Kisah Sepasang Rajawali 30
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 30
Rasa suka dan benci ini timbul dari pikiran yang berkeliling sekitar si pusat ialah si aku yang menciptakan prasangka dan lain-lain perasaan yang timbul dari keinginan si aku mengulang yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan. Si aku yang selalu haus akan kesenangan, baik kesenangan lahir maupun batin, dan yang selalu ingin menjauhkan ketidaknikmatan yang tidak menyenangkan, selalu ingin mengerahkan segala sesuatu di dunia ini demi kesenangan dirinya dan demi menjauhkan segala yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Karena itu timbullah suka dan benci. Suka akan sesuatu yang menyenangkan dirinya dan benci akan segala yang tidak menyenangkan dirinya. Jika batin kita sudah dipengaruhi oleh rasa suka dan tidak suka, senang akan sesuatu dan benci akan sesuatu, maka tidak ada lagi kewajaran, tidak ada lagi kebijaksanaan dan selalu bermunculan pertentangan-pertentangan lahir batin.
Betapapun jahat dan busuknya seseorang bagi seluruh orang lain, kalau dia baik kepada kita, tentu akan kita suka. Sebaliknya, biar orang sedunia menyatakan bahwa seseorang itu baik dan budiman, kalau orang itu tidak baik kepada kita, merugikan kita lahir maupun batin, tentu akan kita benci! Jelaslah bahwa segala penilaian kita akan diri seseorang atau akan sesuatu, suka dan benci kita bukan karena keadaan si orang atau sesuatu itu seperti apa adanya sesungguhnya, melainkan didasari atas untung rugi atau menyenangkan tidak menyenangkan bagi si aku, baik lahir maupun batin. Sifat yang sudah mendarah daging pada diri kita semua inilah, yang dikuasai oleh si aku yang sesungguhnya adalah sang pikiran dengan segala ingatannya tentang segala pengalaman dan pengetahuan masa lalu,
Sifat inilah yang membuat hidup penuh dengan pertentangan seperti sekarang ini! Pertentangan batin maupun pertentangan lahir, karena sesungguhnya, konflik di luar diri kita konflik antara kita dengan orang atau benda dengan siapa kita berhubungan, hanyalah pencetusan dari konflik yang terjadi di dalam diri kita sendiri. Batin yang penuh konflik tentu menimbulkan tindakan yang penuh konflik, dan konflik perorangan ini makin meluas menjadi konflik antara kelompok, antara suku, antara bangsa dan antara negara, maka terjadilah perang di mana-mana, di seluruh pelosok dunia ini! Bun Beng dan rombongannya memasuki sebuah dusun. Melihat betapa Syanti Dewi sudah amat lelah karena kepanasan, Kian Bu mengusulkan kepada suhengnya untuk berhenti mengaso dan membeli minuman di sebuah warung di tengah dusun.
Bun Beng menyetujuinya dan mereka masuk ke sebuah warung, satu-satunya warung di dusun itu. Akan tetapi warung itu penuh sesak dengan para tamu. Beberapa orang pelayan hilir-mudik dengan sibuknya melayani para tamu yang amat banyak. Padahal ruangan warung itu cukup luas dan
(Lanjut ke Jilid 29)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 29
bangku-bangkunya cukup banyak, akan tetapi semua telah diduduki orang. Agaknya hari yang amat panas itu telah memaksa semua orang untuk meninggalkan jalan dan berteduh sambil makan minum di warung itu, dan tentu saja, mereka ramai membicarakan tentang kekacauan dan ancaman perang yang sedang terjadi di daerah mereka itu. Mereka adalah sebagian besar para pengungsi yang kebingungan. Kian Lee berbisik kepada suhengnya sambil menunjuk ke sudut yang menghadap ke luar.
Di situ duduk seorang pemuda sendirian saja menghadapi meja, sedangkan tiga bangku yang lain di sekeliling meja itu kosong. Pemuda itu seorang diri, kelihatan tenang dan pendiam, membawa pedang. Agaknya sikapnya dan pedangnya itu yang membuat para tamu segan untuk minta duduk semeja dengan pemuda itu, namun pemuda yang amat tampan itu agaknya juga tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya yang demikian bising, bahkan dia kelihatan termenung dan tengelam dalam pikirannya sendiri. Bun Beng mengargguk. Dalam keadaan seperti itu, tidak mengapalah menumpang di meja orang pikirnya. Terutama sekali Syanti Dewi memang perlu untuk beristirahat, sekedar makan dan minum sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat yang penuh bahaya itu. Dia melangkah lebar menghampiri meja pemuda tampan berpedang itu, diikuti oleh Syanti Dewi, Kian Lee dan Kian Bu.
"Maafkan kami, Sobat."
Bun Beng membungkuk dan berkata dengan halus dan hormat.
"Karena kami melihat tiga buah bangku ini masih kosong dan kami sendiri belum memperoleh tempat duduk, bolehkah kami ikut duduk di sini?"
Pemuda itu terkejut, mengangkat mukanya memandang kepada empat orang itu penuh perhatian, kemudian wajahnya melembut ketika dia memandang Syanti Dewi, dan dia bangkit berdiri membalas penghormatan Bun Beng sambil berkata,
"Silakan, memang saya sendirian dan bangku-bangku itu kosong."
Dia lalu duduk kembali dan selanjutnya seolah-olah tidak tahu bahwa di depannya kini terdapat tiga orang yang duduk dan seorang yang terpaksa berdiri karena kehabisan tempat. Yang berdiri itu adalah Kian Bu. Dia mengalah dan berdiri saja dan dialah yang memesankan makanan mi-bakso dan minuman teh dingin kepada pelayan.
Sejenak tadi pandang mata Kian Lee bertemu dengan pandang mata pemuda tampan berpedang itu dan keduanya mengerutkan alis karena merasa seperti pernah saling berjumpa, akan tetapi ke duanya lupa lagi kapan dan di mana. Bun Beng yang bermata tajam dan sudah berpengalaman itu diam-diam juga memperhatikan pemuda di depannya. Pedang yang dibawanya itu, biarpun sarungnya biasa saja dan baru, akan tetapi gagangnya menunjukkan bahwa pedang itu sudah amat tua dan ada sesuatu yang menyeramkan pada gagang pedang itu seperti halnya pedang-pedang pusaka yang ampuh. Dan sukar pula mengukur keadaan pemuda yang pendiam dan tenang itu, akan tetapi Bun Beng diam-diam waspada karena dia menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam dia membandingkan pemuda ini dengan kedua orang sutenya.
Mereka bertiga sebaya, sama tampan dan gagahnya, akan tetapi tentu saja dia tidak mengira sama sekali bahwa pemuda itu dapat memiliki kepandaian setinggi kepandaian Kian Lee atau Kian Bu. Kiranya di dunia ini sukar dicari orang ke tiga yang mampu mengimbangi ilmu kepandaian dua orang sutenya itu! Tentu saja Bun Beng sekali ini salah menduga sama sekali. Kalau saja dia tahu siapa pemuda tampan berpedang itu! Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Pemuda yang menganggapnya sebagai seorang musuh besar yang telah mati, pemuda yang sengaja menggunakan namanya di samping Si Jari Maut, pemuda yang dicari-carinya karena diang-gap telah menodakan namanya. Dan pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan dahsyat, pewaris dari kitab-kitab peninggalan dua orang datuk besar Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin.
