Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 18


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



"Omong kosong!"

   "Mari kita buktikan saja! Mari, kalau Locianpwe berani ikut bersama saya dan coba Locianpwe mengobati pamanku, kemudian baru pamanku mengobati Locianpwe. Hendak kulihat siapa di antara kalian yang lebih sakti!"

   Terbakar juga hati Yok-kwi oleh sikap dan kata-kata Syanti Dewi.

   "Baik! Aku pasti akan datang mengusir penyakitnya, akan tetapi kalau dia tidak mampu menyembuhkan penyakitku, dia akan kubunuh dan mungkin kau juga."

   "Boleh, itu taruhanku!"

   Jawab Syanti Dewi girang dan dara ini berlari cepat turun dari puncak, diikuti oleh Yok-kwi yang berjalan dibantu tongkatnya. Ketua Pek-san-pai dan ketua Hek-san-pai yang masih berada di situ menyambut dengan heran dan girang, juga kagum melihat bahwa Syanti Dewi benar-benar berhasil mengajak Yok-kwi turun puncak. Karena nama besar Yok-kwi yang berwatak aneh itu, semua orang memandang dengan segan dan takut, bahkan mereka tidak berani marah ketika kakek itu memasuki pondok tanpa membalas penghormatan mereka, bahkan tidak mengacuhkan mereka yang dianggapnya seperti arca saja. Dia langsung mengikuti Syanti Dewi memasuki ruangan besar di mana tubuh Bun Beng yang tadinya pingsan itu dibaringkan.

   "Paman....!"

   Syanti Dewi lari menghampiri pembaringan itu dan Bun Beng yang sudah siuman mengangkat muka, tersenyum kepada Syanti Dewi.

   "Dewi, apa yang kau lakukan? Ke mana kau pergi....?"

   "Aku mengundang Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Nah, ini dia sudah datang."

   Bun Beng menengok dan kedua orang sakti itu saling bertemu pandang. Diam-diam Bun Beng terkejut melihat kakek aneh itu, karena dia dapat melihat sinar aneh dari wajah kakek bertongkat itu. Sebelum Bun Beng sempat membuka mulutnya, Yok-kwi yang sudah marah sekali dan memandang rendah kepadanya, sudah melangkah maju dan berkata,

   "Keponakanmu ini menyombongkan kepandaianmu dan menantangku untuk menandingimu tentang ilmu pengobatan. Biarlah kuobati kau lebih dulu, baru kau mengobati aku, kalau kau mampu!"

   Tanpa menanti jawaban, Yok-kwi lalu berdiri tegak, matanya terpejam, pernapasannya seperti terhenti seketika. Kalau Syanti Dewi dan yang lain-lain memandang heran, adalah Bun Beng yang memandang kagum karena dia maklum bahwa kakek itu telah mengerahkan seluruh panca inderanya untuk mengumpulkan tenaga murni. Kemudian, Yok-kwi membuka matanya yang kini mengeluarkan cahaya berkilat, dan tongkatnya sudah bergerak mengetuk-ngetuk dan menotok-notok seluruh tubuh Bun Beng, dari ujung kaki sampai ubun-ubun kepala! Tentu saja Syanti Dewi terkejut dan khawatir, akan tetapi melihat Bun Beng tersenyum saja hatinya menjadi lega.

   "Ahhh....!"

   Sin-ciang Yok-kwi tiba-tiba berseru kaget ketika dengan tangan kirinya dia menekan-nekan dada dan perut Bun Beng. Yang mengejutkan hatinya itu adalah karena dia merasa betapa dari dalam pusar orang yang sakit itu keluar tenaga sakti yang amat kuat, yang kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, namun kedua macam inti tenaga Yang dan Im itu luar biasa kuatnya.

   Tahulah dia bahwa dara itu tidak berbohong dan memang orang yang sakit ini bukanlah seorang manusia biasa melainkan seorang yang memiliki kesaktian hebat! Maka dia pun tidak berani main-main lalu memeriksa keadaan Gak Bun Beng lebih teliti lagi. Orang-orang yang melihat cara kakek itu memeriksa orang sakit, biarpun hati mereka gentar terhadap kakek aneh yang galak itu, namun mereka merasa geli di dalam hati mereka. Sin-ciang Yok-kwi memang luar biasa. Dia memeriksa tubuh Bun Beng bukan hanya dengan mengetuk sana-sini dengan tongkatnya, memijat sana-sini dengan tangannya, juga dia menggunakan hidungnya untuk mencium-cium sana-sini dengan cuping hidung kembang kempis, malah akhirnya dia menjilat keringat di leher Gak Bun Beng, lalu menggerak-gerakkan mulut dan matanya terpejam seperti tingkah seorang yang mencicipi masakan apakah cukup asinnya!

   "Aihhh, luka dalam dadanya memang hebat dan akan mematikan orang yang bertubuh kuat sekali pun. Akan tetapi dia dapat bertahan, sungguh luar biasa!"

   Akhirnya dia berkata,

   "Bagi dia, luka itu tidak membahayakan, yang lebih hebat adalah keruhnya hati dan pikiran. Akan tetapi, aku bukan seorang ahli pengobatan yang pandai kalau tidak mampu menyembuhkan penyakit macam ini saja!"

   Kakek itu lalu menuliskan resep yang terdiri dari bahan yang aneh-aneh, sungguhpun tidak sukar untuk dicari. Di antara banyak daun, buah, bunga dan akar pohon dan tetumbuhan, juga terdapat arang kayu dan tujuh ekor kutu rambut dalam resep itu!

   "Beri dia minum ini pasti sembuh. Sepekan kemudian aku menanti dia di puncak Ci-lan-kok!"

   Kata kakek itu lalu pergi dari situ menyeret tongkatnya tanpa memperdulikan ucapan-ucapan terima kasih dari Syanti Dewi dan dua orang ketua perkumpulan. Akan tetapi tentu saja Syanti Dewi tidak memperdulikan sikap kakek aneh itu karena dia sudah cepat-cepat mempersiapkan obat seperti yang tertulis dalam resep.

   Dengan bantuan dua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, akhirnya dalam hari itu juga terkumpullah semua bahan resep yang lalu dimasak oleh Syanti Dewi sampai airnya tinggal semangkuk, lalu setelah dingin diminumkan kepada Gak Bun Beng. Pendekar itu masih berada dalam keadaan setengah pingsan, hanya teringat sedikit saja apa yang terjadi. Akan tetapi setelah minum obat itu, sinar mukanya yang tadinya pucat kekuningan berubah menjadi agak merah. Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi, dibantu dua orang ketua, merawat dan meminumkan obat menurut resep Sin-ciang Yok-kwi dan dalam waktu lima hari saja Gak Bun Beng sudah sembuh sama sekali! Pada pagi hari ke enam, ketika pendekar ini terbangun dengan tubuh yang ringan dan nyaman, masuklah dua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, bersama Syanti Dewi.

   "Paman, kau sudah sembuh....!"

   Syanti Dewi berseru girang sambil duduk di tepi pembaringan.

   "Hemm, berkat perawatanmu yang baik, Dewi."

   "Juga berkat bantuan kedua orang Paman Ketua, Paman Gak."

   "Ahh, kalau begitu aku berhutang budi kepada Ji-wi (Kalian berdua),"

   Kata Gak Bun Beng kepada kedua orang itu sambil mengangkat kedua tangan yang dirapatkan itu di depan dada.

   "Ah, Taihiap.... kamilah yang harus berterima kasih."

   Dua orang itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Gak Bun Beng. Pendekar ini terkejut dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat bangun mereka itu.

   "Jangan begitu, mari duduk dan kita bicara dengan baik,"

   Kata Gak Bun Beng dan setelah mereka duduk di atas bangku-bangku dalam kamar itu, Bun Beng berkata lagi.

   "Syukur bahwa kalian sudah sadar dan dapat hidup rukun sebagai saudara seperguruan."

   Keduanya menjura.

   "Kami telah sadar berkat bantuan Taihiap. Memang selama puluhan tahun kami berdua hidup sebagai musuh. Sungguh memalukan sekali. Sekarang kami insyaf dan kami akan berusaha menjadi orang baik-baik."

