Kisah Sepasang Rajawali 32
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 32
"Ngekkk!"
Pembantu itu terlempar, terbanting dan tidak bergerak lagi. Kian Bu dan Kian Lee sudah dikepung lagi oleh nenek dan para perajurit dan selain Kian Bu mengamuk dengan hebat, Kian Lee yang sudah terluka pahanya itu pun masih melawan dan setiap ada tombak menusuknya, dia menangkis dan pemegang tombaknya terpelanting. Pada saat yang amat berbahaya itu tampaklah berbondong-bondong bayangan orang banyak berloncatan dari dinding belakang. Mereka itu bukan lain adalah Si Gendut anggauta Tiat-ciang-pang bersama kawan-kawannya.
Mula-mula hanya belasan orang saja yang berloncatan masuk dan langsung saja Si Gendut dan kawan-kawannya itu menerjang para perajurit pemberontak yang mengeroyok Kian Bu dan Kian Lee. Melihat ini, Tek Hoat menjadi kaget dan marah, dan mengira bahwa orang-orang yang datang itu ada yang sepandai dua orang pemuda tadi. Akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa yang datang hanya gerombolan kaum sesat dari Tiat-ciang-pang yang dipimpin Si Gendut, dia memandang rendah dan cepat dia melakukan pengejaran karena Kian Bu dan Kian Lee sudah tidak kelihatan di tempat itu lagi. Kian Bu yang tadi melihat kesempatan baik selagi keadaan kacau dengan munculnya Si Gendut dan kawan-kawannya, cepat mengempit tubuh kakaknya dan meloncat naik ke atas dinding kebun lalu meloncat pula turun. Banyak perajurit yang juga berloncatan naik dan melakukan pengejaran.
"Lepaskan aku, biar aku dapat melawan!"
Kian Lee berkata. Kian Bu yang mendapat kenyataan bahwa kakaknya tidak terluka terlalu berat dan hanya terpincang-pincang itu, melepaskan kakaknya. Mereka melakukan perlawanan sambil melarikan diri menyelinap ke tengah kota di antara rumah-rumah orang. Akan tetapi, nenek buruk itu sudah dapat menyusul mereka dan bersama banyak perajurit dia telah mengeroyok Kian Bu yang terpaksa berpisah dari kakaknya karena nenek itu merupakan lawan yang tidak ringan.
"Toanio, tangkap dia hidup-hidup!"
Suara Tek Hoat ini mengejutkan Kian Bu, apalagi ketika dia menengok dan tidak dapat melihat kakaknya lagi, hatinya menjadi panik sekali, dan dia tidak dapat menghindarkan pukulan tongkat nenek itu yang mengenai pundaknya. Baiknya, tubuh pemuda itu sudah secara otomatis dihuni oleh tenaga sakti yang amat hebat sehingga tanpa pengerahan pun, tenaga saktinya melindungi pundak dan biarpun terasa nyeri bukan main, tidak ada tulang yang patah oleh pukulan maut dari nenek itu. Akan tetapi dia terhuyung dan menabrak pohon di pinggir rumah, dan pada saat itu, Tek Hoat sudah meloncat dekat, tangan kiri pemuda ini menghantam ke arah punggung Kian Bu untuk merobohkan dan menangkap pemuda ini hidup-hidup.
"Wuuuutttt.... plakkkk!"
Tek Hoat terbelalak ketika melihat betapa telapak tangannya bertemu de-ngan telapak tangan orang lain dan seluruh tubuhnya menjadi tergetar hebat. Dia masih mengerah-kan tenaga Inti Bumi ke telapak tangannya dan mendorong, akan tetapi sedikit pun tangan itu tidak bergeming, bahkan ketika laki-laki setengah tua yang dikenalnya sebagai laki-laki teman kedua orang pemuda lihai tadi mendorong, dia tidak dapat bertahan dan terhuyung ke belakang! Hebat! Ternyata laki-laki ini malah lebih lihai dari dua orang pemuda itu, dan bukan itu saja, agaknya laki-laki ini pun mahir menggunakan tenaga sakti Inti Bumi! Laki-laki itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Cepat dia menarik tangan Kian Bu dan berkata,
"Mari kita pergi....!"
Kian Bu meragu,
"Lee-ko...."
"Di mana dia?" "Entah, kami berpisahan, dia terluka pahanya...."
"Keparat!"
Tek Hoat berteriak marah dan kini menyerang Gak Bun Beng dengan pedang Cui-beng-kiam! Bun Beng terkejut melihat pedang ini dan cepat mengelak dengan merendahkan tubuhnya, sambil mengelak tangan kanannya menyambar tanah pasir dan begitu tangan ini bergerak, tanah pasir yang merupakan senjata rahasia yang amat dahsyat menyambar ke arah pedang itu, disusul dorongan telapak tangan kirinya ke arah Tek Hoat.
"Trikk-trikk-cringgg.... aihh....!"
Tek Hoat cepat meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat. Hantaman tanah pasir pada pedangnya tadi selain membuat pedangnya menyeleweng, juga ta-ngannya yang terkena pasir terasa sakit dan bahkan kulitnya terluka berdarah sedangkan hantaman tangan kiri tadi biarpun tidak sampai mengenai dadanya, namun hawa pukulannya hampir tidak kuat dia menahannya, begitu dingin seperti membekukan isi dadanya! Dia menjadi jerih dan hanya melongo melihat kedua orang itu melarikan diri dan lenyap di balik rumah-rumah.
"Kejar....!"
Dia berseru dan menyuruh para perajurit mengejar, sedangkan dia sendiri menghampiri nenek itu.
"Mereka hebat, dan laki-laki yang baru datang tadi.... hemm, hanya satu orang saja di dunia ini yang memlliki kepandaian seperti itu."
Kata Si Nenek menghela napas panjang.
"Siapa?"
Tek Hoat bertanya penasaran.
"Pendekar Super Sakti?"
"Memang, dan itulah anehnya. Dia bukan Pendekar Super Sakti, akan tetapi kepandaiannya hebat, dan dua orang pemuda itu! Hemmm, aku tidak akan heran kalau mendengar bahwa mereka adalah keluarga Pendekar Super Sakti dari Pulau Es...."
"Dan Toanio (Nyonya Besar) sendiri siapakah? Saya berterima kasih atas bantuan Toanio."
"Hi-hi-hik, karena kau tampan sekali maka aku membantumu! Memang kami berniat membantu pemberontakan menumbangkan pemerintah yang sudah banyak merugikan kami, akan tetapi Suheng dan Sumoi adalah orang-orang yang ku-koai (aneh), mereka membawa mau sendiri sehingga hanya aku seorang yang mencoba membantumu. Aku mendengar bahwa pihak pemberontak mempunyai seorang tangan kanan yang lihai, muda, tampan dan berjuluk Si Jari Maut. Tentu engkau, bukan?"
Tek Hoat tersenyum.
"Saya bernama Ang Tek Hoat dan tidak salah dugaan Toanio. Marilah kita masuk ke dalam gedung itu dan kita bicara. Toanio tidak keliru membantu kami dan akan kuperke-nalkan kepada Pangeran Liong Khi Ong yang kebetulan berada di sini."
Mereka lalu berjalan sambil bercakap-cakap menuju ke gedung bekas kepunyaan Kepala Daerah itu. Ke manakah perginya Kian Lee? Pemuda ini yang merasa betapa dada kirinya sakit sekali maklum bahwa pecahan besi itu tentu mengandung racun dari obat peledak, terasa panas, perih dan kaku.
