Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 19


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



"Maksud Subo, Subo hendak melawan dan akan dapat mengalahkan mereka?"

   "Tidak, kalau melawan berterang, tidak mungkin dapat menangkan dua orang kembar itu. Akan tetapi sudah bertahun-tahun aku merencanakan akal, mari kau lihat saja dan bantu aku membuat persiapan!"

   Ceng Ceng mengikuti subonya mema-suki guha dan sesampainya di mulut terowongan yang berada di sebelah dalam guha, nenek itu berhenti dan mengeluarkan bunyi mendesis-desis dan diseling suara melengking.

   "Subo memanggil Siauw-liong (Naga Kecil)?"

   Ceng Ceng yang sudah pernah mendengar subonya memanggil ular besar itu bertanya. Selama sebulan di tempat itu baru pagi hari ini dia merasakan ketegangan hebat setelah mendengar bahwa tempat itu akan kedatangan musuh yang lihai, bukan hanya tegang karena musuh itu melainkan karena harapannya bahwa dia akan dapat menemukan jalan keluar yang dirahasiakan oleh sepasang kakek iblis itu. Tak lama kemudian, terdengar suara mendesis-desis dan muncullah ular besar yang merayap dari dalam terowongan.

   Nenek itu juga merayap dekat, lalu memegang leher dan perut ular dengan kedua tangan, kemudian dengan gerakan tiba-tiba dia melemparkan ular itu ke atas, ke arah batu menonjol di atas guha. Ular itu menggunakan ekornya melibat batu dan berdiam di situ tak berani bergerak lagi, melingkari batu. Setelah melihat ular itu di tempat seperti yang dikehendakinya, Ban-tok Mo-li tertawa, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya, membuka bungkusan yang ternyata berisi bubuk berwarna hitam. Ditaburkannya bubuk itu di sepanjang jalan terowongan di mulut guha sebelah dalam. Tidak ada tampak bekasnya namun lantai yang ditaburi bubuk sambil mengesot mundur itu, dari mulut terowongan sampai ke dalam sejauh tiga meter lebih telah terlapis dengan bubuk hitam.

   "Ha-ha-ha, kau akan melihat mereka bergelimpangan, Lu Ceng."

   Nenek itu tertawa sambil menganto-ngi lagi kertas pembungkus racun hitam tadi.

   "Apakah Subo akan berhasil?"

   Ceng Ceng bertanya ragu, mengingat akan cerita gurunya betapa lihai kedua orang kakek itu.

   "Hi-hi-hik, tentu saja! Racun itu tidak tampak sama sekali, akan tetapi sekali menyentuhnya, biar memakai sepatu sekalipun, yang menginjaknya akan roboh dan tewas. Andaikata kakek kembar iblis busuk itu mampu melewatinya, tentu Siauw-liong yang girang melihat kedatangan korban akan menyerang mereka. Serangan ini tentu akan membuat mereka meloncat mundur lagi dan mau tidak mau akan menginjak racun hitam. Heh-heh-heh!"

   "Kalau gagal bagaimana, Subo?"

   "Hemm, gagal? Aku sudah siap dengan jarum-jarumku yang akan kusebar dari sebelah luar guha. Dan engkau selama ini sudah berlatih melempar jarum beracun dan pasir beracun, kau bantu aku menyerang dari samping kiri."

   "Baik, Subo."

   "Nah, kita siap sekarang."

   Nenek itu lalu mengesot ke sebelah kanan mulut guha, bersembunyi di balik batu besar. Ceng Ceng juga melompat ke samping kiri mulut guha, siap dengan jarum merah beracun dan pasir yang dikantonginya. Jantungnya berdebar tegang. Yang menjadi perhatian sepenuhnya adalah kemungkinan baginya untuk menemukan jalan rahasia keluar dari tempat itu!

   Kalau selama sebulan ini dia kurang giat mencari jalan keluar adalah karena dia sudah putus harapan untuk dapat menemukan jalan keluar, karena dia tidak tahu bahwa memang terdapat jalan rahasia. Kini, setelah mendengar cerita gurunya, timbul semangatnya. Kalau orang lain mampu keluar masuk tempat ini, mengapa dia tidak? Menanti merupakan pekerjaan yang paling melelahkan. Apalagi dalam suasana di mana ketegangan mencekam hati seperti saat itu. Sejak pagi Ceng Ceng menanti bersama subonya, di kanan kiri mulut guha, bersembunyi sambil mengintai ke sebelah dalam terowongan yang hitam pekat. Apalagi dia sebagai manusia yang dipermainkan pikiran dan khayal pikirannya sendiri, sedangkan ular besar itu pun mulai kelihatan gelisah akan tetapi tidak berani merayap turun karena takut sekali kepada nenek itu.

   Hanya kepalanya saja digoyang-goyang ke kanan kiri, matanya melirik-lirik dan lidahnya berkali-kali dijulurkan keluar sambil mengeluarkan suara mendesis-desis. Setiap kali dia mendesis, nenek itu mendesis-desis keras dan ular itu terdiam. Ceng Ceng sudah hampir tidak kuat lagi menahan. Dia adalah seorang dara yang lincah gembira, mana dia dapat tahan untuk diam saja seperti arca selama berjam-jam? Matahari telah naik tinggi dan sudah lebih dari tiga jam mereka menanti di situ. Akan tetapi baru saja dia hendak membuka mulut mengajak subonya bicara, nenek itu menggerakkan tangan memberi isyarat agar dia tidak mengeluarkan suara. Ceng Ceng menarik napas panjang dan menundukkan mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main. Dengan amat jelas terdengarlah suara orang tertawa, jauh dari sebelah dalam terowongan itu!

   "Ha-ha-ha-ha! Ban-tok Mo-li nenek ular yang buruk! Keluarlah kau...., kami datang menagih janji! Ha-ha-ha-ha!"

   Ceng Ceng merasa ngeri. Baru suaranya saja sudah membayangkan bahwa orang yang tertawa itu mempunyai kekejaman luar biasa! Keadaan menjadi sunyi sekali dan amat menyeramkan setelah suara tertawa dan kata-kata itu habis gemanya. Dara itu melirik ke arah subonya dan melihat betapa nenek itu juga tegang, memandang ke dalam guha sambil mengintai dari balik batu besar, jarum-jarum hitam di kedua tangannya. Ceng Ceng juga mempersiapkan jarum merah di tangan kanan dan pasir di tangan kiri.

   Pasir yang digenggamnya itu bukanlah pasir biasa melainkan pasir yang didapat di lantai guha itu dan yang sudah direndam dalam racun oleh subonya. Dia sendiri sudah menggunakan obat pemunahnya sehingga tidak berbahaya baginya, namun lawan yang terkena pasir ini, sedikit saja lecet kulitnya tentu akan terancam bahaya maut karena dari luka itu racun pasir akan meracuni semua jalan darahnya! Tiba-tiba tampak bayangan dua orang di sebelah dalam terowongan. Karena di dalam terowongan itu memang gelap sekali, maka yang tampak hanya bayangannya saja, akan tetapi dengan jantung berdebar Ceng Ceng merasa pasti bahwa bayangan itu tentulah sepasang kakek kembar Siang Lo-mo, musuh dari gurunya. Apakah mereka itu akan menginjak lantai yang beracun? Ataukah akan meloncati tempat itu?

   Akan tetapi kini dia mengerti akan siasat gurunya. Gurunya mengajak dia bersembunyi, dan hal ini merupakan jebakan dan pancingan. Kalau tidak kelihatan ada orang di situ, tentu dua orang kakek itu akan berhati-hati dan akan maju perlahan-lahan, tidak berani sembarangan meloncat begitu saja, khawatir akan terjebak. Dan karena hati-hatinya, tentu dua orang kakek itu akan menginjak lantai yang sudah dipasangi racun dan yang tidak nampak sama sekali. Ceng Ceng melihat dua orang atau dua bayangan itu bergerak melangkah maju, dan dia melihat pula betapa Siauw-liong, ular besar itu sudah mulai menjulurkan kepalanya ke bawah, agaknya dengan air liur membasahi lidahnya binatang itu sudah siap untuk mencaplok korban yang akan menjadi mangsanya itu.

