Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 30


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



"Lihat pedang!"

   Bentaknya dan terdengar suara bercuit nyaring dan aneh ketika Li mo kiam lenyap berubah menjadi segulung sinar kilat yang mujijat dan mengandung hawa maut.

   "Hayaaaa....!"

   Kakek itu mengelak dan betul saja, dia sudah menjatuhkan diri dan bergulingan mengelak dari sambaran pedang. Kwi Hong yang maklum bahwa dia hanya harus menjaga kedua kaki yang menyepak, melancarkan serangan bertubi tubi kepada tubuh kecil yang bergulingan itu sehingga pedangnya menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar-nyambar ke bawah. Kakek itu ternyata memiliki gerakan yang ringan seperti kapas tertiup angin, kadang-kadang dapat mencelat ke sana-sini seperti jangkerik meloncat. Namun sedikitpun kakek itu tidak mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan jurus barunya, yaitu sepakan kuda atau jentikan kaki jangkerik! Malah dia repot sekali harus mengelak terus karena pedang Li mo kiam adalah pedang yang amat luar biasa, baru hawanya saja sudah membuat kakek itu miris hatinya. Tiba-tiba Kakek itu terpeleset jatuh.

   Kwi Hong cepat mengayun pedang. Tiba-tiba terdengar suara memberobot dan ternyata kakek itu melepas ken-tut yang besar dan panjang! Kwi Hong mengerutkan alis, mengernyitkan hidung dan sedetik pedangnya tertunda. Inilah kesalahannya. Sedetik sudah terlalu lama bagi kakek sinting itu untuk menggerakkan kedua kakinya, menyepak seperti yang dilakukannya tadi membuat tubuh Kwi Hong terbang. Akan tetapi kini sepakannya mengenai tangan kanan Kwi Hong. Kaki kiri menotok siku membuat lengan itu lumpuh, kaki kanan menendang gagang pedang sehingga pedang Li-mo kiam mencelat ke atas mengeluarkan bunyi mengaung. Ketika Kwi Hong sadar dan kaget bukan main, ternyata kakek itu sudah "terbang"

   Ke atas menyambar pedangnya, lalu mengembalikan pedang itu sambil tersenyum menyeringai,

   "Nah, kau kalah, muridku."

   Kwi Hong menerima pedangnya, menyarungkan pedang dan menjawab,

   "Bu-tek Siauw jin, ketahuilah aku adalah murid Pamanku sendiri, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Maka engkau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin dapat menjadi muridmu."

   "Apa kau kira aku tidak tahu? Kau anggap aku ini anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Aku ingin menurunkan ilmu kepadamu, tentang kau menjadi murid atau tidak, peduli amat! Kau tahu mengapa aku ingin menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu?"

   Kwi Hong makin heran dan kini dia memandang kakek yang sakti itu.

   "Aku tidak tahu." "Karena Suhengku Si Mayat Hidup yang bau busuk itu sudah melanggar sumpah!"

   "Bagaimana? Aku tidak mengerti."

   "Kami bertiga, Suheng Cui beng Koai-ong, aku dan Sute Kwi bun Lo mo Ngo Bouw Ek yang sudah bersumpah tidak akan menerima murid. Akan tetapi baru-baru ini Suheng mengambil murid bocah anak ketua boneka Pulau Neraka itu sebagai murid. Bocah itu pandai sekali, apalagi kini memegang Lam mo kiam, tentu tidak ada yang melawannya. Kebetulan engkau bertemu dengan aku, engkau memegang Li mo kiam, engkau nakal dan cocok dengan aku, dan dasar ilmumu tidak kalah oleh murid Suheng. Nah, kalau aku menurunkan ilmu kepadamu, kelak engkaulah yang akan mengha-dapi murid Suheng itu. Dia sudah melanggar sumpah, biar aku yang mengingatkannya mengalahkan muridnya oleh muridku!"

   "Tanpa kau beri pelajaran ilmu pun aku tidak takut menghadapi bocah som-bong itu!"

   "Hemm, dia belum tentu sombong, akan tetapi engkau sudah pasti sombong sekali! Engkau murid Pendekar Siluman, akan tetapi setelah dia menerima ilmu-ilmu dari Suheng, apa kau kira akan mampu menandinginya? Pedangmu itu tidak ada artinya karena dia pun mempunyai pedang yang sama ampuhnya."

   "Pedang curian!"

   "Curian atau bukan, bagaimana kau akan mampu merampasnya kalau kau tidak mampu menandingi ilmunya?"

   "Siauw jin.... ehh.... wah, namamu benar benar aneh, bikin orang tidak enak saja memanggilnya dengan menyingkat!"

   "Heh heh heh! Mengapa tidak enak memanggil aku Siauw jin (Manusia Hina)? Sudah terlalu halus kalau aku disebut Siauw jin, ha, ha!"

   "Bu tek Siauw jin, aku sudah kalah berjanji dan aku harus memenuhi taruhan kita, aku suka mempelajari ilmu yang akan kau berikan kepadaku, biarpun untuk itu aku harus dikubur hidup-hidup. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku akan suka kau pergunakan untuk mengalahkan murid Suhengmu?"

   "Kwi Hong, namamu Giam Kwi Hong, bukan? Engkau keponakan Suma Han, engkau puteri perwira gila she Giam di kota raja, engkau pernah diculik oleh adik angkat Suma Han yang menjadi ketua boneka di Pulau Neraka. Semua itu aku tahu.... heh heh, apa yang aku tidak tahu? Aku tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu tadinya ditemukan oleh seorang bocah laki laki, entah siapa aku tidak kenal. Li mo kiam diberikan kepadamu dan Lam mo kiam dirampas oleh murid Suheng maka engkau akan merampas kembali pedang itu memusuhinya. Engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu. Jangan kau pandang remeh latihan ini. Latihan sin kang yang luar biasa. Engkau akan mengenal apa yang disebut Tenaga Inti Bumi! Setelah berlatih samadhi dan sin-kang di dalam tanah, nanti kuberikan ilmu-ilmuku yang paling istimewa, tiada keduanya di dunia, termasuk ilmu baruku tadi, yang kau katakan tidak sopan."

   "Ilmu tendangan jangkerik?"

   "Benar! Siapa tahu, dalam keadaan roboh dan terdesak, terancam malapetaka, engkau dapat menggunakan jurus itu. Dengan seluruh tubuh tertekan pada bumi, meminjam tenaga inti bumi, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat, dalam keadaan tak terduga duga seperti yang dilakukan jangkerik kecil tadi. Jurus ini selain dapat menyelamatkan nyawamu dari ancaman maut, juga dapat merobohkan lawan yang jauh lebih kuat. Apakah kau masih menganggapnya ilmu tidak sopan?"

   Kwi Hong mengangguk.

   "Aku akan mempelajari semua ilmu yang kau berikan."

   "Bagus, sekarang kau carilah sebuah peti mati untukmu. Peti mati besi ini punyaku, dan terlalu kecil untuk tubuhmu yang gede."

   "Mencari peti mati? Ke mana?"

   "Wah, bodohnya. Ratusan peti mati berada di depan hidung, masih tanya harus cari ke mana? Selamanya tak mempunyai murid, sekali dapat murid, bodohnya bukan main. Di dalam kuburan-kuburan itu bukankah terisi peti peti mati?"

   Kwi Hong terbelalak ngeri.

   "Apa? Bongkar peti mati di kuburan? Wah, kan ada isinya!"

   "Isinya hanya rangka yang sudah lapuk. Petinya masih baik. Itulah lucunya. Betapapun kokoh kuat petinya, mayatnya toh akan membusuk dan rusak. Membuang uang sia sia hanya untuk pamer saja, akan tetapi menguntungkan untukmu. Petinya yang masih baik dapat kau pergunakan!"

   Kwi Hong menggeleng geleng kepala.

   "Aku tidak bisa, Kek. Tidak mungkin aku sampai hati membongkar kuburan dan merampas peti dari sebuah kerangka manusia!"

