Jodoh Rajawali 9
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
"Syukur bahwa Taijin ternyata dapat diselamatkan, akan tetapi Pangeran...."
Dan komandan pengawal ini mengeluh karena begitu dipakai bergerak, tubuhnya terasa sakit-sakit dan dia tentu terguling roboh kalau tidak cepat disambar oleh Kian Lee dan dibaringkan.
"Engkau harus kuobati dulu, Ciangkun. Kalau tidak bisa berbahaya!". Kian Lee lalu membawa komandan itu ke dalam kamar di pondok, membaringkannya di atas lantai yang bertilam daun kering, kemudian dia sendiri duduk di dekatnya dan menggunakan sinkang untuk mengusir hawa beracun dari tubuh panglima itu. Hanya dalam waktu beberapa jam saja, pendekar muda ini telah berhasil membersihkan hawa beracun dari tubuh Souw-ciangkun, dan biarpun tubuhnya masih terasa lemah, namun Souw-ciangkun sudah sehat kembali. Mereka berdua lalu makan nasi yang dihidangkan oleh Cui Lan dan Hong Bu, makan dengan lahapnya karena selama tiga hari mereka itu sama sekali tidak makan apa-apa.
"Kemanakah perginya orang-orang yang menolong kami semalam?"
Tanya Kian Lee ketika melihat keadaan yang sunyi di pondok itu. Cui Lan menggeleng kepala.
"Mereka telah pergi semua, tidak mungkin dapat ditahan lagi. Mereka berkumpul dan menolong Kongcu atas permintaanku itu karena nama Siluman Kecil. Setelah tugas mereka selesai, tugas yang akan mereka lakukan dengan taruhan nyawa demi Siluman Kecil, kini mereka pergi. Urusan kita selanjutnya tidak mereka pedulikan karena mereka hanya mau bergerak karena mengingat pendekar itu."
Lalu Cui Lan menceritakan pengalamannya sejak dia melarikan Gubernur Hopei sampai bertemu dengan para pemburu dan nyaris saja dia dan Hok-taijin mati terbakar hidup-hidup.
"Bukan main Siluman Kecil itu!"
Kian Lee memuji penuh kagum.
"Akan tetapi bagi saya, yang lebih hebat adalah Nona Phang Cui Lan ini, Taihiap,"
Kata Gubernur Hok yang sudah mendengar dari Souw-ciangkun tentang kegagahan Suma Kian Lee membantu fihak istana menentang para jagoan Ho-nan.
"Dia hanyalah seorang gadis muda yang lemah, namun sepak terjangnya sungguh tidak kalah oleh seorang pen-dekar yang perkasa!"
"Ah, Taijin bisa saja memuji orang...."
Cui Lan menunduk dengan muka merah.
"Memang, saya pun mengerti, Taijin,"
Kata Kian Lee.
"Memang engkau patut menjadi sahabat baik Siluman Kecil, Cui Lan."
"Sudahlah, Suma-kongcu. Kalian hanya membuat saya merasa malu saja, sebaliknya sekarang dipikirkan bagaimana dengan nasib Pangeran utusan Kaisar itu dan para pengawal beliau."
"Aku pun sedang memikirkan hal itu dan karena Souw-ciangkun sendiri masih lemas, biarlah aku sendiri yang menyelidiki ke sana malam ini."
"Aihhh...., itu berbahaya sekali, Kongcu!"
Cui Lan berseru sambil matanya terbelalak penuh kekhawatiran.
"Kami dengan susah payah membantu Kongcu keluar dari terowongan maut itu dan sekarang Kongcu malah hendak ke kota yang penuh dengan bahaya itu! Kian Lee merasa terharu. Dara ini benar-benar seorang wanita yang memiliki watak halus dan berbudi mulia. Berbahagialah pria yang dicintai oleh seorang wanita seperti Cui Lan ini, pikirnya dan diam-diam dia agak iri juga kepada Siluman Kecil dan juga diam-diam berjanji pada diri sendiri bahwa kelak tentu Siluman Kecil akan berhadapan dengan dia sebagai lawan. Hanya seorang yang berhati mati saja yang tidak akan menerima cinta kasih seorang dara berperasaan halus dan berbudi mulia seperti Cui Lan!
"Ah, Cui Lan, engkau belum tahu siapa adanya Suma-taihiap ini! Engkau masih menganggap dia seorang pemuda terpelajar yang lemah. Ha-ha!"
Kata Gubernur Hok.
"Nona Phang, ketahuilah bahwa Suma taihiap ini tidak kalah saktinya dengan pendekar yang berjuluk Siluman Kecil itu!"
Kata pula Souw Kee An.
"Ahhh....!"
Sepasang mata itu memandang Kian Lee penuh selidik dan pemuda ini tersenyum, diam-diam menyesal mengapa panglima itu lancang mulut sehingga selain mengejutkan juga menurunkan pandangan nona itu yang teramat tinggi terhadap Siluman Kecil.
"Jangan percaya kepadanya, Cui Lan, Souw-ciangkun hanya berkelakar. Nah, aku harus berangkat sekarang juga. Harap Taijin dan Cui Lan menanti di sini, dan kau lindungi dia dulu, Souw-ciangkun. Setelah aku kembali, baru kita berunding lagi bagaimana baiknya. Syukur-syukur kalau aku berhasil menolong dan membawa Pangeran Yung Hwa ke sini."
Maka berangkatlah Kian Lee, diiringkan pandang mata penuh harapan oleh Gubernur Hok dan Souw-ciangkun, akan tetapi pandang mata Cui Lan penuh kekhawatiran.
Tidaklah sukar bagi Kian Lee untuk menyelundup masuk ke dalam kota Lok-yang di Ho-nan. Dengan ilmunya yang tinggi, mudah saja dia meloncati dinding tembok di sekeliling kota dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk menuju ke istana Gubernur Ho-nan. Malam itu sunyi. Semenjak
(Lanjut ke Jilid 09)
Jodoh Rajawali (Seri ke 10 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
peristiwa keributan yang terjadi di taman istana, memang keadaan ibu kota menjadi sunyi dan penduduk banyak yang merasa takut keluar malam. Penjagaan diperketat, akan tetapi dengan mudah Kian Lee menggunakan ginkangnya meloncat ke atas pagar tembok istana dan terus meluncur ke dalam. Dengan sigapnya dia telah menotok roboh seorang penjaga yang sedang meronda di dekat taman, menyeretnya ke semak-semak dan mengancamnya,
"Kubunuh kau kalau kau berani berteriak!"
Di dalam keadaan yang remang-remang itu, penjaga ini tidak dapat melihat muka Kian Lee dengan jelas, dan andaikata dapat melihat pun, dia tidak akan mengenal wajah pemuda ini yang baru satu kali datang sebagai tamu dan belum banyak dikenal, kecuali oleh pasu-kan yang dulu mengha-dangnya.
"Ampun, Hohan....!"
Penjaga itu memohon.
"Aku tidak akan membunuhmu asal engkau suka menceritakan di mana adanya Pangeran Yung Hwa!"
Kian Lee mengancam
"Ampun.... siapa Pangeran Yung Hwa....? Saya tidak tahu, Hohan...."
Kian Lee mengerutkan alisnya.
"Tidak kenal? Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tempo hari...."
"Ah, kalau beliau tentu saja saya tahu. Yang menjadi utusan Kaisar dan kemudian terjadi keributan di taman?"
"Ya, benar. Di mana dia ditahan?"
"Ditahan? Saya sungguh tidak mengerti apa maksudmu, Hohan."
"Bukankah kau sendiri bilang terjadi keributan di taman ketika Pangeran itu muncul, kemudian diserang dan ditangkap?"
"Ah, sama sekali tidak, Hohan. Memang terjadi keributan antara jagoan-jagoan Ho-nan melawan jagoan-jagoan Ho-pei, akan tetapi tidak ada yang berniat buruk terhadap Pangeran utusan Kaisar. Bahkan pada keesokan harinya pun utusan itu telah kembali ke kota raja dengan pengawalan ketat."
"Bohong! Kubunuh kau kalau membohong!"
"Saya.... saya tidak berani membohong Hohan!"