   Setapak demi setapak dan bayangan orang itu melangkah maju, makin mendekati lantai beracun, dan makin berdebar pula rasa jantung Ceng Ceng. Mereka itu makin dekat dan tiba-tiba terdengar jerit melengking dan kedua orang itu roboh tepat di atas lantai beracun. Mereka roboh begitu kaki mereka menyentuh lantai itu! Bukan main ngeri, kagum dan juga girangnya hati Ceng Ceng karena melihat dua orang musuh tangguh dari gurunya itu dapat dirobohkan sedemikian mudahnya. Dia hendak meloncat keluar akan tetapi mengurungkan niatnya ini ketika dia menoleh ke arah gurunya, dia melihat gurunya itu dengan muka pucat dan pandang mata gelisah memberi isyarat agar dia tetap bersembunyi.

   Bahkan gurunya kini siap untuk melemparkan jarum-jarumnya ke depan! Selagi Ceng Ceng terheran-heran dan bingung melihat sikap gurunya, tiba-tiba terdengar suara dua orang tertawa-tawa dan dari dalam terowongan berkelebatlah dua sosok bayangan orang. Sambil tertawa-tawa dua orang itu meloncat ke depan, menginjak punggung dua orang pertama yang masih menelungkup di atas lantai beracun, kemudian dari punggung itu mereka meloncat ke depan dan barulah tampak oleh Ceng Ceng bahwa yang meloncat hanya satu orang sedangkan orang ke dua duduk di atas pundak orang pertama. Orang pertama yang berada di bawah itu memakai sepatu kulit tebal dan orang ke dua yang duduk di atas pundak orang pertama itu tidak bersepatu, bahkan tidak berpakaian kecuali hanya sepotong cawat! Tiba-tiba ular besar tadi menyerang ke bawah.

   "Heh-heh-heh!"

   Orang yang tidak berpakaian dan hanya bercawat itu terkekeh.

   "Masih ada permainanmu yang lain lagi, Nenek Buruk?"

   Bentaknya dan kedua tangannya bergerak cepat, dengan jari-jari tangan kurus panjang disodokkan ke arah kepala ular, jari-jari tangan itu telah menembus kulit ular seperti pisau-pisau runcing masuk ke dalam kepala dan leher ular besar itu!

   Darah muncrat-muncrat dan tubuh ular itu melorot turun, mencoba untuk membelit dua orang tadi. Pada saat itu, Ban-tok Mo-li sudah menggerakkan kedua tangannya bergantian dan sinar-sinar hitam menyambar ke arah dua orang kakek itu, disusul sinar-sinar merah dari jarum-jarum Ceng Ceng dan sinar putih dari pasir beracunnya. Namun, sambil tertawa kakek yang telanjang itu telah memutar-mutar bangkai ular besar sehingga semua serangan jarum dan pasir mengenai tubuh ular, membuat ular itu mati seketika dan tidak berkelojotan lagi. Kakek telanjang membuang bangkai ular dan melompat turun, kemudian kedua orang kakek itu melompat keluar mulut guha. Ceng Ceng kini dapat memandang dengan jelas. Wajah kedua orang kakek itu bentuknya sama benar dan jelas bahwa mereka adalah orang kembar.

   Namun kesamaan ini lenyap oleh perbedaan-perbedaan lain yang amat mencolok. Kakek pertama memakai pakaian lengkap dan serba baru, dari sepatu kulit sampai baju bulunya yang amat indah, mukanya pun berwarna pucat putih seperti kapur dan mukanya serius. Melihat baju mantel bulu dan penutup kepala bulu halus yang mahal itu pantasnya dia adalah seorang hartawan besar yang mengenakan pakaian untuk musim salju dan agaknya dia terus merasa kedinginan! Adapun kakek ke dua sama sekali tidak memakai pakaian kecuali cawat atau celana pendek sekali itu, tubuhnya yang kurus itu seperti selalu terasa gerah dan mukanya pun kemerahan seperti dipanggang! Kakek inilah yang tertawa-tawa dan sikapnya seperti orang gembira biarpun wajahnya yang merah itu kelihatan menyeramkan seperti orang mabuk atau orang yang marah.

   "Heh-heh-heh-heh, Ban-tok Mo-li, kaukira kami orang-orang bodoh? Untung kami menemukan dua orang di atas sana dan untung pula ada ular besar. Heh-heh!"

   Kata kakek bermuka merah.

   "Ban-tok Mo-li, cepat kau berikan kitab catatan racun kepada kami!"

   Kakek muka putih menyam-bung. Si Muka Putih ini berjuluk Pak-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Utara) sedangkan Si Muka Merah adalah adik kembarnya, berjuluk Lam-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Selatan). Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, kedua orang kakek kembar ini lebih terkenal dengan sebutan Siang Lo-mo (Iblis Tua Kembar) dan pernah menyerbu ke Pulau Es memusuhi Pendekar Super Sakti namun dikalahkan oleh pendekar itu dan kedua orang isterinya yang sakti. Mereka ini berasal dari Formosa (Taiwan) dan memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Si Muka Putih Pak-thian Lo-mo itu memiliki Im-kang yang amat kuat sehingga tubuhnya kedinginan terus maka dia selalu memakai pakaian tebal. Sebaliknya, Si Muka Merah Lam-thian Lo-mo adalah seorang ahli Yang-kang sehingga tubuhnya yang kurus itu selalu telanjang karena dia merasa gerah terus.

   "Aku tidak akan menyerahkan kitab apa pun kepada kalian dua manusia iblis!"

   Ban-tok Mo-li memekik dengan marah, matanya memandang dengan sinar berapi penuh kebencian.

   "Kau bosan hidup!"

   Pak-thian Lo-mo membentak marah.

   "Heh-heh-heh, siapa takut mampus? Kalian majulah, hendak kulihat siapa di antara kita yang akan mampus lebih dulu!"

   Nenek itu menantang sambil tertawa mengejek.

   "Singgg....!"

   Pak-thian Lo-mo sudah melolos sabuknya yang panjang berupa pecut baja yang mengerikan.

   "Eihh, Pak-heng (Kakak Pak), perlahan dulu. Jangan mudah dibujuk oleh nenek busuk ini. Keenakan kalau dia dibunuh begitu saja, ha-ha-ha!"

   Lam-thian Lo-mo mencegah kakak kembarnya.

   "Kalau dia berkeras tidak mau memberikan catatan itu memang sudah selayaknya dia mampus, akan tetapi harus mati perlahan-lahan dan kita siksa dulu sepuasnya!"

   Agaknya Pak-thian Lo-mo yang amat menginginkan pengetahuan tentang segala macam racun itu, mengerti akan akal adik kembarnya, maka dia hanya bersungut-sungut sambil menyimpan kembali senjatanya yang ampuh.

   "Ban-tok Mo-li dengarlah."

   Lam-thian Lo-mo berkata sambil tertawa.

   "Telah puluhan tahun engkau hidup seperti ular, kedua kakimu lumpuh, akan tetapi engkau masih dapat menggunakan kedua lenganmu untuk mengesot dan merangkak. Sekarang, kalau kau tidak mau menyerahkan catatan itu, kami akan melumpuhkan kedua lenganmu pula. Hendak kullhat bagaimana kau akan dapat merayap maju, apakah akan berlenggak-lenggok seperti ular, ha-ha-ha!"

   "Heh-heh-heh, Lam-thian Lo-mo. Siapa tidak mengetahui kelicikan kalian manusia iblis yang sudah mau mampus?"

   Nenek itu balas mengejek.

