Jodoh Rajawali 8
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
"Celaka....!"
Seruannya!
"Lenganku lumpuh...."
Kian Lee meraba lengan itu kemudian dia menotok pundak dan ketiak sang komandan untuk menghentikan jalan darah agar racun ular tidak terus menjalar ke jantung. Kemudian dia minta pinjam pedang komandan itu, sambil meraba-raba dia merobek kulit daging tangan yang tergigit dan menyuruh komandan itu menyedot dan meludahkan sendiri darah dari luka itu.
"Biarpun bukan merupakan pengobatan yang manjur, namun cukup untuk menyelamatkan nyawamu, Ciangkun,"
Katanya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di sebelah depan. Di samping suara orang-orang, juga terdengar suara batu-batu besar di lempar dan menimpa air. Telinga Kian Lee yang tajam dapat menangkap suara Si Setan Arak rambut merah, Ho-nan Ciu-Io-mo yang tertawa dan berkata nyaring,
"Tutup mulut saluran itu, ha-ha-ha, biar mereka mati seperti tikus-tikus dalam selokan!"
Kian Lee meklum apa yang terjadi.
"Cepat kita harus mencapai mulut terowongan sebelum ditutupi!"
Dia berkata sambil menarik tangan komandan itu. Akan tetapi, komandan itu mengeluh dan tidak dapat berjalan cepat di dalam air itu dan ternyata setelah mereka tiba di mulut terowongan, dengan rabaan tangan tahulah mereka bahwa mereka telah terlambat. Terowongan itu telah tertutup oleh batu-batu besar, tidak mungkin lagi dapat mereka lewati dan hanya sedikit air saja yang dapat lolos keluar, karena terbendung air ini, air mulai naik perlahan-lahan! Selain air mulai naik, juga hawa dari ular-ular beracun menimbulkan bau yang menyesakkan dada.
Kita tinggalkan dulu Kian Lee dan komandan pasukan pengawal istana itu yang terkurung di dalam terowongan yang gelap pekat dan terancam maut dan mari kita mengikuti perjalanan Gubernur Hok Thian Ki dari Ho-pei yang menyamar sebagai tukang kebun dan melarikan diri bersama Phang Cui Lan. Mereka dapat berlari cepat melalui tempat-tempat gelap sehingga dapat lolos dari perhatian para penjaga dan pengawal yang sedang kacau dan sibuk bertempur itu sehingga mereka dapat keluar dari tembok kota. Karena mereka itu hanya seorang tukang kebun dan seorang pelayan yang diaku anak oleh tukang kebun dalam keadaan ribut-ribut itu semua nafsu kebengalan mereka agaknya padam dan hal ini memudahkan Gubernur Ho-pei dan Cui Lan untuk meloloskan diri dari tembok kota.
Pagi-pagi sekali mereka telah keluar dari pintu gerbang kota dan langsung menuju ke utara, ke perbatasan. Kini Gubernur Hok yang memimpin perjalanan dan gubernur ini berkata bahwa kalau mereka sudah melintasi batas propinsi berarti dia akan selamat dan akan dapat menyuruh pejabat setempat untuk mempersiapkan pengawal dan kereta untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, belum jauh mereka berjalan tiba-tiba Gubernur Hok meme-gang lengan Cui Lan dan menarik gadis itu menyelinap di balik semak-semak belukar karena dia mendengar derap kaki kuda. Benar saja, tak lama kemudian muncul belasan orang pengawal Gubernur Ho-nan yang lewat dengan cepatnya di jalan itu. Setelah mereka pergi jauh, Gubernur Hok menghela napas panjang.
"Berbahaya sekali...."
Dia mencegah Cui Lan yang hendak berdiri.
"Kita bersembunyi dulu di sini, siapa tahu mereka segera kembali...."
Cui Lan duduk di atas rumput di balik semak-semak itu.
"Habis, bagaimana baiknya, Taijin?"
"Kalau mereka itu sudah kembali, kita boleh melanjutkan perjalanan, akan tetapi kalau belum terpaksa kita harus mencari tempat persembunyian di dekat jalan ini untuk melihat sampai mereka kembali."
Akan tetapi mereka tidak perlu menanti terlalu lama karena hanya sejam kemudian nampak belasan orang itu sudah kembali menjalankan kuda mereka perlahan-lahan dan mata mereka me-nengok ke kanan kiri mencari-cari! Ketika lewat di dekat mereka, Gubernur Hok dan Cui Lan mendengar komandan pasukan itu berkata,
"Tidak mungkin mereka sudah pergi jauh dari sini! Tidak mungkin! Seorang tua dan seorang gadis lemah tentu mereka bersembunyi dan kita harus terus mengawasi jalan ini. Sewaktu-waktu mereka pasti akan muncul. Si tua itu kita serahkan kepada gubernur dan kita menerima hadiah, sedangkan si pelayan yang kabarnya cantik itu hemmm.... dia harus dihukum karena melarikan Gubernur Ho-pei, dihukum mesra!"
"Eh, Twako. Mana ada hukuman mesra?"
"Engkau tehu sendiri, ha-ha-ha! Kabarnya dia masih perawan!"
Dan mereka tertawa-tawa sampai suara mereka lenyap dan mereka pergi jauh. Wajah Cui Lan sebentar merah sebentar pucat, kedua tangannya menggigil ketika dipegang oleh Gubernur Hok yang juga kelihatan pucat.
"Celaka, kalau begitu kita tidak bisa lewat jalan ini. Kita harus mengambil jalan liar, akan tetapi, aku tidak tahu jalan...."
Kata Si Gubernur tua dengan khawatir.
"Baiknya, biarlah aku menyerahkan diri saja agar jalan ini aman. Lalu engkau terus melarikan diri ke Ho-pei. Biar aku mereka tangkap asalkan engkau jangan...."
"Aihhh, mengapa demikian, Taijin? tidak boleh Taijin mengorbankan diri untuk saya...."
"Engkau seorang wanita...."
(Lanjut ke Jilid 08)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08
"Hanya seorang pelayan...."
"Bagiku engkau bukan sekedar pelayan, melainkan seorang penolong, seorang wanita muda yang berani dan berbudi. Nona, siapa namamu?"
"Phang Cui Lan...."
"Nah, Cui Lan, kita berpisah di sini. Aku akan berjalan ke selatan, biar mereka tangkap dan bawa ke Ho-nan. Kemudian engkau boleh melanjutkan perjalanan ke utara dan di sana engkau boleh melapor kepada pembesar setempat bahwa aku ditahan oleh Gubernur Ho-nan. Mudah-mudahan kita akan dapat saling bertemu kembali, Cui Lan, agar aku bisa membalas budimu."
Gubernur tua itu lalu bangkit berdiri, meloncat ke atas jalan raya dan melangkah dengan tabahnya menuju ke selatan. Cui Lan memandang dengan mata basah air karena dia merasa kasihan dan khawatir sekali kepada pembesar itu. Baru sekarang dia bertemu dengan pembesar yang demikian manis budi, seolah-olah sikapnya seperti seorang ayah saja baginya.
"Taijin....!"
Tiba-tiba gadis itu memanggil dan dia bangkit berdiri. Gubernur Hok berhenti, membalikkan tubuhnya dan memandang heran melihat gadis itu sudah keluar dari tempat persembunyian, lalu naik ke jalan raya dan menghampirinya.
"Eh, Cui Lan, jangan keluar!"
"Cepat, Taijin, saya mendapat akal. mari!"
Gadis itu memegang tangan Hok-taijin dan menariknya kembali ke tepi jalan dan kembali seperti tadi mereka bersembunyi di balik semak-semak belukar yang cukup lebat sehingga dapat menyembunyikan mereka sama sekali dari jalan raya itu. Dengan suara bisik-bisik Cui Lan berkata,
"Taijin, keputusan yang Taijin, ambil tadi terlalu berbahaya. Sudah pasti bahwa jika Taijin tertawan, keselamatan Taijin terancam bahaya hebat. Saya teringat akan pesan seorang yang saya puja-puja, yaitu apabila sewaktu-waktu saya menghadapi bahaya, saya boleh pergi ke rumah seorang pemburu yang bertempat tinggal di tepi hutan, tak jauh dari sini. Saya kira sekaranglah waktunya untuk pergi ke sana dan minta tolong seperti pesan orang itu."