Kian Lee menjadi bingung, lalu dia menotok lagi agar orang itu tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara, kemudian dia meninggalkannya di balik semak-semak dan karena penasaran, Kian Lee lalu mencari dan akhirnya dia berhasil menyergap dan menangkap seorang perwira pengawal seperti yang dilakukannya kepada perajurit itu. Akan tetapi, keterangan perwira pengawal ini pun sama dengan apa yang didengarnya dari si perajurit. Sungguh mengherankan! Kian Lee menjadi penasaran sekali. Para perajurit dan perwira, itu tentu saja sudah diperintahkan untuk membuat pengakuan seperti itu setiap kali ada penyelidik datang hendak menolong Pangeran Yung Hwa.
Betapa bodohnya dia! Satu-satunya orang yang akan dapat dia paksa membebaskan Pangeran Yung Hwa hanyalah si gubernur sendiri. Dia harus menangkap Gubernur Kui Cu Kam dan memaksanya membebaskan Pangeran Yung Hwa! Dia sudah memperhitungkan bahayanya. Menurut penglihatannya kemarin dulu ketika terjadi pertempuran, yang patut dianggap lawan berat hanya beberapa orang, yaitu Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo serta beberapa orang panglima pengawal saja. Bahkan baginya, hanya dua orang ltulah yang merupakan lawan yang cukup tangguh, namun dia yakin akan dapat mengatasi mereka berdua. Yang dikhawatirkan hanya kalau semua pasukan dikerahkan.
Tentu saja tidak mungkin dia dapat meng-hadapi pengeroyokan ratusan orang pasukan, apalagi di dalam istana yang asing baginya. Kalau sampai demikian halnya, tentu akan gagal usahanya menangkap gubernur itu. Yang penting adalah menyelundup dan diam-diam menangkap gubernur itu, karena kalau gubernur itu sudah ditawannya, tentu yang lain-lain akan mundur teratur. Juga dia akan membawa pula gubernur yang memberontak itu sebagai tawanan ke kota raja! Dengan keputusan hati yang bulat ini Kian Lee lalu melayang naik ke atas wuwungan istana, mendekam karena khawatir kalau-kalau di atas genteng terdapat penjaga-penjaga pula. Ternyata dugaannya betul. Akan tetapi hanya terdapat dua orang yang menjaga di menara untuk mengamati keamanan di atas genteng-genteng.
"Aku harus merobohkan mereka dulu, baru dapat bergerak dengan leluasa mencari kamar gubernur,"
Pikir Kian Lee. Bagaikan seekor kucing saja, dia bergerak-gerak di atas genteng tanpa mengeluarkan suara, menghampiri tempat pejagaan di menara itu, sedikit pun tidak diketahui oleh dua orang penjaga yang sedang bercakap-cakap.
"Ahhh, kenapa kita masih harus melakukan penjagaan yang begini ketat? sampai-sampai semua atap harus diawasi seolah-olah ada musuh yang akan terbang ke sini,"
Seorang di antara mereka mengeluh.
"Ah, siapa tahu!"
Bantah orang ke dua.
"Semenjak utusan Kaisar itu datang dan pulang, kita harus berjaga-jaga karena sudah pasti fihak Ho-pei tidak mau tinggal diam begitu saja. Demikian yang kudengar dari para perwira."
Kian Lee yang sudah siap untuk menerjang itu menunda gerakannya dan merasa makin heran. Dua orang ini sedang bercakap-cakap tanpa paksaan dia, akan tetapi toh mereka menyatakan bahwa utusan kaisar sudah pulang.
Bagaimana ini? Benarkah Pangeran Yung Hwa tidak menjadi tawanan Gubernur Ho-nan? Dua orang itu kini membalikkan tubuh untuk memeriksa keadaan di sekeliling mereka dan pada saat itu Kian Lee meloncat dan dua kali tangannya bergerak, dua orang penjaga itu roboh pingsan karena tengkuk mereka kena disambar oleh jari tangan Kian Lee. Cepat pendekar ini menotok mereka sehingga untuk waktu yang agak lama mereka akan lumpuh dan menyumpal mulut mereka dengan robekan baju mereka sendiri kemudian dia berloncatan di atas genteng mencari-cari kamar gubernur. Selagi dia mencari-cari dan mengintai, tiba-tiba dia mendengar suara ketawa yang mengejutkan hatinya. Suara ketawa macam itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki khikang tinggi dan amat kuat!
Suara itu bergema dan menggetarkan genteng yang diinjaknya, kemudian dia mendengar suara orang bercakap-cakap dari arah datangnya suara ketawa itu. Dengan hati tertarik dan amat hati-hati karena dia tahu bahwa ada orang pandai di bawah sana, Kian Lee lalu menghampiri tempat itu dan mendekam di atas genteng lalu mengintai ke bawah. Akan tetapi, berbeda dengan ruangan-ruangan lain, ruangan di bawah ini ternyata rapat dan di bawah genteng itu terdapat langit-langit sehingga dia tidak dapat melihat ke dalam ruangan. Kian Lee mendongkol sekali karena kini dia merasa yakin bahwa sang gubernur yang dicari-cari itu berada di bawah genteng ini! Hal ini dapat dia ketahui karena suara yang besar dan mengandung tenaga khikang amat kuat, agaknya suara orang yang tertawa tadi, berkata dengan nyaring.
"Percayalah, Kui-taijin, semua akan berjalan dengan baik menurut rencana!"
Kemudian mendengar langkah kaki yang berat sekali, seperti gajah berjalan, dan suara itu terdengar lagi,
"Harap Taijin beristirahat dan besok kita sambung lagi perundingan kita."
Kian Lee cepat melayang turun dari atas genteng, bersembunyi di balik dinding dan mengintai.
Dilihatnya seorang laki-laki yang tubuhnya amat besar, seperti raksasa, kepalanya botak dan besar sekali, keluar dari ruangan itu. Raksasa ini sukar ditaksir usianya, akan tetapi tentu sudah lebih dari setengah abad, sungguhpun tubuhnya besar sekali namun gerak-geriknya lemas dan gesit, pakaiannya mewah dengan memakai sehelai jubah mantel berwarna merah dan sepatunya memakai tapal baja. Langkahnya lebar dan tetap, kadang-kadang mengeluarkan bunyi seperti seekor gajah lari, kadang-kadang tidak berbunyi sama sekali seperti seekor harimau melangkah. Sebentar saja kakek ini lenyap dan diam-diam Kian Lee menarik napas panjang. Orang itu jelas merupakan lawan yang amat tangguh, taksirnya. Akan tetapi karena yang dicarinya berada di kamar itu, dia tidak mempedulikan lagi kakek raksasa itu, dan mengintai dari jendela.
Ruangan itu luas, merupakan ruangan perundingan agaknya, dengan banyak kursi dan meja yang panjang besar. Hatinya girang bukan main ketika dia melihat sang gubernur kini duduk seorang diri di sudut ruangan itu, di atas kursi dan menghadapi sebuah meja, agaknya sedang menuliskan sesuatu di atas buku yang terletak di atas meja, di depannya. Inilah kesempatan yang baik, pikir Kian Lee. Lebih baik dia cepat turun tangan sebelum ada penga-wal datang. Dengan gerakan kilat, Kian Lee menerobos melalui pintu dari mana kakek raksasa tadi keluar dan sedetik kemudian dia telah berdiri di tengah ruangan itu, memandang kepada Gubernur Kui Cu Kam yang masih duduk di atas kursi. Akan tetapi, tiba-tiba gubernur itu menoleh, memandang kepadanya dan tiba-tiba kursi yang diduduki gubernur itu berikut. mejanya amblas ke dalam lantai!
"Heiiiii!"
Kian Lee terkejut dan meloncat, akan tetapi ketika dia tiba di sudut tempat itu, meja dan kursi berikut sang gubernur telah lenyap dan lantai itu telah tertutup kembali! "Ha-ha-ha-ha!"