Dan dia mengkhawatirkan keselamatan adiknya. Terlalu banyak lawan, dan nenek itu, juga pemuda berpedang itu amat lihai. Dia sendiri tentu tidak akan kuat menghadapi mereka, dan kalau Kian Bu harus melawan sendiri, tentu berbahaya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa sampai mati pun Kian Bu tentu tidak akan mau meninggalkannya. Maka dialah yang harus meninggalkan adiknya agar Kian Bu juga pergi dari tempat berbahaya itu, tidak melanjutkan pertandingan dan akan mencarinya. Kesempatan ini tiba ketika dia melihat seekor kucing bergerak memasuki sebuah pintu yang terbuka sedikit. Cepat dia menyelinap dan tanpa diketahui oleh siapapun dia lalu membuka daun pintu itu,
(Lanjut ke Jilid 31)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 31
menyelinap masuk, lalu memasang palang pintu dari dalam. Kemudian dia terhuyung-huyung memasuki rumah itu yang ternyata cukup besar dan lega.
"Meong....! Meong....! Meonggg....!"
Kian Lee terbelalak melihat begitu banyaknya kucing di dalam rumah ini! Ada lima enam ekor kucing yang bagus-bagus merubungnya dan dia bergidik seolah-olah kucing itu adalah musuh-musuh yang hendak mengeroyoknya. Matanya memandang ke arah binatang-binatang itu penuh perhatian, siap untuk melawan kalau mereka menyerang!
"Meong.... meong.... meooongggg....!"
Kucing-kucing itu mengelilingi, seolah-olah terheran-heran dan menyelidikinya sambil mengeluarkan bunyi bermeong saling sahut dan dari dalam muncullah kucing-kucing lain. Semua indah dan cantik, bermacam-macam warna bulunya, semua bersih terpelihara dengan leher dihias kalung yang mengeluarkan bunyi maka riuh rendahlah suara kerincingan di kalung itu ketika kini muncul lagi belasan ekor kucing darl dalam sehingga jumlanya ada dua puluh ekor lebih!
Betapa pun cantik dan bagus kucing-kucing gemuk itu, dengan bulu halus bersih bermacam warna, namun bergidik juga Kian Lee melihat begini banyak kucing mengurungnya. Menghadapi pengeroyokan orang-orang yang ganas dia tidak gentar, akan tetapi dikelilingi begini banyak kucing, menimbulkan perasaan ngeri dan serem! Pahanya yang sebelah kiri terasa sakit dan panas, mengucurkan darah cukup banyak dan dia menggoyang-goyang kepalanya karena terasa pening. Lebih dua puluh pasang mata kucing yang bersinar tajam dan aneh itu seolah-olah menyihirnya, membuatnya pusing dan berkunang-kunang. Dia berusaha menggoyang-goyang kepala, membuka-buka lebar matanya, akan tetapi kepalanya makin berat dan pusing, dia terhuyung-huyung.
"Ouhhhh...."
Hampir dia roboh kalau dia tidak menangkap sebatang tiang di dalam ruangan itu, sejenak ia bersandar pada tiang.
"Heiii, Belang....! Putih....! Heiii, Hitam.... ada apa kalian ribut-ribut di situ....?"
Suara yang halus bening dan penuh keriangan ini masih dapat menembus pendengaran Kian Lee yang mulai terngiang-ngiang.
"Hei, kucing-kucing lucu, di mana Su-kouw (Bibi Guru....?"
Lalu pandang mata Kian Lee yang sudah mulai gelap itu melihat bayangan seorang gadis cantik yang tampak olehnya seperti munculnya sinar terang dalam kegelapan, seolah-olah dia melihat seorang bidadari terbang melayang dan turun dari angkasa mengulurkan tangannya untuk menolong.
"Uuhhh....!"
Dan dia pun terguling dan roboh ke atas lantai tak sadarkan diri. Kian Lee mengeluh dan mengerang, dia mendapatkan dirinya teruruk sebuah rumah yang terbakar, kakinya terhimpit balok terbakar. Seluruh tubuh terasa panas, kaki yang terhimpit balok nyeri bukan main dan tak dapat digerakkan. Tiba-tiba hujan turun, api yang membakar sekelilingnya padam, paha kirinya yang terhimpit balok terkena air, terasa dingin akan tetapi rasa dingin yang menggantikan kedudukan api yang tadi menyiksa. Rasa dingin yang menusuk-nusuk, terasa sampai di tulang paha kaki kirinya dan lapat-tapat dia mendengar suara menghiburnya, seperti suara gadis yang selama ini terbayang di depan matanya, suara Lu Ceng. Tercium olehnya bau harum sedap yang lamat-lamat, dan tampak olehnya seraut wajah, cantik bukan main, wajah Lu Ceng yang dirindukannya....!
Kian Lee membuka sedikit matanya dan ternyata mimpinya itu menjadi kenyataan, karena benar saja dia melihat seraut wajah cantik jelita. Dia menjadi terharu! Mengapa mimpinya menjadi ke-nyataan dan mungkinkah Lu Ceng begini baik kepadanya, duduk bersimpuh di dekatnya, menggunakan jari-jari tangan yang halus lentik menyusuti dahinya dengan sehelai saputangan yang dibasahi, begitu lembut dan mesra! Mungkinkah gadis itu begini baik kepadanya, dengan sepasang mata yang menyinarkan kelembutan dan kemesraan, bibir yang tipis basah kemerahan itu membentuk senyum menggairahkan? Keharuan membuat Kian Lee menggerakkan tangan kanannya, seperti bukan kemauannya sendiri dia mengusap dagu dan pipi wajah cantik di depannya itu, berbisik halus.
"Engkaukah ini.... engkau....?"
Sepasang mata yang tadinya meman-dang lembut dan mesra itu terbelalak keheranan, lalu bibir yang mungil itu terbuka, terkekeh, tampak deretan gigi yang kecil rata dan putih mengkilap.
"Hi-hi-hik, kau lucu....!"
Kian Lee mengejap-ngejapkan matanya, kini baru sadar betul. Ketika dia membuka mata dan memandang lagi, dengan kaget dia mendapat kenyataan bahwa wajah itu bukanlah wajah Ceng Ceng, bukanlah wajah gadis yang dirindukan, sungguhpun wajah ini juga cantik, bahkan terlalu cantik jelita, wajah seorang gadis cilik, seperti setangkai kuncup bunga yang sudah mulai tampak keindahannya, menjanjikan keadaan dan kecantikan luar biasa apabila telah mekar menjadi bunga tak lama lagi! Kian Lee cepat menggerakkan tubuhnya, bangkit duduk. Hampir dia berteriak karena paha kirinya terasa nyeri.
"Ngeonggg....! Ngeooongggg....!"
Kian Lee terperanjat dan memandang ke kanan kiri. Penuh kucing!
"Hushh, Belang! Hitam! Jangan nakal lho!"
Gadis itu membentak halus dan kucing-kucing itu menyingkir agak menjauh dari Kian Lee, sedangkan gadis itu lalu membungkuk dan memondong seekor kucing kecil berbulu putih yang amat cantik. Kian Lee mendapatkan dirinya tadi rebah di atas lantai, ketika dia meraba paha kirinya yang dia ingat telah terluka, dia mendapatkan kenyataan bahwa paha di dalam pipa celananya itu telah diobati dan dibalut orang. Dia meraba-raba, mengerahkan tenaga sin-kang ke arah paha dan mendapat kenyataan yang menggirangkan hatinya bahwa rasa panas dari racun obat peledak itu telah lenyap, atau telah menjadi tawar oleh obat penolaknya yang mujarab sekali.
"Eh, di mana aku....?"
Dia berkata. Gadis itu sambil mengusap-usapkan pipinya yang tadi diraba tangan Kian Lee kepada punggung kucing yang penuh bulu halus memandang kepadanya dengan muka dimiringkan dan mata bersinar, wajah berseri-seri, tersenyum menjawab nakal,
"Di dalam rumah!"
"Ya, tentu. Tapi rumah siapa?"
Sepasang mata itu bergerak nakal, bibir merah itu tersenyum dikulum sebelum menjawab, seolah-olah dia hendak mencari "akal"
Untuk menjawab, kemudian keluar jawabannya dengan mata bersinar-sinar,
"Rumah orang!"
