Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 20


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



"Kwi Hong, larilah cepat.... laporkan Pamanmu....!"

   Kembali ia mendengar teriakan Bun Beng.

   "Ha-ha-ha, heh-heh, benar sekali. Kalau kau sudah mati nanti, terbangkan rohmu kepada Si Keparat Suma Han, suruh dia ke sini menerima kematian, ha-ha!"

   "Iblis busuk!"

   Kwi Hong menyerang cepat sekali ketika ia dapat melihat bayangan Tan Ki yang tertawa-tawa. Siucai itu cepat menangkis, akan tetapi Kwi Hong hanya melakukan serangan tusukan sebagai pancingan saja, karena cepat sekali kakinya menendang.

   "Desss! Aduhhh.... keparat!"

   Tan-siucai terkena tendangan di samping pinggulnya dan terlempar ke belakang. Kwi Hong cepat mengejar, akan tetapi karena tendangan itu tidak tepat kenanya dan hanya melemparkan tubuh Tan-siucai dan mengagetkan saja, maka Tan-siucai sudah dapat memutar pedang melindungi tubuhnya sambil meloncat bangun.

   "Siapa yang kau serang? Aku lenyap sama sekali dari penglihatanmu!"

   Ucapan ini berulang kali diucapkan Tan-siucai dengan suara menggetar dan kembali Kwi Hong kadang-kadang kehilangan bayangan lawan, membuat ia terdesak lagi.

   "Kwi Hong.... larilah.... lekas....!"

   Bun Beng yang sudah pening oleh pengaruh sihir Maharya, berteriak sekuat tenaga.

   Ia mengandalkan ilmu pedang Siauw-lim-pai, mainkan bagian yang bertahan sehingga tubuhnya terlindung gulungan sinar pedang kilat. Dia dapat menahan serangan ular dan tangan bersarung emas, akan tetapi tekanan kekuatan mujijat dari sihir Maharya benar-benar membuat dia pening dan hanya dengan kebulatan tekadnya dan kemauannya saja untuk mempertahankan diri, pedang Lam-mo-kiam dan terutama melindungi Kwi Hong maka ia masih dapat bertahan. Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan delapan belas orang pemuja Sun-go-kong yang mendengar pertempuran dan teriakan-teriakan Bun Beng kini telah berada di situ. Tanpa diminta dan tanpa komando, delapan belas orang ini sudah menerjang maju membantu Bun Beng dan Kwi Hong! Akan tetapi, begitu sebagian besar mereka mengeroyok Maharya,

   Kakek itu mengeluarkan gerengan keras yang menggetarkan seluruh urat syaraf, dan terdengarlah teriakan-teriakan mengerikan dan lima orang sudah roboh susul-menyusul terkena hantaman tangan kiri bersarung emas sehingga pecah kepalanya dan sebagian terkena gigitan ular putih di tangan kanan kakek itu! Mereka yang mengeroyok Tan-siucai juga mengalami hal yang menyedihkan. Mereka menyerbu, tidak tahu akan keampuhan sinar pedang Hok-mo-kiam sehingga begitu kena disambar sinar ini, tiga orang roboh dan tewas seketika! Delapan belas orang maju dan dalam sekejap mata saja delapan orang dari mereka tewas! Sisanya, yang sepuluh orang, menjadi kaget, berduka dan marah bukan main menyaksikan teman-teman mereka tewas sedemikian mudahnya, maka dengan nekat mereka maju untuk membalas dendam atau untuk tewas sekalian.

   "Cu-wi, mundur....!"

   Bun Beng mencegah, akan tetapi sia-sia, mereka malah makin nekat.

   "Ha-ha-ha, kalian yang sudah kehabisa tenaga dan setengah lumpuh, mau melawanku?"

   Maharya berteriak.

   "Jangan dengarkan!"

   Bun Beng yang melihat kakek itu membuka mulut lebar memperingatkan, namun terlambat. Sepuluh orang itu tiba-tiba merasa kedua kaki mereka lemas tak bertenaga dan pada saat itu, menyambarlah sinar-sinar hitam dari tangan Tan-siucai dan Maharya. Itulah jarum-jarum hitam beracun dan tentu saja sepuluh orang yang sudah terpengaruh sihir itu tidak mampu mengelak lagi. Mereka mengeluh dan roboh dengan muka berubah menghitam dan nyawa melayang menyusul delapan orang teman mereka. Dalam sekejap mata saja, seluruh pemuja Sun-go-kong, bekas pejuang yang gigih tewas di tangan Ma-harya dan Tan-siucai dengan amat mudah dan secara sia-sia!

   "Kakek iblis yang kejam!"

   Bun Beng berteriak marah, dan tiba-tiba permainan pedangnya berubah, ia telah mainkan ilmu rahasia yang dipelajarinya dari Kitab Sam-po-cin-keng, dan ternyata akibatnya hebat sekali. Maharya berteriak kaget, berusaha menangkis dengan tangan kirinya karena lingkaran-lingkaran aneh yang dibuat oleh sinar pedang Bun Beng membuat dia menjadi bingung.

   "Brettt....! Ihhh!"

   Kakek Maharya mencelat mundur, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, kemarahannya memuncak ketika ia melihat betapa sarung tangannya terobek sedikit dan telapak tangannya berdarah!

   "Lihat api....!"

   Kakek itu membentak. Karena girang melihat hasil serangannya, Bun Beng menjadi lengah sehingga ia mendengar suara ini, melihat pula betapa kakek itu menggerakkan tangan kiri sambil mendorong ke arahnya dan.... ia melihat pula api berkobar meluncur ke arah tubuhnya. Bun Beng terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi bola api itu terus mengejarnya dari atas, Bun Beng cepat memutar pedangnya dan pada saat ia sibuk melawan bola api yang seperti hidup itu, tiba-tiba tangan bersarung emas telah menghantam punggungnya dengan sebuah tamparan keras.

   "Plakkk!"

   Bun Beng berseru kaget dan tubuhnya terguling-guling, napasnya seperti tersumbat. Sadarlah dia bahwa kembali dia menjadi korban sihir, dan bola api itu sebetulnya tidak ada maka dia sampai kena dipukul. Dengan marah ia melompat bangun dan jurus pertahanan dari Sam-po-cin-keng telah menutup tubuhnya sehingga Maharya tidak dapat menyusulkan serangan maut kepada lawan yang telah terluka itu.

   "Kwi Hong.... lari....!"

   Teriakan Bun Beng sekali ini terdengar lirih karena dadanya sesak dan napasnya terengah. Kwi Hong terkejut sekali, menoleh dan melihat betapa pemuda itu makin terdesak hebat. Ia marah bukan main karena belum juga mampu mengalahkan Tan-siucai. Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dari atas disusul menyambarnya bayangan hitam yang besar. Bunyi kelepak sayap bercampur dengan pekik melengking dan tertawa nyaring memenuhi udara ketika bayangan hitam itu menyambar ke arah Bun Beng dan Maharya yang sedang bertempur. Sinar putih panjang dua buah, seperti dua ekor ular putih yang amat panjang, menyambar ke arah tangan Bun Beng sedangkan paruh besar burung rajawali menyambar ke arah tangan Maharya yang memegang ular putih.

   Bun Beng berteriak kaget ketika tiba-tiba tangan kanannya menjadi lemas terkena totokan sinar putih dan selagi dia belum sempat mengembalikan tenaga untuk memegang gagang pedang erat-erat, Pedang Lam-mo-kiam telah terlibat tali putih dan terlepas dari tangannya. Juga Maharya berseru keras ketika tiba-tiba ia diserang oleh pukulan sayap dan selagi ia mengelak, ular putih telah terlempar dari tangannya. Dua orang yang sedang bertanding ini melompat mundur, memandang ke atas dan tampaklah oleh mereka seorang pemuda tampan menunggang seekor rajawali raksasa sedang ter-tawa-tawa memegangi pedang Lam-mo-kiam di tangan kanan dan ular putih yang dirampas rajawali di tangan kiri!

   "Iblis cilik dari Pulau Neraka!"

   Bun Beng memaki.

   "Kembalikan pedangku!"