   "Uuhhh! Sudah bodoh penakut lagi! Apanya yang dipilih?"

   Kakek itu bersuit tiga kali memanggil anak buahnya. Mun-cullah mereka berbondong-bondong dari tempat mereka duduk menanti.

   "Hayo cepat carikan sebuah peti dari kuburan tertua."

   Bu tek Siauw jin memerintah.

   "Aihhh.... Ji tocu (Majikan Pulau ke Dua), hamba sekalian telah membawakan sebuah peti untuk To cu,"

   Kata tokoh Pulau Neraka yang gendut pendek berkepala gundul. Orang ini adalah Kong To Tek, seorang tokoh Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, bahkan memiliki ilmu mengeluarkan pukulan beracun diikuti semburan asap dari mulutnya yang amat berbahaya.

   "Cerewet kau! Peti untukku sudah ada, akan tetapi untuk muridku ini belum ada! Lihat baik baik, dia ini adalah muridku yang akan mengalahkan murid Twa suheng, tahu? Namanya Kwi.... eh, lupa lagi. Siapa namamu tadi?"

   "Kwi Hong, Giam Kwi Hong,"

   Kata gadis itu dengan hati geli menyaksikan tingkah gurunya yang sinting.

   "Oya, dia Giam Kwi Hong, murid tunggalku, Hayo cepat, carikan peti mati yang paling baik!"

   Kwi Hong memandang dengan hati penuh kengerian betapa orang-orang itu membongkari kuburan dan akhirnya mendapatkan sebuah peti mati kuno yang benar-benar amat kokoh kuat dan ukiran-ukirannya masih lengkap. Peti mati itu dibuka, kerangka manusianya dikeluarkan lalu peti mati kosong itu digotong dekat Kwi Hong yang memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Dia harus tidur di situ? Bekas tempat mayat?

   "Gali sebuah lubang besar untuk dua peti ini, cepat!"

   Kakek itu kembali memberi perintah dan belasan orang Pulau Neraka itu cepat melakukan perintah Bu-tek Siauw-jin. Karena mereka itu rata-rata lihai dan memiliki tenaga besar, sebentar saja sebuah lubang yang lebarnya dua meter dan dalamnya juga dua meter telah tergali terbuka menganga dan menantang dalam pandang mata Kwi Hong.

   "Lekas kau masuk ke dalam petimu!"

   Kwi Hong menggelengkan kepalanya.

   "Eh, apa kau takut?"

   Melihat semua mata para penghuni Pulau Neraka itu memandang kepadanya, mendengar pertanyaan kakek sinting itu Kwi Hong cepat menjawab,

   "Siapa bilang aku takut? Aku hanya merasa jijik, peti mati itu kotor!"

   Tentu saja sebetulnya bukan karena kotor dan jijik, melainkan karena takut dan ngeri!

   "Eh, siapa bilang kotor? Orang yang yang sudah mati jauh lebih bersih dari pada orang yang masih hidup! Hayo cepat masuk, atau engkau hendak membantah perintah Gurumu dan tidak mememenuhi janji?"

   Kwi Hong merasa terdesak. Kalau dia tetap menolak, selain berarti dia tidak membayar kekalahan taruhan, dan dianggap takut oleh orang-orang Pulau Neraka, juga kalau kakek itu menggunakan kekerasan, mana dia mampu mencegahnya?

   "Kalau sudah di dalam peti, bagaimana engkau bisa melatihku?"

   Dia mencoba menggunakan alasan menolak.

   "Bodoh! Biarpun di dalam peti, apa kau kira aku tidak bisa memberi petunjuk? Hayo cepat, mereka ini sudah menanti untuk mengubur kita."

   Dengan jantung berdebar penuh takut dan tegang, terpaksa Kwi Hong memasuki peti mati itu. Bu-tek Siauw-jin menggunakan tangannya memukul tengah-tengah tutup peti mati yang tebal.

   "Brakkk!"

   Papan tebal itu bobol dan berlobang ditembus telapak tangannya, kemudian dipasanglah sebatang bambu panjang yang sudah dilubangi.

   "Pejamkan matamu agar jangan kemasukan debu!"

   Kata kakek itu sambil mengangkat tutup peti mati dan menutupkannya. Dunia lenyap bagi Kwi Hong. Ketika ia mengintai dari balik bulu matanya, yang tampak hanya hitam pekat!

   Ia merasa betapa peti mati di mana ia berbaring terlentang itu bergerak, kemudian turun ke bawah. Dia sudah diturunkan ke dalam lubang! Memang kakek itu sendiri yang menurunkannya dan kini batang bambu itu menjadi lubang hawa yang lebih tinggi daripada lubang tanah itu, dua jengkal lebih tinggi. Bu-tek Siauw-jin memasuki petinya yang kecil, menutupkan petinya dari dalam dan peti itu dapat bergerak sendiri, meloncat ke dalam lubang, persis di samping peti mati Kwi Hong! Anak buahnya yang sudah tahu akan kewajiban mereka, cepat menguruk lubang itu dengan tanah galian sampai dua buah peti itu tertutup sama sekali dan tempat itu berubah menjadi segunduk tanah di mana tersembul keluar sebatang bambu kecil yang panjangnya sejengkal dari gundukan tanah. Itulah bambu yang menjadi lubang angin atau lubang hawa, penyambung hidup Kwi Hong!

   Adapun kakek sinting itu sama sekali tidak menggunakan bambu untuk lubang hawa. Belasan orang Pulau Neraka itu lalu beristirahat agak jauh dari "kuburan"

   Itu, karena kalau kakek itu sedang berlatih seperti itu, sama sekali tidak boleh diganggu dan mereka harus menjaga kuburan itu agar tidak ada yang berani mengusiknya. Akan tetapi mereka pun tidak berani menjaga terlalu dekat, karena kakek sinting ini benar-benar aneh dan galak sekali, dan biarpun berada di dalam peti mati yang sudah dikubur, agaknya masih dapat mendengar percakapan mereka yang di atas! Karena itu, mereka lebih "aman"

   Menjaga di tempat yang agak jauh, akan tetapi siang malam mereka bergilir menjaga dan memperhatikan kuburan itu. Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takutnya hati Kwi Hong.

   Dia mendengar suara berdebuknya tanah bergumpal-gumpal yang jatuh menimpa peti matinya, sampai akhirnya yang terdengar hanya suara gemuruh tidak jelas lagi. Kemudian sunyi, sunyi sekali dan yang tampak hanyalah hitam pekat di sekelilingnya dan di tengah-tengah, tepat di atasnya, terdapat sebuah bulatan sinar yang menyilaukan mata. Dia tidak tahu benda apa itu, setelah ia meraba-raba dengan tangannya, barulah ia mengerti bahwa sinar bulat itu adalah sebuah lubang, lubang dari batang bambu yang tentu saja menembus keluar tanah kuburan dari mana cahaya matahari masuk bersama hawa. Makin ngeri hati Kwi Hong. Lubang bambu itu merupakan gantungan nyawanya! Kalau lubang itu tertutup.... ihh, dia bergidik dan mendadak saja napasnya terasa sesak sekali, seolah-olah hawa di dalam peti mati telah habis dan lubang itu telah tertutup!

   "Kakek sinting....!"

   Dia memaki gemas.

   "Kalau engkau menipuku dan aku sampai mati di sini, aku akan menjadi setan dan belum puas hatiku kalau setanku belum mencekik lehermu sampai putus!"

   Tiba-tiba terdengar suara, jelas akan tetapi terdengar seperti amat jauh, suara dari balik kubur!

   "Uwaaahhh, ganas sekali engkau! Belum menjadi setan sudah demikian ganas, apalagi kalau benar-benar menjadi setan! Kwi Hong, engkau muridku, aku Gurumu, mana mungkin Guru mencelakakan murid? Kau lihat, ada tabung bambu untuk hawa segar. Bernapaslah dalam-dalam, pejamkan matamu, dan dengarkan baik-baik, kita mulai berlatih pernapasan, samadhi dan menghimpun sin-kang dari hawa inti sari bumi...."