Gubernur Hok Thian Ki mengerutkan alisnya.
"Cui Lan, engkau hendak melakukan perbuatan ber-bahaya demi menyelamatkan aku. Akan tetapi justeru aku akan menyeret engkau seorang wanita muda yang tidak tahu apa-apa dan tidak berdosa ke dalam bahaya. Siapakah orang yang meninggal-kan pesan itu? Apakah dapat dipercaya?"
"Taijin, saya tidak dapat mengatakan siapa dia, akan tetapi dia boleh dipercaya sepenuhnya, untuk itu saya berani tanggung dengan nyawa saya!"
"Ah.... betapa bahagianya orang itu yang mendapatkan kepercayaan mutlak seperti itu dari orang seperti engkau"
Kedua pipi gadis itu menjadi merah, akan tetapi matanya berseri tanda bahwa dia girang sekali mendengar pujian dari pejabat yang amat tinggi kedudukannya ini.
"Marilah, Taijin, sebelum mereka kembali ke sini!"
Dia lalu bangkit, memegang tangan orang tua itu dan kembali mereka berjalan setengah berlari, tersaruk-saruk, tergurat dan kena lecutan semak-semak yanp mereka terjang, melalui jalan liar menuju ke sebuah hutan di lereng gunung yang nampak dari situ. Yang seorang biarpun laki-laki adalah orang yang sudah lanjut usianya dan tidak pernah melakukan pekerjaan berat, yang seorang lagi biarpun masih muda remaja hanyalah seorang gadis lemah, maka ketika mereka akhirnya tiba di dekat hutan, napas mereka memburu terengah-engah, muka dan leher mereka penuh keringat dan kedua kaki mereka gemetar saking, lelahnya.
"Wah, aku tidak kuat lagi...."
Gubernur Hok Thian Ki mengeluh.
"Saya juga capai, Taijin, akan tetapi sudah dekat. Kurasa di sana itulah tempatnya, lihat ada genteng rumah di sana."
Tiba-tiba terdengar bunyi ramai di bawah dan ketika mereka menoleh, dapat dibayangkan betapa kagetnya hati mereka melihat belasan orang mengejar mereka dari bawah lereng gunung.
"Celaka, mereka adalah para pengawal yang mengejar kita!"
Cui Lan berseru kaget dan mukanya menjadi pucat sekali.
"Mari, Taijin....!"
Gadis itu seolah-olah memperoleh semangat baru dan rasa capainya lenyap sama sekali karena dia sudah menggandeng tangan pembesar itu lagi dan menariknya, mengajaknya lari ke arah hutan.
"Heiiiii! Berhenti....!"
Teriakan-teriakan para pengejar mulai terdengar dan dua orang pelarian ini makin mempercepat larinya.
"Auhhhhh....!"
Tiba-tiba Gubernur Hok tersandung dan terguling roboh. Untung tidak sampai terjerumus ke dalam jurang di dekat mereka karena Cui Lan sudah merangkulnya dan membantunya berdiri.
"Auhhh.... kakiku...."
Pembesar itu terpincang-pincang akan tetapi terus digandeng Cui Lan, dipapahnya menuju ke rumah yang sudah berada di depan mereka.
"Mari, Taijin....!"
Cui Lan menariknya dan mereka berdua lari menuju ke rumah yang bentuknya aneh itu.
Sebuah rumah yang kokoh kuat, berbentuk segi empat seperti sebuah peti besar. Rumah itu berdiri di tebing sebuah sungai yang airnya tenang dan cukup lebar. Yang luar biasa pada rumah itu adalah bahwa berbeda dengan rumah biasa, rumah ini tidak mempunyai jendela, hanya ada sebuah daun pintunya yang terbuat daripada besi! Benar-benar seperti sebuah rumah penjara saja, penjara yang aneh di pinggir hutan! Akan tetapi karena para pengejar sudah dekat di belakang mereka, Cui Lan dan Gubernur Hok tentu saja tidak memperhatikan rumah aneh ini dan langsung saja mereka menghampiri pintu besar yang terbuat daripada besi itu dan menggedor-gedor sekuat tangan mereka dapat bertahan. Akan tetapi, tidak ada yang menjawab dari dalam, apalagi membuka daun pintunya.
"Bukalah.... bukalah....!"
Tolonglah kami....!"
Berulang kali Cui Lan menggedor daun pintu dengan kepalan tangannya sampai punggung tangannya berdarah!
"Cukup, Nona. Agaknya kosong rumah ini...."
Gubernur Hok memegang tangan yang berdarah itu. Cui Lan menangis terisak-isak dan gubernur itu dengan terharu lalu mencium punggung tangan yang berdarah itu.
"Tenanglah, kita masih hidup dan kita akan menghadapi ini bersama...."
Bisiknya. Empat belas orang pengawal itu telah mengurung mereka sambil tertawa-tawa mengejek ketika mereka tadi menggedor-gedor pintu dan tidak ada yang menjawab. Juga mereka mentertawakan gubernur itu ketika dia mencoba untuk menarik dan membuka pintu yang kokoh kuat itu. Ejekan-ejekan dilontarkan ke arah Gubernur Hok dan godaan-godaan kotor dan cabul mereka lemparkan kepada Cui Lan. Tiba-tiba terdengar suara nyaring, suara anak-anak yang masih belum pecah suaranya, bening dan halus,
"Heiiiii, jangan menghalang di depan pintu orang, aku mau lewat!"
Karena munculnya anak kecil itu begitu tiba-tiba, semua pengawal itu menjadi terkejut dan di luar kesadaran mereka, mereka itu bergerak memberi jalan kepada seorang anak laki-laki kecil yang datang dari belakang mereka. Anak ini menghampiri pintu memandang kepada Gubernur Hok dan Cui Lan, kemudian berkata lirih,
"Mari ikut dengan aku!"
Anak itu meraba sesuatu di dekat pintu dan terdengar suara berkeret keras, daun pintu besi terbuka dan cepat anak itu menarik tangan keduanya masuk ke dalam.
Seperti digerakkan oleh tangan raksasa yang tidak nampak, daun pintu itu menutup kembali dengan suara keras berdetak! Para pengawal Gubernur Ho-nan itu cepat mengejar. Mereka mendorong-dorong, menarik-narik, menggedor-gedor, namun pintu itu tidak dapat dibuka, dan juga tidak dibuka dari sebelah dalam. Biarpun empat belas orang itu telah menyatukan tenaga, namun tetap saja mereka tidak mampu membuka pintu besi itu. Marahlah para pengejar itu. Mereka berteriak-teriak bahwa kalau dua orang itu tidak mau keluar, rumah itu akan dibakar! Komandan mereka dengan suara lantang lalu memerintahkan anak buahnya mengumpulkan kayu di sekeliling rumah itu dan setelah cukup lalu dia berteriak lagi, suaranya lantang menembus celah-celah yang ada memasuki rumah itu,
"Heiiiii! Kalian yang berada di dalam. Kalau kalian tidak cepat keluar, kalian akan terbakar hidup-hidup di dalam!"
Tentu saja Cui Lan, Gubernur Hok, dan bocah itu mendengar suara ini dari dalam dan Cui Lan yang takut kalau--kalau anak itu akan membuka pintu, segera berkata,
"Anak baik, tolonglah kami.... jangan buka pintunya, mereka itu hendak membunuh kami berdua....!"
Bocah itu memiliki sifat-sifat yang gagah. Mendengar ini, dia membusungkan dadanya yang masih kecil sambil berkata dan menepuk dada,
"Percaya padaku, aku tidak akan menyerahkan kalian kepada orang-orang jahat itu!"