   "Kalian takut mendekati aku, karena begitu mendekat, kalian tentu akan mampus, maka kalian menggertak. Hendak kulihat bagaimana kalian hendak membuntungi atau melum-puhkan kedua tanganku ini, hi-hik. Majulah!"

   Dua orang kakek itu saling pandang. Memang apa yang diucapkan oleh nenek ini benar. Mereka berdua maklum betapa nenek ini setelah lumpuh kedua kakinya, selama dua puluh tahun memperdalam ilmunya sehingga kini merupakan lawan yang amat berbahaya, seolah-olah keadaan di sekeliling nenek itu beracun!

   "Pak-heng, memang kau benar. Nenek busuk ini harus dihajar. Disangkanya kita tidak bisa menghajarnya dari jarak jauh!"

   Kata Si Muka Merah.

   "Memang dia harus dihajar sampai mampus!"

   Jawab Si Muka Putih.

   "Lam-te, mari kita serang dia dengan batu dari jauh, baru kita menggunakan senjata."

   Pada saat itu, Ceng Ceng sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia meloncat ke depan sambil berseru,

   "Dua orang kakek berhati kejam!" "Lu Ceng, jangan....!"

   Ban-tok Mo-li berteriak namun terlambat karena dara itu sudah menyerang kepada dua orang kakek itu dengan pukulan-pukulan tangannya.

   "Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-li sudah mempunyai seorang pembantu yang nekat!"

   Lam-thian Lo-mo tertawa mengejek ketika dia bersama kakaknya dengan mudahnya mengelak dari serangan-serangan Ceng Ceng yang marah sekali.

   "Sepasang manusia iblis keji! Kalian telah menyiksa Subo, telah membuat hidup Subo amat sengsara, dan kalian masih saja mendesak dan mengganggunya!"

   Ceng Ceng memaki-maki sambil menyerang lagi dengan ganas. Namun semua serangannya gagal karena dua orang kakek itu amat mudah mengelaknya tanpa banyak bergerak.

   Melihat betapa Ceng Ceng membelanya mati-matian, nenek itu tercengang dan terheran-heran. Tadinya dia adalah seorang pembenci manusia, siapa pun dibencinya dan dimusuhinya karena dia seperti merasa bukan manusia lagi. Juga terhadap Ceng Ceng sebetulnya dia benci, hanya karena dia enggan kehilangan dara itu yang telah datang di tempat itu dan dapat menjadi temannya, bahkan dapat pula kelak dipaksa untuk mengajaknya keluar, maka dia tidak membunuh Ceng Ceng bahkan menerimanya sebagai murid. Akan tetapi sekarang, melihat betapa dara itu membelanya mati-matian, dengan nekat melawan dua orang kakek itu, timbul perasaan terharu dan sayang kepada Ceng Ceng, maka tentu saja dia menjadi amat khawatir melihat betapa Ceng Ceng menyerang dua orang kakek yang tentu saja sama sekali bukan lawan muridnya itu.

   "Lu Ceng muridku...., jangan....! Mundurlah dan biar aku yang menghadapi mereka!"

   Nenek itu berteriak-teriak sambil mengesot maju. Dua orang kakek kembar itu adalah orang-orang yang cerdik. Sebetulnya mereka tidak ingin benar membunuh nenek itu karena memang tidak mempunyai permusuhan apa-apa. Yang penting bagi mereka adalah kepandaian nenek itu tentang racun, dan semua penyiksaan dan ancaman yang mereka lakukan terhadap Ban-tok Mo-li semata-mata karena ingin memaksa nenek itu menyerahkan catatan tentang racun.

   Kalau sampai mereka membunuh nenek itu tentu karena kecewa dan marah akan kekerasan hati nenek itu. Kini mereka dapat melihat sikap Ban-tok Mo-li, dan mendengar dalam suara nenek itu terkandung rasa sayang kepada gadis yang menjadi muridnya itu, maka sekaligus mereka telah dapat menentukan sikap dan akal mereka. Memang ada pertalian batin yang aneh di antara dua orang kembar ini, kadang-kadang tanpa kata-kata mereka sudah dapat mengerti isi hati masing-masing. Lam-thian Lo-mo tertawa bergelak, lalu tubuhnya bergerak membalas serangan Ceng Ceng. Dara ini terkejut bukan main menyaksikan serangan yang amat dahsyat itu. Lengan telanjang itu menyerangnya dengan berbareng, yang kiri mencengkeram ke arah dadanya dengan jari-jari terbuka, yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya.

   Dia cepat meloncat ke belakang sambil menggerakkan kedua tangan menangkis, akan tetapi tiba-tiba ada hawa dingin menyambar dari arah belakang dan sebelum dia sempat mengelak, kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh kedua tangan Pak-thian Lo-mo! Ceng Ceng meronta-ronta, akan tetapi Lam-thian Lomo tertawa-tawa dan sudah menyambar ke bawah dan di lain saat tubuh dara itu sudah tergantung dan terlentang seperti seekor rusa ditangkap dan hendak disembelih. Kedua tangannya dipegang oleh Pak-thian Lo-mo sedangkan kedua kakinya dipegang oleh Lam-thian Lo-mo. Ceng Ceng hanya meronta-ronta memaki-maki, akan tetapi tidak berdaya melepaskan diri dari pegangan kedua orang kakek itu. Kalau mereka menghendaki, betapa mudahnya bagi mereka untuk membunuh dara itu.

   "Lu Ceng....!"

   Ban-tok Mo-li menjerit ketika melihat muridnya tertawan.

   "Siang Lo-mo, keparat busuk! Lepaskan murid-ku!"

   "Ha-ha-ha!"

   Lam-thian Lo-mo tertawa dan bersama kakak kembarnya dia menghampiri tepi jurang depan guha.

   "Ban-tok Mo-li, kau lihatlah dulu muridmu yang cantik jelita dan muda belia ini terbang ke bawah sana agar tubuhnya hancur lebur di dasar jurang yang tak tampak dari sini, dengar saja jeritnya yang melengking nanti agar dapat kau nikmati sebelum kau mampus pula di tangan kami. Ha-ha-ha!"

   Bersama kakak kembarnya, Lam-thian Lo-mo mengayun-ayun tubuh dara itu dan siap untuk melepaskan pegangan dan melemparkan tubuh itu ke dalam jurang.

   "Tunggu....! Tahan....! Kalian menghendaki catatan racun? Sudah kubuatkan....!"

   Nenek itu menjerit penuh kegelisahan melihat tubuh muridnya sudah hampir dilempar ke jurang.

   "Ha-ha-ha-ha, siapa percaya omonganmu, nenek busuk?"

   Lam-thian Lo-mo mengejek.

   "Bedebah! Ini kitabnya! Sudah kupersiapkan!"

   Nenek itu merogoh pinggangnya mengeluarkan sejilid kitab kecil bersampul hitam.

   "Bagus! Berikan itu kepada kami dan kami akan membebaskan muridmu,"

   Kata pula Lam-thian Lo-mo, girang bukan main karena isi kitab itu akan membuat mereka berdua bertambah lihai.

   "Lemparkan dia kepadaku dan aku akan melemparkan kitab ini kepadamu!"

   Nenek itu kini menahan karena melihat betapa musuh amat menginginkan kitab itu.

   "Baik, aku akan melemparkannya kepadamu. Akan tetapi kau juga harus melemparkan kitab itu kepadaku."

   Lam-thian Lo-mo berkata.

   "Nanti dulu, Lam-te!"

   Pak-thian berkata tenang.

   "Jangan sampai dapat ditipu nenek busuk itu! Peganglah tangan gadis ini!"

