Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 29


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 29




   Jilid 28
Hal kedua yang membuat dia marah saking cemasnya adalah nasib Syanti Dewi yang ditinggalkan sendirian di dalam benteng! Kian Lee dan Kian Bu berangkat meninggalkan kota raja setelah menerima pesan dari Puteri Milana dan Jenderal Kao. Mereka diberi tanda-tanda pengenal sebagai pembantu Jenderal Kao dan pembantu Puteri Milana agar tidak mengalami kesulitan di dalam perjalanan, karena dalam keadaan kacau dan gawat itu, perjalanan ke utara tentu amat sukar dan terdapat banyak rintangan berbahaya. Dua orang pemuda Pulau Es ini melakukan perjalanan dengan terpaksa. Sebetulnya mereka tidak tahu apa-apa tentang pertentangan antara kerajaan dan pemberontak itu, dan hal itu pun tidak menarik hati mereka.

   Semenjak kecil mereka berada di Pulau Es dan tidak pernah mendengar atau tahu akan keadaan pemerintahan, maka kekacauan yang terjadi ini hanya menjemukan hati mereka. Akan tetapi, karena ada kakak mereka, Puteri Milana yang langsung tersangkut, mereka melakukan tugas itu sebagai perintah kakak mereka dan hal ini tentu saja menyenangkan hati mereka karena mereka merasa berguna bagi kakak mereka itu. Selain itu, juga sebagai dua orang muda remaja, mereka masih haus akan pengalaman. Di sepanjang perjalanan yang mereka lakukan dengan cepat itu, di setiap dusun dan kota, Kian Lee selalu mengajak adiknya untuk berputar kota lebih dulu, dan biarpun Kian Bu diam-diam maklum bahwa kakaknya ini mencari seseorang atau setidaknya menyelidiki seseorang, dan seseorang itu pun telah dia ketahui siapa.

   Karena mereka mendapat tugas untuk menyelamatkan Syanti Dewi yang oleh Jenderal Kao ditinggalkan di dalam bentengnya, maka dua orang kakak beradik itu langsung menuju ke kota benteng itu dan ketika mereka tiba di kota itu, kota yang dikelilingi benteng amat kuatnya, mereka mendengar berita yang amat mengejutkan hati. Mereka berdua bercampur dengan rakyat yang menjadi panik, pengungsi-pengungsi yang kebingungan, ada yang mengungsi keluar dari kota, akan tetapi ada pula yang malah mencari perlindungan di kota itu sehingga keadaan kota itu ramai sekali dengan para pengungsi yang hilir mudik. Tampak tentara berseliweran di setiap tempat dan suasana tegang terasa di dalam kota itu. Ternyata kota benteng itu telah terjatuh ke tangan kaum pemberontak!

   Setelah Jenderal Kao pergi ke kota raja, beberapa malam kemudian timbul keributan di dalam benteng. Panglima Kim Bouw Sin dilepaskan orang-orang lihai dari penjara, kemudian panglima itu menggunakan pengaruhnya untuk menguasai pimpinan. Para panglima dan perwira yang menentangnya dibunuh karena pada malam hari itu juga banyak muncul orang-orang pandai di kota itu, juga pasukan istimewa dari kaum pemberontak tahu-tahu telah memasuki kota. Gegerlah keadaan di situ. Pasukan yang masih setia kepada Jenderal Kao atau kepada kerajaan tentu saja tidak sudi dikuasai pemberontak, akan tetapi karena Jenderal Kao tidak ada dan para penglima dan perwira yang masih setia telah dibunuh, yang masih hidup telah menakluk kepada pemberontak, maka pasukan-pasukan itu kehilangan pegangan dan mereka lalu melarikan diri keluar dari benteng, lari ke selatan!

   Mereka tidak mampu mengadakan perlawanan tanpa ada yang memimpin mereka. Lebih dari tiga perem-pat jumlah pasukan yang berada di benteng itu melarikan diri, tersebar tidak karuan di daerah selatan dari benteng itu. Berita ini tidak begitu diperhatikan oleh Kian Lee dan Kian Bu, akan tetapi mereka terkejut sekali ketika mendapat keterangan bahwa Puteri Syanti Dewi yang berada di benteng itu telah lenyap tanpa ada yang tahu ke mana! Bahkan tidak ada yang tahu bahwa puteri itu adalah Syanti Dewi, hanya kedua orang kakak beradik ini mendengar bahwa Jenderal Kao mempunyai seorang anak angkat atau anak keponakan perempuan yang berada di benteng itu dan yang ternyata lenyap tanpa ada yang tahu ketika terjadi kerlbutan di benteng itu.

   "Wah, celaka, kita harus mencarinya, Lee-ko!"

   "Hemm, mencari ke mana? Kita tidak tahu dia lari atau dilarikan ke mana."

   "Jangan-jangan dia terjatuh ke tangan pemberontak! Bagaimana kalau kita menyerbu ke benteng dan mencarinya di sana?"

   "Terlampau berbahaya, Bu-te. Penjagaan tentu ketat sekali. Pula, mengingat akan cerita Jenderal Kao, andaikata Puteri Syanti Dewi terjatuh ke tangan pemberotak sekalipun, agaknya dia tidak akan diganggunya, bahkan mungkin diantarkan kepada Pangeran Liong Khi Ong, calon suaminya. Dan kita sudah menyelidiki cukup teliti, baik dari pihak yang pro pemberontak maupun yang anti, mereka menceritakan berita yang sama bahwa puteri itu lenyap di dalam keributan."

   "Habis, apa yang harus kita perbuat sekarang?"

   "Tidak ada lain jalan, kita kembali ke kota raja dan di sepanjang perjalanan kita harus memasang mata dan telinga, mencari-cari barangkali puteri itu melarikan diri bersama para pengungsi. Andaikata tidak berhasil, kita kembali dan melapor kepada Enci Milana dan Jenderal Kao tentang keadaan di benteng ini."

   "Akan tetapi aku masih menduga bahwa agaknya Sang Puteri ditawan oleh pemberontak. Menurut penuturan Enci Milana, Panglima Kim yang memberontak itu kini bermarkas di kota Teng-bun, sebaiknya kalau kita mengambil jalan melalui pusat pemberontak itu, sambil mencari-cari."

   "Baiklah, Bu-te."

   "Lee-ko, sudah jelas bahwa aku akan mencari Puteri Syanti Dewi untuk memenuhi perintah Enci Milana, akan tetapi agaknya yang kau cari adalah puteri lain lagi, bukan Syanti Dewi."

   "Hemmm, maksudmu....?"

   "Engkau mencari adiknya, Candra Dewi atau Lu Ceng!"

   Wajah Suma Kian Lee menjadi merah.

   "Bu-te! Sekarang bukan waktunya main-main!"

   Melihat kakaknya marah, Kian Bu tidak berani menggoda lebih lanjut lagi dan keduanya lalu keluar dari kota benteng itu dengan aman karena mereka mencampurkan diri di antara rombongan para pengungsi. Hanya mereka yang masuk kota itu yang digeledah oleh para penjaga pemberontak, yang keluar dari situ hanya diawasi saja penuh perhatian. Kota Teng-bun yang dimaksudkan sebagai pusat atau markas besar para pemberontak itu terletak agak ke barat, merupakan kota yang dikelilingi tembok benteng kokoh kuat dan terletak di lereng bukit, dikelilingi perbukitan sehingga merupakan tempat yang sukar untuk diserbu dari luar.

   Karena mereka ingin menyelidiki tempat ini kalau-kalau Syanti Dewi dibawa oleh pemberontak ke tempat itu, kedua kakak beradik ini membelok ke barat. Perjalanan menjadi sunyi karena arus pengungsi semua menuju terus ke selatan atau ke utara dan timur, tidak ada yang ke barat karena semua orang menjauhi Teng-bun yang sewaktu-waktu tentu akan menjadi medan perang. Pada suatu hari mereka tiba di sebuah dusun yang kelihatan aman dan tenteram, masih agak jauh dari Teng-bun. Di luar dusun itu terdapat perkemahan tentara, yaitu pasukan yang masih setia kepada kerajaan, dipimpin oleh seorang panglima bawahan Jenderal Kao yang mempertahankan atau menjaga daerah itu sebagai daerah terdepan di sebelah barat, bahkan paling depan atau paling dekat dengan Teng-bun, pusat pemberontak.

