Sepasang Pedang Iblis 40
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 40
"Ha-ha, tidak perlu khawatir, aku akan menangkapnya kembali. Heiii, manisku, engkau hendak pergi ke mana? Jangan tinggalkan aku, kekasih....!"
Wan Keng In berseru dan tubuhnya sudah me-luncur ke depan cepat sekali. Milana maklum bahwa dia harus melawan mati-matian, maka dengan nekat dia lalu menggerakkan tangannya dan bekas tali yang tadi membelenggu tangannya, kini meluncur menjadi sinar hitam menyambut tubuh Wan Keng In yang mengejarnya.
"Ha-ha-ha, engkau mau main-main denganku?"
Wan Keng In tertawa, tangan kiri menyambut tali itu. Menangkap ujungnya dan terus disentakkan ke atas, tangan kanan dipukulkan ke depan ke arah tubuh belakang kuda yang membalap. Kuda yang ditunggangi Milana mengeluarkan suara meringkik keras dan roboh berkelojotan terkena pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Wan Keng In, sedangkan tubuh dara itu terlempar ke atas ketika tali yang dipergunakan menyerang pemuda itu tadi tertangkap oleh Keng In dan disentakkan ke atas. Pemuda itu benar-benar hebat sekali ilmu kepandaiannya dan kini dia sudah meloncat ke depan untuk menyambut tubuh Milana yang terlempar ke atas.
"Ehhhh....?"
Wan Keng In terbelalak heran dan memandang ke atas. Dia merasa kecelik karena tubuh dara yang dinantikan itu sama sekali tidak kelihatan melayang turun, bahkan ketika ia menarik lagi tali yang dicengkeramnya, tali itu putus dan hampir menghantam mukanya sendiri. Dan dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika melihat bahwa kini Milana telah duduk di atas dahan pohon tinggi, berhadapan dengan seorang pemuda dan mereka asyik bercakap-cakap! Thian Tok Lama dan para panglima serta jagoan-jagoan Nepal sudah memburu ke bawah pohon, dan kini mereka itu mengurung pohon bahkan pasukan lalu dikerahkan untuk menjaga di sekeliling pohon agar gadis tawanan itu tidak sampai dapat meloloskan diri.
"Milana, manisku, turunlah engkau!"
Wan Keng In berkata halus dan dia belum mengenal siapa adanya laki-laki muda yang bercakap-cakap dengan dara itu. Akan tetapi baik Milana maupun pemuda di atas pohon itu tidak mempedulikannya, tidak mempedulikan mereka yang mengurung pohon karena mereka berdua itu sedang saling berbantah. Melihat sikap mereka itu, mau tidak mau Wan Keng In mendengarkan percakapan mereka dan ia merasa heran, dan marah bukan main! Pemuda yang berada di atas itu bukan lain adalah Gak Bun Beng!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemuda sakti ini meninggalkan markas pasukan istimewa pembantu para pemberontak di perbatasan utara, kemudian dia menuju ke kota raja. Tanpa disengaja, secara kebetulan sekali di dalam hutan itu dia melihat pasukan yang dipimpin Thian Tok Lama sedang diganggu oleh Wan Keng In. Tentu saja Bun Beng menjadi terkejut sekali dan girang melihat musuh-musuh besarnya, terutama sekali Thian Tok Lama dan Bhe Ti Kong, dua orang di antara mereka yang dahulu mengeroyok dan membunuh gurunya, Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai. Akan tetapi ia tercengang melihat Wan Keng In dan ia segera mengenal pemuda Pulau Neraka yang amat lihai itu. Timbul kemarahannya karena ia teringat betapa dia pernah dikalahkan dan dihina oleh pemuda iblis itu,
Bahkan pedang Lam-mo-kiam telah dirampas oleh pemuda Pulau Neraka yang semenjak kecil sudah amat jahat itu. Akan tetapi, yang membuat dia terkejut sekali adalah ketika ia melihat Milana duduk di atas punggung kuda sebagai seorang tawanan! Bertemu dengan semua ini, Bun Beng bersikap hati-hati. Tentu saja dia harus menolong Milana, dara jelita yang telah melepas budi banyak sekali kepadanya. Akan tetapi, dia maklum bahwa menolong Milana dari tangan pasukan yang kuat dan dipimpin orang-orang pandai itu, apalagi di situ terdapat pemuda Pulau Neraka, bukanlah hal yang mudah. Karena inilah, dia bersabar dan bersembunyi sambil mengintai dan mendengarkan mereka. Mula-mula diapun merasa heran ketika mendengar percakapan antara Wan Keng In dan Thian Tok Lama, bahkan seperti juga Milana,
Diam-diam dia mengharapkan kedua pihak ini akan bertanding sehingga dia mendapat banyak kesempatan untuk menolong dara itu. Akan tetapi betapa kecewanya ketika akhirnya pemuda Pulau Neraka itu dapat terbujuk dan bahkan bersekutu, maka terpaksa dia siap untuk menggunakan kekerasan menyelamatkan Milana. Pada saat itulah Milana merenggut tali belenggunya dan berusaha mengaburkan kuda. Melihat Milana dikejar Wan Keng In, kudanya dirobohkan dan dara itu
(Lanjut ke Jilid 38)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 38
sendiri terlempar ke atas, Bun Beng cepat melayang ke atas pohon besar dan menyambar lengan dara itu. Bagaikan dalam mimpi Milana melihat Bun Beng di depannya, di atas dahan pohon tinggi sehingga untuk beberapa lamanya dara ini hanya terbelalak memandang, kemudian perlahan-lahan kedua pipinya berubah merah sekali, jantungnya berdebar.
"Kau....?"
Hanya demikian dia dapat mengeluarkan suara.
"Nona, syukur sekali secara kebetulan aku lewat di tempat ini. Serahkan mereka itu kepadaku, akan tetapi engkau harus cepat-cepat pergi dari tempat ini. Berbahaya sekali di sini."
Milana menggeleng kepala keras-keras.
"Membiarkan engkau menghadapi mereka sendiri dan aku lari? Tidak! Aku akan membantumu melawan mereka!"
"Aahhh, jumlah mereka terlalu banyak dan kulihat orang-orang pandai di antara mereka. Harap engkau suka menurut, Nona. Sungguh berbahaya sekali kalau memaksa diri melawan."
"Hemm, Gak-twako. Kau bilang berbahaya bagiku kalau melawan, habis engkau sendiri?"
"Nona...."
"Gak-twako, begini sombongkah engkau? Sejak dahulu?"
Bun Beng gelagapan ditegur seperti itu dan dia memandang dengan mata terbelalak lebar.
"Sombong! Aku....?"
"Apa kau tidak suka bersahabat denganku?"
"Tentu saja, aku...."
"Sudah mengenal sejak dahulu, mengapa engkau masih selalu sungkan dan menyebut aku nona? Namaku Milana dan engkau tahu ini, bukan?"
"Habis.... habis....?"
"Aku tidak mau kau sebut nona! Nah, sebut namaku atau adik, atau.... sudah jangan mengenal aku lagi kalau kau begini angkuh!"
"Eh...., ohh...., Nona.... eh, Adik Milana! Jangan main-main begini....!"
Bun Beng menegur, terheran-heran mengapa dalam keadaan terancam seperti itu dara yang dahulu bersikap halus dan lemah lembut itu meributkan soal sebutan!
"Gak-twako, tidak girangkah engkau bertemu denganku?"
Bun Beng makin bingung dan memandang dengan alis berkerut. Celaka, pikirnya. Jangan-jangan dara ini keracunan, atau sudah bingungkah pikirannya? Dia mengangguk.
"Aku.... aku girang sekali, Twako tidak tahu engkau betapa girangku.... dan ahh.... kau.... kau tolonglah aku, Twako....!"
Tiba-tiba Milana terisak menangis dan ketika dengan kaget Bun Beng menyentuh lengannya, dara itu memeluknya dan menangis terisak-isak, menyembunyikan muka di dadanya!