Kian Lee tertegun sejenak, memandang gadis cilik itu dan tiba-tiba dia tertawa. Gadis ini mengingatkan dia kepada adiknya, Kian Bu! Betapa sama sifatnya, sama-sama nakal dan suka menggoda orang, karena dia yakin benar bahwa jawaban-jawaban aneh itu disengaja untuk menggoda, jelas tampak dari pandang mata gadis itu yang persis seperti pandang mata Kian Bu kalau sedang menggodanya.
"Eh, kenapa kau ketawa-tawa? Apanya yang lucu?"
Tiba-tiba sifat gadis itu berubah, kalau tadi menahan geli mempermainkan orang, kini penuh penasaran!
"Aku tertawa karena engkau mengingatkan aku akan seseorang. Akan tetapi sudahlah, adik yang baik. Ini rumah siapakah?"
"Rumah bibiku, bibi guruku."
"Jadi diakah yang mengobati kakiku yang terluka?"
Gadis itu menggeleng.
"Bukan, dia belum datang. Yang ada hanya kucing-kucingnya yang kelaparan karena belum diberi makan. Kalau tidak kebetulan aku datang ke sini, tentu kucing-kucing kelaparan ini sudah menggerogoti habis daging-dagingmu ketika kau pingsan tadi."
Kian Lee bergidik. Dara cilik ini cantik manis sekali, akan tetapi di dalam kata-kata dan sikapnya tersembunyi sesuatu yang menyeramkan, seperti ketika membayangkan betapa kucing-kucing kelaparan itu akan menggerogoti daging-dagingnya!
"Kalau begitu, siapa yang mengobati kakiku?"
"Di rumah ini hanya ada kucing-kucing ini dan aku. Kucing-kucing ini tentu tidak bisa mengobati luka di kakimu yang penuh dengan racun obat peledak, biarpun mereka akan menggunakan lidah-lidah mereka yang kasar untuk secara bergantian menjilati luka di kakimu itu."
Kembali Kian Lee bergidik. Cara gadis cilik ini menggambarkan sesuatu benar-benar membikin orang merasa ngeri.
"Kalau begitu, engkaulah yang telah mengobatinya?"
Tanyanya dengan heran sekali.
"Hemm, entah siapa, kau cari saja sendiri. Yang ada hanya aku dan kucing-kucing ini, dan kucing-kucing ini tentu saja tidak bisa mengobati. Eh, masih ada lagi selain aku dan kucing-kucing ini, tapi aku sangsi apakah mereka itu dapat mengobatinya."
"Mereka siapa?"
Kian Lee bertanya sambil memandang ke kanan kiri, siap siaga menghadapi segala kemungkinan.
"Mereka inilah."
Gadis cilik itu telah melepaskan anak kucing yang tadi dipondongnya, dan tahu-tahu dia kini sudah mengeluarkan dua ekor ular yang membuat Kian Lee terbelalak dan melongo karena mengenal ular-ular itu sebagai dua ekor ular yang paling berbisa! Dan jelas bahwa dua ekor ular itu bukanlah ular-ular yang telah dijinakkan atau telah tidak mengandung bisa lagi. Dua ekor binatang menjijikkan itu mendesis-desis dan dari desisnya saja sudah mengepulkan uap hitam yang amat berbisa! Akan tetapi, gadis cilik itu mempermainkan dua ekor ular ltu seperti memainkan dua helai saputangan sutera saja layaknya!
Kini Kian Lee memandang gadis itu dengan pandang mata lain. Mengertilah dia bahwa betapapun halus dan cantik manis tampaknya, ternyata gadis cilik itu memiliki kepandaian hebat untuk menaklukkan ular berbisa, dan tentu dengan sendirinya ahli tentang racun, maka dapat mengobati pahanya yang terluka dan terkena racun. Buktinya, gadis cilik ini tadi mengatakan bahwa luka di pahanya terkena racun obat peledak! Kian Lee lalu bangkit berdiri. Pahanya masih agak nyeri, akan tetapi karena sudah terbebas dari racun, rasa nyeri dapat dipertahankan dan dia dapat menggerakkan kaki kirinya seperti biasa. Lalu dia menjura kepada gadis cilik yang sudah memondong lagi anak kucing putih sedangkan dua ekor ular tadi entah disembunyikan di mana, mungkin di saku baju luarnya yang panjang dan lebar itu.
"Nona, saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Nona yang amat besar tadi. Saya Suma Kian Lee tidak melupakan...."
"Wah, kau she Suma?"
Tiba-tiba gadis ci1ik itu membentak.
"Benar, mengapa?"
Kian Lee bertanya heran, apalagi melihat betapa sepasang mata itu kini terbelalak lebar memandangnya seperti mata orang marah!
"Aku.... benci orang yang shenya Suma! Semua orang she Suma adalah musuh besarku, demikian kata ayahku. Maka kalau kau she Suma, aku menyesal telah mengobati lukamu.... akan tetapi.... hemm, kau.... tampan dan gagah, engkau tentu orang baik, maka aneh kalau kau she Suma karena menurut Ayah, she Suma adalah she orang-orang yang jahat dan menjadi musuh besar kami."
Kian Lee mengerutkan alisnya.
"Kalau boleh saya bertanya, Nona...."
"Nanti dulu, aku benci caramu menyebut aku nona! Aku sudah muak karena setiap hari orang-orang kami menyebutku nona dengan sikap menjilat sehingga setiap kali mendengar sebutan nona, aku membayangkan sikap orang menjilat-jilat menjemukan! Jangan panggil aku nona, baru aku mau mendengarkan!"
Kian Lee makin heran. Bocah ini benar-benar aneh, manis tapi menyeramkan, menarik tapi manja menggemaskan, masih bersikap kanak-kanak akan tetapi telah memiliki ilmu demikian tinggi tentang racun!
"Baiklah, aku akan menyebut siauw-moi (adik kecil)...."
"Iihh, kau kira aku masih bayi? Aku sudah hampir dua belas tahun! Dan engkau pun belum begitu tua, kau pantas menjadi kakakku. Kenapa tidak menyebut aku adik saja, jangan pakai kecil segala!"
Katanya manja dan berlagak seperti telah dewasa, akan tetapi lagaknya ini malah membayangkan bahwa gadis cilik ini memang masih mentah! Akan tetapi karena maklum bahwa gadis cilik ini memiliki watak yang ku-koai (aneh), Kian Lee yang merasa berterima kasih telah ditolong itu berkata,
"Baik, Moi-moi. Aku ulang lagi, kalau boleh aku bertanya, engkau ini siapakah dan siapa pula ayahmu yang begitu membenci she Suma?"
"Namaku? Aku Kim Hwee Li."
Kian Lee mengingat-ingat. Tidak pernah dia mendengar nama ini dan hanya tahu bahwa nama Hwee Li ini terdengar manis sekali.
"Dan ayahmu?"
"Tidak perlu kukatakan."
"Kenapa?"
"Engkau tentu akan lari terbirit-birit mendengarnya. Sudah banyak pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang kujumpai dan kuajak berteman, kalau mendengar nama ayahku lalu lari ketakutan meninggalkan aku. Aku tidak ingin kau pun ketakutan seperti itu dan berlari pergi setelah kuperkenalkan namanya."
"Ah, masa? Katakanlah, aku tidak akan lari...."
Tiba-tiba Kian Lee menghentikan kata-katanya karena pintu depan diketuk orang. Gadis itu menjadi kaget dan kelihatan ketakutan sekali. Kini baru tampak oleh Kian Lee betapa gadis cilik yang amat cantik jelita ini memiliki wajah yang amat pucat, dan sekarang, dengan mata terbelalak ketakutan itu wajahnya kelihatan makin pucat lagi.
"Celaka....!"
Bisiknya dan jari-jari tangannya yang memegang lengan Kian Lee menggigil.
"Kau.... kau sembunyilah di sini saja, jangan bergerak, jangan bernapas.... jangan mengeluarkan suara.... biar aku menghadapi Sukouw.... jangan khawatir, aku tidak akan membiarkan engkau menjadi korban Sukouw!"