Memang Tek Hoat pernah berjumpa dengan dua orang kakak beradik itu, bahkan sudah dua kali bertemu ketika kudanya akan menubruk Kian Bu, kemudian berjumpa lagi ketika Tek Hoat dan kawan-kawannya menyerbu rombongan Jenderal Kao dan dua orang kakak beradik itu membela Jenderal Kao. Akan tetapi pertemuan itu hanya sepintas lalu saja, maka kedua pihak tidak saling mengenal lagi. Tek Hoat sendiri begitu melihat Syanti Dewi, tentu saja segera mengenalnya dan jantungnya sudah berdebar dengan amat kerasnya. Biarpun puteri itu kini telah mengenakan pakaian biasa, tidak mungkin dia dapat melupakan Sang Puteri ini. Andaikata Syanti Dewi menyamar sebagai pria atau bagaimana pun, dia akan mengenal wanita yang telah membuatnya tergila-gila ini. Akan tetapi, Tek Hoat juga bukan seorang bodoh yang sembrono.
Dia sudah mendengar bahwa Sang Putri itu diselamatkan oleh seorang laki-laki setengah tua yang memiliki kepandaian luar biasa, seorang yang tidak terkenal. Maka dia dapat menduga dengan pasti bahwa laki-laki setengah tua yang duduk di depannya ini tentulah penolong itu, dan dia pun dapat mengenal orang pandai, sungguhpun orang itu tidak memperlihatkan sesuatu. Selain laki-laki setengah tua itu, dia pun menaruh curiga terhadap dua orang pemuda tampan ini, karena gerak-gerik dua orang pemuda tampan ini jelas memperlihatkan orang-orang yang berilmu. Maka dia tidak berani sembrono, apalagi dia pun kini telah berubah pendiriannya mengenai diri Puteri Syanti Dewi. Dia jatuh cinta kepada puteri ini, dan sampai bagaimana pun dia tidak akan suka menyerahkan Sang Puteri ini kepada Pangeran Liong Khi Ong!
Maka terjadilah pertemuan itu yang amat aneh sekali! Tek Hoat mengenal Puteri Syanti Dewi dengan baik tapi sebaliknya puteri itu sama sekali tidak mengenalnya sebagai tukang perahu yang pernah menolong dia dan Ceng Ceng! Bun Beng mencari orang yang memalsu namanya, yaitu Si Jari Maut, tidak tahu bahwa orang yang dicarinya itu kini duduk di depan. Tek Hoat tidak tahu pula bahwa laki-laki yang duduk di depannya ini adalah Gak Bun Beng musuh besar ibunya yang disangkanya sudah mati, orang yang menurut ibunya adalah pembunuh ayahnya, padahal ibunya telah berbohong kepadanya karena ibunya menganggap bahwa Gak Bun Beng yang disangka sudah mati itu adalah pemerkosa ibunya dan karenanya ayah dari dia sendiri! Dan juga ada hubungan yang amat dekat antara Suma Kian Lee dan Tek Hoat.
Seperti kita ketahui, sesungguhnya yang dahulu memperkosa Ang Siok Bi yaitu ibu Tek Hoat adalah mendiang Wan Keng In, (dan Wan Keng In itu adalah putera dari Lulu, ibu Suma Kian Lee!) Betapa dekat hubungan antara orang-orang yang kini duduk semeja itu, namun tidak diketahui oleh mereka sendiri, kecuali bahwa Tek Hoat mengenal Syanti Dewi dengan diam-diam. Mi-bakso yang dipesan sudah datang diantarkan oleh pelayan, dan Bun Beng, Syanti Dewi dan Kian Lee sudah mulai makan setelah menawarkan kepada pemuda tampan berpedang yang mengangguk sopan dan ramah. Kian Bu terpaksa makan sambil berdiri. Tentu saja diam-diam dia merasa mendongkol juga. Lain orang dapat beristirahat dan makan dengan enak, akan tetapi dia harus makan sambil berdiri, kadang-kadang harus mengelak ke sana-sini karena tempat itu penuh dengan orang yang hilir mudik!
Untuk menghindarkan diri dari bersentuhan dengan orang-orang yang hilir mudik, Kian Bu membawa mangkok mi-baksonya itu ke sana-sini mencari tempat yang longgar sehingga akhirnya dia berada di pintu luar karena memang meja mereka itu berada di sudut luar ruangan. Dari luar tampak serombongan orang datang menghampiri warung. Melihat bahwa tamunya terus bertambah, Kian Bu makin mendongkol. Kalau ditambah orang lagi warung itu, mana bisa dia makan dengan sedap? Dia memandang ke kanan kiri dan tampak olehnya sebatang tonggak besar bekas tempat penambatan kuda yang sudah roboh dan menggeletak tidak terpakai. Dia memperoleh suatu akal yang baik. Dihampirinya balok yang besarnya sepaha orang itu, kemudian dengan mangkok masih di tangan kiri dia menggunakan tangan kanannya membabat sambil mengerahkan tenaga.
"Krakkk!"
Tonggak atau balok besar itu patah dan dia lalu membawa potongan balok yang panjangnya satu meter itu ke dalam warung. Semua orang memandang dengan mata terbelalak, kagum dan kaget melihat betapa pemuda itu, dengan mi-bakso masih penuh di mangkok yang dipegang tangan kiri, dapat mematahkan balok itu sedemikian mudahnya dengan tangan yang dimiringkan. Akan tetapi Kian Bu seperti tidak mempedulikan atau tidak melihat mata orang-orang yang memandang kagum itu, sambil tersenyum dia berkata kepada suhengnya, dan Syanti Dewi,
"Aku sudah memperoleh tempat duduk!"
Setelah berkata demikian, dia menancapkan potongan balok itu ke atas lantai, tentu saja dia memilih tempat di dekat bangku yang diduduki Syanti Dewi. Kemudian sekali tangannya menepuk ujung balok, kayu itu amblas ke lantai hampir separuhnya dan duduklah dia di atas "bangku"
Darurat yang aneh namun cukup dapat dipakai itu sambil tersenyum dan mulai menggerakkan sumpitnya memindahkan mi-bakso dari dalam mangkok ke dalam mulutnya! Banyak tamu bersorak memuji menyaksikan ini, akan tetapi Kian Bu tidak peduli, seolah-olah mereka itu bersorak untuk hal lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya! Dusun itu merupakan dusun yang berbahaya dan gawat karena sudah dekat dengan Teng-bun. Orang-orang yang berada di dusun itu adalah orang-orang penuh rahasia, mungkin saja seseorang di situ bisa mata-mata pemberontak, bisa pula penyelidik pemerintah.
Maka kini orang-orang yang berada di situ, diam-diam menduga-duga, golongan siapakah pemuda yang lihai itu dan teman-temannya. Sementara itu, Bun Beng yang memperhatikan pemuda tampan di depannya, melihat betapa pemuda itu juga memandang kepada Kian Bu dengan alis berkerut dan ada getaran sedikit pada tangan kiri pemuda itu yang berada di atas meja. Bun Beng melihat betapa tangan yang sama sekali tidak kelihatan mengerahkan tenaga itu membuat bekas di atas meja kayu, bekas menghitam! Maka terkejutlah dia karena dia tahu bahwa pemuda ini memiliki sin-kang yang amat kuat dan waktu perasaannya terguncang oleh perbuatan Kian Bu tadi, tanpa disengaja sedikit tenaga sin-kang pemuda itu tersalur di tangan kirinya dan akibatnya demikian hebat!
Pada saat itu terdengar suara gaduh di pintu depan. Kiranya rombongan baru yang tadi dilihat Kian Bu menghampiri warung, kini sudah masuk ke dalam warung. Mereka terdiri dari empat orang, dipimpin oleh seorang laki-laki yang perawakannya gendut pendek sehingga seperti karung beras. Empat orang itu masing-masing membawa potongan balok seperti yang dibawa oleh Kian Bu tadi, dan mereka tadi setelah menyaksikan perbuatan Kian Bu, lalu menirunya. Akan tetapi mereka memotong balok dengan menggunakan golok dan kini masing-masing memegang sepotong balok memasuki warung mencari-cari ruangan yang masih agak longgar, kemudian mereka sibuk memasang balok-balok itu ke atas lantai.
