Kisah Sepasang Rajawali 13
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
"Nona Ceng...."
"Tak usah nona-nonaan. Aku biasa disebut Ceng Ceng."
"Hemm.... Ceng Ceng, apakah kau tidak lapar?"
Tanya Tek Hoat tanpa menoleh.
"Tentu saja."
"Nah, ini ada sisa ayam panggang...."
"Aku tak sudi makan sisamu!"
"Kalau, begitu, ikan ini kau boleh ambil dan bakar."
Tanpa menoleh Tek Hoat menyerahkan ikan itu yang diterima oleh Ceng Ceng dan tak lama kemudian Ceng Ceng sudah memanggang daging ikan yang gemuk dan makan dengan lahapnya tanpa menawarkannya kepada Tek Hoat. Hari mulai gelap, senja telah mendatang.
"Kita harus pergi mencari majikan...."
"Apa? Siapa kau maksudkan?"
"Siapa lagi kalau bukan Puteri Syanti Dewi?"
"Tek Hoat, kau jangan sembarangan omong, dan aku bukanlah pelayannya. Mengerti?"
Tek Hoat mengangguk-angguk dan merasa girang. Tidak keliru dia mengalah kepada gadis liar ini, kiranya sudah diaku sebagai adik angkat. Kalau dia membunuhnya, tentu sukar baginya untuk berbaik dengan Syanti Dewi.
"Kau tergila-gila kepada kakakku, ya?"
Tek Hoat terkejut, akan tetapi hanya mengangguk. Dia masih duduk membelakangi Ceng Ceng.
"Wah, tidak enak benar begini! Masa aku bicara dengan.... pinggul saja?"
Tek Hoat tersenyum akan tetapi menahan gelak tawanya.
"Habis bagaimana? Aku tidak berani melanggar sumpah."
"Wah, kau menghadap ke sini dan memejamkan mata, masa tidak bisa?" "Lebih tidak enak lagi buat aku, terus memejamkan mata, masa seperti orang buta."
"Kalau begitu, tutup saja dengan saputangan."
"Saputanganku sudah kau bawa."
Terpaksa Ceng Ceng memberikan saputangannya sendiri yang berbau harum. Tek Hoat menerimanya, menutupkan saputangan itu di depan matanya dan mengikatkan kedua ujung di belakang kepala, kemudian membalik menghadapi Ceng Ceng. Gadis itu tersenyum lebar menutupi mulutnya. Lucu sekali, seperti anak kecil bermain-main!
"Ceng Ceng, kau mengatakan aku tergila-gila kepada kakakmu? Memang, bukan tergila-gila, melainkan aku.... aku jatuh cinta kepadanya."
"Hemm, bagus! Betapapun juga, engkau bukan pemuda yang buruk rupa dan masih muda lagi. Daripada kakakku itu menikah dengan Pangeran Liong Khi Ong yang kabarnya sudah hampir lima puluh tahun usianya, lebih baik menikah denganmu."
"Benarkah?"
Tek Hoat bertanya girang.
"Ya. Dan aku suka membantumu agar enciku suka kepadamu, asal saja engkau tidak melanggar sumpahmu. Kalau kau melanggar, tidak saja engkau tidak dapat berkenalan dengan enci Syanti Dewi, malah engkau akan mampus di waktu usiamu masih muda. Sayang, kan?"
Kembali dia tersenyum dan menutupi mulutnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Tek Hoat dapat melihatnya dari balik saputangan sutera yang tipis itu! Akan tetapi pemuda inipun tidak berani memandang langsung, takut akan sumpah.
"Hari telah malam, tidak mungkin kita mencari enci Syanti. Malam ini gelap tidak ada bulan. Lalu bagaimana kita akan melewatkan malam?"
"Tak jauh dari sini, di tepi sungai ini terdapat sebuah kuil tua yang kosong. Kita dapat bermalam di situ dan tempat itu memang tidak jauh dari Sungai Nu-kiang. Besok pagi-pagi, kita mencari lagi, mendengar-dengarkan, mungkin ada nelayan yang tahu bagaimana nasib encimu itu."
Lega hati Ceng Ceng.
"Kalau begitu, mari kita ke kuil."
Dia bangkit berdiri dan pergi.
"Haii, bagaimana aku bisa berjalan kalau mataku ditutup begini?"
Ceng Ceng tersenyum.
"Bodoh, kalau begitu mengapa tidak dibuka?"
"Kalau dibuka, mana bisa jalan bersama? Aku tidak mau berjalan dengan mata terpejam, salah-salah bisa terjatuh ke dalam sungai!"
Ceng Ceng tertegun dan bingung.
"Habis bagaimana?"
"Kecuali kalau kau sudi menuntun...."
Karena hari sudah hampir gelap dan hutan itu kelihatannya menakutkan, terpaksa Ceng Ceng menyambar tangan pemuda itu dan menuntunnya.
"Ke mana jalan?"
Dia bertanya.
"Terus saja menurutkan aliran sungai ini,"
Jawab Tek Hoat yang diam-diam merasa geli dan juga bangga bahwa kini dia dapat membalas. Sesungguhnya dia dapat melihat melalui saputangan tipis itu, akan tetapi biarlah, biar gadis itu tahu rasa, pikirnya. Betapapun juga, gadis yang liar dan galak ini ternyata cukup baik, mau menuntunnya. Mereka tiba di kuil kosong. Karena ruangan yang merupakan kamar tertutup hanya sebuah, maka Ceng Ceng berkata,
"Aku tidur di sini dan biar kau tidur di mana sesukamu asal jangan di kamar ini."
Berkata demikian dia lalu menutupkan daun pintu. Perbuatan ini sia-sia saja karena biar pintu ditutup, jendela di kamar itu melongo tanpa daun! Lalu dia membuat api unggun dan tidak memperdulikan lagi kepada Tek Hoat. Pemuda ini luar biasa, pikirnya. Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan kalau pemuda ini berwatak jahat, sukar untuk melawannya. Dan dia.... agak aneh rasanya.
Mengapa hatinya tidak enak mendengar pengakuan pemuda itu yang mencinta Syanti Dewi? Mengapa dia tidak puas? Mengapa dia tadi merasa jantungnya berdebar-debar ketika tangannya menggandeng tangan Tek Hoat? Seolah-olah ada getaran dari tangan itu yang menyentuh hatinya, menimbulkan rasa girang yang luar biasa. Mengapa? Celaka, jangan-jangan dia telah jatuh hati seperti yang hanya dikenalnya dalam cerita dongeng! Itukah cinta? Memang pemuda itu cukup segala-galanya untuk menjatuhkan hati seorang gadis, memang patut dicinta. Betapa tidak? Tampan, gagah perkasa, lucu dan pandai mengalah, biarpun agak kasar, akan tetapi buktinya tidak suka melakukan pelanggaran susila. Wah, jangan-jangan aku jatuh cinta kepadanya, bisik Ceng Ceng sebelum tidur.
Menjelang tengah malam dia terbangun karena mimpi ditelanjangi oleh Tek Hoat! Ditelanjangi selagi dia sadar dan anehnya, dia diam saja. Setelah kelihatan pemuda itu hendak merabanya dan hendak memeluknya, barulah dia meronta dan terbangun! Bulu tengkuknya berdiri. Kalau tadi bukan mimpi, melainkan sungguh-sungguh terjadi, tentu dia akan membunuh pemuda itu! Atau, kalau dia kalah, dia akan melawan mati-matian, kalau perlu mempertaruhkan nyawa untuk membela kehormatan-nya. Bedebah! Dia memaki pemuda itu akan tetapi segera teringat bahwa yang dikalahkan pemuda itu hanya dalam mimpi saja! Mungkin kenyataannya tidak demikian, buktinya Tek Hoat juga tidak melakukan sesuatu terhadap dirinya. Tiba-tiba dia bangkit duduk. Terdengar suling ditiup orang amat merdu dan indahnya. Akan tetapi hanya lapat-lapat terdengar, agaknya dari jauh.