Kian Lee yang menjadi bingung karena tidak mengerti itu hanya mengangguk, lalu dia duduk kembali, bersembunyi di balik tiang dan dinding, akan tetapi dia mengintai ke arah pintu depan.
Sedangkan Hwe Li dengan sikap ditenang-tenangkan dan memondong kucing putih mulus, melangkah ke arah pintu lalu membuka pintu. Daun pintu terbuka lebar dan terdengar orang mendengus marah dan muncullah seorang kakek yang membuat Kian Lee kini benar-benar menahan napas karena dia mengenal kakek ini sebagai kakek raksasa yang lihai dan menyeramkan, dan tidak heranlah dia kini mengapa gadis cilik itu demikian lihai, karena kakek yang muncul ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka! Hek-tiauw Lo-mo yang masuk dengan marah itu terbelalak kaget dan heran ketika melihat bahwa yang membukakan pintu adalah puterinya sendiri. Dengan menudingkan telunjuk kanannya yang besar dan berkuku panjang ke arah muka gadis cilik yang tenang-tenang saja itu, dia menghardik,
"Hwee Li! Mengapa engkau yang berada di sini? Mana bibi gurumu?"
"Bibi Guru tidak ada di rumah, Ayah. Aku kesal Ayah tinggalkan di pondok kosong bersama anak buah yang kasar-kasar itu, maka aku datang mengunjungi Sukouw. Akan tetapi dia pun tidak ada dan aku senang di sini bermain-main dengan kucing-kucingnya. Ayah, biarkan aku bermain-main di sini sendiri bersama kucing-kucing ini, kalau tidak boleh aku akan menangis sehari semalam!"
"Wah-wah, kau memang manja dan tidak beres! Aku perlu dengan bibi gurumu, entah ke mana perginya pelacur tak tahu malu itu! Nah, biar engkau di sini menanti dia pulang, kalau dia pulang katakan bahwa aku ingin bertemu dengannya. Suruh dia datang mengunjungi pondok kita."
"Baik, Ayah. Kau baik sekali, Ayah, engkau ayah yang baik. Terima kasih!"
Berkata demikian, Hwee Li mengantar ayahnya keluar dan menutupkan kembali daun pintunya. Kemudian sambil tertawa kecil dia berlari menghampiri Kian Lee. Kian Lee sudah bangkit berdiri, jantungnya masih berdebar tegang.
"Dia itu ayahmu? Hemm, kiranya ayahmu Hektiauw Lo-mo...."
Hwee Li terkejut dan memandang wajah yang tampan itu penuh pertanyaan.
"Jadi engkau sudah mengenal ayahku?"
Kian Lee mengangguk, akan tetapi tentu saja dia tidak bisa menceritakan kepada gadis cilik yang telah menolongnya ini bahwa dia adalah musuh ayahnya itu. Dia tidak tega mengatakan ini.
"Dan kau tidak takut kepada ayahku?"
"Tidak, mengapa takut? Dia seorang ayah yang baik, bukan?"
Hwee Li melepaskan kucingnya dan memegang kedua tangan Kian Lee.
"Aihh, Twako, kau hebat! Engkaulah orang pertama yang mengatakan bahwa engkau tidak takut kepada ayahku! Padahal semua orang takut. Memang dia seorang ayah yang baik, akan tetapi.... kadang-kadang.... aku pun takut kepadanya. Dia bisa baik, terutama kepadaku, akan tetapi bisa juga.... hemm.... amat kejam.... ah, sudahlah, tidak baik membicarakan ayah sendiri, bukan?"
Kian Lee mengangguk, terheran-heran. Bagaimana seorang iblis tua seperti Hek-tiauw Lo-mo dapat mempunyai seorang anak perempuan begini cantik jelita?
"Engkau tadi tampaknya lebih ketakutan ketika mengira bahwa yang datang adalah bibi gurumu. Mengapa? Siapakah bibi gurumu?"
"Bibi guruku ada dua orang. Twa-sukouw, bibi guru pertama, cukup menyeramkan akan tetapi tidaklah seperti Ji-sukouw, bibi guru ke dua yang amat mengerikan. Kalau dia yang datang dan melihatmu, aku tidak tahu bagaimana akan bisa menyelamatkan engkau."
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa?"
"Dia tidak akan melepaskan pemuda tampan dan gagah seperti engkau, tentu engkau akan dilarikannya dan paling lama tiga hari engkau akan kedapatan mati di suatu tempat."
"Hemm, apa yang dilakukannya?"
"Aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ayah pun membenci kebiasaannya yang mengerikan itu. Setiap kali dia tentu menculik pemuda tampan dan membunuhnya, aku tidak tahu apa yang dilakukannya, hanya pernah aku melihat pemuda-pemuda yang dibunuhnya. Mengerikan!"
Hwee Li bergidik. Kian Lee teringat akan nenek bertongkat yang amat lihai itu, yang membuat pahanya terluka.
"Seperti apakah kedua orang bibi gurumu itu?"
Tanyanya.
"Yang seorang buruk sekali akan tetapi yang ke dua cantik sekali. Engkau tentu telah bertemu dengan bibiku yang cantik itu, dan untung engkau tldak sampai dibawanya lari, hanya terkena senjatanya. Pahamu itu terkena senjata rahasia peledak, bukan?"
Kian Lee mengangguk.
"Benar, akan tetapi yang melepasnya bukanlah seorang wanita cantik, melainkan seorang nenek buruk sekali, nenek yang bertongkat dan...."
"Ah, dia itu Twa-sukouw!"
Hwee Li berseru heran.
"Tentu dia telah mencuri senjata rahasia Ji-sukouw! Ketahuilah, ahli pembuat senjata rahasia peledak itu adalah Ji-sukouw. Eh, Twako, kenapa kau sampai bertanding melawan Twa-sukouw?"
"Hemm.... karena dia membantu pemberontak." "Pemberontak, pemberontak! Urusan kerajaan dan pemberontak ini menjemukan hatiku, Twako! Agaknya Ayah dan kedua orang bibi guruku melibatkan diri pula. Entah di pihak siapa Ayah berdiri, dan Twa-sukouw, menurut penuturanmu, jelas berdiri di pihak pemberontak. Entah pula dengan Ji-sukouw. Hem, aku jemu! Twako, mari kauantarkan aku kembali ke Pulau Neraka saja, kau tentu kaget mendengar bahwa aku datang dari Pulau Neraka, bukan?"
"Tidak, Hwee Li. Aku tahu bahwa ayahmu adalah Ketua Pulau Neraka berjuluk Hek-tiauw Lo-mo."
"Eh, jadi kau sudah mengenal Ayah sebagai Ketua Pulau Neraka?"
"Aku sudah mengenal ayahmu, akan tetapi tidak tahu tentang bibi gurumu dan tentang dirimu baru sekarang aku mengetahuinya. Dua tahun lebih yang lalu aku dan adikku pernah berkunjung ke Pulau Neraka dan kau tidak ada di sana...."
"Hehh....? Benarkah? Dua tahun yang lalu.... hemm, aku masih dikurung di dalam kamar latihan, tidak boleh keluar sama sekali dan baru setahun yang lalu aku diperbolehkan keluar oleh Ayah. Dua tahun yang lalu....? Kakak beradik....? Wah, wah, aku sudah mendengar tentang keributan itu! Jadi engkau dari Pulau Es?"
Kian Lee mengangguk dan Hwee Li meloncat mundur ke belakang, memandang ketakutan.
"Tentu engkau akan membunuh aku!"
"Tidak, tidak Hwee Li. Engkau gadis yang baik sekali, mengapa aku harus membunuhmu?"
"Engkau dan adikmu itu putera-putera Pendekar Siluman...."
"Pendekar Super Sakti!"
"To-cu (Majikan Pulau) dari Pulau Es musuh besar Ayah!"