   Gak Bun Beng menghela napas panjang.

   "Ji-wi harus mengerti bahwa kebaikan tidak dapat diusahakan. Yang penting adalah menginsyafi dan menyadari akan keburukan kita sehingga semua keburukan itu hilang. Sumber air itu adalah pemberian alam, untuk siapa saja yang membutuhkan, cukup banyak. Mengapa harus diperebutkan? Lebih baik diusahakan agar airnya dapat mengalir di tempat-tempat yang membutuhkannya."

   Dua orang ketua itu mengangguk-angguk. Akan tetapi, sungguh sayang bahwa mereka itu kurang memperhatikan sehingga tidak dapat menangkap arti dari kata-kata Gak Bun Beng yang pertama kali tadi seperti juga manusia pada umumnya tidak pernah sadar akan keadaan dirinya sendiri seperti apa adanya. Mata ini tidak pernah dipergunakan untuk memandang keadaan diri sendiri sehingga mengenal diri pribadi saat demi saat, melainkan dipakai untuk merenung jauh ke depan, memandang, melihat dan menjangkau hal-hal yang belum menjadi kenyataan.

   Dua orang itu berjanji akan berusaha menjadi orang-orang baik! Dapatkah kebaikan itu diusahakan dan dipelajari? Kebaikan barulah sejati kalau menjadi sifat, seperti harum pada bunga. Kebaikan yang telah berada dalam diri manusia menuntun semua gerak-gerik perbuatan si manusia itu sehingga segala yang dilakukanpun tentu baik tanpa disadari lagi bahwa itu adalah kebaikan. Sebaliknya, kebaikan yang dipelajari, dilatih dan diusahakan, hanyalah akan menjadi pengetahuan belaka dan kalaupun ada perbuatan yang dianggap baik oleh orang yang memaksakan kebaikan dalam perbuatannya,, maka kebaikan itu hanyalah menjadi suatu cara untuk mencapai suatu tujuan, dan karenanya menjadi kebaikan palsu. Seperti kedok belaka. Kalau kita melakukan se-suatu yang kita anggap suatu kebaikan, tentu tersembunyi pamrih tertentu, baik pamrih lahir maupun batin di balik perbuatan yang kita lakukan itu.

   Dan kebaikan yang diusahakan, yang berpamrih, bukanlah kebaikan namanya, melainkan palsu, hanya merupakan cara atau jembatan untuk memperoleh yang dipamrihkan tadi. Kebaikan seperti itu serupa dengan seorang anak yang menyapu lantai dengan tekun dan bersih, namun pekerjaannya itu dilakukan karena dia mengingat bahwa ibunya akan memujinya, ayahnya tidak akan memarahinya kalau dia menyapu dengan baik. Baginya yang penting bukanlah menyapu lantai dengan bersih, melainkan ingin dipuji ibunya dan agar tidak dimarahi ayahnya. Sungguh jauh bedanya dengan kalau anak itu menyapu lantai dengan bersih karena memang dia CINTA AKAN PEKERJAANNYA ITU, karena dia memang suka melakukan pekerjaan itu tanpa pamrih apa-apa, bahkan dia tidak ingat lagi bahwa dia melakukan itu!

   Kebaikan adalah suatu sifat. Tidak dapat diusahakan atau dilatih. Yang penting adalah mengenal diri sendiri, membuka mata memandang keadaan diri sendiri. Kalau kita ingin menjadi orang baik, hal ini terdorong oleh kenyataan bahwa kita tidak baik, bukan? Daripada mengejar kebaikan, lebih baik kita menyadari akan ketidakbaikan kita, akan kekotoran kita. Kesadaran dengan pengertian mendalam ini akan menghentikan segala ketidakbaikan dan kekotoran itu, dan kalau sudah tidak ada ketidakbaikan lagi di dalam diri kita, perlukah kita berusaha menjadi baik? Kalau sudah tidak ada kekotoran di dalam diri kita, perlukah kita mencari kebersihan? Tidak perlu lagi, karena baik dan bersih itu sudah menjadi sifat setelah kejahatan dan kekotoran lenyap.

   "Aku hanya ingat secara samar-samar tentang seorang kakek yang mengobatiku. Dia datang bersamamu, Dewi. Siapakah dia?"

   Bun Beng bertanya kepada Syanti Dewi.

   "Memang, dia adalah Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Dialah yang mengobati Paman sampai sembuh. Akan tetapi dia itu orang gila, wataknya aneh dan mengerikan. Hanya dengan susah payah dan dengan akal saja aku berhasil mengajak dia ke sini mengobati Paman."

   "Aihh, kalau begitu aku harus mengunjunginya dan menghaturkan terima kasih kepadanya."

   Bun Beng berkata sambil bangkit berdiri.

   "Saya kira tidak usah, Paman. Jangan-jangan dia malah akan menimbulkan keributan baru!"

   Syanti Dewi lalu menceritakan akalnya menantang Sin-ciang Yok-kwi yang akan "diadu"

   Dalam hal kesaktian dengan pamannya, akal yang dipergunakan untuk memancing Kakek Setan Obat itu agar mau mengobati Bun Beng. Mendengar penuturan Puteri Bhutan itu, hati Bun Beng terharu sekali. Puteri yang berwatak halus itu sampai rela memaksa diri menjadi seorang pembohong dan penipu besar hanya karena ingin menolongnya! Dia lalu memegang tangan puteri itu dan berkata,

   "Jangan khawatir, kita harus pergi ke Ci-lan-kok. Ji-wi, kami akan pergi sekarang. Mari, Dewi!"

   Kedua orang ketua itu tidak dapat mencegah dan mereka bersama anak buah mereka hanya memandang dengan khawatir ketika melihat dua orang itu mendaki puncak Ci-lan-kok untuk menemui Sin-ciang Yok-kwi yang mereka takuti. Di tengah perjalanan menuju ke puncak itu, Syanti Dewi berkata,

   "Paman, perlukah kita menjumpainya? Aku telah membohonginya dan mengatakan bahwa Paman adalah seorang ahli pengobatan pula. Tentu dia akan marah-marah dan aku takut kalau-kalau hal ini akan menimbulkan sesuatu yang tidak menyenangkan, Paman."

   "Tenanglah, Dewi. Aku memang bukan seorang ahli pengobatan, akan tetapi aku melihat sesuatu ketika dia memeriksaku. Samar-samar aku masih ingat bahwa tubuh kakek itu mengeluarkan hawa beracun yang amat berbahaya. Kalau benar demikian, aku harus menolongnya."

   Syanti Dewi terkejut.

   "Begitukah? Ah, kalau demikian, memang seharusnya Paman menolongnya!"

   Gak Bun Beng menghentikan langkahnya dan memandang dara itu penuh kagum. Makin lama dia mengenal Puteri Bhutan ini, makin kagumlah hatinya, makin menonjol dan tampak olehnya sifat-sifat baik dara ini, makin jelas pula tampak olehnya kasih sayang bersinar keluar dari dalam hati dara itu melalui sinar matanya dan senyumnya, dalam kata-katanya. Dan makin gelisahlah dia!

   "Syanti Dewi, kau baik sekali. Selama ini.... ah, takkan terlupakan selama hidupku, engkau telah bersusah payah untukku, merawatku, membawaku lari dari kota raja melalui perjalanan yang sukar, membawa aku yang sedang sakit, kemudian mempertaruhkan nyawa memancing seorang aneh seperti Sin-ciang Yok-kwi untuk mengobatiku...."

   "Sshhh...., cukuplah, Paman. Diantara kita, kalau mau bicara tentang kebaikan, takkan ada habisnya karena siapakah yang menyelamatkan nyawaku, siapa yang selama ini kugantungi harapanku, yang menjadi pelindungku, menjadi pembelaku? Apa yang kulakukan untuk Paman tidak ada artinya sama sekali dan memang sudah seharusnya. Kita hanya berdua, kalau tidak saling bantu, habis bagaimana? Pula.... yang penting sekarang ini, asal Paman sudah sembuh kembali, aku sudah merasa girang bukan main. Soal-soal lain tidak perlu dibicarakan lagi, Paman."