   Panglima Thio Luk Cong itulah yang mengutus penyelidik Puteri Milana untuk cepat pergi ke kota raja melapor kepada Puteri Milana tentang gerakan pemberontak yang menguasai benteng dan yang kini berpusat di Teng-bun itu. Dia sendiri bersama pasukannya lalu menetap di luar dusun Ang-kiok-teng itu untuk berjaga-jaga sambil menanti bala bantuan yang pasti akan datang dari kota raja. Ketika Kian Lee dan Kian Bu memasuki dusun itu, penduduk dusun kelihatan tenang-tenang saja karena memang pasukan Panglima Thio melakukan penjagaan yang ketat dan menjaga keamanan dengan baik. Juga jumlah pasukan makin bertambah saja karena banyak pula di antara anggauta pasukan dari benteng Jenderal Kao yang melarikan diri, tiba di tempat itu dan segera menggabungkan diri dengan pasukan Panglima Thio Luk Cong.

   "Aku lelah sekali, Lee-ko. Mari kita beristirahat dulu di rumah penginapan."

   Kian Lee menyetujui permintaan adiknya.

   Memang mereka telah melakukan perjalanan jauh yang tidak berhenti, dan tadipun begitu memasuki dusun, Kian Lee sudah lantas melakukan kebiasaannya berputar dusun untuk mencari.... Lu Ceng, karena benar seperti yang pernah dikatakan Kian Bu, pemuda ini lebih mementingkan mencari Lu Ceng daripada mencari Syanti Dewi! Rumah penginapan di dusun itu kosong karena memang tidak ada pengunjung datang di dusun itu. Dengan mudah mereka memperoleh sebuah kamar. Kian Lee duduk di bangku dan Kian Bu segera merebahkan diri di atas pembaringan sambil memijit-mijit pahanya yang terasa lelah sekali. Pelayan penginapan itu masuk membawa teh panas untuk tamu baru ini, membungkuk hormat sambil meletakkan poci dan cawan di atas meja. Melihat Kian Bu rebah memijit-mijit pahanya, dengan ramah dia bertanya,

   "Engkau lelah sekali, Kongcu?"

   "Wah, kakiku lelah sekali...."

   Kian Bu menjawab, tertarik oleh keramahan pelayan itu, tidak mempedulikan pandang mata kakaknya yang penuh curiga.

   "Kebetulan sekali, di dekat sini terdapat seorang ahli pijat yang pandai, Kongcu. Dia seorang yang buta matanya, akan tetapi setiap jari tangannya bermata dan dapat mencari semua kelelahan Kongcu dan mengusirnya."

   Kian Bu tertawa.

   "Begitukah? Coba panggil dia ke sini dan suruh dia mengusir kelelahan kakiku ini!"

   "Baik, baik, Kongcu, kautunggu sebentar."

   Bergegas pelayan itu pergi dari kamar itu. Setelah pelayan itu pergi, Kian Lee menegur adiknya,

   "Bu-te, engkau ini ada-ada saja! Aku melihat sikap pelayan itu amat mencurigakan seolah-olah dia terlalu memperhatikan kita."

   "Aihh, Lee-ko, aku memang lelah sekali, kalau memang betul tukang pijat itu pandai, apa sih salahnya kalau dia menghilangkan kelelahanku? Dan pelayan itu adalah seorang yang ramah, agaknya girang dia karena akhirnya rumah penginapan yang sunyi dan kosong ini memperoleh tamu juga."

   Tak lama kemudian pelayan itu sambil tersenyum-senyum datang lagi memasuki kamar menuntun seorang kakek buta yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih.

   "Kongcu mana yangg merasa lelah kakinya?"

   Kakek itu bertanya dengan suaranya yang lemah dan agak gemetar. Pelayan itu menuntunnya mendekati pembaringan Kian Bu.

   "Inilah Kongcu yang ingin kaupijat kakinya, Lo-sam!"

   Kata Si Pelayan. Kakek buta itu menjulurkan tangan meraba-raba. Takut kalau kakek itu meraba yang bukan-bukan, Kian Bu lalu menangkap tangan itu dan mendekatkannya ke arah kakinya sambil berkata,

   "Di sini kakiku, Lopek."

   Kakek itu meraba-raba kaki Kian Bu, melepaskan tongkatnya ke atas lantai sambil berkata,

   "Hemm...., hemmm.... kasihan kedua kakimu, Kongcu. Tentu sedikitnya telah lima hari dipergunakan untuk berjalan kaki terus-menerus siang malam. Otot-ototnya sampai menegang dan keras begini."

   Mulailah dia memijit-mijit kaki Kian Bu dan pemuda ini harus mengaku bahwa tukang pijit itu amat pandai memijit. Jari-jari yang berkulit halus itu dengan lembutnya memijit-mijit dan meraba-raba tepat pada otot-otot besar sehingga mengendurkan otot-otot yang tegang dan melancarkan kembali jalan darah. Juga terasa enak menyenangkan. Tidak terlalu dilebih-lebihkan ucapan pelayan tadi. Tukang pijat ini benar pandai, biarpun matanya buta namun jari-jari tangannya seperti mempunyai mata yang dapat mencari otot-otot kakinya.

   "Lee-ko, sebaiknya engkau juga menyuruh dia memijit kakimu. Enak dan dapat melenyapkan lelah,"

   Kian Bu berkata.

   "Ah, aku tidak begitu lelah, Bu-te. Dipakai beristirahat sebentar saja pun akan pulih,"

   Jawab kakaknya. Tiba-tiba pintu kamar diketuk orang dan ternyata Si Pelayan tadi yang masuk, diiringkan oleh seorang tentara berpangkat perwira yang usianya sudah tiga puluh tahun lebih, berkumis pendek dan berwajah ramah.

   "Maafkan kalau saya mengganggu, Ji-wi Kongcu. Ciangkun ini datang diutus oleh panglima untuk memanggil tukang pijit!"

   "Ah, bagaimana ini? Aku belum selesai dipijit!"

   Suma Kian Bu berseru.

   "Tidak mengapa, saya bisa menanti sebentar sampai engkau selesai dipijit, orang muda. Komandan kami bukan seorang yang keras, dan tentu beliau suka menunggu, apalagi karena sekarang beliau sedang menjamu dua orang tamu yang agaknya merupakan tamu agung yang amat penting."

   Kian Lee menjadi tertarik. Dalam suasana seperti sekarang ini, setiap peristiwa mengenai komandan pasukan yang menerima tamu merupakan hal yang penting.

   "Siapakah tamu-tamu agung, itu, Ciangkun?"

   Perwira itu agaknya senang bercerita. Dia duduk di atas bangku dan menerima suguhan teh panas dari pelayan, minum tehnya lalu berkata,

   "Kami semua tidak mengenal siapa adanya dua orang itu. Yang seorang laki-laki setengah tua, pakaiannya biasa saja seperti seorang petani sederhana, akan tetapi orang ke dua adalah seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Biarpun pakaian gadis itu pun sederhana, akan tetapi kecantikannya sungguh sukar dicari bandingannya...."

   "Berapa kira-kira usia gadis itu dan bagaimana perawakannya?"

   Tiba-tiba Kian Lee bertanya, otomatis dia tertarik sekali dan membayangkan Ceng Ceng.

   "Ah, tentu tidak akan lebih dari tujuh belas tahun, akan tetapi sikap dan sinar matanya seperti seorang wanita yang sudah matang dan dewasa, bentuk tubuhnya ramping, air mukanya angkuh dan agung, pendiam...."

   Jantung di dalam dada Kian Lee berdebar. Tentu Lu Ceng gadis itu! Kian Bu juga menduga demikian dan diam-diam dia melirik kepada kakaknya.

   "Apakah komandanmu suka pijit, Ciangkun?"

