Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 34


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 34



Melihat betapa sambaran tangan kiri pemuda itu bahkan tidak kalah lihainya oleh pedang di tangan kanan, diam-diam Suma Han maklum bahwa hanya gerak kilatnya saja yang akan mampu menandingi ilmu pedang pemuda itu! Mengenai tenaga sin-kang, tentu saja dia masih menang beberapa tingkat. Kalau dia menghendaki, dengan Soan-hong-lui-kun, tentu dia akan dapat menggunakan ujung tongkatnya untuk merobohkan pemuda itu, juga dengan sin-kangnya, dia dapat mengadu tenaga dan menangkan pertandingan. Akan tetapi dia tidak tega melakukan hal ini, tidak tega melukai putera Lulu. Tadinya dia ingin menggunakan kekuatan sihirnya, akan tetapi hal itu tentu akan membuat pemuda itu tidak tunduk kepadanya, tidak membuatnya dia kapok. Kalau dia ingin supaya pemuda itu menjadi jerih, dia harus menundukkannya dengan ilmu kepandaian.

   "Wan Keng In, aku tidak ingin bertanding denganmu. Katakanlah di mana Ibumu, aku ingin bicara dengannya!"

   "Kau harus mati di tanganku, atau boleh kau membunuhku kalau mampu!"

   Pemuda itu berteriak dan memutar pedangnya dengan cepat, mengirim tusukan ke arah dada Suma Han disusul dorongan telapak tangan kiri dari bawah mengarah pusar.

   "Trakkkk....! Plakkk....!"

   Suma Han tidak mengelak, melainkan menggerakkan tongkatnya menerima pedang itu dari samping sedangkan tangan kanannya menyambut dorongan telapak tangan pemuda itu dengan telapak tangannya pula. Sepasang senjata dan dua buah tangannya itu saling bertemu dan melekat! Keng In terkejut bukan main. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa tongkat butut lawannya itu dapat menyambut pedangnya, sedangkan pukulan tangan kirinya mengandung hawa beracun yang amat ampuh, kini telapak tangannya juga disambut oleh telapak tangan Pendekar Siluman, melekat dan tak dapat ia tarik kembali seperti juga pedangnya yang melekat pada tongkat!

   "Hemmm...., orang muda, kalau aku tidak mengingat Ibumu, tentu akan kucabut saja tunas buruk seperti engkau ini. Pergilah!"

   Suma Han yang mempergunakan tenaga sin-kangnya untuk mengatasi pemuda itu, mengerahkan tenaga sakti dan tubuh Wan Keng In terlempar sampai enam tujuh meter ke belakang. Pemuda itu terhuyung akan tetapi tidak roboh, juga tidak terluka karena memang lawannya tidak ingin melukainya. Wajah yang tampan itu menjadi agak pucat. Wan Keng In seorang pemuda yang keras hati dan tidak mengenal takut, juga dia benci sekali kepada orang yang dianggapnya membikin sengsara ibunya itu. Akan tetapi dia bukan seorang bodoh dan dia maklum bahwa kalau dia berlaku nekat menyerang terus, akhirnya dia akan kalah dan celaka. Pertandingan membuktikan bahwa belum tiba saatnya dia menentang Pendekar Super Sakti.

   Dia harus menyempurnakan dulu ilmu kesaktian yang dia pelajari dari gurunya, Cui-beng Koai-ong. Setelah memandang ke arah Suma Han dengan mata mendelik beberapa menit lamanya, dia mendengus, membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi dari tempat itu, diikuti lima orang anak buahnya yang pergi tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan sama sekali tidak berani melirik ke arah Pendekar Siluman. Kekalahan tuan muda mereka tadi mereka terima dengan sewajarnya karena memang mereka maklum akan kesaktian pendekar kaki buntung itu. Suma Han berdiri mengikuti pemuda itu dengan pandang matanya sampai akhirnya bayangan pemuda dan lima orang anak buahnya itu lenyap di balik anak bukit. Tiba-tiba terdengar olehnya suara seperti bisikan namun cukup jelas, pemuda itu!

   "Suma Han, ingat saja engkau! Kalau aku sudah selesai menamatkan ilmuku, kelak akan kucari engkau untuk kita bertanding lagi mati-matian! Biarpun kepandaianmu tinggi seperti siluman, engkau Si Kaki Buntung ini akhirnya tentu akan mampus di tanganku!"

   Wajah Suma Han menjadi merah sekali, akan tetapi diam-diam ia makin kagum. Khi-kang yang disalurkan untuk mengeluarkan suara dari jarak jauh itu sudah cukup hebat! Diam-diam dia merasa berduka.

   Dia tidak akan peduli dan memusingkan kalau dia dimusuhi tokoh-tokoh sesat dari manapun juga dan betapa sakitnya pun. Akan tetapi, dimusuhi pemuda itu, putera Lulu, benar-benar merupakan hal yang membuatnya berduka dan cemas. Sementara itu, tiada habis rasa heran dari hatinya kalau mengingat betapa jujur, halus dan baik watak Lulu, sedangkan Wan Sin Kiat juga seorang pendekar yang gagah perkasa dan selalu menentang kejahatan. Akan tetapi, mengapa putera mereka menjadi seorang pemuda iblis seperti itu? Suma Han menarik napas panjang. Ahh, tidak keliru kiranya bahwa watak manusia dibentuk oleh keadaan sekitarnya. Anak itu semenjak kecil dibawa oleh ibunya ke Pulau Neraka dan tentu saja setiap hari anak itu melihat watak-watak penghuni Pulau Neraka yang terkenal ganas, liar kejam dan palsu.

   Dan agaknya Lulu sendiri terlalu sibuk dengan pekerjaan sebagai Ketua Pulau Neraka, atau mungkin sekali terlalu memanjakan putera tunggalnya itu, sehingga pembentukan watak anak itu sepenuhnya dikuasai oleh keadaan sekelilingnya! Kembali Suma Han menarik napas panjang. Betapa akan hancur hati Lulu kalau menyaksikan sepak terjang puteranya. Dia tahu bahwa Lulu sendiri mempunyai perasaan hati yang aneh terhadapnya. Bisa mencinta sehingga ingin menjadi isterinya, akan tetapi juga bisa membenci sehingga ingin pula memusuhinya kalau tidak dapat menjadi isterinya. Akan tetapi andaikata menjadi musuhnya, wanita itu tentulah seorang musuh yang gagah perkasa dan jujur dan watak Lulu tak mungkin berubah biarpun sudah menjadi Ketua Pulau Neraka.

   "Paman, mengapa Paman berduka?"

   Tiba-tiba terdengar suara halus di sampingnya. Suma Han seperti baru sadar dari mimpinya. Dia menoleh dan memaksa bibirnya tersenyum ketika melihat Alan sudah berdiri di situ dan memandangnya dengan sinar matanya yang lembut. Melihat wajah cantik dan sinar mata lembut penuh kasih ini hati Suma Han menjadi makin sakit dan duka. Dara jelita lni adalah puteri ketua Thian-liong-pang, seorang wanita iblis berkerudung yang terkenal jahat dan kejam. Seorang wanita seperti iblis itu dapat mempunyai puteri sebaik ini, mengapa sebaliknya seorang wanita seperti Lulu mempunyai seorang putera sejahat itu?

   "Paman, mengapa Paman kelihatan berduka?"

   Kembali Milana bertanya. Tadi ketika melihat ayahnya bertanding melawan pemuda itu, dia menonton dengan penuh kagum, akan tetapi juga kecewa karena ayahnya membebaskan pemuda itu begitu saja tanpa melukainya sedikitpun. Kemudian ia melihat ayahnya berdiri termenung seperti arca, dengan wajah yang tampan itu sebentar merah sebentar pucat, berkali-kali menghela napas panjang sambil memandang ke depan, ke arah perginya Wan Keng In dan anak buahnya tadi.