Ceng Ceng membereskan rambut dan pakaiannya, kemudian meloncat keluar melalui jendela. Biarpun tidak ada bulan malam itu, namun langit bersih terhias bintang sejuta, cukup memberi cahaya penerangan di permukaan bumi. Dia melangkah dengan hati-hati, mencari-cari, akan tetapi ternyata Tek Hoat tidak berada di kuil itu! Ke mana perginya pemuda itu? Buntalannyapun tidak nampak. Ceng Ceng mulai bergidik. Ngeri dia memikirkan bahwa dia ditinggal sendirian saja di kuil tua itu. Kuil yang biasanya dalam dongeng kalau sudah kosong dan kuno begitu selalu dihuni oleh siluman-siluman! Cepat dia keluar dari kuil dan mendengar suara suling lapat-lapat dari depan, dia lalu melangkah maju menuju ke arah suara itu. Tak lama kemudian dia sudah mengintai dari balik pohon, memandang ke arah Tek Hoat yang berdiri di tepi sungai besar.
Sungai Nu-kiang! Kiranya dia telah berada di tepi sungai itu, di mana anak sungai dari hutan memuntahkan airnya ke situ dan di tepi sungai tampak Tek Hoat yang tadi meniup suling. Kini pemuda itu sudah berhenti meniup suling dan menyelipkan kembali sulingnya. Yang menarik perhatian Ceng Ceng adalah sebuah perahu besar yang bergerak mendekat pantai di mana pemuda itu berdiri, sebuah perahu yang indah dan mewah, dan tampak diterangi lampu-lampu sehingga dia melihat beberapa orang berpakaian tentara mengiringkan seorang berpangkat tinggi yang mewah pakaiannya ke pinggir perahu. Ceng Ceng mengintai penuh perhatian dan memasang pendengarannya agar dapat mendengarkan apa yang akan terjadi. Dia melihat Tek Hoat memberi hormat kepada pembesar itu dari pantai sambil berkata,
"Maafkan, hamba tidak sempat melapor karena hamba tidak dapat meninggalkan gadis itu sebelum dia tidur."
"Hemm, Ang Tek Hoat, ceritakan semua yang terjadi. Kami sudah mendengar akan lenyapnya puteri itu, akan tetapi belum jelas bagaimana. Apa saja yang telah kau lakukan selama melakukan tugas yang diperintahkan saudara tua kami Liong Bin Ong?"
"Rombongan penjemput puteri itu telah berhasil dihancurkan oleh Tambolon, dan puteri itu bersama pelayannya yang sudah diangkat saudara, berhasil meloloskan diri, akan tetapi hamba terus membayangi mereka. Bahkan hamba telah berhasil mengajak mereka naik perahu hamba...."
"Bagus! Bagaimana puteri itu? Benarkah amat cantik?"
Tanya pembesar itu.
"Memang cantik jelita seperti bidadari, dan paduka beruntung sekali...."
"Aahhh, sayang sekali dia harus dikorbankan demi cita-cita,"
Orang setengah tua itu menghela napas.
"Akan tetapi, kalau semuanya berhasil dia akan tetap menjadi selirku! Aku Liong Khi Ong bukanlah orang yang suka menyia-nyiakan waktu.... eh, Tek Hoat, lalu bagaimana? Di mana dia?"
"Harap paduka sudi memaafkan hamba. Terjadi kecelakaan, perahu bertabrakan dan terguling. Hamba berhasil menyelamatkan adik angkatnya akan tetapi belum berhasil menemukan Puteri Syanti Dewi...."
"Hahh? Bodoh! Habis bagaimana? Celaka, jangan-jangan dia terjatuh ke tangan orang-orangnya kaisar!"
"Hamba akan mencarinya sampai dapat besok pagi, kalau andaikata dia terampas oleh orang lain, hamba akan merampasnya kembali, harap paduka jangan khawatir,"
Kata Tek Hoat.
"Hemm, baik. Apa perlu kau dibantu pasukan?"
"Tidak perlu, Ong-ya. Hamba lebih leluasa bekerja sendiri. Hamba tanggung akan bisa menemukan puteri itu, asal dia belum tewas."
"Bagus, kami akan menanti saja di kota raja, di sana masih banyak urusan dan kau harus cepat kembali, banyak tugas menantimu."
"Baik, Ong-ya...."
"Baik, Ong-ya...."
Tiba-tiba Ceng Ceng yang bengong terlongong itu terkejut karena mendengar suara berkeresekan di belakangnya. Dia menoleh dan melihat seorang laki-laki berpakaian hitam, berjenggot panjang berdiri tepat di belakangnya. Dia hampir berteriak dan membuka mulut.
"Eekkkeeekkk...."
Mulutnya telah dibungkam tangan kiri orang tua dan sebelum dia sempat melawan, pundaknya sudah ditotok dan dia roboh lemas dalam rangkulan orang itu.
"Ssstt, diam.... jangan bergerak.... aku bukan musuh melainkan sahabatmu dan sahabat Puteri Syanti Dewi...."
Setelah berkata demikian dan melihat Ceng Ceng mengangguk, orang itu menotok lagi dan Ceng Ceng terbebas. Dara ini terkejut dan heran. Demikian banyaknya orang pandai di sini. Pemuda itu lihai dan orang inipun hebat kepandaiannya! Dia memandang sejenak. Orang itu mukanya membayangkan kegagahan, matanya sipit seperti orang mengantuk, alisnya tebal kepalanya agak botak dan jenggotnya panjang, usianya tentu sudah ada lima puluh tahun, pakaiannya biasa saja seperti pakaian petani. Melihat orang itu memperhatikan ke depan, diapun lalu memandang lagi.
Kini tampak betapa pemuda itu berbisik-bisik di dekat perahu dengan si pembesar tinggi yang ternyata adalah Pangeran Liong Khi Ong, tunangan Syanti Dewi! Ceng Ceng berdebar-debar. Bingung dia dan diam-diam dia memaki-maki Tek Hoat. Kiranya pemuda itu adalah kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong! Akan tetapi apa artinya ini semua? Kalau dia kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong, mengapa dia bersikap begitu aneh, tidak bersama anggauta rombongan lainnya yang dipimpin oleh pengawal kaisar Tan Siong Khi? Mengapa bertindak secara rahasia? Dan apa pula artinya kata-kata pangeran itu bahwa Syanti Dewi terpaksa harus dikorbankan demi cita-cita? Ceng Ceng menjadi bingung dan tidak bergerak sama sekali, hanya melihat betapa Tek Hoat telah pergi dengan cepat menuju ke kuil kembali, sedangkan perahu mewah itupun bergerak ke tengah sungai.
"Cepat, mari pergi dari sini. Kalau dia kembali dan dapat menyusul kita, celaka. Kita berdua bukanlah lawannya,"
Bisik laki-laki setengah tua berjenggot panjang itu.
"Hemm, mengapa aku harus menurut kata-katamu? Siapa tahu bahwa kau lebih jahat lagi daripada dia?"
"Nona Lu, percayalah kepadaku. Mungkin kakekmu Lu Kiong belum pernah menyebut namaku, akan tetapi aku mengenal baik Lu-lo-enghiong bekas pengawal kaisar. Aku adalah rekan dari Tan Siong Khi. Aku sudah mendengar bahwa kakekmu gugur, dan aku hampir mengerti semuanya, kecuali beberapa hal."
"Apakah yang terjadi? Siapakah sebenarnya pemuda bernama Ang Tek Hoat itu?"
"Sstt, marilah kita segera pergi,"
Kakek itu mendesak.
"Tidak, sebelum kau menjawab pertanyaanku." "Dia seorang manusia luar biasa, ilmu kepandaiannya sangat tinggi...."
"Aku sudah tahu!"
"Tapi dia adalah pengawal Pangeran Liong Bin Ong, pangeran yang merencanakan pemberontakan. Bahkan pangeran itulah yang mengatur pencegatan rombongan sehingga kakekmu tewas. Pemuda itu tangan kanannya dan Pangeran Liong Khi Ong tadi menyalahgunakan niat baik kaisar yang menjadi kakaknya sendiri. Mereka itu demi cita-cita pemberontakan, tidak segan-segan melakukan kekejian, kalau perlu membunuh Puteri Syanti Dewi dan engkau."