Akan tetapi kalau tadi Kian Bu memasang balok untuk dijadikan tempat duduk dengan sekali tepuk membuat balok itu amblas ke dalam lantai, kini empat orang itu berkutetan dengan susah payah untuk "menanam"
Balok itu ke lantai yang keras. Apalagi Si Gendut yang kelihatannya kuat itu sampai mandi peluh dan dia memegang balok dengan kedua tangan, memeluk balok itu dan mendorongnya ke lantai sekuat tenaga, sehingga perutnya yang gendut dengan daging-daging menonjol berlebihan itu terguncang-guncang dan kelihatan lucu sekali. Setelah menghabiskan tenaga, kadang-kadang mendorong balok dan kadang-kadang menggunakan kaki untuk menginjak-injaknya ke bawah, akhirnya empat orang itu berhasil juga "memasang"
Balok-balok itu sehingga menjadi semacam tempat duduk yang doyong ke sana-sini, tidak lurus karena cara memasangnya tadi dengan tenaga paksaan, tidak sekaligus jadi.
Melihat kejadian ini, banyak diantara para tamu tertawa geli, bahkan Syanti Dewi juga tersenyem geli menyaksikan hal ini. Tek Hoat mengerling tajam ke arah Syanti Dewi dan jelas bahwa dia terpesona melihat gadis ini tersenyum. Semua ini tidak terluput darl pengawasan Bun Beng, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan pemuda itu. Siapakah yang tidak akan terpesona melihat wajah Syanti Dewi? Apalagi kalau dia sedang tersenyum simpul! Akan tetapi jelas kelihatan bahwa pemuda tampan berpedang itu nampak seperti orang gelisah atau tidak senang setelah empat orang yang dipimpin Si Gendut itu muncul. Bun Beng juga melihat betapa empat orang itu berkali-kali melirik ke arah pemuda itu, agaknya mempunyai niat tertentu.
"Maaf, saya harus pergi lebih dulu. Silakan Cu-wi (Anda Sekalian) melanjutkan makan minum,"
Tiba-tiba pemuda itu bangkit, membungkuk sebagai tanda hormat, mengerling tak kentara ke arah Syanti Dewi, kemudian meninggalkan meja itu melangkah keluar. Akan tetapi, tiba-tiba Si Gendut pemimpin dari empat orang tadi meloncat bangun. Gerakannya amat cepat bagi seorang gendut seperti dia dan dia sudah menghadang pemuda itu, membuat gerakan-gerakan dengan tangannya dan berbisik-bisik. Syanti Dewi menoleh dan semua orang juga memandang ke arah mereka berdua itu. Kini teman-teman Si Gendut juga sudah berdiri di belakang Si Gendut dan siap dengan golok mereka.
"Pergilah kalian!"
Akhirnya terdengar pemuda itu membentak.
"Tidak!"
Si Gendut membantah, kini tidak berbisik-bisik lagi.
"Kami mentaati perintah beng-cu (ketua)...."
"Pulanglah dulu, aku sedang sibuk!"
"Maaf, kami terpaksa...."
"Setan!"
Tek Hoat melangkah ke luar, lalu menanti di luar. Empat orang itu bergegas keluar sambil mencabut golok mereka dan tanpa banyak cakap lagi mereka menyerang Tek Hoat. Pemuda ini tidak mau menghunus pedangnya, hanya mempergunakan sarung pedang menangkis dan tangan kirinya menyambar. Dalam beberapa gebrakan saja empat orang itu roboh terpelanting dan Si Gendut berteriak kesakitan karena perutnya yang gendut ditonjok oleh Tek Hoat yang menggunakan gagang pedangnya.
Terasa mulas dan agaknya usus buntunya kena disodok! Akan tetapi dari jauh datang serombongan orang lain yang agaknya merupakan kawan-kawan Si Gendut. Melihat ini, Tek Hoat yang tidak ingin ribut-ribut dengan mereka, sudah melompat pergi dan melarikan diri. Si Gendut itu pun tidak banyak ribut lagi, segera mengajak teman-temannya yang tiga orang dan rombongan yang baru datang, untuk pergi dengan berpencar. Mereka tidak membayar kepada tukang warung karena memang belum sempat makan atau minum apa-apa. Melihat ini, Bun Beng memberi tanda. Kian Lee membayar harga makanan dan mereka berempat juga pergi dari situ. Mereka keluar dari dusun dan melanjutkan perjalanan ke barat, menuju ke Teng-bun yang tidak jauh lagi, hanya kurang lebih tiga puluh li dari situ.
"Kiranya dia lihai juga!"
Kian Bu berkata.
"Dia malah lebih lihai daripada yang tampak, jauh lebih lihai kalau saja diberi kesempatan. Sungguh seorarg pemuda yang aneh, entah siapa dia dan apa yang dilakukannya di tempat ini,"
Kata Bun Beng.
"Aku seperti pernah melihatnya, entah di mana...."
Kian Lee berkata.
"Engkau benar, Lee-ko! Aku pun merasa pernah bertemu dengan dia, akan tetapi lupa lagi kapan...."
Kian Bu juga berkata.
"Sudahlah, kita tidak perlu berurusan dengan dia, kita mempunyai tugas yang lebih penting. Pula, dia agaknya juga hendak menghindarkan diri dari kita,"
Kata Bun Beng. Akan tetapi Bun Beng tidak tahu bahwa sama sekali Tek Hoat tidak berniat mehghindarkan diri atau menjauhkan diri dari mereka. Sama sekali tidak, terutama sekali karena di situ terdapat Syanti Dewi! Siapakah orang-orang yang tadi mengeroyok Tek Hoat di depan warung dan mengapa Tek Hoat yang jelas akan mudah saja kalau mau membasmi dan membunuh mereka, malah melarikan diri seolah-olah segan melayani mereka? Si Gendut dan kawan-kawannya itu adalah orang-orang Tiat-ciang-pang yang diutus oleh beng-cu mereka! Seperti telah kita ketahui, Ceng Ceng berhasil menjadi beng-cu dengan cara membuat Tek Hoat tidak berdaya dengan sumpah dan janjinya.
Bahkan dia memaksa Tek Hoat untuk menjadi pembantunya bersama Si Topeng Setan yang telah ditawannya atau yang sesungguhnya telah menyerahkan diri untuk ditawan! Diam-diam Tek Hoat mengerti bahwa atasan-nya, yaitu kedua Pangeran Liong, tentu akan marah kepadanya bahwa dalam hal mempengaruhi kaum sesat di sekitar kota raja ini dia telah gagal, akan tetapi dia tidak dapat melakukan sesuatu terhadap Ceng Ceng. Tentu saja bukan semata-mata karena sumpah dan janjinya, akan tetapi karena terhadap gadis itu dia merasa lemah dan tidak tega untuk mengganggu atau memusuhinya, lebih-lebih karena gadis ini adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang dicintanya. Akan tetapi, ambisi pribadinya juga tidak memungkinkan dia meninggalkan dua orang Pangeran Tua yang memberontak itu, karena dia ingin mencapai kedudukan setinggi-tingginya melalui mereka.
Karena dia harus kembali ke kota raja, maka dia segera minta diri kepada Ceng Ceng dengan dalih untuk mulai membantu gadis itu mencari pemuda tinggi besar tampan dan lihai yang menjadi musuh besar Ceng Ceng tanpa dia ketahui sebab-sebabnya itu. Karena Ceng Ceng juga maklum bahwa dekat dengan Tek Hoat merupakan bahaya besar, bukan hanya bahaya pribadi karena sewaktu-waktu pemuda itu dapat mengingkari janji dan sumpahnya, melainkan juga karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu akan membujuk kaum sesat untuk menggabungkan diri kepada pemberontak, maka dia segera menyatakan persetujuannya. Apalagi, kalau ada orang yang akan dapat membantunya menemukan musuh besarnya itu, kiranya orang itu adalah Tek Hoat, karena hanya pemuda itulah yang pernah bertemu muka dengan musuh besarnya, si pemuda laknat, yaitu ketika pemuda laknat itu menolong Jenderal Kao dari tangan Tek Hoat.