   "Ohh, tidak apa-apa, Alan. Hanya.... eh, di mana rajawali kita?"

   "Dia terbang dikejar oleh rajawali besar tadi, Paman. Dua ekor burung tadi bertanding, dan rajawali peliharaan Paman terdesak dan luka-luka. Mereka bertanding sambil terbang tinggi sehingga aku tidak dapat membantu."

   "Hemm, biarlah. Burung itu memang berasal dari Pulau Neraka, agaknya kini ditundukkan kembali oleh bekas majikannya. Alan, bagaimana engkau tadi dapat bertemu dan bertanding dengan dia?"

   "Aku sedang menuju ke dusun untuk mencari bahan masakan ketika aku bertemu dengan rombongan Pulau Neraka itu keluar dari dusun. Karena aku tahu betapa jahatnya mereka, aku lalu melarikan diri akan tetapi mereka mengejar dan aku tersusul di sini. Tentu saja aku melawan sedapatku, akan tetapi dia lihai sekali. Paman, mengapa Paman tadi membiarkan dia pergi? Orang seperti itu seperti seekor ular yang beracun dan jahat, kalau tidak dibasmi, tentu kelak hanya akan mencelakai orang lain saja."

   Suma Han menarik napas panjang.

   "Aku tak mungkin dapat membunuhnya, Alan. Engkau tidak tahu.... ahhh...."

   Wajah pendekar itu kelihatan berduka sekali. Melihat ini, Milana merasa kasihan kepada ayah kandungnya. Tentu ada sesuatu antara ayah kandungnya dengan Pulau Neraka, ada rahasia yang besar yang membuat ayahnya itu bersikap lunak terhadap Wan Keng In.

   "Aku tidak berhasil memasakkan sesuatu untukmu, Paman. Maafkan...."

   "Tidak mengapa, Alan. Aku tadi sudah makan roti kering, cukup kenyang. Marilah kita melanjutkan perjalanan. Kota raja tidak jauh lagi, di sana tentu banyak rumah makan besar dan kita dapat makan sepuasnya."

   Milana tidak membantah dan berangkatlah mereka berdua menuju ke selatan, ke kota raja.

   Sebentar saja mereka sudah melalui jalan raya menuju kota raja yang ramai dan tampak banyak penunggang kuda atau kereta-kereta berkuda yang datang dari beberapa jurusan menuju ke kota raja, ada pula yang bersimpang jalan, yaitu mereka yang baru saja meninggalkan kota raja. Sudah belasan tahun Suma Han tidak pernah muncul di kota raja. Biarpun di dunia kang-ouw nama Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu Pulau Es merupakan nama yang paling menonjol dan amat terkenal, namun jarang ada orang pernah melihat Pendekar Super Sakti, bahkan tokoh-tokoh kang-ouw sebagian besar belum pernah bertemu dengan pendekar itu. Apalagi penduduk kota raja! Maka kini Suma Han dengan enak dapat memasuki kota raja tanpa khawatir akan dikenal orang, baik oleh penduduk maupun oleh para perajurit penjaga.

   Di kota raja, yang sudah lama ditinggalkannya itu, tentu hanya beberapa gelintir orang saja yang pernah bertemu dengannya dan mereka itu adalah orang-orang berkedudukan tinggi seperti Thian Tok Lama, Koksu dan lain-lain yang tentu berada di dalam gedung masing-masing dan tidak pernah berkeliaran di dalam kota. Milana sendiri tidak asing di kota raja. Sudah sering dia keluar masuk kota raja, akan tetapi dia pun tidak dikenal orang sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang. Oleh karena itu, dia pun memasuki pintu gerbang kota raja di samping Suma Han dengan hati tenteram dan tidak khawatir dikenal orang. Apalagi semenjak dia melakukan perjalanan di samping ayah kandungnya, terutama setelah ayahnya itu menyelamatkan dengan mudah dari tangan Wan Keng In, hati Milana menjadi tenang dan penuh kepercayaan bahwa selama ia berada di samping ayahnya,

   Tidak ada seorang pun yang akan dapat mengganggunya! Wajahnya berseri gembira ketika dia memasuki kota raja dengan ayahnya, penuh kebanggaan karena kiranya tidak banyak orang yang dapat berdampingan dengan Pendekar Super Sakti! Dia bukan hanya berdampingan, bahkan dia adalah puterinya, puteri kandungnya biarpun hal ini masih terpaksa harus dia rahasiakan dari pendekar itu sendiri. Memang tidak aneh melihat seorang berkaki buntung di waktu itu. Banyak terdapat orang-orang yang menderita cacad akibat perang penyerbuan bala tentara Mancu yang baru saja padam. Seperti halnya perang di bagian mana pun di permukaan bumi ini, semenjak jaman sebelum sejarah sampai sekarang, perang mendatangkan malapetaka yang amat mengenaskan hati.

   Setelah perang selesai, setelah hati tidak lagi dikuasai oleh nafsu angkara murka, barulah tampak oleh mata kita akan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perang, akibat yang mendiri-kan bulu roma bagi orang yang masih memiliki sedikit saja cinta kasih dan perikemanusiaan. Setelah perang padam, tampak bangunan-bangunan bekas terbakar, kuburan-kuburan penuh makam baru, anak-anak yatim piatu, janda-janda muda terjerumus ke dalam lembah pelacuran, penderita-penderita cacad yang buntung lengannya, buntung kakinya, luka-luka tubuhnya dan ada pula yang terluka jiwanya menjadi gila, gelandangan-gelandangan karena kehilangan keluarga, kehilangan rumah, kehilangan mata pencarian, dan dari kaum gelandangan ini timbul pengemis-pengemis, pencuri-pencuri, atau ada yang menggabungkan dari dengan perampok-perampok.

   Malapetaka ini yang tampak oleh mata, masih banyak malapetaka lain yang tidak tampak, namun lebih mengerikan lagi, yaitu akibat perang berupa dendam sakit hati dan iri yang mebjadi bahan penciptaan perang baru! Tidak ada untungnya, lahir maupun batin, dalam sebuah perang. Keuntungan yang tampak hanyalah keuntungan palsu yang di jadikan hiburan manusia untuk menyelimuti kengerian akibat perang. Pemerintah Mancu yang berhasil merebut tahta kerajaan dan kepemimpinan, mengatakan bahwa mereka mendatangkan kemakmuran bagi rakyat dan telah berhasil menumbangkan kekuasaan pemerintah lama yang penuh kelaliman. Namun, semua itu hampa belaka, karena sungguh tdak mungkin MENCIPTAKAN PERDAMAIAN DENGAN PEPERANGAN! Bangsa Mancu menggunakan berbagai alasan hiburan untuk perjuangan mereka, yaitu memberantas kelaliman para pemimpin dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat.

   Akan tetapi, setelah perang berakhir, yang berubah dan berbeda hanyalah sifat dan caranya belaka, namun kelaliman tetap ada, kemakmuran rakyat tetap hanya merupakan janji-janji yang diulur-ulur panjang belaka. Hal seperti ini akan terus berlangsung selama manusia belum sadar akan perang yang terjadi di dalam diri manusia masing-masing sendiri. Selama segala tindak, segala gerak, segala usaha merupakan akibat langsung dari akal pikir yang paling suka memusatkan segala kepada AKU, diriku, keluargaku, milikku, bangsaku, negaraku, agamaku, dan selanjutnya. Selama AKU menguasai setiap orang manusia, maka sudah dapat dipastikan bahwa segala peristiwa, termasuk perang, merupakan gerakan demi kepentingan Sang AKU.

