Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 51


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 51



Seorang di antara mereka yang mempunyai banyak akal mencari cara-cara penyiksaan yang paling sadis, segera mengusulkan untuk mencari batu besar dan menindihkan batu itu di atas punggung Topeng Setan agar orang ini remuk punggungnya kalau tidak cepat-cepat minta ampun. Semua orang setuju dan enam orang di antara mereka lalu keluar dan menggotong sebongkah batu besar yang beratnya tentu lebih dari tiga ratus kati. Batu besar itu mereka pergunakan untuk menindih punggung Topeng Setan sampai melengkung ke bawah ketika punggungnya ditindih batu seberat itu, akan tetapi dia mengerahkan tenaganya, pinggulnya digerakkan secara tiba-tiba dan batu besar itu terlempar mencelat dari atas punggungnya, hampir menimpa seorang di antara mereka yang cepat meloncat ke samping sehingga hanya sebuah bangku kayu saja yang hancur berkeping-keping tertimpa batu itu.

   "Ambil yang lebih berat lagi!"

   Teriak seorang di antara mereka. Kini enam orang itu menggotong sebongkah batu yang lebih besar. Mereka berenam adalah anggauta-anggauta Pulau Neraka yang lihai dan bertenaga besar dan batu yang mereka gotong itu tentu lebih dari lima ratus kati beratnya. Dengan beramai-ramai mereka kini mengangkat batu besar itu dan menindihkannya ke atas punggung Topeng Setan. Wajah belasan orang yang sudah biasa dengan segala macam kekejaman itu kelihatan puas ketika melihat betapa perut Topeng Setan hampir menyentuh lantai dan terdengar keluhan dari mulut di balik topeng itu ketika batu besar menghimpitnya dari atas.

   Tangan yang tinggal sebelah itu menegang tertahan belenggunya, demikian pula kedua kakinya. Akan tetapi sedikit pun tidak ada kata-kata rintihan atau permintaan ampun dari mulut Topeng Setan. Dia kembali mengerahkan tenaga dari pusarnya. Memang tidak mudah karena selain dia masih menderita karena luka di pundaknya yang buntung, juga dalam keadaan tergantung menelungkup itu, dia harus pula menggunakan tenaganya untuk menahan agar kaki tangannya tidak terluka atau patah tulangnya. Dan dia sudah tergantung seperti itu selama satu malam suntuk! "Haiiittt!"

   Setelah beberapa kali mencoba tanpa hasil dan ditertawakan oleh para penjaga, tiba-tiba Topeng Setan mengeluarkan seruan ini dan kembali pinggulnya bergerak mengerahkan tenaga dan.... batu sebesar kerbau yang amat berat itu terlempar dari punggungnya.

   "Awas.... minggir....!"

   Mereka berteriak akan tetapi tetap saja seorang di antara mereka kena tertimpa sehingga terlempar dan terguling-guling dan mengalami luka-luka parah. Hal ini tentu saja membuat para penjaga itu menjadi makin marah dan penasaran saja. Kalau tidak ada larangan dari kepala mereka, tentu mereka sudah menghujankan senjata untuk membunuh orang yang keras hati dan keras kepala ini. Kembali mereka menghujankan cambuknya dan gebukan sampai tangan mereka sendiri lecet-lecet. Namun Topeng Setan yang juga mengalami rasa puas sudah dapat membikin marah Hek-tiauw Lo-mo dan kaki tangannya, makin mengejek dan menantang-nantang.

   Karena dalam keadaan tidak berdaya dan tidak tahu apa yang terjadi dengan Ceng Ceng, maka sedikitnya dia sudah merasa puas dengan dapat membikin hati mereka tidak senang, dan tadi melihat kekeruhan wajah Hek-tiauw Lo-mo, timbul harapan di dalam hatinya. Kalau wajah Ketua Pulau Neraka itu keruh, berarti telah terjadi hal yang tidak menyenangkan hatinya dan hal ini tentu ada hubungannya dengan Ceng Ceng! Apakah gadis itu dapat menyelamatkan dirinya? Atau setidaknya dapat mengakali Hek-tiauw Lo-mo sehingga untuk sementara dapat terbebas dari ancaman maut? Dan dia melihat adanya Suma Kian Bu di tempat ini. Akan janggal dan tidak masuk akallah kalau putera Pendekar Super Sakti itu membiarkan saja Ceng Ceng dibunuh! Ah, dia masih dapat mengharapkan pemuda tampan itu! Harapan-harapan ini membuat hatinya menjadi besar dan dia menantang-nantang lebih berani lagi.

   "He, Hek-tiauw Lo-mo, jangan lari kau! Hayo kau keroyoklah aku dengan semua anak buahmu! Aku akan mematahkan batang leher kalian satu demi satu!"

   Kini para penjaga sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.

   Tidak peduli apakah akibatnya tawanan ini akan mampus, mereka segera mendorong sebongkah batu penggilingan tahu yang besar sekali, batu penggilingan tahu ini beratnya ada seribu kati! Saking beratnya, mereka tidak mampu menggotongnya dan hanya dapat mendorong batu yang bentuknya bundar itu, kemudian dengan pengerahan tenaga belasan orang, mereka dapat mengangkat gilingan tahu itu dan menindihkannya ke atas panggung Topeng Setan! Sekali ini Topeng Setan tak mampu berkutik lagi. Kedua kakinya tergantung, demikian tangan kanannya, badannya terayun dan ditindih batu sebesar dan seberat itu. Dia merasa seolah-olah kedua kaki dan sebelah tangannya akan copot pergelangannya. Napasnya sesak dan keringatnya bertetesan satu-satu dan besar-besar. Semua orang bersorak dan tertawa-tawa, ada yang menjambak rambutnya dan berkata,

   "Hayo kau gebrakkan lagi pantatmu yang lihai itu agar batu ini terlempar!"

   "Lihat, dia sudah empas-empis mau mampus!" "Hati-hati, kawan, jangan sampai dia benar-benar mampus!"

   "Tidak, kalau dia sudah sekarat mau mampus kita gulingkan batu ini dari punggungnya. Paling-paling tulang punggungnya remuk, ha-ha-ha!"

   Dapat dibayangkan betapa hebat siksaan ini terasa oleh Topeng Setan. Menahan agar tulang-tulang kaki dan tangannya tidak copot saja sudah amat sukarnya, apalagi melemparkan batu seberat itu dari punggung dengan hanya tenaga gerakan pinggul. Peluh mengucur keluar dengan derasnya dan dia hampir putus asa. Punggungnya terasa seperti akan patah. Sendi-sendi tulangnya seperti mau copot semua. Terutama sekali sendi pergelangan kedua kaki dan tangan kanannya, tak mungkin dapat bertahan lama. Akan tetapi, dia tidak boleh putus asa. Dia harus tetap hidup untuk dapat menyelamatkan dan melindungi Ceng Ceng! Otot-otot di tubuhnya mengeras, dia ingin bertahan dengan tenaga dalamnya.

   Dia harus membuat tubuhnya menegang dengan pengerahan sin-kang, menegang kaku seperti batu. Karena kalau sedikit saja mengendur, tentu tulang kaki, tangan atau punggungnya akan patah. Mengeluh dan minta ampun? Pantangan besar bagi seorang gagah! Lebih baik mati dengan tubuh gepeng dan tulang remuk daripada harus minta ampun! Dia maklum bahwa nyawanya tergantung kepada selembar rambut. Sedang nyawanya sendiri terancam, mana bisa menolong Ceng Ceng. Kiranya tidak ada orang di dunia ini yang akan mau dan yang dapat menolongnya dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi ada! Yaitu gurunya! Akan tetapi gurunya itu tidak pernah mencampuri urusan dunia! Dalam keadaan menghadapi maut itu, Topeng Setan teringat akan gurunya, manusia yang memiliki kepandaian tidak lumrah manusia itu.