Suara ketawa yang menggetarkan seluruh ruangan itu terdengar dan ketika Kian Lee menengok, ternyata kakek botak raksasa itu telah berdiri di ambang pintu, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang dan perutnya yang besar bergoncang-goncang ketika dia tertawa. Mengertilah Kian Lee bahwa dia telah tertipu, maka dengan marah dia lalu meloncat ke depan, menggerakkan kedua tangannya mendorong kakek raksasa itu sambil membentak,
"Pergilah!"
Kian Lee adalah seorang pemuda yang berwatak halus dan dia sama sekali tidak mau membunuh orang begitu saja. Dia tidak mengenal kakek ini, sungguhpun dia tahu bahwa kakek ini adalah kaki tangan Gubernur Ho-nan yang agaknya tadi telah mengetahui akan kedatangannya dan mengatur siasat untuk menjebaknya di ruangan itu. Maka ketika dia menyerang untuk meloloskan diri,
Dia hanya menggunakan setengah tenaga sinkangnya karena dianggapnya itu sudah cukup dan agar jangan sampai dia melukai orang yang membahayakan keselamatan orang itu. Kakek itu dengan kedua kaki masih terpentang lebar, agaknya memandang rendah kepada pukulan kedua tangan pemuda itu. Buktinya, dia sama sekali tidak mengelak dari pukulan itu, juga tidak menangkis, melainkan juga menggerakkan kedua tangannya menyambut dengan pukulan telapak tangan yang didorongkan. Kian Lee terkejut sekali. Dia mengenal keampuhan pukulannya sendiri yang dilakukan dengan tenaga Swat-im-sin-kang, yaitu Tenaga Sakti Inti Es yang amat ampuh, tenaga sakti dari, ayahnya, yang dilatihnya di Pulau Es. Karena dia tidak ingin mencelakakan orang, maka kembali dia mengurangi tenaganya dengan agak menahan pukulan kedua tangannya yang mendorong itu.
"Desssss....!"
Akibat benturan dua pasang telapak tangan itu, tubuh Kian Lee terjengkang dan terlempar sampai jauh ke dalam ruangan itu!
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
Kakek raksasa itu tertawa bergelak, suara ketawanya menggetarkan ruangan dan tadi ketika bertemu tenaga sakti, tubuhnya hanya bergoyang sedikit saja! Dan pada saat itu, kelihatan dua orang menubruknya dan mereka ini bukan lain adalah Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo! Kiranya dua orang ini juga sudah bersembunyi di balik pintu-pintu rahasia dan begitu melihat dia terjengkang dan bergulingan, mereka kini menubruk dengan serangan maut mereka. Mauw Siauw Mo-li menggunakan pedangnya yang bersinar hijau itu menusuk ke arah dadanya, sedangkan Honan Ciu-lo-mo menggunakan guci arak menghantam ke arah kepalanya! Akan tetapi biarpun tubuhnya terlempar dan bergulingan, Kian Lee sama sekali tidak terluka.
Kalau dia terpental, hal itu hanyalah karena dia hanya menggunakan tenaganya sedikit saja, hanya kurang dari setengahnya dan ternyata, di luar dugaannya, kakek botak raksasa itu benar-benar lihai bukan main! Kiranya kalau dia tadi mengerahkan seluruh tenaganya, baru dia akan dapat menandingi kakek itu! Betapa bodohnya! Dengan ginkangnya yang amat hebat, yang hanya kalah oleh ilmu mujijat ayahnya yang disebut Gerakan Angin dan Petir, yaitu gerakan khas ayahnya sebagai seorang pendekar kaki tunggal yang terkenal sebagai Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Kian Lee menggerakkan tubuhnya melesat dari bawah sehingga hanya nampak bayangan berkelebat dan dua serangan maut itu hanya mengenai tempat kosong! Nyaris dia celaka, pikirnya dan karena tahu bahwa usahanya gagal sama sekali, tubuhnya mencelat lagi ke arah daun jendela yang masih tertutup.
"Brakkk!"
Daun jendela pecah kena terjangan tubuhnya dan terdengar pekik kesakitan ketika empat orang pengawal di luar jendela itu kena diterjang pula oleh kaki Kian Lee sehingga mereka terpental dan terguling-guling. Kiranya di luar ruangan itu telah menanti banyak sekali pengawal! Kian Lee tidak mau membuang waktu lebih lama lagi. Sebelum kakek raksasa yang lihai bersama dua orang lihai tadi keluar, dia sudah meloncat ke atas genteng dan melarikan diri. Teriakan disusul sambaran anak panah sama sekali tidak ada artinya bagi Kian Lee yang melarikan diri secepatnya. Untung bahwa kakek raksasa itu, mungkin karena tubuhnya yang terlalu berat dan besar, tidak memiliki ginkang yang terlalu tinggi sehingga tidak mengejarnya. Di antara mereka, yang ginkangnya paling lihai adalah Mauw Siauw Mo-li,
Akan tetapi wanita ini agaknya tidak berani mengejar sendirian karena dia pun maklum bahwa pemuda itu luar biasa sekali dan amatlah berbahaya kalau dia berhadapan seorang diri saja melawan pemuda itu. Sambil melarikan diri, Kian Lee merasa heran dan menduga-duga siapa adanya kakek yang lihai itu. Ketika terjadi keributan tempo hari, dia tidak melihat kakek itu dan andaikata pada waktu itu terdapat kakek itu di pihak Gubernur Ho-nan, agaknya dia tidak akan dapat lolos dengan selamat, juga Gubernur Ho-pei dan Cui Lan tidak akan dapat lolos demikian mudahnya. Tentu saja pemuda ini tidak mengenal kakek raksasa itu, bahkan seluruh tokoh dunia kang-ouw agaknya juga tidak ada yang mengenalnya, kecuali mereka yang pernah pergi ke negeri Nepal, jauh di barat, di sebelah selatan Pegunungan Himalaya.
Kakek ini adalah utusan dari negeri Nepal dan selain utusan, juga dia adalah seorang yang berpangkat tinggi di negeri itu, yaitu sebagai kok-su (guru negara). Selain berkedudukan tinggi dan dipercaya oleh Raja Nepal, kakek ini memiliki kepandaian yang hebat, karena dia masih peranakan Han dan dahulu di waktu mudanya dia memperoleh pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi dan setelah dia merantau ke Nepal dia dapat meraih kedudukan tinggi berkat kepandaian-nya itu. Ketika mendengar betapa pemberontakan dua orang Pangeran Liong yang gagal itu mengakibatkan kemunduran sinar kekuasaan Kaisar Kang Hsi yang sudah tua, maka Kerajaan Nepal yang tadinya juga menjadi negara taklukan atau lebih tepat lagi sebagai negara yang mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu),
Lalu berusaha mendekati daerah-daerah yang menentang kaisar untuk bersekutu! Untuk memberontak sendiri, Nepal merasa kurang kuat, akan tetapi kalau ada gubernur yang memberontak, mereka akan membonceng. Demikianlah, ketika mendengar akan sikap Gubernur Kui Cu Kam dari Propinsi Ho-nan yang kelihatan mulai menjauhkan diri dari pemerintah pusat, raja mengirim utusan untuk mendekatinya. Utusan itu adalah kakek itu, yang di timur mengaku berjuluk Ban-hwa Seng-jin. Nama ini memang sudah terkenal di wilayah Tiongkok bagian barat, dari Tibet sampai ke wilayah Secuan. Dan baru sekarang Ban-hwa Seng-jin membawa belasan orang pengawal pilihan yang menjadi pembantu-pembantunya untuk berkunjung ke Ho-nan dan kebetulan sekali dia mendengar akan keributan di gubernuran itu.
Tetapi Ban-hwa Seng-jin sedang mengadakan perundingan dengan Gubernur Kui, dia yang berilmu tinggi dapat mengetahui bahwa ada orang pandai datang mengintai, maka diam-diam dia lalu memberi isyarat kepada gubernur dan sang gubernur juga cepat membunyikan alat rahasia untuk memberi tahu kepada kepala pengawal. Kemudian diaturlah oleh Ban-hwa Seng-jin untuk menjebak musuh, akan tetapi ternyata pemuda yang lihai itu berhasil juga meloloskan diri. Cui Lan girang bukan main melihat Suma Kian Lee kembali dalam keadaan selamat, akan tetapi Gubernur Ho-pei dan Komandan Souw Kwe An kecewa melihat pemuda itu kembali seorang diri saja tanpa membawa Pangeran Yung Hwa.