   Betapapun banyak selimut yang dipergunakan untuk menyembunyikan dasar "demi aku"

   Ini, yang disebut dengan banyak kata-kata indah seperti perjuangan, kepahlawanan, demi nusa bangsa dan lain-lain, namun sungguh sayang sekali, di dasar dari segala itu bersembunyilah Sang Aku yang sebenarnya menjadi pendorong dari semua gerak hidup. Dan selama AKU bercokol menjadi dasar yang mendorong semua gerak hidup, maka yang timbul hanyalah pertentangan dan persoalan yang mendatangkan kepuasan di satu pihak, kekecewaan di lain pihak, suka duka, iri dengki, dendam dan sebagainya. Setiap tampak akibat yang tidak baik, seluruh manusia sibuk mencarikan kambing hitam agar diri sendiri tetap bersih! Semua manusia lupa bahwa segala macam kemunafikan dan maksiat bukan berada di luar, melainkan berada di dalam diri manusia sendiri! Semua manusia menujukan pandang mata keluar tanpa mengingat untuk menujukan ke dalam biar semenit pun!

   Bahagialah dia yang menujukan pandang mata ke dalam, menjenguk dan mengenal diri pribadi dengan segala macam isinya, mengenal pikiran sendiri yang membedal ke mana-mana dengan liarnya, tak terkendalikan! Suma Han dan Milana berjalan seenaknya sambil menikmati pemandangan di kota raja. Pemerintah Mancu telah membangun gedung-gedung besar yang megah dan indah di sepanjang jalan di kota raja sehingga kota raja nampak indah dan megah sekali, melebihi masa yang lalu. Kemajuankah ini? Demikianlah kalau ditonton begitu saja, ditonton keadaan kota rajanya dengan bangunan-bangunan baru yang besar dan indah. Akan tetapi, adakah kemajuan dapat diukur dari keadaan bangunannya, bukan dari keadaan manusianya?

   Kalau diketahui siapa pemilik gedung-gedung itu, maka akan ditemuilah jawab dari segala sebab timbulnya perang yang semenjak jaman dahulu selalu timbul. Gedung-gedung itu tentu saja dimiliki oleh penguasa yang menang perang! Hanya berganti bangunan baru dan penghuni, dari mereka yang dikalahkan kepada mereka yang menang. Rakyat hanya dapat menonton dan dari menoton ini diharapkan ucapan mereka "kita telah mengalami kemajuan-kemajuan!"

   Biarpun banyak terdapat orang berkaki buntung sungguhpun tidak pernah ada yang mengurai rambut seperti Suma Han, apalagi kalau rambutnya yang panjang itu sudah putih semua, dan banyak terdapat gadis-gadis muda yang biasa merantau sebagai gadis-gadis kang-ouw, namun tetap saja Suma Han dan Milana menarik perhatian orang.

   Laki-laki berkaki buntung itu wajahnya tampan dan belum tua benar, namun rambutnya sudah putih semua seperti benang-benang sutera perak sedangkan sinar matanya membuat orang-orang yang bertemu pandang, menundukkan muka atau mengalihkan pandang mata dengan tengkuk dingin mengkirik. Adapun dara remaja yang berjalan dl samping laki-laki berkaki buntung ini, dengan wajah berseri tersenyam-senyum, memiliki kecantikan yang luar biasa! Suma Han melihat betapa banyak orang memandang ke arah mereka penuh perhatian, maka dia lalu mengajak dara itu tintuk memasuki sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan menyambut mereka, mata pelayan itu tidak memandang kepada Suma Han yang tidak menarik baginya, melainkan memandang kepada Milana yang benar-benar merupakan pemandangan yang amat menggairahkan hatinya!

   "Beri kami dua buah kamar yang berdampingan,"

   Kata Suma Han. Pelayan itu terkejut karena tadinya dia merasa seolah-olah terbang di sorga ke tujuh dan berjumpa dengan seorang bidadari Sorga! Ketika ia menoleh dan bertemu pandang dengan Suma Han, dia terkejut sekali, punggungnya seperti disiram air dingin dan dia cepat membung-kuk-bungkuk dan mempersilakan mereka mengikutinya untuk memilih dua buah kamar yang berdampingan. Setelah menaruh barang bekal di kamar masing-masing dan makanan siang yang dipesannya dari pelayan dan dihidangkan ke ruangan depan kamar mereka, Suma Han dan Milana duduk di dalam kamar Suma Han, bercakap-cakap.

   "Kapankah Paman akan mulai menyelidik dan mencari musuh-musuh Paman?"

   "Aku harus berhati-hati, Alan. Musuh-musuhku itu adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi dan tentu berada di dalam istana-istana yang terjaga ketat oleh pasukan pengawal. Menyelidiki di siang hari tidaklah mungkin, bahkan di malam hari pun amat berbahaya karena biarpun pasukan yang baru tidak mengenalku, namun para perwira dan panglima tentu akan mengenalku begitu bertemu denganku. Sesungguhnya, mencari mereka di kota raja amat tidak leluasa bagiku, akan tetapi apa boleh buat, malam nanti aku harus menyelidiki ke lingkungan istana, atau ke rumah Koksu karena di sanalah berkumpulnya musuh-musuhku yang menjadi pembantu Koksu."

   "Kalau bertemu dengan mereka, apa yang hendak Paman lakukan?"

   Tiba-tiba Milana bertanya. Mendengar pertanyaan ini, Suma Han termenung dan berpikir sejenak sebelum menjawab.

   "Aku.... aku akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah merusak Pulau Es dan Pulau Neraka. Selama ini kami tidak pernah menentang pemerintah, mengapa kini mereka menyerbu dan merusak Pulau Es? Selain itu, karena Maharya dan Tan-siucai juga membantu Koksu, tentu mereka berada di sini dan aku hendak minta kembali pedang Hok-mo-kiam yang mereka rampas."

   Suma Han tidak mau menceritakan niatnya yang lain, yaitu menyelidik dan mencari Nirahai yang disangkanya tentu kembali ke kota raja!

   "Paman, di antara musuh-musuhmu itu, siapakah yang paling lihai?"

   "Hemm, hal ini agak sukar untuk ditentukan karena hanya beberapa orang di antara mereka yang pernah bertanding melawanku, yaitu Thian-tok Lama, Pendeta Maharya, dan mungkin beberapa orang panglima yang tertua. Dengan Koksu sendiri, aku belum pernah bertanding dan kabarnya dia amat lihai. Akan tetapi, kurasa dia tidaklah selihai Pendeta Maharya. Pendeta dari barat itu benar-benar merupakan lawan yang tangguh, selain lihai sekali ilmu silatnya, juga dia seorang yang memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang kuat."

   "Akan tetapi, aku yakin Paman tentu akan dapat mengalahkan mereka!"

   Kata Milana dengan suara tegas dan pandang mata penuh kekaguman ditujukan kepada wajah ayahnya. Melihat pandang mata gadis ini, Suma Han merasa jantungnya berdebar!

   "Aku dapat menandingi mereka satu lawan satu, akan tetapi kalau mereka mengeroyok, apalagi dibantu pasukan-pasukan pengawal yang kuat, belum tentu aku akan dapat menang. Akan tetapi, kedatanganku bukan untuk menantang mereka bertanding, hanya untuk minta kembali pedang dan minta penjelasan dan pertanggungan jawab mereka mengapa Pulau Es dan Pulau Neraka diserbu pasukan pemerintah."

   "Mereka tentu akan mengeroyok dan menangkapmu, Paman!"

   "Hemm, kalau memang demikian, apa boleh buat, terpaksa aku melawan."

   Hati Milana merasa tidak enak sekali. Dia percaya bahwa ayahnya amat sakti, akan tetapi dia tahu bahwa tepat seperti pengakuan ayahnya sendiri, kalau banyak orang sakti maju mengeroyok ditambah pasukan-pasukan pengawal kerajaan, mana mungkin ayahnya yang hanya seorang diri itu kuat bertahan?