   Kalau saja dia sepandai gurunya, dalam keadaan seperti ini pun tentu akan dapat membebaskan diri, akan dengan mudah melemparkan batu seberat ini. Mengapa dia tidak bisa sehebat gurunya? Padahal gurunya itu pun hanya seorang manusia yang buntung sebelah lengannya! Tiba-tiba Topeng Setan teringat akan sesuatu, teringat akan pesan gurunya dahulu. Pelajaran yang diberikan kepadanya di waktu itu, pesan gurunya di waktu itu, sebelum ini memang tak pernah diperhatikannya. Akan tetapi setelah sebelah lengannya buntung, setelah dia terhimpit dan terancam maut, tiba-tiba dia teringat akan semua itu. Gurunya pernah berkata kepadanya bahwa kini gurunya menemukan seorang ahli waris yang tepat dan cocok sekali, yaitu dirinya sendiri, sehingga ilmu rahasia perguruan yang dirahasiakan itu tidak akan musnah.

   "Ilmu rahasia ini tidak dikenal oleh seluruh tokoh persilatan di dunia, muridku,"

   Demikian kata gurunya.

   "Akan tetapi kiranya jarang ada ilmu silat dan ilmu menghimpun tenaga sin-kang yang akan mampu menandingi ilmu rahasia kita ini. Ilmu ini telah ribuan tahun terpendam dan baru setelah tiba di tanganku, kupelajari dan kusempurnakan. Bahkan aku belum pernah mempergunakan ilmu ini saking hebatnya, dan karena aku memang tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun. Ilmu ini kunamakan Ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Atas Tanah). Engkaulah yang menjadi ahli waris ilmu rahasia ini, muridku."

   Setelah berkata demikian, gurunya mengajarkan teori ilmu yang sakti itu.

   Dahulu, dia merasa heran dan tidak mengerti, biarpun dia tidak berani membantah gurunya, mengapa gurunya mengajarkan ilmu itu kepadanya. Ilmu Sin-liong-hok-te itu adalah ilmu mujijat yang hanya tepat dipelajari oleh orang yang lengannya buntung sebelah, itu pun harus lengan kanan yang masih tinggal, seperti keadaan gurunya yang lengannya hanya sebelah kanan itu. Akan tetapi gurunya tetap saja mengajarkannya kepadanya. Hal ini sekarang membuat dia makin tunduk dan kagum kepada suhunya yang ternyata selain memiliki kesaktian hebat, juga agaknya telah dapat mengetahui bahwa dia akhirnya pun akan menjadi buntung lengan kirinya, seperti gurunya! Dahulu, biarpun dia sudah hafal akan teorinya, dia mengalami kesukaran hebat ketika melatihnya.

   Ilmu Sin-liong-hok-te itu, sesuai dengan namanya, harus dilatih dengan tubuh menelungkup di atas tanah, seperti naga mendekam. Dan ketika berlatih, tubuh harus kejang dan kaku dari awal sampai akhirnya. Latihan yang amat hebat, karena membuat tubuh seluruhnya kejang kaku itu bukan dalam waktu pendek, karena latihan itu memakan waktu sampai setengah hari! Berbahayanya, ketika sedang melatih sin-kang berdasarkan ilmu itu, tubuh sedikit pun tidak boleh mengendur, karena selagi mengerahkan sin-kang seperti yang diajarkan dalam ilmu tadi, sedikit saja tubuh mengendur, orang yang melatihnya akan dapat menjadi lumpuh kaki tangannya untuk selama hidupnya! Inilah yang amat sukar sehingga sampai dia meninggalkan gurunya, dia belum juga dapat menguasai ilmu itu.

   Selalu yang menjadi penghalang dahulu adalah adanya lengan kirinya. Gurunya sudah berkali-kali menganjurkan agar dalam latihan ilmu itu, dia "melupakan"

   Lengan kirinya. Akan tetapi mana mungkin? Karena itu dia belum juga berhasil. Topeng Setan melamun mengenangkan masa lalu itu sambil terus menegangkan tubuhnya untuk menahan gilingan tahu yang amat berat dan menindih tubuhnya itu. Dan pada saat itu dia sadar! Bukankah keadaannya pada saat itu sangat cocok untuk melatih dan menyempurnakan Ilmu Sin-liong-hok-te yang sampai saat ini belum dikuasai itu? Kini tubuhnya juga menelungkup dalam keadaan kaku mengang seluruhnya, biarpun tidak menelungkup di atas lantai. Yang penting, dia pun dalam keadaan tegang terus tubuhnya, karena kalau tidak, mengendur sedikit saja, tulang punggungnya bisa patah!

   Bagus sekali, semua persyaratan terpenting dari cara melatih ilmu ini telah terpenuhi. Lengannya tinggal yang kanan saja sehingga lengan kiri yang selalu mengganggu penyaluran tenaga itu tidak ada lagi, dan dia harus menelungkup dengan tubuh kaku menegang terus. Akan tetapi, tadi para penyiksanya ini selalu mengganti penyiksaannya. Bagaimana kalau sebelum dia dapat menguasai Sin-liong-hok-te lalu mereka menurunkan batu gilingan itu. Bisa celaka dia karena latihannya jadi terganggu dan setengah matang! Jangan-jangan dia bisa menjadi lumpuh kaki tangannya. Terlalu berbahaya untuk menyempurnakan ilmu seperti itu dalam keadaan di tangan musuh seperti ini. Akan tetapi dia tidak melihat jalan lain dan teringat ini, tanpa disadarinya Topeng Setan mengeluh.

   "Ha-ha-ha, mulai terasa sekarang, ya? Hayo kau lekas minta ampun kepada kami, baru kami akan menurunkan batu ini agar kau tidak sampai mampus!"

   Seorang di antara mereka mengejek. Bentakan yang disertai lecutan cambuk ke arah mukanya ini mendatangkan akal kepada Topeng Setan.

   "Kalian anjing-anjing rendah! Siapa tidak kuat menahan.... uh-uhhh.... batu jahanam ini.... uhhh...."

   Topeng Setan berpura-pura kepayahan.

   "Mari kita bertaruh.... bahwa aku akan kuat menahannya sampai sebatang lilin putih bernyala habis."

   "Ha-ha-ha! Sebatang lilin dapat bernyala sampai tiga empat jam. Mana kau akan kuat bertahan?"

   Memang inilah yang dikehendaki oleh Topeng Setan. Dia membutuhkan waktu berlatih kurang lebih tiga empat jam!

   "Berani atau tidak bertaruh? Kalau aku dapat bertahan sampai lilin itu padam, kalian menurunkan batu ini dan se-lanjutnya jangan kalian menggangguku, biarkan Hek-tiauw Lo-mo sendiri yang berhadapan dengan aku. Kalau aku tidak kuat bertahan, kalian boleh.... boleh menanggalkan topengku!"

   Tentu saja taruhan ini tidak usah dipikir panjang dua kali oleh mereka. Taruhan itu sama sekali tidak merugikan mereka dan memang mereka ingin sekali melihat bagaimana macamnya orang yang mempunyai kekuatan dan daya tahan sedemikian hebatnya. Seorang lalu berlari cepat mencari lilin dan menyalakan lilin itu di situ. Topeng Setan sudah mulai dengan latihannya, hatinya lapang karena dia yakin bahwa latihannya tidak akan diganggu. Dia berlaku nekat, dan memang tidak ada jalan lain baginya.

   Dia harus berhasil dengan latihannya, atau jika dia gagal, biarlah dia mati terhimpit batu itu. Peluhnya makin bertetesan dari seluruh tubuhnya. Tubuhnya menjadi keras dan kejang seperti sebatang pohon kering atau lebih lagi, seperti tiang baja. Dengan menurutkan teori yang sudah dihafalnya tentang latihan Sin-liong-hok-te, dia mulai mengerahkan sin-kang yang berputar di pusarnya, hawa sin-kang ini bergerak perlahan-lahan, mula-mula didorong ke bawah menembus semua jalan darah sampai ke ujung kedua kakinya, terasa sampai ke jari-jari kakinya. Lalu perlahan-lahan naik ke atas, ke dada dan ketika tiba di pundak, tenaga itu bergabung dan tersalur ke samping kanan saja karena lengan kirinya sudah tidak ada. Inilah sukarnya bagi dia ketika dahulu latihan ilmu mujijat ini, ketika kedua lengannya masih utuh.