   Dengan penuh perhatian Kwi Hong mendengarkan suara kakek itu yang terdengar jelas sekali, mendengarkan cara-cara berlatih pernapasan yangg istimewa, kemudian mencobanya dalam praktek dengan petunjuk-petunjuk suara kakek itu. Dia bukan saja dilatih pernapasan yang amat aneh, juga dilatih untuk bernapas di dalam ruang tertutup di bawah tanah!

   "Jangan memandang ringan latihan ini, muridku. Tahukah mengapa kami tokoh-tokoh dan datuk-datuk Pulau Neraka melakukan latihan ini? Terciptanya dari keadaan yang memaksa kami. Bayangkan saja keadaan Pulau Neraka pada ratusan tahun yang lalu, sebelum semua kesukaran dapat ditaklukkan seperti sekarang ini. Hidup di permukaan pulau merupakan hal yang mustahil apalagi kalau ular-ular dan semua binatang berbisa mengamuk, rawa-rawa mengeluarkan hawa beracun dan terbawa angin menyapu seluruh permukaan pulau! Terpaksa nenek moyang kami mencari tempat persembunyian di dalam tanah! Namun masih saja diancam bahaya oleh ular-ular dan kelabang-kelabang berbisa. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah mengubur diri hidup-hidup dan terciptalah cara berlatih seperti ini! Mengapa dilakukan dalam sebuah peti mati? Karena dari sebuah peti kunolah di-temukan ilmu-ilmu rahasia yang kami miliki. Ketika seorang di antara nenek moyang kami bersembunyi di dalam tanah dengan mengubur diri hidup-hidup, melindungi tubuhnya dalam sebuah peti mati kuno yang ditemukan di dalam tanah ketika dia menggali lubang, dia menemukan ukiran-ukiran dan coretan-coretan di dalam peti mati itu yang ternyata adalah ilmu-ilmu rahasia yang agaknya ditinggalkan oleh nenek moyang Bu Kek Siansu yang kebetulan mati dikubur di Pulau Neraka! Nah, setelah kau tahu akan riwayat singkatnya, belajarlah baik-baik karena sesungguhnya, biarpun sifatnya berbeda, namun pada dasarnya ilmu-ilmu Pulau Neraka adalah satu sumber dengan ilmu-ilmu Pulau Es."

   Dengan tekun dan kini sama sekall tidak berani memandang rendah kepada kakek sinting itu, Kwi Hong diam-diam memusatkan perhatiannya dan mentaati semua petunjuk kakek itu, berlatih dengan penuh ketekunan dan penuh ketekatan, tidak merasa ngeri atau takut lagi karena dia sudah menyerahkan mati hidupnya di tangan kakek yang menjadi gurunya itu. Sebetulnya apakah yang terjadi dengan orang-orang Pulau Neraka? Mengapa mereka berada di situ dan bagaimana pula dengan Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka? Seperti telah diceritakan di bagian depan, pasukan pemerintah menyerbu Pulau Neraka dan melihat bahwa Pulau Neraka itu sudah kosong,

   Pasukan pemerintah yang amat besar jumlahnya itu lalu membakar pulau itu. Para penghuni Pulau Neraka telah lebih dahulu disingkirkan oleh Lulu, diajak mengungsi meninggalkan pulau dan karena Lulu maklum bahwa pulau-pulau di sekitar tempat itu tidak aman bagi anak buahnya, maka dia memimpin rombongan perahu yang dipakai mengungsi itu ke pantai di sebelah barat pulau. Puteranya, Wan Keng In, pada waktu ter-jadi penyerbuan itu, tidak berada di pulau karena memang puteranya itu pergi bersama gurunya yang belum pernah dijumpai Lulu. Ketika perahu-perahu yang ditumpangi oleh hampir seratus lima puluh orang penghuni Pulau Neraka itu tiba di pantai, ternyata Wan Keng In telah berada di tepi pantai, berdiri tegak dan bertolak pinggang dengan sikap angkuhnya.

   "Ibu, kulihat dari jauh asap mengepul di pulau kita dan sekarang ini Ibu hendak membawa anak buah kita ke mana? Apa yang telah terjadi?" "Pulau kita diserbu pasukan pemerintah. Untung aku telah menduganya terlebih dahulu dan membawa anak buah melarikan diri,"

   Jawab Lulu.

   "Ahh, mengapa melarikan diri? Mengapa Ibu tidak memimpin anak buah melawan? Sungguh memalukan sekali, lari terbirit-birit seperti serombongan pengecut. Bukankah Pulau Neraka sebagai sarangnya orang-orang berilmu tinggi?"

   Lulu memandang puteranya dengan marah.

   "Enak saja mencela! Engkau sendiri mengapa tidak datang melihat pulau kita terancam? Bagaimana kita mampu melawan pasukan pemerintah yang jumlahnya seribu orang lebih? Dan pasukan itu dipimpin oleh orang-orang berilmu tinggi seperti Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, pendeta India Maharya, kedua orang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dan masih banyak lagi panglima yang lihai."

   "Ibu adalah Ketua Pulau Neraka, masa takut menghadapi mereka?"

   Keng In membantah. Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari tepi pantai.

   "Ha-ha-ha, Ketua boneka seperti Ibumu mana mungkin mampu menandingi mereka, muridku? Engkaulah yang dapat menandingi Koksu itu dan kaki tangannya!"

   Lulu cepat membalikkan tubuhnya dan melihat seorang kakek tua setengah telanjang berjalan terbungkuk-bungkuk dari dalam air laut! Mula-mula yang tampak hanya tubuh atas sepinggang, makin lama air makin dangkal dan makin tampaklah tubuhnya, akhirnya dia berjalan dengan tubuh tertutup cawat dan kaki telanjang, berjalan terbungkuk-bungkuk di atas pasir menghampiri mereka sambil tertawa-tawa. Melihat kakek ini, serta-merta semua orang Pulau Neraka mengeluarkan seruan kaget dan ketakutan, lalu mereka menjatuhkan diri berlutut dan menelungkup, tidak berani mengangkat muka apalagi memandang! Melihat ini, Lulu dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang dimaksudkan oleh puteranya, yaitu orang pertama dari Pulau Neraka yang berjuluk Cui-beng Koai-ong.

   "Orang tua, agaknya engkau yang berjuluk Cui-beng Koai-ong. Kalau engkau menganggap aku Ketua Boneka, mengapa selama itu engkau diam saja? Karena engkau takut terhadap Pendekar Super Sakti, maka engkau hendak menggunakan aku sebagai umpan? Kakek yang sombong dan pengecut, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani mengambil anakku sebagai murid tanpa minta ijin kepada aku yang menjadi Ibunya!"

   "Ibu, jangan....!"

   Wan Keng In berseru kaget ketika melihat ibunya menerjang maju dan menyerang kakek aneh itu dengan sebuah pukulan yang amat dahsyat. Memang Lulu sudah marah sekali, maka begitu dia menyerang, dia telah menggunakan jurus simpanan dan mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang di tangan kiri dan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di tangan kanan. Dua tenaga inti yang berlawanan ini, yang kiri dingin yang kanan panas, adalah tenaga inti mujijat yang dahulu dia latih bersama kakak angkatnya di Pulau Es.

   "Desss! Dessss!"

   Hebat bukan main benturan pukulan kedua tangan wanita sakti itu, akan tetapi kakek setengah telanjang yang menangkis kedua pukulan itu dengan dorongan tangan, hanya terdorong mundur tiga langkah saja sambil terkekeh-kekeh mengejek! Hal ini membuat Lulu menjadi makin penasaran dan sambil mengeluarkan suara melengking dia sudah menerjang lagi dengan pengerahan tenaga yang lebih hebat.

   "Ibu, jangan! Kau takkan menang!"

