Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 48


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 48



"Bukkk!"

   Tendangannya tepat mengenai lambung kakek itu sehingga terlempar keluar dari perahunya.

   "Byuuuurrr....!"

   Tiba-tiba dari dalam air muncul sebuah perahu dan kakek pendek gemuk berkepala gundul sudah menggunakan dayungnya mengemplang kepala kakek muka hitam! Kakek muka hitam terkejut, masih dapat mengelak sambil menangkap dayung itu, akan tetapi ternyata kakek gundul itu hanya menipunya karena sambil tertawa lalu tangannya meraih dan.... ular kecil itu kembali berpindah tangan, dari tangan kakek tinggi besar bermuka hitam terampas oleh kakek gundul.

   "Keparat....!"

   Kakek muka hitam menggerakkan dayung rampasannya dan menghantam ke perahu lawan.

   "Brakkkk....!"

   Perahu itu hancur berkeping-keping dan Si Kakek Gundul sambil tertawa lalu menyelam dan lenyap! Sementara itu, Topeng Setan berhasil hinggap di ujung balok tiang layar. Ceng Ceng sudah siuman dan pertama kali gadis ini melihat lengan kiri Topeng Setan yang lenyap, hanya tinggal pundak kiri yang berlepotan darah, hampir dia pingsan lagi.

   "Paman....!"

   Dia menjerit dan memeluk tubuh mandi darah itu.

   "Kau.... kau.... lenganmu....?"

   "Tidak apa, Ceng Ceng.... tidak apa...."

   Topeng Setan berkata tenang.

   "Tidak apa-apa? Lenganmu buntung dan kau bilang tidak apa-apa?"

   Ceng Ceng lalu cepat mengeluarkan obat bubuk yang sudah basah semua dari dalam bajunya, mengobati pundak yang buntung itu dengan hati penuh kengerian dan keharuan, kemudian dia merobek baju Topeng Setan dan membalut luka yang kini darahnya sudah berhenti mengucur. Topeng Setan sama sekali tidak mengeluh, bahkan kelihatan tersenyum di balik to-pengnya yang buruk. Kian Bu dan Hong Kui yang melihat semua ini menjadi bengong. Kian Bu merasa kagum bukan main.

   Betapa hebatnya orang yang bermuka buruk ini, yang dia tahu adalah pembantu dari Ceng Ceng. Manusia muka buruk ini sudah putus lengannya, akan tetapi masih dapat bergerak sehebat itu di dalam air, berhasil menolong Ceng Ceng yang tadi pingsan, bahkan telah berhasil menangkap anak naga yang kini terampas oleh kakek gundul yang menyelam dan menghilang. Melihat keslbukan Ceng Ceng merawat luka Topeng Setan, apalagi karena dia masih merasa malu karena terlihat berdua dengan Mauw Siauw Mo-li, maka Kian Bu tidak berani menegur Ceng Ceng yang agaknya juga tidak melihatnya biarpun mereka berada di satu balok tiang layar, di kedua ujungnya. Agaknya Ceng Ceng juga tidak melihat dan mempedulikan keadaan sekelilingnya lagi karena seluruh perhatiannya tercurah kepada keadaan Topeng Setan yang kehilangan lengan kirinya.

   "Sayang anak naga itu terampas Si Kakek Gundul...."

   Terdengar Topeng Setan berkata.

   "Peduli dengan ular itu....!"

   Ceng Ceng menjawab sambil menyelesaikan pekerjaannya membalut pundak dengan hati-hati.

   "Aku.... aku benci ular itu, Paman! Aku benci diriku sendiri karena aku yang menyebabkan kau kehilangan lengan kirimu."

   "Ahhh.... jangan berkata begitu...."