   Ketika lengannya masih lengkap, tenaga atau hawa sin-kang yang merayap ke atas itu selalu sebagian menyeleweng ke lengan kiri, sukar sekali untuk dipusatkan ke lengan kanan. Padahal di dalam ilmu ini, kalau tenaga sakti Sin-liong-hok-te sudah sempurna, inti tenaga sakti ini dipergunakan dalam ilmu silat tangan kosong yang khusus diciptakan untuk seorang berlengan buntung sebelah, dengan tenaga sakti ini sebagai dasar, yaitu Ilmu Silat Tangan Kosong Sin-liong-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Kosong Naga Sakti), lengan tunggal ini bergerak sebagai kepala naga, sedangkan kaki bergerak sebagai cakar naga. Biarpun memakan waktu yang cukup lama, akhirnya hawa sakti itu dapat juga membelok dan berputar pada lengan kanannya. Kini tinggal tingkat terakhir dari latihan itu, tingkat yang paling sukar dan berbahaya, yaitu menyalurkan hawa itu ke dalam kepala!

   Amat sukar dan berbahaya sekali untuk menembus terbuka jalan darah di ubun-ubun kepala, harus dilakukan dengan amat teliti, hati-hati dan dengan pencurahan seluruh perhatian dan penyerahan lahir batin. Para penjaga sudah mulai tertawa-tawa karena lilin itu sudah terbakar selama hampir tiga jam, tinggal sedikit lagi dan Topeng Setan sudah kelihatan amat lelah kehabisan tenaga, kehabisan keringat dan napasnya mulai terengah-engah. Topeng Setan sadar akan hal ini. Hampir dia tidak kuat bertahan lagi, hampir menyerah! Tenaganya telah terkuras habis, berjam-jam terus-menerus mengerahkan tenaga agar tubuhnya meregang dan menegang kaku, sedangkan untuk dapat menerobos jalan darah di ubun-ubun bukanlah hal yang mudah, membutuhkan pengerahan tenaga sin-kang yang terpusat. Mana dia kuat dan mampu? Dia berbeda dengan gurunya, dan dia masih terluka hebat.

   "Ha-ha-ha, lilinnya sudah hampir padam dan engkau pun sudah hampir padam!"

   Seorang penjaga mengejeknya.

   "Wah-wah, mampus kau sekali ini, Topeng Setan! Apakah lebih baik kau menyerah saja, biar kubuka topengmu dan kami turunkan batu ini?"

   "Heh-heh, dia sudah tidak mampu menjawab. Dia sudah sekarat!"

   Para penjaga yang wataknya kejam itu memperolok-oloknya dengan bermacam-macam kata-kata mengejek dan semua ini bahkan menimbulkan kembali semangat Topeng Setan yang tadinya sudah hampir tenggelam. Bernyala kembali api perlawanannya yang tadi sudah hampir padam. Dia menggeleng kepala tanda belum menyerah, kemudian dia mengerahkan seluruh tenaganya. Tidak, dia harus nekat sampai denyut darah terakhir.

   Dia tidak akan menyerah sampai mati. Dengan otak membayangkan keselamatan Ceng Ceng dia memusatkan tenaga yang menjadi besar kembali terdorong oleh kebulatan tekadnya, berusaha menjebol jalan darah ke ubun-ubun sebagai tingkat terakhir dari latihan dan penguasaan ilmu mujijat Sin-liong-hok-te. Tinggal sedikit lagi. Dia sudah merasa betapa hawa sakti membubung ke atas, kepalanya sudah tergetar dan terasa panas. Tapi bukan main sukarnya dan kalau pada saat itu para penjaga menurunkan batu, hal ini bahkan akan mencelakakannya. Tenaganya sudah habis! Dia tidak kuat menembus bagian tipis yang sedikit lagi itu. Seolah-olah terasa sudah olehnya tirai tipis yang sudah disentuhnya. Kalau masih ada tenaganya, mendorong sedikit saja tentu sudah akan dapat menerobos tirai itu. Akan tetapi tenaganya sudah habis!

   "Wah, dia memang keras kepala! Manusia ini menjemukan sekali!"

   Teriak seorang penjaga.

   "Biar kuhajar kepalanya agar merasa dia!"

   Penjaga lain yang memegang cambuk berteriak.

   "Tar-tar-tar....! Plongggg....!"

   Jalan darah ke ubun-ubun itu tertembus secara tiba-tiba dan tidak disengaja. Pada saat dia sedang bersitegang untuk menembus tirai tipis yang tinggal sedikit itu, secara tiba-tiba cambuk melecut mengenai ubun-ubunnya dan sentakan kaget ini membantunya sehingga merupakan bantuan yang tak tersangka-sangka pada saat yang kritis itu. Dia berhasil! Hampir Topeng Setan tidak dapat mempercayai sendiri apa yang dirasakannya pada saat tirai tipis itu tertembus oleh hawa saktinya dan semua jalan darah telah terbuka,

   Seluruh hawa sakti di tubuhnya telah meluncur dengan lancar dan cepatnya. Tubuhnya kini terasa nyaman, kepalanya terasa ringan, otaknya menjadi terang dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mencorong menggiriskan, seperti mata naga sakti, seperti mata suhunya. Beban berat yang menin-dih punggungnya tidak terasa lagi olehnya, yang terasa hanyalah hawa penuh yang berputar-putar cepat sekali di seluruh tubuhnya, seolah-olah seekor naga sakti melayang-layang berputaran di angkasa mencari korban. Para penjaga yang tidak sadar akan perubahan ini masih mengejek, bahkan Si Pemegang Cambuk kini mengayun cambuknya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melecut kepala yang menelungkup itu.

   "Tarrr.... brolll....! Aduhhh....!"

   Bukan main hebatnya akibat dari lecutan ini, seolah-olah lecutan yang membuka bendungan besar tenaga sakti yang kini datang membanjir dengan hebatnya.

   Naga sakti yang melayang-layang itu seperti memperoleh mangsa oleh lecutan itu. Tenaga mujijat yang berputaran di tubuh Topeng Setan itu bergerak melawan ketika melecut, dan akibatnya, Si Pemegang Cambuk itu roboh dan mati seketika dengan tubuh membiru karena semua urat-uratnya tergetar pecah-pecah oleh tenaganya sendiri yang membalik dengan kuatnya. Batu penggilingan tahu yang mendidih punggung itu mencelat seperti dilontarkan, menghantam dua orang penjaga yang menjadi remuk badannya dan masih terus menerjang dinding batu sehingga ambrol dan berlubang besar. Belenggu tangan kanan dan kedua kaki yang terbuat dari baja tebal itu patah-patah semua dan jatuh berkerontangan di atas lantai! Kini Topeng Setan berdiri di tengah kamar tahanan itu dan berteriak dengan suara menyeramkan,

   "Mana Hek-tiauw Lo-mo? Bebaskan aku!"

   Para penjaga lainnya memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, ada yang terkencing ketakutan melihat orang bertopeng yang berdiri tegak dengan mata mencorong seperti itu, ada yang kedua kakinya menggigil dan tidak mampu melangkah selangkah pun untuk mengikuti teman-temannya yang mundur melarikan diri.

   "Hek-tiauw Lo-mo manusia iblis! Hayo kau bebaskan Ceng Ceng....!"

   Kembali Topeng Setan berteriak. Mendadak terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo dari sebelah kiri, dari dinding yang masih utuh.

   "Topeng Setan, aku berada di sini!"

   Mendengar suara musuhnya ini, dengan sekali gerakan saja, tubuh Topeng Setan melayang ke arah dinding, tangan kanannya mendorong dinding dan....

   "Braaakkkk!"