   Mereka saling pandang. Dua pasang mata bertemu pandang dan saling bertaut sampai lama. Akhirnya Gak Bun Beng perlahan-lahan membuang muka, memejamkan mata seolah-olah tidak tahan dia melihat sinar mata penuh kasih yang ditujukan kepadanya dari sepasang mata yang bening indah itu! Aku harus menjauhkan diri darinya, harus dan secepat mungkin, demikian suara hatinya. Kalau dilanjutkan begini, berbahayalah aku! Akan tetapi Milana pun telah menjadi isteri orang lain, tentu saja tidak berhak mencampuri urusannya!

   "Kau kenapa, Paman?"

   Syanti Dewi mendekat dan memegang tangan Bun Beng karena merasa khawatir sekali melihat Bun Beng memejamkan mata dan mengerutkan keningnya. Bun Beng membuka matanya kembali, mata yang agak basah.

   "Tidak apa-apa, Dewi, mari kita lanjutkan perjalanan kita menemui Sin-ciang Yok-kwi."

   Ketika mereka tiba di depan kuil kuno, ternyata Sin-ciang Yok-kwi sudah menanti di depan kuil, duduk di atas batu besar dan memandang kepada Bun Beng dengan penuh perhatian. Gak Bun Beng cepat menghampiri dan bersama Syanti Dewi dia menjura kepada kakek itu.

   "Ha-ha-ha, bocah nakal! Apa kau masih tidak percaya akan kemampuanku mengobati? Sekarang pamanmu telah sembuh, bukan?"

   "Terima kasih atas pertolongan Locianpwe dan sejak dahulupun saya tidak pernah meragukan kepandaian Locianpwe,"

   Jawab Syanti Dewi.

   "Ha-ha-ha, memang kau nakal dan kau sengaja memancingku. Heii, Gak Bun Beng! Apakah kau datang untuk memperlihatkan kepandaianmu? Benarkah kau pandai mengobati?"

   Melihat sikap yang kasar dan terbuka dari kakek itu, Gak Bun Beng tersenyum dan sambil memandang wajah kakek itu dia berkata,

   "Sin-ciang Yok-kwi, terus terang saja bahwa keponakanku ini berbohong kepadamu. Aku bukan ahli pengobatan, dan aku berterima kasih kepadamu bahwa kau telah menyembuhkan penyakitku. Akan tetapi, ketika engkau memeriksaku, aku mendapat kenyataan bahwa ada hawa beracun keluar dari dadamu. Kalau engkau memang tidak keberatan, aku suka untuk mengeluarkan hawa beracun dari tubuhmu."

   Kakek itu kelihatan terkejut, kemudian membuka kancing bajunya di depan dada.

   "Nah, kau boleh memeriksa!"

   Bun Beng melangkah dekat, menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan ke dada kakek itu. Terkejutlah dia! Benar-benar terdapat hawa mujijat dalam dada kakek itu yang amat kuat dan aneh, yang tak dapat dikendalikan oleh kakek itu sehingga menjadi penyakit yang hebat.

   "Tidak salah!"

   Serunya.

   "Ada hawa beracun yang kuat di dalam tubuhmu, Sin-ciang Yok-kwi. Akan tetapi karena bukan tabib, aku tidak tahu mengapa bisa demikian dan mengapa pula sampai berlarut-larut kau diamkan saja!"

   "Engkau hebat,"

   Yok-kwi berkata.

   "Biarpun engkau tidak tahu akan ilmu pengobatan, namun dengan rabaan tangan yang penuh dengan sin-kang engkau sudah dapat mengetahui keadaanku yang tak kuketahui sendiri! Sekarang mengertilah aku. Dahulu, karena terlampau ingin menguasai ilmu pengobatan terhadap segala macam racun, aku sengaja menelan bermacam-macam racun lalu kuobati sendiri. Semua obatku bisa menolong memunahkan racun itu, akan tetapi agaknya hawa racun dan obat yang memunahkannya telah berkumpul sedikit demi sedikit di dalam tubuhku tanpa kurasakan sehingga kini tidak dapat kukeluarkan lagi. Kalau aku mengerahkan kekuatan sin-kang, tentu perlindungan di tubuhku kurang kuat dan hawa itu akan membunuhku. Untung selama ini aku tidak bertanding melawan musuh kuat, karena pengerahan sin-kang yang kuat tentu akan membunuhku sendiri. Hemm.... kau sudah menemukan penyakitku, biarpun tidak ada obatnya, aku tidak akan penasaran lagi andaikata penyakit ini akan mencabut nyawaku."

   "Tidak, Sin-ciang Yok-kwi. Hawa itu dapat saja diusir dari dalam tubuhmu. Aku akan membantumu."

   "Tapi.... hal itu membutuhkan tenaga yang amat kuat...."

   "Akan kucoba. Duduklah bersila dan mari kita mulai. Dengan kekuatan kita berdua, mustahil hawa itu tidak akan dapat terusir keluar."

   Sejenak kakek itu menatap wajah Bun Beng, kemudian bertanya,

   "Gak Bun Beng, aku tidak pernah mendengar namamu sebagai seorang tokoh besar. Dari partai manakah engkau?"

   Gak Bun Beng tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Bukan dari partai manapun juga. Apa sih bedanya itu? Mari, silakan."

   Sin-ciang Yok-kwi lalu melempar tongkatnya ke samping dan duduk bersila di atas tanah. Bun Beng juga segera duduk bersila di depan kakek itu, meluruskan kedua lengannya ke depan sehingga kedua tangannya menempel pada dada kakek itu.

   Syanti Dewi hanya menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Dia mengharapkan pendekar sakti itu akan mampu menyembuhkan kakek itu, akan tetapi di samping ini dia juga khawatir karena biarpun ilmu silatnya sendiri belum tinggi akan tetapi dia pernah mendengar betapa menyembuhkan orang dengan menggunakan sin-kang itu amat melelahkan. Dia khawatir kalau-kalau Gak Bun Beng yang baru saja sembuh akan kehabisan tenaga dan jatuh sakit lagi. Sin-ciang Yok-kwi terkejut bukan main ketika dia merasa betapa dari kedua tangan Bun Beng keluar hawa yang amat panas, mula-mula hanya hangat akan tetapi makin lama makin panas menyerap ke dalam dadanya. Dia mengikutinya, juga dengan pengerahan sin-kangnya, membuat tubuhnya menjadi panas sampai mengepulkan uap!

   Hawa panas yang masuk dari kedua telapak tangan Bun Beng itu amat kuatnya, terasa bergerak berputaran di dalam dadanya, hampir tak tertahankan panasnya sampai kakek ini mengeluarkan keringat dan napasnya mulai terengah-engah. Bun Beng melihat ini, maka dia lalu mengurangi tenaga Hwi-yang Sin-kang (Hawa Sakti Inti Api) sehingga rasa panas yang menyerang Yok-kwi mulai berkurang dan makin lama makin dingin, akan tetapi tidak berhenti menjadi normal karena terus menjadi makin dingin sampai luar biasa sekali. Kembali Yok-kwi terkejut dan kagum. Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga dalam dan memiliki sin-kang yang kuat. Akan tetapi menghadapi hawa dingin yang keluar dari sepasang telapak tangan orang itu, dia tidak mampu mengikutinya terus dan tubuhnya segera menggigil kedinginan.

   Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng telah mengganti tenaga Hwi-yang Sin-kang tadi menjadi Swat-im Sin-kang (Hawa Sakti Inti Salju)! Dua tenaga sin-kang yang bertentangan dan yang hanya dimiliki oleh penghuni Pulau Es. Syanti Dewi memandang dengan bingung dan heran, juga khawatir! Dia tidak tahu apa yang telah dan sedang terjadi. Dia hanya melihat betapa kakek yang sakti itu tadinya menjadi merah mukanya, mengeluarkan banyak keringat dan tubuhnya beruap, napasnya agak terengah-engah, akan tetapi sekarang keadaannya berubah, mukanya menjadi pucat dan agak kebiruan, tubuhnya menggigil dan napasnya makin terengah-engah! Dengan kekuatan sin-kangnya yang hebat,

   Perlahan-lahan Bun Beng mendorong keluar hawa mujijat yang mengeram di dalam dada dan perut kakek itu dan mulailah tampak uap hitam membubung keluar dari mulut, hidung dan tubuh atas kakek itu! Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dia melanjutkan pengerahan Swat-im Sin-kang, kakek itu tentu tidak akan dapat bertahan, maka melihat betapa hawa beracun itu sudah mulai keluar, dia merubah lagi pengerahan sin-kangnya dan kini dia mengerahkan Tenaga Sakti Inti Bumi yang halus dan lunak namun menyembunyikan kekuatan yang dahsyat pula. Uap menghitam yang membubung keluar itu makin menipis, kemudian kakek itu mengeluarkan keluhan panjang dan tubuhnya terguling roboh, tepat pada saat Bun Beng lebih dulu menarik kembali tenaganya. Pendekar ini cepat memejamkan matanya, mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya yang diperas keluar dari tubuhnya yang masih lemah tadi.

   Syanti Dewi memandang dengan hati gelisah. Dia melihat Yok-kwi terguling roboh dan tidak bangun kembali, sedangkan Gak Bun Beng masih duduk bersila dengan muka pucat. Dan kakek kecil pendek yang tadi menyerang dengan lemparan senjata rahasia sehingga merobohkan Yok-kwi telah berdiri di belakang Gak Bun Beng. Sambil menyeringai, Sin-kiam Lo-thong, bekas jagoan panggilan pihak Hek-san-pai, kini mencabut pedangnya dan menghampiri Gak Bun Beng! Munculnya kakek bertubuh kanak-kanak ini memang mengejutkan dan tidak disangka-sangka. Tadi ketika Gak Bun Beng dan Yok-kwi keduanya sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada pengobatan itu, kakek ini muncul dan langsung saja menyerang Yok-kwi dengan jarum merah.

   Karena tidak menyangka dan terkena jarum tepat pada lehernya, kakek itu roboh terguling dan pingsan, sedangkan Gak Bun Beng yang sedang mengerahkan Tenaga Inti Bumi secara tiba-tiba mengalami kekagetan dan menarik kembali tenaganya secara serentak, membuat tubuhnya yang masih lemah itu mengalami goncangan hebat sehingga dia terpaksa harus menghimpun hawa murni, kalau tidak jantungnya bisa pecah! Sin-kiam Lo-thong tersenyum girang. Dia menganggap bahwa Yok-kwi tentu telah tewas karena lehernya kemasukan jarum merahnya, sedangkan sebagai seorang ahli dia maklum akan keadaan Gak Bun Beng, maka dengan cepat dia sudah menghampiri pendekar itu dengan pedang terhunus.

   "Manusia keji....!"

   Syanti Dewi menjerit dan cepat dia menyambar batu sebesar kepala, menyambitkan batu itu sekuat tenaganya ke arah Sin-kiam Lo-thong yang sudah berada dekat sekali di belakang Gak Bun Beng. Sin-kiam Lo-thong mengangkat lengan kirinya menangkis batu yang menyambarnya itu.

   "Prakkk!"

   Batu itu hancur berkeping-keping dan Sin-kiam Lo-thong sudah menggerakkan tangan kanannya, pedangnya membacok ke arah leher Gak Bun Beng.

   "Ouhhh.... jangan....!"

   Syanti Dewi menjerit dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.

   "Singgg....!"

   Pedang di tangan Sin-kiam Lo-thong berkelebat menjadi sinar terang yang menyambar ke arah leher Gak Bun Beng. Syanti Dewi memejamkan mata membayangkan betapa leher pendekar itu akan terbabat putus!

   "Takkk! Aughhh....!"

   Mendengar pekik ini, Syanti Dewi membuka matanya dan dia terbelalak keheranan namun juga kegirangan melihat bahwa Gak Bun Beng masih tetap saja duduk seperti tadi, bersila dan lehernya masih utuh! Sebaliknya, Sin-kiam Lo-thong terlempar ke belakang, pedangnya terlepas dari pegangan dan kini kakek bertubuh kanak-kanak itu merangkak hendak bangun dengan muka pucat dan ketakutan.

   Kiranya seluruh tubuh Gak Bun Beng pada saat itu masih terlindung hawa sin-kang Inti Bumi sehingga ketika pedang itu menyambar tengkuk, otomatis tenaga sakti itu melindungi dan tidak hanya membuat pedang itu tidak melukai tengkuk, bahkan reaksi dari tenaga sakti itu membuat pedang terlempar dari tangan Lo-thong dan kakek itu sendiri terpukul hawa mujijat itu dan terlempar ke belakang! Betapa kagetnya ketika Lo-thong melihat bahwa kini Yok-kwi telah bangun dan sedang menghampirinya dengan mata melotot penuh kemarahan. Disangkanya Yok-kwi telah tewas. Tidak mungkin orang yang sudah ditembusi jarum merah lehernya masih dapat hidup! Dan memang Yok-kwi juga masih tertolong oleh hawa sin-kang yang dikerahkan Gak Bun Beng ketika
(Lanjut ke Jilid 18)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18
mengobatinya tadi.

   Hawa sin-kang yang amat kuat itu sedang berputar-putar di seluruh tubuhnya, maka ketika jarum merah menyambar dan mengenai lehernya, otomatis hawa sin-kang itu melindunginya, membuat lehernya kebal sehingga jarum merah itu tidak terus masuk, melainkan menancap setengahnya saja. Yok-kwi tadi pingsan bukan karena jarum merah melainkan karena ditariknya Tenaga Inti Bumi oleh Bun Beng secara tiba-tiba. Perubahan mendadak itulah yang membuat dia pingsan. Akan tetapi dia pingsan hanya sebentar. Ketika siuman dan mencabut jarum dari lehernya, dia melihat Lo-thong terlempar dan kini dia menghampiri kakek kecil itu dengan penuh kemarahan. Sin-kiam Lo-thong meloncat dan hendak melarikan diri, akan tetapi Yok-kwi membentak,

   "Pemberontak hina, hendak lari ke mana kau?"

   Tangannya bergerak, jarum merah itu menyambar dan Lo-thong memekik nyaring, roboh dan berkelojotan karena jarumnya sendiri telah menembus ke dalam kepalanya melalui tengkuk!

   "Paman....!"

   Syanti Dewi menghampiri Bun Beng dan berlutut, mukanya masih pucat akan tetapi bibirnya tersenyum tanda girang. Bun Beng membuka kedua matanya, tersenyum kepada Syanti Dewi, kemudian berdiri dan menengok. Alisnya berkerut ketika dia melihat Lo-thong berkelojotan dalam sekarat.

   "Yok-kwi, kenapa engkau membunuhnya?"

   "Dia layak dibunuh dua kali!"

   Jawab kakek itu.

   "Kenapa?"

   "Pertama, dia tadi hendak membunuh kita berdua. Kedua kalinya, dia adalah seorang anggauta pemberontak laknat, kaki tangan Pek-lian-kauw."

   "Hemm....!"

   Gak Bun Beng tidak berkata apa-apa lagi melainkan memandang kepada tubuh kecil yang sudah tidak bergerak lagi itu sambil menarik napas panjang. Yok-kwi menghampirinya dan menjura.

   "Gak-taihiap, selain amat berterima kasih bahwa engkau telah dapat menyembuhkanku, juga aku merasa amat kagum akan kesaktian Taihiap. Kalau sekiranya kakimu buntung sebelah, tentu engkau inilah yang patut menjadi Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es yang terkenal."

   Gak Bun Beng tersenyum.

   "Beliau adalah guruku."

   Kakek itu terbelalak, lalu tertawa dan kembali menjura dengan hormat.