Mereka yang berada di dalam mendengar suara kayu terbakar dan melihat sinar terang di luar rumah, ada asap masuk dan hawa panas mulai terasa oleh mereka. Anak itu lalu lari mengambil air dan menyiramkan di bagian yang ada sinar api membakar di luar tembok rumah.
Cui Lan dan Gubernur Hok membantunya, akan tetapi usaha mereka itu tidak ada gunanya. Air itu tidak dapat langsung menyerang api yang menyala di luar rumah tembok tebal itu dan memang api tidak dapat masuk pula, akan tetapi hawa panas mulai menyerang makin hebat ke dalam! Rumah itu kecil saja, terbuat dari tembok tebal dan dibagi menjadi empat buah kamar. Tidak ada pintu lain kecuali pintu depan itu, dan tidak ada jendela. Yang ada hanya lubang-lubang hawa yang amat kecil di bagian atas. Tentu saja kini rumah itu mulai terasa seperti dipanggang. Tiga orang itu mulai mandi peluh, sekujur tubuh mereka basah, juga pakaian mereka mulai basah kuyup seolah-olah mereka bertiga baru saja jatuh ke dalam air sungai atau kehujanan! Akan tetapi napas mereka mulai megap-megap. Rasa panas hampir tak tertahankan lagi.
"Bukalah.... bukalah.... kalian berdua tidak layak mati untukku...., bukalah...."
"Jangan, Taijin.... Paduka akan celaka...."
"Tidak, Cui Lan, aku akan lindungi kau sedapatku"
Akan tetapi anak itu yang tadi kelihatan berkeliaran dan tidak mendengarkan pembicaraan mereka, kini datang mendekat.
"Harap kalian jangan gugup,"
Katanya sambil menunjuk ke sebuah kamar.
"Ini kamarku dan Ayah, ini kamar kedua orang Pamanku, masing-masing satu, dan kamar yang sudut itu adalah kamar.... Ibuku dahulu! Mari kita dobrak dan buka kamar itu!"
Daun pintu yang satu ini digembok dan dikunci, sukar sekali dibuka.
Dengan tenaga seadanya, bocah itu dibantu oleh Cui Lan dan Gubernur Hok berusaha untuk membuka pintu itu, menggunakan segala alat yang ada seperti palu dan linggis untuk merusak gembok. Mengapa bocah itu berkeras hendak membuka kamar ini? Padahal, sejak kecil ayahnya melarang dia membuka pintu itu yang selalu ditutup dan digembok? Anak ini teringat akan cerita seorang di antara kedua pamannya, yang seperti juga ayahnya adalah pemburu-pemburu yang mencari binatang di hutan-hutan untuk dijual kulit dan dagingnya. Menurut cerita pamannya itu, ayahnya adalah seorang suami yang amat besar cemburunya. Karena cemburunya itulah maka ayahnya membuat rumah aneh seperti penjara itu dan setiap kali ayahnya pergi berburu, rumah itu ditutup dan ibunya seperti dikurung di dalam penjara.
Akhirnya ibunya tidak tahan dan setiap kali ayahnya pergi berburu, ibunya itu menggali terowongan sedikit demi sedikit, sampai bertahun-tahun lamanya sehingga akhirnya dia berhasil membuat terowongan dari kamarnya itu menembus ke dinding tebing sungai! Maka, pada suatu hari kaburlah isteri ini meninggalkan anaknya yang masih kecil. Teringat oleh cerita inilah maka bocah itu lalu berusaha mati-matian untuk membuka daun pintu kamar ibunya itu. Akhirnya, setelah tangan mereka terasa sakit semua, gembok itu dapat dipatah-kan. Cui Lan girang sekali, cepat dia mendorong pintu kamar itu dan gadis ini melangkah mundur dengan mata terbelalak karena terkejut melihat tiga orang laki-laki yang bertubuh tegap dan berpakaian kasar berdiri di belakang pintu kamar itu dengan mata terbelalak marah!
"Ayah....! Paman....!"
Bocah itu berseru dengan girang, akan tetapi begitu melihat wajah ayahnya yang beringas dan teringat bahwa dia telah melanggar pantangan ayahnya, dia menjadi ketakutan dan mundur-mundur berlindung di belakang Cui Lan! Ayah bocah itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka bengis sekali. Dia tidak memakai baju, hanya bercelana hitam dan dadanya penuh bulu, cambang bauknya membuat wajahnya makin serem kelihatannya. Tangan kirinya memegang sebatang kapak dan tangan kanannya memegang gendewa besar.
"Keparat, kau berani membuka pintu ini? Kubunuh kau.... dan dua orang asing ini yang berani lancang memasuki rumahku!"
Pemburu kasar itu mengangkat kapaknya tinggi-tinggi dan hendak mengejar anaknya. Dia bukan hanya marah kepada anaknya yang dianggapnya telah mendatangkan bencana, rumahnya dikepung pengawal dan dibakar, juga berani membuka pintu kamar yang dirahasiakan, akan tetapi kemarahannya meluap ketika dia melihat Cui Lan yang cantik. Semenjak isterinya minggat, setiap kali melihat perempuan cantik, hati pemburu ini seperti dibakar rasanya dan dia membenci setiap wanita cantik!
"Sabar dulu, Saudara!"
Cui Lan melindungi bocah itu dan menentang si pemburu dengan berani. Dia penasaran sekali. Masa ada ayah hendak membunuh anaknya hanya karena membuka pintu kamar itu saja? Kamar itu pun hanya kamar yang kosong!
"Anak ini tidak bersalah. Dia terpaksa membuka kamar untuk menyelamatkan kami. Kalau mau bunuh, bunuhlah aku, akan tetapi aku benar-benar menyesal mengapa aku datang ke sini seperti yang dipesankan oleh Siluman Kecil."
Mendengar ini, kapak di tangan pemburu itu terlepas ke atas lantai dan mukanya berubah pucat sekali, juga dua, orang paman bocah itu kelihatan terkejut dan cepat melangkah maju.
"Kau.... kau bilang.... Siluman Kecil....?"
Suara pemburu tinggi besar itu agak gemetar. Cui Lan merasa mendapat hati. Jelas bahwa disebutnya Siluman Kecil itu membuat tiga orang itu terkejut dan ketakutan.
"Benar!"
Katanya lantang.
"Dahulu Siluman Kecil pernah berpesan kepadaku bahwa jika aku berada dalam kesukaran, aku boleh minta bantuan para pemburu yang tinggal di rumah ini!"
"Ah, maaf.... maaf.... kami tidak tahu bahwa Siocia (Nona)...."
"Sudahlah, aku hampir tidak kuat bertahan!"
Cui Lan berkata dan cepat dia menggandeng tangan Pembesar Hok.
"Dan dia pun sudah tidak kuat! Tolonglah kami terhindar dari malapetaka ini."
"Mari....!"
Ayah bocah itu berkata dan cepat dia membuka sebuah tutup di lantai kamar kecil itu. Ternyata terdapat sebuah lubang seperti sumur, sebuah terowongan dan semua orang lalu memasuki terowongan ini. Tidak terlalu panjang terowongan ini dan kiranya inilah terowongan yang dahulu dibuat oleh ibu bocah itu. Tadi, ketika pulang dari berburu melihat rumah mereka dikurung para pengawal dan dibakar dari luar, mereka terkejut sekali. Mereka adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman, dan melihat bahwa pasukan itu adalah pasukan pengawal, mereka tidak berani sembrono.
Untuk menolong puteranya yang berada di dalam rumah, pemburu itu lalu mengajak dua orang adiknya untuk memasuki rumahnya melalui terowongan buatan isterinya dahulu itu dan demikianlah, ketika mereka tiba di dalam kamar, tepat sekali Cui Lan membuka daun pintu kamar yang berhasil mereka rusak gemboknya. Begitu melihat Cui Lan dan kakek itu, dan melihat anaknya merusak gembok daun pintu kamar itu, marahlah si pemburu dan nyaris dia membunuh mereka bertiga kalau saja Cui Lan tidak cepat menyebut nama Siluman Kecil! Kini mereka tiba di mulut terowongan di tebing sungai. Dengan bantuan mereka, Cui Lan dan Gubernur Hok dapat meloncat ke dalam air dan karena tempat itu tidak nampak dari atas tebing, maka para pengawal yang masih tertawa-tawa di luar rumah yang mereka bakar itu, mereka dengan mudahnya dapat menyelamatkan diri.