"Bagaimana dengan Sang Pangeran?"
Gubernur Hok bertanya gelisah. Kian Lee lalu menceritakan pengalamannya ketika dia mendengar pengakuan para pengawal yang ditawannya dan juga percakapan antara dua orang penjaga yang semua menyatakan bahwa Pangeran Yung Hwa telah kembali ke kota raja pada keesokan harinya setelah terjadi keributan di dalam taman! Tentu saja dua orang pembesar itu menjadi terheran akan tetapi juga ragu-ragu untuk percaya berita itu.
"Sebaiknya kalau Souw-ciangkun cepat-cepat kembali ke kota raja,"
Kata gubernur itu,
"Kalau benar Pangeran telah kembali dengan selamat, syukurlah. Kalau belum, maka perlu cepat melaporkan kepada Kaisar agar dapat diambil tindakan terhadap Gubernur Ho-nan yang khianat itu!"
"Sebaiknya begitu,"
Kata Kian Lee.
"Dan saya akan mengantarkan Hok-taijin kembali ke Ho-pei. Perjalanan itu masih amat berbahaya karena saya menduga bahwa sebetulnya yang dijadikan sasaran oleh Gubernur Ho-nan adalah Paduka Gubernur."
Pembesar tua itu mengangguk dan menarik napas panjang.
"Kalau orang she Kui itu hanya mencoba untuk menawan atau membunuh aku, masih tidak mengapa karena memang dia bermaksud buruk terhadap Ho-pei di perbatasan. Akan tetapi kalau dia hendak memberontak, aku akan mengerahkan seluruh kekuatanku untuk menggempurnya!"
"Lalu bagaimana dengan Nona Phang?"
Tanya Souw-ciangkun yang bagaimanapun merasa berhutang budi kepada nona itu, karena kalau tidak ada bantuan nona itu, belum tentu dia masih hidup saat ini.
"Jangan Sam-wi memikirkan saya...."
Kata Cui Lan.
"Ah, mana bisa demikian? Engkau harus dilindungi juga karena engkau tentu dicari-cari oleh Gubernur Ho-nan setelah mereka semua tahu bahwa aku lolos oleh bantuanmu. Kalau kau suka, kau ikut bersamaku, Nona. Engkau.... kalau kau.... suka aku akan mengangkatmu sebagai anakku, anak angkatku!"
Ucapan ini keluar dengan suara yang sungguh-sungguh, bahkan sepasang mata orang tua itu berlinang air mata. Melihat ini, Cui Lan menunduk. Dia terharu sekali dan sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhirnya keluar juga suaranya yang lirih dan tergetar saking terharunya.
"Saya.... hanya seorang pelayan.... bagaimana mnungkin menerima penghormatan demikian besar? Menjadi puteri.... seorang gubernur....?"
"Nona Cui Lan! Cepat kau menghaturkan terima kasih kepada Gi-humu (Ayah Angkatmu). Engkau lebih dari pantas untuk menjadi seorang puteri gubernur, bahkan aku melihat engkau tidak kalah oleh puteri-puteri istana!"
Kata Kian Lee yang merasa girang sekali atas niat yang amat baik dari gubernur itu.
"Dan lagi, bukanlah engkau sendiri yang mengaku saya sebagai paman?"
Gubernur itu menggoda. Dengan air mata berlinang, Cui Lan tersenyum lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gubernur itu sambil berkata,
"Gi-hu...."
"Anakku! Cui Lan, kau anakku!"
Gubernur itu mengangkat bangun dara itu dan merangkulnya dengan girang. Souw-ciangkun juga girang sekali dan cepat dia menjura bersama Kian Lee, mengucapkan selamat kepada ayah dan anak itu yang dibalas dengan gembira pula oleh Gubernur Hok dan Cui Lan. Kemudian komandan pasukan pengawal istana itu berpamit dan meninggalkan tempat itu untuk cepat kembali ke kota raja. Biarpun perjalanan ke kota raja melalui Propinsi Ho-pei pula. akan tetapi demi keselamatan mereka sendiri, mereka melakukan perjalanan terpisah karena gubernur itu harus tetap melakukan penyamaran sebelum mereka keluar dari wilayah Propinsi Ho-nan. Kian Lee lalu mengawal Gubernur Hok Thian Ki dan Phang Cui Lan dengan hati-hati.
Dia maklum bahwa tentu Gubernur Ho-nan tidak akan berhenti demikian saja dan terus mengerahkan anak buahnya untuk mencari musuhnya itu. Dan dugaan ini memang benar karena pada hari itu juga, menjelang senja, ketika Kian Lee meninggalkan dua orang itu di dalam hutan dan dia sendiri menyelidiki keadaan, dia melihat sepasukan pengawal gubernur dipimpin oleh Perwira Su Kiat lewat di dekat hutan itu! Maka terpaksa dia melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, melewati hutan-hutan dan gunung-gunung sehingga perjalanan keluar dari Propinsi Ho-nan itu makan waktu jauh lebih lama daripada kalau menggunakan perjalanan biasa. Biarpun masih muda, usianya baru sekitar dua puluh dua tahun, namun Suma Kian Lee adalah seorang yang telah mengalami banyak hal-hal yang hebat.
Sejak berusia tujuh belas tahun dia sudah meninggalkan Pulau Es bersama adiknya, Suma Kian Bu, dan mengalami banyak hal sampai akhirnya dia disuruh pulang ke Pulau Es oleh ayahnya untuk memperdalam ilmu kepandaiannya (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Dan kini dalam perjalanannya mencari adiknya yang selama itu belum pernah pulang ke Pulau Es, dia juga mengalami hal-hal hebat, bahkan nyaris nyawanya berakhir di terowongan air! Maka kini dia dapat melakukan pengawalan dengan baik dan teliti terhadap dua orang yang terhormat dan disuka itu, yaitu Hok Thian Ki Gubernur Ho-pei dan Phang Cui Lan, gadis cantik yang biarpun lemah tak berkepandaian silat, namun sesungguhnya memiliki jiwa yang gagah, penuh keberanian, kecerdikan, dan kebijaksanaan itu. Mereka telah melakukan perjalanan tiga hari, perjalanan yang lambat namun aman, ketika mereka tiba di tepi sungai yang mengalir ke timur.
"Lebih baik kita mengambil jalan melalui sungai, tidak terlalu melelahkan Cui Lan,"
Usul Gubernur Hok.
"Apalagi saya rasa, di sekitar perbatasan antara Ho-nan dan Ho-pei tentu penuh dengan pasukan yang menjaga. Melalui sungai ini, kita akan memasuki daerah Propinsi Shan-tung, kemudian dari situ kita ke barat memasuki Propinsi Ho-pei. Selain lebih aman, juga tidak terlalu melelahkan."
Sebetulnya Kian Lee kurang setuju karena bagi seorang ahli silat seperti dia, di darat merupakan daerah yang leluasa dan aman baginya kalau menghadapi bahaya, tidak seperti kalau di air. Akan tetapi dia memang melihat Gubernur Hok dan Cui Lan sudah amat lelah melakukan perjalanan kaki itu, sungguhpun dara itu sama sekali tidak pernah mengeluh. Maka dia menerima usul ini dan mereka lalu membeli sebuah perahu yang cukup besar, yang ada biliknya untuk berteduh, dari seorang nelayan sungai. Perjalanan dengan perahu memang mengasyikkan dan memang kakek dan gadis itu dapat melepaskan kelelahan mereka. Pula, karena per jalanan mereka menurutkan aliran air sungai, maka juga tidak perlu mendayung,
Hanya mengemudikan perahu saja yang tidak makan banyak tenaga. Baru berlayar setengah hari saja Gubernur Hok telah mulai memancing ikan dengan alat pancing yang di belinya dari nelayan, sedang Cui Lan juga memasak air sambil bersenandung! Benar juga usul Hok-taijin, pikir Kian Lee. Biarpun perjalanan menjadi memutar, keluar timur melalui propinsi atau wilayah perbatasan dengan Shan-tung, namun tidak melelahkan dan kalau sudah tiba di wilayah Ho-pei, tentu pembesar setempat akan dapat. menyediakan kereta untuk gubernur dan anak angkatnya itu. Malam itu mereka menginap di sebuah dusun di tepi sungai dan dalam ke-sempatan ini, Cui Lan berbelanja bahan makanan untuk dimasak di atas perahu. Kemudian, pagi-pagi sekali mereka sudah kembali di perahu mereka.