   Tanya Kian Lee.

   "Sebetulnya tidak, akan tetapi beliau mendengar berita dari anak buah bahwa di dusun ini kedatang-an seorang tukang pijit yang pandai. Beliau tertarik dan menyuruh saya datang menjemputnya."

   Kian Bu sejak tadi diam saja, lalu berkata kepada tukang pijit itu,

   "Sudah cukup, Lopek. Kau kuharap menanti di luar, aku hendak bicara penting dengan Ciangkun ini."

   Kian Bu berteriak memanggil pelayan tanpa memberi kesempatan kepada Kian Lee yang memandangnya dengan heran itu untuk mengeluarkan suara, kemudian minta kepada pelayan untuk mengantar tukang pijit itu keluar dan menanti mereka di sana. Setelah pelayan dan tukang pijit itu keluar, baru dia berkata kepada perwira itu,

   "Ciangkun, terpaksa aku menyuruhnya keluar karena apa yang akan kukatakan ini tidak enak untuk dia. Berita bahwa dia pandai memijat itu bohong sama sekali. Pijitannya tidak enak, dia tidak tahu tentang otot-otot dan orang yang kelelahan kalau dipijit olehnya akan menjadi makin lelah. Komandanmu akan marah kalau dipijat oleh dia."

   "Kalau begitu, kenapa engkau membiarkan dirimu dipijit olehnya, orang muda?"

   Kian Bu tertawa.

   "Engkau tidak mengerti, Ciangkun. Ketahuilah bahwa kami berdua kakak dan adik adalah keturunan tukang pijit yang amat pandai, bahkan kakek kami dahulu biasa memijiti Kaisar dan keluarganya! Sebagai ahli-ahli pijat, ketika kami tadi mendengar bahwa di sini terdapat seorang tukang pijat pandai, tentu saja kami tertarik dan ingin mengujinya. Kiranya dia hanya tukang pijit yang ngawur saja. Orang seperti itu hendak kau suruh memijati komandanmu? Ah, engkau akan mendapat marah, Ciangkun."

   Perwira itu memandang dengan curiga dan tidak percaya.

   "Dia sudah tua, dan lagi buta, sudah pantas kalau menjadi tukang pijat yang pandai. Akan tetapi kalian? Orang-orang muda begini.... mana bisa memijat....?"

   "Ha-ha, ucapan seperti itu, keheranan itu sudah sering sekali kami dengar, dan orang tidak akan percaya sebelum membuktikannya sendiri. Nah, sebaiknya kau coba sendiri, Ciangkun. Kami tidak membohongimu, ke sinilah, biar kau rasakan pijatan ajaib dari tanganku."

   Dengan pandang mata masih tidak percaya perwira itu tersenyum menghampiri lalu duduk di atas pembaringan Kian Bu. Pemuda itu lalu mulai memijati kedua pundak dan tengkuknya. Tentu saja diam-diam dia mengerahkan sedikit tenaga Hwi-yang Sin-kang sehingga perwira itu merasa betapa hawa yang hangat mendatangkan nikmat menyelusuri tubuh-nya, dan betapa jari-jari tangan pemuda itu dengan amat tepat menyentuh otot-ototnya sehingga sebentar saja dia terasa keenakan, tubuhnya terasa nyaman dan kantuk mulai menyerangnya, membuat matanya meram melek!

   "Nah, bagaimana rasanya, Ciangkun?"

   Kian Bu bertanya dan menghentikan pijatannya. Perwira itu terbangun dari keadaan setengah pulas dan terkejut.

   "Aih, benar hebat sekali engkau, orang muda. Pijatanmu amat hebat dan luar biasa sekali, terasa oleh seluruh tubuh, menghilangkan capai dan membuat aku mengantuk. Dan saudaramu ini pun mahir?"

   "Kakakku ini malah lebih pandai daripada aku, Ciangkun. Kalau engkau suka mengajak kami berdua ke sana, tentu komandanmu akan puas sekali dan memujimu."

   Tiba-tiba sikap perwira itu berubah. Pandang matanya tajam menyelidik ketika dia bertanya,

   "Orang muda, kenapa engkau ingin sekali ikut dengan aku ke perkemahan kami?"

   Sebetulnya, kalau mereka berdua memperlihatkan surat kuasa dari Jenderal Kao dan Puteri Milana, tentu perwira itu segera akan tunduk dan taat. Akan tetapi mereka tidak ingin sembarang orang mengenal bahwa mereka adalah orang-orang kepercayaan Jenderal Kao atau Puteri Milana, dan kalau tidak perlu sekali, mereka tidak akan sembarangan memperkenalkan diri.

   "Ciangkun, harap kau tidak mencurigai kami kakak dan adik,"

   Tiba-tiba Kian Lee yang mengerti akan maksud adiknya agar mereka dapat dibawa ke perkemahan untuk melihat apakah dara yang diceritakan tadi benar-benar Ceng Ceng atau bukan, segera berkata meyakinkan,

   "Sesungguhnya biarpun kami adalah ahli-ahli pijat, kami tidak mempergunakan kepandaian kami untuk mencari uang. Akan tetapi.... terus terang saja, kami telah kehabisan. Kami meninggalkan kota benteng Khi-ciang yang geger, pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan semua milik kami, hanya membekal uang dan pakaian seadanya. Akan tetapi di tengah jalan, kami kehabisan uang. Tadi mendengar bahwa komandan Ciangkun suka dipijit, adikku menawarkan diri karena tentu komandanmu suka membayar mahal, dan belum para perwira yang membiarkan kami memijatnya, tentu akan dapat kami mengumpulkan sedikit uang untuk bekal perjalanan."

   Perwira itu mengangguk-angguk.

   "Baiklah, memang sudah kubuktikan sendiri kemampuanmu memijat. Akan tetapi, tukang pijit buta itu pun harus kubawa agar jangan aku mendapat marah dari komandan."

   Maka berangkatiah perwira itu bersama Kian Lee, Kian Bu, tukang pijit buta yang digandeng oleh pelayan. Karena rumah penginapan itu sepi, Si Pelayan boleh mengantarkan si tukang pijat buta untuk nanti sekedar mendapat persen, karena memang Si Buta itu harus ada pengantarnya. Demikianlah, dengan amat mudahnya mereka memasuki benteng perkemahan pasukan yang dipimpin oleh komandan Panglima Thio Luk Cong itu.

   Akan tetapi ternyata penjagaan dilakukan amat ketat dan tidak mudahlah bagi kedua orang kakak beradik itu dapat bertemu dengan dara yang diceritakan tadi. Bahkan tidak mudah pula bagi mereka untuk dapat bertemu dan memijat panglima yang masih bercakap-cakap di kamar tamu dengan dua orang tamu agungnya. Sambil menanti keluarnya Sang Panglima, mereka itu diuji dulu oleh para perwira tinggi yang menaruh curiga. Diam-diam Kian Bu merasa mendongkol. Dia ingin agar mereka segera dapat bertemu dengan komandan dan terutama sekali dengan dua orang tamu, orang setengah tua dan dara yang diceritakan tadi. Dia tahu bahwa betapa kakaknya sudah panas dingin membayangkan bahwa gadis itu tentulah gadis yang dicarinya, karena selain Lu Ceng siapa yang memiliki kecantikan demikian hebat dan diterima sebagai tamu agung oleh seorang panglima?

   Akan tetapi para perwira tinggi yang menyambut mereka demikian bercuriga, maka dia lalu mendemonstrasikan kepandaiannya memijit! Seorang perwira dipijitnya, dan tiga kali raba saja dia telah memijit dengan tepat dan perwira itu pun tidur pulas! Hal ini mengherankan banyak perwira. Beberapa orang maju lagi dan kini Kian Lee terpaksa mengikuti jejak adiknya. Beberapa kali dua orang kakak beradik ini memijit para perwira dan sebentar saja mereka sudah tidur nyenyak di atas kursi! Seorang perwira tinggi bertubuh kurus memasuki ruangan yang ramai oleh gelak tawa para perwira ini. Dia adalah wakil panglima, bernama Louw Kit Siang, seorang ahli lwee-keh yang tentu saja menjadi curiga menyaksikan sepak-terjang dua orang "tukang pijat"

   Muda itu. Cepat dia melangkah maju dan berkata kepada Kian Bu,

   "Hemm, semuda ini sudah memiliki kepandaian memijat yang luar biasa! Coba engkau memijati tubuhku yang capai-capai!"

