isyarat kepada mereka semua untuk ikut melihat. Mereka kini bangkit semua dan memandang ke luar. Kiranya tempat itu merupakan sebuah perkampungan kecil yang dikurung pagar tembok kuat, tampak dari tempat tahanan yang berada di tengah kampung itu.

   Dan semua penduduk perkampungan itu agaknya sedang bersuka ria, sedang menghadapi suatu pesta yang sedang mereka rayakan. Ada yang membawa kertas-kertas berwarna, pajangan-pajangan dan orang-orang itu hilir-mudik sambil tersenyum-senyum, akan tetapi rata-rata mereka itu mempunyai wajah bengis, dan melihat dari pakaian mereka, baik yang perempuan maupun yang laki-laki, mereka adalah orang-orang suku Nomad , yang berkeliaran di daerah utara, terdiri dari campuran bermacam suku bangsa, akan tetapi sebagian besar adalah keturunan suku bangsa Mongol. Sepasukan orang terdiri dari dua belas orang bersenjata golok besar datang ke tempat tahanan itu dan pintu besi dibuka dari luar. Kemudian tujuh orang tawanan itu digiring memasuki sebuah rumah besar dan terus ke ruangan samping rumah gedung besar itu.

   Di dalam sebuah ruangan telah menanti seorang laki-laki tua yang duduk di atas kursi. Tujuh orang tawanan itu mengira bahwa tentu mereka akan dihadapkan kepada kepala bajak yang kejam dan bengis, dan Kian Bu yang sengaja tidak mematahkan belenggu untuk melihat perkembangan sebelum turun tangan, sudah siap untuk mengambil tindakan. Betapa kagetnya ketika dia memandang dan mengenal orang yang duduk di atas kursi itu. Pernah dia bertemu dengan orang ini di Koan-bun. Orang itu berpakaian sastrawan dan dia tahu bahwa orang itu adalah pengawal lihai dari Raja Tambolon, yaitu Yu Ci Pok yang berpakaian pelajar (siucai) di samping pengawal lain yang berpakaian petani dan bernama Liauw Kui!

   Akan tetapi perjumpaannya dengan Tambolon dan dua orang pengikutnya itu hanya sepintas saja maka kini Yu Ci Pok Si Siucai Maut itu tidak mengenalnya dan Kian Bu juga hanya menundukkan mukanya. Memang tidak salah penglihatan Kian Bu orang itu adalah Yu Ci Pok, pengawal Raja Tambolon, dan tempat itu adalah tempat yang dijadikan sarang oleh Raja Tambolon pada saat itu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Raja Tambolon gagal dalam merebut Koan-bun dan di kota itu pasukannya yang terdiri dari seribu orang malah hancur-lebur dan terbasmi, hampir tidak ada lagi sisanya. Akan tetapi, berkat kelihaiannya, dia dan dua orang pengawalnya berhasil menyelamatkan diri dan dia lalu lari ke utara. Biarpun dia telah kehilangan pasukan, namun nama Raja Tambolon telah dikenal oleh para suku Nomad, maka tentu saja kemunculannya disambut dengan penuh penghormatan dan sebentar saja,

   Raja Tambolon sudah dapat mengumpulkan kekuatan dan dia bahkan menjadi raja kecil di daerah perbatasan di seberang sungai dan kekuasaannya meliputi daerah yang cukup luas! Adapun kedua orang pengawalnya itu kini diangkatnya menjadi menteri-menterinya karena dia sendiri menjadi raja kecil di situ. Para bajak sungai yang beroperasi di sepanjang sungai itu semua ditundukkannya dan menjadi anak buahnya! Kian Bu melirik ke depan dan melihat bahwa sastrawan itu ditemui oleh dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua orang penunggang kuda yang dilihatnya di hutan itu. Kiranya dua orang itu adalah kaki tangan sastrawan pengawal Tambolon ini, pikirnya. Dia menduga bahwa pengawal Raja Tambolon ini telah berdikari dan menjadi kepala bajak. Tidak heran, karena memang orang itu lihai, pikirnya.

   "Mereka berlima itulah!"

   Terdengar Si Kumis Tebal menerangkan kepada sastrawan itu.