   "Ha-ha-ha, kiranya begitu? Ah, maafkan aku yang tidak mengenal Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Sungguh beruntung sekali aku dapat berjumpa dan bersahabat dengan seorang murid Pendekar Super Sakti. Gak-taihiap, namaku adalah Kwan Siok, nama yang puluhan tahun kusembunyikan sehingga orang menyebutku Yok-kwi. Dan aku datang ke sini bukan hanya untuk mengasingkan diri dan menguji kepandaian dengan mendekati dua perkumpulan yang saling bermusuhan, akan tetapi juga diam-diam aku memperhatikan keadaan para pemberontak yang mulai meluaskan pengaruhnya di perbatasan ini. Diam-diam aku membantu untuk membalas budi kepada Puteri Mi-lana...."

   Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya ketika melihat Bun Beng memandangnya dengan mata bersinar-sinar kaget. Akan tetapi ketika Bun Beng merasa betapa jari-jari tangan Syanti Dewi mencengkeram lengannya, dia dapat menenangkan hatinya sambll tersenyum dia berkata,

   "Budi apakah yang kau terima dari puteri yang gagah perkasa dan terkenal itu?"

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Yok-kwi menjura lagi.

   "Maaf, tentu Taihiap mengenal baik Puteri Milana. Bukankah dia itu puteri dari Pendekar Super Sakti? Sebagai murid pendekar itu maka kau...."

   "Tentu saja, dia terhitung sumoiku sendiri. Nah, katakanlah, budi apa yang kau terima darinya?"

   "Ketika aku dikepung oleh musuh-musuhku, para tokoh Pek-lian-kauw yang sudah puluhan tahun menjadi musuhku, dalam keadaan terdesak dan terancam bahaya maut Puteri Milana lewat dan menolongku. Kini, kota raja sedang ribut dengan adanya pertentangan antara para pengeran, dan ada usaha-usaha pemberontakan. Melihat Sang Puteri itu sibuk menangani sendiri untuk mengaman-kan kota raja, diam-diam aku membantu dengan mengamat-amati keadaan di sini."

   Gak Bun Beng mengangguk-angguk.

   "Aihh, kiranya engkau seorang yang berjiwa patriot, Kwan Lo-enghiong (Orang Tua Gagah she Kwa)."

   "Gak-taihiap, jangan menyebutku enghiong. Karena orang sudah memberiku nama Yok-kwi, biarlah kupakai terus nama itu. Kalau aku boleh mengetahui, mengapa Taihiap dan Nona ini sampai tiba di tempat sejauh ini?"

   "Kami hendak pergi menjumpai Jenderal Kao Liang, untuk menceritakan keadaan di kota raja. Dan Nona ini...."

   Gak Bun Beng ragu-ragu. Yok-kwi tertawa.

   "Ha-ha, dia tentu saja adalah Sang Puteri dari Bhutan!"

   Syanti Dewi mengeluarkan seruan tertahan dan Bun Beng memandang tajam penuh kecurigaan kepada kakek itu.

   "Yok-kwi, bagaimana kau bisa tahu?"

   "Mudah saja, Taihiap. Aku sudah mendengar akan Puteri Bhutan yang lenyap di tengah perjalanan dan kabar terakhir bahwa mungkin puteri itu tertolong oleh seorang sakti ketika hanyut di sungai. Sekarang, melihat Taihiap muncul di sini hendak menjumpai Jenderal Kao yang setia, bersama seorang dara yang sikap dan wibawanya seperti puteri, juga yang jelas adalah seorang dara berkebangsaan tanah barat, mudah saja menduga-duga."

   "Kau memang cerdik sekali, Yok-kwi. Memang benar, dia adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan."

   Yok-kwi menjura kepada Syanti Dewi.

   "Harap Paduka sudi memaafkan segala kekurangajaran saya."

   Syanti Dewi menghampiri Yok-kwi dan memegang tangan kakek itu.

   "Aih, Locianpwe terlalu merendah. Sayalah yang minta maaf karena telah berani mempermainkan Locianpwe."

   Yok-kwi tertawa bergelak sambil meraba jenggotnya,

   "Mempermainkan saya? Ha-ha-ha, kalau tidak ada Paduka, agaknya aku Si Tua Bangka masih tetap menjadi orang yang berpenyakitan."

   "Akan tetapi Paman Gak juga tentu belum sembuh."

   Mereka tertawa gembira karena mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang segolongan.

   "Kami akan segera melanjutkan perjalanan kami ke benteng Jenderal Kao di utara,"

   Kata Bun Beng.

   "Tidak jauh lagi, Taihiap. Dari sini ke utara, lewat bukit di depan itu lalu membelok ke timur. Saya akan tetap tinggal di sini dan siap setiap saat untuk membantu, biarpun sesungguhnya saya sudah muak berurusan dengan dunia ramai yang penuh kepalsuan."

   Mereka berpisah dan Gak Bun Beng yang sudah sembuh sama sekali itu dapat melakukan perjalanan cepat bersama Syanti Dewi. Akan tetapi, baru saja turun dari puncak Ci-lan-kok, mereka dihadang oleh orang-orang Hek-san-pai dan Pek-san-pai yang menyediakan dua ekor kuda untuk mereka. Ketika Bun Beng menceritakan tentang Sin-kiam Lo-thong, Ketua Hek-san-pai menjadi pucat wajahnya.

   "Aahh.... celaka, siapa tahu bahwa dia seorang pengkhianat? Inilah akibatnya kalau bermusuhan dengan keluarga sendiri. Dia datang dan menawarkan diri menjadi jago. Melihat kelihaiannya, saya menerimanya. Ah, Taihiap, biarlah yang sudah dilupakan saja. Sekarang, kami dari Hek-san-pai dan Pek-san-pai siap untuk membantu pemerintah menghadapi pemberontak setiap saat kami diperlukan."

   Gak Bun Beng dan Syanti Dewi berpisah dari mereka, melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda. Akan tetapi karena tidak mengenal jalan di daerah yang sunyi itu, mereka salah jalan dan tanpa disengaja keduanya malah tiba di daerah sumur maut di mana Gak Bun Beng berhasil menolong dan menyelamatkan Jenderal Kao Liang dari pengeroyokan para pemberontak. Demikianlah, seperti telah diceritakan di bagian depan, Gak Bun Beng dan Syanti Dewi muncul di tempat itu, agak terlambat sehingga biarpun pendekar sakti itu berhasil menolong Jenderal Kao,

   Namun dia tidak berhasil menyelamatkan Ceng Ceng yang terlempar ke dalam sumur maut. Biarpun kemudian pendekar itu mencoba untuk menyelidiki dengan turun ke sumur melalui tambang, sia-sia belaka bahkan hampir saja dia celaka kena diserang gas beracun di dalam sumur. Maka dengan penuh duka, terutama sekali Syanti Dewi yang masih menangis, Jenderal Kao mengajak mereka berdua pergi ke bentengnya. Setelah tiba di dalam benteng, pertama-tama Jenderal Kao memerintahkan pasukannya untuk menyerbu benteng pembantunya, yaitu panglima Kim Bouw Sin dan menangkap Panglima itu. Gak Bun Beng mengkhawatirkan bahwa akan terjadi perang saudara antara pasukan pemerintah sendiri dan hal ini akan merugikan sekali. Maka dia lalu berkata kepada Jenderal Kao,

   "Kalau Goanswe tidak berkeberatan, ijinkanlah saya untuk pergi menyelundup ke benteng itu dan menangkap Panglima Kim si pemberontak itu. Kalau dia dan kaki tangannya sudah ditangkap dan dilumpuhkan, tentu pasukannya yang tidak tahu apa-apa itu akan menyerah. Tenaga pasukan itu masih amat dibutuhkan, bukan? Perang terbuka antara saudara sendiri hanya akan melemahkan kedudukan pertahanan di perbatasan ini."

   Kao Liang memandang dengan wajah berseri.

   "Tepat sekali. Aku memang sudah mempunyai rencana demikian, hanya tidak berani minta bantuanmu karena engkau bukan anak buah kami, Taihiap. Dan untuk menyuruh orang lain, kiranya tidak ada di antara anak buahku yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi sehingga diharapkan akan berhasil menangkap pengkhianat itu tanpa menimbulkan perang saudara. Kalau Gak-taihiap bersedia, kita akan bersama menangkapnya, dan biarlah pasukanku hanya mengurung saja."