   Dinding itu jebol dengan amat mudahnya! Begitu dia menerobos dinding ini dan tiba di sebuah ruangan lain, dari kanan kiri menyambar anak anak panah yang tak mungkin dielakkannya lagi. Topeng Setan terpaksa menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga di seluruh tubuh untuk mengebalkan tubuh. Hawa mujijat di tubuhnya itu berputar cepat sekali dan betapa girang hati Topeng Setan ketika menyaksikan betapa anak-anak panah itu begitu menyentuh tubuhnya, di bagian manapun, runtuh semua dan patah-patah! Hek-tiauw Lo-mo, Ji Song kakek gendut pembantunya, dan Mauw Siauw Mo-li sumoinya, memandang dengan mata terbelalak. Ketika anak panah itu habis, yang ternyata dilepas dari alat-alat rahasia, Topeng Setan memandang ke depan dan matanya yang mencorong itu berapi-api ketika dia melihat Hek-tiauw Lo-mo.

   "Hek-tiauw Lo-mo, kalau kau tidak bebaskan Ceng Ceng, aku akan menghancurkan kepalamu!"

   Hek-tiauw Lo-mo mengangkat tangan kanannya ke atas.

   "Topeng Setan, jangan bergerak kau! Sekali bergerak, nona itu akan dibunuh oleh pembantu-pembantuku seperti yang sudah kuperintahkan. Aku akan membebaskan gadis itu dan juga engkau asal engkau suka membantuku sekali ini. Kalau engkau menolak, gadis itu akan kusuruh bunuh lebih dulu sebelum kami akan menghadapimu dalam pertempuran mati-matian."

   Topeng Setan memandang tajam. Betapa cerdiknya Ketua Pulau Neraka ini, pikirnya. Kalau iblis tua ini membawa Ceng Ceng pada saat itu, dengan ilmunya yang mujijat telah dikuasainya kini, agaknya dia akan mampu merampas Ceng Ceng dari tangan orang-orang ini. Akan tetapi iblis tua yang cerdik ini menyembunyikan Ceng Ceng, dan orang macam dia ini tentu benar-benar akan membunuh Ceng Ceng kalau dia tidak memenuhi permintaannya.

   "Kalau kau menipuku, ke mana pun kau pergi akan kukejar sampai dapat, Hek-tiauw Lo-mo."

   "Tidak! Aku bicara sebagai seorang tokoh kang-ouw terhadap seorang tokoh lain, dan namaku akan tercemar selama hidupku kalau aku menipumu. Aku akan membebaskan kalian kalau engkau mau dan berhasil membantuku."

   "Katakan, apa yang harus kulakukan!"

   "Kami sedang diserbu musuh-musuh yang lihai, dan kalau engkau bisa me-ngundurkan musuh-musuh itu, nah, aku Hek-tiauw Lo-mo berjanji akan membebaskan engkau dan gadis itu."

   "Siapakah musuh-musuhmu itu?"

   "Mereka adalah serombongan pengawal yang dipimpin oleh Gak Bun Beng, Puteri Milana, dan Suma Kian Bu."

   Terkejut sekali hati Topeng Setan mendengar ini, alisnya berkerut. Bagaimana dia berani melawan? Andaikata dia mampu menghadapi mereka juga, bagaimana dia dapat melawan orang-orang yang dia tahu adalah pahlawan-pahlawan dan pendekar-pendekar besar itu? Akan tetapi, keselamatan Ceng Ceng berada di tangan Hek-tiauw Lo-mo! Topeng Setan menjadi bingung sekali. Bagaimana Gak Bun Beng, Milana, dan Suma Kian Bu dapat berkumpul dan kini dikatakan oleh Hek-tiauw Lo-mo bahwa mereka memimpin pasukan pengawal menyerbu dusun itu? Untuk mengetahui hal ini, baiknya kita membiarkan dulu Topeng Setan yang sedang kebingungan itu dan mari kita mengikuti pengalaman Gak Bun Beng dan Milana.

   Seperti telah dituturkan di bagian depan, dengan hati seperti disayat-sayat Gak Bun Beng terpaksa meninggalkan istana Milana, bekas kekasihnya dan yang masih merupakan satu-satunya wanita yang dicintanya di dunia ini. Perih sekali hatinya ketika dia melihat kenyataan bahwa Milana juga masih mencinta dia! Bahwa wanita yang dicintanya itu ternyata hidup merana, hidup sengsara di samping suaminya itu, karena Milana tidak pernah dapat melupakan dia. Betapa akan mudahnya untuk membiarkan diri terbenam dalam kebahagiaan bersama Milana, menuruti suara hati dan dorongan keinginan yang ditekan-tekannya selama belasan tahun ini. Akan tetapi kalau dia menuruti hati dan menerima uluran kasih sayang Milana, akan menjadi orang macam apakah dia? Tidak! Ayahnya dahulu terkenal sebagai seorang datuk sesat, berjuluk Kang-thouw-kwi Gak Liat, dan kelahiran dirinya pun adalah akibat perbuatan terkutuk ayahnya itu atas pemerkosaannya terhadap ibunya.

   Biar ayahnya seorang manusia iblis, dia harus menebus semua penyelewengan ayahnya itu dengan perbuatan benar! Dan kalau dia kini menuruti nafsu hatinya, merebut seorang wanita seperti Milana yang masih bersuami, berarti dia sama tersesatnya dengan ayahnya. Tidak, biar hancur hatinya, biar remuk hidupnya, dia tidak sudi melakukan hal ini dan dia telah melarikan diri dari Milana! Akan tetapi, cintanya terhadap Milana demikian besarnya, mengalahkan segala-galanya. Dahulu, selama belasan tahun dia telah mampu menekan perasaannya ini, menekan hasrat hatinya untuk bersanding dengan wanita kekasihnya. Akan tetapi, setelah kini bertemu dengan Milana, duduk berdekatan, mendengar suaranya, bahkan mendengar pernyataan cinta kasih wanita itu yang masih sebesar dahulu terhadap dirinya, mana dia mampu berjauhan? Dia tidak kuat untuk berjauhan lagi.

   Maka seperti seorang yang sinting Gak Bun Beng tak pernah jauh meninggalkan kota raja, bahkan kadang-kadang dia mencuri masuk, menggunakan kepandaiannya hanya untuk menjenguk dan melihat wajah kekasihnya. Dia cukup puas hanya dengan melihat sepintas wajah yang tak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu, lalu pergi lagi, akan tetapi tidak jauh, hanya dekat di luar kota raja, bersembunyi. Gak Bun Beng adalah seorang laki-laki yang sudah berusia tiga puluh sembilan tahun, hampir empat puluh tahun dan selama hidupnya baru dengan Milana saja dia berdekatan dengan wanita. Dia adalah seorang perjaka, bahkan setelah dia berpisah dengan Milana belasan tahun yang lalu, dia tidak pernah mau memandang wanita lainnya dan seolah-olah sudah menutupkan pintu hatinya terhadap cinta asmara antara pria dan wanita.

   Segala macam bentuk nafsu keinginan lahir dari pikiran. Daya tarik yang terkandung, dalam keindahan bentuk tubuh dan kecantikan serta kelembutan seorang wanita terhadap pandang mata seorang pria memang sudah sewajarnya, akan tetapi dalam daya tarik itu tidak terkandung nafsu berahi. Kalau kita kaum pria melihat seorang wanita dan kita kagum akan kecantikannya, kelembutan dan keluwesannya, maka hal itu hanya habis pada tingkat kekaguman saja. Akan tetapi begitu sang pikiran masuk mencampuri, pikiran membayangkan hal yang bukan-bukan, kenangan-kenangan yang pernah dirasakannya atau pernah didengarnya, pernah dilihatnya, maka sang pikiran ini lalu membayangkan betapa akan senang dan nikmatnya kalau kita dapat memiliki wanita itu menjadi kawan bermain cinta dan sebagainya,

   Maka lahirlah nafsu berahi yang pada dasarnya hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Pikiran adalah diri pribadi, maka segala yang direncana-kan dan diperbuat oleh pikiran selalu berpusat pada kesenangan untuk diri pribadi. Dengan kekuatan batinnya yang memang amat kokoh kuat, Gak Bun Beng berhasil menjauhkan diri dari nafsu berahi dan tidak merasa terganggu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Syanti Dewi dalam kehidupannya, dan sifat-sifat dara yang amat baik ini dengan kekuatan mujijat membuka lagi pintu hatinya. Kalau saja dia tidak mempunyai kesetiaan sampai mati kepada Milana, agaknya dengan amat mudahnya dia menerima uluran tangan Syanti Dewi yang jatuh cinta kepadanya karena terdorong oleh hutang budi dan kekaguman yang berlebihan.