   Keng In kembali mencegah, akan tetapi ibunya tidak mempedulikan seruannya, dan pemuda ini pun tidak dapat berbuat sesuatu karena ibunya sudah melancarkan serangannya dengan amat cepat dan dahsyat kepada Cui-beng Koai-ong yang nemandang dengan mulut menyeringai.

   "Heh-heh, Ibumu sudah bosan hidup, muridku. Kalau dia ingin mati, jangan dilarang, jangan dihalangi, biarlah!"

   Kakek itu berkata dan ejekan ini tentu saja membuat Lulu menjadi makin penasaran dan marah.

   "Plak! Plek!"

   Kedua telapak tangan Lulu kini bertemu dengan kedua telapak tangan kakek itu, melekat dan terjadilah kini adu tenaga sakti yang amat dahsyat antara kedua orang ini. Dari dua pasang telapak tangan yang saling melekat itu, keluarlah asap seolah-olah empat buah tangan itu sedang terbakar!

   "Suhu, harap jangan bunuh Ibu...."

   Wan Keng In berkata memohon gurunya karena dia maklum bahwa ibunya tentu akan celaka kalau melanjutkan perlawanannya terhadap kakek yang amat sakti itu. Akan tetapi, kedua orang sakti yang sedang mengadu tenaga itu, mana sudi mendengarkan kata-kata Keng In yang kebingungan? Lulu sudah marah sekali, merasa terhina dan dia mengerahkan seluruh sin-kangnya untuk menyerang kakek itu,

   Sedangkan Cui-beng Koai-ong yang wataknya sudah terlalu aneh, tidak lumrah manusia lagi itu, terkekeh-kekeh senang karena maklum bahwa wanita itu tentu akan tewas di tangannya. Sementara itu, para anggauta Pulau Neraka yang menyaksikan pertandingan hebat itu, memandang dengan mata terbelalak. Mereka itu suka dan tunduk kepada Lulu yang selama ini menjadi ketua mereka, akan tetapi mereka pun amat takut kepada Cui-beng Koai-ong. Yang paling bingung adalah Wan Keng In. Pemuda ini menjadi pucat wajahnya. Untuk menghentikan pertandingan adu nyawa itu, dia merasa tidak sanggup dan tidak berani, akan tetapi kalau tidak dihentikan, tentu ibunya akan tewas! Ingin dia menangis saking bingungnya, dan dia hanya dapat membujuk dan mohon kepada gurunya dan ibunya menghentikan pertandingan itu.

   Kini Lulu maklum bahwa sesungguhnya, puteranya tidak sombong kalau mengatakan bahwa ilmu kepandaian kakek itu hebat bukan main. Setelah kedua tangannya melekat pada kedua tangan kakek itu, dia merasa betapa seluruh tenaga sin-kangnya tersedot dan tidak berdaya, bahkan kini kedua telapak tangannya terasa panas seperti terbakar, tanpa dia mampu menariknya atau melepaskannya dari telapak tangan lawan. Rasa nyeri yang hebat mulai terasa oleh tangannya, namun Lulu mengerahkan seluruh daya tahannya dan tidak mau memperlihatkan rasa nyeri, tidak mau menyerah kalah dan mengambil keputusan untuk melawan sampai mati! Asap yang mengepul dari kedua tangannya kini bukan hanya uap dari hawa sin-kang, melainkan asap dari telapak tangannya yang mulai terbakar dan terciumlah bau yang hangus dan sangit!

   "Suhu, harap maafkan Ibuku....!"

   Wan Keng In berseru dan berlutut di depan kaki gurunya. Akan tetapi sekali menggerakkan kaki kiri, tubuh Keng In terlempar dan gurunya berkata,

   "Jangan ikut campur! Kalau wanita ini bosan hidup, dia akan mati di tanganku, ha-ha-ha!"

   Lulu merasa betapa kedua tangannya panas sekali dan tenaga sin-kangnya makin lama makin menjadi lemah, tubuhnya mulai gemetar dan dia maklum bahwa dia tidak akan dapat bertahan lama lagi. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.

   "Ha-ha-ha, Twa-suheng sungguh keterlaluan! Orang sudah berjasa, menggantikan kita memimpin anak buah kita, tidak diberi hadiah malah hendak dibunuh. Dia seorang wanita lagi, apakah tidak memalukan?"

   Tahu-tahu muncullah seorang kakek yang pendek sekali, yang matanya lebar dan begitu dia berada di situ, kakek ini dari belakang menepuk punggung Lulu dan melanjutkan kata-katanya,

   "Engkau tidak lekas pergi dari sini mau menanti apa lagi?"

   Begitu punggungnya ditepuk, Lulu merasa ada tenaga yang amat hebat menyerbu dari punggungnya, melalui kedua lengannya sehingga lenyaplah tenaga menyedot dari Cui-beng Koai-ong dan begitu dia menarik kedua tangannya, tubuhnya terjengkang ke belakang seperti didorong. Lulu cepat berjungkir balik, memandang kedua telapak tangannya yang sudah menjadi hitam terbakar, matanya kini memandang ke kiri, ke arah kakek pendek yang telah menolongnya.

   "Apakah engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?"

   Tanyanya secara langsung, sedikitpun tidak menaruh hormat karena biarpun kakek ini sudah menyelamatkan nyawanya, namun tetap saja dia adalah tokoh Pulau Neraka yang telah mempermainkannya, membiarkan dia menjadi Ratu Boneka!

   "Ha-ha-ha, selamat bertemu, Toanio! Aku memang seorang yang tidak terhormat, seorang siauw-jin sehingga tidak berharga untuk bertemu dengan Toanio. Sebelum saat ini, Suhengku paling suka membunuh orang, harap Toanio suka memaafkannya."

   Muka Lulu menjadi merah sekali. Berhadapan dengan kedua orang kakek yang demikian aneh sikap dan wataknya, dia merasa seperti menjadi seorang anak kecil yang tidak berdaya sama sekali.

   "Keng In, hayo kita pergi!"

   Bentaknya kepada puteranya yang kini berdiri sambil menundukkan mukanya.

   "Maaf, Ibu. Aku tidak bisa pergi meninggalkan Suhu. Aku masih mempelajari ilmu dan.... menurut Suhu...., aku ditunjuk untuk memimpin anak buah Pulau Neraka."

   "Wan, Keng In! Engkau anakku! Engkau harus taat kepadaku. Hayo kita pergi meninggalkan setan-setan ini!"

   Lulu membentak lagi.

   "Aku tidak mau pergi, Ibu."

   Keng In membantah.

   "Kau...., lebih berat kepada mereka ini daripada kepada Ibumu?"

   "Maaf, Ibu. Kita sudah banyak menderita, sudah banyak terhina. Kini aku memperoleh kesempatan menerima ilmu yang tinggi dari Suhu agar kelak dapat kupergunakan untuk membalas orang-orang yang telah membuat Ibu menderita. Bagaimana Ibu akan dapat menghadapi kekuatan Pulau Es kalau aku tidak memperdalam ilmuku?"

   "Ha-ha-ha! Ibumu tidak memusuhi Pulau Es, muridku. Biarpun dia telah menderita karena Pendekar Siluman, ternyata dia masih belum dapat melupakan pria yang dicintanya itu. Bahkan dia baru-baru ini membantu Pulau Es ketika diserbu pasukan. Ha-ha-ha, mana kau tahu akan isi hati wanita, biarpun wanita itu Ibumu sendiri?"

   Cui-beng Koai-ong berkata.

   "Hayaaaa! Twa-suheng, urusan orang lain perlu apa kita mencampurinya? Suheng sendiri sudah bersumpah tidak akan mengambil murid, kini tahu-tahu Suheng telah mempunyai seorang murid. Apa artinya ini?"

   Bu-tek Siauw-jin mencela suhengnya yang tertawa-tawa tadi.

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siauw-jin! Engkau mau apa mencelaku? Aku mengambil murid atau tidak, kau ada hak apa mencampurinya? Kalau suka boleh lihat kalau tidak suka boleh minggat!"