   Jenderal Kao dan Bun Beng lalu mengatur rencana siasat mereka untuk menangkap Kim Bouw Sin dan kaki tangannya tanpa menimbulkan perang saudara. Sementara itu Syanti Dewi dipersilakan untuk mengaso dan tinggal di dalam sebuah kamar dan dilayani dengan hormat, dianggap sebagai seorang tamu agung.

   Bagaimanakah keadaan Ceng Ceng? Benarkah seperti dugaan Jenderal Kao, Gak Bun Beng dan Syanti Dewi bahwa dara perkasa itu tewas di dalam sumur yang mengandung gas beracun dan sukar diukur dalamnya itu? Untuk mengetahui keadaan Ceng Ceng, sebaiknya kita mengikuti semua pengalamannya. Dara perkasa itu terkejut bukan main dan merasa ngeri ketika dia menyelamatkan Jenderal Kao Liang dengan menendang tubuh pembesar itu sehingga terpental keluar dari lubang sumur, dia sendiri terdorong dan terjerumus ke dalam lubang tanpa dapat dicegah lagi! Dia merasa ngeri dan ketika tubuhnya melewati bagian yang ada gasnya, dia tak dapat bernapas dan pingsan. Kalau saja dia lebih lama berada di bagian itu, tentu dia akan tewas oleh gas beracun. Akan tetapi, ternyata bahwa gas itu keluar dari dinding sumur, bukan dari dasar sumur, maka setelah tubuhnya yang melayang ke bawah itu melewati sumber gas,

   Di sebelah bawah tidak ada gas beracun ini dan dia selamat, biarpun masih dalam keadaan pingsan dan masih terus melayang ke bawah, ke dalam sumur yang seperti tidak ada dasarnya itu. Daiam keadaan pingsan meluncur ke bawah, tentu tubuhnya akan hancur lebur kalau terbanting ke dasar sumur itu. Akan tetapi, tidak jauh dari dasar sumur yang merupakan lantai batu keras, tiba-tiba tubuh Ceng Ceng terhenti dan tertahan oleh sesuatu. Kiranya dia telah ditangkap oleh seekor ular besar! Ular ini besarnya melebihi paha seorang dewasa dan panjangnya lima meter lebih! Dengan ekornya, ular itu telah "menangkap"

   Tubuh Ceng Ceng, membelit pinggang dara itu dengan ekornya sehingga Ceng Ceng tidak sampai terbanting mati di dasar sumur. Memang sudah menjadi kebiasaan ular besar ini untuk menangkap binatang apa saja yang kebetulan jatuh dari atas, yang kemudian menjadi mangsanya.

   Kini, memperoleh korban seorang manusia, ular itu mulai mendekatkan kepalanya kepada Ceng Ceng, dan tubuhnya melingkari batu dinding yang menonjol. Matanya ber kilat-kilat, lidahnya keluar masuk dan agaknya dia sudah mengilar sekali melihat calon mangsanya. Tiba-tiba terdengar suara mendesis tajam dari bawah, suara mendesis yang membuat ular itu tampak terkejut dan menoleh ke bawah. Kembali terdengar suara mendesis-desis penuh kemarahan dari mulut seorang nenek yang duduk mendeprok di atas lantai sumur itu. Mula-mula ular besar itu meragu, akan tetapi kemudian dengan perlahan dia merayap turun setelah menggigit punggung baju Ceng Ceng yang masih pingsan, membawa gadis ini turun menghampiri nenek yang duduk di bawah itu. Setelah tiba di depannya, nenek itu berkata,

   "Lepaskan dia!"

   Ular itu melepaskan gigitannya sehingga tubuh Ceng Ceng menggeletak di atas lantai batu, kemudian mengangkat kepalanya dan mendesis-desis seperti ragu-ragu.

   "Pergi....!"

   Nenek itu menjerit lagi, tangan kirinya diangkat ke atas dan seperti seekor anjing jinak yang dibentak majikannya, ular besar itu mengeluarkan suara berkokok lalu merayap pergi, naik lagi ke atas. Ceng Ceng mengeluh, membuka matanya dan cepat meloncat bangun, berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan. Cahaya dari atas mendatangkan penerangan yang cukup dan ketika dia menengok ke atas, dia seperti melihat benda bulat yang bercahaya di dalam tempat gelap ini.

   Kemudian dia teringat dan tahu bahwa benda bulat bercahaya itu adalah mulut sumur yang demikian tingginya seperti sebuah matahari yang aneh. Matanya mulai terbiasa dengan keadaan remang-remang itu dan dia menggigil teringat betapa tubuhnya terjatuh dari tempat yang sedemikian tingginya. Akan tetapi mengapa dia tidak mati? Mengapa tubuhnya tidak hancur, bahkan luka pun tidak, hanya terasa agak sakit di pinggangnya? Mendadak ia meloncat mundur ketika melihat gerakan di depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit saking ngerinya. Tadi dia tidak melihat apa-apa karena memang tempat itu agak gelap dan di lantai dasar sumur itu yang kelihatan hanya warna hitam belaka. Kini baru terlihat olehnya bahwa di depannya, duduk di atas lantai, terdapat seorang manusia yang keadaannya amat aneh dan mengerikan!

   Ceng Ceng mengerahkan kekuatan pandang matanya agar dapat melihat lebih jelas lagi. Jantungnya berdebar penuh ketegangan karena dia tidak tahu apakah mahluk yang berada di depannya ini. Manusia ataukah setan? Muka yang amat pucat dan kurus, hanya tengkorak terbungkus kulit, rambutnya panjang riap-riapan, tubuhnya kurus kering terbungkus kain lapuk, kedua kakinya ditekuk di bawah dan kini dia memandang kepada Ceng Ceng dengan sepasang mata yang berkilauan dalam gelap seperti mata kucing dan mulut yang tak bergigi lagi itu menyeringai aneh, amat mengerikan hati Ceng Ceng, apalagi ketika dia melihat betapa nenek itu merangkak mendekatinya dengan menggunakan kedua siku lengannya, mengesot karena kedua kaki itu ternyata lumpuh. Mahluk ini lebih menyerupai binatang aneh atau setan daripada seorang manusia.

   "Heh-heh-heh, kau cantik, cantik dan muda....!"

   Nenek itu berkata, suaranya melengking tinggi mengejut-kan hati dan Ceng Ceng merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan terasa dingin.

   "Kau.... siapakah....?"

   Akhirnya dara itu dapat juga mengeluarkan suara melalui kerongkongannya yang terasa kering.

   "Dan.... bagaimanakah aku dapat.... selamat tiba di sini....?"

   Dia memandang ke atas, ke arah "matahari"

   Yang tinggi itu dan bergidik. Tak mungkin manusia dapat hidup setelah terjatuh dari tempat setinggi itu, pikirnya.

   "Heh-heh, kalau tidak ada Siauw-liong (Naga Kecil) itu, tubuhmu tentu sudah hancur di lantai batu ini, heh-heh!"

   Nenek itu berkata sambil menudingkan telunjuk kirinya ke atas. Ceng Ceng memandang ke arah yang ditunjuk dan hampir dia menjerit. Otomatis dia meloncat ke belakang ketika dia melihat ular besar yang tadinya tak tampak olehnya itu, melingkar di dinding sumur dan memandang ke bawah dengan mata berkilat-kilat. Seekor ular yang besar dan panjang sekali, yang disebut Naga Kecil oleh nenek itu! Bagaimana ular besar itu dapat menolongnya? Pinggangnya terasa sakit, tentu pernah dililit oleh tubuh ular itu. Ceng Ceng bergidik ngeri.

   "Dan sekarang engkau tentu sudah aman di dalam perutnya kalau saja tidak ada Ban-tok Mo-li, heh-heh-heh!"

   "Ban-tok Mo-li....?"

   Ceng Ceng bertanya heran. Dia tidak pernah mendengar nama julukan Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun).

