Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 3


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Orang-orang campuran antara Bangsa Mongol dan Tibet yang sesungguhnya merupakan orang-orang pelarian di negara mereka sendiri ini telah membentuk sebuah perkumpulan besar atau dapat juga dikatakan sebuah "kerajaan"

   Kecil, dipimpin oleh seorang tokoh hitam yang kabarnya berasal dari Tiongkok dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi, selama ini, karena jumlah mereka tidaklah banyak dibandingkan dengan jumlah barisan Kerajaan Bhutan, gangguan mereka selalu dapat dihadapi dengan kekerasan dan sudah lama mereka tidak pernah terdengar beritanya lagi. Mengapa kini tiba-tiba mereka muncul dan mengganggu raja yang sedang berburu, tepat ketika rombongan utusan kaisar tiba?

   Bayangan yang dilihatnya meloncat seperti terbang tadi memakai kucir, tanda bahwa bayangan itu adalah seorang dari Tiongkok! Kecurigaan hati Panglima Jayin terhadap rombongan utusan kaisar makin besar, maka dia menahan barisannya dan kini dia kembali ke istana untuk menemui mereka, untuk melihat keadaan dan kalau perlu bertindak. Ketika panglima memasuki pintu gerbang istana, menitipkan kuda kepada para penjaga dan dia berlari-lari masuk ke tempat di mana para tamu itu bermalam, ternyata di situ juga sedang dalam keadaan ribut-ribut. Semua tamu itu telah terbangun dan banyak pula para pengawal istana yang berkumpul di situ. Ketika mereka melihat Panglima Jayin, maka segera menyambutnya dan kepala pengawal kaisar yang memimpin rombongan utusan kaisar itu dengan langkah lebar menghampiri Jayin dengan muka merah dan alis berkerut.

   "Apa yang telah terjadi?"

   Tanya Jayin dengan pandang mata penuh selidik kepada pengawal kaisar yang berjenggot panjang itu. Pengawal ini ini bernama Tan Siong Khi, ketika mendengar pertanyaan Jayin dia memandang tajam dan berkata,

   "Seharusnya kami yang mengajukan perta-nyaan ini, panglima!"

   Jayin mengerutkan alisnya, terheran akan tetapi juga tidak senang mendengar kata-kata itu,

   "Hemm.... apakah sesungguhnya yang telah terjadi?"

   "Ada orang menyelundup masuk ke tempat penginapan kami, sikapnya mencurigakan sekali. Aku sendiri sudah menyerangnya dan berusaha menangkapnya, akan tetapi gagal dan dia berhasil melarikan diri dan lenyap."

   Tentu saja Jayin terkejut,

   "Benarkah? Seperti apa orangnya?"

   "Keadaan gelap, dan gerakannya gesit. Kami tidak dapat melihat jelas mukanya. Akan tetapi yang amat mengherankan, mengapa dia dapat memasuki istana yang terjaga kuat dan bagaimana mungkin dia melarikan diri dari istana dan dari dalam kota raja?"

   Biarpun ucapan Tan Siong Khi diucapkan seperti orang yang merasa heran dan penasaran, namun di dalamnya terkandung kecurigaan yang agaknya dinyatakan untuk mengimbangi sikap Jayin yang datang-datang memperlihatkan kecurigaan pula. Jayin mengerutkan alisnya lagi. Memang sukarlah baginya keadaan seperti itu.

   Kecurigaannya terhadap rombongan utusan ini memang makin besar. Siapa tahu keributan dengan alasan orang luar memasuki tempat penginapan mereka ini hanya sandiwara belaka! Akan tetapi untuk menuduh begitu saja, tidak mungkin jika tidak ada bukti nyata. Pula, mereka ini adalah utusan dari negara yang besar dan kuat, bahkan rajanya sendiri sampai mengorbankan puterinya untuk menjadi isteri seorang Pangeran Mancu hanya karena mengharapkan ikatan keluarga agar Bhutan terlindung sebagai keluarga Kerajaan Mancu yang menguasai seluruh Tiongkok. Akan tetapi Jayin adalah seorang panglima yang sudah berpengalaman, tidak saja berpengalaman dalam medan perang, akan tetapi juga berpengalaman dalam hal diplomasi. Dengan cerdik dia lalu berkata dengan muka sungguh-sungguh,

   "Tan-ciangkun, kami sedang menghadapi urusan besar yang juga menyangkut kepentingan rombongon utusan kaisar. Raja kami sedang terancam bahaya."

   Dia lalu menuturkan bagaimana rajanya yang sedang berburu itu diserbu oleh musuh dan kini tidak tahu berada di mana dan bagaimana pula keadaannya.

   "Kalau raja kami tidak dapat segera diselamatkan, tentu tugas yang ciangkun lakukan akan gagal pula. Maka setelah ciangkun berada di sini, saya pribadi mohon petunjuk ciangkun yang sudah tentu memiliki kepandaian dan pengalaman lebih luas sebagai pengawal kaisar sebuah negara besar. Saya harap ciangkun tidak akan berkeberatan untuk membantu kami melakukan penyelidikan untuk menolong raja kami."

   Tan Siong Khi juga bukanlah seorang pengawal bodoh. Dia mengerti apa artinya permohonan yang diajukan dengan halus oleh Jayin itu. Untuk urusan dalam seperti itu, tidak selayaknya kalau panglima ini minta bantuan orang luar. Tentu saja lahirnya saja menyatakan minta bantuan, akan tetapi sebetulnya dia akan dibawa sebagai sandera karena panglima ini agaknya mencurigai rombongannya! Maka dia tersenyum dan berkata,

   "Kami diperintahkan untuk menjemput mempelai, sekarang melihat Raja Bhutan yang akan menjadi besan dari kaisar kami terancam bahaya, sudah tentu saya suka membantu."

   "Kalau begitu, marilah, Tan-ciangkun. Malam ini juga kita berangkat dan tentaraku sudah siap di luar tembok benteng kora raja."

   Panglima Jayin memerintahkan orangnya mempersiapkan seekor kuda lain dan tak lama kemudian berangkatlah kedua orang perwira tinggi ini, menunggang kuda keluar dari kota raja dan memimpin pasukan yang seribu orang besarnya itu.

   Obor di tangan para perajurit yang bertugas membawa obor dan berada di depan, tengah, dan belakang, kelihatan dari jauh seperti seekor naga sakti yang menyala-nyala keemasan terbang melayang rendah di atas tanah. Mereka menuju ke Pegunungan Himalaya, ke arah utara. Kembali kita terpaksa meninggalkan barisan Bhutan yang berangkat men-cari raja mereka itu untuk menjenguk bagian lain jauh di sebelah timur, di mana terjadi peristiwa lain yang seolah-olah tidak ada hubungannya dengan kedua orang kakak-beradik putera Pendekar Super Sakti, juga tidak ada
(Lanjut ke Jilid 03)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03
hubungannya dengan pasuka Bhutan yang mencari raja mereka, akan tetapi sesungguhnya tokoh-tokohnya merupakan tokoh penting dalam cerita ini dan perlu kita mengenal mereka seorang demi seorang.

   Di kota Shen-yang tak jauh dari kota raja. Seorang pemuda tampan berpakaian indah bersih memasuki sebuah rumah makan yang baru saja dibuka dan masih sepi. Hari masih terlalu pagi untuk makan, maka yang penuh dengan orang berlalu lalang hanyalah jalan raya di depan rumah makan itu, dan pemuda ini merupakan pemuda pertama yang disambut oleh pelayan yang masih kelihatan segar dan bersemangat. Dengan wajah berseri dan ramah pelayan itu menyambut dan mempersilakan tamunya masuk dan duduk menghadapi meja yang kesemuanya masih kosong. Pemuda itu memilih meja di tengah dan duduknya di sebelah sehingga dia dapat melihat ke pintu depan dan pintu yang menembus ke ruangan sebelah dalam rumah makan itu. Pemuda ini baru kelihatan jelas wajahnya setelah dia membuka topinya yang berbentuk caping lebar dan diberi tali sutera merah dan diikatkan di bawah dagunya.