Dengan menggunakan sebuah perahu para pemburu, mereka menjauhi tempat itu dan setelah melakukan perjalanan setengah hari keluar dan masuk hutan, akhirnya mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat di mana terdapat sebuah pondok yang dibuat oleh tiga orang pemburu itu dan yang digunakan pada waktu mereka memburu binatang. Hampir patah-patah rasanya kaki Cui Lan dan Gubernur Hok ketika mereka akhirnya dapat melempar tubuh mereka ke atas lantai pondok yang ditilami daundaun kering itu. Gubernur Hok saking lelahnya sudah tidak dapat bertahan lagi, langsung dia tertidur pulas! Setelah membuat api unggun, memasak air dan nasi yang memang tersedia di situ, dibantu oleh bocah kecil, pemburu dan dua orang adiknya lalu duduk pula di atas lantai dan bertanyalah ayah bocah itu kepada Cui Lan.
"Kami tidak hendak mencampuri urusan Siocia dan Lopek ini, dan karena Siocia mengenal beliau, maka kami akan menolong sampai sekuat tenaga kami, kami ingin kalau Siocia tidak keberatan, kami ingin mengetahui mengapa Siocia dan Lopek ini dikejar-kejar para pengawal itu? Bukankah para pengawal itu adalah pengawal-pengawal dari gubernuran?"
Cui Lan adalah seorang gadis yang cerdik sekali. Dia bukan seorang pelayan biasa melainkan puteri seorang kepala kampung yang terpelajar juga. Oleh karena itu ditambah pula dengan wataknya yang memang halus dan pribadinya yang tinggi, dara ini dapat bersikap tenang dan cerdik menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga. Dia maklum bahwa mereka masih berada di wilayah Ho-nan, dan sungguhpun bagi dirinya sendiri tidak perlu dia menyembunyikan diri, namun tidak demikian halnya dengan Gubernur Ho-pei ini. Pembesar ini harus disembunyikan keadaan dirinya, maka dia sudah cepat mengarang cerita sambil menjawab pertanyaan itu.
"Benar seperti yang kalian duga. Mereka itu adalah pengawal-pengawal di istana gubernur. Dan aku bernama Phang Cui Lan, seorang pelayan di istana Gubernur Kui, melayani isteri beliau. Akan tetapi pada suatu hari, aku akan dikawinkan oleh gubernur dengan seorang pelayan beliau. Karena sejak kecil aku sudah ditunangkan, aku tidak mau, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dengan terus terang. Maka aku lalu minggat dengan bantuan Pamanku ini yang menjadi tukang kebun di sana."
Dia berhenti sebentar karena pada saat itu, Gubernur Hok agaknya telah sadar dan mendengarkan cerita itu.
"Kami berdua melarikan diri dan berhasil lolos dari kota, akan tetapi ketika tiba di dekat hutan tempat tinggal kalian itu, kami melihat para pengawal istana gubernuran mengejar kami. Maka kami lalu lari ke rumah kalian dan kebetulan sekali putera kalian berada di pintu dan membantu kami masuk. Selanjutnya, kalian ketahui."
Tiga orang itu mengangguk-angguk dan ayah dari bocah itu mengangkat muka, memandang kepada Cui Lan dengan kagum.
"Ahhh, sungguh hebat engkau, Nona. Engkau adalah seorang wanita yang setia kepada tunangan. Aku kagum dan aku merasa girang telah dapat menolongmu. Kemudian, mengenai perkenalanmu dengan beliau itu...., bolehkah kami mendengarnya?"
Cui Lan merasa ragu-ragu untuk menceritakan pengalamannya dengan Siluman Kecil, apalagi karena perasaan hatinya terhadap Siluman Kecil itu akan disimpannya sebagai rahasia hidupnya dan hanya satu kali dia menceritakan rahasia itu kepada Kian Lee! Kini, ditanya oleh tiga orang kasar ini, dia menjadi ragu-ragu, akan tetapi kecerdikannya menolongnya,
"Siluman Kecil.... pendekar itu pernah menolong kami ketika kami diganggu perampok...."
"Nona adalah seorang pelayan di gu-bernuran, bagaimana bisa diganggu perampok?"
Seorang di antara dua paman bocah itu terheran-heran. Kini Gubernur Hok yang telah sadar betul dan sejak tadi mendengarkan percakapan itu, bangkit duduk dan berkata,
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalian tidak tahu. Keponakanku ini baru saja menjadi pelayan di gubernuran, bahkan sejak peristiwa itulah dia menjadi pelayan. Adapun saya yang sudah lama menjadi tukang kebun di taman istana Kui-taijin, Gubernur Ho-nan."
Dia terbatuk-batuk lalu menghirup air teh yang dihidangkan oleh bocah itu, kemudian melanjutkan,
"Ketika itu saya mendengar bahwa Nyonya Gubernur membutuhkan seorang pelayan yang boleh dipercaya. Saya lalu menawarkan keponakan saya Cui Lan ini dan karena sudah lama saya bekerja di gubernuran, penawaran saya diterima dan saya lalu pergi ke dusun untuk menjemput keponakan saya ini. Nah, dalam perjalanan kami ke kota itulah kami dihadang segerombolan perampok dan kami tentu celaka kalau tidak ditolong oleh beliau."
Gubernur itu tentu saja tidak pernah tahu tentang "beliau"
Itu, akan tetapi dari percakapan tadi dia mengerti bahwa yang disebut oleh Cui Lian sebagai "Siluman Kecil"
Dan oleh tiga orang pemburu disebut sebagai "beliau"
Itu tentulah seorang pendekar atau seorang yang luar biasa yang pernah menolong Cui Lan dan yang amat ditakuti oleh tiga orang kasar itu.
"Demikianlah,"
Cui Lan menyambung hati-hati dan mengerling ke arah "pamannya"
Sambil tersenyum dengan penuh rasa syukur dan dibalas oleh gubernur yang kini selain menjadi tukang kebun juga menjadi paman itu,
"Dalam kesempatan itulah pendekar itu memperkenalkan namanya sebagai Siluman Kecil dan berpesan bahwa apabila aku tertimpa bahaya, aku boleh minta bantuan kalian yang disebutnya sebagai pemburu-pemburu gagah yang tinggal di pinggir hutan itu."
Tiga orang pemburu itu tersenyum girang dan bangga bukan main karena mereka disebut "pemburu gagah"
Oleh Siluman Kecil! Tentu saja sebutan itu adalah tambahan Cui Lan sendiri!
"Kami girang sekali telah dapat membantu Nona yang ternyata menjadi sahabat baik beliau,"
Kata si ayah bocah itu.
"Karena kami telah memperkenalkan diri, yaitu namaku Phang Cui Lan dan Pamanku ini...."
"Aku bernama Hok An, kakak dari Ibu Cui Lan,"
Sambung sang gubernur.
"Maka kami harap kalian suka menceritakan pula kepada kami siapakah kalian ini dan bagaimana pula kalian dapat berhubungan dengan beliau."
Kini Cui Lan juga menyebut beliau kepada Siluman Kecil, karena dia merasa ngeri juga menyaksikan sikap yang begitu takut kepada pendekar pencuri hatinya itu.
"Maaf, aku dan adikku ini tidak pandai bicara, hanya adikku paling kecil itu yang agak bisa bicara. Kun-te, kau berceritalah!"
Pemburu berewok itu menyuruh adiknya yang termuda, dan berceritalah laki-laki yang usianya kurang lebih dua puluh delapan tahun, berwajah cukup tampan dan bertubuh gagah itu sungguhpun tidak sebesar kakaknya yang tertua.