   Pemuda di atas punggung rajawali itu hanya tertawa mengejek dan pada saat itu, segumpal asap hitam yang dilepas oleh Maharya secara diam-diam menyerang muka Bun Beng. Pemuda ini gelagapan, menyedot asap hitam dan seketika kepalanya pening, pandang matanya gelap dan ia terhuyung-huyung.

   "Desss!"

   Kembali punggungnya dihantam tangan kiri Maharya dan ia roboh terguling. Namun ia masih sempat berteriak,
(Lanjut ke Jilid 19)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19
"Kwi Hong, lari....!"

   Kemudian ia merangkak bangun duduk bersila memejamkan mata dan berusaha mengusir pengaruh asap beracun yang membuatnya pening dan lemas, apalagi punggungnya yang telah dua kali dihantam oleh tangan kiri Maharya yang lihai membuat napasnya sesak. Maharya yang tadinya menyangka bahwa pemuda di punggung rajawali yang datang itu mungkin akan mengeroyoknya, telah merobohkan Bun Beng lebih dulu, kemudian kini ia mengacungkan tangannya ke atas.

   "Bocah setan, tak peduli engkau dari Pulau Neraka, turunlah sebelum engkau dan rajawalimu mampus di tangan Pendeta Sakti Maharya!"

   Pemuda itu bukan lain adalah Wan Keng In, putera To-cu Pulau Neraka. Ia tertawa dan memainkan ular putih di tangan kirinya.

   "Heh-heh, setan tua. Ular putihmu ini baik sekali, tentu kau dapatkan di Himalaya, bukan?"

   Diam-diam Maharya terkejut juga. Ular putihnya itu adalah seekor binatang yang racunnya ampuh sekali. Jarang ada orang sakti yang akan mampu menahan racun binatang itu dan sudah bertahun-tahun ia memelihara dan melatihnya sehingga ular itu akan menjadi ganas kalau dipegang orang lain. Mengapa kini di tangan pemuda itu, ularnya menjadi jinak sekali? Namun tidak peduli anak setan dari mana pemuda itu, dia harus merampas kembali Pedang Lam-mo-kiam dan ular putih. Ia menggerakkan tangannya dan sinar hitam menyambar ke arah burung rajawali yang terbang rendah. Pemuda itu memutar pedang Lam-mo-kiam dan burung rajawali mengibaskan sayapnya, namun tetap saja ada sebatang jarum mengenai kaki burung itu sehingga burung itu memekik keras dan terhuyung.

   "Crakk!"

   Pedang Lam-mo-kiam bergerak dan kaki burung yang terkena jarum hitam itu telah dibuntungi penunggangnya!

   "Setan tua itu membikin kakimu putus, hek-tiauw (rajawali hitam), hayo kita bunuh dia!"

   Pemuda itu berseru dan rajawali itu sudah menyambar turun dengan penuh kemarahan. Disambar oleh cakar dan paruh, dihantam oleh sayap yang besar ditambah lagi serangan pedang Lam-mo-kiam dan ular putihnya sendiri benar-benar Maharya menjadi kaget bukan main. Ia menggulingkan tubuhnya ke atas tanah dan hanya dengan jalan bergulingan ini ia terbebas dari bahaya maut. Sementara itu, ketika Kwi Hong melihat penunggang burung rajawali, mukanya berubah dan ia merasa gelisah sekali. Tentu saja dia mengenal Wan Keng In dan maklum bahwa pemuda Pulau Neraka itu merupakan musuh besar, sehingga tentu akan menambah lawannya. Saat itu ia melihat Bun Beng terguling dan mendengar pesan terakhir pemuda itu. Tidak baik melawan terus, pikirnya.

   Melawan berarti akan kalah dan pedang Li-mo-kiam akan terampas pula. Apa artinya melawan kalau tidak akan dapat menolong Bun Beng dan merampas kembali Pedang Lam-mo-kiam dan Pedang Hok-mo-kiam? Lebih baik seperti yang diminta Bun Beng, melarikan diri selagi ada kesempatan, kemudian melapor kepada pamannya karena kalau bukan pamannya sendiri yang turun tangan, bagaimana mungkin pedang-pedang itu dapat dirampas kembali? Alisnya berkerut dan hatinya terasa sakit sekali ketika mengerling ke arah Bun Beng yang terpaksa harus ia tinggalkan. Ia berseru keras, pedangnya menyerang ganas sehingga Tan-siucai kaget dan meloncat mundur. Ketika ia memandang ke depan, gadis lawannya itu telah meloncat-loncat jauh dan melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar gurunya berteriak,

   "Tan Ki.... bantu aku....!"

   Ia menengok dan terkejut sekali melihat pemuda yang menunggang burung rajawali itu sambil terkekeh-kekeh menyerang gurunya dari atas, menyambari gurunya seperti seekor burung mempermainkan tikus! Ia menjadi marah dan maju menyerang dengan pedangnya ketika pemuda di atas punggung rajawali itu kembali turun menyambar.

   "Tranggg....! Bukk!"

   Pemuda di atas punggung rajawali itu berseru kaget dan rajawalinya memekik kesakitan dan terbang tinggi.

   Pemuda itu kaget karena pedang laki-laki yang menangkisnya itu ternyata dapat membuat Lam-mo-kiam terpental dan tangannya tergetar, sedangkan pukulan tangan kiri bersarung emas Maharya telah mengenai paha ra-jawali itu. Wan Keng In yang sudah memeriksa pedangnya dan maklum bahwa secara tidak terduga-duga dia telah mendapatkan sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang dicari-cari ibunya, tidak mau menempuh bahaya menghadapi dua orang di bawah yang ternyata lihai itu, apalagi kini rajawalinya terluka berat, sebelah kakinya buntung dan bercucuran darah sedangkan pahanya juga terluka oleh hantaman kakek sakti itu. Belum tentu rajawalinya akan kuat membawanya terbang ke Pulau Neraka, maka ia lalu menyuruh rajawalinya terbang tinggi dan kembali ke Pulau Neraka.

   Maharya menyumpah-nyumpah.

   "Anak Iblis! Keparat jahanam! Dia membawa lari ularku!"

   "Dan Lam-mo-kiam juga dirampasnya. Semua ini kesalahan pemuda sialan itu! Kita bunuh saja dia!"

   Ia melangkah lebar dan mengayun Hok-mo-kiam ke arah leher Bun Beng yang masih duduk bersila mengatur pernapasan. Karena tidak sanggup membela diri lagi, Bun Beng tetap tidak bergerak, menyerahkan nasibnya kepada Tuhan.

   "Jangan!"

   Tiba-tiba Maharya berteriak dan Tan Ki menahan pedangnya, me-noleh dan memandang gurunya dengan heran.

   "Mengapa? Apakah Guru menaruh kasihan kepada bedebah ini?"

   "Ha-ha-ha, hatiku sakit sekali karena gara-gara dia sarung tanganku robek, ularku lenyap dan Lam-mo-kiam juga hilang. Aku senang bukan main melihat dia mampus, akan tetapi amat enaklah kalau kau membunuhnya begitu saja. Kita harus membuat dia mati perlahan-lahan, biar dia menderita sampai empat puluh hari, mati tidak hidup pun bukan, baru benar-benar mampus, ha-ha-ha!"

   Tan-siucai tertawa geli.

   "Maksudmu bagaimana, Guru?"

   "Begini!"

   Maharya menghampiri Bun Beng dari belakang dan tangan kirinya yang memakai sarung tangan bergerak, jari-jarinya menusuk. Bun Beng maklum bahwa dirinya diserang, akan tetapi tubuhnya lemas, tenaganya habis sehingga melawan pun hanya akan menyiksa diri, maka dia diam saja menerima hantaman maut.

   "Cusss! Cusss!"

   Dua kali Maharya menggerakkan jari-jarinya yang menotok di belakang pinggang, kanan-kiri tulang punggung. Bun Beng tidak merasakan sesuatu, hanya rasa pegal di tempat yang ditotok.