   "Ya, Ban-tok Mo-li Ciang Si, aku sendiri, heh-heh. Ular Siauw-liong itu menyambarmu ketika tubuhmu melayang turun, sebelum dia mengirimmu ke dalam perutnya, aku mencegahnya."

   Mengertilah kini Ceng Ceng apa yang telah terjadi dengan dirinya. Betapa pun menjijikkan dan menakutkan keadaannya, dia menduga bahwa nenek yang bernama Ban-tok Mo-li ini tentulah seorang yang memiliki kepandaian hebat dan telah menolongnya tadi, maka dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.

   "Banyak terima kasih teecu haturkan kepada Locianpwe yang telah menolong teecu dari cengkeraman maut."

   "Heh-heh, aku senang menolongmu, aku senang bertemu denganmu. Siapakah namamu?"

   "Nama teecu (murid) adalah Lu Ceng."

   "Kau dapat tiba di sini dengan selamat, ini namanya jodoh! Lu Ceng, mari pergi ke tempat tinggalku. Kau lihat, aku tidak bisa jalan. Maukah engkau menggendongku kalau memang benar kau berterima kasih kepadaku?"

   Ceng Ceng bergidik, akan tetapi dia menekan perasaannya dan mengangguk. Akan tetapi ketika dia hendak membungkuk untuk mengangkat tubuh nenek yang kedua kakinya lumpuh itu tiba-tiba tubuh itu melesat ke atas dan tahu-tahu telah berada di punggungnya! Dia terkejut bukan main menyaksikan kelincahan luar biasa ini.

   "Heh-heh, kau gendonglah aku lewat terowongan itu."

   Nenek itu menuding ke depan. Ceng Ceng lalu menggendong nenek itu melalui terowongan yang gelap sekali. Kalau tidak ada nenek itu yang memberi petunjuk, tentu dia akan menabrak dinding. Untungnya nenek itu sudah hafal benar akan jalan terowongan gelap ini karena dia selalu memperingatkan Ceng Ceng, membelok ke kiri, ke kanan, merendahkan tubuh agar tidak terbentur kepalanya dan sebagainya. Setelah melalui terowongan yang berliku-liku dan gelap itu sepanjang ratusan meter, akhirnya tampak cahaya terang dan keluarlah Ceng Ceng dari terowongan, memasuki sebuah guha yang menghadapi jurang amat curamnya.

   "Heh-heh-heh, di guha sinilah aku tinggal,"

   Kata nenek itu, masih tetap duduk di atas punggung Ceng Ceng. Dara ini melangkah ke depan, ke pinggir jurang di depan guha, menengok ke bawah dan bergidik ngeri. Jurang itu selain curam tak mungkin dituruni, juga tidak nampak dasarnya karena terhalang oleh uap halimun saking dalamnya! Menengok ke kanan kiri guha, juga merupakan dinding batu yang curam dan tegak lurus, licin dan tidak mungkin dijadikan jalan untuk meninggalkan tempat itu. Dia benar-benar telah terjebak ke dalam tempat yang benar-benar terputus hubungannya dengan dunia ramai!

   "Heh-heh-heh, kau mencari jalan keluar? Tidak mungkin, Lu Ceng. Aku sendiri sudah dua puluh tahun lebih berada di sini, tidak menemukan jalan keluar. Jalan satu-satunya hanyalah melalui mulut sumur itu, dan tidak mungkin ada manusia dapat naik melalui jalan itu karena dinding sumur itu banyak mengeluarkan gas beracun. Dan menuruni tebing-tebing jurang di sini, sama dengan membunuh diri. Engkau sudah berjodoh denganku untuk menemaniku selama hidupmu di tempat ini, anak manis."

   "Tidak! Tidak mungkin....!"

   Ceng Ceng menjerit.

   "Harap Locianpwe turun, teecu hendak mencari jalan keluar."

   Melihat dara itu hendak menurunkannya, tiba-tiba nenek itu berkata,

   "Tidak, aku tidak mau turun lagi selamanya darl punggungmu, heh-heh-heh!"

   Ceng Ceng menjadi terkejut sekali, terkejut dan marah. Kedua tangannya sudah bergerak hendak menangkap tubuh nenek itu dan memaksanya turun, akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa jari-jari tangan nenek itu menyentuh ubun-ubun kepalanya.

   "Jangan bergerak! Kalau bergerak, kepalamu akan kuhancurkan!"

   Nenek itu membentak, suaranya mendesis-desis seperti ular marah.

   "Aku sudah terlalu lama hidup tanpa kaki, merayap seperti ular. Aku ingin hidup wajar, ingin melihat dunia ramai dan tak mungkin kulakukan tanpa kaki. Sekarang aku sudah mendapatkan kedua kaki, kakimu, dan aku tidak akan melepaskannya lagi!"

   "Locianpwe.... gila....!"

   Ceng Ceng berseru, matanya terbelalak dan ngeri dia membayangkan bahwa untuk selamanya nenek itu tidak mau turun dari punggungnya!

   "Heh-heh, aku ahli racun yang nomor satu di dunia ini. Ingat, julukanku adalah Ban-tok (Selaksa Racun) dan memang aku mengenal selaksa racun yang terdapat di dunia ini. Aku bisa menggunakan ilmuku untuk menanam tubuhku ini di punggungmu, melekat untuk selamanya dan kedua kakimu menjadi pengganti kedua kakiku yang lumpuh, ha-ha-ha!"

   Bukan main ngeri dan jijiknya rasa hati Ceng Ceng. Dia telah diselamatkan oleh seorang nenek gila, seorang nenek yang berwatak seperti iblis. Kiranya masih lebih baik mati daripada harus hidup seperti itu, selamanya menggendong nenek ini, siang malam, di waktu dia makan, di waktu tidur, mandi dan lain-lain. Selamanya! Mana mungkin? Lebih baik mati! Dia tidak takut mati, akan tetapi agaknya nenek tua renta ini masih sayang akan hidupnya, masih suka hidup. Dara itu tersenyum dan dengan langkah seenaknya dia mendekati tebing jurang lalu berkata,

   "Baiklah, Locianpwe. Kalau begitu mari kita mampus bersama!"

   "Heiii....! Apa.... apa maksudmu....?"

   Nenek itu menjerit sambil memandang ke bawah, ke dalam jurang yang tertutup kabut tebal itu.

   "Locianpwe lebih suka hidup, akan tetapi aku lebih suka mati. Kita meloncat ke bawah, mungkin di bawah sana terdapat air yang akan menelan dan membuat kita mati tenggelam, mungkin juga batu-batu runcing tajam seperti pedang yang akan menerima tubuh kita sampai hancur berkeping-keping, atau batu keras yang menerima tubuh kita sampai gepeng. Mari kita mampus bersama!"

   "Heiii, jangan....! Gila kau....! Dua puluh tahun aku bersusah-payah mempertahankan hidupku, masa sekarang akan kau akhiri begitu saja. Biarkan aku turun....!"

   Akan tetapi kini Ceng Ceng menggunakan kedua tangannya memegang erat-erat dua kaki yang lumpuh itu.

   "Tidak, aku tidak akan menurun-kanmu, aku akan mengajakmu mampus bersama, untuk menjadi temanku pergi ke neraka menerima siksaan di sana!"

   "Lepaskan.... aihh.... aku tidak mau mati.... belum mau mati....!"

   Kini nenek itu merengek dan hampir menangis. Ceng Ceng tersenyum geli. Biarpun dia telah terjebak ke tempat mengerikan itu, namun pada saat itu dia lupa akan kesengsaraannya dan dia gembira dapat mempermainkan nenek yang seperti iblis ini.

   "Aku hanya mau menurunkan Locian-pwe dan tidak akan meloncat ke bawah kalau Locianpwe suka berjanji untuk mengangkat murid kepada teecu dan menurunkan semua ilmu kepandaian Locianpwe kepada teecu."

   "Baik, aku berjanji.... lekas mundur jauhi tebing ini.... hihhh....!"

   Ceng Ceng melompat mundur, melepaskan kedua kaki nenek itu dan Ban-tok Mo-li meloncat turun. Mereka berhadapan dan kembali Ceng Ceng merasa ngeri dan jijik, akan tetapi juga kasihan menyaksikan nenek itu menelungkup seperti seekor kadal.