"Ohhhh...."
"Marilah, nona. Demi keselamatanmu sendiri dan keselamatan Syanti Dewi."
Dengan hati penuh kengerian Ceng Ceng lalu mengikuti laki-laki itu melarikan diri. Dia percaya penuh karena bukankah dia sudah menyaksikan dan mendengarkan sendiri pertemuan dan percakapan antara Pangeran Liong Khi Ong dan Ang Tek Hoat? Kiranya pemuda itu seorang mata-mata pemberontak! Kiranya malah musuh dari kerajaan kaisar dan kerajaan Bhutan, hendak mencelakakan Syanti Dewi! Bahkan yang merencanakan pencegatan rombongan yang mengakibatkan terbunuhnya kakeknya, adalah para pemberontak itu! Dan dia sudah tertarik hatinya oleh Tek Hoat.
"Ahhhh....!" "Ada apa, nona Lu?"
Tanya kakek itu.
"Tidak apa-apa...."
Jawab Ceng Ceng karena yang terasa nyeri adalah jauh di dalam lubuk hatinya, bukan badannya. Setengah malam penuh mereka berjalan terus, melalui hutan-hutan dan pegunungan. Dalam perjalanan ini, kakek tadi menceritakan keadaan kerajaan yang diancam pemberontakan, dan memperkenalkan dirinya. Dia adalah seorang pe-ngawal kaisar pula, di bawah Tan Siong Khi dan bernama Souw Kee It. Dia bertugas untuk menyelidiki secara diam-diam keadaan rombongan itu.
Tentu saja dia tidak secepat Pendekar Super Sakti yang juga melawat ke Bhutan dan berhasil menolong Raja Bhutan, akan tetapl sebagai seorang penyelidik yang tahu akan keadaan negara, dia mempunyai pendengaran dan penciuman yang lebih tajam. Dia mendapatkan rahasia dari pemberontak yang menaruh tangan-tangan kotor ke dalam pencegatan itu, maklum bahwa raja liar Tambolon juga digerakkan oleh tangan kotor dari kota raja sendiri. Dia telah melihat pula sepak terjang Tek Hoat yang hebat, dan maklumlah dia bahwa dia bukan pula lawan pemuda itu. Maka ketika memperoleh kesempatan, dia mengajak lari Ceng Ceng. Mendengar semua penuturan ini, Ceng Ceng makin terheran-heran dan bingung. Tak disangkanya bahwa pernikahan Syanti Dewi akan membawa akibat sedemikian hebat dan peristiwa itu terlibat dengan pemberontakan yang ruwet.
"Bagaimana dengan enci Syanti Dewi?"
Tanyanya dengan khawatir.
"Sudah kuselidiki, nona. Kabarnya puteri itu juga tertolong secara ajaib oleh seorang nelayan tua yang tidak dikenal siapa sebenarnya. Cara menolongnya amat ajaib sehingga sukar aku mempercaya cerita mereka itu. Akan tetapi, laki-laki gagah yang menolongnya itu telah pergi bersama sang puteri. Sekarang yang saya ingin ketahui, ke manakah rencana nona dan sang puteri tadinya setelah terpaksa meninggalkan kakek Lu yang gugur?"
"Kakek meninggalkan pesan agar supaya kami pergi ke kota raja, minta perlindungan dan bantuan kepada Puteri Milana...."
Souw Kee It mengangguk-angguk.
"Memang tepat sekali pesan kakekmu. Akan tetapi beliau tidak tahu akan perubahan di kota raja. Kalau engkau dan Puteri Syanti Dewi sudah tiba di kota raja dan berada di tangan Puteri Milana, kiranya tidak ada setanpun yang berani mengganggu. Akan tetapi, justeru perjalanan menuju ke kota saja itulah yang amat sukar dan berbahaya. Kaki tangan mereka sudah disebar di mana-mana untuk menangkap kalian berdua."
"Ouhhh, habis bagaimana?"
"Harap nona jangan khawatir. Aku juga mempunyai teman-teman, dan nanti akan kita atur bagaimana membawa nona pergi ke timur dengan selamat. Akan tetapi, kurasa tidak tepat kalau sebelum bertemu dengan Puteri Syanti Dewi nona pergi ke kota raja, kalau kita berhasil sampai ke timur, lebih baik kalau nona untuk sementara berlindung di benteng yang dikuasai Jenderal Kao Liang di tapal batas utara ibu kota."
Hati Ceng Ceng agak lega mendengar bahwa Syanti Dewi juga tidak tewas dan telah tertolong orang pandai, sungguhpun dia bingung memikirkan mengapa begitu banyak orang pandai muncul? Siapakah penolong Syanti Dewi dan ke mana perginya kakak angkatnya itu? Dua hari kemudian, tibalah mereka di sebuah dusun dan di sini terdapat pasukan kaisar yang masih setia kepada kaisar. Souw Kee It lalu mendandani Ceng Ceng sebagai seorang pria, lengkap dengan kumis palsu sehingga andaikata Tek Hoat sendiri bertemu dengannya kiranya akan sulitlah untuk mengenalnya,
Demikian pendapat Ceng Ceng ketika dia memperhatikan wajahnya sendiri di depan cermin. Setelah membawa bekal secukupnya, Souw Kee It bersama Ceng Ceng, lalu menunggang kuda-kuda pilihan,
(Lanjut ke Jilid 13)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
melanjutkan perjalanan mereka ke timur. Kita tinggalkan dulu Ceng Ceng dengan pengawal kaisar Souw Kee It yang melakukan perjalanan amat jauh ke timur, dan mari kita mengikuti perjalanan Puteri Syanti Dewi. Secara kebetulan dan aneh sekali, Puteri Syanti Dewi tertolong oleh Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Pendekar ini sudah mengenyampingkan urusan dunia, hidup tenteram di antara rakyat kecil, kadang-kadang menjadi petani, kadang-kadang bercampur dengan para nelayan, selalu memilih tinggal di dusun-dusun yang dianggapnya tidak akan terjadi hal yang penting.
Sungguh di luar dugaannya bahwa hari itu dia terlibat dalam urusan yang amat besar, bukan hanya menyangkut urusan diri pribadi seorang gadis cantik, melainkan diri seorang puteri Raja Bhutan, bahkan menyangkut urusan kerajaan! Gak Bun Beng yang usianya sudah mendekati empat puluh tahun itu melakukan perjalanan dengan hati kadang-kadang berdebar keras. Benarkah yang dilakukannya ini, mengantarkan Syanti Dewi ke kota raja? Benarkah dia kalau kini dia akan menjumpai Milana? Sesungguhnya tidak benar dan amat berbahaya, seperti orang hendak membuka balutan luka yang amat parah, akan tetapi apa dayanya? Tidak mungkin dia membiarkan Syanti Dewi begitu saja setelah dia mengetahui siapa adanya gadis ini. Calon mantu kaisar! Dan terancam bahaya karena dikejar-kejar oleh mereka yang hendak menggagalkan perkawinan itu.
Apa boleh buat, demi gadis ini, dan terutama demi kesejahteraan negara, kerajaan kaisar dan Bhutan, dia harus menanggung semua itu, harus berani menghadapi resiko perjumpaannya dengan Puteri Milana! Perjalanan yang amat jauh itu dilakukan dengan hati-hati oleh Gak Bun Beng yang menjaga agar jangan sampai terjadi keributan di perjalanan. Dia sudah muak akan keributan dan permusuhan yang dibuat oleh manusia-manusia yang mengaku berkepandaian. Untuk menjaga agar perjalanan dapat dilalui dengan aman, dia menyamar sebagai seorang perantau yang baru pulang dari perantauannya ke Tibet, dan Syanti Dewi diakuinya sebagai anaknya. Agar tidak dicurigai orang, dia mengaku bahwa ibu Syanti Dewi seorang wanita Tibet dan memang Syanti Dewi selain pandai dalam bahasanya sendiri, yaitu Bahasa Bhutan, juga pandai berbahasa Tibet dan Bahasa Han.