Tentu saja Bun Beng menjadi bengong! Dia tidak tahu bahwa sesungguhnya Milana telah menderita guncangan batin yang cukup hebat, menderita tekanan batin yang ditahan-tahannya semenjak dia melihat Thian-liong-pang terbasmi, pembantu-pembantu ibunya gugur dan dia sendiri menjadi tawanan. Dara itu tentu saja berduka sekali melihat perkumpulan ibunya hancur, melihat Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang dan yang lain-lain roboh dan tewas, dan kemudian dia sendiri menjadi tawanan, bahkan kemudian terjatuh ke tangan Wan Keng In pemuda yang mengerikan, sedangkan dia belum tahu apa yang telah terjadi dengan ibunya.
Dalam keadaan hampir putus asa itu, secara tiba-tiba, secara tidak terduga-duga, di atas pohon, muncul Gak Bun Beng, orang yang selama ini dirindukannya! Inilah sebabnya mengapa dara itu bersikap demikian aneh, seperti orang mabok atau seperti orang yang berubah ingatannya dan kini dia menangis tersedu-sedu, teringat akan semua kedukaannya dan hanya mengharapkan bantuan orang yang amat dipercayanya ini. Tentu saja Bun Beng salah sangka. Apakah dara ini telah berubah menjadi seorang yang amat penakut dan menangis menghadapi ancaman bahaya? Jantungnya berdebar tidak karuan. Dara yang menangis di dadanya itu membuat dia merasa betapa dekatnya wajah jelita itu yang menempel di dadanya, terasa olehnya kehangatan air mata membasahi kulit dada dan tercium olehnya harum rambut Milana.
"Nona.... eh, Moi-moi (Adik).... hentikan tangismu. Jangan takut, aku akan melindungimu dari mereka itu, percayalah...."
"Keparat, mampuslah engkau!"
Tiba-tiba seorang panglima meloncat ke atas dan menggerakkan goloknya membacok Bun Beng.
"Prakk...., bresss....!"
Tubuh panglima itu terlempar dan terbanting roboh ke atas tanah oleh tangkisan Bun Beng.
"Aku tidak takut.... ah, Twako.... kau tidak tahu.... mereka telah membasmi Thian-liong-pang.... Bibi Tang Wi Siang dan para paman.... mereka telah tewas...."
Terkejutlah Bun Beng. Dia sudah tahu bahwa para pemberontak yang dipimpin Koksu memusuhi Thian-liong-pang, akan tetapi tidak disangkanya pasukan ini demikian mudah membasmi Thian-liong-pang.
"Mana mungkin? Di mana ibumu?"
Dia tidak dapat percaya Thian Tok Lama dan kawan-kawannya itu dapat menandingi Ketua Thian-liong-pang yang demikian sakti.
"Ibu tidak ada, mungkin di kota raja. Kami melawan mati-matian, akan tetapi percuma, dan aku tertawan...."
Bun Beng mengangguk-angguk dan tiba-tiba dia melakukan gerakan menampar ke bawah.
"Desss....!"
Dahan di mana Bun Beng berjongkok itu tergetar hebat, akan tetapi tubuh Wan Keng In yang tadi meloncat dan memukul, juga terdorong kembali ke bawah ketika pukulannya tertangkis oleh Bun Beng. Diam-diam Bun Beng terkejut. Pemuda Pulau Neraka itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya! Di lain pihak Wan Keng In yang belum mengenal Bun Beng karena di dalam pohon sudah mulai gelap, lebih kaget lagi melihat ada orang yang mampu menangkis pukulannya bahkan membuat tubuhnya seperti dibanting ke bawah dengan kekuatan dahsyat!
"Milana,"
Bun Beng berbisik, tidak bersikap sungkan lagi.
"Tidak banyak waktu sekarang. Mereka itu benar-benar lihai dan jumlah mereka banyak. Kalau kita berdua melawan, mungkin engkau akan tertangkap lagi atau terluka. Engkau harus lari lebih dulu. Tunggu setelah aku mengamuk di bawah, engkau melompat jauh dari tempat ini, melalui pohon-pohon dan menghilang dalam gelap. Bawa pedang ini...."
"Tidak! Aku akan melawan, bertanding di sampingmu sampai mati...."
Bun Beng merasa lehernya seperti dicekik mendengar ini.
"A.... apa....?"
"Gak-twako, apa masih perlu kujelaskan lagi? Tidak cukupkah ketika dahulu aku membela dan melindungimu ketika kau terluka?"
Gemetar seluruh tubuh Bun Beng, tangannya menggigil ketika ia memegang tangan Milana.
"Tidak cukup....? Duhai.... terlalu cukup, terlalu banyak.... bahkan itulah yang menyiksa hatiku. Milana.... betapa aku berani menyatakan kekurangajaran ini? Akan tetapi...., ah, kata-katamu tadi.... Milana, orang yang paling kumuliakan di dunia ini karena baik budimu, yang paling kucinta di dunia ini.... maafkan aku.... akan tetapi aku cinta padamu.... dan.... dan kau bilang ingin bertanding di sampingku sampai mati....? Benarkah pendengaranku?"
"Singg....! Krekkk.... plakkk! Aduhhh....!"
Tubuh seorang jagoan Nepal yang tadi menyerang dengan tombaknya, terpelanting, tombaknya patah dan kepalanya pecah oleh pukulan Bun Beng yang menangkis dan memukul tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah Milana. Sepasang mata itu basah air mata, akan tetapi bibir yang gemetar tersenyum.
"Gak-twako, mengapa baru sekarang kau menyatakan isi hatimu yang sejak dahulu tampak membayang dalam pandang matamu?"
"Milana.... betapa aku berani.... kau.... seorang dara mulia, puteri Ketua Thian-liong-pang, puteri Pendekar Super Sakti yang kumuliakan, malah cucu kaisar sendiri! Ya Tuhan, betapa beraniku menyatakan cinta! Kalau tidak mendengar ucapanmu tadi.... perasaan hatiku akan kusimpan sebagai rahasia sampai mati."
"Terima kasih, Twako. Sekarang aku tidak ragu-ragu lagi! Aku puas, aku bahagia. Apapun yang akan terjadi, biar orang sedunia menentangnya, aku akan selalu berbahagia di sampingmu, hidup atau mati. Marilah, Twako. Mari kita menerjang ke bawah, kita lolos dan selamat berdua atau mati bersama!"
"Tidak....! Seribu kali tidak! Setelah aku tahu bahwa harapan hidupku tidak sia-sia, setelah aku tahu bahwa engkau pun mencintaku, mana mungkin aku membiarkan engkau terancam bahaya? Tidak! Milana, dengarlah baik-baik. Lihat pedang ini. Ini adalah Hok-mo-kiam yang sudah dapat kurampas kembali. Bawalah pedang ini, cari ibumu di kota raja dan serahkan pedang ini kepada ayahmu, Pendekar Super Sakti. Dengan pedang ini engkau akan dapat melindungi dirimu. Aku akan hadapi mereka di bawah itu.... hemmm.... akan kuhajar cacing-cacing busuk yang telah berani menghina dewi pujaan hatiku!"
"Tidak, Twako...."
"Husshhh, demi cinta kita, taatilah aku sekali ini saja, sayang! Aku tidak akan dapat memaafkan engkau, memaafkan aku sendiri atau siapa juga kalau sampai engkau ikut turun dan menderita celaka. Nah, aku terjun, siaplah meloncat dan lari. Sampai jumpa, sayang!"
Tanpa menanti jawaban, Bun Beng yang hampir bersorak saking gembira hatinya itu turun. Dia hanya mendengar suara Milana terisak, akan tetapi hatinya lega ketika dia mulai merobohkan beberapa orang pengawal dan memandang ke atas, pohon itu telah kosong dan bayangan Milana telah lenyap.
"Thian Tok Lama pendeta palsu!"