   Melihat wakil panglima sendiri maju, semua perwira menjadi gembira dan ingin menyaksikan wakil panglima itu pun kepulasan di kursi. Louw Kit Siang duduk di atas kursi itu dan mengulurkan lengan kanannya.

   "Nah, kau pijitlah lengan kananku ini."

   Lengan itu kurus tinggal tulang dan kulitnya saja. Kian Bu cepat duduk berhadapan dengan wakil panglima itu dan memegang lengannya. Dia makin mendongkol. Mengapa Sang Panglima dan dua orang tamunya belum juga muncul? Melihat Si Kurus yang menantang ini, tahulah dia bahwa Si Kurus ini memiliki sedikit kepandaian maka dia cepat mengerahkan tenaganya. Tepat seperti diduganya, dari dengan wakil panglima itu keluar getaran tenaga lwee-kang yang cukup kuat, yang seolah-olah hendak melawan dan menahan saluran Hwi-yang Sin-kang yang hangat dari telapak tangannya.

   Louw Kit Siang terkejut bukan main ketika dia merasa betapa dari jari tangan pemuda itu keluar hawa yang amat hangat dan kuat, yang menerobos memasuki tubuhnya melalui lengannya. Dia mengerahkan tenaganya menangkis dan melawan, namun sukar untuk membendung tenaga yang hangat itu. Mereka bersitegang dan berkutetan tanpa diketahui orang lain kecuali Kian Lee yang memandang penuh perhatian. Akan tetapi, akhirnya Louw Kit Siang kalah juga. Biarpun memakan waktu tiga empat kali lebihlama daripada para perwira yang telah tertidur, akhirnya dia menguap dan tertidur pulas di atas kursinya, diiringi suara ketawa para bawahannya! Akan tetapi, hanya sebentar saja wakil panglima itu tertidur. Tiba-tiba dia sudah terbangun lagi dan cepat dia meloncat sambil mencabut pedangnya dan berteriak,

   "Tangkap mereka! Dua orang ini mencurigakan, siapa tahu mereka adalah mata-mata musuh!"

   Semua perwira cepat mencabut senjata dan mengurung, sambil membangunkan mereka yang tadi tertidur pulas sehingga merasa gelagapan dan panik, akan tetapi cepat mereka itu mencabut senjata pula dan ikut mengepung. Kian Lee dan Kian Bu tenang-tenang saja, karena memang inilah yang dikehendaki Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi, menimbulkan kegemparan untuk memancing keluarnya Sang Panglima dan terutama dara itu!

   "Menyerahlah kalian untuk kami tangkap!"

   Panglima Louw Kit Siang memben-tak.

   "Kami hanya mau menyerah kepada Panglima sendiri!"

   Kian Bu menjawab.

   "Aku sudah berada di sini!"

   Tiba-tiba terdengar suara dan muncullah seorang panglima bertubuh kurus tinggi dan berjenggot pendek, wajahnya gagah dan keras, diikuti oleh seorang laki-laki setengah tua dan seorang dara yang cantik jelita. Semua perwira segera mundur ketika melihat komandan mereka keluar. Tentu saja di depan komandan mereka, para perwira ini tidak berani berbuat sembrono dan hanya menanti perintah.

   "Orang muda, siapakah kalian? Dan perlu apa kalian hendak bertemu dengan aku?"

   Panglima Thio Luk Cong bertanya dan suaranya menggeledek penuh wibawa. Akan tetapi Kian Lee dan Kian Bu tidak menjawab, hanya memandang kepada dara itu dengan mata terbelalak, terpesona. Kian Lee memandang dengan penuh kekecewaan karena biarpun ada persamaan antara dara ini dengan Ceng Ceng, namun wajahnya berbeda sekali. Jelas bahwa dara itu bukanlah Ceng Ceng yang dicari dan diharapkannya akan dapat dia jumpai di dalam benteng perkemahan ini.

   Sedangkan Kian Bu juga memandang dengan terbelalak karena pemuda ini benar-benar terpesona oleh kecantikan dara itu. Pandang matanya seperti melekat pada wajah itu, sukar untuk dialihkan dan jantungnya berdebar keras, hatinya jungkir balik karena selama hidupnya di antara sekian banyaknya dara cantik jelita yang dijumpainya, belum pernah dia melihat seorang dara secantik ini! Seperti bidadari dari kahyangan yang baru saja turun dari langit! Biarpun berbeda dasarnya, namun kakak beradik ini tidak mendengar pertanyaan menggeledek dari panglima itu dan tanpa menoleh mereka terus memandang dara itu yang agaknya merasa betapa dua orang pemuda tampan itu memandang kepadanya maka dia lalu menundukkan mukanya dengan alis berkerut dan kedua pipi kemerahan.

   "Hei, Thio-ciangkun telah bertanya kepada kalian!"

   Louw Kit Siang membentak marah.

   "Oh, maaf...."

   Kian Lee berkata sambil menyentuh lengan adiknya yang masih terlongong memandang dara itu.

   "Maaf, Tai-ciangkun. Kami berdua kakak beradik adalah tukang-tukang pijit yang diundang ke sini, akan tetapi entah mengapa, setelah memijiti banyak perwira, kami hendak ditangkap."

   "Tai-ciangkun, mereka bukan tukang-tukang pijit sembarangan. Mereka memiliki kepandaian tinggi dan tentu mereka adalah mata-mata!"

   "Ihh, orang yang ketakutan selalu mencurigai siapa saja!"

   Kian Bu berkata sambil melirak-lirik ke arah dara yang masih menundukkan mukanya itu.

   "Begitukah?"

   Panglima Thio membentak.

   "Hemm, hendak kucoba sendiri. Orang muda, cobalah engkau memijiti lenganku!"

   "Boleh kalau Tai-ciangkun menghendakinya,"

   Kian Bu berkata tenang.

   "Silakan duduk di sini."

   Dia menunjuk ke arah bangku di dekat meja dan sengaja dia duduk menghadapi ke arah dara itu agar selalu dapat memandangnya! Akan tetapi sebelum panglima itu melangkah maju, orang setengah tua yang menjadi tamunya dan yang tadi berdiri dengan tenang di belakang dara jelita itu, melangkah maju dan berkata halus,

   "Biarkanlah saya yang dipijitnya, Ciangkun, karena saya pun merasa agak lelah."

   Dia lalu duduk di atas bangku dekat meja, menyingsingkan lengan bajunya, menaruh tangan kiri di atas meja dan mengulurkan lengan kanannya kepada Kian Bu sambil berkata,

   "Nah, kau pijitlah lenganku, orang muda yang baik."

   Melihat sikap orang setengah tua ini, diam-diam Kian Bu tidak berani berbuat sembarangan. Orang tua ini biarpun kelihatan amat sederhana dalam pakaian, sikap dan kata-katanya yang halus, namun ada sesuatu yang mengejutkan hatinya terpancar dari sinar matanya. Dan dia pun sudah dapat menduga bahwa seorang yang diterima sebagai seorang tamu agung oleh komandan itu, tentulah bukan orang sembarangan pula. Maka dia tidak berani main-main dan ingin memijit biasa saja, memijati otot-otot lengan itu agar orang ini merasa nyaman dan hilang kelelahannya. Akan tetapi betapa kaget hati Kian Bu ketika dia mulai meraba dan mengerahkan tenaga memijat lengan itu, tiba-tiba ada getaran keluar dari lengan itu, getaran yang disertai hawa sin-kang yang amat kuat! Panaslah hati Kian Bu. Hemm, kiranya orang ini memiliki juga kepandaian.