Akan tetapi betapa kagetnya hati mereka ketika melihat seorang kakek tua yang bertubuh kate kecil bersama tujuh orang laki-Iaki yang kelihatan gagah, kasar dan menyeramkan telah berdiri di dekat perahu mereka itu. Kian Lee yang seperti juga Hok-taijin dan Cui Lan telah menyamar, memakai pakaian seperti nelayan, cepat mendekati mereka dan siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Pandang matanya yang tajam dan dapat melihat bahwa kakek kate kecil ini bukan sembarang orang melainkan orang yang biasa mengandalkan tenaga dan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka. Namun dia bersikap tenang dan pura-pura tidak tahu akan kedatangan mereka, lalu membantu Hok-taijin dan Cui Lan memasuki perahu dan dia sendiri mulai melepaskan tali perahu itu dari akar pohon di pantai.
"Eh, sobat, apakah ini perahumu?"
Tiba-tiba kakek tua kecil itu bertanya. Aneh sekali, orangnya kecil akan tetapi suaranya besar dan dalam. Matanya yang kecil sipit menatap wajah Kian Lee dengan tajam penuh perhatian. Kian Lee pura-pura kaget mendengar suara besar nyaring itu dan dia menengok, lalu mengangguk,
"Benar, Loya (Tuan Tua)."
"Kamu hendak berlayar ke mana?"
Tanya Si kakek, sedangkan tujuh orang laki-laki bertubuh kuat itu melirik ke dalam bilik perahu di mana Cui Lan sedang mengatur barang belanjaannya dan Hok-taijin pura-pura menggulung tali pancingnya, padahal kedua orang ini sudah berdebar penuh ketegangan karena mereka mengira bahwa delapan orang itu tentulah mata-mata dari Gubernur Ho-nan.
"Kami hendak ke hilir...."
"Bagus! Kami delapan orang juga mempunyai keperluan untuk cepat pergi ke hilir, maka kami akan nunut perahumu dan kami akan membayar mahal."
"Maaf, Loya. Kami bukan tukang perahu, kami nelayan-nelayan yang baru habis berbelanja dan...."
Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami tahu! Akan tetapi perahumu cukup besar untuk dapat memuat kami. Apakah kamu tidak bersedia menolong kami dengan bayaran mahal?"
"Hemmm, Twako, kenapa tidak dorong saja dia ke air?"
Seorang di antara mereka yang berkumis tebal berkata marah.
"Hushhh, jangan menggunakan kekarasan, Ang-kwi. Kita bukan di daerah sendiri!"
Kakek tua itu menegur Si Kumis Tebal yang disebut Setan Merah itu.
"Bagaimana, sobat? Apakah kamu masih juga menolak?"
Kian Lee memutar otaknya. Kalau dia menolak, jelas tentu akan terjadi keributan dengan mereka. Dia tidak takut, tetapi kalau dia merobohkan mereka, terutama kakek yang tentu lihai ini, berarti dia membuka rahasianya sebagai nelayan biasa dan hal ini akan menimbulkan kecurigaan. Masih baik kalau orang-orang ini tidak ada hubungannya dengan Gubernur Ho-nan, kalau mereka melapor, bisa celaka.
"Baiklah kalau memang Loya dan Cuwi sekalian mempunyai keperluan penting,"
Akhirnya dia berkata dan mengedipkan matanya kepada Cui Lan dan Hok-taijin.
Cui Lan lalu duduk di sudut dalam bilik itu, sebagian ditutupi oleh Hok-taijin yang diam-diam merasa khawatir sekali. Kakek tua itu memasuki bilik dan karena bilik itu sempit, hanya dia dan dua orang termasuk Si Kumis Tebal yang dapat ke bilik, sedangkan lima orang yang lain terpaksa duduk di luar bilik, di papan perahu. Kian Lee mengemudikan perahu ke tengah. Kalau sampai terjadi keributan, pikirnya, dan hal itu agaknya bukan tidak mungkin melihat sikap mereka dan pandang mata mereka yang penuh nafsu ke arah Cui Lan, sebaiknya dia merobohkan mereka di tengah sungai, jauh dari pantai sehingga tidak kelihatan oleh orang-orang lain. Si Kumis Tebal memang sejak tadi memandang kepada Cui Lan, secara terang-terangan tidak seperti teman-temannya yang lain. Kemudian dia memandang kepada Hok-taijin dan bertanya,
"Orang tua, apakah dia ini anakmu?"
Hok-taijin mengangguk dan bibirnya bergerak membenarkan.
"Hah, cantik sekali!"
"Dan dia itu mantuku,"
Kata pula Hok-taijin sambil menunjuk ke arah Kian Lee. Hal ini dia lakukan dengan harapan bahwa kalau mendengar anaknya telah menikah dan menjadi isteri orang lain, tentu Si Kumis Tebal itu akan merasa sungkan untuk menggoda.
Akan tetapi agaknya gubernur tua ini tidak tahu dengan siapa dia berhadapan! Dia berhadapan dengan segerombolan bajak sungai! Kakek kecil kate itu adalah seorang bajak sungai yang amat terkenal di sepanjang Sungai Huang-ho karena dia adalah Huang-ho Lo-cia yang amat ditakuti dan yang mempunyai banyak anak buah! Dia memakai julukan Lo-cia karena biarpun dia sudah tua, namun tubuhnya kecil seperti kanak-kanak, maka dia memakai julukan Lo-cia, tokoh dalam cerita Hong-sin-pong yang memang seorang manusia dewa yang bertubuh anak-anak, namun luar biasa lihainya itu. Dan tujuh orang itu adalah sebagian dari anak buahnya! Maka, Si Kumis Tebal berjuluk Setan Merah atau Ang-kwi itu menyeringai ketika Hok-taijin memperkenalkan Kian Lee. Dia memandang ke arah Kian Lee, lalu meludah di lantai perahu,
"Cuihhh! Mengapa setangkai mawar yang demikian indahnya hanya diberikan kepada seorang nelayan kotor?"
Katanya. Tentu saja Hoktaijin tidak berani berkata apa-apa lagi dan Cui Lan menjadi merah sekali mukanya merah saking marahnya mendengar penghinaan yang dilontarkan orang kasar itu kepada Kian Lee.
Tentu Kian Lee juga mendengar ini akan tetapi pemuda itu pura-pura tidak mendengar apa-apa. Melihat betapa Kian Lee tetap mengemudikan perahu dan mukanya tidak memperlihatkan suatu perasaan apa pun, diam-diam Cui Lan menjadi makin kagum kepada pemuda ini, juga kasihan. Pemuda itu adalah pelindungnya pada saat itu, juga pelindung Gubernur Ho-pei, maka boleh dibilang jiwa raganya dan jiwa raga ayah angkatnya itu berada di tangan Kian Lee. Kini pemuda itu sudah mengalami penghinaan luar biasa karena dia. Dia maklum bahwa kalau tidak karena dia, penghinaan semacam itu yang dilontarkan oleh seorang kasar seperti itu, tentu tidak akan didiamkan saja oleh pendekar sakti ini. Cui Lan lalu menuangkan secangkir teh dan keluar dari bilik menghampiri Kian Lee dengan cangkir air teh di tangan.
"Minumlah...."
Katanya halus sambil menyodorkan cangkir teh itu. Kian Lee tersenyum, menerima cangkir teh dan meminumnya. Tanpa menggerakkan bibir, terdengar dia berkata lirih sekali, hanya untuk telinga Cui Lan,
"Tenanglah dan jangan takut selama aku berada di sini."