   "Bagus! Kalau Twa-suheng melanggar sumpah, aku pun tidak takut melanggarnya! Kita sama-sama lihat saja, murid siapa kelak yang lebih hebat! Toanio, puteramu telah menjadi murid Cui-beng Koai-ong, biar kau larang juga akan percuma saja. Lebih baik kau pergi meninggalkan kami, karena kalau sekali lagi Twa-suhengku yang manis ini turun tangan terhadapmu, biarpun aku sendiri akan sukar untuk menyelamatkan nyawamu."

   "Dia benar.... dia benar...., pergilah!"

   Cui-beng Koai-ong mengomel. Diam-diam Lulu bergidik. Puteranya telah menjadi murid seorang manusia iblis seperti itu, yang selain amat sakti juga amat aneh wataknya. Dipandangnya sepintas lalu kedua orang kakek itu seberti orang-orang yang gila. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi mereka, maka setelah sekali lagi memandang ke arah puteranya yang tetap menundukkan muka, Lulu segera meloncat dan lari pergi meninggalkan tempat itu. Hanya satu tujuan hidupnya sekarang, yaitu mencari Suma Han dan mohon pertolongan kakak angkatnya juga satu-satunya pria yang dicintanya itu, untuk turun tangan menyelamatkan puteranya dari cengkeraman iblis-iblis itu!

   Demikianlah, setelah Lulu meninggalkan orang-orang Pulau Neraka yang telah kehilangan pulau itu, para anak buah Pulau Neraka menganggap Keng In sebagai Ketua mereka, menggantikan kedudukan ibunya, sedangkan dua orang kakek itu tetap saja menjadi tokoh-tokoh yang ditakuti dan ditaati, tidak hanya oleh semua orang Pulau Neraka, juga oleh Ketuanya! Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek yang biarpun terhitung sute dari Cui-beng Koai-ong namun memiliki ilmu kepandaian yang sama tingkatnya dan diam-diam dikagumi dan disegani oleh suhengnya itu, lalu pergi sambil menyuruh lima belas orang anak buah membawa sebuah peti mati kosong untuk berlatih di tempat yang akan dipilihnya sendiri.

   Secara kebetulan sekali, di tengah jalan kakek ini bertemu dengan Kwi Hong yang dianggapnya berjodoh untuk muridnya, apalagi setelah kakek pendek ini tahu bahwa gadis itu adalah keponakan dan juga murid Pendekar Super Sakti. Karena kalah dalam pertarungan, juga karena dia sendiri memang ingin memperoleh ilmu-ilmu yang lebih tinggi, Kwi Hong menjadi miurid Bu-tek Siauw-jin, berlatih secara menyeramkan, yaitu di dalam peti mati berdekatan dengan peti mati gurunya yang baru, menerima gemblengan-gemblengan ilmu mengatur napas, samadhi dan mengumpulkan sin-kang secara luar biasa, mengambil inti sari daya sakti bumi! Dia melatih diri dengan tekun, dengan tekad membulat mempertaruhkan nyawa!

   Ilmu samadhi dan menghimpun hawa daya sakti bumi yang dilatih oleh Bu-tek Siauw-jin dan kini dia ajarkan kepada Kwi Hong adalah sebuah ilmu yang mujijat. Sesungguhnya latihan inilah yang mendatangkan kekuatan sin-kang yang tidak lumrah dalam diri Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua orang tokoh Pulau Neraka yang selalu menyembunyikan diri itu. Ilmu mujijat ini disertai dengan ilmu silat Inti Bumi yang amat dahsyat pula, yang diciptakan oleh seorang tokoh Pulau Es yang karena kesalahan dibuang di Pulau Neraka. Orang sakti ini menjadi sakit hati dan putus harapan maka dia "membunuh diri"

   Dengan jalan mengubur dirinya hidup-hidup di dalam sebuah peti mati di Pulau Neraka. Akan tetapi, rasa penasaran dan dendam di hatinya membuat dia sebelum mati, menciptakan ilmu mujijat ini dan dicoret-coretnya ilmu ciptaannya di ambang kematian itu di sebelah dalam peti matinya!

   Kebetulan sekali seorang kakek pimpinan Pulau Neraka yang menyembunyikan diri untuk membebaskan diri dari ancaman binatang-binatang berbisa dan hawa berbisa di Pulau Neraka, mendapatkan peti mati di dalam tanah itu dan membaca tulisan dan ukiran di dalam peti, maka berhasillah dia menguasai ilmu itu yang kemudian diwariskan kepada anak cucunya sehingga yang terakhir menjadi ilmu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin! Hanya kedua orang inilah yang memiliki ilmu ini, bahkan mendiang sute mereka Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek sendiri tidak memiliki ilmu ini. Tidak sembarang orang dapat menguasai ilmu silat dan menghimpun tenaga sakti Inti Bumi itu karena caranya berlatih amat menyeramkan dan memperta-ruhkan nyawa.

   Wan Keng In sendiri yang banyak menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari Cui-beng Koai-ong, masih belum berani melatih diri dengan ilmu mujijat itu. Kwi Hong yang berwatak berani mati dan nekat secara kebetulan sekali kini menjadi orang ke tiga di dunia ini yang melatih diri dengan Ilmu Inti Bumi! Para anak buah Pulau Neraka yang menjaga di tanah kuburan itu, tidak berani mengganggu, bahkan mendekat saja mereka tidak berani. Mereka sudah mengenal dua orang datuk Pulau Neraka yang amat mereka takuti itu, karena bagi dua orang datuk itu, apalagi Cui-beng Koai-ong, membunuh manusia seperti membunuh nyamuk saja, dan watak mereka sukar sekali diikuti. Mereka maklum bahwa sebelum kakek pendek itu keluar dari dalam tanah, mereka harus menjaga dengan mati-matian agar jangan sampai kuburan itu diganggu orang.

   Kalau kakek dan muridnya yang baru itu sudah keluar dari dalam tanah, barulah mereka bebas dari tugas berat ini, kecuali tentu saja kalau ada perintah baru dari kakek pendek yang aneh itu. Pada malam hari ke tiga, orang-orang Pulau Neraka itu menjadi terkejut ketika melihat munculnya serombongan orang yang mereka kenal sebagai orang-orang Thian-liong-pang! Rombongan itu terdiri dari delapan belas orang dipimpin oleh seorang dara remaja yang cantik jelita dan yang mereka kenal sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang, dan seorang laki-laki tinggi besar yang lengan kirinya buntung dan berwajah menyeramkan. Laki-laki berlengan satu ini wajahnya muram dan sinar matanya berkilat, orangnya pendiam akan tetapi sikap semua anggauta rombongan amat hormat kepadanya, bahkan puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri kelihatan bersikap manis kepadanya.

   Orang ini adalah seorang tokoh baru yang telah berjasa mengorbankan tangannya untuk Thian-liong-pang sehingga Ketua perkumpulan itu menaruh penghargaan kepadanya dan menurunkan ilmu yang dahsyat kepadanya, yang membuat dia bahkan lebih lihai daripada sebelum lengan kirinya buntung! Dia adalah Kiang Bok Sam yang lengan kirinya buntung oleh Pedang Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In dan kini telah menjadi seorang lihai sekali dengan lengan kanannya. Nirahai telah menurunkan Ilmu Sin-to-ciang (Telapak Tangan Golok Sakti) kepadanya sehingga lengannya itu lebih lihai daripada lengan kiri mendiang Su Kak Houw yang berjuluk Toat-beng-to itu. Dengan ilmu-ilmunya yang baru dia terima dari Ketuanya sebagai pembalas jasanya mengorbankan lengan kiri, kini dia menjadi orang ke dua sesudah Tang Wi Siang di Thian-liong-pang.