   Setelah menaruhkan caping itu di atas meja, juga menuruhkan buntalan di punggung dan menaruhnya pula di atas meja, pemuda itu mengeluarkan sapu tangan dan menyusuti peluh di muka dan lehernya. Sepagi itu, dengan hawa masih dingin sudah berkeringat! Hati ini menandakan bahwa dia telah melakukan perjalanan jauh dan memang demikianlah, semalam suntuk dia terus berjalan tak pernah berhenti dan baru berhenti di kota itu setelah melihat rumah makan ini. Perutnya yang lapar memaksanya berhenti. Setelah memesan makanan, pemuda itu menyandarkan dirinya ke meja dan memandang ke luar. Usianya masih muda sekali, sekitar enam belas tahun, akan tetapi agaknya karena sudah banyak melakukan perantauan, maka pandang matanya yang tajam itu sudah "matang", gerak-geriknya tenang,

   Wajahnya yang tampan itu selalu berseri, mulutnya tersenyum namun bibir yang tak pernah ditinggalkan senyum itu membayangkan ejekan dan mata yang tajam bersinar-sinar itu seakan-akan memandang rendah kepada keadaan sekelilingnya. Siapakah pemuda tampan ini? Dia bernama Ang Tek Hoat dan sesungguhnya pemuda ini bukanlah seorang pemuda sembarangan karena ia cucu bekas ketua Bu-tong-pai yang terkenal dengan sebutan Ang Lojin (Kakek Ang) atau Ang Thian Pa! Ang Lojin atau bekas ketua Bu-tongpai yang kini telah meninggal dunia dan kedudukannya sebagai ketua Bu-tong-pai telah digantikan oleh seorang sutenya, hanya mempunyai seorang anak tunggal, seorang puteri bernama Ang Siok Bi. Sebagai puteri tunggal, tentu saja Ang Siok Bi juga mewarisi ilmu kepandaian ayahnya yang tinggi.

   Di dalam cerita SEPASANG PEDANG IBLIS diceritakan dengan jelas betapa Ang Siok Bi yang masih gadis, baru berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari diperkosa oleh seorang pemuda dan biarpun akhirnya dia bersama Puteri Milana dan Lu Kim Bwee, ibu Ceng Ceng seperti yang telah dituturkan di depan, dapat membunuh pemuda yang mernperkosanya itu, namun seperti Lu Kim Bwee pula, perkosaan atas dirinya itu membuat dia mengandung dan akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki anak itu diberi nama Ang Tek Hoat, yaitu pemuda yang berada di dalam rumah makan itu. Karena merasa malu akan aib yang menimpa diri puterinya yang melahirkan anak tanpa ayah, hal yang mencemarkan nama besarnya sebagai ketua Bu-tong-pai, kakek Ang jatuh sakit sampai meninggal dunia ketika Tek Hoat masih bayi.

   Lebih menyedihkan lagi bagi Ang Siok Bi, melihat dia melahirkan anak tanpa ayah, Bu-tong-pai merasa dinodai namanya dan fihak pimpinan lalu mengeluarkan keputusan untuk mengeluarkan Ang Siok Bi sebagai anggauta Bu-tong-pai. Peristiwa ini terlalu hebat bagi Ang Siok Bi. Dengan hati yang hancur dia lalu meninggalkan Bu-tong-pai, mem-bawa anaknya yang masih bayi. Untung baginya bahwa para pemimpin Bu-tongpai masih mengingat dia sebagai puteri bekas ketua mereka, maka kepergiannya disertai bekal yang cukup sehingga Ang Siok Bi dan puteranya tidak akan mengalami nasib sengsara dan kelaparan. Ang Siok Bi membawa puteranya itu mengasingkan diri ke sebuah bukit sunyi di lembah Sungai Huang-ho. Bukit ini oleh penduduk di sekitar daerah itu dinamakan Bukit Angsa, karena dilihat dari jauh mirip seekor angsa sedang tidur.

   Dengan uang yang diperoleh dari Butong-pai, juga dengan menjual perhiasan pribadinya, Ang Siok Bi membangun sebuah rumah kecil yang cukup mungil di puncak Bukit Angsa, hidup berdua dengan puteranya di tempat sunyi ini. Hanya kadang-kadang saja dia membawa puterinya turun bukit mengunjungi dusun-dusun terdekat untuk membeli keperluan hidupnya yang tidak banyak karena tanah di puncak bukit itu amat subur, penuh tetumbuhan yang dapat dimakan. Sejak kecil, Ang Siok Bi menggembleng puteranya itu. Tujuan hidupnya hanya satu, yakni mendidik agar puteranya menjadi seorang yang terkenal dan pandai di kemudian hari. Setelah puteranya agak besar dan Tek Hoat sudah mengerti karena pergaulannya dengan anak dusun sebaya yang suka menggembala domba di lereng bukit kemudian bertanya kepada ibunya, Ang Siok Bi mengatakan bahwa ayah anak itu telah meninggal dunia sejak ia ia masih dalam kandungan.

   "Mengapa, ibu?"

   Tanya anak kecil berusia enam tahun itu.

   "Mengapa ayahku meninggal dunia?"

   Repot juga hati Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan anaknya ini, kemudian timbul akalnya agar anak ini tidak terlalu ingat kepada ayahnya, maka dengan sembarangan saja dia berkata,

   "Ayahmu meninggal karena dibunuh penjahat. Oleh karena itu, kau harus belajar dengan tekun agar kelak dapat menjadi orang gagah pembasmi penjahat."

   Tek Hoat yang kecil itu mengerutkan alisnya.

   "Siapa yang membunuh ayah?"

   "Tak perlu kau ketahui namanya karena dia sudah mati. Ibu telah membalaskan kematian ayahmu."

   "Jadi pembunuh ayah itu telah ibu bunuh? Ahhh, sayang...."

   "Eh? Mengapa sayang?"

   "Karena kalau dia masih hidup, aku sendirilah yang kelak akan membunuhnya!"

   Ang Siok Bi merangkul anaknya dan mencium pipinya, mengusapkan dua titik air matanya kepada baju anaknya agar Tek Hoat tidak melihatnya. Bicara tentang ayah anak ini, teringatlah dia akan segala pengalamannya di waktu dahulu bersama Gak Bun, Beng (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS), orang yang bagaimanapun juga tak pernah dapat dilupakannya. Biarpun Gak Bun Beng telah memperkosanya, biarpun kemudian dia bersama Milana dan Lu Kim Bwee telah berhasil membunuh laki-laki itu namun harus diakuinya bahwa dia masih mencinta Gak Bun Beng. Karena itu, bicara tentang laki-laki itu merupakan hal yang menusuk perasaannya.

   "Ibu, siapa namanya?"

   "Nama siapa?"

   "Nama penjahat yang membunuh ayah itu."

   "Namanya? Namanya.... Gak Bun Beng."

   "Gak Bun Beng? Hemmm, aku takkan melupakan nama itu."

   "Untuk apa, Tek Hoat? Orang itu telah mati."

   "Orangnya sudah mati, akan tetapi namanyakan masih ada. Dan siapakah nama ayahku, ibu?"

   Makin repot dan bingunglah Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan ini. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya menyebutkan nama begitu saja karena puteranya tentu sudah tahu bahwa nama ketu-runan harus sama dengan keturunan ayahnya. Maka dia teringat kepada ayahnya. Ayahnya hanya dikenal orang sebagai Ang Lojin, ketua Bu-tong-pai. Tidak ada, atau jarang sekali, yang tahu bahwa nama ayahnya adalah Ang Thian Pa. Maka dia lalu menjawab,

   "Ayahmu telah meninggal dan dahulu namanya Ang Thian Pa."