   Baiklah, kalau orang ini ingin mengadu sin-kang, dia tidak akan mundur! Apalagi, agaknya orang ini mengawal dara itu, dan dia harus dapat memamerkan kepandaiannya agar mendatangkan kesan kepada orang ini dan terutama bagi dara itu yang berdiri dengan muka agak khawatir menonton adu tenaga yang tidak nampak oleh orang lain itu. Akan tetapi begitu Kian Bu mengerahkan tenaga sin-kangnya yang melalui jari-jari tangannya menekan lengan orang itu, pada saat yang sama orang itu pun mengerahkan sin-kang dan bertemulah dua tenaga dahsyat yang tidak tampak oleh mata. Dua tenaga panas dari Hwi-yang Sin-kang, yaitu tenaga inti api yang amat panas. Tenaga yang sama kuatnya dan sama pula panasnya! Kian Bu terkejut dan orang itu pun kaget sekali!

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Akan tetapi dasar Kian Bu seorang pemuda yang tidak mau kalah oleh orang lain, dia lupa bahwa dia berhadapan dengan seorang yang amat pandai, maka dia yang ingin mendemonstrasikan kepandaiannya, biarpun tidak langsung dan melalui orang ini, kepada dara cantik jelita itu, cepat mengerahkan seluruh sin-kangnya dan merubah hawa sin-kangnya. Kini dia mengeluarkan ilmu sin-kang yang khas dari Pulau Es, yaitu Swat-im Sin-kang (Tenaga Inti Salju)! Kian Lee terkejut sekali. Melihat muka dan sikap adiknya, dia sudah dapat mengerti bahwa adiknya itu mengeluarkan ilmu simpanan mereka ini, maka dia makin terheran dan memandang orang laki-laki setengah tua yang nampaknya juga terkejut ketika merasakan perubahan pada jari-jari tangan pemuda yang memijiti lengannya. Hawa sin-kang yang amat dingin menggetar dengan dahsyatnya melalui jari-jari tangan itu.

   "Uhhh....!"

   Terdengar suara ini dari laki-laki setengah tua itu dan tiba-tiba wajah Kian Bu berubah saking kagetnya. Kiranya lawannya itu kini juga mengerahkan tenaga yang sama dinginnya! Tenaga mujijat dan dahsyat yang mampu menandingi Swat-im Sin-kang! Dan kedua tenaga itu kini saling dorong dan saling menindih, dan perlahan-lahan Kian Bu terdesak, mukanya makin pucat dan ma-tanya mulai mengantuk!

   "Bu-te, agaknya Locianpwe ini terlalu kuat untukmu. Biar aku membantumu memijatnya!"

   Kian Lee yang mengikuti "pertandingan"

   Itu, dapat melihat keadaan adiknya, maka timbul kekhawatirannya dan dia sudah mengulurkan tangannya untuk membantu.

   "Cukuplah!"

   Laki-laki setengah tua itu mengerahkan tenaganya dan.... kedua tangan Kian Bu seperti ditolakkan oleh tenaga mujijat dan terlepas dari lengan orang itu yang segera bangkit berdiri, berpaling kepada Panglima Thio Luk Cong sambil berkata,

   "Ciangkun, mari kita kembali ke kamar bersama kedua orang muda ini. Saya ingin bicara dengan mereka."

   Thio Luk Cong sendiri adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, namun dia tidak tahu jelas apa yang telah terjadi, hanya menduga-duganya saja bahwa tamunya itu tentu telah menguji kepandaian pemuda itu dan mendapatkan sesuatu yang amat penting. Maka dia mengangguk dan berkata kepada Kian Lee dan Kian Bu,

   "Orang-orang muda, silakan ikut bersama kami."

   Kian Lee dan Kian Bu mengangguk dan kini Kian Bu yang merasa girang sekali, sungguhpun dia juga ikut merasa kecewa demi kakaknya yang melihat bahwa dara itu bukanlah gadis yang dicari-carinya. Mereka berlima, Panglima Thio, laki-laki setengah tua, dara cantik jelita itu, Kian Lee dan Kian Bu, semua memasuki ruangan, diikuti pandang mata para perwira yang terheran-heran melihat sikap panglima komandan mereka. Setelah mereka memasuki ruangan dan pintunya ditutup, laki-laki setengah tua itu langsung menghadapi Kian Lee dan Kian Bu sambil bertanya, suaranya sungguh-sungguh dan pandang matanya tajam penuh selidik,

   "Nah, orang-orang muda yang baik, sekarang katakan saja terus terang, siapakah kalian sesungguhnya?"

   Kian Lee sudah dibisiki oleh adiknya ketika mereka berjalan masuk tadi betapa orang setengah tua itu mampu menghadapi Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, maka dia menjura sambil berkata penuh hormat,

   "Kami kakak beradik adalah utusan-utusan dari Jenderal Kao dan Puteri Milana."

   "Aihhh....!"

   Laki-laki itu dan juga Panglima Thio berseru kaget.

   "Ah, mengapa Ji-wi tidak berterus terang saja sehingga kami dapat menyambutnya dengan baik? Silakan duduk.... dan mari kita bercakap-cakap dengan baik."

   Panglima itu cepat berkata. Mereka lalu duduk mengelilingi meja, dan betapa girangnya hati Kian Bu ketika melihat bahwa duduknya tepat berhadapan dengan dara itu sehingga kini dia dapat melihat dengan jelas betapa cantik jelitanya dara itu. Bukan main! Dia sampai menelan ludahnya sendiri dan sukarlah baginya untuk memindahkan pandang matanya dari mata itu, hidung dan bibir itu. Demikian luar biasa kecantikan gadis ini! Kian Bu lalu bangkit berdiri dan menjura kepada orang laki-laki setengah tua tadi sambil berkata,

   "Harap Locianpwe maafkan saya yang lancang."

   Orang itu tersenyum dan tampaklah ketampanan wajahnya yang tersembunyi di balik kesederhanaan dan awan kedukaan yang menyelimuti wajahnya.

   "Tidak perlu bersikap sungkan, kalau tidak mengadu ilmu tidak saling mengenal kata orang. Dan sekali mengadu ilmu, agaknya aku dapat menduga siapa sebenarnya kalian. Kalau ada orang-orang muda yang memiliki sin-kang seperti apa yang saya rasakan tadi, di dunia ini tentu hanya dimiliki oleh orang-orang muda yang mempunyai nama keturunan (she) Suma. Benarkah dugaanku ini?"

   Suma Kian Bu memandang dengan mata terbelalak heran, akan tetapi Kian Lee segera bangkit dan menjura kepada laki-laki itu.

   "Dan kami berdua telah bersikap kurang hormat kepada Gak-suheng!"

   Laki-laki itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Mendengar ini, dia tertawa, bangkit berdiri dan merangkul dua orang muda itu.

   "Kau anak nakal, siapa namamu, Sute?"

   Tanyanya sambil memeluk pundak Kian Bu.

   "Aih, kiranya Gak-suheng!"

   Kian Bu juga berseru girang bukan main. Tentu saja sudah lama dia mendengar nama ini disebut-sebut ayah bunda mereka, dan biarpun orang ini bukan langsung murid ayah mereka, namun karena pernah menerima ilmu dari ayah mereka, mereka menyebutnya suheng.

   "Namaku adalah Suma Kian Bu, Puteri Milana adalah kakak kandungku, dan ini adalah kakak Suma Kian Lee, putera dari ibu Lulu."

   "Ahh....!"

   Panglima Thio berseru kaget sekali mendengar Suma Kian Bu memperkenalkan diri sebagai adik kandung Puteri Milana.

   "Gak-taihiap.... apakah benar bahwa kedua orang muda ini adalah.... adalah.... dari Pulau Es....?"

   Gak Bun Beng mengangguk.

   "Maaf.... maaf.... betapa bahagia hatiku, dalam beberapa hari dikunjungi oleh orang-orang seperti Gak-taihiap dan Ji-wi Siauw-taihiap dari Pulau Es! Aih, kalau Pulau Es ikut turun tangan, aku yakin dalam waktu singkat saja semua pemberontak dapat dibasmi habis!"

   Semua orang tersenyum mendengar ini, kecuali dara cantik jelita itu.