   Bahkan dibandingkan Sai-cu Lo-mo, dia masih lebih berbahaya karena sambaran tangan kanannya atau permainan tongkat kuningan dengan tangan tunggalnya selalu mendatangkan maut bagi setiap orang lawannya. Orang-orang Pulau Neraka yang se-dang bertugas menjaga "kuburan"

   Bu-tek Siau-jin dan muridnya yang sedang berlatih di bawah tanah, tidak berani mencari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang yang mereka tahu merupakan lawan yang amat lihai. Rombongan Pulau Neraka ini dipimpin oleh Kong To Tek dan Chi Song, dua orang tokoh Pulau Neraka yang bermuka merah muda yang pernah diutus oleh Ketua mereka mengunjungi Thian-liong-pang untuk menguji kepandaian para pimpinan Thian-liong-pang dan secara mudah dirobohkan oleh "ketua"

   Thian-liong-pang yang di luar tahu mereka pada waktu itu dipalsukan Gak Bun Beng.

   Maka kini melihat munculnya tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang dipimpin oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri, mereka memberi isyarat dengan kedipan mata kepada para anak buahnya agar tetap berdiam di tempat persembunyian mereka dan tidak mengganggu orang-orang Thian-liong-pang yang kini berkumpul dan beristirahat di sebuah bangunan kuburan kuno tidak jauh dari tempat persembunyian orang-orang Pulau Neraka. Tadinya rombongan Pulau Neraka mengira bahwa rombongan Thian-liong-pang itu hanya lewat dan kebetulan beristirahat saja di tanah kuburan itu, akan tetapi ternyata bahwa sampai malam tiba, mereka tidak pergi dari situ, bahkan membuat api unggun dan berjaga sambil bercakap-cakap, seolah-olah mereka itu dalam keadaan siap menghadapi musuh! Melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang itu, gelisah hati rombongan Pulau Neraka.

   Mereka ingin sekali melihat datuk mereka menghabiskan atau menghentikan latihannya agar mereka bebas tugas dan mereka dapat memilih dua kemungkinan, yaitu menggempur orang-orang Thian-liong-pang atau meninggalkan tempat itu. Sekarang mereka merasa serba salah. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang Thian-liong-pang itu, dan tidak tahu apakah musuh-musuh lama itu sudah tahu akan kehadiran rombongan Pulau Neraka atau belum. Dalam keadaan bersembunyi dan tidak menentu ini mereka merasa tidak enak hati sekali. Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai tampak berseri mengusir embun pagi yang menyelimuti hutan dan sebidang tanah kuburan di anak bukit itu, tampaklah tujuh orang hwesio tua dengan langkah tenang dan wajah serius memasuki tanah kuburan dan langsung berhadapan dengan rombongan Thian-liong-pang.

   "Bagus sekali, kiranya Thian-liong-pang sudah siap menanti di tempat ini! Ternyata Thian-liong-pang masih merupakan sebuah perkumpulan besar yang suka memegang janjinya!"

   Seorang di antara para hwesio tua itu, yang bertubuh kurus bermuka tengkorak dan berjenggot hitam, tangan kiri memegang tasbih, tangan kanan memegang hud-tim (kebutan) berkata dengan tenang.

   "Thian-liong-pang selamanya memegang janji dan sejak dahulu adalah perkumpulan besar yang tiada bandingnya!"

   Milana berkata nyaring sambil manyapu tujuh orang hwesio itu dengan sinar matanya yang lembut.

   "Memenuhi permintaan para sahabat di dunia kang-ouw untuk mengadakan pertemuan, kami menggunakan tempat yang sunyi ini agar di antara kita dapat bicara dan bergerak tanpa mengacaukun manusia lain karena di sini yang tinggal hanyalah orang-orang mati. Nah, setelah kami yang mewakili Ketua Thian-liong-pang berada di sini dan Cu-wi Losuhu sudah dutang, apakah kehendak Cu-wi mengajukan tantangan kepada pihak kami untuk mengadakan pertemuan?"

   Seorang hwesio berjenggot putih yang berwajah lembut melangkah maju, memandang kepada Milana dan teman-temannya, lalu berkata,

   "Omitohud...., seorang dara remaja yang lembut menyambut kami sebagai wakil Thian-liong-pang! Nona, di manakah Ketua Thian-liong-pang sendiri? Mengapa mewakilkan urusan besar kepada seorang gadis muda seperti Nona?"

   Milana cepat menjura dengan hormat, hatinya tidak enak menghadapi sikap hwesio yang agung dan penuh wibawa, juga amat halus itu. Seringkali dia terpaksa merasa canggung dan tertekan batinnya dalam memenuhi tugas dalam Thian-liong-pang atas perintah ibunya. Biarpun ia tahu bahwa ibunya bukan orang jahat, dan Thian-liong-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah, namun kadang-kadang sikap keras hendak menang sendiri dari perkumpulan yang di-pimpin ibunya, membuat gadis yang memiliki dasar watak halus itu merasa canggung dan tidak enak.

   "Harap Lo-suhu suka memaafkan, Thian-liong-pangcu tidak dapat sembarangan hadir dalam setiap pertemuan, apalagi kami lihat bahwa Ketua Siauw-lim-pai sendiri pun tidak datang memimpin rombongan Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, Ketua kami mewakilkan kepada kami yang bertanggung jawab penuh akan segala keputusan dalam pertemuan yang diadakan di tempat ini."

   Hwesio itu mengangguk-angguk, namun pada wajahnya yang halus itu masih terbayang ketidakpuasan hatinya. Siauw-lim-pai adalah sebuah perkumpulan atau partai persilatan yang besar dan terkenal sekali, sekarang rombongan Siauw-lim-pai yang terdiri dari tokoh-tokoh bukan tingkat rendah, hanya di-sambut oleh seorang gadis muda Thian-liong-pang!

   "Omitohud, Nona yang muda pandai bicara. Bolehkan pinceng mengetahui, kedudukan apa yang Nona miliki di Thian-liong-pang?"

   "Nona kami adalah puteri Pangcu, kalian ini hwesio-hwesio tua terlalu ba-nyak bicara! Nona kami wakil Pangcu dalam pertanggungan jawab, akan tetapi aku Kiang Bok Sam juga berhak mewakili Pangcu menghadapi orang-orang yang banyak cerewet!"

   Tiba-tiba Si Lengan Buntung itu sudah meloncat maju dan tangan tunggalnya sudah melintangkan toyanya di depan dada, sepasang matanya mendelik dan sikapnya menakutkan. Para hwesio kelihatan tercengang dan hwesio tua itu cepat berkata,

   "Omitohud...., maafkan pinceng yang tidak tahu bahwa Nona adalah puteri Thian-liong-pangcu sendiri! Kalau begitu, kami merasa terhormat sekali. Pinceng adalah Ceng Sim Hwesio, murid kepala dari Suhu yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai."

   "Harap Lo-suhu suka menceritakan apa yang dikehendaki oleh Siauw-lim-pai maka menuntut agar diadakan pertemuan dengan pihak kami."

   Milana cepat bertanya mendahului Bok Sam yang ia tahu amat keras wataknya dan biarpun jarang bicara, sekali mengeluarkan suara, dapat mengejutkan dan menyinggung perasaan hati orang!

   "Sudah bertahun-tahun Siauw-lim-pai mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang menyinggung perasaan dunia kang-ouw, menculik tokoh-tokoh kang-ouw, merampas kitab pelajaran dan pusaka partai-partai lain...."

   "Akan tetapi kami selalu menjaga agar tidak mengganggu Siauw-lim-pai yang kami pandang sebagai perkumpulan sahabat!"

   Milana cepat membantah.

   "Sedangkan mengenai urusan dengan tokoh-tokoh dan perkumpulan lain, mengenai peminjaman kitab atau pusaka, kami rasa tidak ada sangkut pautnya dengan pihak Siauw-lim-pai seperti juga kami tidak pernah mencampuri urusan dalam Siauw-lim-pai sendiri."

   Ceng Sim Hwesio, murid kepala Ketua Siauw-lim-pai, Ceng Jin Hosiang, menarik napas panjang dan melanjutkan kata-katanya yang dipotong oleh nona muda itu,

   "Tepat sekali ucapan Nona dan kenyataannya pun kami pihak Siauw-lim-pai tidak pernah mencampuri urusan itu, bukan? Akan tetapi semenjak pertemuan yang menghebohkan di Pegunungan Ciung-lai-san, terjadilah hal-hal yang dilakukan oleh Thian-liong-pang dan sekali ini karena menyangkut persoalan negara dan rakyat, terpaksa kami harus mencampurinya!"