   "Kau.... kau bocah nakal dan cerdlk, hi-hik! Kau memang pantas menjadi muridku, Lu Ceng. Aku memang membutuhkan teman di sini, dan kalau kau menjadi muridku, berarti kita tidak akan saling berpisah pula, Nah, mulai saat ini kau menjadi muridku."

   Karena tidak ada pilihan lain dan agaknya dia harus pula mengandalkan kepandaian nenek ini untuk dapat keluar, selain itu juga dia ingin memperdalam ilmunya agar dia kelak dapat mencari sendiri jalan keluar kalau nenek itu tidak mau membantunya, Ceng Ceng lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

   "Teecu Lu Ceng menghaturkan terima kasih kepada Subo (Ibu Guru)."

   "Heh-heh-heh, engkau tidak tahu betapa beruntungnya kau hari ini, Lu Ceng. Engkau tidak tahu siapakah Ban-tok Mo-li Ciang Si yang kau angkat menjadi guru ini. Aku sendiri mungkin tidak terkenal, akan tetapi suhengku adalah seorang di antara tokoh-tokoh nomor satu dari Pulau Neraka. Suhengku Bu-tek Siauw-jin (Manusia Hina Tanpa Tanding) adalah seorang tokoh Pulau Neraka yang suka merantau dan dari Suheng itu aku memperoleh banyak ilmu mujijat. Hi-hik, kau beruntung sekali."

   Mulai hari itu Ceng Ceng berdiam di tempat terasing ini bersama gurunya dan di dalam penyelidikannya, tempat itu benar-benar terputus dari dunia luar. Untung bahwa di dalam terowongan terdapat sumber air yang terus menetes dari dinding batu, dan untuk menyambung hidup, selama puluhan tahun gurunya hanya makan daun-daun dari tanaman yang merambat di tepi jurang di luar guha, jamur-jamur yang banyak tumbuh di dalam terowongan, ribuan macam banyaknya, dan akar-akar tetumbuhan yang terpendam di dalam tanah di guha dan di luar guha.

   Akan tetapi Ceng Ceng tidak mau meniru gurunya yang kadang-kadang makan cacing dan binatang dalam tanah lainnya. Dia merasa jijik dan karena dia tidak lumpuh seperti gurunya, akhirnya dia berhasil juga menyambit jatuh burung-burung yang kebetulan terbang di tempat tinggi itu. Setelah berhari-hari tinggal dengan Ban-tok Mo-li Ciang Si, dia mendengar penuturan gurunya dan memperoleh kenyataan bahwa gurunya itu memang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Tidak saja ilmu silatnya luar biasa, akan tetapi terutama sekali gurunya adalah seorang ahli besar dalam soal racun. Berkat latihannya yang tekun selama beberapa puluh tahun, gurunya telah me-nguasai semua racun, bahkan seluruh tubuh gurunya mengandung racun yang dapat dipergunakan untuk membunuh lawan.

   Dari tamparan tangannya, sampai jari kukunya, sabetan rambutnya, gigitan mulut yang tak bergigi lagi, sampai ludahnya mengandung racun yang cukup berbahaya dan dapat membunuh lawan! Biarpun pada waktu itu dia belum melihat kemungkinan untuk dapat terbebas dari neraka itu, namun Ceng Ceng tidak putus asa dan tidak mau membenamkan dirinya dalam kedukaan atau keputusasaan yang menggelisahkan. Dia tetap gembira, merasa yakin bahwa pada suatu saat kalau ilmu kepandai-annya sudah tinggi, dia pasti akan dapat keluar dari tempat itu. Pikiran inilah yang membuatnya tetap gembira dan bahkan membuatnya makin tekun mempelajari ilmu dari nenek luar biasa itu. Pada suatu hari, kurang lebih sebulan semenjak Ceng Ceng berada di tempat itu, sehabis latihan pagi, Ceng Ceng memberanikan dirinya bertanya kepada gurunya,

   "Subo, bagaimanakah Subo sampai dapat berada di tempat ini, dan bagaimana pula Subo yang berilmu tinggi sampai dapat menderita penyakit lumpuh kedua kaki Subo?"

   Pada saat itu, Ban-tok Mo-li Ciang Si sedang menggelung rambutnya. Semenjak Ceng Ceng berada di situ, melihat kebersihan muridnya yang setiap hari mandi dan mencuci pakaian, dia terbawa oleh kebiasaan ini dan mulailah dia mau mengurus tubuh dan pakaiannya. Pakaiannya kini bersih, dicucikan oleh muridnya dan rambutnya pun bersih dan disanggul, tidak seperti biasanya terurai dan kotor, membuatnya kelihatan seperti kuntilanak. Mendengar pertanyaan muridnya itu, mukanya yang pucat menjadi merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar marah.

   "Kalau yang mengajukan pertanyaan itu orang lain, tentu akan kubunuh seketika juga karena pertanyaan itu mengingatkan aku akan hal-hal yang tidak menyenangkan. Akan tetapi karena kau muridku, sebaiknya kau tahu karena hanya engkaulah yang kuharapkan kelak akan dapat membalaskan penderitaanku ini kepada mereka itu."

   "Mereka siapakah, Subo? Dan apa yang mereka lakukan kepadamu?"

   "Ahhh...."

   Nenek itu menarik napas panjang.

   "Mungkin hari ini atau besok mereka akan datang ke sini untuk menagih janji, mengambil kitab catatanku tentang racun...."

   Ceng Ceng menekan jantungnya yang berdebar-debar keras penuh ketegangan. Mereka akan datang ke tempat itu? Hal ini membuktikan bahwa terdapat jalan untuk memasuki tempat ini dan berarti ada pula jalan keluarnya! Biarpun dia tidak mengatakan sesuatu, gurunya dapat menduga jalan pikirannya dan gurunya berkata,

   "Percuma saja, Lu Ceng. Sudah hampir dua puluh tahun aku berada di sini dan apakah kau kira aku selama itu tidak berusaha menemukan jalan keluar itu? Akan tetapi aku tidak berhasil. Jalan rahasia itu hanyalah diketahui oleh mereka berdua, karena memang tempat ini adalah milik mereka, dahulu adalah tempat pertapaan mereka."

   "Siapakah mereka?"

   "Dua orang iblis berwajah manusia yang terkenal dengan ulukan Siang Lo-mo (Sepasang Iblis Tua), dua orang kembar yang amat jahat."

   "Mengapa mereka menganiaya Subo?"

   Nenek itu kembali menarik napas panjang.

   "Dua puluh tahun yang lalu mereka bertemu denganku dan hanya setelah mereka maju mengeroyok saja aku terpaksa kalah. Mengetahui bahwa aku memiliki ilmu yang tinggi tentang racun, mereka memaksaku untuk membuatkan kitab cacatan tentang selaksa racun. Aku tidak sudi, biarpun mereka memaksaku. Mereka amat keji, dengan marah mereka lalu menghancurkan tulang-tulang kedua kakiku."

   "Aihhh.!"

   Ceng Ceng menjerit ngeri.

   "Kemudian mereka membawa aku yang pingsan ke dalam tempat ini. Ketika aku sadar, mereka mengancam akan datang membunuhku kalau aku tidak mau memenuhi permintaan mereka. Aku tetap menolak dan sampai sekarang mereka belum juga membunuhku. Karena aku tahu bahwa tidak dapat keluar dari sini, aku memperdalam ilmuku tentang racun dan aku siap untuk membunuh mereka. Paling akhir mereka mengancam bahwa mereka akan datang untuk yang terakhir, kalau aku tidak memberikan catatan racun, mereka tentu benar-benar akan membunuhku. Hari yang dijanjikan itu adalah hari ini atau besok pagi. Akan tetapi, aku sudah siap menghadapi mereka dan mereka akan mampus, hi-hi-hi....!"

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 30 Sepasang Pedang Iblis Eps 32 Sepasang Pedang Iblis Eps 2

Cari Blog Ini