"Tapi aku tidak memusuhimu, juga tidak memusuhi ayahmu atau siapapun juga, Hwee Li."
"Benarkah? Aku girang sekali kalau begitu. Aihh, putera Pulau Es. Pantas engkau she Suma! Wah, kalau begitu, engkau harus cepat pergi dari sini, Twako. Kalau Ayah tahu engkau putera dari Pulau Es, tentu celaka. Dan kalau Ji-sukouw keburu datang, engkau pun tentu akan diculiknya. Pergilah, akan tetapi, jangan kau lupa kepadaku, ya?"
Kian Lee mengangguk dan tersenyum.
"Engkau anak manis, engkau telah menyelamatkan aku, Hwee Li. Mana mungkin aku bisa lupa kepadamu?"
Kian Lee lalu berjalan ke pintu, agak terpincang. Setelah mengintai dari belakang pintu ke luar dan tidak melihat siapa pun, dia membuka daun pintu dan hendak melangkah keluar.
"Twako....!"
Kian Lee menoleh dan melihat gadis cilik itu berdiri pucat, dia melangkah masuk lagi, berdiri di depan Hwee Li. Gadis ini cantik luar biasa, sungguhpun masih belum dewasa benar sudah nampak kecantikannya.
"Ada apakah, Hwee Li?"
"Twako, kau benar-benar.... tidak akan lupa kepadaku?"
Kian Lee tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Dan aku.... aku suka kepadamu, Twako!"
Kian Lee terharu, dan meraba serta mencubit dagu yang manis itu.
"Tentu saja, engkau seperti adikku sendiri!"
Mulut yang manis itu cemberut.
"Aku tidak suka menjadi adikmu!"
"Habis bagaimana?"
"Kita adalah sahabat, bukan kakak dan adik."
"Baiklah, engkau sahabatku yang paling baik dan manis, Hwee Li. Eh, aku lupa untuk bertanya tadi. Siapakah nama kedua orang sukouwmu itu?"
Kian Lee perlu untuk menanyakan nama mereka, terutama Si Nenek Lihai karena nenek itu telah menjadi musuhnya, membantu pemberontak, bahkan telah melukainya.
"Twa-sukouw berjuluk Hek-wan Kui-bo (Nenek Setan Lutung Hitam), dan Ji-sukouw berjuluk Mauw Siauw Mo-li (Siluman Kucing). Engkau berhati-hatilah kalau bertemu dengan mereka, Twako, terutama kalau bertemu dengan Ji-sukouw. Dia lebih lihai dan lebih berbahaya dari Twa-sukouw."
"Terima kasih, Hwee Li. Nah, selamat tinggal."
"Jangan lupa kepadaku, Twako, dan sekali-kali carilah aku."
Kian Lee mengangguk, tersenyum lalu meloncat keluar dari pintu, akan tetapi ketika dia membalik, tanpa disengaja dia menginjak sesuatu yang lunak.
"Awas, Twako....!"
Hwee Li mengingatkan, Kian Lee meloncat ketika mendengar suara kucing menjerit dan kucing yang terlnjak ekornya itu menye-rangnya dengan kaki depan, mencakar, akan tetapi Kian Lee telah leblh dulu mengelak.
"Wah, berbahaya! Semua kuku dari kucing-kucing di sini mengandung racun berbahaya, Twako."
"Ehh?"
"Ji-sukouw suka sekali memelihara kucing dan.... eh, dia sendiri sifatnya seperti kucing. Semua kucing ini adalah peliharaannya."
Kian Lee menghela napas. Aneh-aneh orang dunia kang-ouw ini, pikirnya. Dan setelah Ketua Pulau Neraka dan dua orang sumoinya itu muncul, tentu akan terjadi geger. Dia mengangguk lagi dan kini melesat ke luar, sebentar saja lenyap meninggalkan Hwee Li yang cemberut dikelilingi kucing-kucing itu. Tek Hoat yang tidak dapat menemukan musuh-musuhnya, dua orang pemuda lihai yang telah menghilang, apalagi karena tidak dapat menemukan kembali Syanti Dewi, menjadi jengkel dan marah sekali. Dia menghubungi Panglima Kim Bouw Sin yang telah mengadakan perundingan dengan Raja Tambolon dan melaporkan bahwa di kota itu penuh dengan mata-mata musuh.
Atas usulnya, pintu kota benteng itu ditutup dan pasukan-pasukan dikerahkan untuk mengadakan penggeledahan dan perondaan untuk menangkapi mata-mata musuh, terutama sekali tentu saja penggeledahan dari rumah ke rumah ini oleh Tek Hoat ditujukan untuk menemukan kembali Syanti Dewi! Pasukan Tambolon mulai bergerak di bawah pimpinan Raja Tambolon itu sendiri, telah bersepakat dengan pihak pemberontak untuk membantu pemberontak, dan diberi ijin untuk menyerbu dusun Ang-kiok-teng di mana terdapat pasukan yang dipimpin oleh Thio-ciangkun, bahkan Kim Bouw Sin menyerahkan dusun itu untuk menjadi markas dari Raja Tambolon dan pasukannya. Tentu saja pasukan liar itu menjadi girang karena penyerbuan itu berarti perang, kemenangan, harta, makan minum berlimpah dan terutama sekali banyak perempuan tawanan!
Pangeran Tua Liong Khi Ong juga sudah meninggalkan kota itu untuk memasuki kota benteng Teng-bun bersama Pangeran Kim Bouw Sin yang menyerahkan penjagaan dan pembersihan kota Koan-bun itu kepada seorang panglima yang mewakilinya setelah Koan-bun direbut. Juga Tek Hoat diharuskan mengawal Pangeran Liong ke depan benteng Teng-bun, pusat pemberontakan itu. Biarpun hatinya menyesal sekali karena dia tidak berhasil menemukan Syanti Dewi, namun Tek Hoat tidak berani membantah, apalagi saat itu memang merupakan saat yang penting di mana pihak pemberontak sudah siap mengerahkan kekuatan untuk sewaktu-waktu menyerbu ke selat-an, yang diawali oleh penyerbuan pasukan liar Raja Tambolon ke dusun Ang-kiok-teng itu. Para penduduk di kota Koan-bun kembali menjadi panik setelah pada hari-hari kemarin dibikin geger oleh berita munculnya pasukan liar dari Raja Tambolon.
Kini mereka menjadi panik karena setiap rumah di dalam kota itu digeledah oleh perajurit-perajurit yang dipimpin oleh perwira-perwira yang kasar. Perang memang merupakan puncak kekejaman dari manusia yang mengumbar hawa nafsunya yang tanpa batas itu. Setiap kesempatan di dalam keadaan kacau oleh perang selalu dipergunakan oleh manusia untuk memuaskan hawa nafsunya. Di dalam penggeledahan dari rumah ke rumah ini pun, biar dalihnya adalah untuk pembersihan dan menangkapi mata-mfta musuh, akan tetapi pelaksanaannya banyak diselewengkan oleh dorongan hawa nafsu sehingga terjadilah hal-hal yang amat aneh dan keji. Kesempatan ini dipergunakan oleh mereka yang berkuasa, dalam hal penggeledahan ini tentu saja para perwira yang memimpin pasukan penggeledahan bersama anak buahnya, untuk memeras dan menindas rakyat.
Yang termasuk hartawan tentu tidak luput dari pemerasan uang. Penyogokan atau sumbangan paksaan setengah merampok, pengambilan benda-benda berharga yang kecil-kecil secara begitu saja. Yang tidak mampu menyogok, ada yang dipaksa menyogok dengan menyerahkan anak gadisnya untuk sekedar "menghibur"
Sang Perwira di dalam kamar selagi anak buahnya menggeledah ke seluruh rumah, dan tidak jarang peristiwa menyedihkan yang hanya berlangsung beberapa lama di dalam kamar itu disusul oleh peristiwa bunuh diri oleh Si Gadis yang dipaksa melayani Sang Perwira atau beberapa orang anggauta tentara. Banyak pula orang yang ditangkap, dengan tuduhan mata-mata dengan fitnah bermacam-macam hanya untuk melampiaskan kemarahan dan dendam pribadi!