   "Jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang dari Bhutan!"

   Siucai itu memandang penuh perhatian, lalu membentak kepada lima orang itu.

   "Benarkah kalian adalah keparat-keparat dari Bhutan?"

   Kerajaan Bhutan telah menjadi musuh-musuh dari Tambolon dan kaki tangannya. Orang setengah tua itu mengangkat dadanya dan berkata, suaranya tabah dan memandang rendah,

   "Hemm, kiranya di sini pun terdapat kaki tangan Tambolon yang merajalela! Aku tahu bahwa engkau adalah Yu-siucai, pengawal Tambolon. Di manakah rajamu yang liar itu sekarang? Ha-ha, aku mendengar akan kehancurannya di Koan-bun!" Siucai itu terbelalak, memandang penuh perhatian dan bangkit dari kursinya, mendekati orang setengah tua itu, mengamat-amati, lalu membentak,

   "Keparat! Kiranya engkau Panglima Jayin dari Bhutan?"

   "Matamu masih awas, Yu-siucai!"

   Siucai itu kembali duduk dan tertawa gembira,

   "Ha-ha-ha, siapa kira kita dapat menawan tokoh ke dua dari Bhutan! Ah, tentu Tai-ong akan gembira sekali melihat mukamu, Jayin!"

   Dia lalu menoleh kepada dua orang itu.

   "Lekas kalian laporkan kepada Ong-ya bahwa lima orang tawanan dari Bhutan itu adalah Jayin dan empat orang pembantunya! Akan tetapi hati-hati, jangan ganggu Ong-ya yang sedang bergembira."

   Dua orang itu mengangguk dan pergi, wajah mereka girang karena mereka telah membuat jasa besar. Kemudian Yu-siucai memandang Kian Bu dan Siang In. Gadis ini menundukkan mukanya, pakaiannya masih basah dan menempel ketat di tubuhnya sehingga lekuk-lengkung tubuhnya yang ranum itu nampak nyata.

   "Kalian siapa?"

   Bentaknya.

   "Maaf, Taijin (Pembesar)...."

   Kian Bu menjawab cepat, mendahului Siang In.

   "Saya bernama Teng Bu dan ini adik saya, Teng Siang In.... kami berdua sedang menumpang perahu.... tidak ada hubungan kami dengan mereka ini...."

   Kian Bu memperlihatkan sikap ketakutan, dan diam-diam Siang In melirik kepadanya, agak geli juga mendengar Kian Bu merubah namanya dan mengaku sebagai kakaknya dan membonceng shenya (nama keturunan).

   "Yu-siucai, dua orang ini memang hanya kebetulan saja menumpang perahu. Harap bebaskan mereka yang tidak bersalah apa-apa."

   "Hemm, keputusannya berada di tangan raja kami. Dan untung bahwa kini kami sedang mengadakan pesta pernikahan raja kami, kalau tidak, tentu kalian sudah menerima hukuman langsung."

   Panglima Jayin, tokoh Bhutan itu tertawa. Seperti telah kita kenal, panglima ini adalah murid dari Kakek Lu Kiong, kakek dari Ceng Ceng dan menjadi orang terkenal di Bhutan. Dia bersama empat orang pembantunya itu bertugas untuk mencari Puteri Syanti Dewi.

   "Ha-ha-ha, entah sudah berapa puluh kali aku mendengar Tambolon menikah!"

   Siucai itu melompat ke depan, tangannya menampar.

   "Plak-plak!"

   Bibir Panglima Jayin pecah dan berdarah, akan tetapi dia masih berdiri tegak, memandang dengan mata menghina.

   "Kalau bukan hari baik raja kami, aku tentu sudah membunuhmu!"

   "Pengecut!"

   Tiba-tiba Siang In memaki dan matanya terbelalak memandang siucai itu.

   "Laki-laki macam apa engkau ini? Beraninya menghina orang yang ter-belenggu. Hih, tak tahu malu! Buang saja pakaian pelajar itu, ganti pakaian penjahat!"

   Siucai itu terkejut dan memandang kepada dara itu dengan muka merah, dan Panglima Jayin tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, Yu-siucai, dengarkan suara seorang dara sederhana yang jauh lebih gagah daripada engkau. Ha-ha-ha! Terima kasih, Nona. Engkau sungguh patut dikagumi, dan aku akan mati gembira mengenangkan seorang dara yang gagah seperti engkau!"