Dia membentak ketika melihat kakek itu membuat gerakan hendak melakukan pe-ngejaran kepada Milana. Sebuah pukulan kilat yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang mengejutkan pendeta itu, apalagi ketika dia mengelak sambil menangkis, tetap saja hawa pukulan dari tangan Bun Beng membuatnya terpelanting.
"Wan Keng In, tikus Pulau Neraka, hendak ke mana engkau?"
Bun Beng sudah meloncat ke depan, menerjang Wan Keng In yang kelihatan ragu-ragu dan agaknya mencari-cari Milana yang lenyap. Diterjang secara hebat oleh Bun Beng, Wan Keng In terpaksa melayaninya. Dengan penasaran dan marah Keng In mengerahkan tenaganya, menyambut pukulan Bun Beng ke arah dadanya itu dengan dorongan telapak tangannya pula.
"Dessss....!"
Kalau tadi mereka saling mengadu lengan di atas pohon, kini mereka mengadu kedua telapak tangan yang saling bertumbukan. Akibatnya, tubuh Wan Keng In terlempar ke belakang sampai lima meter lebih! Makin pucat wajah Wan Keng In dan biarpun dia tidak terluka, namun dia terkejut setengah mati dan barulah kini sepasang matanya memandang dengan sinar berkilat-kilat ke arah Bun Beng. Betapa hatinya tidak terkejut. Di dalam dunia ini, kiranya hanya ada dua orang, gurunya sendiri dan paman gurunya, dua kakek setan Pulau Neraka, yang dapat membuatnya terlempar seperti itu! Pekik melengking yang menyeramkan keluar dari dada pemuda Pulau Neraka itu ketika dia meloncat ke depan lalu membentak,
"Jahanam! Siapa engkau?"
"Plak-plak-dess-dess!"
Empat orang anggauta pasukan terpelanting ke kanan-kiri dan tak dapat bangkit kembali terkena hantaman kaki tangan Bun Beng yang merasa betapa tubuhnya ringan dan enak sekali, seringan dan seenak hatinya yang gembira bukan main. Pemuda ini mengerling ke kanan-kiri, tertawa ketika melihat para pengawal tidak berani maju dan hanya mengurung dari jarak jauh. Dengan tenang dia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Wan Keng In, tersenyum mengejek dan memandang dengan sinar mata berseri. Dunia seolah-olah berubah bagi hati Bun Beng dan biarpun dia berhadapan dengan musuh-musuh yang berbahaya, dia tetap gembira. Tidak ada kemarahan, tidak ada kebencian, tidak ada kekhawatiran dan semua orang kelihatan menggembirakan. Agaknya wajah-nya yang berseri itu membuat semua orang terheran-heran dan curiga,
Ssedangkan Wan Keng In mulai mengingat-ingat siapa gerangan pemuda tampan berseri-seri yang wajahnya tertimpa cahaya obor yang dinyalakan oleh beberapa orang pengawal. Dia merasa seperti mengenal wajah itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana dan kapan. Selain kebahagiaan karena cinta kasihnya terbalas oleh Milana, hal yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya, atau diharapkannya itu membuat hatinya riang gembira, juga Bun Beng sengaja hendak memancing perhatian mereka agar Milana mendapat kesempatan untuk melarikan diri jauh-jauh. Kalau Milana sudah selamat, dan pedang Hok-mo-kiam sudah dapat dibawa pergi dara itu untuk diberikan kepada yang berhak, yaitu ayah dara itu, Pendekar Super Sakti, tidak ada apa-apa lagi di dunia ini yang menyusahkan hatinya! Dia sendiri akan menghadapi bahaya apapun juga dengan hati ringan.
"Wan Keng In, engkau bocah setan ini makin jahat dan tersesat saja. Sekali ini aku tidak akan membiarkan kau terlepas sebelum memberi hajaran kepadamu! Dan Thian Tok Lama agaknya masih melanjutkan kejahatan-kejahatannya. Sudah lama aku menanti kesempatan ini, untuk bertemu denganmu dan membalas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio."
Ucapan Bun Beng itu agaknya menya-darkan dua orang ini dan teringatlah mereka kini. Disebutnya nama Siauw Lam Hwesio sebagai guru mengingatkan Thian Tok Lama akan murid kakek tokoh Siauw-lim-pai itu, Gak Bun Beng yang pernah dan sempat dilihatnya pula ketika pemuda itu membantu Pulau Es pada waktu pasukan pemerintah membasmi pulau itu. Adapun Wan Keng In sekarang teringat akan pemuda yang telah menemukan Sepasang Pedang Iblis, pemuda bernama Gak Bun Beng yang tadinya dia pandang rendah akan tetapi yang sekarang mampu membuatnya terlempar sampai lima meter!
"Manusia she Gak keparat!"
Wan Keng In memaki.
"Gak Bun Beng, engkau anak haram dari Setan Botak Gak Liat yang kurang ajar itu....!"
"Wuuuuttt.... plakkk!"
Untuk kedua kalinya dalam waktu yang singkat itu tubuh Thian Tok Lama terpelanting ketika dia tergopoh-gopoh menangkis pukulan Bun Beng yang marah sekali mendengar makian dan penghinaan itu. Akan tetapi dia tidak dapat mendesak musuh besarnya itu karena Wan Keng In sudah menyerangnya dengan pukulan-pukulan maut.
Pukulan pemuda Pulau Neraka ini dilakukan dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar harimau, akan tetapi dari setiap ujung jari keluar hawa pukulan beracun yang amat dahsyat. Bun Beng maklum akan kelihaian Keng In, maka dia sudah cepat mencelat ke kiri menghindarkan serangan sambil menerima tusukan tombak dan golok dari dua orang Nepal, membetot dua buah senjata itu sambil menendang. Dua orang Nepal itu mengaduh dan tubuh mereka terjengkang. Dua orang pengawal yang menerjang maju, roboh oleh tombak dan golok yang dirampas Bun Beng dan disambitkan menyambut terjangan mereka. Terjadilah pertandingan yang amat hebat. Bun Beng mengamuk seperti seekor burung garuda, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah pasukan.
Tentu saja mereka itu merupakan lawan lunak bagi pemuda sakti ini dan dalam waktu beberapa menit saja sudah ada belasan orang tentara pengawal roboh termasuk beberapa orang Nepal dan panglima. Melihat sepak terjang Bun Beng yang demikian hebat, Thian Tok Lama dan Wan Keng In menjadi penasaran sekali. Pendeta Lama itu mengeluarkan senjatanya, sebatang golok melengkung yang mengeluarkan sinar hijau, sedangkan Wan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam. Mereka ini, dibantu oleh Bhe Ti Kong dan sisa para panglima serta jagoan Nepal lain, mengurung Bun Beng. Adapun anak buah pasukan yang juga membentuk pengepungan ketat di sebelah luar, siap pula dengan senjata di tangan sedangkan di empat penjuru, delapan orang memegang obor untuk menerangi tempat yang mulai terselimut malam gelap.
"Kok-kok-kok heeeehhhh!"
Perut gendut Thian Tok Lama mengeluarkan suara berkokok, kemudian disusul bentakannya dia menyerang maju, tangan kiri memukul, tangan kanan menggerakkan goloknya dengan cepat dan kuat sekali.
"Singgg.... syet-syet-syettt....!"
Sinar hijau menyambar-nyambar dan bergulung-gulung ke arah tubuh Bun Beng yang tidak berani memandang rendah. Cepat dia menggerakkan tubuhnya mencelat ke kanan-kiri dan belakang. Betapapun cepat serangan Thian Tok Lama, gerakan Bun Beng lebih cepat lagi sehingga gulungan sinar golok berwarna kehijauan itu tak pernah dapat mendekati sasaran.
"Hyaaattt.... singgg.... cing-cing....!"
"Hemmm....!"