   Lam-thian Lo-mo memegang pergelangan kedua kaki Ceng Ceng dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya kini menggantikan kakak kembarnya memegangi kedua pergelangan tangan gadis itu. Kuat sekali kedua tangan kakek kurus bermuka merah ini sehingga Ceng Ceng merasa betapa kedua kaki tangannya seperti dijepit alat dari baja dalam genggaman jari-jari tangan kakek itu. Pak-thian Lo-mo lalu mengeluarkan sepasang sarung tangan putih, kemudian memakainya. Setelah itu baru dia berkata,

   "Nah, sekarang pertukaran boleh dilakukan, Lam-te."

   "Ha-ha-ha, kau benar cerdik, Pak-heng. Aku sampai lupa bahwa tentu kitab itu penuh dengan racun berbahaya pula!"

   Dia memandang nenek itu yang kelihatan marah-marah.

   "Ban-tok Mo-li, lagi-lagi siasatmu tidak berhasil, ha-ha! Hayo lempar kitab itu kepada Pak-heng dan aku akan melemparkan dara ini kepadamu!"

   "Keparat, iblis busuk!"

   Nenek itu memaki dan melemparkan kitab hitam kepada Pak-thian Lo-mo pada saat Lam-thian Lo-mo melemparkan tubuh Ceng Ceng kepadanya.

   Tubuh Ceng Ceng tentu akan terbanting kalau saja kedua tangan subonya tidak menyangganya dan menariknya agar dara itu duduk di sebelahnya dan dapat dilindunginya. Sementara itu, Pak-thian Lo-mo sudah membalik-balik kitab kecil dan wajahnya yang serius itu kini berseri melihat catatan racun-racun dengan obat pemunahnya. Dia mengangguk kepada adik kembarnya dan keduanya lalu melompat jauh melewati kepala Ceng Ceng dan Ban-tok Mo-li, melompati pula lantai beracun seperti tadi, yaitu Lam-thian Lo-mo, di atas pundak kakak kembarnya yang meloncat dan menginjak mayat dua orang tadi sebagai batu loncatan, kemudian keduanya menghilang di dalam terowongan gelap. Ceng Ceng sudah bangkit berdiri hendak mengejar, akan tetapi tangannya dipegang oleh nenek itu.

   "Kau mau apa?"

   "Subo, aku hendak membayangi mereka untuk mencari jalan keluar mereka."

   "Sssttt.... percuma. Mereka bergerak cepat sekali dan kalau sampai ketahuan kau membayangi mereka, tentu kau akan mereka bunuh."

   Ceng Ceng mengurungkan niatnya, akan tetapi diam-diam dia mengingat se-mua peristiwa tadi, tentang kemunculan mereka, suara mereka ketika pertama kali datang, agar dia dapat menyelidiki dan mengira-ngira dari mana kiranya mereka itu datang ke dalam terowongan. Dia menyangka bahwa sudah pasti di dalam terowongan yang gelap itu terdapat sebuah pintu rahasia yang menghubungkan tempat itu dengan dunia luar.

   "Jangan mengharapkan yang bukan-bukan, muridku. Selama betahun-tahun aku telah menyelidiki seluruh tempat itu, telah memeriksa seluruh terowongan, namun tidak berhasil menemukan. Sekarang lebih baik kau tekun belajar agar dapat menguasai semua ilmuku sehingga kelak kalau mereka berdua datang, kau akan mampu merobohkan mereka dan memaksa mereka mengantarmu keluar dari sini."

   "Apakah mereka akan datang lagi setelah berhasil merampas kitab?"

   Nenek itu menyeringai lalu tertawa.

   "Heh-heh-heh, mereka mengira aku ini orang macam apa? Sudah kuatur sebelumnya dan biarpun racun yang kuoleskan pada kitab itu tidak berhasil karena kecerdikan Pak-thian Lo-mo, namun aku sengaja membuat obat ramuan pemunah satu diantara racun yang paling jahat secara keliru. Kalau mereka kelak mendapat kenyataan itu, apalagi kalau mereka membutuhkan obat pemunah, tentu mereka akan turun lagi ke sini! Dan sementara itu, engkau tentu sudah pandai dan dapat kita bersama membunuh mereka...."

   "Membunuh....?"

   "Maksudku, membunuh setelah mereka kita paksa membawa kita keluar."

   Nenek itu cepat menyambung. Ceng Ceng boleh jadi cerdik, namun dia tidak mampu melawan kecerdikan nenek itu sehingga tidak dapat menduga isi hati nenek itu yang sebenarnya. Nenek itu sama sekali sudah tidak mempunyai keinginan untuk keluar dari tempat itu. Apa gunanya keluar kalau dia sudah menjadi seorang manusia tak berguna seperti itu? Hanya akan mendatangkan penghinaan dan rasa malu.

   Akan tetapi dia ingin melihat muridnya ini berkepandaian tinggi agar kelak dapat membalaskan sakit hatinya, dapat membunuh dua orang kakek itu. Soal mereka akan dapat keluar dari tempat itu atau tidak, sama sekali tidak diperdulikannya. Ceng Ceng yang tidak melihat jalan lain lalu menghibur diri dengan belajar secara tekun sekali sehingga dia memperoleh kemajuan pesat dan perlahan-lahan dia pun mulai memasukkan sari-sari racun yang terdapat diantara jamur-jamur yang tumbuh di terowongan dan makin lama dia makin berbahaya karena mulailah dia menjadi seorang "manusia beracun"

   Seperti ibu gurunya sehingga setiap tendangan, setiap pukulan, setiap tamparan atau cengkeraman, mengandung racun hebat. Bahkan dia mulai melatih ilmu sin-kang beracun untuk membuat setiap anggauta tubuhnya, sampai ke ludah-ludahnya mengandung racun yang berbahaya!

   Pertentangan antara para pangeran yang dipelopori oleh dua Pangeran Tua Liong Bin Ong dan Liong Khi Ong di satu pihak dan Perdana Menteri Su yang setia kepada Kaisar, sungguhpun merupakan pertentangan yang tidak terang-terangan, namun telah mendatangkan keadaan yang panas dan kacau di kota raja. Namun, berkat ketrampilan dan kegagahan Puteri Milana dan pasukah-pasukan yang dipimpin olehnya sebagai bantuan terhadap tugas suaminya, yaitu Perwira Pengawal Han Wi Kong, keadaan di kota raja dapat dibikln tenteram dan aman. Kedua orang Pangeran Liong tidak berani membuat huru-hara di kota raja karena mereka tahu bahwa pihak Menteri Su dan Puteri Milana yang tentu saja bekerja sama itu hanya menanti sampai ada bukti-bukti pemberontakan mereka untuk dapat turun tangan menentang mereka secara terang-terangan.

   Sebagai adik-adik dari Kaisar, tentu saja kedua orang Pangeran Liong ini mempunyai pengaruh yang cukup besar. Tanpa adanya bukti penyelewengan mereka, Kaisar sendiri tidak dapat mengambil tindakan secara begitu saja. Dan mereka cukup cerdik untuk menghapus semua bekas dan bukti pemberontakan mereka, karena mereka memiliki pembantu-pembantu yang amat pandai, orang-orang berilmu tinggi yang mewakili mereka melakukan hubungan dengan luar kota raja. Pada hari itu, kota raja kelihatan ramai dan banyak pembesar keluar dari gedung masing-masing untuk mengunjungi Istana Pangeran Liong Bin Ong yang merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh!

   Diadakan perayaan besar-besaran di dalam istana pangeran tua ini dan tentu saja para bangsawan
(Lanjut ke Jilid 19)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19
dan keluarga kerajaan datang semua memenuhi undangan ini. Bahkan Perdana Menteri Su dan Puteri Milana sendiri, merasa tidak enak kalau tidak menghadiri pesta itu, di mana mereka diundang dan termasuk tamu-tamu kehormatan! Bahkan Kaisar sendiri mengirim hadiah ulang tahun dan mewakilkan kehadirannya dan ucapan selamatnya kepada Perdana Menteri Su. Gedung istana yang besar dan megah itu dipajang meriah dan karena jumlah tamu amat banyak, maka yang datang terlambat terpaksa dipersilakan duduk di kursi-kursi yang diatur di luar ruangan depan, yaitu di dalam taman dan di samping kiri ruangan itu, taman yang sudah dihias dan dirubah menjadi ruangan tamu dengan penerangan cukup dan terlindung tenda-tenda besar.