   Dia menolak Syanti Dewi dengan bijaksana, mengingat usia mereka, mengingat hubungan hatinya dengan Milana. Akan tetapi penolakan ini membuka lebar-lebar kembali luka di dalam hatinya. Semua ini ditambah lagi dengan perjumpaannya dengan Milana, lalu lebih-lebih lagi dengan pernyataan Milana betapa wanita itu masih selalu mencintanya, betapa wanita itu merana hidupnya karena dia! Kini Gak Bun Beng tersiksa hebat, jauh lebih hebat daripada dahulu kerena kini setiap detik dia digerogoti perasaan dendam rindu kepada Milana! Inilah yang membuat dia tidak mampu lagi terpisah jauh-jauh dari wanita yang dicintanya itu, dan penderitaan ini hendak diperingan dengan setiap kali menjenguk wajah orang yang dicintanya. Dia tidak tahu bahwa perbuatan itu sebenarnya bahkan memperhebat penderitaannya, seperti seorang yang kehausan diperlihatkan air yang tidak boleh diminumnya!

   Betapa terkejutnya ketika dia mendengar akan geger yang terjadi di kota raja, yaitu tentang tewasnya Pangeran Liong Bin Ong yang kabarnya dibunuh oleh perwira Han Wi Kong dan tentang tewasnya perwira itu pula, kemudian tentang mengamuknya Puteri Milana dan lenyapnya Puteri Syanti Dewi dari istana Kaisar! Tentu saja dia cepat memasuki kota raja dan melakukan penyelidikan. Dengan muka pucat dia menghadap Perdana Menteri Su dan mendengar semua penuturan perdana menteri itu bahwa suami Milana tewas, kemudian betapa Milana menculik Puteri Syanti Dewi dan melarikan diri dari kota raja setelah membunuh para pengawal Liong Bin Ong yang menewaskan suaminya! Gak Bun Beng terkejut dan juga berduka sekali. Kekasihnya tertimpa malapetaka yang demikian hebat tanpa dia mampu menolongnya! Dia merasa menyesal sekali.

   Andaikata dia tidak meninggalkan istana puteri itu, kiranya belum tentu suami puteri ini akan tewas dan membawa akibat sedemikian hebatnya sehingga kini Puteri Milana menjadi seorang pelarian dari istana! Setelah menghaturkan terima kasih kepada Perdana Menteri Su, dia lalu berpamit dan cepat mencari Milana yang dia duga tentu hendak mengantarkan Syanti Dewi kembali ke Bhutan. Sementara itu, seperti telah diceritakan di bagian depan, Milana yang membawa lari Syanti Dewi bertemu dengan Ang Siok Bi, kemudian bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan menyerahkan Syanti Dewi kepada dua losin pengawal jenderal itu yang dipimpin oleh kepala pengawal Can Siok untuk dikawal sampai ke Bhutan. Puteri Milana sendiri lalu berpisah dari Jenderal Kao Liang untuk kembali ke utara karena dia ingin pergi ke orang tuanya, yaitu di Pulau Es.

   Lemas rasanya seluruh sendi tulangnya ketika Puteri Milana berjalan perlahan memasuki hutan itu. Berkali-kali dia menghela napas panjang, menyesali dirinya sendiri karena dia merasa telah melakukan dosa yang amat besar. Dia merasa seolah-olah dialah yang telah membunuh Han Wi Kong. Dia tahu bahwa suaminya itu seperti membunuh diri, sungguh-pun pembunuhan diri yang amat terhormat dan berjasa besar bagi negara. Dan yang menjadi sebab adalah dia. Suaminya menderita hebat sejak menikah dengan dia karena suaminya itu benar- benar mencintanya dan dapat dibayangkan betapa perih hatinya dan sengsara hidupnya karena semenjak menikah, sampai belasan tahun lamanya, dia hanya menjadi isteri dalam nama saja, tidak pernah menjadi isteri dalam arti yang sesungguhnya.

   "Salahkah aku? Berdosakah aku?"

   Berkali-kali dia bertanya kepada diri sendiri.

   Dia dahulu diharuskan menikah oleh Kaisar dan terpaksa dia harus memilih seorang di antara mereka. Pilihannya jatuh ke-pada Han Wi Kong, akan tetapi bagaimana dia bisa mencinta orang lain kalau hatinya sudah diserah-kan sebulatnya kepada Gak Bun Beng? Han Wi Kong "membunuh diri"

   Karena ingin membahagiakannya, ingin membebaskannya agar dia dapat berkumpul dengan Gak Bun Beng. Kalau sampai tujuan terakhir suaminya itu tidak terpenuhi, sama artinya dengan membiarkan suaminya itu mati konyol, mati dengan sia-sia. Akan tetapi Gak Bun Beng.... Milana menarik napas panjang ketika teringat pria yang dicintanya itu, teringat akan pendiriannya, akan keangkuhannya. Teringat betapa Gak Bun Beng berkeras meninggalkannya, kembali dia menarik napas panjang dan bibirnya terdengar mengeluh lirih seperti rintihan,

   "Gak-suheng...."

   "Sumoi....!"

   Suara ini memasuki telinganya seperti halilintar dan membuat seluruh tubuhnya tergetar. Wajah Milana menjadi pucat sekali dan cepat dia membalikkan tubuhnya. Ketika melihat orang yang sedang dikenangnya itu kini berdiri di depannya, Gak Bun Beng yang berwajah pucat dan bermata sayu, Milana menggosok kedua matanya.

   "Sumoi.... Milana, aku di sini...."

   Gak Bun Beng berkata dengan suara terharu ketika melihat wanita
(Lanjut ke Jilid 50)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 50
itu seperti tak percaya akan kehadirannya, wanita yang dicintanya, yang berpakaian kusut dan berambut awut-awutan, berwajah pucat sekali akan tetapi yang kecantikannya baginya tak pernah berkurang semenjak mereka masih remaja dahulu.

   "Suheng.... Gak-suheng...."

   Milana tak dapat lagi menahan hatinya. Wanita yang terkenal sebagai seorang pendekar besar, seorang pahlawan dan seorang panglima yang amat gagah perkasa, yang mampu menghadapi segala macam bahaya dengan mata tidak berkedip, yang tidak pernah meruntuhkan air mata dan yang terkenal sebagai seorang wanita gagah berhati baja, kini tidak lebih hanya seorang wanita yang lembut dan tangisnya mengguguk, air matanya jatuh berderai-derai. Seperti seorang anak kecil dia berdiri sambil menangis, tubuhnya berguncang dan kedua punggung tangannya menggosok-gosok matanya.

   "Sumoi.... tenangkan hatimu, Sumoi...."

   Dengan suara gemetar Gak Bun Beng mencoba menghibur, melangkah maju dan dengan hati-hati menyentuh kedua pundak wanita itu dengan ujung-ujung jari tangannya. Sentuhan ini sudah cukup untuk membuka bendungan itu.

   "Gak-suheng.... aihhh, Gak-suheng....!"

   Milana lalu memeluk dan mendekap dada pria itu dengan mukanya, menangis sejadi-jadinya.

   "Sumoi...."