Berpekan-pekan telah lewat tanpa ada peristiwa penting yang mengganggu perjalanan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi. Pada suatu hari, ketika mereka sedang berjalan melalui jalan raya kasar di lereng pegunungan, mereka berpapasan dengan serombongan pasukan yang terdiri dari kurang lebih seratus orang. Pasukan ini kelihatan letih dan banyak yang terluka, dan sekali pandang saja Gak Bun Beng dapat melihat bahwa mereka adalah Bangsa Han yang bercampur dengan orang-orang Mongol. Agaknya pasukan yang hanya tinggal sisanya dari suatu pertempuran yang merugikan fihak mereka. Diam-diam Gak Bun Beng terkejut. Apakah kini sudah timbul perang lagi? Ataukah hanya sisa-sisa pemberontak ataukah pemberontak baru yang sedang ditindas oleh pasukan pemerintah?
Dia tahu bahwa pemberontak Mongol yang amat hebat, yang dipimpin oleh Pangeran Galdan, telah dihancurkan oleh pasukan Kaisar Kang Hsi, bahkan kabarnya Galdan sendiri telah dibinasakan. Apakah sekarang Bangsa Mongol memberontak lagi, bergabung dengan orang Han yang masih merasa penasaran akan penjajahan Bangsa Mancu? Karena dilihatnya masih banyak rombongan-rombongan pasukan campuran itu lewat, Gak Bun Beng hendak menghindarkan keributan, maka dia mengajak Syanti Dewi untuk melalui jalan hutan. Untung bahwa rombongan pertama yang lewat tadi terlalu lelah dan terlalu tertekan batinnya untuk melakukan sesuatu, hanya mereka memandang tajam kepada Syanti Dewi saja, bahkan ada pula yang menyeringai, dan ada yang mengeluarkan kata-kata tak senonoh akan tetapi hanya sambil lalu. Dasar mereka harus mengalami keributan.
Ketika mereka melalui jalan sunyi, menyelinap-nyelinap di hutan tak jauh dari jalan raya itu, mereka bertemu dengan rombongan lain yang hanya terdiri dari belasan orang, akan tetapi rombongan ini semua duduk melepaskan lelah. Mereka terdiri dari tujuh orang Han dan delapan orang Mongol dan ada seorang Han dan empat orang Mongol sedang minum arak, agaknya untuk menghibur hati yang penasaran karena keka-lahan mereka. Melihat bahwa rombongan ini hanya lima belas orang, timbul niat di hati Gak Bun Beng untuk bertanya, maka dia mengajak Syanti Dewi untuk mendekat. Orang-orang itu memandang kepadanya dengan curiga, akan tetapi ada yang tersenyum lebar ketika melihat Syanti Dewi yang biarpun berpakaian sederhana seperti gadis dusun, namun kecantikannya masih menonjol.
"Maaf, laote,"
Kata Gak Bun Beng kepada seorang Han yang duduk bersandar pohon sambil menekuk lutut duduk pula dekat orang itu, diikuti oleh Syanti Dewi di belakangnya,
"bolehkah kami bertanya mengapa banyak pasukan yang mundur dan banyak yang terluka? Apa yang telah terjadi? Kami ayah dan anak dari Tibet hendak ke Se-cuan, akan tetapi kami khawatir melihat cu-wi terluka, seolah-olah ada perang di sana."
Orang itu yang mukanya dilindungi brewok, memandang kepada Gak Bun Beng kemudian melirik ke arah Syanti Dewi.
"Lebih baik kalian kembali ke barat."
"Ya, kembali saja bersama kami! Biar kami yang melindungi kalian!"
Teriak orang Han yang sedang minum arak bersama empat orang Mongol tadi.
"Kami mempunyai urusan penting sekali di timur, sobat,"
Kata Gak Bun Beng.
"Apakah yang terjadi di sana? Dan siapakah cu-wi?"
"Apakah tidak tahu bahwa kami adalah pendekar-pendekar sejati, patriot-patriot?"
Tiba-tiba orang berewok itu menjawab marah. Gak Bun Beng menggangguk-angguk.
"Ahh, kiranya laote dan cu-wi sekalian adalah pejuang-pejuang yang menentang penjajah, benarkah? Lalu, apa yang terjadi?"
Dipuji sedemikian, si brewok agak sabar, lalu menarik napas panjang.
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Si keparat Jenderal Kao Liang itu! Anjing penjilat kaki Mancu dia! Begitu dia datang meronda di bagian barat dan memimpin sendiri pasukan pembersihan, kita dipukul hancur!"
"Paman, kembalilah saja ke barat, dan sebelum anakmu itu diperebutkan anjing-anjing Mancu, lebih baik diberikan kepadaku!"
Orang Han yang minum arak, usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu berkata. Gak Bun Beng menahan kesabarannya.
"Apakah tentara pemerintah itu melakukan perbuatan jahat?"
"Siapa bilang tidak? Merampok, membunuh, menculik dan memperkosa! Dari-pada diperkosa oleh anjing-anjing Mancu dan para penghianat dan penjilat, lebih baik diberikan kepada kami agar menghibur kami para patriot. Dengan demikian, kau dan anakmu itu ikut berjasa untuk tanah air dan bangsa!"
Kata pula orang itu.
"Akur! Jumlah kita hanya lima belas orang, bisa dibagi rata. Marilah, manis, kau layanilah aku!"
Kata seorang Han yang lain yang berkumis panjang melintang. Gak Bun Beng bangkit berdiri sambil tersenyum.
"Kami tahu penderitaan dan perjuangan kalian, sobat-sobat. Akan tetapi anakku ini adalah pembantuku yang utama, seolah-olah tangan kananku sendiri, bagaimana bisa kuberikan kepada orang lain? Mana mungkin aku memberikan tangan kananku?"
"Ahhh, dasar kau pelit! Apakah kau hendak peluki anakmu sendiri? Tak tahu malu! Masa menolong dan meringankan penderitaan kaum pendekar dan pahlawan sedikit saja tidak mau?"
Mereka semua sudah bangkit berdiri dari mengurung. Syanti Dewi terkejut dan mukanya berubah pucat, kedua tangannya sudah dikepal untuk membela diri. Dan tidak hanya takut, akan tetapi juga marah sekali mendengar omongan yang kotor itu. Akan tetapi Gak Bun Beng tetap tenang dan sabar. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata,
"Bukan aku pelit, akan tetapi sungguh mati, kalau kalian memaksa hendak mengambil anakku, sama saja dengan kalian memaksa mengambil tangan kananku. Sebelum kalian mengambil anakku, biarlah kuberikan saja kedua tanganku. Hidup tanpa tangan kanan kepalang tanggung. Nah, siapa mau lebih dulu membuntungi kedua tanganku?"
Dia mengacungkan kedua tangannya ke atas.
"Ha-ha-ha! Orang sinting, tapi anaknya cantik manis sekali! Biar kupenuhi permintaannya!"
Teriak orang muda Han yang mabok itu sambil menghunus goloknya yang sudah berkarat karena darah orang dalam pertempuran.
"Baiklah, mari kau buntungi tangan kiriku lebih dulu!"
Bun Beng memberikan tangan kirinya. Golok itu menyambar, kuat sekali ke arah tangan kiri Gak Bun Beng yang diacungkan ke atas. Tangan itu tidak mengelak, malah memapaki golok.
"Krekkkk!"
Golokk itu patah-patah dan pemiliknya memandang gagang goloknya dengan mata terbelalak!
"Sayang, golokmu sudah berkarat dan rapuh!"
Gak Bun Beng berkata dengan suara biasa.
"Siapa lagi yang mempunyai senjata lebih tajam untuk membuntungi tanganku?"
"Biar kulakukan itu!"
Bentak seorang Han lainnya sambil meloncat maju, pedangnya menyambar tangan kanan Gak Bun Beng. Kembali pendekar sakti ini tidak mengelak, melainkan memapaki pedang itu dengan tangannya.
"Krak.... krakkk!"
"Hayaaa....!"