Para pembantu, penyelidik dan mata-mata yang disebar oleh Puteri Milana dan Jenderal Kao juga para anggauta Tiat-ciang-pang yang menganggap diri sendiri sebagai pejuang-pejuang, menjadi repot juga ketika melihat betapa banyak teman mereka telah tertawan dan pembersihan masih terus dilakukan. Setelah main kucing-kucingan di dalam kota, menghindarkan diri dari pengejaran para pasukan pemberontak sampai senja, akhirnya Si Gendut anak buah Tiat-ciang-pang bersama belasan orang temannya tiba di dekat dinding benteng yang amat tinggi, bingung karena mereka tidak mem-peroleh jalan keluar setelah benteng ditutup dan dijaga dengan ketat oleh pasukan pemberontak. Cuaca senja remang-remang dan mereka berkelompok di dekat dinding yang sunyi itu, mencari akal bagaimana mereka akan dapat keluar dari tempat itu.
"Kita bongkar tembok saja."
"Ah, akan makan waktu terlalu lama."
"Selain itu juga berisik dan tentu ketahuan penjaga."
"Temboknya tebal sekali, tidak mudah membongkarnya tanpa alat lengkap."
Selagi mereka bercakap-cakap mencari akal, karena untuk meloncat ke atas tembok yang tinggi sekali itu adalah hal yang tidak mungkin, tiba-tiba seorang di antara mereka memberi isyarat,
"Sssttt.... ada orang....!"
Bagaikan segerombolan tikus melihat ada kucing datang, belasan orang ini menyelinap ke sana-sini dan sebentar saja mereka sudah lenyap bersembunyi! Si Gendut yang memimpin rombongan itu bersembunyi bersama seorang temannya yang masih muda dan tampan bernama A Ciang. Sambil bersembunyi mereka mengintai dan legalah hati Si Gendut ketika melihat bahwa yang datang dari jauh itu bukanlah seorang penjaga, bahkan bukan pula seorang pria, melainkan seorang wanita yang dari jauh kelihatan betapa pinggangnya ramping dan lengannya lemah gemulai menggairahkan.
"Ssst, A Ciang, dia itu wanita, tentu akan tertarik dan suka menolongmu. Kau mintalah tolong kepadanya agar dia suka mencarikan sehelai tali yang kuat untuk kita pakai melarikan diri. Kalau kita memasang kaitan dan melontarkan tali yang panjang ke atas dinding, kita tentu dapat memanjat naik dan keluar dari sini,"
Berkata Si Gendut kepada temannya. A Ciang mengangguk dan dia membereskan pakaiannya, lalu keluar dari tempat persembunyiannya menanti datangnya wanita dari depan itu. Setelah wanita itu datang dekat, A Ciang hanya melongo dan tidak bisa bicara!
Dia terpesona menyaksikan wanita itu karena setelah dekat tampaklah seorang wanita yang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi kelihatan masih muda sekali, cantik jelita luar biasa, dengan wajah manis yang mengandung tantangan pada sinar mata dan senyumnya, tubuhnya padat dan ramping penuh gerak hidup, lemas dan bajunya pada bagian dada demikian ketat menempel dadanya sehingga membayanglah sepasang buah dadanya yang menonjol. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah A Ciang melihat seorang wanita secantik ini! Ketika wanita itu melihat ada seorang laki-laki menghadangnya, dia memandang tajam dengan sepasang matanya yang indah, kemudian tersenyum mengejek, akan tetapi pandang matanya penuh selidik menatap wajah yang cukup bersih dan tampan dari A Ciang yang usianya baru dua puluh lima tahun itu.
"Engkau mau apa menghadang perjalananku?"
Suara ini halus dan agak serak, seperti bisikan merayu, mulut dan bibir merah itu bergerak genit ketika bicara. A Ciang menelan ludahnya sebelum menjawab.
"Maaf.... Nona, saya.... saya eh, ingin minta tolong kepada Nona...."
"Minta tolong apa? Dan mengapa banyak teman-temanmu bersembunyi dan mengintai? Apakah kalian perampok?"
Mendengar ini, A Ciang terkejut bukan main. Wanita ini tahu bahwa banyak temannya bersembunyi di sekitar tempat itu! Juga Si Gendut mendengar kata-kata ini maka dia lalu keluar, tubuhnya gendut seperti seekor katak besar keluar dari sarangnya, lalu dia memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk keluar karena percuma saja bersembunyi setelah wanita itu mengetahui akan keadaan mereka. Pula, seorang wanita tentu saja tidak akan membahayakan keadaan mereka.
"Mereka adalah kawan-kawanku...."
A Ciang berkata. Akan tetapi Si Gendut sudah maju dan menjura kepada wanita itu.
"Kouw-nio (Nona), harap suka menolong kami. Kami harus dapat keluar dari dinding ini, kalau tidak kami akan dibunuh oleh srigala-srigala itu. Tolonglah kami, Kouw-nio, dengan mencarikan sehelai tali yang panjang dan kuat. Percayalah bahwa kami bukanlah orang-orang jahat, melainkan pejuang-pejuang yang rela mempertaruhkan nyawa dan badan demi negara...."
Wanita itu menggerakkan kedua alisnya. Manis sekali gerakan ini, apalagi karena dia memang memiliki sepasang mata yang amat bagus.
"Jadi kalian ini mata-mata kerajaan?"
"Bukan, kami adalah orang-orang kang-ouw yang membantu pemerintah untuk menghadapi pemberontak hina. Harap Nona suka membantu kami."
"Keluar dari tempat ini apa sih sukarnya? Mengapa harus mengguna-kan tali?"
"Ah, Kouw-nio, kalau tidak menggunakan tali lalu bagaimana? Apakah Kouw-nio mengeta-hui jalan keluar secara lain yang lebih aman?"
Si Gendut bertanya. Wanita itu menggelengkan kepala.
"Aku tadi masuk ke sini juga melalui dinding ini, tapi tanpa tali."
Semua orang yang mendengar ini terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak.
"Tanpa tali....?"
Si Gendut bertanya.
"Nona yang baik, harap Nona suka mengajari saya agar dapat keluar dari sini sebaiknya,"
Kata A Ciang. Wanita itu memandang kepada A Ciang, wajahnya berseri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh, lalu dia tersenyum.
"Kalau kalian membutuhkan tali, tunggulah sebentar, aku akan mengambilkan untuk kalian."
Setelah berkata demikian, wanita itu berjalan pergi dengan lenggang yang mempesonakan semua orang, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan khawatir hati mereka ketika melihat wanita itu berjalan menuju ke pos penjagaan yang kelihatan agak jauh dari tempat itu.
"Mampus! Dia melapor kepada penjaga!"
"Wah, dia siluman, kita akan celaka!"
"Hushhh, harap tenang, kawan-kawan. Aku tidak percaya orang seperti dia akan mengkhianati kita, lihat dia sudah kembali!"
Kata A Ciang kepada teman-temannya dan benar saja, tampak wanita itu datang dan membawa segulung tali!
"Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku,"
Kata wanita itu kepada A Ciang sambil melempar kerling dan senyum manis, membuat jantung pemuda itu seperti hampir copot rasanya.
"Nah, ini tambangnya, bagaimana kalian akan naik?"
Tanya wanita itu sambil terse-nyum mengejek, agaknya merasa geli menyaksikan tingkah delapan orang ini. Si Gendut yang paling lihai di antara mereka, mengikatkan sepotong batu di ujung tali, kemudian dia melemparkan tali yang mengikat batu itu sambil memegangi ujung yang lain lagi. Batu meluncur tinggi dan melewati tembok sehingga tali itu tertarik dan menegang. Akan tetapi jangankan dipanjati orang, baru ditarik saja, batu itu sudah jatuh lagi melewati tembok yang tinggi sehingga terpaksa mereka menyingkir agar kepala mereka tidak kejatuhan batu. Berkali-kali Si Gendut mencoba namun selalu batu itu tidak dapat menyangkut sesuatu sehingga setiap kali ditarik tentu akan jatuh kembali.