Bun Beng mengeluarkan suara kaget dan cepat dia melempar tubuhnya ke belakang dengan kecepatan kilat ketika dia melihat sinar kilat menyambar ganas dengan kecepatan seperti halilintar dan sinar itu mengandung hawa menyeramkan sekali sehingga dia sendiri merasa ngeri, tengkuknya terasa dingin. Melihat berkelebatnya sinar kilat yang menyilaukan mata, tahulah dia bahwa Wan Keng In telah turun tangan menyerangnya dengan menggunakan pedang Lam-mo-kiam. Maka dia tidak berani berlaku lambat, begitu melempar tubuh ke belakang, dia berjungkir balik dan melanjutkan dengan meloncat jauh ke kanan.
"Syuuuuutttt.... singggg!"
Bun Beng menelan ludah. Bukan main hebatnya Lam-mo-kiam. Biarpun dia sudah bergerak cepat sekali, masih saja dia tadi nyaris tergores punggungnya. Namun dia tidak sempat memikirkan hal itu karena begitu dia terhindar dari bahaya serangan Keng In,
Serentak dua orang panglima dan dua jagoan Nepal telah menyerangnya dengan berbareng. Dua orang Nepal yang bersorban itu menyerangnya dengan senjata mereka yang membuat mereka ditakuti, yaitu pisau belati yang kecil namun amat runcing dan tajam, dua buah banyaknya dipegang setengah bersembunyi di balik lengan kanan-kiri. Serangan dari depan oleh dua orang Nepal itu amat cepat, gerakan mereka aneh dan kecepatan mereka menjadi hebat karena lengan mereka panjang. Dalam sedetik itu, dua orang ini menyerang secara berbareng dan empat buah pisau belati menyambar ke arah leher, ulu hati, perut dan lambung! Dalam setengah detik berikutnya, menyambar pula sebatang golok besar di tangan seorang panglima brewok, berlomba cepat dengan tombak gagang pendek di tangan Bhe Ti Kong yang menghujani ke arah punggung Bun Beng!
"Heiiittt!"
Bun Beng berseru keras sekali, tubuhnya membuat gerakan berpusing, demikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandang mata oleh lawan, akan tetapi tahu-tahu jari-jari tangannya secara berturut-turut telah mengetuk terlepas sambungan siku kedua tangan orang Nepal, merampas golok besar dan menangkis tombak gagang pendek Bhe Ti Kong dengan golok itu setelah merobohkan pemilik golok dengan tendangan.
"Tranggg....!"
Bhe Ti Kong berseru kaget dan cepat menarik kembali tombaknya, memutar senjatanya untuk melindungi tubuh. Dua kali dia berhasil menangkis dan harus bergulingan dan jatuh bangun, terus dikejar sinar golok rampasan Bun Beng yang mengenal panglima ini sebagai musuh besarnya dan yang mendesak untuk membunuhnya.
"Singgg....!"
Sinar kilat pedang Lam-mo-kiam yang sudah menyambar lagi menyelamatkan nyawa Bhe Ti Kong.
"Cringgg!"
Bun Beng yang tadinya mendesak Bhe Ti Kong, terkejut melihat sinar kilat, terpaksa membuang diri sambil menangkis dengan golok rampasan, akan tetapi sekali bertemu dengan Lam-mo-kiam, golok besar itu patah menjadi dua potong!
"Trang-trang....!"
Kembali Bun Beng yang baru meloncat bangun itu menangkis dengan golok buntungnya, menangkis serangan golok Thian Tok Lama yang sudah membantu Keng In mengeroyoknya pula. Biar hanya mempergunakan golok buntung, namun tangkisan ini membuat Thian Tok Lama terhuyung. Bun Beng menyambitkan golok buntungnya kepada Wan Keng In ketika melihat pemuda itu sudah menerjang lagi. Biarpun hanya disambitkan, namun golok buntung itu meluncur dengan kekuatan dahsyat sehingga Keng In tidak berani bersikap sembrono dan cepat menggerakkan Lam-mo-kiam untuk menangkis. Golok buntung itu runtuh dan patah-patah. Akan tetapi, ketika Keng In menangkis sambitan golok buntung,
Kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Beng untuk menerjang ke kiri, merobohkan empat orang panglima dan orang Nepal, dan merampas sebatang tombak lagi. Gerakannya kuat dan cepat sekali sehingga ketika Wan Keng In dan Thian Tok Lama menyerangnya lagi, dia sudah dapat menghadapi mereka dengan tombak di tangan! Namun, dengan adanya Keng In yang bersenjata Lam-mo-kiam, Bun Beng benar-benar kewalahan. Sekali bertemu, tombak rampasannya patah-patah lagi dan hampir saja dia termakan sinar pedang Lam-mo-kiam yang amat ampuh. Untung baginya bahwa jumlah pengeroyok amat banyak sehingga dia dapat menerjang dan menyelinap di antara para pengeroyok. Hal ini membuat Keng In merasa agak sukar untuk menekannya, dan pemuda Pulau Neraka itu dibantu oleh Thian Tok Lama selalu mengejar-ngejar Bun Beng yang mengamuk di antara para panglima, orang Nepal, dan pasukan pengawal.
Betapapun dia mencobanya, Wan Keng In dan Thian Tok Lama tidak memberi kesempatan sedikitpun juga kepada Bun Beng untuk dapat melarikan diri. Pemuda itu dikepung ketat dan terpaksa dia me-ngamuk, merobohkan dan menewaskan banyak sekali anak buah pasukan, sedangkan keselamatannya selalu terancam dan berkali-kali nyaris saja terluka oleh Lam-mo-kiam dan golok di tangan Thian Tok Lama. Telah lebih dari dua puluh orang anak buah pasukan roboh, lebih setengah jumlah panglima dan jagoan Nepal tewas, dan pertandingan itu telah berjalan sampai hampir tengah malam! Bun Beng berhasil sebegitu jauh menyelamatkan diri dari ancaman Lam-mo-kiam, akan tetapi karena pengeroyokan ketat dan untuk menghindarkan luka senjata,
Terpaksa dia menerima hantaman tangan kiri Thian Tok Lama sampai dua kali dan tamparan tangan kiri Wan Keng In satu kali. Tamparan pemuda Pulau Neraka itu hebat bukan main, membuat dada yang terkena tamparan terasa seperti akan pecah dan napas menjadi sesak, Bun Beng maklum bahwa isi dadanya terguncang dan bahwa pukulan Wan Keng In mengandung racun. Dia tidak takut akan pukulan beracun karena tubuhnya sudah kebal oleh jamur-jamur beracun, akan tetapi guncangan itu membuat tenaganya berkurang. Keadaannya amat berbahaya. Dia tidak takut mati, akan tetapi dia akan merasa kecewa kalau belum berhasil membalas kematian gurunya. Karena itu, dia mencurahkan perhatian dan kepandaiannya untuk memilih sasaran, yaitu Bhe Ti Kong dan Thian Tok Lama, dua di antara para pembunuh gurunya.
"Thian Tok Lama, bersiaplah kau menyusul Thai Li Lama...!"
Tiba-tiba dia berseru ketika melihat lowongan.
Secepat kilat dia menubruk maju, menendang sebatang pedang yang menyambar dari samping, mengelak dari tusukan Lam-mo-kiam, menggunakan tangan kanan mencengkeram golok Thian Tok Lama. Pendeta itu terkejut sekali, bukan hanya karena tahu bahwa yang membunuh sau-daranya itu adalah pemuda ini, akan tetapi terutama sekali melihat betapa dengan tangan kosong pemuda lihai itu berani menangkap dan mencengkeram goloknya! Dia berusaha menarik golok untuk melukai tangan Bun Beng, akan tetapi tiba-tiba Bun Beng sudah menggerakkan tangan kiri menampar ke arah kepalanya! Hebat bukan main serangan ini dan kalau tamparan ini mengenai sasaran, tak dapat disangsikan lagi nyawa Thian Tok Lama tentu akan melayang. Akan tetapi pada saat itu, sebuah pukulan yang keras dari tangan kiri Wan Keng In mengenai tengkuk Bun Beng pada saat yang amat tepat.