   "Ji-wi Sute, tugas apakah yang kalian laksanakan sekarang ini sehingga kalian tiba di sini?"

   "Kami ditugaskan untuk pergi ke kota benteng Khi-ciang, selain untuk melihat keadaan karena kabarnya kota itu dirampas oleh pemberontak, juga untuk melindungi dan menyelamatkan seorang puteri yang bernama Syanti Dewi dan berada di benteng itu. Akan tetapi setelah kami tiba di sana, Sang Puteri lenyap tanpa ada yang tahu ke mana. Maka kami mencari-cari sampai ke sini, dengan maksud untuk mengunjungi Teng-bun mencari puteri itu...."

   Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Tanpa diperintah lagi, kedua orang kakak beradik itu melesat dengan cepat bersama Gak Bun Beng. Ternyata tukang pijit buta dan pelayan rumah penginapan tadi, di waktu keadaan ribut-ribut ketika kedua orang kakak beradik itu hendak dikeroyok, telah menyelinap dan memasuki kamar kerja panglima!

   Ketika ketahuan, mereka mengamuk, membunuh empat orang perwira dan berhasil kabur sambil membawa catatan-catatan tentang keadaan di perkemahan itu, kekuatan pasukan dan rencana penjagaan! Gak Bun Beng dan dua orang sutenya cepat melakukan pengejaran, namun dua orang mata-mata pemberontak itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Panglima Thio cepat memerintahkan anak buahnya untuk menggeledah rumah penginapan, akan tetapi pemilik rumah penginapan itu hanya menyatakan bahwa pelayan itu baru bekerja di situ selama satu bulan, dan pemijit buta itu pun baru beberapa hari berada di dusun itu sehingga tidak ada yang mengenalnya betul. Jelas bahwa kedua orang itu adalah mata-mata pemberontak! Ketika memeriksa kamar kerjanya dan mendapatkan bahwa yang dicuri adalah catatan rahasia tentang kekuatan pasukan dan rencana penjagaan, Panglima Thio menjadi pucat wajahnya.

   "Jelas, ini tentu perbuatan mata-mata pemberontak yang berilmu tinggi. Keadaan kami di sini merupakan benteng pertama, kalau mereka tahu akan keadaan kami tentu mereka dapat mengetahui kelemahan-kelemahan kami dan akan menghancurkan kami dengan mudah."

   "Mereka berdua tentu lari ke Teng-bun yang menjadi pusat pemberontak. Jangan khawatir, Ciangkun, biarlah kami pergi menyelundup ke Teng-bun. Kami akan menyelidiki apa yang akan terjadi setelah mereka mencuri barang-barang rahasia itu."

   Wajah panglima itu berseri.

   "Kalau Sam-wi Taihiap sudi membantu, kami atas nama seluruh pasukan dan pemerintah menghaturkan terima kasih."

   "Ji-wi Sute, sekarang juga kita menyusul mereka, pergi menyelundup ke Teng-bun,"

   Kata Gak Bun Beng kepada dua orang kakak beradik itu.

   "Akan tetapi, Suheng. Kami harus mencari Puteri Syanti Dewi...."

   Kian Lee membantah.

   "Tak perlu dicari lagi. Inilah dia!"

   Dua orang kakak beradik itu terkejut bukan main. Dara cantik jelita itu, yang bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi, menjura sambil berkata manis.

   "Terima kasih atas bantuan kalian."

   Kian Bu termenung dan menatap wajah itu dengan bengong. Setelah kakaknya menyentuh lengan-nya, barulah dia sadar, menarik napas panjang meniru perbuatan kakaknya menjura dengan hormat kepada puteri itu, lalu berkata,

   "Tak kusangka... kiranya.... kiranya.... Sang Puteri.... ah, sukurlah bahwa Anda selamat!"

   Syanti Dewi membalas pandang mata pemuda yang dianggapnya nakal dan lucu itu sambil tersenyum dan berkata singkat dengan sikap manis,

   "Terima kasih."

   Hadirnya Syanti Dewi bersama Gak Bun Beng di tempat itu bukanlah hal yang aneh. Sungguhpun Gak Bun Beng telah meninggalkan kota Khi-ciang, yaitu kota perbentengan yang dikuasai oleh Jenderal Kao, namun hati pendekar sakti ini tidak rela secara menyeluruh mening-galkan puteri itu begitu saja.

   Dia percaya penuh akan perlindungan Jenderal Kao kepada Syanti Dewi, akan tetapi betapapun juga, jenderal itu adalah seorang militer yang penuh dengan tugas-tugas berat, padahal keadaan sekarang amat berbahaya dengan adanya pemberontakan-pemberontakan itu. Dia ingin pergi menyelidiki tentang Si Jari Maut yang telah menodakan namanya, akan tetapi hatinya tidak tega meninggalkan Syanti Dewi sehingga perginya tidaklah terlalu jauh dari Khi-ciang. Setiap malam, apabila dia tidak dapat tidur pulas dan gelisah memikirkan keadaannya, berulang kali dia menghela napas panjang. Mengapa dia tidak dapat melupakan Puteri Bhutan itu sejenak pun? Mengapa wajah yang jelita itu terbayang terus di depan matanya dan mengapa pula dia selalu mendengar suara tangis dara itu, mendengar pula suara gadis itu yang mengatakan cinta kepadanya?

   Mengapa setiap kali teringat akan ini, hatinya menjadi seperti ditusuk oleh keharuan yang membuat dia ingin sekali terbang ke tempat gadis itu untuk sekedar memandang wajahnya dan mendengar suaranya? Mengapa? Cintakah ini? Dia tidak dapat menyangkalnya, karena perasaan ini dahulu hanya pernah dirasakan terhadap Milana, bahkan perasaan itu sampai sekarang masih berakar di hatinya. Belum pernah dia merasakan sesuatu seperti ini terhadap Milana dan kedua kalinya terhadap Puteri Bhutan itulah. Akan tetapi perasaan ini hendak selalu dibuangnya jauh-jauh, ditolak dan disangkalnya sendiri. Tidak boleh dia begitu lemah, membiarkan hatinya jatuh cinta kepada Syanti Dewi sungguh-pun dia yakin bahwa gadis itu patut menjadi anaknya! Usianya sudah hampir empat puluh tahun dan Syanti Dewi belum ada dua puluh tahun! Mana mungkin?

   Betapapun juga, dia harus melihat puteri itu berada di tempat aman. Berada di kota raja atau sebaiknya berada di Bhutan, di istana ayahnya sendiri. Kalau Syanti Dewi masih berada di benteng Khi-ciang, berarti sewaktu-waktu puteri itu akan terancam bahaya. Karena inilah maka ketika Panglima Kim Bouw Sin yang telah menjadi tawanan itu dibebaskan kaki tangannya dan benteng diambil alih oleh panglima pembecontak ini dan kaki tangannya, Gak Bun Beng yang tidak berada di tempat terlalu jauh itu segera mendengarnya dan cepat dia menyelinap masuk ke dalam kota benteng Khi-ciang dan kedatangannya tepat sekali karena Puteri Syanti Dewi yang ikut pula melarikan diri belum diketahui oleh pihak musuh! Pertemuan mengharukan terjadi ketika puteri yang ikut berlari bersama sebagian penduduk Khi-ciang itu tiba-tiba berhadapan dengan Gak Bun Beng.

   "Paman....!"

   Dia menjerit dan di lain saat dia telah menangis di dalam pelukan Bun Beng.

   "Tenanglah, mari kita cepat pergi dari tempat ini."

   Bun Beng berbisik lalu mengajak puteri itu untuk cepat melarikan diri keluar dari kota benteng itu dan lari mengungsi ke selatan sampai akhirnya mereka tiba di dusun Ang-khok-teng, dan ketika Bun Beng mendengar bahwa Panglima Thio, komandan dari perkemahan di luar dusun itu adalah bawahan Jenderal Kao, dia langsung mengajak Syanti Dewi menemuinya. Panglima Thio sudah mendengar mereka dari Jenderal Kao, maka dia menyambut Gak Bun Beng sebagai tamu agung. Demikianlah mengapa Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tahu-tahu berada di situ dan tanpa disangka-sangkanya di tempat itu dia bertemu dengan dua orang sutenya, putera-putera dari Suma Han, Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es!