   Siang In tersenyum dan dia tidak takut lagi kini. Pada saat itu, dua orang tadi datang lagi dan berkata,

   "Pesta sudah dimulai, Yu-taijin diminta menghadiri pesta dan para tawanan diperbolehkan nonton dan ikut bersenang-senang sebelum diambil keputusan hukuman mereka. Demikian pesan Ong-ya."

   Yu-siucai mengangguk.

   "Hemm, kalian masih bernasib baik. Raja kami sedang bergembira dan tidak ada nafsu melihat darah musuh-musuhnya. Giring mereka ke sana!"

   Kembali dua belas orang pasukan menggiring tujuh orang tawanan itu menuju ke ruangan besar dan luas di mana telah terdengar suara riuh rendah orang berpesta. Kiranya pada waktu itu, Raja Tambolon sedang merayakan hari pernikahannya dan pesta besar dirayakan. Ruangan yang luas itu penuh dengan para tamu, akan tetapi tamu-tamu itu terdiri dari orang-orang yang kasar dan liar.

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suasana pesta di situ kacau-balau dan sama sekali tidak teratur dan sebagian sudah mabok. Dan hampir di setiap meja di "hias"

   Dengan perempuan-perempuan cantik yang bermacam-macam sikapnya. Ada yang genit dan agaknya sudah mahir melayani orang-orang besar itu, ada yang kelihatan berduka dan takut-takut, akan tetapi semuanya berpakaian mewah dan berbedak tebal. Mereka ini adalah wanita-wanita rampasan yang telah dijadikan alat hiburan secara paksa oleh Tambolon dan kaki tangannya, dan kini mereka dikerahkan untuk menemani dan menghibur para tamu! Siang In memandang dengan cemas, dan diam-diam Kian Bu juga muak menyaksikan keadaan di situ. Tanpa aturan sama sekali! Ada yang berkeliaran ke sana-sini, dan ada yang mengadu kekuatan minum sampai ada yang muntah-muntah.

   Ada pula yang mengadu kekuatan pergelangan tangan, dirubung dan disoraki dengan bising, ada pula yang sedang menggeluti seorang wanita. Tawa dan kekeh terdengar memenuhi udara, bercampur dengan bau keringat dan arak dan mulut busuk! Di sudut kiri terdapat para pemain musik dan para penyanyi yang suaranya sudah mulai serak dan sumbang karena diloloh minuman keras oleh para tamu yang merubung tempat hiburan ini, agaknya mereka yang agak "nyeni"

   Atau yang suka akan seni musik! Tujuh orang tawanan itu digiring masuk terus ke tempat Tambolon untuk menghadap raja itu. Akan tetapi Tambolon sedang sibuk dan ketika Yu-siucai mendekatinya dan berbisik, raja itu hanya menoleh sebentar ke arah tawanan, kemudian menggeleng kepala dan menyuruh semua menunggu karena dia sedang sibuk menonton adu gulat yang berlangsung di ruangan itu.

   Memang adu gulat merupakan tontonan dan olahraga yang amat populer di daerah itu, dan Tambolon sendiri dahulu merupakan seorang ahli gulat nomor satu di daerahnya. Setelah dia belajar ilmu silat tinggi, tentu saja dia memandang rendah ilmu ini, akan tetapi dia masih suka menonton. Ramai sekali pertandingan adu gulat di gelanggang yang disediakan khusus itu dan banyak tamu yang suka akan tontonan ini mengepung tempat itu untuk menonton. Tambolon kini sudah tercurah seluruh perhatiannya kepada pertandingan itu lagi setelah tadi terganggu sebentar. Kian Bu tetap memegang tangan Siang In sehingga empat tangan mereka yang pergelangannya terbelenggu itu tak pernah berpisah. Dia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tempat itu penuh orang, hampir kesemuanya orang-orang asing dan hanya sedikit saja orang-orang Han yang juga merupakan orang-orang kasar dari golongan hitam.