"Desss....!"
Berbareng jatuhnya pukulan Keng In pada tengkuk Bun Beng dengan tamparan, tangan Bun Beng yang menyeleweng, tidak jadi mengenai kepala melainkan menghantam pundak Thian Tok Lama. Biarpun menyeleweng, namun cukup membuat pendeta itu terpelanting dan muntah darah! Akan tetapi, hantaman yang keras dari Keng In, itupun membuat Bun Beng terjengkang! Bhe Ti Kong menubruk dengan tombaknya, menusuk ke arah ulu hati Bun Beng dengan tombak gagang pendeknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
Dia merasa yakin bahwa sekali ini dia tentu berhasil membunuh pemuda yang berbahaya ini, apalagi melihat pemuda itu telah terpukul dan mulutnya menyemburkan darah seperti yang dialami Thian Tok Lama. Tombak itu meluncur tepat ke arah ulu hati Bun Beng. Pemuda ini tak dapat mengelak lagi, maka terpaksa dia memasang kedua telapak tangan ke depan dada dan begitu ujung tombak menyentuh telapak tangannya, dia membuat gerakan menyentak sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. Pengerahan tenaga ini membuat dadanya terasa nyeri bukan main, pandang matanya berkunang dan darah makin banyak keluar dari mulutnya, akan tetapi tombak itu membalik secara tiba-tiba, menyambut dada Panglima Bhe Ti Kong yang terdorong ke depan.
"Crappp..... auggghhh....!"
Bun Beng menjadi gelap mata dan pingsan, tidak tahu bahwa tubuh Bhe Ti Kong menimpa tubuhnya dan betapa darah yang membanjir keluar muncrat-muncrat dari dada musuhnya itu menyiram tubuhnya. Panglima itu berkelojotan dan tewas dengan dada tertembus tombaknya sendiri.
"Tahan, Wan-sicu. Jangan bunuh dia....!"
Thian Tok Lama mencegah ketika melihat Wan Keng In mengelebatkan Lam-mo-kiam untuk membunuh Bun Beng. Wan Keng In menoleh, menahan pedang dan mengerutkan alisnya.
"Manusia macam dia perlu apa dibiarkan hidup? Dia membuat Milana hilang dan sudah mendatangkan banyak korban....!"
Kembali Lam-mo-kiam bergerak.
"Jangan, Wan-sicu! Dia adalah seorang tawanan penting sekali! Dialah yang telah merampas Hok-mo-kiam. Dia yang melepaskan puteri Ketua Thian-liong-pang! Terlalu enak bagi dia kalau dibunuh begitu saja, dan dia perlu diseret di depan Koksu untuk meringankan kesalahan kita...."
"Hmm...."
Wan Keng In menyimpan pedangnya, akan tetapi dia lalu mengayun tangan kanannya ke arah punggung tubuh Bun Beng yang rebah miring.
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Desss!"
Pukulan itu hebat sekali dan Wan Keng In mengomel.
"Biarpun nyawanya rangkap, pukulanku ini akan mencabut nyawanya dalam waktu dua puluh empat jam."
Thian Tok Lama juga terluka di dalam tubuh, akan tetapi tidak membahayakan nyawanya. Dia lalu turun tangan sendiri, menelikung dan membelit-belit tubuh Bun Beng dengan tali yang amat kuat, lalu mengikat tubuh pemuda yang masih pingsan itu di atas punggung kuda.
"Dia sudah kuberi pukulan Toat-beng-tok-ci (Jari Beracun Pencabut Nyawa). Jangankan untuk melawan, dibiarkan pun dia akan mampus sebelum malam besok."
Wan Keng In mencela melihat betapa pendeta itu bersusah payah membelenggu tubuh yang dia tahu sudah takkan mampu melawan lagi itu.
"Kita tidak boleh gagal lagi membawa dia ke kota raja, Wan-sicu."
Thian Tok Lama membantah dan Wan Keng In mendengus, mengangkat pundak dan sikapnya menjadi murung karena dia marah-marah dan kecewa telah kehilangan Milana. Betapapun juga, dia harus ikut dan bertemu dengan Koksu.
Setelah dia menyaksikan sendiri betapa lihainya Bun Beng, diam-diam pemuda ini merasa jerih juga. Bukan terhadap Bun Beng yang tinggal menanti maut itu, akan tetapi baru Bun Beng sudah demikian lihainya, apalagi ibu Milana Si Ketua Thian-liong-pang, belum lagi Pendekar Super Sakti! Maka dia harus bersikap cerdik dan harus dapat mencari kawan, dan agaknya kedudukannya akan kuat sekali kalau dia dapat bersekutu dengan Koksu yang selain memiliki kedudukan tinggi dan pengaruh besar, juga mempunyai banyak orang pandai itu. Dengan murung dan tergesa-gesa, membawa teman-teman yang terluka, pergi keluar dari hutan menuju ke kota raja. Kuda yang membawa tubuh Bun Beng yang kaki tangannya ditelikung dan diikat di atas punggung binatang itu, berada di tengah-tengah dan dikawal sendiri oleh Thian Tok Lama, Wan Keng In.
Kini mereka siap dengan senjata di tangan memegang senjata masing-masing dan bersikap waspada. Baik Wan Keng In maupun Thian Tok Lama sudah mengambil keputusan untuk pertama-tama menggerakkan senjata membunuh Bun Beng apabila terjadi suatu gangguan di tengah perjalanan ini. Bun Beng membuka matanya. Ketika ia merasa betapa tubuhnya tergantung di atas punggung kuda, bergoyang-goyang dan kaki tangannya terbelenggu, dia teringat semua dan tersenyum! Tubuhnya lemah dan tak bertenaga, sakit-sakit, akan tetapi hatinya riang! Teringat dia akan Milana dan rasa bahagia di hatinya masih mengatasi semua kesengsaraan yang diderita tubuhnya. Milana mencintanya! Puteri Pendekar Super Sakti cinta kepadanya! Bukan main! Cucu kaisar sendiri! Dan dia hanyalah seorang anak haram, keturunan seorang tokoh sesat yang dikutuk dunia!
Apalah artinya siksa dan mati setelah menghadapi kenyataan yang berbahagia itu? Dan dia telah berhasil menyelamatkan Milana. Dara itu telah bebas! Dia akan menyambut kematian atau apapun juga, dengan senyum bahagia! Ia mengerling ke kiri dan melihat Thian Tok Lama duduk di atas seekor kuda, memegang sebatang golok. Hemm, sayang. Dia belum berhasil membunuh pendeta ini, juga belum berhasil membalas Bhong-koksu atas kematian gurunya. Baru Thai Li Lama dan Panglima Bhe Ti Kong yang telah menebus kematian gurunya. Bun Beng mencoba mengerahkan sinkangnya. Hawa panas di pusarnya segera menjawab pengerahannya, akan tetapi tiba-tiba dada dan punggungnya terasa nyeri bukan main, tak tertahankan! Tahulah dia bahwa dadanya terluka dan punggungnya menderita lebih hebat lagi!