Si pemilik pedang terbelalak memandang gagang pedangnya yang hanya tinggal pendek saja itu karena pedangnya sendiri sudah patah-patah. Melihat ini, tiga belas orang lain serentak maju dengan senjata mereka yang bermacam-macam, ada tombak, golok, pedang dan toya. Gak Bun Beng membiarkan mereka mencabut semua senjata, kemudian dia meloncat ke depan dan menerima semua serangan dengan kedua tangan dan juga kakinya sambil mengerahkan sin-kangnya. Terdengar suara krak-krek-krak-krek disusul oleh teriakan si pemilik senjata dan dalam sekejap mata saja semua senjata milik dari lima belas orang itu sudah patah-patah semuanya.
"Ilmu siluman....!"
Terdengar seorang di antara mereka berteriak dan larilah mereka lintang pukang ketakutan, meninggalkan segala perbekalan yang tadi mereka taruh di atas tanah. Gak Bun Beng menghela napas, lalu menyambar guci arak yang ditinggal di situ, menenggak isinya sampai habis. Dilemparkannya guci kosong dan diusapnya mulut yang basah itu dengan ujung lengan bajunya. Dia kelihatan tidak senang sekali. Memang dia tidak senang karena terpaksa dia harus memperlihatkan kepandaiannya lagi setelah secara terpaksa dia mengeluarkan kepandaian itu ketika menyelamatkan Syanti Dewi.
"Gak-siok-siok...."
Syanti Dewi tahu-tahu telah berada di sampingnya dan menyentuh lengan pendekar itu karena diapun dapat merasakan betapa pendekar itu kelihatan tidak tenang, bahkan seperti orang berduka.
"Engkau banyak repot karena aku saja...."
Gak Bun Beng menoleh dan melihat wajah yang cantik dan agung itu menyuram, dia tersenyum dan mengelus kepala Syanti Dewi. Bukan main halusnya perasaan anak ini, pikirnya terharu.
"Tidak apa-apa, Dewi. Akupun hanya menakut-nakuti mereka saja. Marilah kita melanjutkan perjalanan."
"Akan tetapi di timur ada perang dan pertempuran, siok-siok."
"Bukan perang, hanya pasukan pemerintah mengadakan pembersihan terhadap sisa-sisa gerombolan pemberontak seperti mereka tadi."
"Akan tetapi, mendengar omongan mereka tadi, mereka bukanlah pemberontak, melainkan patriot-patriot yang berjuang untuk mengusir penjajah dari tanah air mereka."
Puteri itu membantah. Biarpun hanya seorang wanita, namun sebagai puteri raja tentu saja dia sudah banyak membaca kitab-kitab sejarah dan ketatanegaraan sehingga pengetahuannya agak luas daripada wanita-wanita terpelajar biasa. Gak Bun Beng menghela napas panjang. Ucapan puteri ini menyentuh perasaannya, perasaan muak terhadap ulah tingkah manusia dalam hidup ini, maka dengan suara bersemangat. Di luar kesadarannya dia berkata,
"Manusia di dunia ini siapakah yang tidak akan membenarkan dirinya sendiri? Pemerintah Mancu menganggap mereka pemberontak karena mereka melawan pemerintah yang syah dan menganggap diri sendiri sebagai penolong rakyat, sebaliknya mereka itu menganggap pemerintah sebagai penjajah laknat dan menganggap diri sendiri sebagai patriot. Namun keduanya tetap sama saja, tetap saja melakukan kekerasan dan kekejaman dengan dalih kebenaran masing-masing. Padahal, apa sih bedanya manusia? Dari kaisar, jenderal, pedagang, petani, si jembel sekalipun, hanya dibedakan oleh pakaian dan embel-embel di luar badan. Coba kumpulkan mereka semua, telanjangi mereka semua di dalam sebuah kandang, apa bedanya mereka dengan sekumpulan domba atau kuda? Manusia hanyalah mahluk biasa yang mempunyai kelebihan, inilah yang merusak hidup!"
Syanti Dewi mendengarkan dan memandang wajah pendekar itu dengan mata terbelalak. Baru satu kali ini selama hidupnya dia, mendengarkan pandangan orang tentang manusia seperti itu. Ada artinya yang mendalam, ada kesungguhan dan kebenarannya, akan tetapi juga lucu sekali. Kalau dibayangkan betapa seluruh manusia di dunia ini tidak berpakaian, tidak dihias segala benda-benda yang hanya menjadi pemisah dan penentu dari tingkat masing-masing, alangkah lucunya dan memang sukar membedakan mana raja mana jembel mana kaya mana miskin! Dia sendiripun tadinya seorang penghuni istana dan memakai pakaian puteri. Sekarang? Setelah berpakaian gadis petani seperti itu, siapa percaya bahwa dia seorang puteri? Apalagi kalau harus telanjang bersama seluruh manusia lain!
"Kau.... kau hebat, paman!"
Katanya lirih. Gak Bun Beng sadar lagi dan memegang tangan Syanti Dewi.
"Kau.... kau semuda ini, sudah dapat menangkap arti kata-kataku tadi?"
Syanti Dewi mengangguk, lalu mengangkat mukanya memandang wajah yang masih tampan dan gagah itu. Gak Bun Beng dahulunya memang seorang pemuda yang tampan, gagah, matanya mengeluarkan cahaya tajam, mulutnya terhias kumis kecil terpelihara rapi, demikian juga jenggotnya yang pendek saja. Pakaiannya sederhana, pakaian petani atau nelayan, namun bersih dan kuku-kuku tangannya terpelihara baik, giginya terawat.
"Paman Gak, di manakah adanya keluargamu?"
Gak Bun Beng terbelalak dan mengerutkan alisnya.
"Apa? Keluarga?"
"Ya, isteri dan anakmu...."
"Ah, mari kita cepat melanjutkan perjalanan, aku khawatir mereka datang lagi mengganggu."
Dia memegang tangan Syanti Dewi dan diajaknya dara itu pergi meninggalkan tempat itu. Sampai lama mereka berjalan menyusup-nyusup hutan karena Gak Bun Beng tidak ingin terganggu lagi oleh gerombolan pemberontak atau pejuang yang melarikan diri karena diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah yang kabarnya tadi dipimpin oleh Jenderal Kao Ling yang ditakuti. Beberapa kali Syanti Dewi menengok dan memandang wajah pendekar itu, namun Gak Bun Beng berjalan terus tanpa mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Syanti Dewi tidak dapat menahan hatinya.
"Paman Gak, di manakah isteri dan anak-anakmu?"
Sesungguhnya pertanyaan ini sejak tadi bergema di telinga Gak Bun Beng dan dia sengaja mengalihkan perhatian dan mengharapkan gadis itu lupa akan pertanyaannya yang terngiang-ngiang di telinga hatinya. Maka mendengar pengulangan pertanyaan ini, dia menahan napas sejenak untuk menekan perasaannya, baru dia menjawab tenang saja.
"Tidak ada."
"Ehhh....?"
Syanti Dewi terkejut.
"Aku tidak pernah mempunyai isteri atau anak, tidak mempunyai saudara, tidak ada orang tua lagi, aku sebatangkara di dunia,"
Kembali jawaban yang keluar dari mulut pendekar itu terdengar datar seolah-olah seorang nelayan membicarakan jalan atau pancingnya, biasa saja.
"Tapi.... tapi tidak mungkin itu, paman Gak!"
"Apa maksudmu, tidak mungkin? Mengapa harus tidak mungkin?"
"Seorang seperti paman ini.... eh, tidak mungkin tidak menikah! Paman, apakah tidak ada wanita di dunia ini yang mencintamu?"
Tanpa menengok Gak Bun Beng menggeleng kepala dan matanya memandang jauh ke depan.
"Hemm, mustahil! Dan apakah paman tidak ada mencinta seorangpun wanita di dunia ini?"
Gak Bun Beng tersenyum ketika menoleh dan melihat wajah puteri ini diliputi penasaran besar, bahkan seperti orang marah!
"Dewi, engkau kenapa? Aku tidak pernah memikirkan hal itu dan hidupku sudah cukup bahagia."
"Tidak masuk akal! Seorang pria seperti paman!"
"Hemm, hanya seperti aku ini, apa sih bedanya dengan orang lain?"