Tiba-tiba Si Kumis Tebal bangkit berdiri dah dengan langkah gagah dia menghampiri Cui Lan yang masih berdiri di dekat Kien Lee. Mukanya yang merah itu seperti muka orang mabuk dan agaknya muka inilah yang membuat dia dijuluki Ang-kwi (Setan Merah) dan agaknya dia merupakan pembantu yang penting juga dari Huang-ho Lu-cia karena di antara tujuh orang pengikut kakek pendek kecil itu, dialah yang nampaknya paling berani.
"Eh, Manis, kami juga minta secangkir teh! Tidak patut kalau fihak tuan rumah minum sendiri sedangkan tamu-tamu tidak disuguhi. Harganya berapa akan kami bayar, dan kalau dijual dengan orangnya sekalipun akan kubayar tunai, Manis! Heh-heh!"
Teman-temannya tertawa mendengar ini dan sikap teman-temannya ini membuat Si Kumis Tebal makin berani.
"Berapa harga secangkir tehmu, Manis? Berapa harga sebuah ciuman di mulutmu itu? Dan berapa harga semalam? Ha-ha-ha!"
"Sobat, harap jangan mengganggu dia!"
Kian Lee berkata dan Cui Lan makin mepet kepada Kian Lee untuk minta perlindungan.
"Siapa menggoda siapa!"
Si Kumis Tebal mengejek dan tangannya yang besar dan lengannya yang panjang bergerak, jari-jari tangannya dengan kurang ajar hendak mencubit pinggul Cui Lan. Dara ini menjerit dan Kian Lee menggerakkan tangan, tidak tampak oleh orang di situ saking cepatnya dan tahu-tahu Si Kumis Tebal berteriak dan tubuhnya terjungkal keluar dari perahu.
"Byuuuuurrrrr....!"
Air mucrat tinggi dan Si Kumis Tebal gelagapan, akan tetapi sebagai seorang bajak sungai tentu saja dia pandai renang dan cepat dia telah menguasai diri, memegang pinggiran perahu.
"He, kenapa Si Ang-kwi....?"
Orang-orang berteriak.
"Keparat, kau berani pukul aku?"
Teriak Ang-kwi yang sudah merangkak naik ke dalam perahu.
"Siapa yang pukul?"
Kian Lee bertanya, tersenyum.
"Kau berdiri tidak benar, terpeleset dan jatuh sendiri bilang suamiku yang pukul. Tak tahu malu!"
Cui Lan juga berkata. Teman-teman Ang-kwi tertawa, akan tetapi Ang-kwi masih marah dan me-lompat tinggi hendak menghajar Kian Lee. Akan tetapi pada saat itu terdengar kakek kecil itu berseru,
"Jangan ribut! Lihat di depan itu!"
Tujuh orang anak buahnya memandang ke depan dan melihat tiga buah perahu meluncur dari samping menghadang mereka, akan tetapi masing-masing perahu hanya didayung oleh seorang laki-laki. Melihat perahu-perahu itu dan pendayung tunggalnya, tiba-tiba tujuh orang itu bersorak. Mereka mengenal perahu-perahu mereka itu.
"Ha, itu perahu kita sendiri!" "Lebih enak daripada perahu sempit ini!"
"Kita pindah saja!"
"Akan tetapi wanita itu baik kita bawa saja!"
Kata Ang-kwai. Hok-taijin yang sudah mempelajari cara mengemudikan perahu dari Kian Lee, atas isyarat Kian Lee cepat pergi mendekati pemuda itu, menggantikan Kian Lee memegang kemudi perahu sedangkan Kian Lee sendiri lalu memberi isyarat kepada Cui Lan agar dara ini memasuki bilik yang sudah kosong karena semua orang itu telah keluar dari bilik dan berdiri di kepala perahu. Setelah Cui Lan memasuki bilik, Kian Lee duduk di depan bilik menjaga! Setelah tiga buah perahu itu berdekatan, mereka berloncatan ke atas perahu-perahu itu. Akan tetapi alangkah terkejut hati mereka ketika dari dalam bilik-bilik tiga buah perahu itu bermun-culan wanita-wanita cantik yang menyambut mereka dengan pedang di tangan!
"Heiii...."
"Celaka....!"
"Kita terjebak!"
"Lawan mereka! Mereka itu adalah orang-orang Hek-eng-pang!"
Teriak Huang-ho Lo-cia dan dia sendiri lalu meloncat ke sebuah di antara tiga perahu itu untuk menghadapi pimpinan wanita-wanita Hek-eng-pang itu yang bersenjata siang-kiam (sepasang pedang). Kakek ini sudah melolos joan-pian dari pinggangnya, dengan senjata ini dia menerjang wanita itu yang menyambut dengan siang-kiamnya. Kiranya mereka itu memang benar adalah orang-orang Hek-eng-pang, dan wanita yang memegang siang-kiam itu bukan lain adalah Kim-hi Nio-cu, kepala dari Pasukan Air.
Tiga buah perahu itu adalah perahu-perahu milik bajak sungai anak buah Huang-ho Lo-cia yang mereka rampas. Hal ini merupakan pembalasan mereka karena beberapa hari yang lalu dua orang anggauta Hek-eng-pang menjadi korban pembajakan anak buah Huang-ho Lo-cia, bahkan mereka itu selain dirampas senjata dan barang-barangnya, juga telah diperkosa oleh beberapa orang anak buah Huang-ho Lo-cia. Karena itu, kini mereka datang untuk membikin pembalasan, merampas perahu, membunuh beberapa orang bajak, memaksa tiga orang bajak mendayung perahu mereka dan mereka menghadang kedatangan Huang-ho Lo-cia dan tujuh orang pembantunya! Setiap perahu itu ternyata ditumpangi oleh lima orang wanita Hek-eng-pang dan karena wanita-wanita itu juga memiliki kepandaian lumayan,
Maka untuk menghadapi setiap orang bajak cukup dilayani oleh seorang di antara mereka, sedangkan yang lain-lain lalu menyerbu dan berloncatan ke perahu Kian Lee! Melihat Kia Lee duduk di depan bilik perahu, mereka lalu menyerang, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika dorongandorongan tangan pemuda itu demikian kuatnya sehingga angin dorongannya saja sudah membuat dua orang di antara mereka terlempar ke dalam air! Sementara itu, pertandingan berlangsung dengan seru dan ternyata bahwa para anggauta bajak itu tidak kuat menahan gerakan lawan mereka yang semua terdiri dari wanita-wanita itu. Seorang demi seorang terlempar ke sungai dan mereka tidak mampu mengganggu perahuperahu itu karena lawan mereka juga mengejar dengan terjun ke air dan menyerang mereka.
Kiranya, permainan di air dari wanita-wanita itu pun hebat, tidak kalah oleh para anggauta bajak! Hal ini tidaklah mengherankan karena mereka itu adalah anggauta-anggauta Hek-eng-pang bagian Pasukan Air yang tentu saja terlatih baik untuk berkelahi di air! Kini hanya tinggal kakek kecil tua itulah yang masih melawan. Kim-hi Niocu harus mengakui keunggulan kakek ini dan biarpun tadi dia dibantu oleh empat orang anggautanya, namun empat orang itu terpaksa mundur dan terluka karena senjata joan-pian di tangan kakek itu hebat juga. Gerakannya cepat dan joan-pian yang merupakan senjata lemas (ruyung lemas) itu menyambar-nyambar seperti ular. Kim-hi Nio-cu terus terdesak hebat, bahkan pahanya telah kena dilecut ujung joan-pian sehingga celananya robek dan kulit pahanya yang putih terluka mengeluarkan darah.
"Pangcu.... harap bantu....!"
Akhirnya Kim-hi Nio-cu menjerit dan tersingkaplah tirai di perahu itu dan sebuah kepala seorang wanita berusia lima puluh tahun akan tetapi cantik. Kim-hi Niocu melompat ke belakang dan dengan sikap tenang nenek cantik itu keluar dari bilik perahu, tangan kirinya memegang sebatang ranting yang-liu yang masih hijau segar, masih ada daun-daunnya yang kecil runcing.
"Ehm, agaknya Huang-ho Lo-cia sendiri yang muncul!"