Mereka itu adalah kakak beradik. Yang tertua, yang berewok dan ayah dari bocah itu bernama Sim Hoat dan seperti telah diceritakan oleh puteranya yang bernama Sim Hong Bu tadi, isteri Sim Hoat yang tersiksa batinnya oleh suaminya yang pencemburu itu minggat dan meninggalkannya. Adapun orang ke dua itu adalah adiknya yang bernama Sim Tek. Kalau Sim Hoat berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, Sim Tek berusia tiga puluh tahun sedangkan adik terkecil yang tidak pendiam seperti dua orang kakaknya, yaitu yang bercerita itu adalah Sim Kun, berusia dua puluh delapan tahun. Semenjak kecil mereka itu telah menjadi pemburu-pemburu yang ulung karena mereka memang keturunan pemburu. Mereka mulai mengenal Siluman Kecil kira-kira dua tahun yang lalu.
"Memang munculnya nama beliau sekitar dua tahun yang lalu."
Sim Kun melanjutkan ceritanya.
"Tadinya tidak ada nama julukan itu di dunia kang-ouw. Pada waktu itu, terjadi pertikaian dan perebutan wilayah perburuan di antara para pemburu di sekitar perbatasan tiga Propinsi Ho-nan, Ho-pei, dan Shen-si. Ratusan orang pemburu terpecah menjadi tiga kelompok dan saling berebutan, sehingga sering kali terjadi pertumpahan darah untuk memperebutkan wilayah perburuan itu. Kemudian, pada suatu hari, muncullah beliau dan dengan kesaktian yang luar biasa beliau mengalahkan dan menundukkan semua untuk menghentikan permusuhan dan membagi-bagi wilayah perburuan secara adil menurut wilayah propinsi masing-masing. Semenjak saat itulah kami semua mentaati perintah itu karena setiap kali ada pelanggaran, si pelanggar tentu akan menerima hukuman hebat dari beliau dan sampai sekarang kami saling menghormati wilayah masing-masing dan dapat bekerja sama dengan baik. Itulah sebabnya, ketika mendengar bahwa Nona adalah sahabat beliau, kami sangat girang dan kami bersedia membela Nona sampai titik darah terakhir!"
Cui Lan merasa terharu bercampur kagum terhadap kehebatan pendekar yang dipujanya itu. Juga diam-diam Gubernur Ho-pei menyesalkan mengapa dia sebagai gubernur tidak tahu akan adanya hal itu, dan tidak mengenal pula pendekar yang demikian besar jasanya mendamaikan pertikaian antara para pemburu kasar itu.
"Pertolongan kalian bertiga cukup berharga bagi kami dan kami berdua menghaturkan terima kasih,"
Kata Cui Lan.
"Akan tetapi kalau kalian memang suka menolongku, aku minta dengan sangat sukalah kalian menyelidiki tentang seorang penolong kami pula yang dikeroyok di taman istana gubernuran."
"Tentu saja, kami siap melakukan segala permintaan Nona!"
Kata Sim Hoat karena dia dan adik-adiknya yakin bahwa kelak mereka tentu akan dipuji oleh Siluman Kecil atas pertolongan mereka terhadap noha cantik ini. Siapa tahu kalau-kalau nona cantik ini selain pernah ditolong, juga menjadi kekasih pendekar ajaib itu! Dan memang sudah sepatutnya karena nona ini cantik sekali!
"Begini, Sim-twako,"
Cui Lan yang pandai itu segera menyebut twako sehingga si pemburu yang kasar merasa makin girang dan akrab.
"Di taman gubernuran ada seorang pemuda yang terlibat dalam pertempuran. Ketika kami berdua melarikan diri memang sedang terjadi keributan dan hal itu menolong kami, akan tetapi ada seorang pemuda yang baik kepada kami, yang terlibat dalam pertempuran dan dikeroyok oleh para pengawal gubernuran. Harap Samwi (Kalian Bertiga) sudi membantuku menyelidiki bagaimana kabarnya dengan pemuda itu."
"Ah, mudah saja itu! Siapa namanya?"
Tanya Sim Hoat.
"Namanya Suma Kian Lee."
"Suma....?"
Tiga orang kasar itu saling pandang.
"Mengapa?"
Cui Lan bertanya heran.
"Tidak apa-apa, hanya pernah dahulu beliau bertanya kepada kami semua apakah kami bertemu atau mendengar adanya seorang she Suma. Ah, mungkin hanya kebetulan saja dan pertanyaan itu sudah hampir dua tahun. Baiklah, Nona Phang, kami akan segera menyelidikinya dan harap Nona dan Hok-lopek suka menanti saja di sini dan jangan pergi ke mana-mana. Daerah ini aman dan tidak mungkin para pengawal dapat mencari sampai ke sini. Hong Bu akan melayani semua keperluan kalian selama kami pergi."
Mereka bertiga segera pergi dengan cepat dan menjelang malam mereka telah kembali membawa berita yang membuat wajah Cui Lan menjadi pucat sekali dan juga Gubernur Hok yang mendengar dari Cui Lan betapa pemuda itu membantunya melawan para pengawal lihai dari Ho-nan merasa khawatir sekali. Berita itu adalah bahwa Suma Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda dari istana terjebak di dalam terowongan saluran air dan bahwa kini kedua mulut saluran air dari kolam di taman istana sampai ke jalan keluar itu telah ditutup dan di jaga oleh banyak pasukan pengawal.
"Padahal menurut pendengaran kami, di dalam terowongan itu terdapat banyak ular-ular beracun."
Sim Hoat melanjutkan ceritanya.
"Aihhhhh....!"
Cui Lan mendekap mukanya dengan kedua tangannya dan memejamkan mata, ditahannya tangisnya. Dia ngeri membayangkan betapa pemuda yang amat tampan, amat baik dan yang sikap dan gerak-geriknya mengingatkan dia akan pendekar yang dipujanya itu kini terbenam di air saluran dan dikeroyok ular-ular beracun!
"Apakah kalian tidak dapat menolongnya?"
Tiba-tiba Gubernur Hok berkata, suaranya lantang dan penuh semangat.
"Percayalah, kalau kalian dapat membantunya kelak aku akan memberi ganjaran yang amat besar kepada kalian!"
"Ganjaran? Lopek memberi ganjaran?"
Sim Hoat bertanya dan gubernur itu terkejut dan menyadari kesalahan bicaranya. Akan tetapi kembali Cui Lan yang cekatan dan cerdik itu sudah cepat menolongnya.
"Sim-twako, yang dimaksudkan oleh Pamanku adalah ganjaran dari beliau. Karena tentu kami kelak akan menceritakan kepada beliau betapa hebatnya kalian, betapa gagahnya kalian dan mati-matian telah membantu kami. Tentu beliau tidak akan melupakan jasa kalian dan akan memberi ganjaran...."
"Bagus! Kami tentu saja dapat membantunya kalau mengerahkan teman-teman kami!"
Sim Hoat sudah terlampau girang mendengar ucapan Cui Lan itu.
"Tek-te (Adik Tek) hayo cepat kau lepaskan tanda rahasia!"
Sim Tek mengangguk dan dengan gendewa di tangan dia lalu keluar dari dalam pondok, melepaskan anak panah berapi dan tak lama kemudian, berturut-turut dari empat penjuru nampak sinar-sinar kuning melayang di udara sebagai sambutan atas anak panah berapi kuning yang dilepaskan oleh Sim Tek tadi. Malam itu juga, datanglah dari empat penjuru orang-orang yang bersikap, kasar-kasar menakutkan, para pemburu yang sudah biasa hidup di hutan dan hidup dengan liar.