   Banyak pula kepala-kepala suku yang mendapat tempat kehormatan akan tetapi juga kini bercampur menjadi satu menonton apa saja yang disukai mereka di dalam pesta awut-awutan itu. Dari bentuk tubuh mereka yang tegap dan tinggi besar, dengan otot-otot yang membelit-belit seperti tali kuat, dapat dimengerti bahwa mereka itu rata-rata adalah orang-orang kasar, tukang-tukang berkelahi yang kuat dan berani. Kian Bu agak gentar hatinya, mengingat bahwa dia harus melindungi Siang In. Dia melirik ke arah lima orang tawanan dari Bhutan itu, dan kebetulan Panglima Jayin memandangnya. Mereka saling tersenyum dan Kian Bu kagum sekali. Panglima ini benar-benar amat gagah berani dan tenang. Dia menarik Siang In, men-dekati panglima itu, lalu berbisik,

   "Agaknya engkau mencari Syanti Dewi?"

   Panglima Jayin terkejut sekali, terbelalak dan mengangguk.

   "Dia berada di istana kaisar, di kota raja,"

   Kian Bu berbisik lagi lalu menjauh karena khawatir kalau didengar orang lain. Panglima itu mengangguk-angguk dan kelihatan girang. Panglima yang setia ini memang merasa girang sekali. Dia sendiri terancam bahaya, namun hal itu bukan apa-apa baginya dan mendengar bahwa puteri yang dicarinya sudah berada di tempat aman, di istana kaisar, tentu saja dia merasa lega dan girang.

   Kini Kian Bu memperhatikan Tambolon. Raja itu kelihatan menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar dan matanya yang terbelalak lebar, mulut besar menyeringai dan kedua tangannya bergerak-gerak mengikuti gerakan kedua orang pegulat yang sedang bertanding. Raja itu kelihatan amat tertarik sehingga tidak peduli akan keramaian di sekitarnya. Di sebelah kirinya duduk pengantin perempuan yang selalu menundukkan mukanya yang tertutup tirai halus, dan kelihatan pengantin ini lesu dan lemas. Di belakang agak ke samping, berdiri seorang yang memakai pakaian perang dan Kian Bu mengenalnya sebagai pengawal Tambolon yang lihai, yaitu Si Petani Maut Liauw Kwi! Dan di sebelah pengantin perempuan, agak jauh dan menyendiri, seperti mengantuk dan malas, duduk seorang nenek tua yang berkulit kehitaman, memakai pakaian sutera hitam yang hanya dilibat-libatkan di seluruh tubuhnya, dari kaki sampai ke kepalanya.

   Melihat sepasang mata nenek yang mengantuk itu, sinar mata yang tajam seperti sepasang mata ular, Kian Bu terkejut sekali. Dia dapat mengenal orang berilmu seperti yang pernah didengar dari ayahnya. Melihat sinar mata itu mungkin sekali nenek ini pandai ilmu sihir! Dan dugaannya berdasarkan penuturan ayahnya memang benar. Nenek itu adalah guru dari Tambolon, seorang yang datang dari Pegunungan Himalaya, dari daerah See-thian (India) yang tinggi ilmu silatnya dan mahir ilmu sihir! Jantung Kian Bu berdebar. Keadaannya sulit dan berbahaya! Dia harus melindungi Siang In, dan terutama sekali dia harus berhati-hati menghadapi Tambolon, Petani Maut, Yu-siucai, dan nenek itu! Di samping itu masih ada ratusan orang liar yang kelihatan kuat-kuat.

   Baru dua orang pegulat yang sedang berlaga itu saja sudah amat hebat. Tubuh mereka yang telanjang dan hanya memakal cawat, seperti tubuh dua ekor gajah. Otot-otot mereka menggelembung dan mengeluarkan bunyi berkerotan ketika mereka mengadu kekuatan otot, berusaha untuk saling membanting. Sungguh dia berada di tengah-tengah jagoan-jagoan yang tak boleh dipandang ringan! Tiba-tiba Kian Bu tersentak kaget. Ada suara orang mendengkur di belakangnya. Di tengah-tengah orang hiruk-pikuk berpesta-pora ini, masih ada yang tidur mendengkur. Gila! Mendengkur? Dia bergidik dan teringat akan sesuatu, cepat menoleh dan.... terbelalak dia memandang kepada seorang kakek berambut putih semua yang tidur mendengkur di atas sebuah kursi, tepat di belakangnya!