   Sejak siang tadi sampai malam, bunyi alat musik tidak pernah berhenti, dan bau arak wangi sampai dapat tercium oleh penduduk yang berdiri menonton pesta di luar pagar di tepi jalan raya depan istana pangeran itu. Karena pesta itu diadakan di waktu malam, maka para tamu datang berbondong-bondong mulai sore dan setelah keadaan menjadi gelap dan tempat pesta itu diterangi oleh banyak sekali lampu penerangan, tempat itu telah penuh dengan para tamu. Juga di luar pagar penuh dengan penduduk yang menonton, sebagian besar anak-anak. Mereka ini tidak hanya ingin mendengarkan musik dan menonton orang pesta, akan tetapi juga ingin sekali melihat orang-orang besar dan bangsawan- bangsawan istana yang pada malam hari itu berkumpul di situ, padahal biasanya amat sukar bagi rakyat untuk menyaksikan mereka.

   Mereka memperhatikan para penyambut tamu yang meneriakkan nama tamu yang terhormat sebagai laporan kepada pihak tuan rumah yang menyambut di ruangan agar pihak tuan rumah tahu siapa yang telah datang di pintu gerbang dan mempersiapkan sambutan sesuai dengan kedudukan para tamu terhormat itu. Sejak tadi, pihak penyambut tamu di depan tiada hentinya meneriakkan nama-nama para bangsawan yang datang berbondong, dari pejabat militer yang tentu berkedudukan panglima sampai kepada pembesar yang merupakan orang-orang penting dalam pemerintahan. Setiap ada nama bangsawan disebut, orang-orang yang berkerumun di luar memanjangkan leher untuk melihat bagaimana bentuk orangnya, karena banyak yang sudah mereka dengar namanya namun belum pernah melihat orangnya.

   "Yang terhormat Perwira Pengawal Han Wi Kong bersama isteri, Yang Mulia Puteri Milana....!"

   Seruan ini disambut oleh suara gaduh dan bahkan ada suara tepuk tangan di antara para penonton di luar pagar. Siapakah yang tidak mengenal nama Puteri Milana? Bagi penghuni kota raja, besar kecil semua mengenal nama ini dan merasa kagum serta berterima kasih karena puteri inilah yang selalu menentang para pengacau dan puteri ini yang selalu siap melindungi rakyat apabila terjadi penin-dasan dari pihak pemerintah atau alat pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaannya.

   "Hidup Yang Mulia Puteri Milana....!"

   Terdengar seruan diantara para penonton itu dan bahkan anak-anak yang berada di situ berebut tempat untuk dapat melihat dengan lebih jelas wajah Puteri Milana yang mereka kagumi dan hormati itu. Diantara para penonton ini, terdapat dua orang pemuda yang juga memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri kepada puteri yang baru turun dari kereta bersama suaminya, seorang perwira yang tampan dan gagah itu.

   Perwira itu adalah Han Wi Kong, seorang pria berusia hampir empat puluh tahun yang bertubuh sedang, berwajah tampan dan pendiam, berpakaian sebagai seorang perwira pengawal dengan sebatang pedang tergantung di pinggangnya. Dengan sikap menyayang dan menghormat dia membantu isterinya turun dari kereta. Begitu turun dan mendengar sambutan rakyat yang menonton, Puteri Milana menoleh keluar dan mengangkat tangan melambai sambil tersenyum, akan tetapi senyumnya tidak dapat merubah wajahnya yang agak pucat dan dingin. Dia memang cantik jelita, biarpun usianya sudah tiga puluh tahun lebih namun tubuhnya masih ramping seperti seorang dara belasan tahun, pakaiannya indah namun sederhana dan rambutnya tidak dihias dengan emas permata.

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pakaiannya lebih menyerupai pakaian seorang pendekar wanita yang sering melakukan perjalanan jauh, ringkas dan sederhana daripada pakaian seorang puteri cucu kaisar dan isteri perwira. Sehelai mantel berwarna ungu yang lebar menutupi pakaiannya dan menyembunyikan sebatang pedang yang tergantung di pinggangnya. Warna ungu mantelnya itu cocok sekali dengan warna pakaiannya yang serba kuning dan dengan tenang dia melangkah di samping suaminya, mukanya diangkat dan matanya lurus memandang ke depan, sikapnya tenang sekali padahal semua orang dapat menduga dan dia sendiri tahu bahwa dia memasuki guha macan! Pangeran Liong Bin Ong menyambut Puteri Milana dan suaminya dengan penuh kehormatan dan dengan wajah berseri dan mulut tersenyum lebar,

   Lalu setelah mereka saling memberi hormat seperti yang semestinya karena pangeran itu masih terhitung paman kakeknya sendiri, Puteri Milana lalu diantar duduk di tempat kehormatan di mana telah duduk Perdana Menteri Su yang menyambut puteri itu dengan pandang mata penuh arti dan mulut tersenyum. Setelah duduk di kursi yang disediakan untuknya, Milana memandang ke seluruh ruangan itu penuh perhatian. Dia memperoleh kenyataan bahwa pihak tuan rumah telah mengatur sedemikian rupa sehingga golongan yang memihak Kaisar berada di satu kelompok, adapun para bangsawan yang diragukan kesetiaannya duduk tersebar mengelilingi kelompok itu. Seolah-olah kelompok yang setia kepada Kaisar telah dikurung! Namun dia bersikap tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada hal yang perlu dirisaukan.

   "Wah, Enci (Kakak) Milana hebat sekali, ya?"

   Seorang di antara dua pemuda yang berada diantara para penonton berkata sambil menyiku lengan pemuda ke dua.

   "Memang hebat! Mengapa kita tidak menghadap dia, Bu-te?"

   Kata Suma Kian Lee kepada Suma Kian Bu yang kelihatan girang dan bangga sekali melihat kakaknya. Dua orang pemuda Pulau Es itu baru saja tiba di kota raja siang tadi dan sebagai dua orang pemuda yang belum pernah melihat kota besar dan seindah itu, mereka menjadi kagum dan berkeliling kota, mengagumi segala keindahan yang amat luar biasa itu. Akhirnya mereka terbawa oleh arus orang yang menuju ke depan istana Pangeran Liong Bin Ong yang sedang mengadakan perayaan itu dan mereka ikut pula menonton.

   "Lee-ko, Ibu telah berpesan kepadaku agar aku pandai membawa diri di kota raja, jangan bersikap liar dan tidak sopan, karena hal itu akan memalukan Enci Milana sebagai seorang puteri istana. Aku tidak berani memanggilnya di tempat ini, Koko."

   "Kau benar, Bu-te. Memang tidak pantas, apalagi pakaian kita sudah kotor begini. Enci Milana dihormat sedemikian rupa dan dikagumi rakyat, kalau kita menegurnya dan semua orang mendengar bahwa kita adalah adik-adiknya, tentu akan menimbulkan keributan dan akan memalukan Enci Milana. Kita menonton saja di sini dan nanti kalau dia pulang, kita ikuti dan kita menghadap di tempat tinggalnya."

   Kian Bu mengangguk dan kedua orang muda itu lalu menonton ke dalam, bercampur dengan anak-anak dan orang-orang lain. Tentu saja perhatian mereka selalu tertuju kepada Puteri Milana yang tempat duduk kelompoknya agak tinggi sehingga dapat terlihat dari luar.