Sampai menjelang pagi, di tempat itu sudah berkumpul dua puluh orang yang terdiri dari macam-macam orang, akan tetapi yang rata-rata ber-perawakan tinggi besar, kuat dan kasar sehingga Cui Lan merasa ngeri juga. Akan tetapi, biarpun tadinya banyak di antara mereka yang meringis memperlihatkan gigi seperti seekor harimau ber-temu domba ketika melihat Cui Lan yang cantik, begitu mendengar dari tiga saudara Sim bahwa dara itu adalah sahabat "beliau", otomatis sikap mereka berubah menjadi lunak dan menghormat biarpun sikap hormat ini kasar pula! Maka berundinglah mereka dan Cui Lan juga menghadiri perundingan itu dengan hati tabah. Diam-diam Gubernur Hok makin kagum melihat sepak terjang Cui Lan. Gadis ini memang mempunyai sifat-sifat yang mengejutkan dan luar biasa.
Seorang pelayan saja kini ternyata dapat bersikap sedemikian hebat, bukan hanya suka menolong dia yang tidak dikenalnya sama sekali dengan taruhan nyawa, akan tetapi juga kini memperlihatkan kesetiaan yang luar biasa kepada seorang yang dianggapnya baik, yaitu kepada Suma Kian Lee. Mulai terbukalah mata pembesar ini betapa selama usianya yang enam puluh lima tahun ini, dia tadinya seperti orang buta saja yang memandang kepada orang-orang yang berkedudukan rendah seperti pelayan dan lain-lain, yang dianggapnya adalah manusia-manusia yang berderajat rendah, berpengetahuan dangkal, berpribudi tipis dan lebih mendekati binatang daripada seorang manusia yang luhur dan mengenal apa artinya hidup dan apa artinya perikemanu-siaan dan sebagainya!
Sekarang, terbukalah matanya bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang tadinya dikira rendah, hina dan bodoh, yang ternyata bahkan lebih manusiawi daripada orang-orang besar, lebih memiliki kejujuran, kesetiaan, kewajaran daripada orang-orang besar yang merasa dirinya penuh pengetahuan dan kepandaian! Bahkan di dalam diri orang-orang kasar seperti para pemburu itu dia menemukan sifat-sifat yang jauh lebih agung daripada sifat para pembesar, bangsawan, cendekiawan yang biasanya menjilat ke atas dan menginjak atau merendahkan ke bawah! Orang-orang kasar dan liar itu bukan seluruhnya pemburu, bahkan ada yang tadinya menjadi kepala perampok, bajak sungai dan lain-lain.
Akan tetapi mereka semua adalah kepala-kepala dan pemimpin-pemimpin rombongan mereka, dan mereka semua telah tunduk kepada Siluman Kecil, maka begitu melihat tanda anak panah berapi kuning sebagai tanda bahwa seorang "sahabat"
Siluman Kecil minta bantuan, mereka cepat datang! Di antara mereka, banyak yang belum pernah berjumpa dan belum kenal, akan tetapi mereka kelihatan rukun karena semua merasa berada di bawah pengaruh Siluman Kecil yang mereka anggap sebagai manusia dewa itu! Cui Lan tentu saja serem melihat muka-muka liar dan kasar itu mengelilinginya. Di antara mereka itu, dua orang adik Sim Hoat kelihatan tampan dan ganteng, setidaknya bersih dan umum! Kini dara itu yang diperkenalkan oleh Sim Hoat sebagai sahabat Siluman Kecil yang mohon bantuan mereka,
Segera menceritakan niatnya untuk menyelamatkan Suma Kian Lee yang terjebak ke dalam terowongan saluran air dan terancam nyawanya itu. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang menanyakan siapa adanya Suma Kian Lee itu, sungguhpun mereka juga tercengang karena teringat bahwa dulu Siluman Kecil pernah menanyakan she Suma, seperti juga yang dialami oleh ketiga orang saudara Sim. Mereka datang untuk membantu nona yang menjadi sahabat Siluman Kecil dan mereka tidak perlu tahu urusan apa itu. Demikianlah kesetiaan mereka terhadap sahabat-sahabat Siluman Kecil, dan andaikata seorang di antara mereka juga mengalami malapetaka, tentu teman-teman ini semua juga akan membelanya mati-matian seperti kalau mereka akan membela Siluman Kecil. Demikian dalam Siluman Kecil menanam rasa setia kawan kepada orang-orang kasar ini.
"Tidak mungkin kita akan menang melawan pasukan-pasukan pengawal Gubernur Ho-nan,"
Sim Hoat menyatakan pendapatnya.
"Menang kalah sih bukan soal dan kami pun bukannya takut, hanya amat tidak baik kalau golongan kami nanti dicap sebagai pemberontak-pemberontak!"
Kata seorang yang matanya lebar sekali.
"Beliau tentu akan marah kepada kami kalau kami memberontak terhadap kerajaan, memberontak terhadap Gubernur Ho-nan tiada bedanya dengan memberontak terhadap pemerintah!"
Sambung seorang yang mukanya seperti monyet besar dan berbulu! Cui Lan mengangkat tangannya dan mereka semua terdiam! Gubernur Hok makin kagum, kagum kepada pendekar yang berjuluk Siluman Kecil yang ternyata memiliki pengaruh hebat itu, dan juga kagum terhadap Cui Lan yang tadinya hanya seorang pelayan akan tetapi kini memiliki sifat seperti seorang pemimpin!
"Saya tidak mengharapkan saudara-saudara untuk membunuh diri, apalagi untuk memberontak. Saya hanya minta bantuan saudara sekalian untuk menyelamatkan pemuda itu yang terjebak di dalam terowongan yang kedua pintunya telah ditutup itu. Dengan membobol terowongan, kalau dia masih hidup tentu dia akan dapat keluar dari situ."
"Bagus! Nona cerdik bukan main!"
"Akal yang baik sekali!"
"Aku setuju!"
Mereka bicara lagi tidak karuan seperti sekawan burung tidur dikejutkan sesuatu.
"Akan tetapi mana mungkin membobol terowongan tanpa diketahui oleh para pasukan pengawas."
Pertanyaan dari seorang diantara mereka ini membungkam mulut mereka semua dan dua puluh pasang mata yang menyeramkan itu semua ditujukan kepada Cui Lan. Bahkan Gubernur Hok sendiri pun menujukan pandang matanya kepada dara itu karena terus terang saja, biarpun dia seorang gubernur, jadi seorang besar yang memiliki kepandaian dan kecerdikan tentunya, kini sama sekali merasa tidak berdaya!
"Saya sudah mengenal jalan terowongan itu. Tempat yang terbaik untuk digali adalah di kebun belakang sebuah kuil.Tempat itu tertutup dan mana ada pengawal akan memeriksa sebuah kuil? Hanya saya khawatir kalau-kalau penjaga kuil tidak setuju!"
"Kita paksa kepala gundul itu!"
"Kita serbu saja kuil ltu!"
Kembali Cui Lan mengangkat tangannya.
"Saya harap saudara sekalian tidak berbuat ceroboh. Melakukan perbuatan menolong ini di dalam ibu kota amatlah berbahaya dan harus menggunakan kecerdikan. Tidak boleh bertindak sendiri-sendiri dan saya mengangkat Saudara Sim Kun untuk memimpin kalian. Kalian, biarpun lebih pandai daripada Saudara Sim Kun, harus menurut perintah dan petunjuknya."
Tentu saja Sim Kun girang bukan main dan memang tepatlah pilihan Cui Lan. Dara ini melihat bahwa di antara mereka, hanya Sim Kun yang tidak begitu liar dan memiliki kecerdikan, maka dia memilih pemuda ini.
"Sekarang kita rundingkan bagaimana kita akan dapat menguasai kuil itu untuk sehari saja,"
Kata pula Cui Lan.
"Kita serbu!"
"Kita bunuh hwesio-hwesionya!"
Sim Kun mengangkat tangan ke atas dan mereka semua membungkam. Jelas bahwa mereka telah mentaati perintah Cui Lan tadi dan telah menganggap Sim Kun sebagai pemimpin mereka, yaitu dalam urusan menolong pemuda dalam terowongan itu saja tentunya, bukan pemimpin seterusnya!