   Tangan kakek itu masih memegang sebuah guci arak yang menetes-netes araknya. Agaknya dia mabok dan tertidur. Akan tetapi Kian Bu ingat benar bahwa di belakangnya tadi tidak ada apa-apa, tidak ada kursinya, apalagi kakek yang tertidur mendengkur. Hatinya tergetar. Betapa lihainya kakek ini! Dan dengan hadirnya kakek ini sebagai lawan, makin beratlah keadaannya. Dia harus berlaku hati-hati sekali. Tempat ini menjadi sarang orang-orang pandai. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dari mereka yang menonton adu gulat, setelah terdengar suara berdebuk keras. Kiranya seorang di antara pegulat itu dapat dibanting keras dan tentu saja kalah dengan tulang punggung remuk! Tambolon agaknya menjagoi yang me-nang, buktinya dia bersorak-sorak dan menjadi girang sekali.

   "Si Bolohok menang! Ha-ha-ha, sudah kuduga. Kau lihat, isteriku, jagoanku menang. Hayo minum untuk kegembiraan ini!"

   Tambolon melihat pengantin wanita menggeleng kepala, akan tetapi dia memaksa, tangan kanan memegang cawan arak, tangan kiri membuka kerudung yang menutupi muka pengantin wanita. Kian Bu melihat wajah seorang wanita yang cantik!

   "Enci Siang Hwa....!"

   Tiba-tiba Siang In yang berdiri di sampingnya menjerit ketika kerudung muka pengantin wanita itu dibuka, dan dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, lari ke arah encinya yang juga sudah melihatnya.

   "Adikku....!"

   Pengantin wanita juga menjerit dan menangis. Jarak antara mereka agak jauh dan semua orang tercengang mendengar jerit dua orang gadis itu dan memandang bengong.

   Pengantin wanita dengan kerudung terbuka, bangkit berdiri mengembangkan kedua tangan, sedangkan dara remaja yang terbelenggu kedua tangannya itu lari terhuyung menghampirinya sambil menangis juga. Melihat ini, Yu Ci Pok yang sejak tadi menjaga para tawanan, meloncat untuk menangkap Siang In. Akan tetapi, loncatannya gagal karena dia merasa seperti ada sesuatu yang mengait kakinya sehingga dia terperosok ke depan. Akan tetapi siucai ini memang lihai sekali, dengan berjungkir-balik dia dapat mematahkan bantingan itu dan tubuhnya mencelat ke depan. Dia berhasil menyambar lengan Siang In, akan tetapi karena gerakannya tidak wajar lagi oleh gangguan hebat tadi, tidak urung dia terhuyung dan menabrak meja di depan Tambolon sehingga meja itu terbalik dan arak serta hidangan makan tumpah semua. Tentu saja keadaan menjadi kacau dan geger!

   "Siang In....!"

   Pengantin wanita itu kini memegang tangan adiknya dan mereka berpelukan, akan tetapi Tambolon yang menjadi marah dengan gangguan itu, menarik tangan pengantinnya. Yu Ci Pok yang merasa kaget membikin terbalik meja junjungannya, lalu menyelinap di antara orang banyak untuk mencari orang yang telah menjegal kakinya tadi. Saking marahnya, siucai ini lupa akan para tawanannya. Kian Bu yang memperhatikan semua itu, kini melihat betapa kakek yang tadi menjegal kaki Yu Ci Pok, kini dengan gerakan cepat menghampiri lima orang Bhutan dan begitu jari-jari tangannya meraba, belenggu-belenggu lima orang itu patah semua. Kakek itu menghampiri dia, mengulur tangan ke arah belenggu yang mengikat kedua tangan Kian Bu dan.... kakek itu terbelalak dan mengeluarkan suara

   "huhh!"

   Ketika melihat betapa dengan amat mudahnya pemuda itu menggerakkan kedua tangan dan belenggu itu patah-patah!

   "Enci.... kenapa engkau menjadi begi-tu....?"

   "Adikku.... aku.... aku dipaksa...."