   Sementara itu, sambil kadang-kadang mengangkat cawan arak mengajak para tamunya minum, diam-diam Pangeran Liong Bin Ong tersenyum memandang ke arah kelompok yang duduk di bagian kehormatan. Mereka yang memusuhiku berada di situ, pikirnya melamun. Terutama sekali Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, musuh besarnya dan penghalang utamanya. Kalau pada saat itu dia me-ngerahkan kaki tangannya dan berhasil membunuh mereka, alangkah balknya! Akan tetapi tentu saja hal itu akan menimbulkan geger! Sebaiknya digunakan siasat seperti yang telah diaturnya dengan para pembantunya. Betapapun hatinya menyesal mengapa dia tidak dapat membunuh mereka semua itu selagi kesempatan terbuka begini lebar. Sekali dia mengerahkan para pengawal dan pembantunya, mereka yang kini terkurung itu tentu tidak akan mampu lolos!

   Tiba-tiba seorang pengawalnya menghampiri pangeran tua ini, memberi hormat dan menyerahkan sepucuk surat tanpa berkata-kata. Pangeran Liong Bin Ong menerima surat itu dan memberi isyarat supaya pengawalnya mundur, kemudian sambil tersenyum dibacanya surat kecil itu. Mendadak mukanya berubah agak pucat ketika dia membaca surat laporan dari kepala pengawal yang disuruh melakukan penjagaan dan penyelidikan. Tulisan pengawalnya itu adalah seperti berikut :

   Menurut hasil penyelidikan, orang-orangnya Puteri Milana telah menyelinap diantara para tamu, para penabuh musik, dan diantara para penonton. Bahkan pasukan istimewa Perwira Han Wi Kong melakukan baris pendam mengurung istana ini.

   Pangeran Liong Bin Ong mengusap peluh dengan saputangannya. Untung bahwa semua rencananya membunuh kelompok di tempat kehormatan itu hanyalah merupakan lamunan kosong belaka. Kalau dilaksanakan, sebelum hal itu terjadi, tentu dia telah ditangkap dan istana itu diserbu! Bukan main cerdiknya Puteri Milana dan dia mengerling ke arah puteri itu dan suaminya dengan sinar mata penuh kebencian. Tentu saja para penjaganya tidak melihat baris pendam yang telah diatur oleh Han Wi Kong. Tentu para anggauta pasukan istimewa itu melakukan pengurungan dengan bersembunyi, hanya siap sewaktu-waktu untuk menyerbu dan melindungi junjungan mereka! Pangeran Liong Bin Ong masih memandang kepada Milana dan suaminya dengan penuh kemarahan dan kebencian. Akan tetapi karena pada saat itu hidangan sedang dikeluarkan, dia menahan sabar dan bahkan dengan muka dimanis-maniskan dia berdiri dari kursinya, menghampiri para tamu terhormat sambil terbongkok-bongkok dan mempersilakan mereka menikmati hidangan yang dikeluarkan.

   Mulailah para tamu makan minum sambil bercakap-cakap dan di bagian para tamu yang kebagian tempat duduk di dalam taman, tampak Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu ikut pula makan minum dengan lahapnya di sebuah meja! Ternyata Suma Kian Bu tidak dapat menahan keinginan hatinya ketika dia melihat para tamu mulai makan minum. Bau arak wangi dan masakan yang masih mengepulkan uap, membuat perutnya yang sudah lapar itu menjadi makin lapar, maka dia menyentuh lengan kakaknya dan memberi isyarat dengan kepala, kemudian tanpa menanti jawaban Suma Kian Lee yang mengerutkan alisnya, Suma Kian Bu pergi keluar dari rombongan para penonton yang memandang orang makan sambil menelan air liur itu.

   Kian Bu mengajak Kian Lee ke bagian yang sunyi, kemudian mereka menggunakan waktu semua penonton memandang ke dalam, seperti dua ekor burung rajawali mereka meloncati pagar tembok dan menyusup melalui tempat gelap, akhirnya mereka dapat menyelinap masuk dan duduk di kursi paling belakang dari rombongan tamu yang kebagian tempat di taman! Mereka bersikap biasa saja ketika para pelayan datang membawa hidangan dan mengangguk dengan sikap angkuh seolah-olah mereka juga tamu-tamu kehormatan ketika para pelayan menaruh hidangan dan memandang hidangan-hidangan dan arak yang diatur di atas meja itu dengan sikap angkuh dan acuh tak acuh, dengan pandangan yang jelas menyatakan bahwa mereka telah "biasa"

   Dengan hidangan seperti itu, seperti sikap orang-orang muda bangsawan dan kaya raya.

   Akan tetapi begitu para pelayan itu meninggalkan meja mereka untuk melayani para tamu lain, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu segera menyerbu hidangan-hidangan itu dan makan dengan lahapnya karena memang perut mereka sudah lapar dan selamanya mereka belum pernah makan hidangan mahal selezat itu. Sementara itu, Pangeran Liong Bin Ong sudah memutar otaknya. Rencananya gagal total. Tadinya dia dan anak buahnya telah merencanakan siasat keji untuk membasmi musuh-musuhnya. Rencana ini adalah memancing keributan sehingga terjadi pertempuran seolah-olah pihak pemberontak mengacaukan pestanya dan di dalam kekacauan ini dia akan mengerahkan kaki tangannya yang lihai untuk membunuh Puteri Milana dan Perdana Menteri Su, sedangkan dia telah merencanakan untuk membiarkan dirinya "diculik"

   Oleh pengacau.

   Hal ini untuk membuktikan kebersihannya, sehingga selain musuh-musuh yang diseganinya, Perdana Menteri Su dan Puteri Milana dapat ditewaskan, juga Kaisar akan kehilangan kecurigaannya terhadap dirinya. Tentu saja yang "menculiknya"

   Adalah kaki tangannya sendiri dan dia akan mencari akal untuk dapat lolos dari tawanan para penculik, kalau perlu dengan tuntutan penebusan kepada pihak istana. Akan tetapi, siapa kira, Panglima Han Wi Kong, atau lebih tepat lagi Puteri Milana karena dia menduga keras bahwa puteri itulah yang mengatur semua ini, agaknya telah mencium rahasia itu atau juga telah menduga akan terjadinya sesuatu yang tidak wajar sehingga istana itu dikepung oleh pasukan terpendam sehingga tentu saja rencananya gagal karena kalau dilanjutkan, tentu akan ketahuan bahwa dialah yang mengatur kekacauan itu.

   Sambil bersungut-sungut Liong Bin Ong memberi isyarat kepada seorang yang berdiri sebagai penjaga di sudut ruangan. Orang ini sebetulnya adalah kepala pengawalnya yang sejak tadi memandang ke arah majikannya setelah dia menyuruh seorang pengawal menyerahkan laporan tertulisnya. Melihat kepala pengawal itu memandang kepadanya, Pangeran Liong Bin Ong lalu mengangkat tangan kanannya ke atas, menekuk semua jari tangannya kecuali jari tengah dan telunjuk. Ini merupakan isyarat rahasia bahwa dia menghendaki agar "siasat ke dua"

   Dijalankan, karena siasat pertama gagal total. Memang, sebagai seorang ahli siasat, Pangeran Liong Bin Ong dan anak buahnya telah mengatur rencana selengkapnya, yaitu telah direncanakan siasat cadangan untuk merubah rencana kalau yang pertama gagal.

   Rencana ini akan mempergunakan siasat ke dua, tidak lagi untuk membunuh Perdana Menteri Su dan Puteri Milana. Tak mungkin lagi dilakukan rencana pembunuhan setelah Puteri Milana dengan cerdiknya mengatur barisan pendam mengurung istana, bahkan menyelundupkan pengawal-pengawalnya ke dalam para tamu, para penonton bahkan ahli-ahli musik yang sedang menghibur para tamu. Akan tetapi siasat ke dua dapat dijalankan, yaitu untuk membuat pihak Puteri Milana malu di depan para tamu bangsawan, yaitu dengan jalan mengadu kepandaian antara jago-jago yang telah dipersiapkan oleh Pangeran Liong Bin Ong sebelumnya, dan pihak tamu kehormatan yang akan ditantang dengan jalan halus.