Selain sudah mengenal muka musuh besarnya itu, juga Tek Hoat mempunyai kebencian pribadi kepada pemuda laknat itu yang telah menghalangi usahanya menculik Jenderal Kao. Demikianlah, Tek Hoat meninggalkan Ceng Ceng dan ketika dia menghadap Pangeran Liong Bin Ong, dia mendengar berita akan berhasilnya Siang Lo-mo membebaskan Panglima Kim Bouw Sin dan bahwa benteng Teng-bun telah dikuasai. Karena saat yang dinanti-nanti telah hampir tiba, yaitu menggerakkan pasukan dari utara menyerbu kota raja, Pangeran Liong Bin Ong tidak begitu mempedulikan urusan kaum sesat, dan dia segera memerintahkan Tek Hoat untuk ke utara, memimpin orang-orang lihai yang telah menjadi kaki tangan pemberontak dan membantu Panglima Kim Bouw Sin.
Bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri berkenan berangkat pula ke utara dan selain dikawal oleh pasukan istimewa, juga Tek Hoat mengawalnya. Setelah mengawal rombongan pangeran yang menyamar ini memasuki kota Koan-bun di sebelah timur Teng-bun, hanya terpisah sepuluh mil dan pangeran yang menyamar itu menye-lundup ke dalam gedung pembesar setempat, Tek Hoat lalu keluar dan berjalan-jalan sampai ke dusun itu dalam usahanya untuk melakukan penyelidikan guna persiapan penyerbuan ke kota raja. Di dusun inilah dia bertemu dengan rombongan Syanti Dewi, hal yang membuat semua rencananya menjadi kacau karena dia tidak lagi dapat mencurahkan perhatiannya kepada tugasnya membantu Pangeran Liong Bin Ong, bahkan kini sebagian besar perhatiannya tercurah kepada diri Puteri Bhutan itu.
Inilah sebabnya mengapa dugaan Bun Beng itu meleset jauh. Mereka boleh jadi tidak mempunyai urusan dengan pemuda tampan berpedang itu, akan tetapi pemuda itu mempunyai urusan dengan mereka, atau setidaknya dengan Syanti Dewi! Dan tidak mengherankan pula kalau di hari itu juga, di luar dugaan mereka rombongan Bun Beng ini bertemu kembali dengan Tek Hoat! Ketika itu hari telah menjelang senja dan Bun Beng bersama rombongannya tiba di kota Koan-bun, yaitu kota yang meru-pakan kota terdekat dari Teng-bun yang menjadi benteng pertahanan dan pusat para pemberontak. Untuk menyelidiki keadaan di Teng-bun, mereka harus bermalam dulu di Koan-bun, karena kota ini masih termasuk kota yang bebas dari cengkeraman pemberontak,
Sungguhpun orang tidak tahu lagi berapa banyak kaki tangan pemberontak dan siapa saja mereka itu yang berada di Koan-bun. Boleh jadi setiap orang pedagang, setiap orang buruh, adalah mata-mata pemberontak atau kaki tangan pemerintah, tidak ada yang dapat menduganya lebih dulu. Karena itu, suasana di Koan-bun amat menegangkan seolah-olah setiap saat akan terjadi ledakan perang di tempat ini. Pembesar setempat telah melakukan penjagaan ketat dan setiap orang yang memasuki pintu gerbang kota Koan-bun mengalami penggeledahan. Tidak aneh dan memang telah menjadi kebiasaan sejak jaman dahulu bahwa pada setiap terjadi kekacauan, orang-orang yang mempunyai kedudukan dan wewenang akan mempergunakan kesempatan di waktu keadaan keruh itu untuk mencari keuntungan demi dirinya sendiri.
Demikian pula dengan para penjaga yang bertugas menjaga pintu gerbang. Keadaan yang "panas"
Itu membuka kesempatan bagi mereka untuk bertindak seolah-olah merekalah yang paling berkuasa di dunia ini dan mereka pulalah yang berkuasa untuk menentukan siapa yang boleh atau tidak boleh masuk ke kota Koan-bun. Tentu saja mereka membiarkan segala macam jenis ikan teri lewat tanpa banyak bicara lagi, akan tetapi setiap kali ada ikan jenis kakap lewat, otomatis sikap mereka berubah dan tanpa ada sesuatu yang menguntungkan mereka, jangan mengharap akan dapat lewat begitu saja tanpa gangguan. Rombongan Bun Beng segera menarik perhatian mereka, terutama sekali karena di situ terdapat seorang nona muda yang cantik.
"Menurut peraturannya, semua yang akan memasuki kota ini harus digeledah! Tidak terkecuali!"
Berkata kepala penjaga yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat seperti orang yang kekurangan darah, akan tetapi lagaknya seolah-olah dia bertubuh tinggi tegap menakutkan, dadanya yang kerempeng dibusungkannya ke depan. Melihat lagak seperti ini, otomatis Kian Bu menjadi naik darah.
"Boleh saja menggeledah kami bertiga,"
Katanya.
"Hemm....!"
Si Kurus itu mengeluarkan suara dari hidungnya.
"Kalian berempat, mengapa hanya bertiga yang harus digeledah? Harus keempat-empatnya...."
"Tapi dia ini wanita! Masa adikku, seorang wanita harus digeledah oleh para penjaga pria?"
"Peraturan tetap peraturan, kalian tidak boleh melawan!"
Makin merah muka Kian Bu. Jangankan sampai menggeledah, baru berani menjamah sedikit saja tubuh Syanti Dewi, dia akan mematahkan tangan laki-laki yang berani melakukannya!
"Mengapa yang baru lewat tadi tidak ada yang digeledah? Aturan mana ini membeda-bedakan orang?"
Bentaknya menuding kepada orang-orang yang telah dan sedang lewat dan yang didiamkan saja oleh penjaga itu.
"Hemm, itu adalah urusan kami! Tidak ada sangkut-pautnya dengan engkau!"
Si Kurus membentak pula dan kini para penjaga sudah berdatangan dan mengu-rung rombongan Bun Beng. Pada saat itu, diantara banyak orang yang mulai tertarik dan menonton, muncullah seorang pemuda yang segera menghampiri komandan jaga dan berkata,
"Mereka ini adalah sahabat-sahabatku, jangan kalian mengganggunya."
Berkata demikian, pemuda itu mengeluarkan sekantong uang dan memberikannya kepada si komandan.
"Ah, terima kasih.... harap Cu-wi sekalian maaf-kan...."
Dia mengangguk-angguk seperti seekor ayam kelaparan makan beras. Panas rasa perut Kian Bu ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah si pemuda tampan berpedang yang mereka jumpai di warung bakmi tadi. Apalagi ketika ia melihat Syanti Dewi memandang pemuda itu, membungkuk sedikit dan mengeluarkan kata-kata halus yang sudah amat dikenalnya,
"Terima kasih!"
Perutnya menjadi bertambah panas. Pemuda itu mengangguk dan tersenyum kepada Syanti Dewi, untuk beberapa lama sepasang matanya memandang dengan amat tajamnya. Dua pasang mata bertemu dan wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali karena tertangkap olehnya betapa sepasang mata itu memandangnya penuh kagum dan penuh kemesraan, maka dia cepat menundukkan mukanya. Melihat hal ini, Kian Bu hampir tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi.
"Siapa suruh engkau mencampuri....?"