Darah mengalir dari dalam leher ke mulutnya dan dia tahu bahwa dia telah menderita luka akibat pukulan yang mungkin membawa maut. Tentu perbuatan Wan Keng In atau Thian Tok Lama. Agaknya lebih tepat kalau dia menduga pemuda Pulau Neraka itulah yang memukulnya. Luka di tulang punggung ini bukan pukulan biasa, dan kiranya hanya pemuda itulah yang dapat melakukan pukulan sekeji ini. Dia menghela napas panjang. Tidak ada harapan untuk menggunakan saat terakhir itu mencoba me-lepaskan diri dan membunuh Thian Tok Lama. Kalau dia melanjutkan pengerahan sin-kangnya tentu dia akan mati sebelum sempat bergerak! Dia tidak putus asa. Mereka telah menawannya, dan biarpun agaknya ketika dia pingsan dia menderita pukulan gelap yang amat membahayakan nyawanya,
Namun pada saat itu dia belum mati dan selama dia belum mati dia tidak akan kehabisan harapan. Mereka belum membunuhnya, berarti bahwa dia masih mempunyai harapan untuk dapat menyelamatkan diri. Bun Beng tidak berusaha lagi untuk mengerahkan tenaga, bahkan dia lalu melemaskan tubuhnya agar dapat bergantung pada punggung kuda dengan enak. Rombongan itu melalui hutan terakhir yang penuh dengan pohon bambu. Daerah ini memang terkenal dengan pohon bambu yang bermacam warna dan bentuknya. Hati Thian Tok Lama terasa lega karena kota raja sudah dekat. Tembok kota raja yang tinggi sudah tampak dari tempat tinggi itu, merupakan bayangan hitam memanjang yang tertimpa sinar bintang-bintang di langit yang remang-remang.
Angin malam mempermainkan daun-daun bambu, menimbulkan rasa berkelisik.. Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dan serta merta terjadilah kekacauan ketika rombongan itu diserang oleh daun-daun bambu yang datang bagaikan anak panah atau senjata rahasia piauw yang runcing. Tadinya mereka mengira bahwa daun-daun bambu itu rontok oleh angin besar, akan tetapi setelah daun-daun bambu ini menancap dan melukai kulit daging, barulah mereka terkejut dan menjadi kacau! Kekacauan menjadi-jadi ketika sampai batang-batang bambu yang panjang tiba-tiba meliuk dan menyerang mereka, seolah-olah rumpun bambu itu menjadi hidup dan digerakkan oleh setan-setan menyerang rombongan itu.
Terdengar suara berdebuk disusul robohnya orang susul-menyusul ketika tubuh-tubuh itu dihantam oleh batang bambu. Thian Tok Lama dan Wan Keng In cepat dapat menduga bahwa amukan pohon-pohon dan daun-daun bambu itu tentulah perbuatan musuh yang lihai. Akan tetapi pada saat mereka menggerakkan senjata hendak membunuh Bun Beng, tiba-tiba sebatang pohon bambu yang besar dan panjang terbang menyerang mereka, berikut cabang-cabang dan daun-daunnya. Tentu saja keduanya menjadi terhalang dan mereka menggerakkan senjata membabat runtuh batang bambu itu. Akan tetapi kuda yang membawa tubuh Bun Beng sudah meringkik keras, terlempar dan roboh dengan perut tertembus batang bambu, sedangkan Bun Beng sendiri yang tadinya menelungkup di atas punggung kuda, melintang, sudah lenyap!
"Tawanan lenyap!"
"Kejar....!"
"Tangkap pengacau!"
Teriakan-teriakan para panglima itu menambah kekacauan dan di antara suara hiruk-pikuk mereka terdengarlah suara terkekeh menyeramkan, suara yang terdengar makin menjauh dan akhirnya lenyap.
"Tidak perlu dikejar, percuma saja karena dialah yang datang menolong Bun Beng,"
Kata Wan Keng In yang menjadi lemas tubuhnya ketika mendengar suara ketawa itu. Thian Tok Lama menahan kudanya.
"Siapakah dia?"
Wan Keng In menarik napas panjang.
"Siapa lagi kalau bukan Bu-tek Siauw-jin? Kalau dia muncul dan ikut-ikut, kita takkan mampu menghadapinya. Dan setelah dia muncul, orang satu-satunya yang dapat melawannya hanyalah guruku. Karena itu, aku tidak akan ikut bersamamu ke kota raja, Thian Tok Lama. Aku harus mencari guruku, minta bantuannya untuk menghadapi tua bangka cebol itu. Sampai jumpa!"
Tanpa menanti jawaban, Wan Keng In yang merasa jerih mendengar suara ketawa susioknya, Bu-tek Siauw-jin, berkelebat dan lenyap dari depan Thian Tok Lama. Pendeta Tibet ini menarik napas berulang-ulang, menggeleng kepala dan dengan hati risau terpaksa memimpin sisa pasukannya yang ketakutan itu ke kota raja. Memang dia telah berhasil membasmi Thian-liong-pang akan tetapi pasukannya pun rusak, tawanan lenyap dan banyak panglima tewas, termasuk pembantu kepercayaan Koksu, Panglima Bhe Ti Kong. Sementara itu, jauh dari situ, di dalam hutan yang gelap, Bu-tek Siauw-jin berjalan seorang diri sambil memanggul sebatang bambu panjang dan di ujung bambu itu terpikul tubuh Bun Beng yang masih terbelenggu kaki tangannya!
Sementara itu, di dalam istana kaisar sendiri terjadilah hal yang amat hebat dan penting. Kaisar sendiri yang sibuk dengan urusan pemerintahan, dalam usahanya untuk mendatangkan kemakmuran kepada rakyat agar pemerintahannya, pemerintah penjajah, mendapat kesan baik di hati rakyat, sama sekali tidak menduga bahwa di antara para pembantunya yang paling dipercaya sedang mengatur pemberontakan untuk menjatuhkannya. Kaisar Kang Hsi memang seorang kaisar yang pandai. Akan tetapi, sebagai seorang manusia biasa yang tak terlepas daripada kekurangan, Kaisar yang menjadi pembangun dasar-dasar kekuatan pemerintah Mancu ini mempunyai kelemahan terhadap wanita.
Banyak sekali selirnya dan banyak pula anaknya. Karena terlalu banyak inilah maka terjadi perebutan dan iri hati, dan Pangeran Yauw Ki Ong adalah seorang di antara putera-puteranya dari selir yang demi cita-cita dan kemurkaan-nya tidak segan-segan melakukan pengkhianatan dan mengadakan persekutuan untuk memberontak dan menggulingkan ayahnya sendiri! Selir yang ratusan orang jumlahnya masih belum memuaskan hati Kaisar yang selalu haus akan wanita muda yang baru. Kelemahan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh mereka yang ingin menjilat dan mencari kedudukan lebih tinggi. Mereka selalu mengincar dara-dara muda yang cantik jelita untuk dipergunakan sebagai "persembahan", tentu saja dengan harapan mendapatkan balas jasa.
Kelemahan Kaisar ini menciptakan pembantu-pembantu yang palsu dan di samping ini, juga menimbulkan persaingan dan pertentangan di kalangan para selir itu sendiri. Mereka adalah wanita-wanita cantik yang masih muda. Dengan adanya terlalu banyak selir, mereka menderita dan tentu saja akibatnya memungkinkan terjadinya pelanggaran dan ketidaksetiaan. Untuk mengatasi hal ini, para selir itu dikurung dan dijaga keras oleh pengawal-pengawal yang semua terdiri dari thaikam (manusia kebiri). Penjagaan dan pengawasan keras ini mendatangkan penderitaan lahir batin bagi wanita-wanita muda itu sehingga mereka merupakan segolongan orang yang mudah dihasut untuk membenci Kaisar yang mereka anggap sebagai orang yang menyiksa mereka dan membuat hidup merupakan kesunyian dan kesengsaraan bagi mereka.
Malam hari itu, para selir yang seperti biasanya melewatkan malam sunyi dengan celoteh, saling berbisik mempercakapkan Kaisar dengan hati penuh iri, karena malam hari itu, semenjak sore hari, Kaisar telah mengeram dirinya di dalam kamar bersama seorang selir baru! Seorang dara yang kabarnya cantik sekali dan baru malam hari itu mendapat tugas kehormatan melayani Kaisar, seorang dara istimewa karena dara ini adalah persembahan dari Koksu sendiri! Menurut berita yang didengar sebagian para selir yang tidak melihat sendiri, mendengar penuturan para thaikam penjaga, dara itu selain muda remaja, juga memiliki kecantikan yang luar biasa, bermata agak kebiruan, hidungnya mancung dan kulitnya putih kemerahan, seorang dara asing dari see-thian (dunia barat)! Dan sebagai persembahan dari Koksu sendiri, tentu saja dara itu mempunyai kedudukan istimewa.