   Kalau sampai berhasil memancing kemarahan Puteri Milana dan puteri yang perkasa itu turun tangan sendiri, itulah yang diharapkan karena hal itu berarti bahwa siasat mereka berhasil. Kalau Sang Puteri maju, maka hanya ada dua kerugian di pihak Puteri Milana. Kalau Sang Puteri kalah, jelas hal ini yang dikehendaki Pangeran Liong Bin Ong, apalagi kalau dalam pertandingan itu Puteri Milana sampai dapat ditewaskan. Andaikata sebaliknya, karena puteri itu memang amat lihai, setidaknya puteri itu telah merendahkan diri melayani jagoan-jagoan, dan merendahkan derajatnya sebagai puteri cucu Kaisar dan tentu hal ini akan mu-dah dijadikan bahan menghasut Kaisar agar Kaisar yang tua itu membenci cucunya yang dianggap mencemarkan kehormatan keluarga kerajaan! Setelah semua tamu selesai makan, Pangeran Liong Bin Ong diam-diam memberi isyarat.

   Tak lama kemudian, dari rombongan tamu yang berada di dalam taman, berdirilah dua orang, yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan kelihatan kasar dan kuat sekali, sedangkan orang ke dua tinggi kurus dengan muka kuning mata sipit, langkahnya gontai seperti orang lemah. Kedua orang ini seperti orang mabuk berjalan menuju ke tempat kehormatan, lalu menjatuhkan diri berlutut di atas lantai di tengah ruangan yang memang telah dipersiapkan untuk menjadi tempat gelanggang adu kepandaian di mana hanya terdapat meja besar tempat menyimpan semua hadiah dan sumbangan. Kedua orang itu menghadap kepada Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus yang berkata dengan suara melengking nyaring sehingga terdengar oleh semua yang hadir, terutama sekali oleh mereka yang duduk di panggung kehormatan karena kedua orang itu berlutut menghadap ke situ.

   "Mohon paduka sudi mengampunkan kami berdua. Akan tetapi kami berdua menagih janji paduka untuk menguji kami di depan para tamu yang mulia agar dapat memutuskan apakah kami patut menjadi pengawal pribadi paduka yang dapat dipercaya."

   Semua orang tentu saja memandang dan selain merasa heran juga berkhawatir melihat keberanian dua orang itu mengganggu pesta dan tentu Pangeran Liong Bin Ong akan marah sekali. Akan tetapi pangeran itu hanya memandang dengan tersenyum, sedangkan yang menjadi marah adalah Pangeran Liong Khi Ong yang tadi mendekati kakaknya, tak lama setelah pengawal mengantar surat. Pangeran Liong Khi Ong bangkit berdiri dari kursinya dan sambil menudingkan telunjuknya kepada kedua orang itu dia membentak,

   "Manusia-manusia kurang ajar! Berani kalian mengganggu pesta dengan bicara tentang pekerjaan?"

   Pangeran Liong Khi Ong sudah menoleh kepada pengawal untuk memberi perintah menangkap mereka, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bin Ong memegang lengan adiknya itu dan berkata nyaring sehingga semua tamu mendengar suaranya,

   "Jangan persalah-kan mereka! Memang aku sudah berjanji kepada mereka untuk menguji mereka dalam pesta ini!"

   Kemudian Pangeran Liong Bin Ong bangkit berdiri dan menghadapi para tamu di bagian kehormatan sambil berkata,

   "Cu-wi sekalian yang mulia. Di dalam keadaan terancam oleh pengacauan-pengacau-an para pemberontak suku bangsa di luar tapal batas, kita perlu sekali menghimpun tenaga untuk menjadi pengawal-pengawal dan melindungl kita."

   Puteri Mllana dan Perdana Menteri Su saling bertukar pandang dan Puteri Milana menahan senyum mengejek. Betapa tak tahu malu pangeran tua yang menjadi paman kakeknya itu. Sudah terang, biarpun belum ada bukti, bahwa kedua orang Pangeran Liong itulah yang mengandalkan semua pemberontak suku bangsa, sekarang masih berani bicara seperti itu!

   "Dua orang saudara dari dunia kang-ouw ini mendengar bahwa kami sedang membutuhkan tenaga pengawal-pengawal yang sakti. Kemarin dulu mereka datang menghadap kami dan melamar pekerjaan menjadi pengawal pribadi. Karena kami sedang menghadapi perayaan, maka kami memutuskan untuk menguji mereka pada saat pesta ini, sekalian untuk memeriahkan suasana pesta. Karena kami mengerti bahwa pada saat inilah terkumpul semua tokoh gagah perkasa yang tentu akan sudi turun tangan membantu kami untuk menguji mereka berdua apakah benar mereka memiliki kepandaian dan patut menjadi pengawal pribadi kami. Yang tinggi besar bermuka hitam ini adalah Yauw Siu, seorang jagoan dari Pantai Po-hai!"

   Si Muka Hitam bangkit berdiri dan dengan mengerahkan tenaga membuat otot-otot lengan dan lehernya tampak menggembung, dia membungkuk dan memberi hormat ke empat penjuru.

   "Yang tinggi kurus bermuka kuning adalah Sun Giam, jagoan dari pegunungan selatan,"

   Kata pula Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus juga memberi hormat ke empat penjuru.

   "Silakan jika di antara Cu-wi ada yang suka membantu kami untuk menguji kedua orang calon pengawal ini!"

   Pangeran Liong Bin Ong menutup kata-katanya lalu duduk kembali. Suasana menjadi sunyi sekali.

   Biarpun terdengarnya seperti seorang yang minta bantuan menguji dan sekaligus memeriahkan suasana pesta, namun bagi mereka yang diam-diam menentang pangeran ini, jelas terasa bahwa pangeran itu mengajukan dua orang jagoannya untuk menantang! Betapapun, di antara para tamu kehormatan tidak ada yang sudi untuk memenuhi tantangan ini, karena mereka tidak sudi merendahkan diri melawan orang-orang yang dianggapnya rendah itu. Kesunyian yang mencekam sekali dan tampak Puteri Milana menahan senyum, girang bahwa pancingan pangeran tua itu tidak berhasil. Dua orang jagoan yang kini masih berdiri itu memandang ke sekeliling, dan kelihatan blngung karena tidak ada yang menyambut tantangan Pangeran Liong Bin Ong. Timbullah kesombongan dalam hati Yauw Siu yang mengira bahwa diamnya para tamu ini adalah karena mereka gentar kepadanya! Maka sambil mengangkat dada dia berkata nyaring setelah tertawa,

   "Ha-ha-ha, harap para orang gagah yang hadir di sini tidak khawatir karena saya Yauw Siu yang berjuluk Hek-bin Tiat-liong (Naga Besar Bermuka Hitam) tidak perlu membunuh dalam pi-bu (mengadu kepandaian)!"

   Tiba-tiba tampak seorang pembesar bangkit dari kursinya, pembesar ini gemuk dan dia adalah seorang pembesar sastrawan yang berwenang memeriksa hasil ujian para calon sastrawan, seorang pembesar yang mata duitan dan tentu saja suka makan sogokan para calon sastrawan yang mengikuti ujian. Sambil tersenyum pembesar ini menjura ke arah Pangeran Liong Bin Ong dan berkata,

   "Harap paduka maafkan saya. Melihat bahwa tidak ada orang yang suka membantu paduka untuk menguji kedua orang calon pengawal itu, bagaimana kalau saya mengajukan lima orang pengawal pribadi saya? Kedua orang itu kelihatan gagah perkasa dan tentu lihai sekali, maka tidak tahu apakah mereka berani menghadapi lima orang pengawal saya."

   Sebelum Pangeran Liong Bin Ong menjawab, Yauw Siu si Muka Hitam sudah cepat menjawab,

   "Boleh sekali! Silakan lima orang itu maju berbareng dan akan saya tandingi sendiri, tidak perlu Saudara Sun Giam turun tangan!"