   "Harap Lo-suhu suka memberi penjelasan!"

   Milana berkata halus akan tetapi nyaring karena dia merasa tersinggung juga mendengar bahwa perkumpulan ibunya dicela orang lain.

   "Terus terang saja pinceng katakan bahwa Siauw-lim-pai telah mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang merendahkan dirinya menjadi kaki tangan Pemerintah Mancu! Dengan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah untuk menindas bangsa sendiri, hal ini sungguh bertentangan dengan kegagahan dan berarti salah menggunakan perkumpulan Thian-liong-pang untuk menjadi penjilat dan pengkhianat."

   Si Lengan Buntung mencelat maju, akan tetapi Milana membentak nyaring.

   "Kiang-lopek, mundur dan jangan turun tangan sebelum ada perintah!"

   Si Lengan Buntung mendelik kepada para hwesio itu, akan tetapi tanpa membantah ia melangkah mundur, sedangkan para anggauta Thian-liong-pang lainnya sudah marah dan bersiap turun tangan begitu ada perintah.

   "Lo-suhu, kata-kata Lo-suhu agaknya terdorong oleh nafsu amarah dan Lo-suhu belum menyelidiki terlebih dahulu sebelum mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang kurang baik terhadap perkumpulan kami. Kami tidak akan mengingkari kenyataan bahwa kami membantu pemerintah dalam menghadapi para pemberontak. Bukankah hal itu berarti bahwa Thian-liong-pang membersihkan kaum pemberontak yang akan mengacaukan keadaan dan yang hanya akan memancing timbulnya perang yang menyengsarakan penghidupan rakyat jelata? Ataukah.... mungkin Siauw-lim-pai bahkan memihak pemberontak yang jelas terdiri dari orang-orang yang mengejar kedudukan, perampok-perampok yang berkedok pejuang?"

   Muka para hwesio berubah merah dan pandang mata mereka mengandung kemarahan. Namun suara hwesio tua itu masih halus ketika dia berkata,

   "Perjuangan melawan penjajah, di manapun juga di dunia ini, adalah perjuangan kaum patriot pembela bangsa dan tidak boleh dikotori dengan tuduhan keji memakai dalih apapun juga. Kami tidak bersekutu dengan kaum patriot dan pe-juang yang kalian anggap sebagai pemberontak, akan tetapi kami pun tidak sudi untuk menjadi kaki tangan pemerintah mencelakakan bangsa sendiri yang berjuang menurut keyakinan dan kebenaran mereka sendiri. Kami hanya minta kepada Thian-liong-
(Lanjut ke Jilid 29)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 29
pang, mengingat bahwa Thian-liong-pang adalah parkumpulan orsng gagah, untuk mundur dan jangan mambunuhi rakyat dan bangsa sendiri."

   Tentu saja hati Milana manjadi panas mendengar ucapan itu, betapapun juga baik kata-kata itu diatur dan dikeluarkan dengan halus.

   Dia tidak dapat menyelami kebenaran kata-kata itu, tidak dapat merasakan alasan yang dikemukakan oleh Ceng Sim Hwesio. Bagaimana ia dapat merasakan kebenaran itu kalau dia sama sekali tidak merasa bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerintah penjajah? Dia sendiri adalah cucu Kaisar! Di dalam pandangannya, bangsa Mancu adalah bangsa yang berhak dan patut memimpin seluruh Tiongkok karena telah menunjukkan kebesaran dan kelebihannya! Mana bisa disamakan atau dibandingkan dengan bangsa pemberontak yang hanya terdiri dari perampok kasar itu? Dia percaya sepenuhnya bahwa pemerintah Kerajaan Ceng-tiauw membawa rakyat kepada kemakmuran dan kemajuan, sedangkan para pemberontak itu hanya akan mencari kesempatan menggendutkan perut sendiri dengan membawa nama rakyat dan perjuangan untuk menghalalkan kejahatan mereka!

   "Ceng Sim Hwesio, sebagai wakil Siauw-lim-pai engkau minta kepada Thian-liong-pang untuk mundur dan tidak bolah membantu pemerintah membersihkan para pemberontak, dan sebagai wakil Thian-liong-pang saya menjawab bahwa Siauw-lim-pai tidak boleh mencampuri urusan kami sendiri. Kami menolak permintaannmu itu, dan kami akan tetap melanjutkan tugas kami membersihkan kaum pemberontak, bukan semata-mata untuk membantu pemerintah, melainkan terutama sekali untuk menjauhkan rakyat daripada kekacauan dan peperangan baru yang ditimbulkan oleh kaum pemberontak!"

   "Kalau begitu, Thian-liong-pang menentang kepada Siauw-lim-pai!"

   Hwesio bermuka tengkorak yang memegang kebutan dan tasbeh berkata. Sikapnya tidaklah sehalus Ceng Sim Hwesio dan mata di dalam tengkorak itu mengeluarkan sinar berkilat.

   "Habis, engkau mau apa?"

   Si Lengan Satu sudah membentak lagi, toya di tangan kanannya diputar-putar sehingga terdengar suara angin bersuitan.

   "Terserah akan pendapat Siauw-lim-pai terhadap sikap kami, akan tetapi Thian-liong-pang tidak akan tunduk terhadap siapapun juga dalam menentukan sikap akan urusan kami dengan pemerintah!"

   Milana berkata.

   "Omitohud! Sejak dahulu Thian-liong-pang memang ganas dan tinggi hati. Agaknya karena semua tokohnya memiliki ilmu kepandaian tinggi!"

   Kata Ceng Sim Hwesio yang mulai panas hatinya.

   "Ilmu kepandaian curian semua!"

   Kembali hwesio muka tengkorak berkata mengejek.

   "Cu-wi Lo-suhu dari Siauw-lim-pai! Bukan kami yang mengundang kalian, melainkan Siauw-lim-pai yang menuntut pertemuan ini. Akan tetapi ternyata Siauw-lim-pai memperlihatkan sikap tidak bersahabat. Karena itu, karena kami yang menyediakan tempat ini, berarti kami menjadi pihak pemilik tempat dan kalian adalah tamu. Sekarang kami persilakan kalian pergi dari sini, pertemuan telah selesai!"

   Milana berkata marah.

   "Omitohud, benar-benar Thian-liong-pang tidak memandang sebelah mata kepada Siauw-lim-pai!"

   Ceng Sim Hwesio berkata.

   "Setelah kedua belah pihak bertemu, bicara tanpa ada hasilnya, tidak boleh kita menyia-nyiakan kesempatan ini untuk saling menguji sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian masing-masing. Biarpun kami hanya bertujuh dan jumlah kalian dua kali lebih banyak, kami tidak akan mundur dan kami tantang Thian-liong-pang mengadakan pertandingan menguji ilmu kepandaian sebagai penutup pertemuan ini!"

   "Bagus! Siapa takut kepada tujuh ekor kerbau gundul?"

   Bok Sam meloncat sambil memutar toyanya.

   "Trang-trangg....!"

   Bunga api berpijar ketika toya itu bertemu dengan tombak pendek yang berada di tangan seorang hwesio yang menangkis toya itu. Hwesio tua bertubuh tinggi besar itu terhuyung mundur dengan wajah pucat karena merasa betapa dari toya itu keluar tenaga dahsyat yang membuat kedua lengannya tergetar dan kuda-kudanya tergempur!

   "Kiang-lopek! Harap mundur dulu! Aku tidak perkenankan tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang gagah perkasa melakukan pengeroyokan! Mereka hanya bertujuh, aku membutuhkan enam orang pembantu saja untuk menghadapi mereka!"