   Suara Bun Beng juga mengandung isak dan dia menengadah, memejamkan kedua matanya mencegah keluarnya air mata, dan tangan kanannya mengusap-usap rambut yang awut-awutan dan halus lemas itu. Sampai lama sekali mereka hanya berdiri saling peluk. Milana menangis terisak-isak, makin lama makin mereda dan Gan Bun Beng memeluk pundaknya dan membelai rambutnya. Setelah tangis wanita itu agak mereda, tinggal terisak-isak saja, Bun Beng lalu dengan halus melepaskan pelukannya, menjauhkan dirinya sambil berkata lembut,

   "Sumoi, aku telah mendengar semua apa yang terjadi di kota raja. Aku menyesal sekali.... tidak dapat membantumu sama sekali...."

   Milana masih belum mampu menjawab hanya terisak-isak dan menghapus sisa air mata dengan sehelai saputangan sutera.

   "Mari kita duduk di bawah pohon itu dan bicara, Sumoi."

   Bun Beng mengajaknya dan dia mengangguk, keduanya lalu duduk di atas akar-akar pohon yang menonjol di atas tanah. Milana menundukkan mukanya yang menjadi agak kemerahan, mungkin karena tangisnya, isaknya masih ada akan tetapi hanya kadang-kadang dan air matanya sudah berhenti mengucur. Wanita perkasa ini sudah dapat menguasai dirinya lagi.

   "Sumoi, aku sudah bertemu dengan Perdana Menteri Su dan mendengar dari beliau akan semua peristiwa. Suamimu telah membunuh Pangeran Liong Bin Ong dan dalam usaha itu dia berhasil akan tetapi dia juga terbunuh oleh para pengawal tokoh pemberontak itu. Dan kau telah melarikan Syanti Dewi.... eh, di mana sekarang?"

   "Dia telah dikawal oleh para pengawal Jenderal Kao, kembali ke Bhutan."

   Milana lalu menceritakan dengan singkat pertemuannya dengan Jenderal Kao. Kemudian dia menceritakan juga tentang pertemuannya dengan Ang Siok Bi, dan menambahkan,

   "Ternyata benar bahwa Ang Tek Hoat itu adalah puteranya, dan dia.... dia mencari-carimu sebagai seorang musuh besar, Suheng."

   "Biarlah...."

   Gak Bun Beng menarik napas panjang, sikapnya tidak peduli.

   "Sekarang engkau hendak.... ke manakah, Sumoi?"

   Suaranya penuh perasaan iba dan hal ini terasa sekali oleh Milana sehingga kembali wanita ini menggigit bibir menahan tangisnya.

   "Tadinya aku hendak mencarimu, Suheng, akan tetapi karena tidak tahu engkau berada di mana, setelah Syanti Dewi diantar para pengawal, aku lalu hendak pergi ke Pulau Es saja. Syukur bahwa kita dapat bertemu di sini, Suheng."

   "Kau.... kau mencariku, Sumoi?"

   Gak Bun Beng memandang dengan jantung berdebar tegang.

   "Mengapa.... engkau mencariku?"

   Wajah yang masih agak pucat itu menjadi merah dan jari-jari tangannya gemetar ketika Milana mencari-cari ke balik bajunya, kemudian mengeluarkan sebuah sampul surat.

   "Aku mencarimu untuk menyampaikan ini, Suheng. Aku menemukan surat peninggalan suamiku ini di dalam kamarnya dan surat ini untukmu."

   Gak Bun Beng menerima surat itu dan membaca tulisan pada sampulnya. Memang ditujukan kepadanya, ditulis oleh tangan Han Wi Kong dengan gaya tulisan yang kuat dan indah. Jantungnya berdebar tegang penuh kekhawatiran dan penyesalan. Apakah yang akan dia baca dan temukan di dalam surat ini? Apakah kata-kata kutukan dan penyesalan dari perwira gagah itu? Karena dia dan isterinya mempunyai hubungan cinta kasih? Apakah perwira itu menderita kesengsaraan batin karena dia? Karena isterinya mencinta dia? Hampir dia tidak berani membuka surat itu dan dia memandang kepada Milana. Akan tetapi wanita itu pun merunduk saja, agaknya menanti dengan penuh ketegangan.

   "Sumoi, katakanlah, mengapa suamimu melakukan perbuatan nekat itu? Seorang diri menyerbu istana dan membunuh Pangeran Liong Bin Ong, bukankah hal itu sama artinya dengan membunuh diri?"

   Ucapan itu terasa oleh Milana seperti tusukan pada jantungnya dan tak dapat dicegahnya lagi beberapa butir air mata mengalir turun dan karena dia menunduk, air mata itu berkumpul di ujung hidungnya seperti sebutir mutiara besar. Milana menggeleng kepala dan mutiara itu jatuh dari ujung hidungnya.

   "Aku.... aku tidak tahu...."

   Dia merasa lehernya seperti dicekik, tidak mampu lagi mengeluarkan kata-kata. Gak Bun Beng menarik napas, memandang sampul surat itu lalu membe-ranikan hatinya, membuka sampul itu dengan jari-jari tangan gemetar dan mengeluarkan suratnya. Dia sudah siap untuk menerima berita yang paling buruk, siap untuk menerima celaan dan kutuk orang yang sudah mati itu. Lalu dibacanya surat itu :

   Gak Bun Beng Taihiap,

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kalau taihiap membaca surat ini, saya tentu sudah mati. Kematian yang tidak sia-sia karena saya tentu telah berhasil membunuh dalang pemberontak Liong Bin Ong. Terutama sekali, dengan kematian saya, Puteri Milana menjadi bebas untuk hidup bersama satu-satunya pria yang dicintanya, yaitu Taihiap sendiri. Percayalah, sejak dahulu sampai saat ini Puteri Milana hanya mencinta Taihiap seorang, dan dia menjadi isteri saya hanya namanya saja, bukan isteri dalam arti sesungguhnya. Sampai saat ini Puteri Milana masih seorang gadis yang selalu menanti pinangan Taihiap!
Semoga bahagia,

   Han Wi Kong.

   Surat itu terlepas dari jari-jari tangan Gak Bun Beng yang gemetar karena jantungnya berdebar dengan keras.

   "Ohhh...."

   Demikian keluhnya. Mendengar keluhan ini, Milana mengangkat mukanya memandang. Gak Bun Beng lalu menyambar kertas itu dan menyerahkan kepada Milana sambil berkata, suaranya gemetar,

   "Benarkah ini....? Benarkah ini....?" Milana menerima surat itu dan membacanya, dipandang dengan tajam oleh Gak Bun Beng. Perlahan-lahan kedua pipi wanita itu berubah menjadi merah sekali dan surat itu pun terlepas dari tangannya yang menggigil.

   "Benarkah, Milana....?"

   Tanya Bun Beng, suaranya lirih seperti berbisik. Milana mengangkat muka memandang. Dua pasang mata saling bertemu dan akhirnya Milana hanya mengangguk penuh kepastian. Bun Beng meloncat berdiri.

   "Akan tetapi mengapa?"

   Teriaknya.

   "Milana? Engkau adalah isterinya! Mengapa engkau menyiksanya sedemikian rupa? Belasan tahun menjadi isterinya.... hanya dalam nama saja....? Betapa kejamnya engkau...."

   Mendengar ucapan ini, Milana juga meloncat berdiri dan memandang Bun Beng dengan mata bersinar-sinar.

   "Mangapa? Tentu saja aku tidak bisa menyerahkan diri kepada lain pria! Setelah aku menyerahkan cinta kasih dan hatiku kepadamu, suheng, bagaimana mungkin aku dapat menyerahkan tubuhku kepada pria lain?"

   "Ahh.... tapi... kalau begitu, mengapa engkau menikah dengan dia?"

   "Karena Kaisar memaksaku."

   "Kau bisa saja pergi dari istana dan mencari aku, Milana...."

   "Suheng, bukankah engkau yang telah meninggalkan aku, pergi dariku? Aku telah merasa berdosa kepadamu dahulu, telah tidak mempercayaimu (dalam cerita SEPASANG PEDANG IBLIS)...., akan tetapi aku tidak mungkin bisa menyerahkan diri kepada pria lain...."