   "Ha-ha-ha, aku mengacaukan jalan darahnya, menindas hawa pusar dan membalikkan hawa kundalini, dia akan keracunan, kedua kakinya akan lumpuh, darahnya perlahan-lahan akan kotor dan menghitam dan dia setiap hari akan menderita hebat, sedikit demi sedikit nyawanya terancam, sampai empat puluh hari. Dia mati sekerat demi sekerat, ha-ha!"

   Tan-siucai juga tertawa-tawa, akan tetapi hatinya tidak puas ketika melihat betapa dua kali totokan gurunya itu tidak membuat Bun Beng kesakitan.

   "Terlalu enak kalau dia tidak diberi rasa, dan hatiku tidak puas kalau tidak menyiksanya tanpa membunuhnya."

   Gurunya mengangguk.

   "Asal jangan kau pergunakan sin-kang agar tidak membunuhnya, sesukamulah."

   "Kalau tidak gara-gara dia, kita tidak kehilangan dan tentu keponakan Pendekar Siluman sudah dapat kubekuk. Biar dia tahu rasa!"

   Tan-siucai mengayun kakinya, tanpa menggunakan tenaga sin-kang menendang ke arah ulu hati Bun Beng.

   "Ngekkk!"

   Biarpun tidak menggunakan sin-kang, namun tendangan yang keras itu membuat Bun Beng terjungkal dan ia muntahkan darah segar.

   "Desss!"

   Kini pipi kanan Bun Beng yang mukanya rebah miring itu diinjak sepatu. Ketika injakan yang keras ini membuat Bun Beng menggerakkan kepala sehingga bangkit duduk lagi, Tan-siucai menendang yang kiri.

   "Desss!"

   Tendangan keras sekali ini membuat tubuh Bun Beng terjengkang, kepalanya pening, bibirnya berlepotan darah segar, mukanya bengkak-bengkak dan membiru. Tan-siucai tertawa-tawa girang akan tetapi ia masih belum puas. Dengan langkah lebar ia menghampiri Bun Beng, dua kali kakinya bergerak ke arah kedua lutut Bun Beng, menendang keras sekali.

   "Krak! Krak!"

   Tanpa mengeluh Bun Beng terguling pingsan, sambungan kedua lututnya terlepas! "Cukup, kalau terlalu berat dia tidak akan menderita sampai empat puluh hari. Mari kita pergi. Sayang sekali Sepasang Pedang Iblis terlepas dari tangan kita. Kita kejar bocah perempuan itu!"

   Guru dan murid itu sambil tertawa-tawa puas lalu berlari, bayangan mereka berkelebat dan tempat itu menjadi sunyi sekali.

   Tubuh Bun Beng menggeletak menelungkup dalam keadaan pingsan, sedangkan tak jauh dari situ delapan belas buah mayat para pemuja Sun-go-kong malang-melintang! Menyeramkan sekali keadaan di situ, apalagi ketika tampak beberapa ekor burung gagak hitam beterbangan dan berputaran di atas tempat itu, agaknya mereka sudah mencium bau mayat dan darah. Bun Beng sadar dan membuka matanya ketika ia merasa pipinya sakit seperti ditusuk-tusuk pedang. Betapa mendongkol dan marah hatinya ketika ia melihat dua ekor burung gagak mematuki darah dari pipinya. Sekali mengibas dengan tangan, dua ekor burung itu terpental dan mati seketika. Gerakan ini membuat burung-burung gagak yang lain terbang ke atas dan Bun Beng bergidik. Burung-burung keparat itu pesta mematuki mayat-mayat, makan daging dan darah dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu.

   Dengan hati terharu ia memandang ke sekeliling. Hatinya merasa sengsara sekali menyaksikan delapan belas orang itu telah menjadi mayat, dan lebih sakit lagi hatinya karena dia tidak dapat mengubur jenazah mereka. Kedua kakinya tak dapat ia gerakkan, sambungan lutut kedua kakinya terlepas dan nyeri yang amat hebat menusuk tulang-tulangnya. Ia mengeluh dan bangkit duduk. Dengan jari tangannya ia menotok jalan darah di paha untuk melenyapkan rasa nyeri di lututnya, kemudian sedapat mungkin ia mengurut lutut-lututnya. Kemudian ia menggerakkan kedua tangannya, mengesot dan setengah merangkak meninggalkan tempat itu. Dia harus pergi dari situ, tidak tega ia menyaksikan mayat-mayat itu dimakan burung. Mereka telah mati dalam membelanya. Ia menoleh sebentar dengan air mata membasahi bulu matanya ia berbisik,

   "Sahabat-sahabatku sekalian, aku ber-sumpah kalau masih dapat sembuh dan hidup, aku akan membalas kematian kalian kepada Maharya dan Tan Ki."

   Kemudian ia merangkak terus meninggalkan tempat itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya terasa sakit, terutama sekali dada dan perutnya. Ia maklum bahwa ia telah terluka hebat dan jalan darahnya menjadi kacau-balau, membuat setiap buku tulang terasa seperti ditusuki jarum. Susah payah Bun Beng merangkak. Bagaimana ia dapat menuruni bukit yang terjal itu? Ah, bagaimana pula nasib Kwi Hong? Mudah-mudahan dia dapat melarikan diri, pikirnya dan ia menjadi agak lega. Biarpun dia mati, tentu Pendekar Super Sakti akan membalaskan sakit hatinya. Bertambah pula musuh-musuhnya, musuh yang amat sakti.

   Musuh-musuh pertamanya, Koksu Negara Im-kan Seng-jin dan para pembantunya sudah merupakan lawan yang berat dan belum dapat ia jumpai, kini muncul pula musuh-musuh yang tidak kalah saktinya, yaitu Tan Ki dan gurunya yang pandai ilmu sihir! Dan dia maklum bahwa guru dan murid itu telah membuat dia menjadi seorang cacad dan tinggal menunggu maut. Pukulan beracun itu takkan dapat ia obati, apalagi dengan kedua kaki tak dapat dipakai berjalan, apa dayanya? Namun dia tidak putus asa, tidak mau putus asa. Selagi ia masih hidup, dia akan berusaha menyembuhkan luka-lukanya, berusaha pergi dari tempat berbahaya ini! Malam itu Bun Beng mengalami malam yang paling sengsara. Ia berusaha duduk bersila bersiulian, namun tetap saja ia tidak dapat mengerahkan tenaganya.

   Begitu ia mengerahkan sin-kang, perutnya terasa panas seperti dibakar dan seluruh tubuh terasa gatal-gatal. Ia hanya dapat melatih pernapasan, menghirup udara segar, itu pun tidak dapat ia tarik ke pusar seperti biasa karena hal ini juga menimbulkan rasa nyeri yang sama. Semalam ia tidak tidur dan kalau ia teringat akan malam penuh bahagia bersama Kwi Hong, ia tersenyum pahit. Baru kemarin ia mengalami malam yang paling bahagia selama hidupnya, duduk menghadapi api unggun, menatap wajah gadis itu yang tidur nyenyak dan merasa betapa dunia menjadi amat indah. Kini perubahan itu seperti sorga dan neraka. Ia teringat akan wejangan Siauw Lam Hwesio bahwa memang demikianlah hidup. Sorga dan neraka penghidupan muncul dan lenyap saling berganti!

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah terang tanah, Bun Beng melanjutkan usahanya menuruni bukit dengan merangkak perlahan-lahan. Betapa ia dapat melakukan perjalanan cepat kalau ia hanya mengandalkan kedua tangannya untuk menarik tubuhnya secara mengesot? Tubuhnya terasa makin panas. Darah yang mengalir ke kepalanya seolah-olah membakar kepala dan menjelang tengah hari ia tidak kuat lagi. Ia rebah di bawah sebatang pohon dalam keadaan setengah pingsan. Ketika ia meletakkan pipinya yang masih membengkak dan nyeri berdenyut-denyut itu ke atas tanah berumput yang dingin basah, ia merasa betapa nikmatnya tidur seperti itu. Ingin ia tidak dapat bangun kembali, rebah seperti itu untuk selamanya! Sebuah kaki bersepatu membalikkan tubuhnya yang menelungkup. Ia terlentang dan pandang matanya berkunang.