   Milana lalu menyebutkan nama enam orang pembantu yang dipilihnya, termasuk Si Lengan Buntung, kemudian bersama enam orang pembantunya ia menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai sambil melintangkan pedang di depan dada dan berkata,

   "Ceng Sim Hwesio, apa yang kalian kehendaki sekarang?"

   "Omitohud! Kiranya Thian-liong-pang masih menjaga nama baik dan memiliki kegagahan! Kouwnio (Nona) yang perkasa, biarlah pertemuan ini kita akhiri dengan menguji kepandaian masing-masing sehingga akan lengkaplah pelaporan kami kepada Ketua kami."

   "Bagus sekali. Majulah, jumlah kita sekarang sama!"

   Kemudian dia menoleh kepada para pembantunya,

   "Kalian ingat baik-baik, pertandingan ini hanya sekedar menguji ilmu. Aku tidak perkenankan kalian turun tangan membunuh. Cukup kalau sudah mengalahkan orang-orang tua yang keras kepala ini!"

   "Orang-orang Thian-liong-pang yang sombong! Sambutlah serangan kami!"

   Ceng Sim Hwesio membentak, memberi isyarat kepada rombongannya dan tujuh orang hwesio itu sudah menerjang maju. Yang mempelopori adalah hwesio tua ini. Senjatanya hanya kedua lengan bajunya yang lebar, namun sepasang senjata ini amatlah dahsyatnya, tidak kalah oleh senjata-senjata lain karena begitu kedua tangannya bergerak, ujung lengan baju yang panjang itu merupakan senjata yang menyambar kuat sekali, panjangnya lebih dari satu kaki di depan tangannya.

   "Wuuuut.... wuuuutttt!"

   Kedua lengan bajunya itu menerjang ke arah Milana. Ketika dara ini dengan gerakan yang gesit sekali mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang kemudian membalik, tahu-tahu dia melihat bahwa pemimpin rombongan, hwesio itu telah dihadapi oleh Bok Sam dengan putaran toyanya sehingga Ceng Sim Hwesio cepat memutar kedua ujung lengan bajunya dan terjadilah pertandingan seru di antara mereka. Milana tersenyum, maklum bahwa pembantunya yang paling lihai ini tentu saja turun tangan menandingi hwesio yang dianggapnya paling ampuh dan lihai di antara rombongan lawan sehingga nona muda puteri Ketuanya itu tidak akan bekerja terlalu keras! Terpaksa Milana melayani seorang hwesio lain, yang bertubuh tinggi besar dan yang bersenjata sepasang tombak pendek, yaitu hwesio yang tadi menangkis toya Si Lengan Buntung.

   Namun lawan ini terlalu lemah baginya dan dalam belasan jurus saja Milana sudah mendesak sepasang tombak pendek itu sehingga lawannya hanya dapat mengelak dan sibuk menangkis dengan sepasang senjatanya seolah-olah di tangan Milana bukan terdapat sepasang pedang melainkan banyak sekali yang membuat hwesio itu kewalahan. Sementara itu, lima orang hwesio lainnya sudah pula bertanding melawan lima orang pembantu Milana dan terjadilah pertandingan yang seru di tanah kuburan. Melihat bahwa ternyata anggauta Thian-liong-pang yang berada di situ sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka, rombongan Pulau Neraka kini menjadi lega hatinya dan menonton pertandingan sambil bersembunyi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali kepada puteri Ketua Thian-liong-pang dan Si Lengan Buntung yang ternyata hebat bukan main.

   Pertandingan antara Bok Sam yang buntung lengan kirinya melawan Ceng Sim Hwesio merupakan pertandingan yang paling seru dan seimbang, dibandingkan dengan pertandingan lain di antara kedua rombongan itu. Biarpun lengannya hanya sebuah, namun toya yang diputar di tangan kanan itu benar-benar dahsyat sekali gerakannya sehingga Ceng Sim Hwesio yang amat lihai itu pun tidak mampu mendesaknya dengan kedua ujung lengan bajunya, bahkan hwesio tua itu kelihatan terkejut sekali dan bersilat dengan amat hati-hati. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai terkenal memiliki ilmu silat yang tinggi, dengan dasar yang kokoh kuat dan boleh dikata di antara semua ilmu silat yang sesungguhnya bersumber satu itu, ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat yang masih dekat dengan sumbernya, masih murni dibandingkan dengan cabang-cabang persilatan lain.

   Hal ini adalah karena para pengembang ilmu silat Siauw-lim-pai terdiri dari hwesio-hwesio yang berwatak bersih, jujur dan tekun serta setia kepada pelajaran guru-guru mereka. Berbeda dengan cabang persilatan lain yang mengalami perubahan karena tokoh-tokohnya terdiri dari orang-orang kang-ouw atau petualang yang banyak merantau sehingga di sana sini mereka menemukan cara-cara baru yang mereka masukkan dalam ilmu silat mereka sehingga makin lama, biarpun ilmu mereka banyak yang menjadi aneh dan bermacam-macam coraknya, juga tidak kalah lihainya, namun makin menjauh dari dasar atau sumbernya. Karena inilah, maka ilmu silat Siauw-lim-pai menjadi ilmu silat yang tertua dan yang paling aseli, tidak berubah semenjak ratusan tahun yang lalu.

   Ceng Sim Hwesio adalah murid kepala dari Ketua Siauw-lim-pai pada waktu itu. Tentu saja dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Sebetulnya, dibandingkan dengan Bok Sam, baik mengenai kematangan latihan maupun tingkat kepandaian, hwesio ini tidak kalah bahkan lebih unggul dan lebih matang, juga tenaga saktinya tidak kalah kuat. Akan tetapi, lawannya itu telah memperoleh gemblengan khusus dari Ketua Thian-liong-pang, dan ilmu yang dimilikinya adalah ilmu golongan hitam yang mempunyai banyak gerakan-gerakan mengandung tipu daya yang aneh-aneh dan tidak dikenal oleh seorang pendeta yang mengutamakan kejujuran seperti Ceng Sim Hwesio. Ketika dengan gerakan yang kuat sepasang lengan baju hwesio itu menyambar ke arah toya yang menyerang,

   Melibat kedua ujung toya itu dengan sepasang lengan bajunya untuk merampas senjata lawan, secara tak terduga dan tiba-tiba, Si Lengan Satu itu melepaskan toyanya dan menggunakan kesempatan selagi lawan tidak bebas karena kedua lengan dipakai untuk berusaha merampas toya, tangan kanan yang mempunyai ilmu dahsyat "telapak tangan golok"

   Itu telah membabat ke arah pundak Ceng Sim Hwesio! Hwesio tua itu terkejut sekali. Dari sambaran hawa pukulan tangan kanan itu dia dapat menduga bahwa lawannya memiliki pukulan ampuh yang berbahaya sekali. Untuk menangkis, tidak keburu lagi karena kedua tangannya tidak bebas, sepasang ujung lengan bajunya sudah melibat toya, maka jalan satu-satunya baginya hanyalah miringkan tubuh dan menerima hantaman tangan miring itu dengan pangkal bahunya yang berdaging sambil mengerahkan sin-kangnya.

   "Desss!"

   Hebat bukan main pukulan tangan miring dari Bok Sam ini. Dia telah menerima latihan khusus dari Ketua Thian-liong-pang dan kekuatan tangan tunggalnya itu amat dahsyat.

   Bukan seperti tangan yang mengandung tenaga sin-kang biasa yang dapat memecahkan batu karang, akan tetapi tangan kanan Bok Sam ini dapat dipergunakan seperti sebatang golok yang tajam, dapat mematahkan senjata lawan dan dapat dipakai membacok putus leher manusia! Ketika tangan yang dihantamkan miring itu bertemu dengan pangkal lengan Ceng Sim Hwesio yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat sehingga menjadi kebal, tubuh hwesio itu tergetar hebat dan biarpun dia tidak terluka karena "bacokan"

   

Pendekar Super Sakti Eps 30 Kisah Pendekar Bongkok Eps 13 Pendekar Super Sakti Eps 10

Cari Blog Ini