"Sayang tidak ada besi pengait...."
Si Gendut akhirnya berkata jengkel.
"Berikan padaku tali itu, biar aku yang membawanya ke atas,"
Tiba-tiba wanita itu berkata. Si Gendut meragu, akan tetapi A Ciang mengambil tali itu dari tangan Si Gendut dan menyerahkannya kepada wanita cantik itu.
Tanpa diketahui orang lain, ketika menyerahkan tali, jari mereka bersentuhan dan A Ciang hampir berseru kaget karena tangannya terasa tergetar dan ada hawa hangat sekali memasuki tubuhnya melalui jari tangan yang bersentuhan. Mukanya menjadi merah dan dia memandang kepada wanita aneh itu yang sudah melangkah dengan lenggang yang membuat buah pinggulnya menari-nari, menghampiri tembok benteng, kemudian mengalungkan tali di pinggangnya, menekankan telapak kedua tangannya pada tembok itu, lalu menoleh, tersenyum manis kepada mereka semua lalu.... mulailah dia mendaki tembok itu dengan enak, mudah dan cepat seperti gerakan seekor cecak merayap tembok! Karena merayap naik itu, pinggangnya bergerak-gerak, membuat kedua buah pinggulnya dari bawah tampak melenggang-lenggok.
"Aihhh.... dia lihai sekali....!"
"Dan cantik bukan main...."
"Seperti bukan manusia....!"
"Dia seperti Kwan Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) saja....!"
"Wanita hebat!"
"Betapa bahagianya pria yang memiliki dia!"
Demikian seruan-seruan belasan orang yang semua berdongak ke atas memandang setiap gerakan wanita itu tanpa berkedip. Dengan amat cepatnya, tahu-tahu wanita itu telah berada di atas tembok, berdiri sambil bertolak pinggang. Mantelnya yang berwarna merah tertiup angin berkibar seperti bendera dan kalau saja tidak ingat bahwa mereka adalah pelarian-pelarian yang dikejar-kejar, ten-tu mereka telah bertepuk tangan dan memuji. Wanita itu lalu melepas gulungan tali dan memegang ujungnya dengan tangan kiri.
"Panjatlah!"
Perintahnya. Tentu saja semua orang merasa ragu-ragu. Gila, pikir mereka. Masa disuruh memanjat tali yang hanya dipegang oleh tangan wanita itu? Mana kuat?
"Talikan ujungnya....!"
Kata Si Gendut dengan bisikan dari bawah. Tentu saja wanita itu tidak dapat mende-ngarnya, demikian pikir teman-teman yang lain.
"Biar aku yang memanjat lebih dulu. Dia lihai, tentu dia kuat menahan dengan tangannya,"
Kata A Ciang dan dia segera memegang ujung tali dan mulai merayap naik menggunakan kedua tangan dan kakinya. Benar saja. Tali itu tetap menegang, sedikit pun tidak tampak wanita itu mendapat kesulitan mempertahankan tali yang diganduli tubuh A Ciang! Melihat ini bergegas mereka mulai memanjat naik, dan biarpun pada tali itu kini bergantungan belasan orang, tetap saja wanita itu hanya menggunakan sebuah tangan untuk menahan sampai semua orang berada di atas tembok! Setelah belasan orang itu berada di atas tembok, wanita cantik itu mengikatkan ujung tali di atas tembok dan melempar tali ke luar sehingga tergantung di luar tembok.
"Nah, turunlah!"
Katanya halus sedangkan dia sendiri lalu meloncat ke bawah!
"Bukan main....!" "Hebat sekali dia....!"
Semua orang memandang terbelalak melihat betapa wanita cantik itu terjun ke bawah dari tempat yang demikian tingginya,
Melayang seperti seekor burung saja karena dia mengembangkan kedua lengannya dan karena sebelumnya dia menalikan kedua ujung mantelnya pada pergelangan tangan, maka kini mantel merah itu berkembang dan melembung seperti sayap yang menahan tenaga luncuran tubuhnya! Dengan ringan sekali wanita itu hinggap di atas tanah, berjungkir balik tiga kali untuk mematahkan tenaga luncuran tubuhnya yang melayang tadi. Sejenak semua orang memandang bengong, kemudian Si Gendut mendahului teman-temannya memegang tali dan merosot turun melalui tali itu, diikuti teman-temannya yang kini tergesa-gesa karena khawatir ketahuan oleh para penjaga. Setelah semua orang turun, wanita itu sekali tarik saja berhasil membikin putus ujung tali di atas tembok dan melemparkan tali itu ke atas tanah.
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan terdengar derap kaki para penjaga yang melihat bayangan belasan orang yang sedang melarikan diri ini.
"Lari....! Kita berpencar....!"
Si Gendut memberi komando dan mereka lari berserabutan ke pelbagai jurusan.
"Kau lari bersamaku, A Ciang!"
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba wanita itu berkata dan memegang tangan A Ciang. Dia mengenal nama pemuda tampan itu ketika mendengar seorang di antara mereka tadi menyebut namanya ketika mereka berbisik-bisik ketika merosot turun melalui tali. A Ciang tidak menjawab, bahkan tidak mungkin bisa membantah lagi karena tiba-tiba dia merasa tubuhnya "diterbangkan"
Oleh wanita itu. Teman-te-mannya juga tidak ada yang memperhatikan karena mereka sedang sibuk mencari keselamatan masing-masing. Mereka bukanlah orang-orang penakut yang melihat pasukan lalu lari, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang cerdik,
Maklum bahwa kalau menghadapi pasukan di dekat tembok benteng itu, tentu akan memancing datangnya semua pasukan dan belasan orang seperti mereka itu mana mampu menghadapi pasukan besar? Si Gendut memerintahkan agar mereka berpencar sehingga andaikata ada yang tertangkap atau terbunuh, tidak semua menjadi korban seperti kalau nekat melawan di tempat berbahaya itu. Komandan pasukan menjadi marah melihat bahwa belasan orang itu melarikan diri. Tahulah dia bahwa tentu mereka itu adalah mata-mata musuh yang banyak terdapat di dalam benteng dan baru saja melarikan diri. Dia lalu mendatangkan bala bantuan dan dengan lima puluh orang perajurit dia melakukan pengejaran. Komandan pasukan itu seorang perwira muda yang tinggi besar dan gagah, memegang pedang dan menunggang seekor kuda putih.
Para anggauta Tiat-ciang-pang makin panik melihat bahwa mereka dikejar pasukan dan cepat mereka melarikan diri di sebuah ladang yang penuh alang-alang liar. Juga wanita itu tadi bahkan telah mendahului mereka, telah membawa A Ciang menyusup ke dalam alang-alang yang tingginya sama dengan manusia. Dia menggandeng tangan A Ciang dan terus menyusup sampai ke tengah-tengah ladang itu dan mereka seolah-olah tenggelam di dunia tersendiri yang sunyi dan yang terdengar hanya berkelisiknya alang-alang tertiup angin sehingga permukaannya berombak seperti air laut. Tidak tampak dari luar mereka itu, dan hanya kalau ada yang dekat dengan tempat itu saja mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka yang aneh.
"Ahhh, Kouw-nio....!"
Terdengar suara A Ciang gagap.
"Hemm, kenapa? Apakah kau tidak suka padaku? Lihatlah aku ini... tidak sukakah engkau.... hem....?"
Suara bisik-bisik serak ini diakhiri dengan suara aneh seperti seekor kucing.
"....Koauw-nio.... kau cantik sekali...."
"Kau suka? Aku suka kepadamu, A Ciang, dan kalau kau pun suka.... hemm...."
"Kouw-nio.... hemmm....!"