   Baru menyelidiki ke sana saja sudah amat tidak leluasa bagi ayahnya! Berbeda dengan dia! Ibunya adalah bekas puteri Kaisar dan bekas pahlawan yang berkedudukan tinggi, bahkan kini Koksu sendiri sudah tahu, ibunya adalah ketua ketua Thian-liong-pang dan kini Thian-liong-pang bekerja sama dengan Koksu, membantu pemerintah menentang dan membasmi mereka yang hendak memberontak! Kalau dia yang menyelidiki, kalau dia yang pergi kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, minta kebijaksanaan Koksu itu untuk membujuk pembantunya, Maharya mengembalikan Hok-mo-kiam, minta kepada Koksu agar jangan mengeroyok dan menentang Pendekar Super Sakti, tentu harapannya lebih besar. Koksu sudah mengenalnya, juga para pembantunya sudah tahu bahwa dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang yang kini merupakan sekutu mereka!

   "Alan, malam ini aku akan pergi menyelidik. Harap engkau menantiku di sini saja dan jangan kau pergi ke mana-mana. Keadaan di kota raja berbahaya, di sini banyak terdapat orang pandai."

   "Apakah Paman tidak mengajakku pergi menyelidiki?"

   "Ah, aku hanya akan membawamu ke dalam bahaya, Alan. Dan pula, apa perlunya? Tidak, kau tunggu saja di sini, aku pasti akan kembali sebelum pagi."

   Milana menunduk.

   "Baiklah, Paman. Akan tetapi sore ini aku ingin sekali pergi berjalan-jalan melihat pemandangan kota."

   "Sesukamulah, akan tetapi harap kau berhati-hati. Engkau masih muda dan cantik jelita, akan banyak menghadapi godaan."

   "Aku dapat menjaga diri, Paman. Eh, benarkah pendapat Paman bahwa aku.... cantik?"

   Tanyanya dengan hati girang sekali. Ayahnya sendiri yang memujinya, bagaimana hatinya tidak akan merasa bangga dan senang?

   "Engkau adalah seorang gadis yang amat cantik jelita, Alan."

   "Terima kasih atas pujianmu, Paman. Nah, aku akan pergi berjalan-jalan. Harap Paman nanti berhati-hati kalau pergi menyelidiki."

   Suma Han mengangguk.

   "Biarpun aku percaya bahwa dengan kepandaianmu, tidak sembarang orang akan dapat mengganggumu, akan tetapi harap engkau suka bersabar dan jangan menimbulkan keributan, juga jangan terlalu malam kembali ke sini."

   Milana mengangguk-angguk dan hatinya terharu. Pendekar itu menasehatinya seperti kepada anaknya sendiri! Padahal dalam pengertian pendekar itu, dia adalah seorang tawanan bahkan puteri musuhnya! Dengan hati senang bercampur haru, Milana pergi meninggalkan rumah penginapan. Tentu saja dia bukan berniat untuk berjalan-jalan, melainkan hendak menjumpai Bhong Ji Kun, Koksu negara yang dia ketahui pula di mana letak gedungnya. Akan tetapi, agar tidak menarik perhatian orang luar, dia pergi berjalan-jalan lebih dahulu dan setelah malam tiba, keadaan cuaca mulai gelap, barulah dia menuju ke gedung Koksu yang megah. Sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang tentu saja Milana merasa rendah kalau harus datang menghadap Koksu seperti orang biasa. Apalagi kalau ia datang menghadap seperti itu, tentu dia akan berhadapan dengan para penjaga dan diperlakukan seperti orang biasa. Tidak!

   Dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, tentu saja dia harus bersikap sesuai dengan kedudukan ibunya yang tinggi dan lihai. Dengan kepandaiannya, tidaklah sukar bagi Milana untuk berloncatan ke atas genteng, melalui pagar tembok gedung Koksu dengan gerakan seperti terbang cepatnya sehingga tidak tampak oleh para penjaga dan peronda, kemudian dengan hati-hati dia menyelinap antara bayangan gelap, mencari di mana adanya Koksu pada saat itu. Masih untung bagi Milana bahwa pada saat itu, para pembantu Koksu yang lihai semua sedang berkumpul di satu tempat, yaitu di ruangan dalam tempat mereka sedang berunding, duduk mengelilingi sebuah meja besar di ruangan itu menghadapi koksu. Andaikata orang-orang lihai seperti Thian Tok Lama, Maharya, para panglima besar seperti Bhe Ti Kong dan lain-lain berada di kamar masing-masing, juga koksu sendiri,

   Maka besar sekali kemungkinan kedatangan Milana akan mereka ketahui semenjak tadi! Milana berhasil mengintai dari luar jendela ruangan perundingan itu dan dia melihat Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dihadap oleh Thian Tok Lama, Maharya, dan enam orang panglima yang berpakaian gagah. Dia merasa heran tidak melihat kehadiran Thai Li Lama dan Tansiucai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa kedua orang lihai ini telah tewas di tangan Gak Bun Beng ketika mereka dahulu bersembunyi dan mengintai pertandingan di gurun tandus yang diadakan oleh Thian-liong-pang. Selagi Milana hendak memperlihatkan diri dan menyatakan kedatangannya, tiba-tiba ia mendengar suara Koksu menyebut-yebut nama ibunya! Tentu saja dia cepat menahan diri bahkan menahan napas agar dapat mendengarkan lebih jelas percakapan antara mereka.

   "Puteri Nirahai telah menjadi ketua Thian-liong-pang dan telah membantu kita membasmi para pemberontak. Akan tetapi, Kaisar belum tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah puterinya! Hanya menerima pelaporan bahwa Thian-liong-pang membantu pemerintah. Munculnya Nirahai benar-benar membikin ruwet rencana kita, agaknya dia ingin berbaik kembali dengan Kaisar. Dia lihai sekali dan dapat menggagalkan rencana kita yang sudah hampir masak. Tidak ada jalan lain lagi, dia harus disingkirkan, harus dibunuh!"

   Dapat dibayangkan betapa kaget hati Milana mendengar ucapan itu. Jantungnya berdebar keras sehingga ia khawatir kalau-kalau suara detak jantungnya akan terdengar oleh mereka yang sedang mengadakan perundingan di sebelah dalam, maka dia menekan dada dengan tangan dan menekan perasaannya, memasang perhatian untuk mendengar terus.

   "Akan tetapi dia adalah puteri Kaisar!"

   Terdengar Thian Tok Lama berseru kaget.

   "Kalau dia berhasil terbunuh dengan memakai kerudung sebagai Ketua Thian-liong-pang yang kita buatkan bukti-bukti memberontak, andaikata kemudian Kaisar sendiri mendengar bahwa dia puterinya, kiranya Kaisar tidak akan menyalahkan kita. Bahkan akan menutup rahasia itu, karena Kaisar tentu tidak ingin tersiar di luaran bahwa puterinya menjadi ketua Thian-liong-pang yang memberontak!"

   Kata Koksu lagi.

   "Memang tepat apa yang dikatakan Koksu,"

   Terdengar suara Maharya yang kaku.

   "Kalau Thian-liong-pang tidak dihancurkan lebih dulu, akan merupakan kekuatan sebagai pembela kaisar dan untuk menghancurkannya, jalan satu-satunya adalah membunuh Ketuanya. Memang dia lihai, akan tetapi menurut penglihatanku, aku sendiri dapat menandinginya, dan kalau aku dibantu okh Thian Tok Lama, aku yakin dia akan dapat dibunuh. Pihak Mongol sudah siap, tinggal menanti isyarat dari kita, kalau sampai terhalang oleh utusan Thian-liong-pang, tentu akan tertunda lagi dan mereka akan patah semangat dan mundur."

   "Pihak Tibet juga sudah siap, tinggal menanti komando,"

   Kata Thian Tok Lama.

   "Nah, kalau begitu, kita harus...."

   Tiba-tiba Koksu menghentikan kata-katanya karena melihat tubuh Maharya sudah bergerak meloncat ke jendela sambil menyambar senjatanya yang mengerikan, yaitu tombak yang matanya melengkung seperti bulan sabit.

   "Braaakkk!"

   Jendela itu hancur berkeping-keping dan terbuka, tubuh Maharya melesat keluar.