Para thaikam tidak berani bersikap kurang hormat karena takut kepada Koksu, bahkan para selir yang biasanya suka mengeluarkan perasaan iri mereka terhadap selir lain dengan berani, sekarang hanya berani mempercakapkan selir baru ini dengan bisik-bisik. Semua orang di istana, bahkan para selir dan para pelayan sekalipun, tahu belaka akan kekuasaan Koksu yang ditakuti! Malam itu memang istimewa. Hal ini bukan hanya dirasakan oleh para selir dan para thaikam yang bertugas jaga, melainkan terutama sekali oleh Kaisar sendiri. Semenjak Kaisar menerima gadis persembahan Koksu yang datang menghadap pagi hari itu, Kaisar merasakan sesuatu yang lain daripada biasa. Belum pernah dia melihat kecantikan seorang dara seperti dara peranakan Nepal ini.
Kecantikan yang khas, dan yang sekaligus menjatuhkan rasa sayang dan membangkitkan gairah di hati Kaisar itu. Terangsang oleh gairah ingin cepat-cepat berdua saja dengan Si Jelita ini, Kaisar menunda semua urusan, dan baru saja matahari mengundurkan diri Kaisar sudah memasuki kamar peraduannya yang istimewa dan memerintahkan Si Juita datang menghadap dan melayaninya. Kamar ini luas sekali, berbau harum dan dindingnya yang berwarna hijau muda dihias bunga-bunga dan lukisan-lukisan indah. Lantainya dari batu pualam yang jernih dan satu-satunya perabot kamar itu hanyalah kasur-kasur tebal yang memenuhi bagian tengah, ditilami kain berbulu yang halus dan hangat, dengan bantal-bantal terhias sarung sutera bersulam indah. Kaisar telah duduk setengah rebah di atas kasur ketika Thaikam kepala membuka pintu kamar.
Thaikam berlutut di luar pintu dan tampak seorang dara yang bertubuh tinggi ramping dengan langkah gontai dan lemah lembut. Setelah dara itu memasuki kamar, daun pintu tertutup lagi di belakangnya dan terdengar langkah-langkah halus Thaikam kepala meninggalkan depan pintu disusul suaranya berbisik-bisik mengatur penjagaan. Seperti biasa, setiap kali Kaisar bermalam di kamar ini, di empat penjuru luar kamar selalu dijaga oleh pengawal-pengawal thaikam yang berkepandaian tinggi, di samping pelayan-pelayan wanita yang berlutut di luar kamar, diam tak bergerak seperti arca akan tetapi siap untuk memasuki kamar apabila tenaga dan pelayanan mereka dibutuhkan. Empat orang pelayan wanita yang muda dan masih gadis malam itu menjaga di luar kamar, tubuh mereka yang duduk bersimpuh itu tak bergerak,
Akan tetapi mata mereka kadang-kadang mengerling liar ke arah kamar dan jantung mereka berdebar penuh ketegangan. Biarpun mata mereka tidak mungkin menembus dinding kamar untuk menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar, akan tetapi dinding itu terbuat dari papan kayu tipis halus sehingga telinga mereka dapat mendengar semua suara dari dalam kamar. Suara yang lirih sekalipun, seperti berkereseknya pakaian atau tarikan napas panjang, dapat terdengar jelas! Dara itu benar-benar cantik luar biasa. Kedua kakinya tidak bersepatu, telanjang dan bersih, tampak putih kemerahan di balik pakaiannya yang terbuat dari sutera longgar, pakaian tidur yang khusus dibuat untuk selir-selir kaisar, hanya merupakan kain sutera tipis menyelimuti tubuh dan membayangkan bentuk tubuh yang padat menggairahkan,
Penuh lekuk lengkung yang menantang. Ketika dara itu tiba di depan pembaringan yang hanya kasur terletak di atas lantai, dia menjatuhkan diri berlutut, menelungkup sehingga kedua lengannya rebah di atas lantai di depan kepalanya, pangkal kedua lengan menutupi muka, rambutnya tergerai lepas di atas lantai. Kulit leher yang putih kemerahan dan halus membayang dari celah-celah rambut yang tersibak, dan sebagian lengan yang dilonjorkan keluar dari selimutan Sutera, tampak putih bersih dan halus bagaikan lilin diraut! Kaisar terpesona. Tubuh yang muda dan sempurna, tidak terlalu besar tidak terlalu kecil, tidak terlalu tinggi atau pendek. Cuping hidungnya bergerak mencium keharuman yang keluar dari rambut dan leher agak terbuka penutupnya itu, dan dengan suara agak gemetar Kaisar berkata halus,
"Bangunlah....!"
Tubuh yang berlutut setengah menelungkup di atas lantai batu pualam dan yang tadi tidak bergerak-gerak itu menggigil sedikit, lalu kedua lengan diangkat, dan tubuh itu bangkit duduk, wajahnya tampak cantik jelita dan segar kemerahan kedua pipinya, mulut yang amat manis bentuknya membentuk senyum malu, senyum ditahan yang membuat bibir itu gemetar halus, kedua mata yang lebar setengah terpejam dengan pandangan menunduk sehingga bulu mata yang lentik panjang membentuk bayang-bayang di atas pipi, leher yang panjang itu tampak jelas, kepalanya agak dimiringkan. Kaisar makin terpesona, kini dia duduk dan mengembangkan kedua lengannya sehingga pakaian tidurnya terbuka memperlihatkan dada yang bidang dan perut yang mulai menggendut.
"Juita sayang.... jangan takut dan malu, ke sinilah...."
Kembali Kaisar berbisik.
Muka itu makin merunduk, bibirnya merekah dan tampak deretan gigi seputih mutiara menggigit sebelah dalam bibir bawah, kemudian dara itu bergerak maju dengan menggunakan kedua lututnya, menghampiri Kaisar. Begitu tiba dekat, Kaisar sudah menerkam-nya dengan pelukan penuh gairah. Para thaikam yang menjaga di luar kamar itu mendengarkan suara di dalam kamar dengan wajah tidak berubah sama sekali. Mereka sudah terbiasa dan keadaan mereka sebagai orang kebiri telah melenyapkan pula perasaan halus mereka. Mereka berdiri berjaga dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan. Akan tetapi yang amat tersiksa adalah gadis-gadis pelayan yang terpaksa memejamkan mata dan menggigit bibir mendengarkan segala kemesraan yang berlangsung di dalam kamar Kaisar.
Wajah mereka sebentar pucat sebentar merah. Kaisar seperti mabuk dalam nafsunya sehingga kehilangan kewaspadaan, tidak mendengar kegaduhan yang terjadi di luar kamarnya. Padahal, terdengar bentakan tertahan sebelum para pengawal thaikam itu roboh tewas, dan seorang diantara para gadis pelayan sempat menjerit kecil sebelum dia roboh pula seperti teman-temannya. Kaisar yang tergila-gila kepada dara bermata biru itu, yang mabok dalam buaian nafsunya sendiri, sama sekali tidak tahu bahwa di luar kamarnya darah berlepotan membanjiri lantai. Bukan hanya ini saja kelengahannya, bahkan dia juga tidak tahu betapa dara yang membuatnya seperti gila, yang sempat mengeluarkan rintihan merayu, dengan kedua lengan yang halus dan jari-jari tangan yang membalas belaiannya, juga merupakan maut yang siap mencabut nyawanya!