"Tidak sama sekali, jauh sekali bedanya! Pangeran-pangeran di Bhutan, bahkan orang berpangkat jauh di bawah pangeran dan orang berharta, mereka itu sedikitnya mempunyai tiga empat orang isteri! Padahal dibandingkan dengan paman, mereka itu tidak ada sekuku hitam paman!"
"Aihh, Dewi, aku seorang tua yang miskin tidak memiliki apa-apa, mana ada ingatan yang bukan-bukan?"
Gak Bun Beng berkata untuk menghibur diri karena percakapan ini tanpa disengaja oleh puteri itu telah menusuk-nusuk perasaannya, mengingatkan dia kepada Milana.
"Jangan paman berkata demikian. Siapa bilang paman sudah tua? Usia paman tidak akan lebih dari empat puluh tahun! Dan pangeran yang namanya Liong Khi Ong itu, yang akan mengawiniku, kabarnya malah berusia lima puluh tahun, dan aku berani bertaruh potong rambut bahwa dibandingkan dengan paman, dia itu bukan apa-apa!"
Gak Bun Beng berhenti melangkah dan memegang kedua tangan Syanti Dewi.
"Dewi, kuminta kepadamu, janganlah kau membicarakan urusan diriku. Aku minta dengan sangat, ya? Banyak hal yang pahit getir telah berlalu, pembicaraanmu hanya akan menggali segala kepahitan yang telah lewat itu saja."
Ucapan ini keluar dengan suara agak gemetar. Syanti Dewi mengangkat muka memandang dan melihat wajah penolongnya ini diliputi awan kedukaan, hatinya terharu dan dua titik air mata menetes seperti dua butir mutiara di atas kedua pipinya.
"Eh? Kau.... menangis?"
"Aku kasihan kepadamu, paman Gak."
Gak Bun Beng tersenyum dan menggunakan telunjuknya menghapus dua butir mutiara itu.
"Kau anak yang aneh! Kau memperlakukan aku seolah-olah aku ini seorang yang jauh lebih muda daripada engkau. Sudahlah, jangan membicarakan tentang diriku, tidak ada harganya dibicarakan. Sekarang aku ingin bicara tentang dirimu. Mengapa engkau membicarakan pribadi calon suamimu seperti itu? Agaknya engkau tidak suka kepadanya?"
"Hemm, tentu saja,"
Jawab Syanti Dewi ketika mereka melangkah lagi.
"Siapa orangnya suka dikawinkan dengan seorang kakek yang belum pernah dilihatnya selama hidupnya? Dia seorang pangeran, dan kulihat pangeran-pangeran di Bhutan hanyalah orang-orang yang berlomba mengejar kesenangan, tenggelam dalam kemewahan dan aku berani bertaruh bahwa Pangeran Liong Khi Ong itu tentu sudah mempunyai isteri sedikltnya selosin orang, apalagi usianya sudah lima puluh tahun. Aku tentu sudah gila kalau aku mengatakan suka kepadanya, paman Gak."
Gak Bun Beng tersenyum geli. Bukan main anak ini! Pandangannya selalu tepat, membayangkan pengetahuan luas dan pertimbangan yang masak, kata-katanya tepat mengenai sasaran dan perasaannya amat halus bukan main.
"Dewi, kalau kau memang tidak suka, kenapa kau mau?"
"Paman, masa paman tidak mengerti? Aku hanya bertugas di dalam perkawinan ini untuk menjadi paku utama dalam singgasana ayah."
"Eh....?"
"Aku kawin bukan karena cinta, melainkan kawin politik. Agar kedudukannya di Bhutan kuat apalagi dalam menghadapi pemberontakan Bangsa Mongol dan Tibet yang dipimpin oleh Tambolon, ayah mengorbankan aku untuk menjadi mantu kaisarmu di sana!"
Kedua pipi itu menjadi merah karena penasaran dan matanya yang indah bersinar-sinar. Gak Bun Beng mengangguk-angguk.
"Kau kan bisa menolak?"
"Aih, paman. Apa dayaku sebagai seorang puteri raja? Kalau aku menolak, andaikata aku bisa menolak, kemudian terjadi sesuatu yang bisa merobohkan kerajaan, bukankah namaku akan dicatat di dalam sejarah sebagai seorang anak yang paling durhaka terhadap orang tua, sebagai seorang puteri yang tidak dapat menjaga negaranya? Ahh, kalau saja aku hanya seorang gadis petani biasa, tentu tidak ada yang usil mulut!"
Gak Bun Beng maklum akan hal ini dan dia menghela napas panjang, merasa kasihan sekali kepada gadis ini, dan dia teringat pula akan nasib Milana yang juga menikah karena terpaksa oleh kaisar!
"Akan tetapi, sekarang engkau telah bebas, bukan? Engkau telah menjadi seorang gadis petani, bukan?"
"Apa gunanya? Tak mungkin aku menjadi begini terus. Setelah paman nanti menyerahkan aku ke istana, apa dayaku selain menurut dan menerima pernikahan itu dengan mata meram dan perasaan mati?"
"Kalau aku tidak menyerahkan engkau ke istana, bagaimana?"
Sepasang mata itu terbelalak.
"Benarkah, paman? Akan tetapi, tidak diserahkanpun aku tidak berdaya. Mana mungkin aku bisa hidup sendiri di dunia ini? Aku sudah terbiasa hidup keenakan di istana. Aihh, kalau saja ada adik Ceng Ceng.... tentu dia akan dapat mencarikan akal."
"Tenanglah, Dewi. Aku akan membawamu ke kota raja, akan tetapi aku menjamin bahwa tidak ada seorang iblispun akan dapat memaksamu menikah dengan siapapun yang tidak kau suka. Aku tidak akan membiarkan itu, Dewi."
Syanti Dewi memegang tangan kanan Gak Bun Beng yang terkepal itu erat-erat, membawa kepalan tangan itu ke depan hidungnya dan menciuminya sambil terisak. Di dalam diri penolongnya itu dia tidak hanya menemukan seorang penolong, akan tetapi juga seorang kawan baik, seorang yang menjadi pengganti ayah bundanya, seorang pelindung dan pembela yang dia percaya sepenuh hatinya, seorang yang menimbulkan kasih sayang di hatinya.
"Bangun....! Gak-siok-siok.... bangunlah....!"
Gak Bun Beng membuka matanya.
"Paman, lihat, ada pasukan tentara datang....!"
Gak Bun Beng mengeluh dan merasa kasihan sekali kepada dara itu. Baru saja mereka beristirahat di dalam rumah kosong yang rusak itu. Setelah membuat api unggun dan menyelimuti tubuh Syanti Dewi yang tidur di atas rumput kering, dia sendiri lalu duduk bersandar dinding rusak di dekat pintu, menjaga sambil beristirahat, dan diapun tertidur saking lelahnya. Baru saja tidur, belum ada sejam karena diapun belum pulas benar, sudah ada orang yang mengganggu. Dia bangkit dan berdiri, menggosok-gosok kedua matanya dan memandang keluar.
"Heiii....! Yang berada di dalam rumah kosong! Hayo kalian semua keluar!"
Terdengar teriakan seorang di antara para perajurit yang memegang obor. Obor itu besar sekali dan amat terang dan di atas sebuah tandu pikulan duduklah seorang panglima yang berpakaian lengkap dan gagah, pakaian perang, sikapnya gagah sekali mengingatkan Gak Bun Beng akan tokoh Kwan Kong di dalam cerita Sam Kok, seorang panglima perang yang jarang bertemu tanding saking gagah perkasanya.
"Tenanglah, Dewi, mari ikut aku keluar,"
Kata Gak Bun Beng dan dia menggandeng tangan dara itu, diajaknya keluar menghadap panglima itu.
"Suruh pergi mereka semua! Kalau mereka tidak menyembunyikan pemberontak, sudahlah, jangan ganggu penduduk di sekitar sini! Akan tetapi cari di rumah-rumah kosong, di guha-guha dan basmi semua pelarian pemberontak, barulah daerah ini akan aman. Kalian jangan terlalu malas, bekerja kepalang tanggung. Satu kali mengeluarkan tenaga hasilnya harus dapat dirasakan selama satu tahun! Tidak setiap hari mengalami gangguan terus!"