   Anak itu kelihatan puas dan berkali-kali mengulang nama Ang Thian Pa ini, seolah-olah dia hendak menghafal nama itu, kemudian mengulang nama Gak Bun Beng. Diam-diam hati Ang Siok Bi terasa perih sekali dan dia merasa kasihan kepada puteranya. Sebagai seorang gadis yang sebetulnya masih muda kemudian hidup terasing di puncak bukit itu bersama puteranya yang amat disayangnya karena puteranya merupakan satu-satunya manusia yang dekat dengannya, tentu saja Ang Siok Bi tidak tahu tentang cara mendidik anak. Anak itu terlalu dimanjakannya, segala permintaannya dituruti saja, maka Tek Hoat menjadi seorang anak yang amat manja. Apalagi ketika ia memperoleh teman-teman yang bengal, ia lalu menjadi kepala di antara mereka,

   Karena selain dia paling tampan, paling baik pakaiannya, juga dia paling kuat dengan kepandaian silatnya yang semenjak dia kecil diajarkan ibunya disamping pelajaran menulis dan membaca. Harus diakui bahwa Tek Hoat memiliki otak yang cerdas sekali. Semua pelajaran yang diberikan ibunya kepadanya, baik ilmu silat maupun ilmu menulis membaca, sekali dihafal dilatih terus saja bisa. Tentu saja ibunya merasa girang dan bangga sekali. Dalam usia empat belas tahun saja, habislah semua ilmu silat yang dimiliki ibunya, semua sudah diajarkan kepada puteranya itui Ketika ibunya menyatakan bahwa tidak ada ilmu lain lagi yang dapat diajarkan, Tek Hoat merasa tidak puas.

   "Ibu, apakah sekarang aku telah menjadi seorang pendekar?"

   Ibunya tertawa dan merangkul puteranya yang kini telah menjadi seorang jejaka kecil yang tampan sekali.

   "Pendekar? Aihh, Hoat-ji (anak Hoat), tidak mudah menjadi seorang pendekar! Di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, dan kepandaian ibumu terbatas sekali. Memang kalau dibandingkan dengan anak sebaya, agaknya engkau sudah merupakan seorang anak yang sukar dicari lawannya. Akan tetapi di dunia kang-ouw, orang-orang yang memiliki kepandaian jauh melebihi kita amat banyak sekali."

   "Ada orang yang lebih pandai dari ibu?"

   Tanya anak berusia empat belas tahun itu. Ang Siok Bi tertawa.

   "Baru di Bu-tong-pai saja, tingkat ibu paling banyak hanya menduduki ke empat!"

   Tiba-tiba wanita ini berhenti karena baru teringat bahwa dia dengan tanpa disengaja telah membuka rahasia, padahal dia sudah mengambil keputusan untuk menjauhkan puteranya dari Bu-tong-pai?

   "Bu-tong-pai?"

   Tek Hoat bertanya, mendesak ketika melihat ibunya meragu. Ang Siok Bi menarik napas panjang. Dia sudah terlanjur bicara, dan anaknya cerdik, tentu akan menaruh curiga dan kalau saja kelak anaknya menyelidiki sendiri kemudian tahu bahwa mereka adalah anak murid Bu-tong-pai, tentu anaknya akan menegurnya. Maka dia berkata,

   "Benar, anakku, Bu-tong-pai. Ibumu adalah murid Bu-tong-pai dan ilmu silat yang kita latih adalah ilmu silat Bu-tong-pai. Ketahuilah bahwa ibumu ini adalah puteri mendiang ketua Bu-tong-pai yang bernama Ang Lojin."

   Berseri wajah Tek Hoat mendengar ini.

   "Ahh, jadi jelek-jelek aku ini cucu ketua Bu-tong-pai?"

   "Hanya bekas ketua, anakku. Sekarang ketuanya tentu lain orang lagi."

   "Siapa ketuanya, ibu?"

   "Ketuanya sekarang adalah seorang tosu bernama Giok Thian-sicu, masih sute dari kong-kongmu sendiri."

   "Ilmu silatnya tentu tinggi sekali, ibu?"

   "Tentu saja, dan masih banyak tokoh lain di Bu-tong-pai yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari kita. Akan tetapi itu tidak semua, di dunia kang-ouw ini masih terlalu banyak untuk disebutkan tokoh-tokoh yang amat lihai, yang amat sakti. Bahkan ada yang ilmu kepandaiannya amat luar biasa, seperti dewa saja."

   Tek Hoat membelalakkan matanya.

   "Benarkah, ibu?"

   Dia tidak percaya karena selama ini dia menganggap bahwa ibunya merupakan orang paling hebat di dunia ini.

   "Siapakah mereka yang memiliki kepandaian melebihi ketua Bu-tong-pai dan para tokohnya?"

   "Banyak, anakku. Akan tetapi kurasa tidak akan ada yang melebihi kepandaian seorang yang amat terkenal dahulu, yang sekarang tidak pernah muncul, seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman."

   "Eh? Dia manusia atau siluman, ibu?"

   Ibunya tersenyum.

   "Tentu saja manusia. Saking saktinya, karena dia bisa menghilang, dia bisa mengubah rupa menjadi apa saja, maka dia dijuluki Pendekar Siluman."

   "Pendekar Siluman...."

   Tek Hoat berkata perlahan.

   "Juga Pendekar.... Super Sakti."

   "Pendekar Super Sakti...."

   Kembali Tek Hoat menggumam penuh kekaguman.

   "Dia Majikan Pulau Es!"

   "Pulau Es.... di manakah Pulau Es itu, ibu?"

   "Siapa tahu? Pulau Es seperti dalam dongeng saja, disebut-sebut orang akan tetapi tidak ada yang tahu di mana letaknya."

   "Ibu, apakah dia orang yang paling pandai di dunia ini?"

   "Mungkin begitulah. Siapa yang tahu?"

   "Ibu, aku ingin mencari Pendekar Siluman!"

   "Eh, mau apa kau?"

   "Aku mau menantangnya."

   "Kau gila?"

   "Aku ingin membuktikannya sendiri apakah dia itu benar-benar sakti seperti yang ibu katakan. Kalau benar demikian, aku ingin berguru kepadanya agar kelak menjadi seorang pendekar terpandai."

   Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Mudah diucapkan akan tetapi tak mungkin dilaksanakan, anakku. Entah berapa banyaknya orang yang hendak menemukannya, akan tetapi tidak ada yang tahu di mana adanya pendekar sakti itu, dan di mana pula letaknya Pulau Es."

   "Akan tetapi aku ingin memperdalam ilmu silatku, ibu, dan kau sudah tidak dapat mengajarku lagi, ibu."

   Hati ibu itu menjadi bingung karena apa yang dikatakan puteranya memang benar. Ilmu silatnya sudah habis ditumpahkan kepada puteranya semua dan kalau pada waktu itu tingkatnya masih lebih menang dari puteranya hanyalah karena dia menang latihan belaka.

   "Hoat-ji, ilmu silatmu bersumber kepada ilmu silat Bu-tong-pai, maka yang dapat memperdalamnya hanyalah tokoh-tokoh di sana...."

   Tiba-tiba Ang Siok Bi menghentikan kata-katanya dan memandang penuh kekhawatiran. Dia kembali telah terlanjur bicara dan bagaimana kalau puteranya menemui ketua Bu-tong-pai? Apakah puteranya akan diterima dan diakui sebagai murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalau ada yang membocorkan rahasianya sehingga puteranya tahu bahwa dia adalah seorang anak haram yang tidak mempunyai ayah? Memang tidak ada yang tahu bahwa dia telah diperkosa oleh Gak Bun Beng (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS), akan tetapi semua pimpinan Bu-tong-pai tahu bahwa dia melahirkan anak tanpa suami!

   "Ibu, aku akan pergi sekarang juga."

   "Anakku, jangan ke Bu-tong-pai. Ibumu sudah tidak diakui sebagai murid lagi, engkau tentu akan ditolak."

   "Hemm, aku ingin mencari Pendekar Siluman, atau tokoh kang-ouw lain kalau Bu-tong-pai tidak mau menerimaku."

   "Hoat-ji, jangan pergi. Ibumu bagaimana....?"

   Tek Hoat mengerutkan alisnya dan kemudian dia tersenyum, merangkul ibunya yang mulai menangis.