   Dalam keadaan setengah pingsan ia melihat beberapa orang berdiri mengelilinginya dan jantungnya berdebar penuh kemarahan ketika ia mengenal seorang di antara mereka adalah pemuda Pulau Neraka, si penunggang rajawali! Bagaimana pemuda ini bisa muncul kembali? Pemuda yang datang bersama dua orang anggauta Pulau Neraka bermuka merah tua itu adalah Wan Keng In. Pemuda ini tadinya hendak kembali ke Pulau Neraka menunggang rajawali yang terluka parah. Hatinya girang mendapatkan Lam-mo-kiam, akan tetapi juga kecewa karena dia tidak dapat mengalah-kan kakek India dan sasterawan yang menjadi murid kakek itu. Kecewa karena dia tidak bisa mendapatkan pedang Li-mo-kiam karena ibunya tentu akan girang sekali kalau dia bisa mendapatkan Sepasang Pedang Iblis itu, bukan hanya yang jantan, pula, dia pun ingin sekali mendapatkan pedang Si Sasterawan yang mampu menandingi Lam-mo-kiam.

   Dengan hati girang Wan Keng In melihat seekor burung rajawalinya terbang di udara. Ia bersuit nyaring dan ketika rajawali itu terbang dekat, ia lalu pindah ke atas punggung rajawali yang sehat. Ketika ia terbang rendah di pantai, ia melihat sebuah perahu hitam, perahu Pulau Neraka. Cepat ia turun dan ternyata perahu itu adalah perahu yang ditumpangi dua orang anggauta Pulau Neraka bermuka merah. Biarpun ia agak kecewa mendapat kenyataan bahwa yang berada di perahu hanyalah dua orang anggauta rendahan yang tidak dapat banyak diandalkan, namun ia girang juga dan cepat mengajak mereka untuk pergi ke bukit itu. Dia harus menyelidiki bukit itu. Siapa tahu pusaka-pusaka yang yang lain berada di situ. Demikianlah, ketika di tengah jalan ia melihat Bun Beng yang menggeletak setengah pingsan, alisnya berkerut.

   "Inilah orangnya yang memegang pedang yang kurampas. Kepandaiannya lumayan juga. Eh, orang yang terluka parah, aku akan mengobatimu sampai sembuh, akan tetapi katakanlah, dari mana engkau mendapatkan Siang-mo-kiam? Dan mana yang sebatang lagi?"

   Mendengar pertanyaan ini, Bun Beng menggeleng kepala tanpa menjawab. Biarpun benar-benar pemuda Pulau Neraka ini akan dapat menyembuhkannya, dia tetap tidak sudi memberi tahu kepada pemuda yang dibencinya itu tentang sepasang pedang iblis yang kini telah dirampasnya sebatang. Lebih baik dia mati daripada memberi tahu bahwa pedang yang sebuah lagi dipegang Kwi Hong. Kalau pemuda ini naik burung rajawali mengejar dan mencari Kwi Hong dari atas, gadis itu bisa terancam bahaya!

   "Apakah engkau mendapatkannya di bukit ini? Apakah ada pusaka lain lagi? Kitab pelajaran kuno? Kulihat engkau menderita pukulan beracun yang amat berbahaya!"

   Wan Keng In mendesak lagi, akan tetapi Bun Beng menggeleng kepala dan memejamkan mata, tidak menjawab. Keng In menggerakkan jari tangannya menotok pundak Bun Beng dan pemuda yang sudah terluka parah ini sama sekali tidak mampu bergerak.

   "Kalian bawa dia ke perahu dan bawa ke pulau, tentu Ibu akan mendapat akal untuk mengorek rahasia darinya. Dia lihai, akan tetapi dia terluka parah dan sudah kuto-tok. Akan tetapi, kalian harus tetap berhati-hati membawanya, jangan sampai gagal. Aku akan menyelidiki keadaan bukit ini dulu, cukup mencurigakan."

   "Baik, Kong-cu (Tuan Muda)."

   Dua orang anggauta Pulau Neraka yang bermuka merah itu lalu mengangkat tubuh Bun Beng, menggotongnya dan membawanya turun dari bukit. Semetara itu, Wan Keng In lalu mendaki puncak dan mencari-cari. Akan tetapi dia hanya menemukan mayat delapan belas orang gagah itu dan biarpun dia telah mencari sampai sehari penuh, dia tidak menemukan apa-apa kecuali sebuah kitab kecil pelajaran Ilmu Silat Sin-kauw-kun-hoat.

   Biarpun yang ditemukan sama sekali bukan pusaka-pusaka yang diharapkan namun kitab ini ia kantongi dan ia bawa pergi setelah ia bersuit memanggil burung rajawali yang mengikuti perjalannya bersama dua orang anggautanya dari atas. Sementara itu Bun Beng digotong oleh dua orang Pulau Neraka menuju ke pantai sunyi di mana mereka menyembunyikan perahu mereka, kemudian merebahkan Bun Beng di dekat perahu dan melayarkan ke laut. Bun Beng masih berusaha sedapat mungkin untuk membebaskan totokan. Dia memberontak di dalam hatinya. Tidak sudi ia dibawa ke Pulau Neraka! Dengan bujukan halus dari Kwi-bun Lo-mo saja dia masih tidak mau, apalagi menjadi tawanan yang luka berat seperti sekarang ini, dan dibawa ke sana hanya untuk dipaksa mengaku tentang Sepasang Pedang Iblis!

   Ia harus dapat melepaskan diri, karena kalau sampai ia dibawa ke Pulau Neraka, habislah harapannya. Bagaimana ia akan dapat keluar dari pulau itu? Daripada hidup tersiksa lahir batin di sana, lebih baik mati sekarang karena berusaha melepaskan diri. Memang sukar mencari jalan bebas mengingat akan luka-lukanya, tubuhnya yang lemah dan kakinya yang tak dapat dipergunakan. Akan tetapi dia tidak memusingkan hal itu, pertama-tama dia harus dapat membebaskan totokan itu lebih dulu. Kedua kakinya memang tak dapat dipergunakan, akan tetapi ia masih mempunyai kedua tangan! Lautan utara ini sunyi sekali. Hanya ada beberapa buah layar kecil tampak dari jauh, yaitu layar para nelayan yang untuk mencari nafkah hidupnya berani menempuh jarak jauh dan menentang ancaman bahaya maut di tengah laut yang kadang-kadang amat ganas itu.

   Setelah perahu meninggalkan pantai, barulah Bun Beng berhasil membebaskan diri dari totokan. Dia mengeluh karena setelah kini berada di perahu dan di tengah laut, andaikata ia dapat membebaskan diri dari dua orang itu sekalipun, habis apa yang dapat ia lakukan? Dengan hati-hati Bun Beng merangkak mendekati langkan di pinggir geladak, menggunakan kesempatan selagi dua orang itu sibuk dengan kemudi dan layar. Ia menjangkau langkan dan menarik tubuhnya ke atas untuk mengintai keluar. Sunyi di luar, tidak tampak perahu lain. Akan tetapi di ke-jauhan itu.... ah, ada sebuah perahu kecil di sana, dengan seorang penumpangnya. Kalau saja ia dapat menarik perhatian orang itu, tentu orang itu seorang nelayan biasa yang akan suka menolongnya. Untung bahwa perahu layar Pulau Neraka ini sedang meluncur menuju ke perahu kecil di kejauhan itu.

   "Heeiii.... kau mau ke mana....?"

   Seorang bermuka merah yang kumisnya panjang melintang berteriak sambil meloncat dekat. Ia takut kalau-kalau tawanan itu meloncat keluar perahu. Kalau sampai mereka kehilangan tawanan itu, hidup atau mati tentu kong-cu akan marah sekali dan mengingat akan hukumannya, mereka bergidik.

   "Kau tidak boleh ke mana-mana, hayo kembali ke sini!"

   Si Muka Merah berkumis itu menggerakkan tangan hendak menangkap Bun Beng.

   "Dessss! Augghhhh....!"

   Pukulan tangan kanan Bun Beng yang dilakukan secara tiba-tiba itu mengenai kepala Si Kumis Panjang dengan tepat. Biarpun Bun Beng terluka, namun pukulannya itu cukup kuat untuk memecahkan kepala anggauta Pulau Neraka tingkat rendahan itu sehingga tubuhnya terjerembab dalam keadaan tak bernyawa lagi!