   "Trang-trang-trang....!"

   Senjata di tangan Maharya itu ditangkis sampai tiga kali oleh pedang Pek-kong-kiam di tangan Milana.

   "Eh, engkau.... Nona....?"

   Maharya terkejut sekali ketika mengenal bahwa orang yang diserangnya adalah puteri Ketua Thian-liong-pang! Dan pada saat itu, Koksu, Thian Tok Lama dan panglima yang tadi berada di dalam ruangan telah meloncat keluar semua. Keringat dingin membasahi dahi Milana.

   Serangan Maharya tadi benar-benar hebat luar biasa. Selain pendeta itu dapat mengetahui kehadirannya di luar jendela, juga begitu meloncat dan menerjang keluar, senjata di tangan pendeta itu telah menyerangnya bertubi-tubi sehingga dia harus cepat-cepat mengelak dan menangkis. Tangan kanannya terasa tergetar hebat ketika dia menangkis senjata tombak bulan sabit di tangan pendeta Maharya tadi. Kalau saja dia tidak mendengarkan percakapan tadi, tentu Milana tidak menjadi gentar menghadapi mereka yang tentu saja dianggapnya sekutu ibunya. Akan tetapi sekarang, dia memandang mereka sebagai musuh-musuh yang hendak membunuh ibunya! Tentu saja dia menjadi marah bukan main, kemarahan yang disertai kekhawatiran akan nasib ibunya, lupa akan keadaan dirinya sendiri yang sudah terkurung dan sedang terancam hebat itu.

   "Ah, kiranya Nona Milana yang datang. Ada keperluan apakah Nona datang berkunjung ke rumahku?"

   Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun bertanya, matanya memandang tajam untuk menyelidiki apakah nona ini tadi mendengar percakapan mereka atau tidak. Milana bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa dia berada di guha singa yang amat berbahaya. Kalau dia melampiaskan kemarahannya di saat itu, sehingga dia harus bertanding melawan mereka, tentu dia akan celaka. Maka dia memaksa sebuah senyum manis sambil berkata,

   "Koksu, aku datang untuk bicara mengenai urusan penting denganmu."

   "Ahhh, maafkan penyambutan kami tadi, Nona, karena kami tidak tahu bahwa engkau yang datang. Mari, silakan masuk."

   Pintu ruangan itu dibuka lebar dan mereka semua memasuki ruangan. Milana dipersilakan duduk oleh Koksu yang masih ramah sikapnya.

   "Silakan duduk, Nona Milana dan terimalah ucapan selamat datang dari kami dengan secawan arak."

   "Terima kasih, tidak usah, Koksu. Aku datang hanya untuk bicara sebentar dan takkan lama di sini,"

   Jawab Milana, akan tetapi dia duduk juga melihat semua orang sudah duduk.

   "Apakah Nona datang seorang diri? Ataukah dengan Pangcu?"

   Koksu bertanya, diam-diam mengerling ke arah jendela yang sudah pecah dan terbuka karena ia khawatir kalau-kalau nona ini datang bersama ibunya yang luar biasa lihainya itu.

   "Aku datang sendiri untuk.... untuk...."

   Milana menjadi bingung sekali. Setelah mendengar percakapan tadi dan mendapat kenyataan bahwa mereka semua ini adalah musuh-musuh yang merencanakan pembunuhan terhadap ibunya, lenyap sama sekali keinginannya untuk membujuk Koksu agar menyerahkan Pedang Hok-mo-kiam kepada Pendekar Super Sakti dan agar tidak menentang ayahnya itu. Mana mungkin mereka mau memenuhi permintaannya setelah ternyata bahwa mereka ini bukanlah sahabat melainkan musuh yang berbahaya? Maka ketika hendak menyatakan isi hatinya, dia menjadi ragu-ragu dan gugup. Tiba-tiba terdengar Maharya membentak.

   "Engkau tentu sudah sejak tadi datang, bukan? Mengakulah dengan jujur!"

   Ucapan ini bukan sembarangan, melainkan suara yang disertai sin-kang kuat sekali dan membawa pengaruh sihir yang seolah-olah mencengkeram semua semangat dan kemauan Milana, membuat dara itu tidak berdaya dan di luar kehendaknya sendiri, mulutnya mengeluarkan suara hatinya.

   "Memang aku sudah semenjak tadi datang."

   Milana terkejut sekali mendengar pengakuannya sendiri yang keluar dari hati yang jujur.

   "Dan engkau sudah mendengarkan percakapan kami? Hayo, jawab setulusnya!"

   Kembali Maharya menghardik dengan suara yang bergema aneh dan penuh wibawa. Milana kini sudah memandang wajah kakek itu dan pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mendelik dan amat tajam. Dia maklum bahwa dia terpengaruh oleh kekuasaan sihir kakek itu, namun betapapun dia mengerahkan sin-kang melawan, tetap saja dia tidak dapat menahan mulutnya yang menjawab,

   "Benar, aku sudah mendengarkan percakapan kalian."

   Koksu mengeluarkan seruan kaget dan kembali terdengar suara Maharya,

   "Apakah engkau tahu apa yang kami percakapkan? Jawab dan jelaskan!"

   Milana kini sudah hampir dapat mengatasi dirinya. Sin-kangnya sudah kuat sehingga dia mampu melawan pengaruh mujijat itu, dan selain ini, dara ini mewarisi sinar mata tajam dari ayahnya sehingga pada dasarnya dia memiliki sinar mata yang amat kuat. Akan tetapi dia belum lolos sama sekali dari cengkeraman kekuasaan sihir Maharya, maka biarpun suaranya sudah lemah tanda bahwa dia hampir dapat menguasai diri dan melawan tenaga mujijat yang mendorongnya untuk mengaku, masih saja terdengar pengakuannya.

   "Aku.... aku tahu.... kalian.... hendak membunuh Ibuku.... aihhhh!"

   Kini Milana sudah dapat menguasai dirinya dan cepat ia meloncat ke belakang sambil mencabut Pedang Pek-kong-kiam yang tadi sudah dia sarungkan kembali. Maklumlah dia bahwa dia sudah terlanjur membuat pengakuan dan maklum bahwa tentu mereka itu tidak akan membiarkan dia pergi menyampaikan rahasia itu kepada Ibunya. Benar dugaannya, karena Koksu sudah berseru,

   "Dia harus kita tangkap!"

   Semua orang bergerak dan bayangan mereka berkelebatan cepat sekali, tahu-tahu Milana telah terkurung dan berada di tengah-tengah. Maharya berada di depannya, Koksu dan Thian Tok Lama di kanan-kirinya, sedangkan enam orang panglima berada di belakangnya! Milana berdiri dengan tegak, pedangnya melintang depan dada, tangan kiri terangkat keatas kepala, siap untuk menghadapi serangan mereka.

   Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan menggetar, matanya melirik ke depan, kanan dan kiri, dagunya ditarik keras dan mukanya agak menunduk, kedua kakinya berdiri dengan tumit diangkat sedikit karena dia maklum bahwa menghadapi orang-orang lihai ini dia membutuhkan kecepatan gerak dan gin-kangnya. Sampai agak lama, mereka semua diam tak bergerak seperti arca-arca batu, suasana menjadi amat tegang. Tiba-tiba Maharya berkata dalam bahasa Nepal yang dimengerti oleh Koksu. Koksu ini adalah seorang peranakan India yang sudah menjadi Warga Negara Mancu, akan tetapi karena sejak kecil dia tinggal di Nepal, maka dia tidak mengerti bahasa India dan lebih paham bahasa Nepal. Karena itulah maka Maharya bicara bahasa Nepal kepada murid keponakan itu,

   "Dia tahu akan rahasia kita, harus kita bunuh sekarang, lebih cepat lebih baik!"
Akan tetapi, dalam bahasa Nepal pula yang tak dimengerti oleh Milana dan orang lain kecuali Thian Tok Lama, Koksu berkata,

   "Jangan dibunuh, dia harus ditangkap untuk memancing dan memaksa ibunya menakluk!"