Tanya nenek itu sambil memandang dan menggerak-gerakkan ranting itu di depan mukanya yang masih cantik. Sementara itu melihat betapa anak buahnya telah terlempar ke air dan kini masih dikejar oleh wanita-wanita itu, Huang-ho Lo-cia menjadi marah. Dia memandang nenek itu dan biarpun belum pernah melihat wajahnya, namun dia menduga bahwa tentu nenek itulah yang terkenal sebagai ketua Hek-eng-pang dan dia membentak.
"Dan engkau tentu Hek-eng-pangcu?"
Nenek itu tersenyum mengejek dan mengangguk.
"Engkau memang berhadapan dengan Yang-liu Nio-nio!"
Katanya dan kembali ranting yang-liu (semacam cemara) itu dipakai membelai mukanya.
"Hek-eng-pangcu! Apa sebabnya engkau dan anak buahmu yang berada di Gunung Cemara, yang tidak pernah ada urusan dengan kami, hari ini merampas perahu dan menyerang kami? Apakah kalian tidak mengenal lagi sopan santun dan setia kawan antar golongan kangouw dan liok-lim?"
"Bajak tua, kau masih belum menyadari dosa sendiri? Anak buahmu mengandalkan banyak orang telah mengeroyok dua orang anak buahku, tidak hanya merampas barang milik mereka akan tetapi juga telah memperkosanya dan menghina mereka! Untuk itu, dalam sehari harus ada dua nyawa anak buahmu yang menebusnya. Sudah lewat empat hari, maka kami telah mencabut nyawa delapan anak buahmu dan merampas perahu. Kebetulan sekarang kita berhadapan, hayo kau lekas berlutut dan minta ampun kepadaku, mengangguk-angguk tiga belas kali baru aku mau mengampuni nyawa tikusmu!"
Bukan main marahnya kakek kecil itu. Dia memang sudah mendengar akan perbuatan anak buahnya itu dan dia sudah menghukum anak buahnya yang bersangkutan, yang dianggap melakukan perbuatan lancang, berani mengganggu anggauta Hek-eng-pang yang berarti mengganggu orang segolongan dan mencari permusuhan. Akan tetapi, dua orang wanita Hek-eng-pang masih menghinanya dan menuntut agar dia berlutut dan minta ampun. Ini benar-benar merupakan penghinaan yang luar biasa.
"Hek-eng-pangcu, sungguh engkau keterlaluan!"
Bentaknya dan joan-pian di tangannya sudah bergerak cepat, mengeluarkan bunyi meledak dan menyambar ke arah kepala nenek itu.
"Plak-tak-tak-takkk!"
Joan-pian itu tiga kali terpental oleh tangkisan ranting cemara yang kecil itu! Huang-ho Locia terkejut bukan main. Hanya sebatang ranting kecil lemas, namun telah dapat membuat joan-pian di tangannya terpental! Akan tetapi karena sudah tersudut, dia berlaku nekat dan sambil mengeluarkan suara bentakan nyaring dia menubruk, mengirim serangan yang dahsyat.
"Trak-trak-desssss....!"
Cepat sekali gerakan ranting yang-liu di tangan nenek itu setelah menangkis dua kali, tangan kanannya menghantam dengan jari terbuka dan tepat mengenai dada kakek kate itu sehingga kakek ketua bajak itu terjengkang di atas papan perahu. Dia merasa dadanya panas sekali dan dari mulutnya tampak darah segar mengalir melalui pinggir bibirnya.
"Hemmm, kami sudah membunuh delapan orang-orangmu, itu sudah cukup dan tepat untuk waktu empat hari. Empat kali dua nyawa, karena itu kami tidak membunuhmu, hanya memberi pelajaran agar kelak kalian tidak lancang berani mengganggu Hek-eng-pang. Nah, pergilah!"
Kaki nenek itu menendang dan tubuh kakek kate itu terlempar ke air! Para anggauta Hek-eng-pang yang kini sudah naik ke perahu setelah menghajar babak-belur tujuh orang pembantu Huangho Lo-cia, kini tertawa terkekeh-kekeh, mentertawakan kakek itu yang dengan susah payah karena terluka, berenang ke tepi menyusul anak buahnya.
"Pangcu, di perahu itu terdapat seorang yang telah merobohkan banyak teman kita,"' Kim-hi Nio-cu berkata sambil menuding ke arah perahu Kian Lee yang kini sudah dikepung atau dihadang oleh tiga orang perahu itu. Tadi Kimhi Nio-cu sendiri sudah meloncat ke perahu itu, akan tetapi ketika dia menyerang Kian Lee dengan pedangnya, pemuda itu menangkis dengan dayung perahu dan sekali tangkis saja Kim-hi Nio-cu terkejut dan jerih, maka begitu melihat ketuanya yang juga menjadi gurunya itu telah mengalahkan kepala bajak, dia lalu melaporkan kepada nenek yang lihai itu.
"Ehhh....?"
Si nenek berseru dengan alis berkerut, kemudian kedua kakinya yang kecil mengenjot tubuhnya dan mencelatlah tubuhnya itu ke atas perahu Kian Lee.
Ketika kedua kakinya turun ke atas papan perahu, sedikit pun tidak terjadi guncangan sehingga pemuda Pulau Es ini maklum bahwa nenek itu memang memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian para bajak dan para wanita Hek-engpang yang tadi menyerbu ke perahunya. Maka dia bersikap waspada dan cepat bangkit berdiri ketika melihat nenek itu berdiri di perahunya, namun sikapnya tetap tenang. Ketika nenek itu melihat bahwa yang berada di perahu itu hanya seorang kakek nelayan, seorang nelayan muda dan seorang wanita yang kelihatan ketakutan dan bersembunyi di dalam bilik perahu, hanya si nelayan muda yang berdiri menghadapinya dengan sikap bodoh dan tenang, dia maklum bahwa mereka ini bukanlah anggauta bajak dan bahwa mungkin tadi perahu mereka ini dipakai oleh para bajak dan mereka dipaksa oleh Huang-ho Lo-cia, Maka dia memandang rendah.
"Nelayan, apakah ini perahumu?"
Tanyanya dengan suara bernada halus karena melihat bahwa tiga orang itu adalah orang-orang biasa saja.
"Benar,"
Jawab Kian Lee dan si nenek mulai merasa tidak senang akan sikap Kian Lee yang dianggapnya terlalu tenang dan terlalu berani, tidak lekas-lekas berlutut minta ampun kepadanya.
"Kami bukan perampok atau bajak,"
Kata si nenek lagi,
"Harap kau jangan khawatir. Akan tetapi kami memerlukan perahumu ini karena perahu kami yang tiga buah itu terlalu kecil. Mari antarkan kami sampai ke kaki Gunung Cemara, dan kami akan memberi upah selayaknya."
Kian Lee maklum bahwa biarpun mereka ini bukan bajak, namun dibandingkan dengan para bajak tadi mereka ini mungkin lebih berbahaya lagi! Maka dia menggeleng kepala dan berkata,
"Satu kali saja kami membawa orang-orang tadi dan kami menemui kesukaran. Tidak, kami mau melanjutkan perjalanan kami sendiri, harap kalian tidak mengganggu kami."
Nenek itu memandang dan matanya berkilat. Belum pernah dia dibantah orang, apalagi yang membantahnya hanya seorang nelayan biasa saja! Akan tetapi untuk langsung turun tangan terhadap seorang nelayan juga dia merasa enggan dan hal itu amat merendahkan dirinya.
"Jangan banyak membantah, orang muda. Aku melihat engkau seorang nelayan yang masih muda dan baik. Kalau kau tidak mau mengantarkan kami, terpaksa aku akan memaksa kalian bertiga meninggalkan perahu ini sekarang juga seperti yang telah dilakukan oleh para bajak tadi. Nah, pikir baik-baik. Bukankan lebih baik mengantarkan kami dan menerima upah selayaknya?"
Akan tetapi Kian Lee, seorang pendekar yang tidak biasa mengalah dan merendahkan diri terhadap siapapun juga, yang tidak pernah merasa takut, saat itu lupa bahwa dia harus mengalah demi keselamatan Cui Lan dan Gubernur Hok. Dia merasa betapa dia dipandang rendah sekali, maka dia tetap menggeleng kepala. Nenek itu mulai penasaran.