   "Heiii.... keparat, apa yang kau lakukan?"

   Orang ke dua cepat meloncat bangun tidak peduli lagi akan kemudi, perahu mulai terombang-ambing. Ia lari mendekati, kaget menyaksikan temannya telah tewas dan dengan marah ia mencabut golok lalu menyerbu Bun Beng yang masih duduk bersandar langkan. Melihat serbuan golok ini, Bun Beng maklum bahwa dia harus bekerja cepat. Ia tidak mempedulikan dada dan perutnya yang menjadi panas dan nyeri sekali, terpaksa ia mengerahkan tenaga seadanya dan tubuhnya mencelat ke atas, tangannya yang kiri memukul pergelangan tangan kanan lawan sehingga goloknya terlepas, tangan kanannya menampar pelipis.

   "Plakk!"

   Orang itu roboh tanpa mengeluh. Bun Beng juga terbanting jatuh di atas geladak. Ia melihat betapa perahu itu dengan layar berkembang tanpa kemudi, meluncur miring. Sekilas pandang ia melihat perahu kecil tadi tak jauh dari situ, maka sekali lagi ia mengerahkan tenaga, kedua tangannya menekan geladak dan tubuhnya mencelat ke atas keluar dari langkan.

   "Jebuuuurrrr....!"

   Bun Beng terbanting ke permukaan air laut dengan kepala lebih dulu. Bun Beng gelagapan, berusaha untuk berenang, akan tetapi orang yang kedua kakinya sudah tak dapat digerakkan, yang tubuhnya sudah terluka berat macam dia, mana mungkin dapat berenang? Dia hanya menggerak-gerakkan kedua lengannya karena pengerahan tena-ga tadi membuat napasnya terengah dan tubuhnya lemah sekali, tetap saja gerakan tangannya kurang kuat dan beberapa kali ia tenggelam sehingga terpaksa minum air laut yang asin. Tiba-tiba Bun Beng merasa rambutnya dijambak ke atas dan tubuhnya timbul kembali ke permukaan air, kini tidak tenggelam lagi sehingga ia dapat menggunakan kedua tangan untuk menghapus mukanya yang gelagapan.

   Kuncir rambutnya terlibat dan dijambak ke atas, terasa pedas akan tetapi dia tidak marah karena hal ini malah menolongnya, membuat dia tidak tenggelam. Akan tetapi ketika perlahan-lahan tubuhnya ditarik ke belakang dan ia menoleh, matanya terbelalak dan ia mendongkol juga karena ternyata yang mengait rambutnya adalah ujung pancing yang tangkainya dipegang oleh seorang wanita di atas sebuah perahu kecil! Dia memang ditolong, akan tetapi cara menolong itu benar-benar menghina sekali, seolah-olah dia hanya sebuah benda tak berharga, bahkan dia seperti menjadi seekor ikan aneh yang terkena pancing! Betapapun juga, hatinya lega ketika tahu-tahu tubuhnya melayang dan terjatuh ke dalam perahu, di atas geladak yang sempit. Ia terengah-engah, memejamkan mata, terasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit sehingga mau tak mau Bun Beng mengeluh lirih.

   "Hemmm, engkau telah tiga perempat mati, rusak luar dalam.... hemmm, sungguh kasihan orang yang tak tahu diri, berani menentang Pulau Neraka. Aahh, kakinya lumpuh pula.... heran, dalam keadaan begini, bagaimana dia bisa membunuh dua orang Pulau Neraka bermuka merah?"

   Suara itu halus dan merdu sekali sehingga Bun Beng merasa seolah-olah mimpi. Ia cepat membuka matanya dan.... segera dipejamkannya kembali. Sudah matikah dia? Beginikah rasanya mati dan bertemu bidadari? Kalau sudah mati, kenapa tubuhnya masih terasa nyeri semua dan kakinya masih tak dapat ia gerakkan? Kalau masih hidup, bagaimana mungkin ia bertemu bidadari di tengah lautan? Celaka, jangan-jangan dewi penjaga lautan. Kalau manusia biasa, tak mungkin begitu cantik seperti bidadari, begitu halus, suaranyapun tidak seperti suara manusia, begitu merdu seperti orang bernyanyi, dan mungkinkah seorang manusia semuda dan secantik jelita itu seorang diri saja di tengah lautan?

   "Eh, aku seperti pernah mengenal orang ini, akan tetapi tidak mungkin, mukanya rusak begini mana bisa dikenal? Aihhhh, dia terkena pukulan beracun yang luar biasa! Aduh kasihan sekali, siapa sih orang yang malang ini....?"

   Mendengar suara halus merdu itu yang menyatakan kasihan kepadanya, tak terasa pula kedua mata Bun Beng menjadi panas dan dua butir air mata bertitik turun. Tanpa membuka matanya ia berkata,

   "Mohon pertolongan Pouwsat (Dewi).... hamba masih belum ingin mati karena masih banyak tugas yang harus hamba laksanakan....! Harap Pouwsat tidak kepalang menolong hamba....!"

   "Aihhhh.... otaknya sudah miring pula. Sungguh kasihan. Agaknya penderitaan yang hebat ini membuat otaknya menjadi berubah miring. Tidak mengherankan, jarang ada orang di dunia ini masih dapat hidup setelah mengalami luka-luka parah luar dalam seperti dia ini. Aihhhh, sungguh sialan. Memancing setengah hari tidak mendapat ikan besar, hanya beberapa ekor ikan kecil. Sekali dapat yang besar orang yang tidak waras luar dalam dan pikirannya, apa yang harus kulakukan dengan dia?"

   Bun Beng menghentikan dugaannya yang bukan-bukan. Celaka dua belas, kiranya benar seorang manusia! Disangkanya Kwan Im Pouwsat! Mendengar ucapan terakhir itu, ia menghela napas dan berkata,

   "Kalau kau tidak tahu apa yang harus kau lakukan, nah, lemparkan aku kembali ke laut. Siapa sih yang minta pertolonganmu tadi?"

   "Aihhh.... masih bisa marah? Jelas miring otaknya! Hemmm, mengapa nasibku selalu harus bertemu dengan orang yang jatuh ke laut? Sungguh aneh jaman sekarang ini banyak orang terapung-apung di laut."

   Kini Bun Beng membuka matanya dan kebetulan dara itu pun memandangnya.

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Memang Bun Beng boleh dimaafkan kalau tadi menyangka wanita ini dewi laut atau bidadari karena memang dia seorang dara yang luar biasa cantiknya. Tubuhnya tinggi ramping dengan bentuk tubuh yang hebat, wajahnya begitu jelita seperti gambar, kulitnya putih halus seperti salju, gerak-geriknya ketika berdiri di geladak begitu lemah gemulai seperti batang pohon liu tertiup angin, pakaiannya indah sekali sesuai dengan orangnya, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu digelung tinggi di atas kepalanya, dihias dengan hiasan rambut terbuat dari mutiara. Seorang dara yang.... bukan main. Akan tetapi, begitu dua pasang mata itu saling pandang, hampir berbareng keduanya berseru,

   "Nona Milana....!"

   "Engkau.... Gak-twako.... aih, pantas aku seperti mengenalmu, kiranya engkau Gak Bun Beng! Aduh, bagaimana engkau sampai menjadi begini, Gak-twako?"

   Bun Beng menarik napas panjang, lalu menggunakan kedua lengannya untuk bangkit duduk. Ia menyeringai kesakitan dan dengan sikap lemah lembut Milana membantunya duduk di atas geladak. Sejenak mereka saling pandang. Milana dengan penuh rasa kasihan. Bun Beng dengan penuh rasa kagum dan juga tidak enak hati karena ia berjumpa dengan dara yang sejak kecil berwatak halus ini da-lam keadaan seperti itu. Dara itu kini telah dewasa, bagaikan setangkai bunga sedang mekar semerbak. Bukan main! Seorang dara tujuh belas tahun yang seperti dewi kahyangan! Debar jantung Bun Beng mengatasi segala rasa nyeri dan pemuda ini cepat mengalihkan pandang matanya, menunduk dan menghela napas panjang.