   Mengguna-kan kesempatan selagi dua orang itu bicara dan yang lain memperhatikan percakapan dalam bahasa asing itu, tiba-tiba Milana meloncat dan memutar pedang Pek-kong-kiam melindungi tubuh dari serangan di bawah kaki sedangkan tubuhnya melayang ke arah jendela untuk melarikan diri.

   "Tranggg....!"

   Tiba-tiba Maharya sudah berkelebat dan mendahului Milana menghadang di depan lubang jendela sehingga ketika Milana menerjang, pendeta itu menangkis dengan senjatanya dan hampir saja Milana melepaskan pedangnya saking kerasnya tangkisan itu yang membuat tangannya tergetar hebat. Yang lain-lain sudah mengejar dan mengepung, namun Milana sudah memutar pedangnya dan mengamuk dengan hebat. Dia seorang dara yang tak mengenal takut, percaya akan kepandaian sendiri dan dia mengambil keputusan untuk melawan sampai titik darah terakhir. Ia maklum bahwa orang-orang ini adalah musuh-musuh yang tak akan membiarkan ia hidup, maka hanya ada satu jalan baginya, yaitu melawan mati-matian dengan dua kemungkinan, tewas di tangan mereka atau berhasil lolos untuk menyelamatkan ibunya yang terancam bahaya maut!

   "Wuuut-wuuuttt....!"

   Milana terkejut dan cepat melempar diri ke belakang dan berjungkir balik tiga kali untuk meloloskan diri dari sinar merah yang menyambarnya dari samping dan menyilaukan matanya.

   "Tar-tar!"

   Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kiranya yang menyambarnya dan yang kini meledak-ledak adalah pecut kulit berwarna merah yang berada di tangan Koksu yang berdiri sambil tersenyum mengejek di depannya.

   "Pemberontak hina! Pengkhianat tak tahu malu!"

   Milana membentak marah.

   "Selain hendak berkhianat terhadap pemerintah, engkau juga hendak membunuh Ibuku! Manusia macam engkau ini mana bisa membunuh Ibuku? Lebih dulu kau mampus di tanganku!"

   Sambil berkata demikian Milana sudah menerjang maju dengan cepat sambil menggerakkan pedangnya secara ganas namun hebat sekali. Koksu yang memandang rendah dara remaja itu, dengan sembarangan mengebut dengan pecut merahnya.

   "Singggg....! Tarrr.... brettt!"

   "Hayaaaa....!"

   Bhong Ji Kun berseru kaget. Karena memandang rendah jurus yang dimainkan dara itu dan menangkis sembarangan saja, ujung pecut merahnya telah terbabat putus. Itulah jurus dari Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat yang hebat sekali, ilmu pedang tingkat tinggi ciptaan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw, kakek dari Pendekar Sakti Suling Emas (baca cerita Cinta Bernoda Darah dan cerita Suling Emas)! Dan Koksu ini dengan sembrono telah berani memandang rendah karena dimainkan oleh seorang dara remaja! Suara bercuit dari belakang membuat Milana cepat memutar tubuh sambil membabatkan pedangnya menangkis.

   "Tranggg!"

   Sekali lagi pedangnya bertemu dengan senjata di tangan Maharya dan hampir saja terlepas dari pegangannya. Cepat ia meloncat ke kiri, pedangnya bergerak dan terdengar suara nyaring dua kali ketika ia berhasil membuat dua batang golok patah disusul robohnya dua orang panglima yang ikut mengeroyok akan tetapi belum sempat turun tangan karena telah didahului oleh dara perkasa itu!

   "Ihhh, keparat!"

   Koksu menjadi marah sekali, dengan pecut buntungnya dia menotok dari belakang, mengarah punggung Milana. Dara itu meloncat ke depan menghindar, akan tetapi dia disambut oleh pukulan Thian Tok Lama yang telah berjongkok dan mengirim dorongan pukulan dengan tangan kiri. Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke depan, menyambut tubuh Milana yang masih melayang turun.

   "Siuuuuutttt!"

   Milana yang merasa datangnya angin pukulan dahsyat menyambarnya, terkejut bukan main. Dia berusaha untuk berjungkir balik, akan tetapi tidak keburu dan terpaksa dia mengerahkan sin-kang ke arah dada dan perutnya untuk menahan serangan itu.

   "Dessss!"

   Angin pukulan menghantam perut Milana, membuat dara itu terjengkang dan hampir terbanting keras kalau saja dia tidak cepat menjatuhkan diri miring dan menekan lantai dengan tangan, lalu meloncat bangun. Napasnya sesak, mukanya pucat dan dia merasa dadanya sakit. Akan tetapi pada saat itu, senjata di tangan Maharya kembali telah menyambar ke arah kakinya. Agaknya pendeta ini akan merobohkannya tanpa membunuhnya, maka menyerang ke arah kaki Milana tentu saja Milana yang tentu tidak membolehkan kakinya dibabat senjata, meloncat ke atas, dan pedangnya menyambar ke arah leher Maharya yang cepat mengelak ke belakang.

   "Gadis berkepala batu!"

   Koksu membentak marah. Dia menjadi penasaran sekali. Masa mereka bertiga, kakek-kakek yang berilmu tinggi, harus mengeroyok seorang gadis remaja? Dengan marah dia menerjang dengan pecut yang ujungnya buntung itu, dan kini pecut itu menjadi kaku, dipergunakan sebagai tongkat menotok jalan darah di tengkuk Milana.

   "Haiiiitttt!"

   Milana memutar tubuh, mengelebatkan pedang dengan niat untuk membabat pecut Koksu agar putus tengahnya. Akan tetapi Koksu tiba-tiba membuat pecut lemas dan pedang menyambar dibiarkannya lewat, kemudian pecut yang sudah lemas itu menyusul dan melibat pedang Milana! Dara itu berusaha menarik pedangnya, akan tetapi tidak berhasil.

   "Brett.... auhhhh!"

   Milana melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Paha kirinya tampak dan berdarah karena celana dan kulit pahanya robek diserempet senjata Maharya. Akan tetapi, gadis yang sedikitnya mewarisi watak keras dan berani mati dari ibunya ini, tidak menjadi jerih, bahkan tangannya kanan-kiri bergerak dengan cepat. Tampak sinar-sinar menyambar dibarengi bau harum ke arah tiga orang kakek dan empat orang panglima.

   "Awas jarum!"

   Teriak Maharya. Untung dia berseru keras sehingga empat orang panglima yang dibandingkan tiga orang kakek itu, jauh lebih rendah tingkat kepandaiannya, dapat cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Koksu, Maharya dan Thian Tok Lama tentu saja dengan mudah dapat meruntuhkan jarum-jarum yang menyambar mereka. Thian Tok Lama kembali mengirim pukulan dari belakang kepada tubuh Milana yang mengeluh perlahan dan roboh miring. Pahanya yang kiri terluka berdarah dan perut serta dadanya juga terluka, biarpun tidak amat parah namun membuat napasnya sesak dan tenaga sin-kangnya tak dapat ia kerahkan.

   "Iblis-iblis tua bangka tak tahu malu, mengeroyok seorang anak perempuan!"

   Tiba-tiba terdengar suara dan tampak bayangan berkelebat amat cepat memasuki ruangan itu melalui jendela yang tadi pecah oleh Maharya. Sukar diikuti pandangan mata bayangan itu dan tahu-tahu Pendekar Super Sakti telah berdiri di situ, berkata halus kepada Milana.

   "Bangkitlah dan duduk di punggungku!"

   Milana girang bukan main melihat munculnya ayahnya ini. Cepat ia meloncat bangun, menahan rasa nyeri di paha, perut dan dadanya, kemudian ia meloncat ke punggung Suma Han, mengaitkan kedua kakinya yang panjang di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengannya di atas kedua pundak. Semua gerakan ini dilakukan selagi Suma Han berdiri dengan satu kaki, sedikit pun tidak bergoyang dan pandang matanya ditujukan kepada Maharya.