   "Sebaiknya kita berangkat sekarang juga. Ini adalah tugas kalian sebagai utusan dari kota raja, akan tetapi aku akan membantu kalian sampai berhasil. Pertama, kita mencoba untuk mencari Si Buta itu, dan kedua kita melakukan penyelidikan tentang keadaan pemberontak di sana agar dapat kalian bawa sebagai laporan ke kota raja."

   "Baik, Suheng, kami siap berangkat,"

   Jawab Kian Lee.

   "Dewi, engkau tinggal di sini dulu, menanti sampai aku kembali...."

   "Tidak.... tidak, harap jangan tinggalkan aku sendirian lagi...., biarlah aku ikut ke Teng-bun,"

   Puteri itu menjawab sambil memandang Bun Beng dengan sinar mata penuh permo-honan.

   Pertemuannya dengan Bun Beng kembali seolah-olah mendatangkan sinar kebahagiaan di hatinya. Biarpun dia tahu bahwa pendekar sakti yang dikagumi dan dicintanya itu tidak berani membalas cintanya karena Puteri Milana, dan biarpun selama pertemuan mereka sampai tiba di dusun Ang-kiok-teng dia tidak pernah menyinggung soal cintanya, namun dia mengambil keputusan untuk tidak membiarkan dirinya ditinggalkan atau terpisah dari pendekar yang amat dikaguminya, dipercaya, dipuja dan dicintanya itu. Pandang mata yang demikian penuh permohonan, demikian penuh arti seolah-olah pandang mata itu merupakan tanda penyerahan jiwa raga dan segala-galanya, membuat Bun Beng menunduk dan tidak mampu menjawab sampai lama.

   "Kalau Sang Puteri ikut, kami akan.... ikut melindunginya, Suheng,"

   Tiba-tiba Kian Bu berkata penuh semangat. Mendengar suara sutenya ini, tiba-tiba timbul suatu harapan di dalam hati Bun Beng. Mengapa tidak? Dua orang sutenya ini adalah dua orang pemuda yang hebat! Lihat, mana mungkin mencari dua orang muda sedemikian tampan dan gagahnya? Putera-putera Pendekar Super Sakti pula, selain tampan juga memiliki kepandaian yang amat hebat, bahkan dia sendiri tadi sudah mengukur betapa hebatnya kepandaian Kian Bu. Sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berjodoh dengan seorang, diantara mereka ini, bukan dengan dia! Dan Kian Bu, sutenya ini agaknya begitu bersemangat ingin melindungi Syanti Dewi. Siapa tahu! Kian Bu adalah adik Milana, Kian Bu adalah cucu Kaisar, putera dari Puteri Nirahai!

   "Baik!"

   Tiba-tiba dia berkata sehingga Syanti Dewi menjadi berseri-seri wajahnya dan menangkap tangan Gak Bun Beng dengan girang, kemudian menoleh kepada Kian Bu dengan senyum lebar sambil berkata,

   "Terima kasih!"

   "Akan tetapi, engkau harus menyamar sebagai pria!"

   Kata Gak Bun Beng.

   "Saya kira tidak perlu demikian, Gak-taihiap."

   Tiba-tiba Panglima Thio berkata.

   "Menurut penyelidikan, biarpun Teng-bun telah direbut pemberontak, namun kota itu masih terbuka bagi umum dengan adanya para pengungsi yang keluar masuk, tentu saja rakyat juga terpecah, ada yang pro dan ada yang kontra pem-berontak. Hanya penjagaan di sana amat ketat sehingga sukarlah bagi penyelidik kami untuk memasukinya. Semua orang laki-laki digeledah dengan teliti, hanya wanita yang tidak mengalami penggeledahan hebat. Kalau Sang Puteri menyamar sebagai pria, dia tentu malah akan digeledah."

   "Wah, kalau begitu bagaimana baiknya, Thio-ciangkun?"

   Bun Beng bertanya kepada panglima yang tentu lebih paham akan bagaimana baiknya untuk memasuki tempat yang telah dikuasai oleh pemberontak.

   "Hanya ada dua cara,"

   Panglima itu menjawab.

   "Pertama tentu saja menggunakan kepandaian Cu-wi yang begitu tinggi untuk menyelundup masuk secara sembunyi di waktu malam. Ke dua, jalan yang lebih aman lagi mengingat bahwa Sang Puteri ikut bersama Sam-wi (Anda Bertiga), masuk secara terang-terangan di waktu siang bersama dengan para pengungsi yang lain. Akan tetapi Sam-wi akan mengalami penggeledahan yang amat teliti, maka kalau mengambil cara ini, surat-surat kuasa yang dibawa oleh Ji-wi Suma-taihiap sebaiknya dititipkan dulu kepada saya. Dan diantara dua cara itu baru dapat ditentukan oleh Sam-wi sendiri setelah melihat keadaan di sana karena tentu saja setiap hari bisa terjadi perubahan hebat."

   Kian Lee setuju dan segera meninggalkan dua surat kuasa dari Jenderal Kao dan dari Puteri Milana itu kepada Panglima Thio. Kemudian berangkatlah empat orang ini menuju ke Teng-bun, yang masih cukup jauh dari tempat itu, makan waktu perjalanan sampai dua hari. Tentu saja kalau mereka mempergunakan ilmu berlari cepat atau naik kuda, jarak itu dapat ditempuh tidak sampai satu hari. Akan tetapi mereka tidak berani mempergunakan ilmu karena hal ini tentu akan menarik perhatian orang, sedangkan kalau naik kuda, mana ada pengungsi bermewah-mewahan naik kuda?

   Perjalanan dilakukan biasa saja, seperti orang-orang lain yang banyak terdapat di jalan-jalan sekarang, karena perjalanan antara tempat yang dikuasai pemberontak dan tempat yang masih dikuasai pasukan pemerintah itu merupakan daerah pengungsian di mana para pengungsi setiap harinya hilir mudik seperti anak-anak ayam ketakutan dan mencari tempat perlindungan dari marabahaya. Di sepanjang perjalanan di bawah terik panas matahari dan banyak melalui lapangan tandus yang kering, amat melelahkan dan menyiksa badan ini, yang paling bergembira adalah Suma Kian Bu! Pemuda ini secara langsung saja sudah jatuh hati dan tergila-gila kepada Syanti Dewi! Dan sekali ini bukan kepalang tanggung! Tidak seperti biasanya, terhadap setiap orang gadis muda memang dia senang untuk dekat, senang untuk memandang dan mengagumi kecantikan orang, senang untuk bicara dengan gadis manis, berkenalan dan bersendau gurau.

   Akan tetapi terhadap Syanti Dewi ini Kian Bu merasakan sesuatu yang laln terjadi dalam hatinya! Tak pernah bosan-bosannya dia memandang wajah itu, mengikuti garis, bibir, hidung dan mata itu dengan pandang matanya, seolah-olah dia hendak melukis semua itu dengan pandang matanya, ingin menyentuh dan membelai segala keindahan itu dengan sinar matanya! Ketika mereka melewati padang rumput yang bergerak-gerak seperti ombak samudera karena banyaknya dan besarnya angin, tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu melepaskan jubah luarnya yang lebar dan menyerahkannya kepada Syanti Dewi sambil berkata, atas nasihat Bun Beng kini menyebut "adik"

   Kepada Syanti Dewi karena mereka menyamar sebagai paman, dua orang kakak dan adik.

   "Adik Syanti, kau pakailah ini. Angin terlalu besar, agar engkau jangan masuk angin."

   Wajah gadis itu menjadi agak merah karena dia merasa sungkan dan malu terhadap Bun Beng dengan kebaikan yang diperlihatkan pemuda ini. Akan tetapi Bun Beng yang melihat ini semua, melihat sikap Kian Bu semenjak mula-mula bertemu menaruh harapan besar dan sambil tersenyum dia berkata,

   "Dewi, terimalah. Kakakmu yang seorang ini memang baik sekali hatinya."