Beberapa orang panglima dan perwira yang mendengar perintah ini membungkuk-bungkuk dan kelihatannya mereka takut sekali kepada panglima gagah perkasa ini. Tiba-tiba panglima gagah perkasa ini memandang ke arah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi. Gak Bun Beng terkejut. Pandang mata itu menunjukkan bahwa jelas pembesar militer ini benar-benar bukan orang sembarangan, akan tetapi dia balas memandang dengan sikap tenang. Pembesar itu memberi isyarat dengan tangan dan seorang perajurlt menggapai kepada mereka sambil berkata,
"Heii, kalian berdua majulah menghadap tai-goanswe!"
Gak Bun Beng menarik tangan Syanti Dewi menghadap pembesar itu dan menjura dengan dalam-dalam, akan tetapi tidak berlutut karena dia ingin menguji watak pembesar ini.
"Hei, berlutut kalian!"
Bentak seorang perajurlt.
"Biarkan mereka!"
Jenderal besar (tai-goanswe) itu berkata, melambaikan tangan kepada Gak Bun Beng memberi isyarat agar mereka berdua maju. Sekali lagi pandang mata Jenderal itu memandang tajam penuh selidik, kemudian bertanya kepada Syanti Dewi dengan suara membentak dan tiba-tiba,
"Kau, wanita muda katakan, siapa namanya laki-laki ini?"
Tentu saja Syanti Dewi terkejut bukan main karena biasanya, dalam setiap urusan selalu Gak Bun Beng yang maju ke depan dan Gak Bun Beng yang melayani semua tanya jawab. Sekali ini, secara tiba-tiba jenderal yang kelihatan galak seperti seekor singa itu menanya kepadanya. Saking kagetnya, dia menjawab tanpa dapat dipikir lebih dulu secara otomatis,
"Namanya adalah Gak Bun Beng!"
Jenderal ini mengerutkan alisnya yang tebal, mengingat-ingat, kemudian dia meloncat turun menghadapi Gak Bun Beng. Tepat dugaan pendekar sakti ini, cara jenderal itu meloncat menunjukkan pula kemahiran ilmu silat tinggi, biarpun tubuhnya tegap tinggi besar namun gerakannya ringan sekali dan ketika kedua kakinya menginjak tanah, tidak mengeluarkan bunyi apa-apa seperti kaki kucing meloncat saja.
"Kau Si Jari Maut?"
Tiba-tiba jenderal itu membentak. Gak Bun Beng melepaskan tangan Syanti Dewi dan menyuruh dara itu minggir. Syanti Dewi juga kaget sekali, apalagi mendengar nama Si Jari Maut. Mengapa pula penolongnya itu disangka Si Jari Maut? Bukankah Si Jari Maut adalah tukang perahu itu? Gak Bun Beng juga merasa heran dan dia menggeleng kepala.
"Bukan, tai-goanswe. Saya tidak punya nama lain kecuali yang dikatakan tadi."
"Siapa dia?"
Jenderal itu menuding ke arah Syanti Dewi.
"Dia anak saya."
"Hemm, wajahnya bukan wajah wanita Han. Jangan membohong kau!"
"Memang anak saya ini berdarah campuran, tai-goanswe. Ibunya adalah seorang Tibet."
Jenderal ini meraba jenggotnya.
"Hem.... kau dari mana hendak ke mana?"
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya dari Tibet di mana selama belasan tahun saya merantau dan menikah di sana, sekarang hendak pergi ke Se-cuan."
"Kau bukan Jari Maut?"
"Bukan, tai-goanswe."
"Tapi kau tentu bisa ilmu silat, bukan?"
Sukarlah bagi Gak Bun Beng untuk mendusta terhadap jenderal yang bermata tajam ini. Tentu saja bagi seorang ahli, dapat melihat bahwa dia seorang yang "berisi", maka dia bersenyum dan menjawab,
"Sedikit-sedikit saya pernah mempelajari."
"Nah, coba kau hadapi seranganku ini, ingin aku melihat sampai di mana kepandaianmu!"
Tiba-tiba saja jenderal itu menerjang maju, gerakannya cepat bukan main, sama sekali tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar tegap itu, apalagi dengan memakai pakaian perang yang cukup berat. Selain cepat, juga pukulan kepalan tangannya didahului angin yang menyambar dahsyat, hawa yang mengandung rasa panas ke arah dada Gak Bun Beng. Pendekar sakti ini maklum bahwa sang jenderal sudah dapat melihat bahwa dia memiliki kepandaian dan agaknya dia hendak menguji karena curiga, maka diapun tidak mau berpura-pura lagi karena toh akan sia-sia saja dan akan ketahuan oleh jenderal yang cerdik itu, maka diapun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya sebagian saja cukup untuk menandingi tenaga sin-kang penyerangnya.
"Dukkk!"
Jenderah itu berseru kaget ketika pukulannya tertangkis dan lengannya terpental. Dia dapat memukul lagi dan tahulah Gak Bun Beng bahwa pukulannya tadi ternyata hanya menggunakan tenaga setengahnya karena jenderal itu belum tahu sampai di mana kekuatannya. Kini jenderal itu menghantam dengan tenaga penuh, tenaga yang melebihi kekuatan seekor kerbau jantan mengamuk!
"Dess....!"
Kembali pukulan tertangkis dan jenderal itu terhuyung ke belakang.
"Coba pergunakan jari mautmu!"
Bentak sang Jenderal dan kini dia menerjang lagi, kaki tangannya bergerak dan sekaligus Gak Bun Beng menghadapi penyerangan pukulan, tamparan, totokan dan tendangan sebanyak delapan kali berturut-turut. Maklumlah dia bahwa jenderal ini benar-benar pandai, dan agaknya sang jenderal sengaja mendesaknya dengan jurus luar biasa itu untuk memancing dia agar dia, kalau memang mempunyai, mengeluarkan llmunya yang paling hebat, yang diharapkan akan membuka rahasia Jari Maut. Tentu saja kalau Gak Bun Beng menghendaki, dengan apa saja, dia sekali turun tangan akan mampu membunuh lawannya ini. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau, bahkan dia menangkis dan sengaja memperlambat gerakannya sehingga dua kali pukulan mengenai bahu dan dadanya.
"Bukk! Dess....!"
Gak Bun Beng terhuyung ke belakang sambil becseru,
"Maaf, tai-goanswe, saya tidak kuat bertahan!"
"Ha-ha-ha-ha!"
Jenderal itu tertawa bergelak, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang dan perutnya sampai bergoyang-goyang ketika dia tertawa sambil mendongak ke angkasa.
"Ha-ha-ha, engkau terang bukanlah Si Jari Maut, sungguhpun engkau pandai sekali merendah. Sobat, aku Kao Liang kagum sekali kepadamu!"
Terkejutlah hati Gak Bun Beng mendengar nama ini. Kiranya inilah jenderal yang ditakuti oleh para pelarian tadi. Pantas saja! Memang seorang jenderal yang hebat! Untung jenderal ini agaknya tidak pernah atau jarang sekali muncul di kota raja sehingga tidak mengenalnya, pula, andaikata pernah, tentu sudah sejak mendengar namanya tadi pembesar itu lain sikapnya.
"Ah, kiranya Kao-taigoanswe....! Saya pernah mendengar nama besar tai-goanawe dari para pemberontak yang lari terbirit-birit ke barat."
"Ha-ha-ha, dan aku tadinya mencurigaimu sebagai anggauta pemberontak. Tidak mungkin. Apalagi dengan anakmu ini. Nah, kalian berdua hendak ke Se-cuan? Silahkan, kalau di jalan bertemu kesukaran, katakan bahwa engkau adalah sahabat Kao Liang, tentu akan dapat menolong!"
Gak Bun Beng menjura, menghaturkan terima kasih lalu mengajak Syanti Dewi pergi dari situ cepat-cepat, biarpun malam itu cukup gelap karena bintang di langit terhalang sedikit awan. Gak Bun Beng mengajak Syanti Dewi berhenti di bawah sebatang pohon besar di dekat padang rumput.