Akan tetapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Kian Lee dan Bun Beng yang juga cepat melangkah maju dan menjura kepada pemuda itu sambil berkata,
"Terima kasih atas bantuanmu, Sobat."
Dia lalu menoleh kepada Kian Bu dan Kian Lee, berkata,
"Hayo kita cepat masuk kota agar jangan sampai kehabisan kamar penginapan!"
Mendengar ini, Tek Hoat lalu menjura penuh hormat kepada Syanti Dewi dan dengan halus berkata,
"Mencari tempat penginapan akan sukar sekali, dan kalaupun ada tidak cukup pantas untuk tempat Nona menginap. Kalau Cu-wi sudi, saya dapat menawarkan tempat menginap...."
"Ah, terima kasih, mana kami berani membikin repot Sicu? Biarlah kami mencari penginapan sendiri, terima kasih dan maaf!"
Bun Beng cepat menolak dengan halus karena dia maklum bahwa pemuda berpedang ini jelas amat tertarik kepada Syanti Dewi dan kalau hal ini dibiarkan saja, bisa timbul keributan antara pemuda itu dan Kian Bu. Di tempat seperti itu, apalagi mengingat akan tugas mereka, sebaiknya menjauhkan keributan karena urusan pribadi. Sambil bersungut-sungut Kian Bu mengikuti rombongannya pergi dari pintu gerbang itu, sedangkan pemuda berpedang itu pun pergi ke lain jurusan.
"Lagaknya, seperti dia seorang yang mempunyai uang! Laginya, aku tidak sudi kalau harus menyogok-nyogok!"
Kian Bu mengomel.
"Sute, dia telah melakukan itu untuk membantu kita, mengapa kau marah-marah?"
Bun Beng menegur, di dalam hatinya terasa geli melihat sikap pemuda yang masih kekanak-kanakan ini.
"Bu-ko, orang itu baik, kita semestinya berterima kasih,"
Syanti Dewi juga berkata dengan suara wajar. Kian Bu terdesak, hatinya tidak puas, akan tetapi tentu dia tidak dapat membantah karena memang tidak ada bukti kesalahan orang itu. Mereka lalu mulai mencari tempat penginapan. Akan tetapi, tepat seperti yang dikatakan oleh pemuda berpedang tadi, amat sukar mencari tempat penginapan. Semua penginapan telah penuh, bahkan rumah-rumah kosong dan kuil-kuil telah penuh dengan orang sampai berdesak-desakan dan banyak pula yang tidur di emper-emper depan toko dan rumah penduduk! Mereka ini adalah para pengungsi yang tinggal di dusun-dusun sekitar kota Koan-bun.
Mereka mendengar akan ancaman perang yang sewaktu-waktu meletus, berbondong-bondong mereka mengungsi ke kota-kota sebelah timur dan selatan, dan tentu saja kota Koan-bun dibanjiri pengungsi karena kota ini pun merupakan kota yang terjaga oleh pasukan dan yang mereka anggap aman karena terlindung. Memang pada jaman itu, dusun-dusun yang tidak terjaga selalu menjadi korban pertama dari keganasan manusia dalam perang, bukan hanya gangguan dari para serdadu pihak musuh yang membunuh, memperkosa dan merampok, akan tetapi juga gangguan dari gerombolan-gerombolan orang jahat yang mempergunakan kesempatan itu untuk bersimaharajalela. Cuaca sudah gelap, malam sudah tiba dan rombongan Bun Beng masih juga belum memperoleh tempat penginapan.
"Tidak mengapalah, Paman,"
Akhirnya Syanti Dewi berkata karena maklum bahwa mereka bertiga itu bersusah payah mencarikan penginapan, khusus untuk dia seorang!
"Kalau memang di mana-mana penuh, mencari pun tidak ada gunanya. Malam ini kita lewatkan di pinggir jalan juga tidak apa. Paman tahu bahwa aku bukan seorang yang takut menghadapi kesukaran."
Bun Beng tersenyum. Tentu saja dia tahu. Selama melakukan perjalanan dengan Syanti Dewi ke utara, di waktu dia sakit payah dan jalan pun tidak bisa, boleh dibilang gadis itulah yang merawat-nya, yang mengatur segalanya, bahkan setiap malam tidur di mana saja! Akan tetapi dia tahu bahwa Kian Bu bersikeras untuk mencarikan tempat penginapan yang baik bagi gadis itu!
"Suheng, bagaimana kalau aku memasuki sebuah diantara gedung-gedung besar itu? Aku boleh paksa seorang diantara mereka meminjamkan kamar untuk Adik Syanti!"
Kian Bu berkata. Bun Beng menggeleng kepala.
"Jangan mencari perkara di dalam suasana seperti ini, Sute. Biarlah kita melewatkan malam di tepi jalan, kita pilih yang agak sunyi seperti dikatakan Dewi tadi. Malam nanti aku akan pergi ke Teng-bun untuk menyelidiki suasana. Engkau dan kakakmu menjaga Dewi di sini."
Terpaksa Kian Bu menurut dan mereka lalu memilih pinggir jalan yang agak sunyi, lalu duduk di atas tanah begitu saja. Banyak pula para pengungsi lain yang juga seperti mereka, melewatkan malam di pinggir jalan! Suasana makin tegang dan agaknya malam itu tentu akan terjadi sesuatu yang hebat.
Bun Beng mulai penyelidikannya dengan mendengarkan percakapan-percakapan diantara kelompok-kelompok pengungsi tak jauh dari situ. Bermacam-macam keterangan diperolehnya tentang kota Koan-bun ini. Ada yang mengatakan bahwa pembesar setempat masih setia kepada pemerintah, akan tetapi sebagian banyak pembesar lainnya sudah condong kepada pemberontak. Bahkan kabarnya pasukan di situ pun sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Ada yang mengabarkan lagi bahwa malam itu pemberontak akan melakukan serangan. Pendeknya, bermacam-macam berita simpang-siur yang didengarnya. Dia menceritakan semua yang didengarnya itu kepada Kian Lee, Kian Bu dan Syanti Dewi sambil makan malam sederhana berupa roti kering yang dibawa oleh kedua orang kakak beradik itu sebagai bekal.
Tiba-tiba Bun Beng menghentikan ceritanya dan diam-diam dia memberi isyarat kepada mereka bertiga untuk tidak bicara, telunjuknya menuding ke arah belakangnya. Orang itu agaknya juga seorang pengungsi, sudah tua dan membawa bungkusan. Dia datang dan berjongkok, mengeluh panjang pendek tak jauh dari rombongan Bun Beng. Ketika tiba-tiba rombongan itu berhenti bicara, dia berdiri lagi dan pergi. Akan tetapi sejak itu, sering sekali kakek ini lewat di situ, juga beberapa orang lain yang Bun Beng lihat adalah orang-orang yang sama sehingga tahulah dia bahwa mereka telah dimata-matai atau diawasi! Jalan itu makin ramai, dan makin banyak saja orang-orang yang berkelompok di tepi jalan. Agaknya mereka pun kehabisan tempat, ataukah memang sengaja berkelompok di situ? Bun Beng mulai curiga dan dia memperingatkan kedua orang sutenya agar waspada.
"Siapa tahu kalau-kalau mereka ini adalah pengungsi-pengungsi palsu yang sengaja mengurung kita,"
Bisiknya.
"Sikat saja!"
Kian Bu sudah bangkit dan memandang marah
"Sttt, tenanglah, Bu-te!"
Kian Lee menarik tangannya sehingga dia terduduk kembali.