"Harap kalian jangan mempunyai pendapat sendiri-sendiri dan dengarlah siasat kita bersama yang baik dan tidak ngawur,"
Kata Sim Kun.
"Tentu Kun-twako sudah mempunyai akal, bukan?"
Cui Lan bertanya dengan cerdik melihat sikap pemuda itu yang dia sebut "twako"
Pula sehingga wajah pemuda itu berseri gembira.
"Begini,"
Katanya.
"Kita harus menyelundup ke dalam ibu kota dan kita menyamar sebagai orang-orang dusun yang hendak bersembahyang di kuil itu. Kemudian, dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kita tangkap semua hwesio dan membuat mereka tidak berdaya, lalu...."
Dengan suara bisik-bisik Sim Kun melanjutkan penuturannya tentang rencana siasatnya. Sampai lama semua orang mendengarkan dengan serius, kemudian meledaklah suara ketawa mereka. Gubernur Hok diam-diam menarik napas. Siasat mereka ini tidak kalah oleh siasat kelompok perwira-perwira perang yang mengatur siasat!
"Aku percaya kalian tidak akan gagal, hanya pintaku agar kalian tidak sampai melakukan pembunuhan, apalagi terhadap hwesio-hwesio itu. Saya dan Paman Hok akan menanti di sini bersama Hong Bu,"
Kata Cui Lan akhirnya. Siang hari itu juga, berangkatlah serombongan petani dengan berpencar ke kota dan memasuki ibu kota tanpa dicurigai karena mereka itu adalah petani-petani biasa.
Seperti yang telah direncanakan, petani-petani yang masuknya berpencar secara berpencar pula memasuki sebuah kuil di pinggir kota, sebuah kuil besar dan karena biasanya orang pergi ke kuil di waktu pagi dan malam, maka siang hari itu agak sunyi. Orang-orang kota yang datang bersembahyang hanya beberapa orang. Mereka ini pun segera pergi meninggalkan kuil, enggan berdesakan dengan orang-orang dusun kasar dan berbau apek yang baru saja memasuki kuil untuk bersembahyang. Di antara dua puluh orang dusun yang memasuki kuil itu, ada sepuluh orang yang kepalanya tertutup ikat kepala sehingga tidak nampak rambutnya sama sekali. Para hwesio pengurus kuil yang jumlahnya dua belas orang itu sibuk melayani orang-orang dusun ini yang bertanya ini itu dan minta ini itu sehingga mereka sibuk melayani dengan pisah-pisah.
Tidak ada suara terdengar ketika hwesio-hwesio itu dirobohkan dengan totokan-totokan, diikat dan sepuluh orang yang kepalanya ditutupi tadi kini menanggalkan ikat kepala dan ternyata bahwa kepala mereka sudah digunduli licin seperti kepala para hwesio! Cepat mereka lalu menanggalkan jubah hwesio-hwesio itu dan muncullah kini sepuluh orang hwesio baru menjaga dan melayani kuil, sedangkan dua belas orang hwesio itu setelah diikat kaki tangannya dan disumpel mulutnya lalu dilempar ke dalam gudang di belakang dan dikunci dari luar! Hwesio-hwesio baru itu tentu saja canggung dan kaku ketika ada tamu datang bersembah-yang, akan tetapi dengan cerdiknya mereka itu menceritakan bahwa mereka memang hwesio-hwesio baru yang dilatih melayani tamu dan kalau ada pelayanan yang kurang memuaskan mereka mohon maaf!
Selagi mereka ini sibuk melayani tamu-tamu yang mulai berdatangan karena hari mulai senja, yang lain-lain sibuk menggali lubang di kebun belakang kuil dipimpin oleh Sim Hoat, karena Sim Kun yang cerdik itu pun termasuk seorang di antara "hwesio--hwesio"
Baru itu! Sementara itu, keadaan Suma Kian Lee dan komandan Pasukan Kuku Garuda itu benar-benar amat sengsara. Karena di dekat pintu air dekat sungai itu jalan keluarnya telah ditutup dan air makin lama makin naik tinggi, terpaksa Kian Lee lalu kembali ke hilir sambil meraba-raba karena keadaannya sangat gelap. Berbeda dengan tadi ketika berjalan mengikuti aliran air, kini perjalanan kembali amatlah sukarnya. Selain air naik makin tinggi, juga Kian Lee harus memapah komandan yang lumpuh separuh badan-nya itu. Akhirnya sampai juga dia di pintu air yang dihancurkan oleh senjata peledak tadi, di taman istana gubernuran.
Akan tetapi betapa kaget hatinya melihat bahwa lubang di tempat ini pun telah ditutup! Dia dan komandan itu sekarang benar-benar seperti tikus terjebak, tidak bisa keluar lagi dan air di saluran dalam terowongan itu makin lama makin tinggi! Biarpun air dari kolam sudah habis, namun karena saluran itu menampung air pembuangan dari semua bagian istana, tentu saja makin lama makin bertambah, dan yang bertambah jauh lebih banyak daripada yang dapat mengalir keluar melalui celah-celah batu yang menutup mulut terowongan. Maka dengan sendirinya air naik makin tinggi! Tadi ketika air masih setinggi lutut, bahkan ketika mencapai pinggang, Kian Lee masih dapat ke sana-sini untuk mencari-cari, kalau-kalau terdapat jalan keluar lain di samping dua mulut terowongan depan dan belakang yang sudah ditutup itu.
Akan tetapi, yang ada hanya lubang-lubang kecil yang merupakan cabang terowongan dari mana mengalir air dari segala jurusan. Akan tetapi sekarang air sudah sampai di bawah leher! Sukar sekali untuk maju dan dengan setengah berenang, sambil menggandeng tangan komandan itu, Kian Lee tidak mau menyerah begitu saja dan selalu mencari bagian yang dangkal. Dia maklum bahwa kalau air sudah memenuhi saluran itu mereka berdua akan tewas, akan tetapi sebelum mereka mati dia harus berdaya dan mencari jalan keluar. Mereka tidak mengenal waktu karena di dalam terowongan itu cuaca selalu gelap. Dan melihat betapa pemuda itu tiada hentinya hilir-mudik sambil menggandeng lengannya dengan susah payah, komandan pasukan Kuku Garuda itu berkata lemah,
"Taihiap.... tidak ada gunanya lagi.... daripada menghabiskan tenagamu yang tinggal sedikit itu.... lebih baik.... mari kita hadapi maut dengan, tenang...."
"Aku tidak takut mati, Ciangkun. Akan tetapi sebelum hayat meninggalkan badan kita pantang menyerah begitu saja!"
Komandan itu menarik napas panjang, kagum akan semangat pemuda ini yang tak kunjung pandam.
"Akan tetapi mati hidup di tangan Tuhan, Taihiap."
"Mungkin engkau benar, Ciangkun, akan tetapi kita pun diberi perlengkapan untuk berusaha sekuat tenaga mempertahankan hidup dan itu harus kita pergunakan, apalagi menghadapi ancaman maut seperti sekarang ini."
Terpaksa komandan itu tidak mampu membantah dan dia pun memaksa tubuhnya yang hampir tidak kuat lagi mengikuti kemana pun pemuda itu bergerak. Mereka tidak menyangka sama sekali bahwa sudah dua hari mereka berada di dalam terowongan itu bergulat dengan maut! Tidak tahu bahwa saat itu sudah menjelang malam yang ke tiga!
"Taihiap.... sebelum kita mati.... aku ingin mati sebagai seorang sahabatmu. Perkenalkanlah, saya bernama Souw Kee An.... dan siapakah nama Taihiap?"
Panglima Pasukan Kuku Garuda yang sudah bertahun-tahun menjadi komandan pasukan pengawal di istana itu, bahkan dia adalah adik dari pengawal kaisar yang bernama Souw Kee It yang muncul dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali. Tentu saja Suma Kian Lee tidak merasa keberatan, maka dengan sejujurnya dia menjawab,
"Namaku adalah Suma Kian Lee, Ciangkun."