   "Bocah lancang, kau bosan hidup!"

   Tambolon menjadi marah sekali dan mengangkat tangan hendak memukul Siang In.

   Melihat ini, Kian Bu menjadi merah mata dan mukanya, darahnya naik dan perutnya terasa panas. Lengkingan yang tinggi nyaring mengejutkan semua orang dan menambah kekacauan keadaan, bahkan di antara orang-orang tinggi besar dan bertubuh kuat itu ada yang terguling dan menutupi telinganya. Ada yang menekan dadanya karena suara melengking yang keluar dari mulut Kian Bu itu adalah pengerah khi-kang sakti dari Pulau Es, suara yang mengandung getaran hebat sehingga dapat memecahkan anak telinga dan melumpuhkan jantung! Dengan kemarahan meluap, Kian Bu meloncat ke atas, melewati kepala banyak orang dan melesat ke arah Tambolon sambil menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka dan mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang sekuatnya.

   Tenaga Inti Salju yang amat hebat ini mendatangkan hawa dingin yang amat luar biasa sehingga beberapa orang yang tersentuh hawa ini menggigil kedinginan, sampai gigi mereka berkerutukan seperti orang menderita sakit demam! Mendengar lengking tadi, Tambolon terkejut dan sudah mengurungkan pukulannya terhadap Siang In. Kini lebih kaget lagi melihat seorang pemuda melayang datang dan menghantam dengan pukulan yang membawa hawa dingin amat dahsyatnya itu. Dari belakang raja itu, Petani Maut yang mengenal serangan dahsyat, sudah bergerak, meloncat ke depan, tangannya masih memegang sebuah guci arak penuh yang tadi hendak digunakan mengisi cawannya. Guci arak yang penuh itu kini dia pergunakan untuk menyambut hantaman Kian Bu yang dahsyat itu.

   "Pyaaaarrrr....!"

   Petani Maut terhuyung ke belakang dan menggigil kedinginan. Tambolon juga terbelalak melihat betapa guci itu pecah berkeping-keping dan araknya berhamburan ke mana-mana, sebagian menjadi butiran-butiran es karena beku oleh hawa mujijat dari Swat-im Sin-kang! Menyaksikan kelihaian pemuda ini, Tambolon cepat berteriak kepada para pembantunya untuk mengepung dan mengeroyok. Gegerlah keadaan pesta itu. Kian Bu mengamuk dikeroyok oleh banyak jagoan-jagoan kaki tangan Tambolon. Panglima Bhutan dan empat orang pembantunya yang telah dibebaskan dari belenggu oleh kakek berambut putih tadi, kini juga mengamuk dan berusaha untuk mencari jalan keluar. Akan tetapi, tempat itu sudah dikepung dengan ketat oleh anak buah Tambolon sehingga seperti juga Kian Bu, mengamuklah Panglima Jayin dan empat orang pembantunya.

   Pertandingan hebat, mati-matian dan kacau terjadilah di tempat itu. Medan pesta berubah menjadi medan pertempuran. Para tamu yang sudah mabok ada yang ikut-ikut mengamuk, akan tetapi mereka ini roboh sendiri tanpa diserang karena berdiri pun mereka ini sudah tidak mampu tegak lagi. Ada pula tamu mabok yang enak-enak bernyanyi, ada yang memeluk wanita tanpa mempedulikan segala keributan itu. Pendeknya, tempat itu menjadi kacau-balau sama sekali. Keributan menjadi makin kacau dan hebat, ketika ada minyak mengalir di bawah bangku dan meja yang berserakan dan tak lama kemudian minyak bakar ini disambar api yang dilepas oleh kakek berambut putih dengan membantingkan sebuah lentera ke atas lantai yang berminyak. Ruangan itu mulai dimakan api yang bernyala besar dan hawa menjadi panas bukan main.