Kian Lee maklum bahwa adiknya itu benar-benar telah mabuk asmara dan serangan demam cinta itu membuat Kian Bu selalu ingin menojolkan dirinya di depan gadis yang dicintanya. Diam-diam dia mendoakan mudah-mudahan adiknya itu lebih berbahagia dalam cintanya, tidak seperti dia, mencinta seorang gadis yang dia tidak ketahui sekarang berada di mana! Akan tetapi karena dia sudah mendengar dari Jenderal Kao Liang bahwa Lu Ceng itu adalah adik angkat dari Syanti Dewi dan hal itu tidak pernah disinggungnya, juga tidak oleh Kian Bu yang dipesannya selama mereka berdua melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi, maka sekarang dalam kesempatan menanti dalam suasana tegang itu, ingin dia mencari keterangan kepada Syanti Dewi tentang diri gadis yang dicintanya itu.
"Adik Syanti, aku.... aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu,"
Katanya berbisik agar jangan terdengar orang lain kecuali mereka berempat.
"Apakah itu, Lee-koko?"
"Aku ingin bertanya tentang Lu Ceng atau Candra Dewi...."
"Aihhh....!"
Syanti Dewi hampir menjerit ketika mendengar disebutnya nama Lu Ceng dan tak terasa lagi air matanya bercucuran di sepanjang kedua pipinya. Tentu saja Kian Lee dan Kian Bu terkejut. Gak Bun Beng menghela napas panjang.
"Sute, mengapa engkau menanyakan dia? Dia adalah adik angkat Dewi, dan sudah tewas secara menyedihkan sekali."
"Justeru itulah yang akan saya bicarakan, Suheng! Adik Candra.... dia itu.... Nona Lu Ceng itu, dia belum mati!"
Sepasang mata yang lebar itu terbelalak, dan dengan bingung Syanti Dewi menoleh kepada Bun Beng. Pendekar ini memandang Kian Lee dengan tajam dan penuh teguran, kemudian dia berkata,
"Sute, jangan bicara yang bukan-bukan! Aku sendiri telah turun ke dalam sumur di mana dia terjerumus untuk menyelidiki dan baru turun sebagian saja aku sudah pingsan. Dia sudah tewas."
"Kami juga mendengar dari Jenderal Kao Liang bahwa dia sudah mati di dalam sumur maut, sungguhpun Jenderal Kao tidak bercerita tentang Suheng,"
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Kian Bu.
"Akan tetapi.... tenangkan hatimu, Moi-moi.... sesungguhnya Nona Lu Ceng itu masih hidup. Kami sudah berjumpa beberapa kali dengan dia, bahkan yang terakhir ini kami melihat dia di kota raja!"
"Ahhh....! Be.... benarkah? Benarkah itu?"
Kian Lee lalu menceritakan pertemuannya dengan Ceng Ceng di rumah Jenderal Kao, dan betapa gadis itu melarikan diri tidak mau menemui mereka atau Jenderal Kao, betapa jenderal itu sekeluarganya menyembahyangi nona itu!
"Kami yakin dia masih hidup, Adik Syanti. Hanya entah mengapa dia tidak mau menjumpai siapa pun, seperti menyimpan rahasia...."
Kian Lee berkata dengan nada duka.
"Aahhh, benarkah itu? Benarkah dia masih hidup....? Ahh, Paman.... semoga begitu....!"
Syanti Dewi dalam kegembiraan dan pengharapannya memegang lengan Gak Bun Beng erat-erat dan air matanya bercucuran.
"Mudah-mudahan begitulah....! Dia seorang gadis yang amat baik, menurut penuturanmu dan penuturan Jenderal Kao,"
Kata Bun Beng sambil dengan halus menarik lengannya yang dipegang erat-erat oleh dara itu.
"Lee-ko, mengapa engkau menanyakan dia?"
Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya sambil memandang wajah Kian Lee. Untung mereka duduk di tepi jalan yang gelap sehingga tidak kelihatan betapa wajah pemuda itu menjadi merah sekali. Akan tetapi Kian Bu mengerti betapa kakaknya menjadi gugup mendengar pertanyaan ini, maka dialah yang menjawab,
"Kami mendengar dari Jenderal Kao bahwa dia adalah adik angkatmu, maka Lee-ko mengajukan pertanyaan tadi."
Syanti Dewi menghela napas panjang.
"Dia adalah seorang yang amat baik, dan biarpun hanya adik angkat, akan tetapi kucinta seperti saudara kandungku sendiri. Kalau tidak ada dia, mungkin aku tidak kuat menanggung derita ketika kami berdua melarikan diri."
Lalu dengan suara perlahan dia menceritakan tentang pengalamannya ketika dia meninggalkan Bhutan dan diserbu di tengah perjalanan kemudian dia bersama Ceng Ceng dan kakeknya melarikan diri. Betapa Kakek Lu tewas dan Ceng Ceng terus mengawalnya sampai akhirnya mereka celaka karena perahu yang ditumpangi-nya terguling dan dia ditolong oleh Gak Bun Beng.
"Tadinya aku mengira dia tewas di sungai itu karena kami berdua tenggelam dan hanyut. Akan tetapi, ternyata dia tidak tewas di sungai dan tahu-tahu aku mendengar tentang dia di utara, tewas di sumur maut hanya beberapa saat sebelum aku bersama Paman Gak tiba di sana. Dan sekarang, kembali ada berita bahwa dia tidak mati.... ya Tuhan, semoga benar demikianlah!"
"Sayang dia selalu melarikan diri...."
Kian Lee berkata lirih yang kemudian disambungnya untuk menyembunyikan perasaan hatinya.
"Kalau tidak, tentu dia sekarang sudah dapat bertemu dengan engkau, Moi-moi."
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara genta yang dipukul keras sekali. Genta atau lonceng itu digantung di atas benteng penjagaan dan kalau genta itu dipukul sedemikian rupa berarti bahwa kota itu terancam bahaya! Keadaan menjadi geger!
Dari berita mulut ke mulut, ternyata bahwa kota itu malam-malam kedatangan pasukan asing dari utara yang berkekuatan kurang lebih seribu orang pasukan liar dan ganas dari suku bangsa biadab. Pintu-pintu benteng ditutup, penjagaan diperketat dan semua perajurit lari hilir mudik dengan sibuknya. Orang-orang berlarian pulang ke rumah masing-masing, pintu-pintu rumah ditutup namun di jalan tidak menjadi sunyi, bahkan sebaliknya karena para pengungsi yang berada di jalan-jalan lari berserabutan tidak karuan. Jerit-jerit tangis mulai terdengar dari mereka yang terpisah dari keluarganya, anak-anak hilang, barang-barang hilang, dan terjadilah keributan yang amat membingungkan. Berbondong-bondong orang berlari dan memenuhi jalan di mana rombongan Bun Beng berada.
"Awas, siap dan jaga....!"
Bun Beng berbisik dan dia sudah mengelak ketika ada sesosok bayangan menerjangnya dengan pukulan. Cepat dia menggerakkan tangannya dan bayangan itu roboh tanpa bersuara karena sudah ditotoknya pingsan. Bayangan-bayangan lain datang mengurung dan kedua orang saudara Suma juga cepat beraksi dan merobohkan beberapa orang.
Akan tetapi, mereka segera hanyut oleh banjir manusia yang saling dorong, karena ada pasukan berkuda yang lewat di situ. Itu adalah pasukan yang dipersiapkan untuk menghadapi bahaya sewaktu-waktu di pintu gerbang, siap untuk menerjang keluar. Saking paniknya, rakyat mengira bahwa itulah pasukan liar dan ganas yang dikabarkan datang, maka mereka tidak ingat apa-apa lagi, satu-satunya keinginan hanya untuk lari menjauh sehingga terjadilah dorong-mendorong dan himpit-menghimpit. Biarpun Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, namun menghadapi arus manusia yang seperti air membanjir itu, mereka kewalahan juga. Tentu saja mereka tidak mungkin harus memukul semua orang yang tidak berdosa itu karena orang-
orang itu juga terdorong dan terdesak serta terhimpit oleh arus manusia.