   "Panjang sekali ceritanya, Nona. Akan tetapi yang jelas.... aku dilukai oleh seorang kakek India bernama Maharya dan muridnya, Tan-siucai yang gila...."

   "Ohhh? Mereka yang dulu membunuh Kakek Nayakavhira itu? Yang mencuri Pedang Hok-mo-kiam?"

   "Benar, Nona Milana, engkau masih ingat itu semua? Ingat akan pengalaman kita bertahun-tahun yang lalu itu....?"

   "Tentu saja aku ingat. Pengalaman hebat kita dengan kakek muka kuning, kemudian sampai kita berpisah kembali, selamanya tak dapat kulupa. Aihh, Gak-twako, kenapa mereka melukaimu seperti ini? Ini namanya sengaja menyiksa, mengapa kau tidak dibunuhnya akan tetapi disiksa seperti ini?"

   "Gara-gara Sepasang Pedang Iblis...."

   Jawabnya dan kembali ia merintih dan menyeringai karena dadanya terasa sakit sekali.

   "Sepasang Pedang Iblis?"

   Milana berseru kaget sekali.

   "Benar dan aauuggghh...."

   Bun Beng tak dapat bertahan lagi. Pengerahan tenaga tadi ketika melawan dua orang itu membuat dadanya sakit sekali dan ia roboh pingsan! Ketika Bun Beng siuman kembali, ia berada di atas kuda, di belakangnya duduk Milana. Rasa nyeri menguak ke seluruh tubuhnya, akan tetapi tidak dapat mengatasi debar jantungnya ketika ia merasa betapa tubuhnya setengah ditahan dan dipeluk oleh Milana. Bukan main! Di atas segala rasa nyeri, terasa olehnya kehangatan dan kelunakan tubuh dara itu, membuatnya cepat memejamkan mata kembali dan ingin pingsan terus! Akan tetapi dara itu agaknya telah dapat mengerti bahwa dia telah siuman. Didorongnya tubuh Bun Beng ke depan.

   "Bagaimana, Gak-twako? Apakah kau kuat menunggang kuda bersamaku? Harap kau pertahankan, engkau harus mendapat perawatan yang baik. Agaknya Ibu akan dapat menolongmu...."

   Gadis itu bicara halus dan penuh iba. Bun Beng memaksa tubuhnya untuk duduk tegak di atas kuda yang berjalan perlahan.

   "Aihhh.... aku menyusahkan engkau saja, Nona. Ibumu seorang sakti, akan tetapi aku merasa sangsi apakah Beliau akan dapat menyembuhkan aku. Menurut kata kakek India itu, dalam waktu empat puluh hari aku akan mati sekerat demi sekerat. Melihat rasanya tubuhku, dia agaknya tidak membohong. Darahku telah keracunan, tidak ada yang akan dapat menyembuhkanku. Aahh, semua salahku sendiri, terlalu menurutkan kata hati tanpa mempertimbangkan dan tanpa menyadari bahwa kepandaianku masih amat rendah. Aku berani mengacau Thian-liong-pang.... itulah mula-mula segala malapetaka yang menimpa diriku...."

   "Apa? Kau mengacau Thian-liong-pang?"

   Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Milana mendengar ini. Thian-liong-pang adalah tempat tinggalnya karena ibunya adalah Ketua Thian-liong-pang. Akan tetapi hal ini harus dipegang rahasia, dan dia tidak dapat menceritakannya kepada siapapun juga.

   "Mengapa kau memusuhi Thian-liong-pang?"

   "Perkumpulan iblis busuk itu! Jahat sekali! Mereka menangkap tokoh-tokoh kang-ouw untuk dicuri ilmu mereka. Hemm, dan Ketuanya amat ganas, ke-jam, licik dan sakti. Kiranya hanya Ayahmu, Pendekar Super Sakti To-cu Pulau Es saja yang akan dapat membasmi Thian-liong-pang....!"

   "Gak-twako, orang tidak perlu mencampuri urusan orang lain kalau belum diketahuinya betul keadaannya. Apakah engkau sudah mengenal Ketua Thian-liong-pang sehingga dia kau maki ganas, kejam, licik dan sakti? Kurasa, orang seperti engkau sekalipun akan dapat salah sangka, maka sebaiknyalah kalau kau tidak mencampuri urusan orang-orang lain, terutama Thian-liong-pang atau Pulau Neraka. Mereka amat berpengaruh dan lihai, tidak ada perkumpulan lain atau seorang gagah pun berani lancang menentang mereka."

   Bun Beng mengerutkan alisnya. Mengapa puteri Pendekar Super Sakti, yang tentu memiliki ilmu yang tinggi seperti tadi dia saksikan sendiri ketika menolongnya dengan kail, mengeluarkan ucapan begitu jerih terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka? Dia merasa penasaran melihat sikap Milana seperti ketakutan.

   "Nona, kalau engkau takut terhadap Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, mengapa kau menolongku? Lebih baik kalau kau tinggalkan aku di sini saja!"

   Milana tersenyum sabar mendengar ucapan itu dan melihat betapa Bun Beng bergerak hendak turun dari kuda yang tentu merupakan hal yang sukar bagi pemuda itu karena kakinya lumpuh dan tenaganya habis.

   "Gak-twako, engkau benar-benar seorang yang amat tinggi hati! Aku menolongmu dengan hati tulus ikhlas dan kosong tanpa pamrih, hanya berdasarkan perasaan iba yang akan kulakukan terhadap siapapun juga yang membutuhkan pertolongan seperti engkau. Mengapa harus kudasarkan kepada perasaan takut atau tidak? Twako, apakah engkau menganggap aku seorang pengecut dan penakut yang akan membiarkan orang terluka parah seperti engkau begitu saja tanpa berusaha mengobati dan menolongmu?"

   Ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang halus, sama sekali tidak mengandung kemarahan atau penyesalan sehingga diam-diam Bun Beng merasa terkejut dan teringatlah ia betapa ucapannya tadi kasar dan menyakitkan hati. Maka ia cepat berkata,

   "Maafkan aku, Nona. Bukan sekali-kali aku bermaksud bahwa Nona seorang penakut, hanya.... aku telah dianggap musuh oleh Thian-liong-pang, bahkan kaum Pulau Neraka agaknya juga memusuhiku. Oleh karena itu, betapa hatiku akan merasa berdosa dan menyesal kalau engkau akan dimusuhi mereka pula karena engkau telah menolongku! Aku tidak ingin kau terseret dalam bahaya besar. Biarlah aku saja yang menjadi korban keganasan mereka, jangan sampai engkau terancam pula oleh bahaya."

   Milana tersenyum.

   "Jangan khawatir, Twako. Aku dapat menjaga diri, dan aku tidak akan membiarkan engkau dalam keadaan seperti ini terganggu oleh siapapun juga. Kurasa engkau belum mengenal betul Thian-liong-pang. Menurut pendapatku, Thian-liong-pang, kumaksudkan ketuanya, tidaklah begitu jahat seperti yang kau duga. Perbuatannya yang aneh seperti menculik tokoh-tokoh kang-ouw itu tentu ada latar belakangnya."

   "Aku sudah tahu! Dia menculik mereka untuk diberi minum racun sehingga dalam keadaan mabok dan tidak ingat apa-apa mereka mau saja diadu agar mereka mengeluarkan jurus-jurus simpanan dan dapat dicuri oleh Ketua itu! Dan engkau keliru kalau menganggap Thian-liong-pang tidak jahat! Anak buahnya adalah iblis-iblis yang kejam, yang suka membunuh orang tanpa berkejap mata."

   "Kurasa tidak demikian, Twako. Kalau anak buah Thian-liong-pang ada yang menyeleweng, hal itu tentu di luar pengetahuan Sang Ketua, karena tentu yang menyeleweng akan dihukum. Adapun Ketua itu sendiri, andaikata sampai membunuh orang, tentu ada sebab-sebabnya yang memaksanya. Aku tidak percaya bahwa dia jahat seperti iblis. Hanya engkaulah yang belum mengenalnya betul."