Tidak mungkin melanjutkan perjalanan melintasi padang rumput yang demikian rimbun, takut kalau-kalau ada ularnya atau binatang lain. Melihat lampu-lampu di sebelah kiri, mereka lalu bangkit lagi dan menuju ke tempat itu. Kiranya itu adalah sebuah dusun yang lumayan besarnya. Akan tetapi karena dusun itu baru saja mengalami pemeriksaan dan pembersihan, semua penduduk masih merasa takut dan pintu rumah ditutup rapat-rapat. Beberapa kali Gak Bun Beng mengetuk pintu, dan mendengar suara bisik-bisik di dalam, namun tidak pernah ada yang menjawabnya. Bahkan ketika mereka melihat sebuah rumah penginapan dan mengetuk pintunya, tidak ada pelayan yang membukainya. Barulah setelah Syanti Dewi yang bersuara minta dibukakan pintu, daun pintu terbuka oleh seorang pelayan yang memandang mereka penuh curiga.
"Kenapa kalian ini malam-malam menggedor-gedor pintu rumah ocang?"
Tanyanya dengan hati lega akan tetapi juga jengkel ketika melihat bahwa yang datang hanyalah seorang laki-laki setengah tua dan seorang dara remaja yang keduanya berpakaian seperti orang dusun.
"Hemm, bukankah ini rumah penginapan untuk umum?"
Gak Bun Beng bertanya sabar.
"Benar, akan tetapi apakah kau tidak bisa mengerti akan keadaan? Dunia sedang kiamat begini mencari kamar waktu tengah malam! Untung aku berani membuka pintu, kalau tidak siapa lagi yang berani dan kalian takkan bisa mendapatkan tempat di rumah manapun juga."
"Maaf kalau kami mengganggu dan mengagetkan, biarlah besok sebagai penambah uang sewa kamar kami beri juga uang kaget,"
Kata pula Gak Bun Beng. Mendengar bahwa dia akan menerima uang kaget sebagai hadiah pelayan itu menjadi lebih ramah.
"Baru siang tadi dusun kami digerebek dan diperiksa, diawut-awut, banyak yang ditangkap dituduh teman pemberontak. Tentu saja sedusun ini masih dalam suasana panik dan takut."
Gak Bun Beng mengangguk-angguk dan akhirnya mereka memperoleh sebuah kamar dengan dua buah tempat tidur. Tadinya Gak Bun Beng hendak menyewa dua kamar, akan tetapi di depan pelayan itu Syanti Dewi berkata,
"Ayah, mengapa harus dua kamar? Satu saja cukuplah asal ada dua tempat tidur. Apalagi, aku takut tidur sendiri dalam kamar!"
Malam itu keduanya dapat tidur nyenyak setelah bercakap-cakap sebentar tentang Jenderal Kao Liang.
"Seorang jantan sejati,"
Kata Gak Bun Beng kagum.
"Negara memang membutuhkan orang-orang seperti dia itulah! Aku berani bertaruh apa saja bahwa orang seperti dia tentu setia kepada negara, tidak mabok kedudukan, tidak sudi menjilat dan tidak suka pula menekan bawahan. Ilmu kepandaiannya boleh juga."
"Aku juga sudah khawatir, paman. Dia kelihatannya begitu kuat dan lihai. Akan tetapi ternyata kau tidak apa-apa! Dia memang mengerikan, seperti seekor singa!"
"Jarang kini terdapat orang seperti dia,"
Kata pula Gak Bun Beng.
"Orang pemberani macam dia tentu tidak berhati kejam. Hanya orang penakutlah yang berhati kejam karena kekejaman lahir dari rasa takut. Dan dia tidak pula penjilat, karena hanya orang yang suka menindas bawahannya sajalah yang suka menjilat atasannya. Dia memang jantan sejati dan aku benar-benar kagum!"
Sementara itu, di perkemahannya, Jenderal Kao Liang juga berkata kepada seorang perwira kepercayaannya.
"Orang bernama Gak Bun Beng tadi memang hebat! Aku percaya bahwa dia tentulah seorang kang-ouw yang berilmu tinggi, dan yang memakai nama Gak Bun Beng Si Jari Maut tentulah seorang penjahat yang sengaja hendak merusak namanya."
Memang tepatlah kata-kata Jenderal Kao Liang ini. Yang merusak dan menggunakan nama Gak Bun Beng Si Jari Maut bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Jenderal ini sudah mendengar akan sepak terjang Si Jari Maut, akan tetapi dia mendengar bahwa penjahat kejam itu adalah seorang pemuda, maka dia tadi percaya bahwa Gak Bun Beng yang ditemuinya itu bukanlah Si Jari Maut. Tentu saja dia tidak tahu bahwa ketika menangkis serangannya tadi, Gak Bun Beng hanya mempergunakan sedikit bagian saja dari tenaganya, dan sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa Gak Bun Beng adalah seorang pendekar sakti murid dari Pendekar Super Sakti, Bu-tek Siauw-jin, dan memiliki ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi yang amat hebat! Pada keesokan harinya, setelah mandi pagi, Gak Bun Beng berkata kepada Syanti Dewi,
"Dewi, kita harus menyamar dalam perjalanan selanjutnya. Aku sudah kapok kalau sampai terjadi seperti ma-lam tadi. Pula, menurut pelayan, di sebelah sananya padang rumput itu terdapat perkemahan pasukan. Ingin sekali aku melakukan penyelidikan, dan mengetahui apakah gerangan yang terjadi sehingga seorang jenderal yang berpangkat tinggi itu sampai datang ke tempat ini dan melakukan perondaan sendiri, memimpin pasukan sendiri melakukan pembersihan."
"Paman, bukankah Jenderal Kao telah menjamin...."
"Ah, aku tidak mau berkedok nama jenderal, Dewi. Kita melakukan perjalanan sendiri menggunakan akal sendiri untuk menyelamatkan diri. Bagaimana kalau kita menyamar sebagai ayah dan anak penjual silat?"
"Tapi ilmu silatku masih rendah, paman."
"Habis apa kiranya yang menjadi keahlianmu?"
"Aku agak pandai menari...."
"Nah, itu dia! Kita menyamar sebagai penjual obat dan engkau menari, aku yang mengiringi dengan meniup suling."
Syanti Dewi tertawa dan cahaya matahari menjadi cerah bagi Gak Bun Beng. Tawa gadis yang halus itu benar-benar mendatangkan kesegaran dalam perasaannya. Bertahun-tahun dia hidup membeku, dan baru sekarang dia merasakan kehangatan perikemanusiaan.
"Menari hanya diiringi dengan suling saja? Dan lagunya? Apakah kau mengenal lagu Bhutan, paman?"
"Tentu saja tidak. Akan tetapi asal melagukan cukup? Apa lagi kita adalah penjual obat, bukan ahli tari sungguhpun aku yakin bahwa engkau tentu merupakan seorang ahli tari yang luar blasa. Nah, sekarang kita harus berbelanja ke dusun ini menyiapkan segala keperluan penyamaran kita. Untukku sebatang suling dan sebuah caping lebar, dan untukmu, apa kebutuhanmu dalam penyamaranmu, Dewi?"
"Sebagai penari keliling, cukup dengan sehelai selendang panjang saja, selendang sutera berwarna merah."
Setelah menemukan dan membeli kebutuhan mereka itu, Gak Bun Beng lalu mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan meninggalkan dusun itu dan melintasi padang rumput. Di sepanjang perjalanan Syanti Dewi menyanyikan beberapa lagu Tibet yang dikenalnya dan dengan penuh kagum dan keharuan karena dara itu ternyata amat pandai bernyanyi dan mempunyai suara yang amat merdu dan halus. Gak Bun Beng mempelajari lagu-lagu itu dengan sulingnya. Ketika mereka sudah melewati padang rumput Gak Bun Beng berhenti dan meminta kepada Syanti Dewi agar supaya menari.
Sepasang Pedang Iblis Eps 50 Sepasang Pedang Iblis Eps 7 Sepasang Pedang Iblis Eps 24