   Terpaksa Syanti Dewi menerima jubah itu, memakainya dan kembali mengucapkan "terima kasih". Ucapan terima kasih yang telah diterimanya beberapa kali dari gadis ini semenjak bertemu, tidak menyenangkan hati Kian Bu. Ucapan seperti itu mendatangkan kerenggangan dan kekakuan dalam hubungan yang baik, karena membayangkan kesungkanan hati.

   "Tidak usah berterima kasih. Bukankah kita adalah orang-orang sendiri? Apalagi dalam perjalanan ini engkau adalah adikku, kalau seorang kakak tidak mempedulikan adiknya, tentu malah mendatangkan kecurigaan!"

   "Betul sekali! Betapa cerdas dan telitinya engkau, Bu-te. Tidakkah begitu, Adik Syanti? Adikku Kian Bu ini memang benar hebat, bukan?"

   Nada suara Kian Lee menggoda yang ditujukan kepada Kian Bu, akan tetapi sekali ini Kian Bu malah melempar pandang penuh terima kasih kepada kakaknya itu. Malam itu mereka terpaksa melewatkan malam di dalam sebuah hutan bersama belasan orang pengungsi yang juga melakukan perjalanan. Kian Bu cepat-cepat membuat api unggun dan mempersilakan "adiknya"

   Duduk menghadapi api unggun.

   Ketika Bun Beng dan Kian Lee menangkap dua ekor kelinci dan seekor ayam hutan dan Bun Beng menyerahkannya kepada Syanti untuk dipanggang, Kian Bu cepat mendahului gadis itu, menguliti bangkai-bangkai binatang itu dan baru menyerahkannya kepada Syanti Dewi setelah dia tusuk dengan bambu dan tinggal memegang untuk memanggangnya saja! Seolah-olah dia hendak menghindarkan gadis itu dari pekerjaan kasar atau berat. Bun Beng makin girang melihat perkembangan ini, sedangkan Kian Lee hanya tersenyum-senyum saja. Apalagi ketika dilihatnya Kian Bu dengan susah payah mencarikan air untuk gadis itu hanya karena melihat Syanti Dewi kotor tangannya sehabis makan dan mengusap-usapkan jari tangannya pada rumput, Kian Lee tertawa sambil membalikkan tubuh agar tidak terlihat oleh Syanti Dewi dan Kian Bu.

   Malam itu, Syanti Dewi tidur bersandarkan pohon berselimut jubah panjang pemberian Kian Bu. Bun Beng tidur terlentang. Kian Lee juga bersandar pohon tak jauh dari situ. Kian Bu yang berkeras untuk berjaga lebih dulu duduk sambil menjaga api agar jangan sampai padam karena malam itu hawanya dingin sekali dan banyak nyamuknya. Hatinya girang sekali. Dia telah menemukan seorang wanita yang memenuhi segala idaman hatinya! Akan tetapi dia termangu dan perasaannya tertekan ketika dia teringat akan cerita Jenderal Kao tentang gadis ini. Gadis ini adalah tunangan Pangeran Liong Khi Ong! Tunangan seorang diantara dua pangeran pemberontak! Pangeran yang kabarnya sudah berusia lima puluh tahun lebih itu, tua dan pemberontak pula. Mana mungkin dara seperti ini harus terjatuh ke dalam pelukan pemberontak tua bangka itu?

   "Tidak boleh....!"

   Tiba-tiba dia memukul ke arah api dengan sebatang ranting sehingga abu mengepul ke atas dan api itu bergoyang-goyang.

   "Apanya yang tidak boleh?"

   Syanti Dewi yang masih belum tidur dan duduknya tidak jauh dari api, terkejut dan bertanya. Kian Bu menoleh, mukanya merah dan sejenak kehilangan kelincahannya karena dia sendiri terkejut bahwa suara hatinya sampai terlontarkan melalui mulut.

   "Apanya yang tidak boleh, Bu-koko?"

   Syanti Dewi bertanya lagi.

   "Ah, tidak apa-apa.... aku.... aku hanya melamun, maafkan kalau mengagetkan engkau, Moi-moi."

   Syanti Dewi tersenyum sendiri, memejamkan matanya. Pemuda ini seperti kanak-kanak. Memang masih kanak-kanak, pikirnya.

   Agaknya usia pun tidak mungkin lebih tua daripada dia. Akan tetapi harus diakuinya bahwa Kian Bu adalah seorang pemuda yang tampan, dan berilmu tinggi, juga amat baik hati terhadapnya. Sifatnya agak nakal, suka menggoda dan riang gembira, lincah dan jenaka. Betapa jauh bedanya dengan Kian Lee, yang pendiam dan serius, halus dan penuh hormat. Akan tetapi keduanya memiliki segi-segi yang mengagumkan dan menyenangkan dalam sifat masing-masing. Hanya bedanya, kalau Kian Lee menghadapinya dengan sikap menghormat dan sopan, adalah Kian Bu jelas sekali memperlihatkan perhatian penuh dan rasa suka yang tidak disembunyi-sembunyikan! Pandang mata Kian Bu terhadapnya demikian penuh kekaguman, penuh rasa sayang. Kadang-kadang jantungnya terasa berdebar tegang dan dia merasakan sesuatu yang aneh.

   Heran dia mengapa Gak Bun Beng agaknya girang menyaksikan sikap Kian Bu sedemikian itu terhadap dirinya, bahkan dia merasa betapa pendekar yang dicintanya itu seperti mendorong-dorong dan memberi semangat kepada pemuda yang menjadi sutenya itu! Pada keesokan harinya, mereka kembali melakukan perjalanan. Kini perjalanan melalui pegunungan kapur yang gundul dan panasnya bukan main matahari siang hari itu! Kedua pipi Syanti Dewi sampai kemerah-merahan, basah dahi dan lehernya oleh keringat, hati Kian Bu merasa tidak tega sekali. Dari pagi tadi dia sudah berusaha dengan susah payah membuat topi caping dari bambu dan rumput alang-alang, dan kini biarpun bentuk topi buatannya itu kasar, namun lumayan juga untuk melindungi wajah cantik dengan kulitnya yang putih halus itu dari sengatan sinar matahari yang panas.

   "Kau pakailah ini, lumayan untuk menahan sinar matahari,"

   Katanya sambil memberikan caping yang sudah diberi tali anyaman rumput alang-alang itu kepada Syanti Dewi.

   "Terima kasih, kau baik sekali,"

   Kata Syanti Dewi yang menerima topi itu dan memakainya di atas kepala. Kian Bu memandang penuh kagum, kekaguman yang tidak disembunyikannya melihat be-tapa gadis ini makin cantik dan manis saja memakai topi buatannya! Padahal topi caping itu amat kasar dan bersahaja! Rasa suka dan benci memang mengakibatkan perangai yang lucu dan aneh kepada manusia. Barang siapa merasa suka akan sesuatu, baik sesuatu itu benda mati atau hidup,

   Baik benda tampak maupun tidak, maka perasaan suka itu akan membuat sesuatu itu selalu kelihatan baik dan menarik, menyenangkan! Sebaliknya, perasaan benci membuat sesuatu yang dibencinya itu kelihatan selalu buruk dan tidak menyenangkan. Terutama sekali rasa suka dan benci terhadap seorang manusia lain. Rasa suka membuat orang yang disuka itu dalam keadaan cemberut, kusut dan kotor atau bagaimanapun juga akan kelihatan makin menarik dan menyenangkan saja. Sebaliknya, rasa benci membuat orang yang dibencinya itu dalam keadaan tersenyum atau sudah bersolek bagaimana pun akan kelihatan buruk dan tidak menyenangkan! Ada kelakar yang mengatakan bahwa bau kentut seorang yang sedang disuka adalah harum. Sebaliknya, kalau seorang yang dibenci sedang tertawa wajar karena gembira, dianggap mentertawakan dan mengejek!

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 48 Sepasang Pedang Iblis Eps 19 Sepasang Pedang Iblis Eps 12

Cari Blog Ini