   "Heii, kau seperti membelanya!"

   Bun Beng berkata penasaraan.

   "Engkau tidak tahu, aku telah ditahan dan dijebloskan dalam kamar tahanan di bawah tanah. Nyaris aku dibunuhnya kalau Si Kakek Muka Singa Sai-cu Lo-mo yang mengaku masih paman kakekku itu tidak membujuk Ketua Thian-liong-pang!"

   "Ahhh, jadi begitukah?"

   Milana benar-benar terkejut. Baru sekarang dia mendengar bahwa pemuda ini adalah cucu keponakan Sai-cu Lo-mo!

   "Nona, agaknya engkau mengenal betul keadaan Thian-liong-pang!"

   "Sedikit banyak aku sudah mendengar tentang perkumpulan itu, Twako. Siapakah orangnya yang tidak mendengar tentang Thian-liong-pang yang terkenal? Sudahlah, engkau perlu cepat diobati. Aku mempunyai obat penguat badan, pencuci darah dan penyambung tulang patah. Akan tetapi, racun yang mengancam keselamatan nyawamu tak dapat kuobati, agaknya Ibu akan dapat menolong-mu, akan tetapi...."

   Milana menjadi bingung dan sangsi. Betapa mungkin ibunya akan suka menolong pemuda yang sudah memusuhi Thian-liong-pang ini?

   "Akan tetapi apa, Nona?"

   "Aku.... aku harus mendapatkan air panas untuk mencuci luka-lukamu, dan obatku harus kugodok, maka kita mem-butuhkan alat dapur. Di depan ada sebuah dusun, di sana kau dapat beristirahat, Twako."

   Kuda itu dilarikan cepat dan Bun Beng yang tidak dapat melihat wajah gadis yang duduk di belakangnya itu tidak melihat betapa wajah itu penuh kekhawatiran.

   Juga keadaannya tidak memungkinkan dia setajam biasa, penglihatan maupun pendengarannya, sehingga dia tidak tahu bahwa mereka berdua dibayangi oleh beberapa orang. Akan tetapi Milana tahu akan hal ini maka gadis itu menjadi gelisah, apalagi karena dari gerakan dan tanda para pengejar itu dia tahu bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya! Dalam keadaan setengah sadar karena menderita luka hebat itu, Bun Beng diturunkan dari atas kuda oleh Milana, dibantu oleh seorang petani yang rumahnya disewa gadis itu, dan dibaringkan di atas sebuah dipan kayu sederhana dalam ruangan rumah yang sederhana pula. Setelah petani itu meninggalkan rumahnya yang telah dibayar sewanya secara royal oleh Milana untuk waktu seminggu,

   Milana sibuk memasak obat, kemudian mencuci muka Bun Beng dengan air hangat, membersihkan darah dari pipi dan bibir, menaruh obat luka di tempat yang terobek sepatu Tan-siucai kemudian memberi obat yang telah dimasaknya. Bun Beng menjadi terharu, bukan oleh pertolongan yang dianggapnya wajar karena hal itu dapat ia harapkan dari setiap orang manusia yang masih memiliki kasih sayang di antara manusia. Bukan, bukan pertolongan itu yang mengharukan hatinya, melainkan sentuhan-sentuhan jari tangan yang demikian lembut, pandang mata yang demikian halus, perhatian yang demikian penuh dicurahkan kepada dirinya. Kalau wajah itu tidak demikian cantik jelita dan masih amat muda, tentu dia tidak akan yakin bahwa yang merawatnya itu bukan ibunya! Hanya ibunya sendiri sajalah agaknya yang akan merawat anaknya seperti itu!

   "Nah, biarpun obatku tak mungkin mengusir racun dari tubuhmu, setidaknya engkau akan merasa tenang dan tidak begitu menderita nyeri lagi, Twako. Dan obat yang kugosokkan pada lututmu itu, dalam waktu sepekan tentu akan memulihkan kembali sambungan kedua lututmu sehingga engkau akan dapat berjalan lagi."

   "Nona Milana.... terima kasih. Engkau....!"

   "Husshhh.... tidurlah, Twako. Aku akan masak bubur dan membuatkan minuman teh...."

   Gadis itu menjauhi dipan dan mulai sibuk membuat bubur dan membelakangi Bun Beng karena dia hendak menyembunyikan wajahnya yang penuh kegelisahan. Dia bukan seorang ahli pengobatan, namun sedikit pengetahuan yang dimilikinya cukup membuat dia tahu bahwa pemuda itu menderita luka keracunan yang amat hebat. Biarpun dia tahu ibunya sakti, namun ibunya sendiri pun belum tentu dapat menyembuhkan pemuda itu. Yang membuat dia gelisah bukan main adalah kenyataan bahwa Bun Beng memusuhi Thian-liong-pang! Mungkinkah ibunya suka menolongnya? Bun Beng dapat tidur pulas berkat obat Milana yang agaknya mengandung pula obat tidur.

   Hari telah mulai gelap dan Milana menyalakan tiga batang lilin di tempat lilin kuno yang tergantung di sudut ruangan. Beberapa kali dia melihat berkelebatnya bayangan orang di luar rumah dan dia tahu bahwa itu adalah orang-orang Thian-liong-pang, anak buah ibunya. Bahkan dia mengenal pula siapa yang memimpin rombongan delapan orang Thian-liong-pang itu, ialah sepasang kakak beradik kembar yang amat lihai. Dia tahu bahwa dua orang kembar itu, Su Kak Liong dan Su Kak Houw, adalah dua orang kepercayaan ibunya dan sudah sering diutus melakukan hal-hal berbahaya di luar perkumpulan yang selalu dilaksanakan dengan hasil baik. Sejak kecil Milana tidak pernah diberi tahu oleh ibunya akan urusan Thian-liong-pang, namun karena dia digembleng ilmu oleh ibunya sendiri,

   Dia tahu bahwa kepandaian dua orang kembar ini hanya bertingkat sedikit di bawah tingkat pembantu-pembantu ibunya seperti Lui-hong Sin-ciang Chie Kang atau Sai-cu Lo-mo sendiri! Apalagi Su Kak Houw, setelah lengan kanannya lumpuh dalam sebuah pertempuran melawan orang pandai, menerima sebuah ilmu pukulan yang amat dahsyat dari ibunya. Ilmu ini didasari latihan khusus pada jari dan telapak tangan kiri dengan pengerahan sin-kang dan gerakan khusus pula, membuat tangan kiri Su Kak Houw ini luar biasa kuatnya, dapat dipakai menangkis senjata-senjata logam yang kuat dan tajam, bahkan tangan itu dapat dipakai membacok seperti sebatang golok tajam. Karena inilah maka dia terkenal sebagai Toat-beng-to (Golok Pencabut Nyawa). Sebuah julukan yang lucu dan aneh karena selamanya tokoh ini tidak pernah menggunakan golok dalam pertandingan, apalagi membunuh orang dengan golok.

   Dia hanya menggunakan lengan kirinya, namun lawannya yang terluka atau tewas, roboh dengan luka-luka seperti dibacok sebatang golok besar yang tajam! Biarpun maklum bahwa pondok yang disewanya itu dikurung oleh sedikitnya delapan orang termasuk Si Kembar, Milana bersikap tenang-tenang saja. Dia merasa yakin bahwa selama Bun Beng berada bersamanya, tak ada seorang pun anggauta Thian-liong-pang yang akan berani turun tangan! Maka dia pura-pura tidak tahu akan kehadiran mereka, sungguhpun dia tahu pula bahwa Si Kembar itu sengaja beberapa kali bergerak di depan jendela supaya terlihat oleh Milana dan supaya ditegur oleh puteri Ketua Thian-liong-pang itu. Namun, dia tidak mau menegur mereka dan terus melanjutkan mempersiapkan makan dan minum sederhana untuk Bun Beng dan dia sendiri.