   "Ibu, mengapa ibu menjadi cengeng? Bukankah ibu menghendaki anakmu menjadi seorang pendekar tanpa tanding?"

   Pandai sekali Tek Hoat menghibur ibunya sehingga akhirnya, biarpun dengan air mata bercucuran, ibunya membiarkan dia pergi dengan bekal secukupnya, dengan janji bahwa setiap tahun dia harus pulang menengok ibunya. Berangkatlah Tek Hoat yang berusia empat belas tahun itu, masih kanak-kanak akan tetapi memiliki keberanian luar biasa. Mulailah dia merantau dan di sepanjang jalan dia bertanya-tanya kepada orang di mana letaknya Pulau Es atau di mana tempat tinggal Pendekar Siluman. Tentu saja dia selalu kecewa. Orang biasa tidak ada yang tahu siapa itu Pendekar Siluman dan di mana itu Pulau Es, sedangkan orang kang-ouw yang ditanyanya membelalakkan matanya dengan heran dan takut,

   Akan tetapi juga tidak ada yang tahu di mana adanya Pulau Es dan di mana pula tinggalnya Pendekar Siluman yang dikenal oleh seluruh tokoh kong-ouw itu. Karena tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya, akhirnya anak yang belum dewasa akan tetapi memiliki ketabahan luar biasa itu lalu menuju ke Bu-tong-san untuk memperdalam ilmunya dengan berguru kepada Bu-tong-pai. Tentu saja amat mudah mencari Bu-tong-pai sungguhpun dia harus pula melakukan perjalanan sampai lebih dari satu bulan lamanya. Pada waktu dia akhirnya berhasil berhadapan dengan dua orang anggauta pimpinan Bu-tong-pai yang mewakili ketua menemui pemuda kecil ini, kembali Tek Hoat dikecewakan bukan main. Dua orang kakek itu dengan kening berkerut mendengarkan pengakuan Tek Hoat sebagai putera Ang Siok Bi yang ingin melanjutkan pelajaran ilmu silat di Bu-tong-pai.

   "Hemm, kami tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan seorang yang bernama Ang Siok Bi,"

   Seorang di antara mereka, yang berpakaian tosu berkata.

   "Dan kami tidak dapat menerima murid dari luar, apa lagi keturunan dari Ang Siok Bi."

   Hati anak yang penuh keberanian itu menjadi panas. Ibunya sudah memperingatkannya, akan tetapi dia merasa penasaran dan berkata keras,

   "Mengapa begitu? Bukankah kakekku dahulu pernah menjadi ketua kalian?"

   Tosu itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam.

   "Tidak ada kakekmu yang menjadi ketua kami. Pergilah, anak bandel dan jangan kau berani datang lagi ke sini."

   Dapat dibayangkan betapa kecewa, jengkel dan marah hati anak itu. Sebulan lebih dia melakukan perjalanan yang amat melelahkan untuk mencapai tempat ini, dan setelah berhasil tiba di Bu-tong-pai di mana kakeknya pernah menjadi ketua, bukan saja dia ditolak untuk menjadi murid, bahkan dia tidak dihormati sama sekali, diusir dan dihina!

   "Kalau begitu kalian bukan orang Bu-tong-pai! Kata ibu, Bu-tong-pai adalah pusat orang-orang gagah, akan tetapi sikap kalian sama sekali tidak gagah. Aku malah akan merasa malu menjadi murid Bu-tong-pai!"

   "Anak haram!"

   Orang kedua dari Bu-tong-pai yang berpakaian seperti seorang petani membentak, tangannya melayang ke arah kepala Tek Hoat. Anak ini tentu saja tidak mau kepalanya ditampar, dan dia lalu mengelak dan balas menendang dengan jurus yang paling lihai dari ilmu silatnya. Sambil menendang, tangannya menyusul dan memukul ke arah ulu hati lawan!

   "Plak.... brukkk....!"

   Tubuh Tek Hoat terbanting keras. Ternyata kakek itu telah dapat menangkap kaki dan tangannya lalu melemparkannya sampai sejauh empat meter dimana dia terbanting keras membuat kepalanya nanar dan matanya berkunang!

   Akan tetapi saking marahnya, Tek Hoat sudah melompat bangun lagi dan berlari ke depan, menerjang marah, melancarkan pukulan bertubi. Kembali dia terjengkang roboh karena sebelum serangannya yang dikenal baik oleh kakek itu mengenai tubuh lawan, dia telah didahului dan didorong. Tek Hoat masih belum mau kalah, sampai lima kali dia maju lagi, lima kali terjengkang dan tubuhnya sudah lecet-lecet, kepalanya bengkak dan pakaiannya robek-robek. Kini dia merangkak bangun, menghapus darah yang mengalir dari bibirnya yang pecah, matanya berapi memandangi kedua orang kakek yang berdiri tenang itu, kepalanya digoyang-goyang, karena pandang matanya berputar, akan tetapi dia bangkit lagi dengan susah payah dan dengan nekat dia hendak menyerang lagi.

   "Bocah hina, apakah kau ingin mampus?"

   Kakek itu berteriak marah. Tek Hoat meloncat maju dan memukul nekat.

   "Bressss....!"

   Kini tubuhnya terbanting dan bergulingan sampai jauh. Pening sekali kepalanya dan dia hanya dapat bangkit duduk, memegangi kepalanya dan dari kedua lubang hidungnya mengalir darah.

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hemmm.... orang-orang Bu-tong-pai memukul anak kecil. Betapa anehnya ini!"

   Tiba-tiba muncul seorang kakek tua yang mukanya menyeramkan. Kakek ini mukanya persegi dan dilingkari rambut putih seperti muka singa, matanya mengeluarkan sinar penuh wibawa, akan tetapi kedua kakinya lumpuh! Hebatnya, biarpun kedua kakinya tak dapat digerakkan dan ditekuk seperti orang bersila, kakek ini mampu bergerak cepat dengan tubuh berlompat-lompatan! Kakek itu menghampiri Tek Hoat, setelah memeriksa tubuh anak itu dia mengangguk-angguk.

   "Betapa pun juga, kalian tidak menjatuhkan tangan maut. Kalau hal itu terjadi, tentu aku tidak akan tinggal diam!"

   Kakek itu lalu menyambar tubuh Tek Hoat dan sekali berkelebat dia telah lenyap dari situ, diikuti pandang mata kedua orang tokoh Bu-tong-pai yang terheran-heran. Sementara itu, Tek Hoat tadi melihat munculnya kakek lumpuh yang mukanya menakutkan itu. Ketika tiba-tiba kakek itu mengempit tubuhnya di bawah ketiak dan membawanya "terbang"

   Cepat, dia terkejut sekali akan tetapi juga girang. Dia melihat betapa tubuh kakek itu tanpa menggunakan kaki yang bersila, akan tetapi cepatnya seperti seekor rusa membalap sampai dia merasa ngeri dan kadang-kadang memejamkan mata kalau melihat dirinya dibawa terbang melewati sebuah jurang yang lebar dan dalam sekali.

   "Kakek yang baik, aku ingin menjadi muridmu!"

   Tiba-tiba Tek Hoat berkata setelah mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat. Kakek lumpuh ini melepaskan tubuhnya dan Tek Hoat cepat berlutut. Kakek itu tertawa, mengelus jenggotnya yang putih semua.

   "Aku tidak akan mengambil murid! Sekali mengambil murid, tentu hanya akan menimbulkan urusan belaka di kemudian hari. Aku sudah tua, sudah enak-enak hidup tenang dan penuh damai, mengapa mesti mencari perkara? Tidak, aku tidak akan menerima murid."

   Tek Hoat menjadi kecewa bukan main. Dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang amat lihai, biarpun kedua kakinya lumpuh. Tentu inilah orang yang disebut orang sakti oleh ibunya. Akan tetapi, ternyata kakek itupun menolaknya untuk menjadi murid. Sial benar. Kekecewaan membuat dia menjadi marah dan suaranya kaku ketika dia berkata,

   "Kalau engkau tidak mau mengambil aku sebagai murid, mengapa kau tadi menolongku? Biarlah aku dibunuh oleh kakek Bu-tong-pai, apa sangkut-pautnya denganmu?"