"Kau tetap membantah? Kalau begitu, biarlah kau terjun ke air dan biar nelayan tua itu yang mengantar kami!"
Sambil berkata demikian tangannya bergerak mendorong ke arah Kian Lee. Tentu saja dia tidak menggunakan tenaga terlalu keras karena bukan maksudnya untuk melukai seorang nelayan, hanya untuk menakut-nakutinya saja. Kalau nelayan itu sudah terlempar ke air, tentu akan tobat dan akan suka mengantarkannya.
"Plak!"
Kian Lee menangkis dan nenek itu terkejut bukan main. Tangkisan itu membuat lengannya bergetar! Maklumlah dia mengapa tadi Kim-hi Niocu melaporkan bahwa nelayan ini sudah merobohkan beberapa orang anak buahnya. Kiranya ada "isinya"
Juga pemuda ini, pikirnya. Akan tetapi tetap saja dia memandang rendah dan mengira bahwa pemuda itu hanya seorang nelayan yang pernah memperoleh bimbingan seorang ahli silat maka mempunyai sedikit kemampuan.
"Berani kamu melawanku? Nah, terimalah ini!"
Sekarang dia menyerang dengan tangan kanannya, mendorong ke arah dada Kian Lee, akan tetapi juga hanya mengerahkan separuh tenaganya saja karena dia tetap belum berniat membunuhnya. Kian Lee melihat serangan ini dan dia pun mendorongkan tangannya memapaki.
"Desss....! Eihhhhh....!"
Hek-eng-pangcu yang berjuluk Yang-liu Nio-nio itu menjerit kaget ketika dia terhuyung ke belakang dan hanya dengan berjungkir-balik saja dia mampu menghindarkan tubuhnya terjengkang. Matanya terbelalak dan kemudian menyipit ketika dia memandang kepada Kian Lee penuh perhatian. Mukanya menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Dia yang terkenal sekali dan ditakuti banyak orang kang-ouw, yang tadi dengan amat mudahnya membuat kepala bajak Huangho Lo-cia yang tersohor itu roboh dalam satu gebrakan saja, kini dibuat terhuyung oleh seorang nelayan muda! Dengan suara mendesis seperti seekor ular marah, nenek itu lalu membentak,
"Bocah, kau sudah bosan hidup!"
Kini dia menyerang benar-benar! Ranting yang-liu di tangannya, yang amat ampuh dan yang membuat dia dijuluki Yang-liu Nio-nio kini bergerak, berubah menjadi sinar hijau menyambar ke arah kepala Kian Lee.
Pemuda itu maklum bahwa biarpun hanya merupakan sebatang ranting yang-liu namun kalau digerakkan dengan pengerahan sinkang yang kuat dapat menjadi senjata yang ampuh, cepat mengelak. Lima kali berturut-turut sinar hijau itu menyambar-nyambar ke arah kepalanya dan selalu dapat dielakkan dengan baik oleh Kian Lee. Tiba-tiba tangan kanan nenek itu memukul dadanya dari depan, sekali ini dengan pengerahan tenaga sepenuhnya karena dia kini benar-benar ingin membunuh pemuda yang telah membikin malu padanya, membuatnya terhuyung tadi. Kian Lee juga memapakinya dengan tangan kiri, mengerahkan sinkang Swat-im Sin-kang yang amat dahsyat itu, tentu saja dengan mengendalikan tenaganya karena dia pun tidak ingin membunuh orang.
"Desssss....!"
Kini tubuh nenek itu benar-benar terjengkang di atas papan perahu dan dengan mata terbelalak mulutnya mendesis-desis dan tubuhnya menggigil karena dia diserang hawa dingin yang menusuk tulang. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Yang-liu Nio-nio. Dia memandang ke arah Kian Lee dengan mata terbelalak.
"Sssss.... siapa engkau....?"
Tanyanya karena kini dia sadar bahwa nelayan muda itu benar-benar seorang yang amat hebat kepandaiannya, dan dia terheran-heran mengapa orang sehebat ini datang bersama kawanan bajak tadi. Dia khawatir sekali kalau-kalau pemuda ini kawan dari bajak-bajak tadi dan tentu akan membalas dendam.
"Aku? Aku adalah seorang nelayan, engkau sudah mengetahuinya, Toanio,"
Katanya. Tiba-tiba Yang-liu Nio-nio memberi isyarat dengan tangannya dan Kim-hi Nio-cu mengeluarkan suara melengking. Itulah isyarat untuk anak buahnya dan dengan pimpinan dia sendiri, Kim-hi Niocu dan anak buah atau pasukannya itu meloncat terjun ke air. Kian Lee terkejut ketika merasa betapa perahu yang ditumpangi itu bergerak-gerak dan Cui Lan menjerit ngeri.
"Heh-heh-heh, orang muda yang aneh!"
Hek-eng-pangcu berkata.
"Bagaimana sekarang, apakah engkau masih hendak berkeras, dan tidak mau menyerah? Kalau begitu, kami akan menenggelamkan perahumu!"
Nenek itu meloncat ke perahunya sendiri.
"Tahan!"
Kian Lee terpaksa berseru. Dia sendiri tidak takut menghadapi mereka di air sekali pun. Akan tetapi Cui Lan dan Gubernur Hok tentu akan celaka karena mereka tidak pandai renang. Pula, kalau dia melindungi mereka berdua di air sambil menghadapi pengeroyokan orang-orang Hek-eng-pang itu, rasanya berat. juga dan amat membahayakan keselamatan Cui Lan dan Hok-taijin.
"Baiklah, aku menyerah."
"Suruh nelayan tua dan nona itu pindah ke perahu sini dulu!"
Nenek yang cerdik itu membentak.
Dia memang dapat menduga bahwa pemuda hebat itu hanya mau menyerah karena mengkhawatirkan keselamatan dara muda dan kakek yang kelihatan lemah itu. Kian Lee terpaksa mengangguk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin karena di atas sungai itu tidak ada lain jalan. Hanya menyerah sajalah yang paling aman. Mereka itu tentu tidak akan mengganggu Cui Lan dan Hok-taijin selama dia tidak melawan, karena yang mereka butuhkan hanya perahu itu saja. Cui Lan dan Hoktaijin lalu meninggalkan perahu itu dan pindah ke perahu si nenek. Betapapun juga, Cui Lan bersikap tenang karena yang menawannya adalah wanita-wanita, bukan laki-laki kasar seperti para bajak tadi. Empat orang anggauta Hek-engpang, dipimpin oleh Kim-hi Nio-cu sendiri lalu berlompatan ke atas perahu Kian Lee setelah melihat bahwa dua orang kawan pemuda itu berpindah perahu.
"Mari berangkat!"
Nenek itu berseru dan bergeraklah empat buah perahu itu meluncur ke depan dengan cepatnya. Kim-hi Nio-cu mendekati Kian Lee yang memegang kemudi perahu. Sambil tersenyum manis kepala Pasukan Air yang cantik itu menatap wajah Kian Lee dengan penuh kagum. Seorang nelayan muda yang demikian tampan dan gagah, memiliki kepandaian hebat sehingga mampu menandingi ketua atau gurunya, benar-benar sukar ditemukan di dunia ini!
Melihat wanita cantik berusia tiga puluh tahun yang berpakaian serba hitam yang pakaiannya basah kuyup sehingga pakaian itu melekat di tubuhnya memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh yang sedang masak-masaknya, Kian Lee mengalihkan pandang matanya, tidak mau melihat bentuk tubuh yang agaknya sengaja dipamerkan padanya itu. Melihat ini, Kimhi Nio-cu tersenyum lebar, kemudian terkekeh geli karena dia menganggap sikap Kian Lee itu sikap seorang muda yang masih hijau dan yang malu-malu. Padahal pemuda itu sudah mempunyai isteri! Kemudian dia teringat bahwa isteri pemuda itu berada di perahu lain maka dia menganggap bahwa sikap Kian Lee itu tentu karena marah dan khawatir akan nasib isterinya.
Kisah Sepasang Rajawali Eps 53 Kisah Sepasang Rajawali Eps 13 Kisah Sepasang Rajawali Eps 59