   "Milana.... sumoi, begitu besar cintamu kepadaku...."

   "Dan kau tadinya kuanggap telah melupakan aku, Suheng. Kiranya engkau pun rela hidup merana, tak pernah menikah, karena cintamu kepada-ku...."

   "Milana.... aku cinta padamu, sejak dahulu sampai detik ini.... aku hanya merasa diriku tidak berharga untukmu. Dan ternyata engkau.... engkau begitu setia kepadaku.... ternyata aku yang telah menyiksa hidupmu, Milana...."

   "Suheng....!"

   Milana mengeluh dan mereka saling tubruk, saling rangkul karena sekarang keduanya yakin akan cinta kasih mereka masing-masing.

   "Sumoi.... Milana.... ah, Milana.... betapa aku rindu padamu."

   "Aku pun rindu padamu, Suheng...."

   Sejenak kedua orang itu lupa diri. Milana terlena dalam pelukan Bun Beng, air matanya mengalir turun dari kedua mata yang dipejamkan. Bun Beng mendekapnya, menciumnya, mencium lehernya, dagunya, bibirnya, hidung dan matanya, menghisap air mata itu, air mata yang seolah-olah menjadi air embun yang menyiram kembang di dalam hatinya yang kehausan dan yang hampir melayu, sehingga kembang itu menjadi segar kembali. Pada saat itu dicurahkanlah segala kerinduannya, segala cinta kasihnya sehingga setiap bulu di tubuhnya seolah-olah bangkit dan membelai wanita itu.

   Milana memejamkan matanya, merasa terayun di angkasa dengan nikmatnya. Wanita manakah yang tidak akan merasa berbahagia bahwa dia telah menundukkan hati pria yang dicintanya, merasa dibutuhkan, dicinta dan dipuja? Bisikan halus yang keluar dari bibir Bun Beng di dekat telinga, bisikan yang berkali-kali menyatakan cinta kasih yang mendalam, membuat hati Milana bangga dan bisikan itu lebih merdu daripada nyanyian surga! Akan tetapi tiba-tiba Milana melepaskan dirinya dengan halus, kini dia memandang kekasihnya dengan bibir tersenyum dan mata masih basah, dengan kedua pipi kemerahan seperti wajah seorang dara remaja yang baru pertama kali menerima ciuman seorang pria. Bun Beng memandang dengan terpesona.

   "Jangan.... Suheng, jangan dulu...., kita harus menghormati Han Wi Kong.... dialah yang sesungguhnya mempertemukan kita kembali. Kita.... kita harus sabar menanti.... biarkan aku berkabung selama setahun untuknya, Suheng."

   Gak Bun Beng tersenyum, senyum penuh kecerahan yang baru pertama kali ini nampak di wajahnya, seolah-olah wajahnya bersinar kembali dengan cahaya kehidupan. Dia mengangguk dan matanya memandang penuh kelembutan, penuh kemesraan dan penuh pengertian.

   "Memang sebaiknya begitu, Sumoi. Sebaiknya begitu...., betapapun juga, secara lahiriah dia adalah suamimu dan sahabat kita yang amat baik. Setelah menanti belasan tahun lamanya, apa artinya setahun bagi kita?"

   Milana melangkah maju lagi dan memegang kedua tangan kekasihnya.

   "Aku tahu bahwa engkaulah satu-satunya manusia yang bijaksana dan mulia di dunia ini. Mulai saat ini aku merasa seolah-olah baru hidup, suheng...."

   Gak Bun Beng balas menggenggam jari-jari tangan yang halus itu.

   "Bukan baru hidup melainkan hidup baru, Sumoi. Sekarang, apakah engkau hendak melanjutkan perjalananmu ke Pulau Es?"

   "Aku.... aku.... terserah kepadamu, Suheng. Sejak saat ini, aku hanya menurut apa yang kau katakan dan kau tentukan. Aku takut kalau-kalau keputusanku sendiri akan mengakibatkan kesalahan hebat seperti yang telah kita alami bersama dahulu. Aku menyerahkan segalanya kepadamu, Suheng."

   Bukan main girangnya hati Gak Bun Beng.

   "Kiranya lebih baik kalau kelak setahun kemudian kita bersama pergi menghadap ke Pulau Es untuk minta doa restu dari orang-orang tua. Sekarang, lebih baik kita mengejar perjalanan Syanti Dewi. Hatiku merasa tidak tenang kalau sampai anak itu hanya dikawal oleh pasukan biasa. Sebaiknya waktu yang satu tahun itu kita pergunakan untuk mengawalnya ke Bhutan."

   Milana mengangguk, lalu berkata,

   "Dia.... Syanti Dewi amat mencintamu, Gak-suheng...."

   "Eh, bagaimana kau tahu?"

   "Anak yang baik itu menceritakan segalanya kepadaku. Dan tahukah engkau betapa dia marah-marah kepadaku dan menuntut agar aku membahagiakan engkau. Tidakkah aneh sekali itu? Seorang anak belasan tahun mengajarkan aku tentang cinta kasih! Dia benar-benar cinta kepadamu sehingga aku merasa heran mengapa engkau tidak menyambut uluran hati seorang dara secantik dia?"

   "Sumoi, perlukah kau tanyakan lagi hal itu? Dengan adanya engkau, betapa mungkin aku mencinta wanita lain? Aku tahu akan kebaikan hatinya, karena itu dia kuanggap sebagai keponakan atau anak sendiri, dan karena itu pula kita sudah sepatutnya mengantarkan dia kembali kepada orang tuanya di Bhutan."

   Milana tersenyum manja.

   "Terima kasih, Suheng. Pernyataanmu itu makin meyakinkan hatiku betapa besar cintamu kepadaku, dan amat membahagiakan hatiku."

   "Hemm, tidak kalah besarnya dengan kebahagiaanku memperoleh kenyataan bahwa selama ini engkau tetap mencintaku, Sumoi. Mari kita berangkat, aku khawatir terjadi hal-hal yang tidak baik terhadap diri Syanti Dewi."

   Maka berangkatlah kedua orang kekasih yang baru saling menemukan kembali setelah cinta kasih mereka terpisah selama belasan tahun itu. Patut dikagumi Gak Bun Beng dan Milana. Keduanya masih perawan dan perjaka, biarpun usia mereka telah mendekati empat puluh tahun, dan mereka selama belasan tahun menekan kerinduan hati masing-masing. Kini, setelah mereka berdua memperoleh kebebasan dan tidak ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk saling memiliki,

   Seolah-olah kenikmatan itu merupakan setangkai bunga di depan mata, tinggal mengulur tangan memetiknya saja, dan keduanya sudah saling mencinta dan sudah saling percaya, tidak ada ha-langannya untuk saling menyerahkan diri lahir batin, mereka masih mampu mengatasi dorongan nafsu mereka dan melihat kenyataan bahwa hal itu kurang baik dan bahwa sudah sepatutnya kalau mereka menanti saja sudah menjadi bukti betapa teguh dan kokoh kuat dasar batin kedua orang gagah ini, yang tidak mudah di mabok oleh nafsu berahi! Sambil bergandeng tangan mereka pergi meninggalkan hutan itu dan dengan kecepatan luar biasa mereka menggunakan ilmu berlari cepat mereka menuju ke barat untuk menyusul rombongan Syanti Dewi yang dikawal oleh dua losin orang pasukan pengawal Jenderal Kao Liang.

   Ketika mereka tiba di dekat dusun yang dijadikan markas sementara oleh Hek-tiauw Lo-mo, di tengah jalan mereka bertemu dengan Suma Kian Bu yang memimpin sepasukan yang terdiri dari belasan orang, yaitu pasukan yang didapatnya dari Perdana Menteri. Pemuda ini setelah berhasil membantu Tek Hoat membakar ruangan dan membiarkan Tek Hoat menolong Ceng Ceng, lalu melarikan diri ke kota raja dan dia pun pergi menemui Perdana Menteri Su, menceritakan dan minta bantuan untuk menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan. Perdana Menteri Su dengan singkat menceritakan bahwa Syanti Dewi telah ditolong Tek Hoat dan karena semua perbuatannya itu adalah di luar tahu istana, maka perdana menteri yang bijaksana ini hanya dapat menyuruh pengawal-pengawal pribadinya yang berjumlah lima belas orang untuk membantu Suma Kian Bu menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan. Demikianlah, di tengah jalan mereka saling bertemu.