   Kakek itu tercengang, akan tetapi tetap tertawa.

   "Melihat anak kecil dipukul tokoh-tokoh Bu-tong-pai, bagaimana aku dapat mendiamkannya saja. Hei, anak baik, mengapa engkau dipukuli mereka? Apakah engkau mencuri sesuatu?"

   "Sudahlah, kalau engkau tidak mau mengambil murid kepadaku, mengapa masih banyak cakap lagi? Aku hanya mempunyai sebuah permintaan lagi, kalau kau tidak mau memenuhinya, benar-benar aku tidak mengerti mengapa kau begini usil mencampuri urusan orang lain! Permintaanku adalah agar kau suka menunjukkan kepadaku tempat tinggal seorang yang kucari-cari. Engkau tentu seorang kang-ouw yang sakti, maka kalau kau mengatakan tidak tahu, berarti kau bohong."

   "Kau anak luar biasa. Katakan, siapa yang kau cari itu?"

   "Aku mencari Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tahukah engkau di mana dia berada dan bagaimana aku dapat bertemu dengannya? Heii.... engkau kenapa?"

   Tek Hoat berseru melihat kakek lumpuh itu memandangnya dengan mata terbelalak seolah-olah dia telah berubah menjadi setan yang menakutkan! Tentu saja kakek itu terkejut bukan main mendengar anak ini mencari Pendekar Siluman! Kakek ini berjuluk Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Singa), namanya sendiri yang telah dilupakan orang dan hampir dilupakan sendiri olehnya adalah Bhok Toan Kok dan dia dahulu pernah menjadi pembantu utama dari Puteri Nirahai ketika puteri ini menjadi ketua Thian-liong-pang (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS). Seperti telah diceritakan dalam SEPASANG PEDANG IBLIS, Sai-cu Lo-mo meninggalkan Pulau Es yang pertama kali dikunjunginya itu bersama dengan Milana yang oleh ayahnya disuruh ikut kakeknya, kaisar di kota raja.

   Kakek lumpuh namun lihai ini seolah-olah menjadi wakil Puteri Nirahai untuk menemani puterinya di kota raja dan sebelum pergi meninggalkan Pulau Es, kakek lumpuh ini oleh bekas ketuanya, Nirahai, telah dibekali beberapa buah kitab pusaka ilmu silat yang hebat untuk menambah kepandaiannya setelah kedua kakinya lumpuh. Selama dua tahun Sai-cu Lo-mo tinggal di kota raja, seperti seorang pensiunan di istana karena Milana menghendaki demikian dan tentu kaisar memenuhi permintaan cucunya ini. Akan tetapi melihat betapa Milana seperti terpaksa menikah dengan seorang suami yang memenuhi syarat sayembara, yaitu seorang panglima muda berdarah bangsawan bernama Han Wi Kong, hati kakek ini merasa perih sekali.

   Dia maklum betapa dara yang disayangnya itu menikah dengan terpaksa, menikah dengan orang yang tidak dicintanya. Dia tahu betapa hati dara itu masih melekat kepada Gak Bun Beng! Dia tidak tahu di mana adanya Gak Bun Beng, cucu keponakannya itu dan melihat betapa ikatan cinta kasih antara Gak Bun Beng dan Milana terputus, melihat betapa Milana kini terpaksa menyerahkan diri menjadi isteri orang lain, hatinya merasa sengsara sekali. Karena inilah, setelah Milana menikah kakek lumpuh ini meninggalkan istana, meninggalkan kota raja dan merantau ke mana-mana untuk mencari cucu keponakannya, Gak Bun Beng! Dalam perantauannya ini dia bertemu dengan Ang Tek Hoat dan dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar betapa bocah yang bandel ini hendak mencari Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!

   "Eh, anak yang luar biasa anehnya! Engkau benar-benar hendak mencari Pendekar Siluman?"

   Tek Hoat memandang kakek itu dengan penuh minat. Jangan-jangan kakek ini sendiri yang berjuluk Pendekar Siluman! Memang pantas. Mukanya seperti singa, menakutkan, kedua kakinya lumpuh akan tetapi dapat berlari begitu cepat, seolah-olah tanpa kaki dapat berlari secepat terbang. Ini mirip siluman!

   "Apakah engkau Pendekar Siluman?"

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Sai-cu Lo-mo tertawa sampai matanya mengeluarkan air mata. Dia disangka Suma Han Si Pendekar Super Sakti! Biarpun dia telah melatih isi kitab pelajaran ilmu silat tinggi yang dia terima dari bekas ketuanya yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti, biarpun kini kepandaiannya sudah meningkat jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sebelum kakinya lumpuh, namun kalau dibandingkan dengan kepandaian Pendekar Siluman, benar-benar menggelikan!

   "Ha-ha-ha, kau belum tahu siapa itu Pendekar Siluman, akan tetapi kau sudah hendak mencarinya. Mau apakah kau mencari Pendekar Siluman"

   "Aku mau menantangnya!" "Heiiii....? Kau....? Menantangnya...?"

   Sekarang kakek ini terbelalak karena jawaban anak ini benar-benar mengejutkan.

   "Mengapa?"

   "Aku hendak membuktikan kata-kata ibu. Kalau benar dia merupakan pendekar yang terpandai di kolong langit, aku akan berguru kepadanya."

   "Bocah lancang! Kau kira begitu mudah menantang dia atau berguru kepadanya? Mencarinya lebih sukar daripada mencari naga di langit. Eh, kau siapakah dan mengapa kau tadi dipukul orang Bu-tong-pai?"

   "Aku datang ke Bu-tong-pai hendak berguru, memperdalam ilmu silatku karena ibuku adalah murid Bu-tong-pai dan kakekku bahkan pernah menjadi ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi orang-orang Bu-tong-pai tidak baik, malah memukulku."

   Kakek itu memandang tajam.

   "Siapa kakekmu?"

   "Kakekku sudah meninggal dunia, dahulu dia menjadi ketua Bu-tong-pai, namanya Ang Lojin."

   "Ang Lojin....?"

   Tentu saja Sai-cu Lo-mo mengenal ketua Bu-tong-pai itu, mengenalnya dengan baik karena ketua Bu-tong-pai itu dahulu pernah ditawan secara halus oleh Thian-liong-pang ketika ketuanya, Nirahai, ingin melihat dasar kepandaian semua tokoh persilatan (baca ceritera SEPASANG PEDANG IBLIS).

   "Ya. Dan ibuku bernama Ang Siok Bi, sedangkan namaku Ang Tek Hoat."

   Mata yang biasanya kelihatan seperti orang mengantuk dari kakek lumpuh itu kini terbelalak. Tentu saja dia tahu siapa Ang Siok Bi! Gadis muda berpakaian kuning, puteri ketua Bu-tong-pai, yang bersama-sama Milana dan Lu Kim Bwee telah mengeroyok Gak Bun Beng cucu keponakannya karena dituduh telah mem-perkosanya!

   "Ibumu yang suka memakai pakaian kuning itu....?"

   Tanyanya di luar kesadarannya karena hatinya yang bicara, menduga-duga setelah dia membayangkan peristiwa belasan tahun yang lalu itu. Tek Hoat tercengang.

   "Kau sudah mengenal ibuku?"