"Dewi....!"
"Moi-moi....!"
Bun Beng dan Kian Bu berusaha sekuat mungkin untuk mencegah Syanti Dewi terseret oleh arus manusia, namun tidak mungkin lagi. Manusia sudah berdempet-dempet, tidak ada lagi tempat untuk kaki berpijak dan mau tidak mau mereka terbawa oleh arus manusia dan melihat betapa Syanti Dewi makin menjauh dari mereka!
"Paman....!"
Syanti Dewi menjerit, akan tetapi jeritannya bercampur dengan jeritan-jeritan wanita dan kanak-kanak lain yang terjepit dan terhimpit. Keadaan menjadi panik dan geger, seolah-olah dunia sedang kiamat. Karena keadaan gelap, maka kini topi caping buatan Kian Bu yang dipakai oleh Syanti Dewi hampir tidak tampak lagi dan tiba-tiba saja topi itu lenyap.
"Dewi....!"
"Moi-moi...! Moi-moi...!"
Kian Bu berteriak-teriak, memaksa dengan tenaganya untuk mendekat, akan tetapi setibanya di tempat di mana yang terakhir kali dia melihat Syanti Dewi tadi, gadis itu sudah tidak nampak bayangannya lagi. Sepasukan tentara yang datang melalui jalan itu membelah arus manusia. Karena takut para pengungsi itu saling desak memberi jalan dan keadaan menjadi makin panik. Arus manusia yang tadinya memenuhi jalan itu terbelah menjadi dua, semua mepet ke tepi jalan di kanan kiri.
Bun Beng terpisah dari dua orang saudara Suma, dia terpaksa terdorong ke kiri jalan sedangkan dua orang saudara itu di seberang lain dan tak lama kemudian Bun Beng tidak dapat melihat mereka lagi karena obor-obor yang dibawa para perajurit tadi sudah menjauh sehingga keadaan menjadi gelap lagi. Dia merasa khawatir sekali akan diri Syanti Dewi, namun dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, tidak mungkin mencari Syanti Dewi. Nanti kalau sudah agak reda dan dia dapat leluasa bergerak, tentu dia akan bisa menemukan gadis itu. Betapapun juga, Syanti Dewi bukanlah gadis lemah dan sudah cukup pandai untuk menjaga diri sendiri. Selain itu, juga dia yakin bahwa Kian Lee dan Kian Bu tentu juga berusaha keras untuk menemukan gadis itu kembali. Tiba-tiba seorang wanita setengah tua yang berada di tempat itu, tidak jauh dari teanpat dia berdiri, menjerit dan roboh. Dia sudah sejak tadi terhimpit dan tidak dapat keluar dari himpitan manusia.
Karena tidak tahan dia menjerit dan roboh pingsan dalam keadaan masih berdiri di antara himpitan orang-orang! Melihat ini, tentu saja semua orang berusaha menjauhkan diri dan Bun Beng cepat mendesak ke depan, menarik dan memanggul tubuh wanita yang pingsan dan bermuka biru itu keluar dari himpitan dan menuju ke pinggir sekali di mana orang tidak begitu berdesakan. Orang-orang itu berdesakan karena mereka hendak berdulu-duluan pergi dari tempat itu mencari tempat yang lebih aman, tidak tahu bahwa di seluruh kota keadaannya sama saja, semua orang dalam keadaan panik dan geger. Bun Beng menurunkan tubuh wanita itu, memeriksa sebentar lalu memijat beberapa jalan darah sehingga wanita itu mengeluh dan siuman kembali. Akan tetapi dia tidak dapat berdiri karena kaki-nya salah urat dan membengkak, terinjak banyak orang dalam himpitan tadi.
"Ouhhh.... kakiku...."
Keluhnya dengan muka pucat dan menahan rasa nyeri dengan menggigit bibirnya.
"Terima kasih.... atas bantuan Tuan...."
"Kau tidak bisa jalan?"
Bun Beng bertanya kepada wanita yang berpakaian seperti pelayan itu. Wanita itu menggeleng kepalanya.
"Di mana rumahmu? Apakah engkau juga pengungsi?"
"Bukan, saya adalah pelayan dari gedung di sana itu...."
"Kalau begitu, mari kuantar ke sana,"
Kata Bun Beng tanpa ragu-ragu lagi dan dia lalu memondong tubuh wanita itu dan membawanya menuju ke gedung yang ditunjuk oleh wanita pelayan itu.
"Ah, engkau sungguh amat baik, Tuan..."
Pelayan itu berkata dengan terharu. Selamanya sejak kecil dia adalah pelayan yang melayani orang, yang dipandang rendah dan yang selalu harus menghormat orang lain. Baru sekarang ini dia merasa diperhatikan orang, dianggap sebagai manusia, ditolong dan orang yang gagah perkasa dan bersikap seperti seorang bangsawan tinggi biarpun pakaiannya sederhana ini malah tidak ragu-ragu untuk memondongnya!
"Dalam keadaan seperti ini kita harus tolong-menolong...."
Bun Beng menjawab singkat, mengerti akan perasaan hati pelayan ini. Dia terkejut juga ketika tiba di pekarangan gedung itu. Sebuah gedung yang besar dan megah! Beberapa orang pelayan pria dan wanita berlari keluar dan mereka menjadi ribut-ribut melihat pelayan setengah tua itu dipondong orang.
"Eh, Kim-ma, engkau kenapa?"
Mereka itu cepat menyambut dan menggotong Kim-ma ketika mendengar bahwa Kim-ma mengalami luka karena tergencet arus manusia. Ada yang mengomel kenapa dalam suasana seperti itu Kim-ma keluar ke jalan raya! Para pelayan itu menggotong Kim-ma ke dalam dan agaknya sudah melupakan penolong pelayan itu.
Bun Beng juga tidak peduli dan dia sudah akan keluar lagi ketika tiba-tiba dari dalam keluar empat orang dengan langkah tergesa-gesa. Melihat empat orang ini, Bun Beng menjadi heran karena tentu saja dia mengenal mereka, terutama sekali seorang di antara mereka, yang bertubuh gendut dan di pinggangnya terdapat sebatang golok besar! Mereka itu bukan lain adalah empat orang yang pernah ribut di dalam warung mi dan bertempur melawan pemuda tampan berpedang. Sementara itu, ketika Si Gendut melihat Bun Beng, dia terkejut sekali. Tentu saja dia mengenal laki-laki setengah tua ini yang duduk semeja dengan Tek Hoat. Si Gendut tokoh Tiat-ciang-pang ini menduga bahwa tentu laki-laki ini pun anak buah Tek Hoat yang dia tahu telah berkhianat terhadap beng-cu karena pemuda itu bersekongkol dengan pemberontak. Tentu orang ini pun merupakan mata-mata pemberontak.
"Tangkap mata-mata!"
Bentaknya sambil mencabut golok besarnya, diturut oleh tiga orang temannya yang segera mengurung Bun Beng. Pendekar ini maklum bahwa dalam keadaan sekacau itu, tidak ada gunanya ribut mulut karena memberi keterangan pun agaknya tidak akan dipercaya oleh Si Gendut yang berangasan dan bodoh ini.
Empat orang tokoh Tiat-ciang-pang itu bersama anak buahnya yang berjumlah lebih dua puluh orang, memang menerima tugas dari Ceng Ceng untuk mencari pemuda laknat musuh besarnya dan sekaligus menyusul dan menyelidiki Tek Hoat yang tidak dipercayanya. Ketika Si Gendut dan kawan-kawannya memperoleh kenyataan bahwa Tek Hoat berhubungan dengan pemberontak, mereka terkejut sekali. Sebagai anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang, biarpun mereka itu terdiri dari golongan perampok dan pencopet, akan tetapi mereka benci kepada pemberontak. Maka mereka segera menemui Tek Hoat di dalam warung itu, menuntut hasil penyelidikan Tek Hoat tentang musuh beng-cu, dan juga minta pertanggungan jawabnya karena pemuda itu mengadakan hubungan dengan pemberontak! Maka seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat tidak sudi melayani mereka dan merobohkan mereka lalu pergi.