   "Enci Milana! Gak-suheng!"

   Kian Bu berseru dengan girang bukan main dan dia memegangi kedua tangan suheng dan encinya itu.

   "Hemmm, ke mana saja engkau selama ini, Kian Bu?"

   Milana bertanya. Ditanya demikian, Kian Bu menundukkan muka menyembunyikan perasaan jengah dan malunya. Tentu saja tidak mungkin dia menceritakan pengalamannya dengan Hong Kui.

   "Aku hanya merantau saja, Enci, akan tetapi ada hal yang lebih penting untuk kalian ketahui dan kebetulan sekali aku bertemu dengan kalian. Marilah kita pergi menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan dan di perjalanan nanti kuceritakan semua kepada Ji-wi (Kalian Berdua)."

   Tentu saja Gak Bun Beng dan Milana terkejut dan segera mengikuti adik itu melanjutkan perjalanan menuju ke dusun yang dijadikan tempat tinggal Tambolon. Kian Bu telah mendengar penuturan dari Perdana Menteri Su betapa Ceng Ceng masih ditawan oleh Tambolon menurut cerita Tek Hoat dan Syanti Dewi, dan bahwa Tek Hoat sedang pergi untuk menolongnya. Sedangkan Topeng Setan ditawan Hek-tiauw Lo-mo di dusun Nam-lim. Dengan singkat namun jelas Kian Bu menceritakan betapa dia bertemu dengan Tek Hoat dan dia membantu Tek Hoat untuk membebaskan Ceng Ceng, kemudian dia pergi ke kota raja untuk minta bantuan.

   "Hek-tiauw Lo-mo kuat sekali kedudukannya, apalagi di dekat dusun Nam-lim itu terdapat pula rombongan Tambolon yang dibantu oleh banyak orang pandai, di antaranya seorang nenek yang amat lihai dan pandai ilmu sihir. Ternyata tadinya Puteri Syanti Dewi ditawan oleh Tambolon dan telah disela-matkan oleh Tek Hoat dengan jalan menukarnya dengan Ceng Ceng. Menurut Perdana Menteri Su, kini puteri itu telah dikawal oleh pasukan Bhutan sendiri, kembali ke Bhutan."

   Kian Bu menghentikan ceritanya karena dia masih merasa terluka oleh penolakan cintanya terhadap puteri itu.

   "Sungguh aneh sekali! Mengapa rombongan Hek-tiauw Lo-mo dan rombongan Tambolon masih saja berkeliaran di sini? Dan bagaimana pula Syanti Dewi yang dikawal oleh pasukan Jenderal Kao sampai tertawan oleh rombongan Tambolon? Bagaimana pula cara Tek Hoat menukar tawanan itu? Ah, pemuda itu ternyata hebat! Kembali dia telah menyelamatkan Syanti Dewi dan kini dia seorang diri hendak menolong Ceng Ceng, sungguh berbahaya baginya. Mari kita mempercepat perjalanan dan mendahului pasukan ini,"

   Bun Beng berkata. Setelah berpesan kepada pasukan itu, Kian Bu lalu bersama Milana dan Bun Beng menggunakan ilmu berlari cepat, meninggalkan pasukan dan mendahului pergi ke sarang Tambolon di mana kabarnya Ceng Ceng menjadi tawanan raja liar itu.

   Akan tetapi ternyata rombongan itu tidak lagi berada di situ. Seperti kita ketahui, akibat khasiat darah anak ular naga yang diminumnya, Ceng Ceng dapat membebaskan diri sendiri dari tangan Tambolon dan kawan-kawannya, dan rombongan raja liar ini pun lalu pergi meninggalkan tempat itu untuk melakukan pengejaran. Karena dusun itu kosong, maka Bun Beng lalu mengajak Milana dan Kian Bu untuk melanjutkan perjalanan ke Nam-lim. Kedatangan tiga orang ini dengan pasukan pengawal di belakang mereka, telah diketahui oleh anak buah Hek-tiauw Lo-mo yang cepat melapor kepada Ketua Pulau Neraka ini, tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi terkejut sekali dan pada saat itu dia melihat Topeng Setan sudah dapat membebaskan diri secara menggiriskan.

   Maka timbullah akalnya untuk mengadu Topeng Setan dengan rombongan Puteri Milana. Biarpun Ceng Ceng sudah tidak berada lagi di tahanan, akan tetapi kebebasan dara ini belum diketahui oleh Topeng Setan dan karenanya dia masih dapat menipu Topeng Setan dan memaksanya untuk membantunya dengan mengancam Ceng Ceng yang sebenarnya sudah tidak ada lagi di situ. Demikianlah mengapa Gak Bun Beng, Milana dan Suma Kian Bu dapat muncul di tempat itu dan kini kita kembali kepada Topeng Setan yang dihadapkan pada dua pilihan yang amat berat baginya. Sungguh berat baginya untuk menghadapi rombongan Puteri Milana yang dihormati dan dipandang tinggi itu, akan tetapi apa pun akan dilakukannya demi untuk menolong keselamatan Ceng Ceng.

   "Bagaimana, Topeng Setan? Apakah engkau lebih ingin melihat kami membunuh gadis itu kemudian engkau melawan kami mati-matian? Jangan mengira bahwa kami takut kepadamu. Kami hanya ingin menarikmu sebagai kawan untuk menghadapi musuh-musuh yang kuat itu, dan percayalah, aku pasti akan membebaskan engkau dan gadis itu kelak. Mereka telah tiba di luar dan pergilah kau mengundurkan mereka."

   "Baik, akan tetapi awaslah engkau kalau menipuku, Lo-mo!"

   Teriak Topeng Setan yang kini juga sudah mendengar gerakan orang di depan rumah itu. Dia meloncat keluar dan terus ke ruangan depan dan tiba-tiba saja dia sudah berhadapan dengan Puteri Milana, Gak Bun Beng dan Suma Kian Bu!

   "Pergilah kalian dari sini....! Ah, pergilah segera....!"

   Topeng Setan berkata sambil melambai-lambaikan tangannya memberi isyarat agar supaya mereka itu pergi dari situ.

   "Topeng Setan, kami datang justeru untuk menolong.... engkau dan Ceng Ceng...."

   Suma Kian Bu berkata.

   "Tidak...., tidak....! Lekas kalian pergi dari sini, lekas....!"

   Kembali Topeng Setan berseru dengan kacau karena memang hatinya kacau-balau tidak karuan menghadapi keadaan gawat yang mengancam keselamatan Ceng Ceng itu. Milana dan Gak Bun Beng hanya pernah mendengar nama Topeng Setan, akan tetapi mereka baru sekarang melihat orangnya. Bagi kedua orang pendekar besar ini, orang yang menyembunyikan mukanya di balik topeng sudah menunjukkan ketidakjujuran orang itu, maka topeng itu saja sudah mendatangkan kesan yang kurang baik bagi mereka.

   "Topeng Setan atau siapa pun adanya engkau. Mundurlah dan kami datang untuk membebaskan Ceng Ceng!"

   "Tidak.... tidak.... Paduka saja mundurlah. Dan harap jangan mencampuri urusan kami berdua dengan Hek-tiauw Lo-mo!"

   Milana menjadi marah. Biarpun satu kali dia pernah melihat Topeng Setan ini dan biarpun dia sudah mendengar bahwa orang ini adalah pembantunya Ceng Ceng, namun sikapnya sekarang amat mencurigakan karena agaknya membela Hek-tiauw Lo-mo.

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 51 Sepasang Pedang Iblis Eps 17 Sepasang Pedang Iblis Eps 34

Cari Blog Ini