   Gegerlah semua orang yang sedang bertempur itu. Amukan api yang hebat membuat mereka lupa akan pertempuran, lupa akan lawan karena api merupakan lawan dan bahaya yang lebih hebat lagi. Larilah semua orang berserabutan menuju ke pintu dan berjejal-jejal dalam usaha mereka untuk keluar dari pintu karena api yang menjilat minyak itu berkobar tinggi dan sudah menjilat atap! Melihat bahaya maut dari api yang mengamuk ini, Tambolon cepat menoleh dan menyambar ke arah pengantinnya. Ketika tangannya bergerak hendak menangkap lengan Teng Siang Hwa yang kini berpelukan dengan adiknya, dalam keadaan takut dan memandang ke arah pertempuran yang bubar oleh amukan api, Siang Hwa cepat mengelak dan gerakannya ini menyeret adiknya sehingga mereka terhuyung dan terpisah.

   "Hayo kita pergi dari ruangan ini!"

   Tambolon berseru dan kembali tangannya menyambar dan sekali ini agaknya Siang Hwa tidak akan dapat mengelak lagi.

   "Dukkkk....!"

   Tambolon terkejut dan terhuyung. Ketika dia memandang, ternyata seorang kakek berambut putih telah berdiri di depannya. Suara hiruk-pikuk terdengar dan ada bagian atap yang roboh termakan api. Sebatang balok kayu bernyala jatuh menimpa ke dekat mereka. Kakek itu menjadi terhalang dan tidak dapat melindungi Siang Hwa. Akan tetapi melihat Tambolon yang melompat ke samping menghindarkan diri dari timpaan balok sambil berusaha menubruk pengantinnya, kakek itu menggerakkan tangan kanannya mendorong ke arah Tambolon.

   Itulah pukulan jarak jauh yang dahsyat. Tambolon kem-bali tertahan gerakannya dan merasa ada hawa menyambar dia lalu menangkis. Api makin membesar dan asap membuat mata Tambolon menjadi pedas dan panas. Maka dia lalu menubruk ke depan, akan tetapi karena dia melakukan ini dengan sebagian perhatian ditujukan kepada Si Kakek, dan matanya juga hampir terpejam karena panas dan pedas, dia salah tubruk dan yang tertangkap dan cepat ditotoknya itu bukannya Siang Hwa melainkan Siang In, adik Si Pengantin Wa-nita. Akan tetapi Tambolon agaknya tidak peduli lagi dan cepat dia memanggul tubuh Siang In yang lemas tertotok itu di atas pundak kanannya dan dia meloncat dan lari dari ruangan yang terbakar itu melalui sebuah pintu rahasia. Api mengamuk makin ganas dan makin banyak bagian atap ruangan itu yang ambruk.

   Kini mulailah penduduk perkampungan bajak atau anak buah Tambolon itu menggunakan air untuk mencoba memadamkan api yang mulai menjilat-jilat dan menjalar ke mana-mana. Asap hitam bergulung-gulung, memenuhi tempat itu, menghalangi pandangan dan menyesakkan napas. Kekacauan ini memberi kesempatan baik sekali kepada Kian Bu dan lima orang Bhutan itu untuk melarikan diri karena semua orang lebih memperhatikan amukan api daripada para tawanan itu. Bahkan agaknya tidak ada lagi yang peduli akan tawanan-tawanan itu karena semua orang kini sibuk berusaha memadamkan api yang telah membakar habis ruangan pendopo tempat pesta tadi. Dengan suara gemuruh ambruklah ruangan pesta yang luar biasa itu, berikut bangunan-bangunan di dekatnya, terbakar menjadi arang dan abu.

   Akhirnya api dapat dipadamkan setelah puas menghabiskan tempat itu, dan tawanan telah lolos! Lenyap semua tawanan-tawanan itu dan juga pengantin wanita. Tambolon marah-marah, mencak-mencak karena sekali ini dia menderita rugi besar. Sebagian bangunan gedungnya musnah, para tawanan lolos dan pengantinnya kabur! Beberapa orang anak buahnya ada yang tewas dimakan api, ada pula yang luka-luka. Setelah dia melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas pembaringan, dia lalu berlari ke luar dan teringatlah dia akan gurunya, nenek dari India itu. Ke mana perginya gurunya itu? Mengapa tidak kelihatan keluar dari ruangan yang terbakar? Tambolon keluar dan menenangkan para tamu yang cerai-berai itu, dan berkata,

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 7 Pendekar Super Sakti Eps 41 Sepasang Pedang Iblis Eps 32

Cari Blog Ini