   Jawaban ini memancing suara berisik dari para tamu yang menganggap orang muka hitam itu sombong sekali. Akan tetapi Pangeran Liong Bin Ong melambaikan tangan dan mengangguk tanda setuju. Pembesar itu lalu menggapai ke belakang, maka muncullah lima orang pengawalnya yang berpakaian seragam biru, lima orang berusia tiga puluhan tahun dan kesemuanya bertubuh tegap dan gagah. Setelah menjura dengan penuh hormat kepada semua yang hadir, lima orang itu melangkah maju menghadapi Yauw Siu, sedangkan Sun Giam sambil menyeringai sudah mundur dan duduk di atas lantai di pinggiran. Yauw Siu sudah menghadapi lima orang gagah itu sambil tersenyum lebar, kemudian terdengar dia bertanya,

   "Sebelum kita mulai, bolehkah saya bertanya Ngo-wi (Anda Berlima) ini murid-murid dari partai manakah?"

   Pertanyaan itu sungguh terdengar menantang dan tinggi hati, akan tetapi seorang di antara lima orang pengawal itu menjawab,

   "Kami adalah murid-murid dari Gak-bukoan (Perguruan Silat Gak) di Seng-kun."

   "Ahhh! Ha-ha-ha, jadi Ngo-wi adalah murid-murid dari Gak-kauwsu? Bagus sekali! Aku sudah mengenal baik guru kalian itu dan tahu bahwa guru kalian mengandalkan ilmu menghimpun tenaga yang amat kuat di kedua lengannya dan terkenal dengan Ilmu Pukulan Pek-lek-jiu (Tangan Halilintar), bukan?"

   Lima orang itu mengangguk dan Si Muka Hitam melanjutkan,

   "Kalau begitu, biarlah kalian menguji tenagaku dan sebaliknya aku akan menguji apakah benar-benar kalian telah mempelajari ilmu secara baik-baik dari Gak-kauwsu."

   Dia memberi isyarat kepada Sun Giam dan orang tinggi kurus ini melemparkan segulung tali yang besar dan kuat kepada temannya. Yauw Siu lalu menyerahkan tali itu kepada lima orang pengawal sambil berkata,

   "Harap Ngo-wi suka mengikat kedua kaki dan tangan, juga pinggangku, kemudian Ngo-wi di satu pihak menarik dan aku di laln pihak mempertahankan. Dengan demikian kita mengadu tenaga satu lawan lima. Bukankah ini menarik sekali dan mengingat akan hubungan diantara kita, tidak perlu ada yang sampai roboh terluka atau tewas?"

   Si Muka Hitam yang sombong itu ternyata pandai bicara dan pandai pula berlagak sehingga menarik perhatian para tamu.

   "Bagus! Itu adil sekali! Hayo kalian cepat lakukan!"

   Dari tempat duduknya, pembesar sastrawan itu bertepuk tangan gembira. Tentu saja hatinya menjadi lega dan dia mengharapkan kemenangan lima orang pengawalnya karena pertandingan yang ditentukan oleh Si Muka Hitam sendiri itu menguntungkan pihaknya. Lima orang itu cepat memenuhi permintaan Yauw Siu. Pergelanaan kaki dan tangan, juga pinggang Si Muka Hitam itu diikat dengan tali, kamudian mereka berlima memegang ujung tali di depan Si Muka Hitam. Semua tamu menonton dengan gembira, bahkan diantara para pembesar itu kini sibuk bertaruh sehingga keadaan menjadi berisik dan gembira. Dua orang pangeran tua saling pandang dan tersenyum-senyum, kadang-kadang mereka melirik ke arah Perdana Menteri Su dan Puteri Milana yang kelihatan masih tenang-tenang saja.

   "Siap....! Tarik....!"

   Tiba-tiba Yauw Siu berteriak dan lima orang pengawal itu sudah mengerahkan tenaganya menarik tali yang mengikat tubuh Si Muka Hitam. Yauw Siu berdiri dengan tegak, mengerahkan tenaganya sehingga mukanya berubah menjadi makin hitam, urat-urat yang tampak di lengan dan leher yang tidak tertutup pakaian itu menggembung besar, matanya melotot dan betapa pun lima orang lawannya membetot dan mengerahkan tenaga sekuatnya, tetap saja tubuh Si Tinggi Besar itu tidak bergoyang sedikit pun!

   "Tahan....!"

   Yauw Siu memekik keras dan kedua tangannya digerakkan ke belakang. Dua orang pengawal yang memegang dua ujung tali yang mengikat tangannya itu terhuyung ke depan. Kembali Yauw Siu berseru dan kedua kakinya me-langkah mundur, juga mengakibatkan dua orang pengawal lain terbawa dan terhuyung, kemudian dia mengeluarkan bentakan keras, tubuhnya meloncat ke belakang dan lima orang itu jatuh tertelungkup dan terseret!

   Tepuk tangan dan sorak memuji bergemuruh menyambut kemenangan Yauw Siu ini, yang sambil tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang besar dan kuat untuk memutus-mutuskan tali yang mengikat kedua kaki, tangan dan pinggangnya. Kembali demonstrasi tenaga yang amat kuat ini memancing tepuk tangan gemuruh. Yauw Siu mengangguk dan membungkuk ke empat penjuru menerima sambutan dan pujian itu. Sun Giam meloncat ke depan dan memberi isyarat kepada temannya untuk mundur. Si Muka Hitam lalu mundur dan duduk di pinggiran, di atas lantai, sadangkan Sun Giam sendiri membantu lima orang itu berdiri, menggulung tali dan melemparnya kepada temannya. Kemudian Sun Giam berkata, ditujukan kepada pembesar sastrawan yang bersungut-sungut menyaksikan kekalahan lima orang pengawalnya.

   "Apakah Taijin mengijinkan kalau saya menghadapi mereka ini dalam ilmu silat untuk menguji saya?"

   Wajah pembesar itu berseri. Kini terbuka kesempatan untuk membersihkan dan menebus kekalahan tadi. Dia tahu bahwa lima orang pengawalnya adalah ahli-ahli ilmu silat, maka sambil mengangguk dia berkata,

   "Baik, kami setuju sekali!"

   Sun Giam kini berkata, ditujukan kepada semua hadirin,

   "Tadi sahabat saya, Yauw Siu, telah memperlihatkan kekuatan tubuhnya yang dahsyat. Kalau hanya tenaga dua puluh lima oranq biasa saja kiranya dia masih akan mampu menandinginya. Akan tetapi, dia belum memperlihatkan ilmu silatnya dan karena dia telah mengeluarkan tenaga, biarlah saya yang akan menghadapi lima orang murid perguruan Gak-bukoan ini."

   Sambil menghadapi mereka, Si Muka Kuning ini berkata,

   "Harap Ngo-wi suka mendemonstrasikan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu yang telah terkenal itu dan sekaligus maju menyerang saya."

   Lima orang yang sudah kalah dalam mengadu tenaga itu, kini mengepung Si Muka Kuning kemudian terdengar seorang diantara mereka mengeluarkan aba-aba dan serentak menyeranglah mereka dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat. Akan tetapi, dengan gerakan lemas dan lincah Si Tinggi Kurus itu dapat mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan kedua tangannya menyampok setiap pukulan yang tidak sempat dielakkannya. Tampaklah pemandangan yang mengagumkan di mana Sun Giam menggunakan kelincahannya dikeroyok lima orang itu. Jelas tampak oleh mata para ahli yang duduk di situ bahwa Si Tinggi Kurus ini memang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya maka sengaja hanya mengelak dan menangkis, padahal jelas mudah dilihat betapa tingkatnya jauh lebih tinggi daripada para pengeroyoknya.

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 31 Sepasang Pedang Iblis Eps 45 Sepasang Pedang Iblis Eps 29

Cari Blog Ini