   Dugaan Milana tepat sekali. Kedua orang kembar she Su itu memimpin enam orang anggauta Thian-liong-pang tingkat pertengahan, bertugas melakukan penyelidikan dan pengejaran terhadap Gak Bun Beng yang berhasil lolos dari tempat tahanan di bawah tanah. Dapat dibayangkan betapa heran dan terkejut hati mereka ketika melihat pemuda itu dalam keadaan luka berat, naik kuda bersama puteri Ketua mereka! Tentu saja hal ini membuat mereka bingung dan tidak bergerak turun tangan, bahkan menegur saja mereka tidak berani! Mereka merasa ngeri memikirkan kemungkinan hukuman yang akan dijatuhkan Ketua Thian-liong-pang terhadap mereka kalau mereka mengganggu Milana! Sampai lama mereka memancing agar ditegur lebih dulu oleh Milana sehingga mereka dapat melapor akan tugas yang mereka terima dari Ketua Thian-liong-pang,

   Akan tetapi sungguh membuat mereka makin bingung ketika dara itu sama sekali tidak peduli seolah-olah tidak melihat mereka. Akhirnya, kedua orang saudara kembar itu mengambil keputusan untuk memasuki pondok dan langsung menghadap Milana! Ketika dua orang laki-laki yang mukanya menyeramkan, rambutnya awut-awutan itu muncul dari pintu pondok pada keesokan harinya, Bun Beng sudah bangun dari tidurnya, merasa tubuhnya tidak begitu tersiksa lagi oleh rasa nyeri, sungguhpun kedua kakinya masih lumpuh tak dapat digerakkan. Tidur semalam dengan nyenyak memulihkan tenaga di tubuh bagian atas. Tampak olehnya Milana sedang memasak air di sudut pondok. Bun Beng menarik napas panjang dan hal ini terdengar oleh dara itu yang segera menoleh memandang dan tersenyum manis.

   "Engkau sudah bangun? Bagaimana tubuhmu?"

   Sejenak Bun Beng tak mampu menjawab, lehernya seperti tercekik. Sejak malam tadi, Milana kelihatan sibuk terus mengurus dan merawat dirinya. Apakah tidak tidur semalam? Dan melihat gadis itu di pagi hari ini, membuat Bun Beng terpesona. Belum pernah dia melihat wajah secantik itu. Bukan main! Meremehkan segala kecantikan yang pernah dilihat sebelumnya. Milana memiliki kecantikan yang aneh, tidak seperti biasa dan mengadung sesuatu khas yang takkan terdapat pada wajah selaksa orang gadis cantik lainnya.

   "Aihh, kenapa engkau diam saja, Twako?"

   Bun Beng menjadi gugup dan kedua pipinya merah sekali.

   "Maaf.... eh, aku.... aku sedang memikirkan bahwa sesungguhnya tidak perlu engkau bersusah payah untuk aku, Nona. Engkau terlalu baik dan aku merasa tidak layak menerima kebaikan yang berlebihan ini, membuat aku berhutang budi dan.... bagaimana aku akan mampu membalasmu?"

   Milana tersenyum lebar.

   "Ya jangan dibalas karena aku tidak menghutangkan apa-apa!"

   Sebelum pemuda itu menjawab, Milana mendahului dengan sikap dan suara bersungguh-sungguh.

   "Gak-twako, mengapa engkau masih saja memperlihatkan sikap sungkan? Bukankah kita berdua telah mengenal sejak kecil dahulu? Kalau seandainya aku yang tertimpa bencana seperti engkau sekarang ini dan bertemu denganmu, apakah engkau tidak akan sudi menolongku?"

   "Ah, tentu saja!"

   Jawab Bun Beng cepat.

   "Kalau melihat engkau sungkan-sungkan seperti ini, agaknya engkau pun tentu akan segan dan sungkan menolongku."

   "Demi Tuhan! Tidak, Nona. Aku akan melaksanakan apa saja, kalau perlu mengorbankan nyawa untuk menolongmu!"

   Milana tersenyum lagi dan membungkuk.

   "Terima kasih, Twako. Nah, kalau begitu kita sama-sama, bukan? Tidak ada hutang-pihutang budi, yang ada hanya kebetulan saja engkau yang membutuhkan pertolongan dan aku yang dapat menolongmu dan.... ohhhh!"

   Milana cepat membalikkan tubuh memandang kepada dua orang pembantu ibunya yang memasuki pondok itu dengan sikap takut-takut. Bun Beng juga bangkit duduk di atas dipan, memandang kepada dua orang itu, sikapnya tenang.

   "Kalian mau apa?"

   Milana yang merasa khawatir itu segera membentak. Dia tidak khawatir kalau orang-orang Thian-liong-pang ini menyerang Bun Beng, tentu tidak akan berani selama dia menjaga pemuda itu. Akan tetapi dia lebih khawatir kalau munculnya orang-orang itu akan membuka rahasianya, yaitu bahwa dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, bahwa ibunya yang sudah dikenal Bun Beng sebagai isteri Pendekar Super Sakti itulah sesungguhnya Ketua Thian-liong-pang! Kedua orang itu cepat menjura dengan penuh kehormatan kepada Milana kemudian Su Kak Liong, yang tertua di antara mereka, tentu saja hanya lebih tua beberapa jam daripada Su Kak Houw, berkata hormat.

   "Harap Siocia (nona) sudi memaafkan kami yang lancang. Akan tetapi, karena kami melaksanakan perintah Pangcu terpaksa...."

   "Cukup! Pergilah, aku tidak mau diganggu!"

   Milana membentak marah dan kedua orang itu menjadi pucat, saling memandang dengan bingung. Yang lebih bingung lagi adalah Bun Beng. Kini dia mengenal kedua orang itu yang hadir ketika dia berada di Thian-liong-pang. Tak salah lagi, mereka adalah dua orang tokoh Thian-liong-pang dan agaknya utusan dari Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi mengapa mereka bersikap begitu hormat dan takut-takut terhadap Milana? Su Kak Liong mengeluarkan sebuah benda dari saku bajunya, memperlihatkannya kepada Milana yang seketika menjadi pucat. Dara itu menutup mulut dengan jari tangan seolah-olah hendak menahan jeritnya, matanya terbelalak memandang ke arah benda kecil di atas telapak tangan Su Kak Liong yang ternyata adalah sebuah benda besi hitam berbentuk tengkorak kecil sekali.

   "Ohhh.... tidak....!"

   Milana berseru lirih.

   "Siocia maklum apa artinya perintah ini. Kami harus membunuh dan menghadapi rintangan apa pun, karena kegagalan kami harus kami tebus dengan nyawa. Sekali lagi, harap sudi memaafkan kelancangan kami yang hanya kami lakukan dengan terpaksa sekali, untuk melaksanakan perintah Pangcu. Houw-te (Adik Houw), bunuh dia!"

   Su Kak Houw sudah siap sejak tadi. Si Lengan Buntung ini pun maklum bahwa sekali kakaknya mengeluarkan tanda perintah membunuh dari Ketua mereka, tentu puteri ketua ini sekalipun tidak akan berani menghalangi tugas mereka. Maka, begitu mendengar perintah kakaknya sebagai pemegang tanda perintah itu, dia cepat melompat mendekati pembaringan Bun Beng, dilanjutkan dengan terjangannya yang dahsyat,

   Sekalipun menggunakan tangan kirinya membacok dengan gerakan dan pengerahan tenaga sakti. Bacokan tangan miring yang dapat membacok putus baja dan besi, yang membuat dia dijuluki Toat-beng-to karena seolah-olah tangan kirinya berubah menjadi sebuah golok pusaka yang luar biasa ampuhnya! Menghadapi serangan yang amat dahsyat ini, Bun Beng kehabisan akal dan biarpun dia mengambil keputusan untuk melawan dan tidak menyerahkan nyawanya begitu saja, namun ia maklum bahwa dia terancam bahaya maut. Akan tetapi, angin pukulan yang amat hebat itu mengingatkan dia akan suara angin ketika dia bersama kakek muka kuning Pulau Neraka naik layang-layang dan di serang badai. Teringat ia akan pelajaran dari kakek itu cara menghadapi serangan badai dan cara menyelamatkan layang-layang berikut dirinya.

   

Kisah Pendekar Bongkok Eps 6 Pendekar Super Sakti Eps 16 Pendekar Super Sakti Eps 32

Cari Blog Ini