Tanpa terlihat oleh Kaisar, dua buah jari tangan yang halus meruncing dan indah itu kini telah menjepit sebatang jarum dan jari-jari tangan yang mengandung tenaga kuat itu siap untuk menusukkan jarum ke dalam otak di kepala Kaisar melalui pusat di tengkuk! Tiba-tiba tampak sinar berkelebat dari arah pintu kamar. Dara dalam pelukan Kaisar itu tiba-tiba mengeluarkan suara menjerit nyaring lalu tubuhnya berkelojotan dalam sekarat! Tentu saja Kaisar menjadi terkejut sekali, serta-merta meloncat, menyambar pakaiannya dan membalikkan tubuh memandang ke arah pintu. Pintu telah terbuka dan di tengah pintu tampak seorang wanita setengah tua yang cantik, gagah dan mengerikan karena mukanya yang cantik itu putih seperti kapur! Wanita itu segera menjatuhkan diri berlutut ke arah Kaisar! Kaisar yang terkejut sekali itu dapat menguasai diri dan membentak marah,
"Siapa engkau sungguh berani mati sekali! Pengawal....!"
"Hendaknya Paduka ketahui bahwa semua pengawal dan pelayan telah terbunuh dan nyaris Paduka juga terancam maut di tangan perempuan itu."
Wanita bermuka putih itu berkata tanpa mengangkat muka dan dengan sikap hormat, akan tetapi juga dingin. Kaisar yang sudah bangkit berdiri itu membalik dan memandang ke arah dara yang tadi membuatnya mabok dan lupa segala. Tubuh yang mulus dan indah itu masih membujur telentang di atas kasur, dengan sikap menggairahkan, akan tetapi kini sudah tidak bergerak lagi, sudah tidak bernyawa dengan pelipis terluka mengeluarkan darah. Akan tetapi bukan tubuh itu dan bukan luka itu yang membuat Kaisar terbelalak, melainkan jari tangan yang menjepit sebatang jarum hitam!
"Apa.... apa yang telah terjadi....?"
Kaisar tergagap karena merasa heran dan tidak mengerti.
"Harap Sri Baginda mengampunkan hamba yang lancang ini. Persekutuan pemberontak telah merencanakan ini semua, dipimpin oleh Koksu. Perempuan ini adalah seorang kaki tangan Koksu yang bertugas merayu dan membunuh Paduka dengan tusukan jarum beracun. Sedangkan para thaikam pengawal di bagian istana ini telah dibunuh oleh kaki tangan pemberontak. Karena tadi melihat betapa perempuan ini hampir saja membunuh Paduka, terpaksa hamba tidak sempat memberi tahu dan turun tangan membunuhnya."
"Apa....? Pemberontak? Koksu? Heii, wanita, jangan engkau lancang bicara! Dosamu sungguh besar....!"
Pada saat itu, muncul dua orang bersorban di belakang wanita itu. Mereka menggerakkan tangan dan dua batang pisau terbang meluncur ke dalam kamar. Wanita itu berseru, tubuhnya mencelat ke depan dan sekali sambar dia telah berhasil menangkap dua batang pisau yang menyerang Kaisar, kemudian dengan kecepatan kilat dia telah menyambitkan pisau-pisau rampasan itu ke belakangnya. Dua orang Nepal itu memekik dan roboh terjengkang dengan dada tertusuk pisau mereka sendiri! Kini barulah Kaisar yakin akan kebenaran kata-kata wanita aneh itu.
"Aihhh.... lekas ceritakan dengan singkat, apa yang terjadi!"
"Hamba bernama Lulu dan secara kebetulan saja hamba tahu akan persekutuan busuk ini. Pemberontakan direncanakan oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu dan kaki tangan mereka, bahkan di perbatasan utara telah dipersiapkan tentara pemberontak gabungan, dibantu orang-orang Nepal, Mongol dan Tibet. Hamba tidak tahu banyak, akan tetapi untung hamba tidak terlambat ketika Paduka terancam...."
"Hemm, jasamu cukup dan kami berterima kasih kepadamu. Lulu namamu? Engkau wanita Mancu? Seperti pernah aku mendengar nama ini. Lulu, sekarang kuperintahkan engkau untuk membasmi para pembunuh di istana puteri ini. Kuberi kekuasaan kepadamu."
"Akan tetapi Paduka? Hamba harus menjaga Paduka...."
"Aku akan kembali ke istana melalui jalan rahasia di dalam kamar ini. Jangan khawatir, sebentar lagi pengawal-pengawalku akan membantumu sehingga tidak seorang pun pembunuh akan lolos. Lakukanlah perintahku!"
Wanita itu yang bukan lain adalah Lulu atau bekas Ketua Pulau Neraka, memberi hormat lalu berkelebat keluar dari kamar itu. Kaisar memandang ke arah tubuh jelita yang kini telentang menjadi mayat, menghela napas panjang penuh penyesalan, lalu menghilang di balik sebuah pintu rahasia yang muncul ketika Kaisar menekan tombol di sudut kamar.
Dengan gerakan ringan bagaikan seekor burung walet, Lulu meloncat keluar dari dalam kamar. Sambaran senjata rahasia membuat dia waspada, tubuhnya mengelak dan sekali meloncat dia telah naik ke atas sebuah meja. Dari belakang muncullah empat orang bersorban yang bersenjata golok melengkung. Golok mereka itu berlepotan darah dan dengan ganas mereka menyerang Lulu.
"Sing-sing.... crak-crakkkk!"
Meja di mana Lulu tadi berdiri pecah-pecah tertimpa senjata tajam, akan tetapi Lulu sendiri sudah lenyap dari situ dan tahu-tahu telah berada di belakang dua orang Nepal membalas serangan dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.
Dua orang Nepal itu bukanlah orang-orang biasa, melainkan jagoan-jagoan pilihan yang bertugas membantu dan mengawal wanita yang akan membunuh Kaisar. Mereka ini terdiri dari dua belas orang Nepal dan tiga orang Han dan semua thaikam yang menjaga di istana bagian puteri ini telah mereka bunuh. Tamparan Lulu dapat mereka elakkan, bahkan mereka memutar tubuh sambil menyerang lagi dengan golok. Akan tetapi yang mereka hadapi adalah Lulu, bekas Ketua Pulau Neraka yang memiliki kesaktian luar biasa. Biarpun tamparan-tamparannya luput, melihat dua orang Nepal itu balas menyerang dengan golok, Lulu sama sekali tidak mengelak bahkan mengembangkan kedua tangan menyambut golok-golok itu.
"Trak-trakkkkkk!"Dapat dibayangkan betapa kaget hati kedua orang Nepal itu melihat golok mereka dapat dicengkeram dan patah-patah oleh jari-jari tangan yang kecil halus itu, akan tetapi sebelum mereka sempat melanjutkan rasa kaget, keduanya sudah roboh dengan urat-urat leher putus terkena "bacok"
Kedua tangan Lulu!
"Hati-hati, kepung dia....!"
Tiba-tiba terdengar bentakan seorang Nepal yang berdiri di sudut. Orang ini, berbeda dengan yang lain, tidak membawa senjata, bahkan agaknya dia sedang asyik minum arak dari sebuah guci yang didapatnya di istana itu. Kemudian terdengar dia bicara dalam bahasa Nepal, dan orang-orang bersorban dibantu oleh tiga orang Han yang gerakannya ringan gesit kini mengurung Lulu dengan gerakan teratur.
Agaknya kakek Nepal yang minum arak itu tahu akan kelihaian Lulu dan sudah mengatur anak buahnya untuk mengurung dan membentuk barisan! Lulu berdiri di tengah-tengah ruangan yang luas, diam tak bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak mengerling ke kanan-kiri mengikuti gerak-gerik para pengurungnya. Dia melihat betapa mereka itu membentuk garis pat-kwa dan mulai mengeluarkan suara seperti bernyanyi atau berdoa! Mula-mula Lulu memandang rendah, sungguhpun dia bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa bergerak, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika suara nyanyian itu makin lama makin tidak enak sekali memasuki telinganya, seperti menusuk-nusuk dan dia mulai menjadi pening!
Pendekar Super Sakti Eps 7 Pendekar Super Sakti Eps 21 Kisah Pendekar Bongkok Eps 22