   Sai-cu Lo-mo tidak menjawab, hanya mengelus jenggotnya dan termenung. Dia mengenangkan semua peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu. Dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa cucu keponakannya, Gak Bun Beng, dikeroyok oleh gadis-gadis yang membencinya. Milana, Ang Siok Bi, Lu Kim Bwee yang menganggap Gak Bun Beng sebagai seorang penjahat besar, seorang pemerkosa yang keji. Karena dia sendiri percaya akan cerita Milana, maka melihat cucu keponakannya dikeroyok dan hendak dibunuh, dia tidak berdaya sampai akhirnya Gak Bun Beng terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam. Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng tidak tewas dan dia bertemu lagi dengan cucu keponakannya itu di Pulau Es dan di tempat inilah dia mendapat kenyataan hebat,

   Tentang terbukanya semua rahasia yang selama ini mengganggu hatinya. Dia mendapat kenyataan bahwa Gak Bun Beng sama sekali tidak berdosa! Gak Bun Beng hanya dipergunakan namanya oleh orang lain yang melakukan semua perkosaan itu! Bukan Gak Bun Beng cucu keponakannya yang telah memperkosa Ang Siok Bi, Lu Kim Bwee atau siapapun juga, melainkan orang sengaja hendak merusak nama cucu keponakannya itu. Dan orang itu bukan lain adalah Wan Keng In yang kini telah tewas. Wan Keng In putera Lulu, anak tiri Pendekar Super Sakti (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS). Sai-cu Lo-mo memandang Tek Hoat dengan penuh selidik. Kasihan, pikirnya. Jadi anak ini adalah anak Ang Siok Bi, gadis yang telah diperkosa orang yang bernama Gak Bun Beng?

   "Anak baik, siapakah nama ayahmu?"

   Tiba-tiba dia bertanya, di dalam hatinya merasa bersyukur juga bahwa gadis yang telah terhina itu akhirnya dapat juga memperoleh jodoh dan bahkan dari perjodohan itu agaknya telah memperoleh anak yang dia lihat amat berbakat, berani, dan cerdik ini.

   "Ayahku bernama Ang Thian Pa, sekarang telah meninggal dunia."

   Sai-cu Lo-mo tercengang. Ang Thian Pa? Bukankah Ang Thian Pa nama asli dari Ang Lojin sendiri?

   "Siapa bilang bahwa nama ayahmu Ang Thian Pa?"

   "Kakek aneh, siapa lagi kalau bukan ibu yang bilang? Saya tidak pernah melihat wajah ayah. Kata ibu, ayah telah meninggal dunia ketika aku berada di dalam kandungan ibu."

   Kembali kakek itu mengelus jenggotnya. Sungguh tidak disangkanya sama sekali! Sungguh kasihan wanita yang bernama Ang Siok Bi itu. Kini dia tidak ragu-ragu lagi. Anak ini tentu anak yang terlahir akibat perbuatan Wan Keng In yang memperkosa gadis itu! Timbul rasa iba besar di dalam hatinya terhadap anak ini.

   "Ang Tek Hoat, aku mau menerima kau sebagai muridku, akan tetapi syaratnya engkau harus berani hidup sengsara dan kekurangan, ikut aku merantau dan hanya akan kulatih ilmu silat selama dua tahun, dan kelak kau sama sekali tidak boleh menyebut namaku sebagai gurumu. Bagaimana, maukah kau menerima syarat itu?"

   Tek Hoat adalah seorang anak yang cerdik sekali. Dengan girang dia lalu berlutut di depan kakek lumpuh itu, mengubah sikapnya menjadi penuh hormat dan berkata,

   "Suhu, teecu menerima semua syarat itu, dan mohon Suhu sudi memberitahukan nama Suhu."

   "Ha-ha-ha, namaku sendiri aku sudah lupa, akan tetapi orang menyebutku Sai-cu Lo-mo, nama julukan yang dilebih-lebihkan karena singa ini sudah lumpuh!"

   Mulai saat itu, Tek Hoat menjadi murid Sai-cu Lo-mo dan ke manapun juga kakek itu pergi, dia mengikutinya, melayani gurunya dengan penuh kebaktian sehingga kakek ini menjadi girang sekali lalu mengajarkan ilmu silat yang tinggi kepada Tek Hoat.

   Dia mengajarkan ilmu silat gabungan dari Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) yang sudah diperbaikinya setelah kakek ini mempelajari kitab-kitab pusaka pemberian Nirahai, juga dia mengajarkan sin-kang yang mengandung hawa panas, juga ilmu ini adalah hasil daripada pemberian Nirahai setelah dia menjadi lumpuh kedua kakinya. Makin girang hatinya melihat ketekunan dan kecerdasan Tek Hoat berlatih dengan ilmu-ilmu ini. Mereka melakukan perantauan ke mana-mana akan tetapi selalu kakek itu menghindarkan diri dari persoalan dengan orang lain, bahkan selalu menyembunyikan diri karena memang dia sudah mual dengan persoalan di dunia, apalagi dengan permusuhan-permusuhan di antara manusia.

   Patut disayangkan, dan amat tidak baik bagi Tek Hoat, kakek itu sama sekali tidak mengacuhkan tentang pendidikan. Dia hanya membawa muridnya merantau dan mengajar silat kepadanya, dan tentang pendidikan batin, dia sama sekali tidak mempedulikan. Padahal ketika itu Tek Hoat merupakan seorang remaja, seorang anak laki-laki yang sedang berangkat menuju kedewasaannya. Usia remaja menjelang dewasa ini merupakan usia yang paling gawat karena jiwa petualang yang ada dalam diri anak itu sedang menonjol mencari penyaluran dan pemuasan dari keinginantahunya akan segala macam hal. Demikianlah, selama dua tahun itu Tek Hoat berangkat dewasa tanpa bimbingan sama sekali, tumbuh dengan liar. Dia telah berusia enam belas tahun, memiliki kepandaian yang hebat dan wataknya aneh,

   Sukar dijenguk isi hatinya karena pada wajahnya yang tampan itu selalu terbayang senyum dan pandang matanya yang tajam tidak membayangkan perasaan hatinya. Setelah sekali lagi dia harus berjanji kepada Sai-cu Lo-mo bahwa dia kelak tidak akan menyebut-nyebut nama kakek ini sebagai gurunya, mereka saling berpisah. Tek Hoat melanjutkan perjalanan seorang diri dan pemuda ini merasa lega hatinya. Selama dekat dengan gurunya, dia tidak merasa bebas karena biarpun gurunya tidak mempedulikannya, dia mengerti bahwa gurunya tentu akan turun tangan apabila dia melakukan sesuatu yang tidak disukai gurunya. Kini dia bebas, seperti seekor burung terbang di angkasa. Dia tidak mau pulang dulu kepada ibunya, karena apa artinya pulang kalau dia tidak membawa hasil apa-apa?

   Dia memang sudah memperoleh hasil, yaitu ilmu yang tinggi dari Sai-cu Lo-mo, akan tetapi pemuda ini belum merasa puas. Bekal uang yang dibawanya ketika mulai meninggalkan tempat tinggalnya, hampir habis dan pakaiannya yang baik hanya tinggal dua stel lagi. Dia akan terlantar kalau tidak lekas mendapatkan uang dan pakaian. Padahal dia masih belum menemukan apa yang dicarinya ketika dia meninggalkan rumah ibunya, yaitu Pendekar Siluman! Dan dia harus datang lagi ke Bu-tong-pai. Dia akan mencoba kepandaiannya lagi melawan kakek Bu-tong-pai yang dulu pernah menghajarnya. Sebelum dapat membalas kepada kakek itu, dia akan selalu merasa penasaran. Demikianlah, pada pagi hari Tek Hoat tiba di kota Shen-yang, tak jauh dari kota raja, lalu dia memasuki sebuah rumah makan yang baru buka dan masih kosong belum ada tamu lainnya.

   Hari masih terlalu pagi untuk makan, akan tetapi Tek Hoat yang melakukan perjalanan jauh yang melelahkan, bahkan semalam suntuk dia tidak berhenti berjalan, merasa lapar sekali. Sudah dua hari dua malam dia berpisah dari gurunya, berpisah di hutan yang berada tidak jauh dari kota raja, hanya memakan waktu perjalan-an tiga hari. Maka dia ingin sekali mengunjungi kota raja, karena selama dia bersama gurunya, kakek itu tidak pernah mau memasuki kota besar, apa lagi kota raja. Dari tempat dia duduk, Tek Hoat dapat melihat kesibukan orang berlalu lalang di luar rumah makan, dan kalau dia menengok ke dalam, dia dapat mendengar pula kesibukan di sebelah belakang ruangan itu, agaknya di dapur, di sana orang mempersiapkan hidangan yang dipesan tamu. Terdengar suara ayam dipotong, suara orang menuangkan air, mencacah daging dan sebagainya di sebelah dalam itu.