   "Hemmm, kulihat engkau memperoleh kemajuan setelah berada di kota raja, Maharya!"

   Katanya halus namun nadanya penuh teguran dan ejekan.

   "Akan tetapi hanya kemajuan lahiriah dan duniawi yang kau peroleh, sedangkan batinmu makin mundur dan makin mendekati jurang kehancuran!"

   "Pendekar Siluman! Engkau manusia kaki buntung sejak dahulu memang sombong! Apa kau kira aku takut kepadamu?"

   Jawab Maharya. Koksu yang melihat munculnya pendekar yang ditakuti ini, cepat mengeluarkan suitan tiga kali untuk memberi aba-aba kepada para pengawalnya sehingga terdengarlah suara hiruk pikuk di luar ruangan itu dan puluhan orang pengawal telah mengurung tempat itu dengan ketat, siap utuk melakukan penyerbuan dan pengeroyokan!

   "Hemmm, sungguh Koksu negara sekarang ini amat gagah perkasa!"

   Suma Han mengejek. Im-kan Seng-jin Bbong Ji Kun berkata lantang.

   "Pendekar Siluman, engkau datang seperti maling, tentu saja kami mempersiapkan orang untuk mengepungmu! Engkau adalah To-cu dari Pulau Es, mengapa sekarang engkau mencampuri urusan kami dengan puteri Ketua Thian-liong-pang?"

   "Bhong-koksu, aku melindungi gadis ini adalah urusan antara aku dan dia sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan engkau. Dan memang aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan engkau dan Maharya!"

   Suara Suma Han penuh wibawa dan sikapnya tetap tenang, sedikitpun tidak kelihatan gentar biarpun menghadapi pengepungan orang-orang pandai ditambah puluhan orang pasukan pengawal.

   "Heh, Pendekar Siluman! Engkau mencariku mau apa?"

   Maharya membentak, agaknya marah sekali karena menurut perkiraan pendeta ini, yang membunuh Thai Li Lama dan muridnya, Tan Ki, dan juga yang merampas Hok-mo-kiam, tentulah Pendekar Siluman ini.

   "Maharya, perlukah engkau bertanya lagi? Engkau telah membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang Hok-mo-kiam. Aku datang untuk minta kembali pedang itu!"

   Dapat dibayangkan betapa mendongkolnya hati Maharya, akan tetapi diam-diam kakek ini percaya akan kata-kata Pendekar Siluman. Seorang sakti seperti Si Kaki Buntung itu tentulah tidak mau bicara bohong dan ucapannya tadi membuktikan bahwa pembunuh muridnya dan perampas pedang Hok-mo-kiam bukanlah Pendekar Siluman.

   "Kalau tidak kuberikan engkau mau apa?"

   Tantangnya dan merasa tidak perlu lagi memberi tahu kehilangan pedang itu.

   "Aku akan menggunakan kekerasan memaksamu mengembalikannya kepadaku!"

   Kata pula Suma Han. Bhong Ji Kun tertawa bergelak,

   "Ha-ha-ha! Sungguh hebat sekali, sungguh besar sekali mulutnya dan luar biasa kesombongannya! Pendekar Siluman, engkau hanya seorang yang berkaki satu, kini menggendong gadis yang luka parah itu, masih bicara sombong hendak menggunakan kekerasan terhadap seorang pembantuku! Hemmm, setelah kau mengatakan keperluan mencari Paman Guruku, sekarang ceritakan apa pula keperluanmu mencari aku?"

   "Bhong-koksu, engkau juga pandai berpura-pura. Bukan engkau yang harus bertanya melainkan akulah yang ingin bertanya kepadamu, mengapa engkau memimpin pasukan menyerbu Pulau Es dan Pulau Neraka? Aku datang untuk minta pertanggungan jawabmu, dan sebelum engkau menjelaskan, jangan harap engkau akan lolos dari tanganku!"

   "Ha-ha-ha, benar-benar manusia sombong! Engkau tahu bahwa engkau sejak dahulu adalah seorang, manusia buruan musuh kerajaan. Engkau tahu bahwa aku adalah seorang koksu negara, tentu saja apa yang kulakukan merupakan tugas dari pemerintah! Suma Han, Pendekar Siluman, engkau menyerahlah bersama gadis itu. Melawan pun takkan ada gunanya karena kalian telah terkepung dan sebentar lagi datang pasukan yang ratusan orang jumlahnya. Andaikata engkau mampu lolos dari gedung ini, engkau pun tak mungkin dapat lolos dari kota melalui ribuan orang tentara penjaga."

   "Kalian memang manusia-manusia yang curang dan pengecut, beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan jumlah besar. Aku tahu betul bahwa pemerintah Kerajaan Ceng tidak akan mengganggu Pulau Es dan Pulau Neraka yang selamanya tidak pernah memberontak atau melawan pemerintah. Tentu karena dorongan kehendakmu dan orang-orang macam Maharya inilah maka terjadi penyerbuan. Bhong Ji Kun dan Maharya, aku menantang kalian menyelesaikan urusan antara kita secara jantan, atau kita putuskan dan selesaikan di ujung senjata!"

   "Ha-ha-ha, kematian sudah berada di ujung hidung masih berlagak mengeluarkan tantangan. Serbu dan bunuh pemberontak-pemberontak ini!"

   Bhong Ji Kun berseru sambil menudingkan pedang Pek-kong-kiam yang dirampasnya dari tangan Milana tadi ke arah Suma Han sebagai isyarat kepada para pengawalnya yang sudah mengurung di luar pintu dan jendela ruangan itu.

   "Alan, pegang yang amat erat, kita harus keluar dari sini lebih dulu!"

   Suma Han berbisik kepada gadis yang berada di gendongan punggungnya. Dia bukan seorang nekat dan maklum bahwa kalau dia mengamuk menuruti nafsu kemarahannya terhadap Bhong-koksu dan Maharya, tak mungkin dia dapat menandingi ratusan, bahkan ribuan orang perajurit pengawal. Juga dia tidak ingin menyebar maut di antara para perajurit itu, maka dia mengambil keputusan untuk melarikan diri lebih dulu, mengobati luka-luka Milana, kemudian mencari jalan untuk dapat berhadapan dengan musuh-musuhnya tanpa campur tangan pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.

   "Jangan harap dapat melarikan diri!"

   Bhong-koksu berteriak dan dari pintu besar menyerbulah enam orang pengawal yang berpakaian sebagai perwira-perwira dengan senjata di tangan. Mereka serempak maju menubruk dan menyerang pendekar berkaki buntung yang menggendong gadis terluka itu. Mereka belum pernah bertemu dengan Suma Han, dan biarpun mereka sudah mendengar akan Pendekar Super Sakti yang seperti dalam dongeng saja, kini melihat laki-laki berambut panjang putih dan berkaki buntung sebelah itu, mereka memandang rendah. Apalagi pria yang tidak kelihatan menyeramkan itu hanya bersenjata sebatang tongkat butut, masih menggendong seorang gadis yang terluka pula! Mereka yakin bahwa sekali serbu saja mereka tentu akan dapat merobohkan Si Buntung itu.

   "Rrrrtttttt!!"

   Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung menyambut hujan senjata itu dan tampak senjata para penyerbu beterbangan disusul robohnya tubuh mereka malang melintang dan mereka tak mampu bangkit kembali, bahkan bergerak pun tidak karena mereka sudah pingsan semua! Suma Han meloncat ke arah pintu setelah merobohkan enam orang penyerbu pertama, akan tetapi pintu telah penuh dengan pasukan pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.

   "Tolol! Kepung dan jaga saja, jangan menyerang sebelum diperintah!"

   Bhong-koksu berseru memaki para pasukan anak buahnya.