Rombongan orang Tiat-ciang-pang ini melakukan pengejaran dan mereka pun memasukl kota Koan-bun. Melihat pergolakan di situ, tanpa ragu-cagu lagi mereka lalu menghubungi Perwira Phang di gedung itu yang mereka tahu adalah seorang yang setia kepada kerajaan, dan mereka menawarkan tenaga bantuan mereka! Di tempat itu mereka bertemu dengan banyak orang kang-ouw yang lihai-lihai dan tentu saja penawaran bantuan empat orang Tiat-ciang-pang yang mewakili rombongan mereka dua puluh orang itu diterima baik oleh Perwira Phang. Kemudian mereka disuruh mengatur anak buah mereka untuk menyelidiki keadaan pasukan asing yang kabarnya mengurung kota Koan-bun itu. Maka Si Gendut dan teman-temannya keluar dan bertemu dengan Bun Beng yang mereka sangka mata-mata pemberontak dan langsung mengeroyoknya sambil berteriak marah. Akan tetapi tentu saja mereka ini sama sekali bukan lawan Bun Beng.
Pendekar ini membiarkan mereka menerjangnya, lalu menyambut dengan gerakan kedua tangannya dan dalam beberapa gebrakan saja mereka roboh terpelanting dan terjengkang. Si Gendut berteriak-teriak dan ketika Bun Beng sudah melangkah hendak pergi dari pekarangan itu, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan terpaksa dia berhenti dan menengok. Terkejut jugalah dia ketika melihat di bawah penerangan lampu-lampu yang tergantung di depan dan kanan kiri gedung itu, belasan orang yang bergerak dengan cepat dan sigap sekali mengejarnya dan mengurungnya! Mereka itu terdiri dari bermacam orang, semuanya laki-laki, ada yang muda dan ada yang tua, pakaian dan sikap mereka jelas membayangkan orang-orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi.
"Mata-mata pemberontak, menyerahlah engkau!"
Bentak seorang di antara mereka yang sudah agak tua namun masih gagah sikapnya. Bun Beng tercengang karena dia seperti pernah mengenal orang ini akan tetapi sudah lupa lagi. Sebelum dia menjawab, dua orang di antara mereka sudah melontat maju dan hendak menangkap kedua lengannya dari kanan kiri. Bun Beng mengerutkan alisnya dan sekali lengannya bergerak, dua orang itu terlempar lima meter jauhnya dan terbanting terguling-guling! Semua orang terkejut sekali menyaksikan kehebatan tenaga ini.
"Kau melawan? Bagus, engkau sudah bosan hidup agaknya!"
Belasan orang itu lalu mencabut senjata masing-masing dan menerjang maju. Bun Beng melihat bahwa gerakan mereka itu tidak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak bisa disamakan dengan Si Gendut dan teman-temannya. Dari gerakan mereka dia tahu bahwa mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat tinggi dan merupakan lawan yang tangguh juga kalau maju sekaligus sedemikian banyaknya. Dia lalu meloncat dan menggunakan kecepatan gerak tubuhnya, mencelat ke sana-sini di antara sambaran sinar senjata dan dalam belasan jurus saja dia sudah mampu membagi tamparan sehingga empat lima orang kehilangan senjata mereka yang terlempar ke sana-sini.
"Mundur semua....!"
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring.
"Dia bukan lawan kalian, biarkan aku menghadapinya!"
Suara ini nyaring sekali, jelas bahwa pembicaranya, seorang wanita, memiliki khi-kang yang amat tinggi sehingga mengejutkan hati Bun Beng.
Maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan lihai, dia cepat meloncat ke atas, berjungkir balik dan turun melayang seperti seekor burung di depan sebuah patung singa yang besar, patung batu yang berada di depan gedung itu dengan maksud bahwa di tempat itu, dengan punggung terlindung arca besar ini, dia tidak akan dapat dibokong musuh. Wanita itu yang baru keluar dari gedung dengan tangan kosong, bagaikan seekor burung walet saja telah melayang mengejar Bun Beng dan bagaikan sehelai bulu ringannya, kedua kaki yang kecil bersepatu indah itu hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, menandakan bahwa gin-kangnya sudah mendekati kesempurnaan. Bun Beng merasa tegang dan siap sedia karena maklum bahwa lawan ini benar-benar hebat bukan main dan dia pun merasa heran mengapa tempat ini penuh dengan orang-orang pandai.
Kini mereka berhadapan dan sinar lampu menerangi tempat itu, memungkinkan mereka untuk saling pandang. Seperti ada halilintar menyambar dan tepat mengenai kedua orang itu, seketika timbul perubahan pada wajah Bun Beng dan wanita itu. Bun Beng terbelalak, mukanya pucat, alisnya berkerut, mulutnya ternganga dan seluruh tubuhnya berkeringat. Dia terhuyung dan terpaksa menyandarkan diri pada arca singa itu agar tidak roboh. Wanita itu amat cantik biarpun usianya sudah mendekati empat puluh tahun, sedikitnya tiga puluh lima tahun. Pakaiannya indah, sikapnya agung, sepasang matanya seperti bintang dan bersinar tajam sekali, gerak-geriknya gesit kuat namun halus. Akan tetapi pada saat itu, dia pun memandang pucat, matanya terbelalak, tubuhnya menggigil.
"Kau.... kau....?"
Bun Beng berhasil mengeluarkan suara yang gemetar karena seujung rambut pun dia tidak mengira akan berjumpa dengan wanita ini di tempat itu.
"Kau.... Gak.... Suheng.... aughh....!"
Puteri Milana memejamkan matanya sehingga air mata yang sudah memenuhi pelupuk mata itu mengalir keluar, napasnya sesak dan lehernya seperti dicekik rasanya, dia terhuyung, menggerakkan tangan kirinya ke leher dan tentu dia sudah roboh ke atas tanah kalau saja Bun Beng tidak cepat menyambarnya.
"Milana.... Sumoi....!"
Dia berbisik, sejenak dia mendekap tubuh itu dengan penuh perasaan kasih sayang, dengan penuh perasaan rindu dendam ke dadanya, seolah-olah dia hendak memasukkan tubuh itu ke dalam tubuhnya sendiri melalui penekanan itu agar tidak terpisah lagi, air matanya bercucuran dan dari tenggorokannya keluar bunyi aneh seperti keluhan seekor binatang yang terluka. Akan tetapi Bun Beng segera sadar akan keadaan Milana dan tanpa mempedulikan pandang mata terheran-heran dari semua orang kang-ouw itu, dia memondong tubuh Milana dan melangkah ke arah gedung.
"Tahan....!"
Beberapa orang kang-ouw meloncat dan mengepung dengan pedang di tangan.
"Saudara-saudara, mundurlah! Dia adalah suheng dari Sang Puteri!"
Tiba-tiba orang tua yang pertama kali menegur Bun Beng itu berseru keras, kemudian menghadapi Gak Bun Beng sambil menjura.
"Gak-taihiap, maafkan saya tadi yang tidak mengenal Taihiap."
Kini Bun Beng teringat semua. Pertemuannya dengan Milana seolah-olah membuka tabir yang selama ini menutupi ingatannya karena dia sudah tidak mempedulikan lagi akan keadaan di sekelilingnya, tidak mau lagi mengingat-ingat urusan yang lalu.
Sepasang Pedang Iblis Eps 32 Pendekar Super Sakti Eps 29 Sepasang Pedang Iblis Eps 17