   Rumah makan ini cukup besar, perabotnya masih baru dan agaknya termasuk rumah makan terkenal di Kota Sen-yang. Bahkan Tek Hoat dapat melihat bayangan wanita di samping mendengar suara mereka yang merdu. Pemuda itu makan dengan lahapnya. Masakan rumah makan itu memang terkenal enak dan perutnya lapar sekali, maka dia makan dengan penuh semangat sehingga dia tidak perduli akan masuknya serombongan tamu yang disambut dengan penuh hormat oleh dua orang pelayan. Mereka ini terdiri dari tujuh orang, rata-rata bertubuh tinggi besar dan tegap, berpakaian sebagai jagoan silat berikut lagak-lagak mereka, lagak jagoan. Dengan hiruk-pikuk mereka menaruh golok dan pedang di atas meja, bicara dengan suara keras, tertawa-tawa, tidak memperdulikan keadaan sekelilingnya. Pendeknya, lagak jagoan-jagoan.

   Ketika seorang di antara mereka mendengus dan membuang ludah dengan suara menjijikkan, barulah Tek Hoat mengangkat muka memandang. Baru dia tahu bahwa di sebelah dalam, tak jauh dari pintu tembusan ruangan itu ke dalam, telah duduk tujuh orang laki-laki kasar itu mengelilingi meja besar sambil tertawa-tawa dan bercakap-cakap dengan sikap dan lagak jumawa. Akan tetapi dia tidak mau perduli lagi kepada mereka dan melanjutkan makan minum. Tujuh orang itu adalah jagoan-jagoan kota Shen-bun yang letaknya hanya tiga puluh mil dari Shen-yang dan nama mereka amat terkenal di daerah itu sampai ke kota raja. Mereka bukanlah penjahat-penjahat atau perampok, sebaliknya malah. Mereka adalah gerombolan orang yang tidak bekerja tetapi menjadi kaya karena kejagoan mereka, mendapat "sumbangan"

   Dari para hartawan yang membutuhkan "perlindungan"

   Mereka.

   Nama Jit-hui-houw (Tujuh Harimau Terbang) sudah merupakan momok bagi mereka yang kaya dan demi keamanan mereka dan harta mereka, para hartawan ini dengan rela menyerahkan sejumlah sumbangan kepada mereka setiap bulan dan hal ini memang amat menguntungkan mereka karena tidak ada penjahat berani mengganggu hartawan yang "dilindungi"

   Oleh Jit-hui-houw! Akan tetapi, nama besar dan pengaruh mereka yang menakutkan itu mendatangkan kesombongan dalam hati mereka, dan biarpun mereka tidak melakukan perampokan atau kejahatan lain secara terang-terangan, namun sering juga mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang mengandalkan kepandaian dan nama besar mereka.

   Para pelayan rumah makan tentu saja sudah mengenal mereka biarpun baru beberapa kali Jit-hui-houw makan di tempat ini. Kalau agak siang sedikit saja, tentu mereka akan bersarapan di rumah makan lain yang lebih besar. Dengan suara ribut mereka memesan arak dan bakpauw karena bakpauw buatan rumah makan ini memang terkenal enak. Kemudian mereka menyerang bakpauw, minum arak tanpa takaran lagi sehingga sebentar saja suara ketawa mereka makin lantang, sendau-gurau mereka makin kotor. Ketika mereka melihat berkelebatnya pakaian seorang wanita di bagian belakang rumah makan, mereka lalu berbisik-bisik, kemudian dua orang di antara mereka yang agaknya menjadi pimpinan mereka, berdiri agak terhuyung karena setengah mabok, menghampiri meja di mana duduk majikan rumah makan itu dan berkata,

   "Perut kami mulas. Kami hendak ikut ke kamar kecil di belakang."

   Pemilik rumah makan itu berubah air mukanya. Kakek yang usianya sudah lima puluh tahun lebih itu pucat dan mendapat firasat tidak enak, maka dia hanya mengangguk-angguk karena tidak berani melarang, akan tetapi sambil meneriaki seorang pelayan agar menyuruh nyonya dan nona menyingkir. Akan tetapi, kedua orang itu sambil tertawa-tawa sudah melangkah masuk mendahului pelayan, semua pelayan yang berada di luar tidak berani masuk, muka mereka pucat sedangkan lima orang jagoan yang masih duduk di luar tertawa bergelak. Ketika kakek pemilik rumah makan, yang melihat gelagat tidak baik, bangkit dan hendak mengejar ke dalam, tiba-tiba tangannya disambar oleh seorang jagoan dan ditariknya ke meja mereka.

   "Lopek yang baik, engkau sebagai tuan rumah marilah temani kami minum arak. Bukankah kita adalah sahabat-sahabat baik? Ha-ha-ha!"

   "Maaf.... saya.... saya...."

   "Ahhh, apakah Lopek tidak menghargai ajakan kami? Jangan khawatir, yang lopek makan dan minum menjadi tanggung jawab kami untuk membayarnya. Ha-ha-ha!"

   Tangan yang menggenggam pergelangan kakek itu mencengkeram dan si kakek pemilik rumah makan meringis kesakitan dan tidak berani banyak membantah lagi. Dia duduk akan tetapi mukanya yang pucat selalu menoleh ke dalam. Tek Hoat sudah merasa curiga sekali sejak perhatiannya tertarik kepada tujuh orang itu. Apalagi ketika dua orang di antara mereka memasuki ruangan dalam dan melihat pula pemilik rumah makan dipaksa duduk menemani lima orang yang lain, dia mengerutkan alisnya, menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu. Karena Tek Hoat sudah mencurahkan perhatiannya, mengerahkan ketajaman tenaganya, maka dia dapat menangkap suara lirih yang keluar dari ruangan dalam di sebelah belakang rumah makan itu, suara lirih yang tidak akan dapat tertangkap oleh pendengaran telinga biasa, suara wanita!

   "Ampun.... ah, jangan....!"

   Dan terdengar isak tertahan karena takut. Cepat sekali tubuh Tek Hoat meloncat dari atas bangkunya dan tubuhnya sudah berkelebat masuk ke ruangan belakang.

   "Haiii....!"

   Lima orang jagoan itu berteriak heran dan mereka sudah bangkit semua. Akan tetapi Tek Hoat tidak mempedulikan mereka, terus menerobos masuk. Para pelayan yang berada di belakang berkelompok, berdiri ketakutan.

   "Di mana mereka?"

   Tek Hoat bertanya singkat. Para pelayan itu menggerakkan muka, menunjuk dengan dagu ke arah sebuah kamar yang tertutup daun pintunya.

   "Brakkkk....!"

   Daun pintu itu pecah diterjang Tek Hoat. Ketika dia masuk pemuda ini terbelalak penuh keheranan, akan tetapi juga kemarahan melihat betapa seorang gadis muda yang cantik sedang bergulat mempertahankan kehormatannya dari perkosaan seorang di an-tara jagoan tadi. Bajunya sudah terobek lebar sehingga tampak baju dalamnya yang sudah terkoyak pula. Dan hal yang sama terjadi pula di sudut kamar, di atas lantai di mana seorang wanita berusia tiga puluh tahun lebih, akan tetapi cantik sekali, lebih cantik dari gadis itu, dengan tubuh yang padat menggairahkan sedang bergulat dengan jagoan ke dua. Agaknya, terlambat sedikit saja kedatangan Tek Hoat, kedua orang wanita itu, yang di atas pembaringan dan yang di atas lantai, tentu takkan dapat bertahan menghadapi tenaga kasar dua orang jagoan itu.

   "Keparat!"

   Tek Hoat meloncat ke depan. Dua kali tangannya menyambar ke arah muka jagoan yang menengok kaget itu.

   "Prak! Prak!"