   "Para panglima pengawal, majulah membantu kami menangkap pemberontak!"

   Anak buah pasukan pengawal tidak ada yang berani maju lagi, bukan hanya karena seruan Koksu itu, akan tetapi juga mereka merasa ngeri melihat betapa enam orang teman mereka roboh seolah-olah tanpa sebab. Mereka melihat betapa enam orang teman mereka tadi menyerang dengan senjata terangkat, akan tetapi tidak tampak pria kaki buntung itu bergerak, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan yang diselimuti sinar bergulung-gulung dan tahu-tahu enam orang itu menggeletak tak bergerak lagi, agaknya tewas!

   Mereka tidak tahu bahwa Suma Han tidak membunuh mereka berenam, hanya merobohkan mereka dengan totokan yang membuat mereka pingsan saja. Sebelas orang panglima pengawal memasuki ruangan dengan senjata di tangan. Mereka menyingkirkan tubuh enam orang pengawal yang pingsan dan mayat dua orang panglima yang tadi roboh oleh pedang Milana, kemudian bersama panglima-panglima tinggi terdahulu, yaitu Bhe Ti Kong dan tiga orang lain, semua berjumlah lima belas orang panglima pengawal, kini maju mengurung. Di luar barisan pengurung ini berdiri Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan Maharya. Koksu yang menganggap bahwa pecut merahnya yang sudah buntung itu tidak berguna lagi, memegang pedang Pek-kong-kiam,

   Maharya yang memegang senjata tombak bulan sabit juga bersiap-siap, sedangkan Thian Tok Lama berdiri dengan tangan kosong karena dia lebih mengandalkan kedua tangan berikut lengan bajunya daripada senjata tajam. Tiga orang sakti ini berdiri dengan mata terbelalak. Biarpun mereka mengandalkan pasukan yang berjumlah besar sedangkan lawan yang hanya satu orang cacat yang menggendong gadis terluka, namun mereka merasa agak jerih karena maklum betapa saktinya lawan yang mereka hadapi sekarang. Maharya berdiri dengan mata mendelik dan muka masih merah padam karena marah dan juga tersinggung hatinya oleh ejekan Pendekar Super Sakti tadi. Memang terjadi banyak perubahan pada pendeta dari barat ini. Biarpun bentuk pakaiannya masih amat sederhana, hanya kain itu yang dililit-lilitkan pada tubuh,

   Namun kain itu bukan sembarang kain, melainkan kain sutera yang mahal dan halus sekali. Kain pengikat kepalanya juga berbentuk sederhana, akan tetapi kain pengikat kepala itu dihias dengan beberapa butir mutiara yang besar dan berkilauan, dan dilengkapi dengan sebuah bulu burung dewata yang indah! Juga sepasang kakinya "ada kemajuan"

   Seperti yang diucapkan Suma Han tadi. Kalau dahulu kedua kakinya telanjang, kini kedua kaki itu memakai alas kaki dari kayu terukir halus dengan tombol terbuat daripada emas yang dijepit oleh ibu jari dan jari kedua kakinya. Hebatnya, biarpun kakinya beralaskan kelom kayu, akan tetapi kedua kaki itu masih dapat bergerak gesit dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun! Lima belas orang pegawal itu adalah panglima-panglima yang memiliki kepandaian tinggi dan bukanlah ahli-ahli silat sembarangan.

   Mereka itu dipimpin oleh Bhe Ti Kong melakukan pengurungan dan membentuk barisan bersenjata golok pedang atau senjata tombak trisula gagang pendek seperti yang dipergunakan Bhe Ti Kong. Gerakan mereka rapi dan begitu Bhe Ti Kong mengeluarkan aba-aba dengan suara yang nyaring sekali, tiba-tiba barisan itu bergerak dan mereka yang berdiri di belakang Suma Han, sebanyak empat orang, telah menyerang dengan senjata mereka. Karena tubuh belakang pendekar itu tertutup oleh tubuh Milana yang digendongnya, tentu saja otomatis serangan-serangan itu mengancam tubuh Milana! Dengan kaki tunggalnya, tiba-tiba Suma Han memutar tubuh menghadapi empat orang itu, memandang dengan sinar mata aneh dan.... empat orang itu menghentikan serangan mereka, tubuh mereka kaku seperti arca dalam posisi menyerang seolah-olah mereka telah terkena totokan yang membuat tubuh mereka kaku!

   Padahal Suma Han sama sekali tidak pernah bergerak dan ternyata bahwa sinar mata Pendekar Super Sakti inilah yang dalam sekejap mata saja sudah menguasai mereka berempat itu! Tiba-tiba Maharya mengeluarkan teriakan dalam bahasa asing yang amat aneh dan melengking nyaring. Kiranya itu adalah semacam mantera yang mempunyai daya pengaruh amat kuat, menggetarkan perasaan dan empat orang itu tiba-tiba terguling roboh dan sadar! Mereka saling berpandangan dengan heran, kemudian meloncat bangun dengan senjata di tangan, bingung karena tidak tahu apa yang telah terjadi. Bhe Ti Kong dan kawan-kawannya menyerbu dari kanan-kiri dan depan, sehingga belasan batang senjata yang dahsyat menyambar ke arah tubuh Suma Han dan Milana.

   Suma Han menggunakan gerak kilatnya, tubuhnya mencelat ke belakang yang sudah tak terjaga lagi karena empat orang panglima tadi masih bengong terlongong dan kacau, tongkatnya diputar cepat dan tubuhnya yang mencelat ke belakang itu sudah sampai ke dinding, kaki tunggalnya menyentuh dinding sehingga tubuhnya kembali mencelat ke depan, kini dialah yang menyerbu barisan itu! Para panglima terkejut melihat bayangan yang berkelebat cepat, mereka mengangkat senjata masing-masing dan terdengar bunyi nyaring bertubi-tubi disusul teriakan mereka karena senjata mereka telah patah, ada yang terlempar, dan lima orang di antara mereka terguling roboh karena terdorong oleh hawa sakti yang membuat tubuh mereka menggigil kedinginan. Tiga orang di antara mereka yang agak kuat sin-kangnya berhasil merangkak bangun, akan tetapi dua orang yang lemah, tak dapat bangkit lagi dan pingsan!

   "Mundur....!"

   Maharya berseru marah. Bhe Ti Kong yang maklum bahwa dia dan teman-temannya bukanlah lawan Pendekar Kaki Buntung itu, segera mengundurkan diri dan memimpin para panglima untuk memperketat penjagaan dengan pasukan masing-masing. Maharya kini menerjang Suma Han dengan senjatanya yang mengerikan. Gerakannya dahsyat sekali dan mulutnya terus berkemak-kemik membaca mantera, kadang-kadang hanya berbisik-bisik, kadang-kadang nyaring sedangkan matanya terus melotot menatap sepasang mata Pendekar Super Sakti. Ternyata pendeta India ini menggunakan ilmunya untuk menolak pengaruh sakti dari pandang mata Suma Han dan kini dia menggerakkan senjatanya menyerang ke arah dada pendekar itu.
(Lanjut ke Jilid 33)

   Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 33
"Dessss!"

   Maharya terhuyung ke belakang ketika senjatanya kena ditangkis, demikian kuat tenaga dan pendekar itu, jauh lebih kuat dibandingkan dengan dahulu, belasan tahun yang lalu ketika Pendekar Super Sakti bertanding melawan Maharya. Maharya terkejut bukan main dan maklumlah dia bahwa selama bertahun-tahun itu, Pendekar Super Sakti bertambah kuat sedangkan dia bertambah lemah, hal ini selain pengaruh usia, juga karena selama itu dia banyak memboroskan tenaga dengan berfoya-foya dan bersenang-senang, sedangkan lawannya menghimpun tenaga dalam hidup berprihatin.

   

Pendekar Super Sakti Eps 21 Kisah Pendekar Bongkok Eps 20 Kisah Pendekar Bongkok Eps 19

Cari Blog Ini