Panglima itu terkejut dan memandang ke arah Suma Kian Lee sungguhpun dia tidak melihat apa-apa kecuali kehitaman yang padat.
"Suma....? Suma Kian Lee....? Ahhh.... Keluarga Suma dari Pulau Es ?"
Kian Lee menghela napas. Tidak perlu menyembunyikan diri lagi, apalagi terhadap seorang panglima pengawal istana. Pula, apa sih bedanya keluarga Pulau Es dengan orang biasa dalam menghadapi kematian secara tidak berdaya itu?
"Kau benar, Ciangkun."
"Ahhh....! Mataku seperti buta tidak mengenal orang pandai! Ah, Suma-taihiap, kau maafkan saya...."
"Sudahlah, Ciangkun. Dengar.... aku seperti mendengar sesuatu....!"
Tiba-tiba Kian Lee tidak bergerak dan mengerahkan tenaga pendengarannya untuk menangkap suara itu. Komandan Souw Kee An juga tidak bergerak dan memasang telinga mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Dukkk! Dukkk! Dukkk!"
Suara ini terus-menerus terdengar, makin lama makin keras seolah-olah ada sesuatu yang memukul-mukul di atas mereka. Kian Lee belum dapat menduga suara apa yang terdengar itu, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, apa pun menarik perhatian dan lalu bergerak mencari-cari sambil memapah Souw-ciangkun, menuju ke arah suara sampai dia tiba tepat di bawah suara itu. Suara itu makin terdengar keras dan karena bergema di seluruh terowongan maka terdengar menyeramkan sekali. Tiba-tiba tangan Panglima Souw mencengkeram lengan Kian Lee di dalam air yang sudah mencapai leher mereka itu.
"Suara orang menggali di atas kita!"
Teriaknya dengan suara serak dan tergetar penuh harapan.
"Kita lihat saja apa yang akan terjadi, Ciangkun. Tidak perlu terlalu mengharap karena yang mengha-rapkan mungkin akan kecewa. Kita tidak tahu siapa yang menggali itu, kawan ataukah lawan. Oleh karena itu kita bersiap-siap saja dan kalau nanti sudah terbuka lubang dan ternyata mereka adalah lawan, kuharap Ciangkun suka bersembunyi di sini saja dulu, dan biarkan aku yang meloncat keluar menghadapi mereka."
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, Suma-taihiap."
Suara itu makin keras saja dan akhirnya nampaklah sebuah lubang!
Dan terdengarlah suara orang-orang di atas, lalu lubang itu makin lebar. Hawa segar memasuki terowongan itu dan dua orang itu menarik napas dalam-dalam. Di atas lubang itu pun hitam, akan tetapi tidak segelap di bawah, dan setelah lubang itu cukup besar, mulailah nampak bayang-bayang muka orang di atas lubang dan jauh tinggi sekali nampak berkelap-kelipnya bintang-bintang! Pemandangan ini sungguh amat menyedapkan mata kedua orang itu. Akan tetapi mereka tetap tidak bergerak, sungguhpun seluruh urat syaraf mereka menegang. Setiap ada kesempatan harus dia pergunakan sebaiknya, pikir Suma Kian Lee. Kalau yang di atas itu fihak musuh, dia harus menyergap dan menyerbu keluar dan sekarang dia akan melawan mati-matian! Sebuah kepala nampak di lubang yang besar itu, lalu terdengar suara parau kasar,
"Apakah ada yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana?"
Suara ini bergema dengan aneh, seperti suara iblis dari neraka saja layaknya. Kian Lee tidak menjawab, menanti perkembangan selanjutnya karena dia tidak tahu siapakah mereka itu dan mendengar suaranya, di atas itu terdapat banyak sekali orang! Pertanyaan itu diulang lagi, dengan suara yang lebih keras dan ada lanjutanya,
"Apakah ada yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana? Kami diutus oleh Nona Phang Cui Lan, sahabat Siluman Kecil, untuk menolongmu!"
"Suma Kian Lee berada di sini!"
Kian Lee menjawab, suaranya nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di atas. Mereka itu kelihatan girang karena ada suara-suara tertawa lega.
"Kalau begitu naiklah melalui tali ini!"
Terdengar suara yang kasar parau itu lagi, kemudian nampak sehelai tali besar diturunkan dari lubang, seperti seekor ular.
"Taihiap, biarkan saya naik dulu. Kalau ini merupakan jebakan, biarlah saya dulu...."
"Tidak, aku akan naik dulu, Ciangkun."
"Taihiap, kalau ini jebakan dan kau naik dulu kemudian kau terjebak, berarti kita berdua akan mati. Sebaliknya, kalau aku yang naik dulu dan terjebak, hanya aku yang akan mati karena Taihiap dapat mengetahui dan menghindarkan jebakan itu. Biarkan aku naik dulu!"
"Engkau gagah sekali, Ciangkun. Akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mudah mereka celakakan di atas sana. Pula, aku yakin mereka itu tentu orang-orang yang hendak menolong, apalagi tadi menyebut nama Phang Cui Lan, dan andaikata mereka itu musuh, perlu apa susah-susah menolong kita? Mereka tentu tahu bahwa membiarkan kita begini saja, kita akan mati sendiri."
Panglima itu tidak membantah lagi dan Kian Lee lalu menyambar tali dan merayap naik, tentu saja dia sudah siap dengan sinkang melindungi tubuh dan satu di antara kedua tangannya bebas dan siap untuk menghadapi serangan. Tali itu ditarik dari atas dan ketika Kian Lee meloncat ke luar, dia melihat belasan orang laki-laki yang berpakaian seperti petani dan ternyata mereka itu benar-benar hendak menolong karena tidak ada seorang pun yang kelihatan hendak menyerangnya. Kian Lee lalu menurunkan lagi tali itu ke dalam lubang sambil berseru ke bawah.
"Souw-ciangkun, sekarang naiklah!"
Dengan satu tangannya, panglima itu bergantung kepada tali dan ditarik ke atas oleh Suma Kian Lee. Setelah keduanya berada di atas, Kian Lee dan Souwciangkun menjura kepada belasan orang itu dan Kian Lee berkata,
"Banyak terima kasih atas pertolongan Cu-wi sekalian. Sekarang, di manakah adanya Nona Phang Cui Lan?"
Tanpa banyak cakap Sim Hoat dan teman-temannya lalu berkata,
"Mari kita pergi!"
Dan Kian Lee berdua panglima itu terheran-heran melihat hwesio-hwesio ikut pula bersama rombongan mereka dan jumlah mereka yang menolong itu ada dua puluh orang! Kiranya hwesio-hwesio yang jumlahnya sepuluh orang itu hanya hwesio-hwesio palsu karena di tengah jalan mereka meninggalkan pakaian hwesio dan di bawah jubah ini ternyata me-reka berpakaian seperti petani pula. Kian Lee dan Panglima Souw juga diberi pakaian petani itu, dengan menggotong Souw-ciangkun yang tidak dapat berjalan, berangkat meninggalkan kota. Dengan cepat mereka menuju ke hutan di mana Cui Lan dan Gubernur Hok menanti. Air mata bercucuran dari sepasang mata Cui Lan yang bening ketika dia melihat orang-orang kasar itu berhasil menyelamatkan Kian Lee, dan pemuda ini pun dengan hati terharu memegang tangan dara itu.
"Terima kasih.... terima kasih.... Cui Lan,"
Katanya berulang-ulang.
"Jangan kepada saya, Kongcu, melainkan kepada dia...."
"Siluman Kecil?"
Cui Lan mengangguk dan kedua pipinya merah.
"Sekali waktu aku pasti akan bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasihku."
Souw-ciangkun ketika bertemu dengan Gubernur Ho-pei, yang tidak dikenal oleh Kian Lee, segera menjura dengan penuh hormat sambil berkata,
Kisah Sepasang Rajawali Eps 51 Kisah Sepasang Rajawali Eps 1 Kisah Sepasang Rajawali Eps 11