Tidak terdengar lagi mereka bercakap-cakap, yang terdengar hanya berkereseknya daun alang-alang kering yang tertindas tubuh mereka, dan tak lama kemudian terdengarlah suara aneh, suara rintihan seperti seekor kucing, berngeong-ngeong tinggi rendah, kadang-kadang suara itu terdengar ganas seperti marah, kadang-kadang halus lembut seperti mengerang dan merintih. Suara ini terdengar terus-menerus sampai lama di tengah ladang ilalang itu sehingga kalau ada orang mendengarnya, tentu mereka akan menjadi serem. Dan memang ada yang mendengar suara kucing mengeong dan merintih ini, yaitu Si Gendut dan kawan-kawannya yang hampir semua menyusup ke dalam ilalang akan tetapi berpencar. Mereka mendengar suara kucing ini. Bahkan seorang di antara mereka berbisik kepada teman yang kebetulan bersembunyi di dekatnya,
"Keparat, di tempat begini ada kucing kawin!"
"Ihh, bagaimana kau tahu suara itu suara kucing kawin?"
"Coba dengarkan baik-baik dan ingat kalau malam-malam di atas genteng ada suara kucing indehoi, bukankah sama benar suaranya?"
Mereka berdua kini diam, mendengarkan dan bergidik. Memang tidak salah lagi, itulah suara kucing, suara kucing betina yang kadang-kadang bersuara ganas seperti sedang marah, kadang-kadang halus manja seperti merengek, kadang-kadang merintih. Menyeram-kan! Sementara itu, pasukan yang dipimpin perwira berpedang itu telah tiba di tepi ladang ilalang yang luas itu. Kuda yang mereka tunggangi meringkik-ringkik, dan perwira itu memandang dengan penasaran.
"Serbu ke dalam ladang!"
Perintahnya kepada pasukan yang tidak berkuda. Belasan golok perajurit yang memegang perisai dan golok menyerbu ke dalam ladang itu.
Yang tampak hanya ujung topi besi mereka, ujung golok mereka bergerak-gerak maju ke tengah. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan berturut-turut robohlah enam orang perajurit, yang lain segera mundur kembali. Mereka diserang dari bawah oleh para pelarian yang mendekam di bawah ilalang, dan tentu saja sukar bagi mereka untuk mempertahankan diri. Para pelarian itu mendekam dan tidak bergerak, sukar diketahui di mana tempatnya, sedangkan para perajurit pemberontak yang mencari itu berjalan dan bergerak, tentu saja mudah sekali diserang secara tiba-tiba. Perwira itu agaknya mengerti akan hal ini, maka dia pun memberi aba-aba agar sisa anak buahnya mundur dan keluar dari ilalang itu. Sejenak dia berpikir, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba,
"Bakar....!"
Ladang ilalang itu pun dibakarlah! Sebentar saja api melahap ilalang kering dan makin lama makin menjalar ke tengah. Si Gendut dan teman-temannya tentu saja terkejut sekali dan cepat mereka melarikan diri, menyusup-nyusup ilalang menjauhi api yang mengancam mereka.
Sementara itu, suara kucing tadi masih terus terdengar seolah-olah tidak peduli akan ancaman api yang makin ke tengah. Tiba-tiba terdengar lengking tinggi mengerikan dan tampaklah tubuh wanita cantik tadi meloncat ke atas dalam keadaan hampir tidak berpakaian. Dia kini sibuk membereskan pakaiannya dan berloncatan, tidak menjauhi pasukan mengejar seperti para pelarian yang lain, melainkan mendekati dengan jalan memutari api. Kemudian kedua tangannya bergerak bergantian dan terdengar ledakan-ledakan dahsyat, tanah dan batu muncrat tinggi dan disusul asap hitam mengepul. Beberapa orang terlempar ke kanan kiri dan tidak dapat bangkit kembali, luka-luka parah oleh pecahan ledakan dahsyat tadi. Wanita itu dengan marahnya masih terus melempar benda bulat dan ledakan-ledakan terus terdengar susul-menyusul.
muda itu terkejut bukan main, maklum bahwa wanita itu menggunakan senjata peledak yang berbahaya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memerintahkan pasukannya untuk mundur dan berlindung. Pasukan itu mundur dan meninggalkan dua puluh lebih perajurit yang tewas menjadi korban senjata-senjata peledak. Si Gendut dan teman-temannya cepat berlari ke luar ladang ilalang, akan tetapi ketika dia berlari sampai di tengah ladang, hampir saja dia menginjak tubuh seorang laki-laki yang roboh telentang dalam keadaan telanjang bulat dan sudah mati. Ketika dia dan beberapa orang teman memeriksanya, kiranya itu adalah A Ciang yang sudah menjadi mayat. Anehnya, pemuda itu tewas dalam keadaan seperti orang tidur yang sedang mimpi indah saja, karena wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum!
Beramai-ramai mereka menggotong mayat ini setelah tergesa-gesa mengenakan kembali pakaian A Ciang yang berada di dekat pintu, membawanya pergi melarikan diri dari ladang ilalang, kemudian memasuki daerah pegunungan yang penuh dengan batu-batu gunung kapur yang bentuknya aneh-aneh tanpa ada sebatang pohon pun yang dapat tumbuh di situ. Tempat ini merupakan tempat persembunyian yang amat baik. Dengan sedih juga terheran-heran akan kematian A Ciang, Si Gendut dan kawan-kawannya lalu mengubur mayat itu dengan menggali pasir gunung dan mereka pun tidak melihat lagi wanita cantik yang tadi telah menyelamatkan mereka dengan menyerang pasukan secara hebat menggunakan senjata-senjata mujijat yang dapat meledak.
"Mengapa A Ciang mati?"
Pertanyaan ini berkali-kali terdengar dan masih menggema di hati semua orang. Mereka menduga-duga dan merasa heran sekali. Juga mereka makin kagum kepada wanita cantik itu yang ternyata amat lihai, juga berterima kasih karena tanpa wanita itu, tentu mereka tidak dapat keluar dari benteng dan tadi pun tanpa bantuannya, mereka tentu akan tertumpas di ladang ilalang! Akan tetapi kini wanita cantik itu tidak kelihatan lagi. Siapakah sesungguhnya wanita yang penuh rahasia itu? Tentu pembaca sudah dapat menduganya kalau mengingat cerita Kim Hwee Li kepada Kian Lee. Wanita cantik ini adalah sukouwnya yang ke dua, sumoi dari ayahnya yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li Si Kucing Liar atau Siluman Kucing! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Hek-tiauw Lo-mo Si Raksasa Bertaring yang merampas kedudukan menjadi Ketua Pulau Neraka adalah seorang pelarian dari Korea.
Sebelum menjadi ketua Pulau Neraka, dia telah memiliki kepandaian tinggi sekali dan kelihatannya bertambah ketika dia berhasil mencuri setengah dari kitab tentang racun dari Istana Padang Pasir milik Si Dewa Bongkok bersama-sama dengan Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek, bekas pelayan Si Dewa Bongkok yang kini menjadi Ketua Lembah Hitam. Hek-tiauw Lo-mo ini mempunyai dua orang sumoi. Yang pertama adalah Hek-wan Kui-bo (Nenek Iblis Lutung Hitam) yang telah muncul membantu pemberontak dan melukai Kian Lee dengan senjata peledaknya, seorang nenek yang amat lihai. Adapun yang ke dua adalah Mauw Siauw Mo-li itulah! Tidak ada orang mengenal nama aselinya, dia hanya dikenal di daerah utara, di antara orang-orang Mongol dan Mancu, sebagai Siluman Kucing atau Si Kucing Liar. Mendengar nama Kucing Liar ini, orang-orang di daerah utara, betapapun gagahnya dia, akan merasa seram dan ketakutan.
Sepasang Pedang Iblis Eps 34 Sepasang Pedang Iblis Eps 51 Sepasang Pedang Iblis Eps 19