   Dan dua orang jagoan itu terpelanting, tubuh mereka terkulai tak mampu bergerak lagi. Gadis yang ternyata sekarang kelihatan sudah terobek seluruh pakaiannya bagian depan, yang tadi tidak nampak karena tertindih oleh jagoan yang menyerangnya, menjerit dan berusaha menutupi tubuhnya, akan tetapi tak dapat dicegah lagi, tubuhnya yang telanjang bulat di bagian depan itu sudah terlihat oleh Tek Hoat. Pemuda ini menjadi merah mukanya, membuang muka dan menjambak rambut kedua orang jagoan, menyeretnya ke pintu kamar.

   "Haiii.... siapa dia? Hayo seret ke luar!"

   Lima orang jagoan sudah berlari memasuki ruangan dalam, akan tetapi tiba-tiba ada dua sosok tubuh melayang dari dalam dan menerjang mereka.

   "Awas....!"

   Mereka cepat menyambut terjangan dua sosok bayangan itu dengan pukulan-pukulan tangan mereka sehingga terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan mereka mengenai dua orang kawan itu.

   "Celaka!"

   Teriak mereka ketika melihat bahwa dua sosok tubuh yang kini menggeletak di depan kaki mereka itu adalah dua orang kawan mereka yang tadi mengganggu wanita di dalam, kini menggeletak dengan pakaian yang masih awut-awutan dan dengan kepala pecah. Yang mereka pukuli tadi adalah tubuh dua orang ini yang dilempar orang dari dalam dan keadaan mereka telah tidak bernyawa lagi! Dapat dibayangkan betapa besar kemarahan lima orang ini melihat dua orang saudara mereka telah tewas. Terdengar suara senjata dicabut dari sarungnya dan tampak sinar berkilauan ketika dua orang mencabut golok dan tiga orang yang lain mencabut pedang.

   "Kalian juga sudah bosan hidup?"

   Ucapan yang keluar dari mulut pemuda tanggung itu terdengar lucu, sama sekali tidak menakutkan, sama sekali tidak menyeramkan, akan tetapi amatlah mengherankan dan hampir lima orang itu tidak dapat percaya akan pandangan matanya sendiri. Benarkah dua orang suheng mereka itu tewas oleh bocah ini? Sejenak lima orang jagoan itu memandang dengan mata terbelalak, senjata masing-masing tergenggam di tangan. Siapa yang takkan menjadi ragu-ragu berhadapan dengan seorang pemuda remaja yang bertangan kosong ini? Pemuda itu hanya memiliki sebuah kelebihan, yaitu ketampanannya, akan tetapi apakah artinya wajah tampan? Tubuhnya kecil dan kelihatan lemah, sama sekali bukan "potongan"

   Jago kang-ouw. Benarkah pemuda remaja ini yang membunuh kedua orang suheng mereka?

   "Siapa engkau? Dan apa yang terjadi dengan suheng kami?"

   Tanya seorang di antara mereka sambil melangkah maju, pedangnya bersilang di depan dada.

   "Kalian belum tahu mengapa dua orang ini tewas? Mereka hendak memperkosa wanita, maka aku telah turun tangan membunuh mereka. Dan mau tahu namaku? Aku bernama.... Gak Bun Beng."

   Tek Hoat tiba-tiba saja timbul niat hatinya untuk menggunakan nama ini, nama orang yang membunuh ayahnya. Nama musuh besarnya yang telah mati. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia menggunakan nama itu, karena dia hanya ingin menyembunyikan namanya sendiri, masih terpengaruh oleh sikap gurunya yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan lain. Dia hanya ingin menggunakan nama sembarangan saja untuk menggantikan nama aselinya, dan pada saat dia sedang memilih nama pengganti, tiba-tiba saja nama musuhnya itu menyelinap di kepalanya.

   "Gak Bun Beng, berani kau membunuh dua orang suheng kami?"

   Sambil membentak demikian, orang berpedang itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Tek Hoat. Bagi orang di daerah itu, mungkin sekali nama Jit-hui-houw sudah terkenal dan ilmu kepandaiannya mereka sudah dianggap tinggi dan sukar dicari lawannya, akan tetapi bagi Tek Hoat yang sudah memiliki kepandaian tinggi, gerakan mereka terlalu lambat sehingga dengan mudah dia dapat mengikuti gerakan pedang yang menusuk dadanya. Dengan menggerakkan badannya miring, pedang meluncur lewat di samping tubuhnya dan secepat kilat tangan pemuda itu menyambar ke depan, jari tangannya menusuk ke arah mata lawan. Gerakannya demikian cepat sehingga lawan yang terancam matanya itu terkejut, memutar pedang menangkis ke atas untuk membabat tangan Tek Hoat.

   Akan tetapi gerakan serangan ke arah mata itu hanya tipuan belaka karena yang sesungguhnya bergerak adalah tangan kedua yang diam-diam dari bawah menyambar ke atas, mencengkeram tangan lawan yang memegang pedang dan di lain saat pedang itu sudah berpindah tangan! Dengan seenaknya, kedua tangan pemuda itu dengan saluran sin-kang yang amat kuat mematah-matahkan pedang itu seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja! Terdengar bunyi pletak-pietok dan pedang itu sudah patah-patah menjadi lima potong. Sebelum pemilik pedang sadar dari kaget dan herannya, Tek Hoat menggerakkan kedua tangannya bergantian dan potongan-potongan pedang menyambar seperti anak panah cepatnya menuju ke arah tubuh pemiliknya.

   Orang itu berusaha mengelak, namun luncuran potongan-potongan pedang itu terlalu laju dan jarak antara dia dan penyerangnya terlalu dekat sehingga lima potong baja itu menembus masuk ke dalam tubuhnya. Orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan roboh terjengkang, tewas seketika. Empat orang anggauta Jit-hui-houw kaget setengah mati, akan tetapi juga marah sekali. Mereka mengeluarkan teriakan dahsyat lalu berbareng maju menyerang dengan senjata mereka. Penye-rangan mereka cukup hebat dan sinar pedang dan golok berkelebatan menyilaukan mata. Para pengawal rumah makan sudah lari cerai berai. Menghadapi serangan bertubi-tubi dari empat orang yang marah itu, Tek Hoat sudah meloncat ke luar dan mereka melanjutkan pertandingan di dalam ruangan tamu di depan yang luas.

   Meja kursi beterbangan ditendangi empat orang itu ketika mereka mengejar dan mengepung Tek Hoat. Pemuda ini tenang-tenang saja, bahkan timbul sifat kekanak-kanakannya yang hendak mengajak empat orang pengeroyoknya main kucing-kucingan. Dia berlari ke sana ke mari mengitari meja, dikejar dan dihadang empat orang pengeroyoknya yang membacok atau menusuk setiap kali ada kesempatan. Setelah puas mempermainkan mereka sambil tersenyum-senyum mengejek, Tek Hoat lalu menyambar sepasang sumpit panjang dari atas meja, sepasang sumpit bambu dan dengan senjata sederhana ini dia meloncat ke depan, kini tidak lagi melarikan diri dikejar-kejar, bahkan dia yang berbalik menyerang! Begitu menyerang dia sudah bermain dengan ilmu silat gabungan Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-kun-hoat yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo.

   Ilmu silat ini memang dapat dilakukan dengan tangan kosong atau dengan senjata apapun dengan merubah sedikit gerak serangannya disesuaikan dengan senjata yang dipegangnya. Hebat bukan main gerakan pemuda ini, terlalu hebat, aneh, dan cepat bagi empat orang lawannya sehingga terdengar teriakan berturut-turut ketika empat orang itu dipaksa melepaskan senjata masing-masing karena pergelangan tangan atau siku lengan mereka tertusuk sumpit! Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara tangis riuh rendah di sebelah belakang rumah makan. Mendengar itu, Tek Hoat lalu meloncat ke dalam, meninggalkan empat orang lawan yang sudah melepaskan senjata dan berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak saling pandang.

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 17 Sepasang Pedang Iblis Eps 4 Sepasang Pedang Iblis Eps 43

Cari Blog Ini