   Sementara itu, induk ular naga masih mengamuk karena selain matanya buta, lidahnya terluka, juga dia kehilangan anaknya. Amukannya di dalam air itu agaknya membuat Si Kakek Gundul tidak kuat bertahan lama dan sudah muncul lagi ke permukaan air. Akan tetapi begitu dia muncul, dari atas perahu besar milik Tambolon, tampak sinar hitam mencuat dan tahu-tahu tubuh kakek gundul sudah tertangkap dalam sehelai jaring hitam yang terbuat dari tali sutera halus yang amat kuat! Kakek gundul yang masih memegangi ular kecil itu terkejut dan meronta-ronta, namun dia tidak berdaya ketika tubuhnya ditarik dan diangkat naik ke atas perahu oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya, yaitu Si Petani dan Si Siucai. Begitu jaring dibuka, kakek gundul mengamuk dan gerakannya dahsyat sekali. Akan tetapi tiba-tiba nenek itu berkata, suaranya melengking tinggi dan nadanya aneh.

   "Jangan keroyok, biarkan dia!"

   Mendengar ini, Tambolon dan dua orang pembantunya mundur dan nenek itu lalu berkata,

   "Hai, cucuku gundul.... engkau memang anak baik sekali mau menyerahkan ular itu kepada nenekmu. Mari.... mari sini.... berikan ular itu kepadaku....!"

   Ceng Ceng yang sudah selesai membalut,

   Kini bersama Topeng Setan memandang ke arah perahu itu dan mereka menjadi bengong terheran-heran melihat kakek gundul yang lihai dan yang tidak gentar dikeroyok oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan Si Nenek Hitam dan menyerahkan ular itu dengan kedua tangannya! Sambil terkekeh Durganini menerima ular itu. Begitu ular diterima, kakek gundul agaknya sadar dan dengan teriakan dahsyat dia meloncat berdiri dan hendak menerjang nenek itu. Akan tetapi Tambolon dan dua orang pengawalnya sudah menyambutnya sehingga terjadilah pertandingan seru di atas perahu. Akan tetapi kini semua perahu yang melihat bahwa ular yang diperebutkan itu terjatuh ke tangan Si Nenek Hitam, berbondong datang mendekati perahu besar Tambolon dan banyak sekali bayangan orang yang gerakannya ringan dan gesit berloncatan ke atas perahu besar itu untuk merampas ular kecil!

   Di antara mereka terdapat Si Tosu Lihai, Hek-tiauw Lo-mo, dan banyak orang lagi termasuk Si Kakek Muka Hitam dan Si Kakek Gundul yang masih bertanding melawan Tambolon. Anak buah raja liar ini menyambut dan terjadilah perang tanding yang amat seru di atas perahu. Menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang pandai, Tambolon dan Si Nenek Lihai ini menjadi kewalahan juga dan dia tidak sempat menggunakan ilmu sihirnya terhadap begitu banyak orang pandai yang rata-rata memiliki tenaga batin amat kuat sehingga tidak mudah tunduk kepada kekuatan ilmu sihirnya. Selagi Topeng Setan tidak tahu apakah dia harus pula ikut memasuki medan pertandingan itu, tiba-tiba perahu besar itu terlempar ke atas dan terbanting lalu terbalik!

   Kiranya ular yang marah itu telah mengamuk dan menyundul perahu yang sudah pecah itu sehingga terbalik dan tentu saja semua orang lihai yang sedang enaknya bertempur semua terlampar ke dalam air! Si Nenek Hitam yang lihai dan ahli ilmu sihir itu kehilangan kelihaiannya karena dia tidak pandai renang, maka dengan gelagapan dia terpaksa minta tolong dan dibantu oleh anak buah Tambolon, diseret kembali ke perahu yang sudah terbalik. Akan tetapi dalam ketakutannya tenggelam tadi, nenek ini yang sudah pikun lupa akan ular kecil yang dipegangnya sehingga ular kecil itu terlepas. Anak ular yang juga panik karena sejak tadi dicengkeram tangan-tangan panas dan kuat, dalam keadaan bingung dan panik meluncur dan berenang ke dekat tiang layar yang di-tumpangi Kian Bu, Hong Kui, Topeng Setan dan Ceng Ceng! Melihat ini, Topeng Setan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Cepat tangannya meraih untuk menangkap anak naga itu.

   "Desss....!"

   Topeng Setan dan Kian Bu terkejut. Keduanya tadi secara otomatis telah mengulur tangan hendak menangkap anak ular naga itu dan begitu tangan mereka saling bertemu, otomatis pula keduanya menyalurkan lengan sehingga terjadilah bentrokan hebat antara tangan mereka.

   Kian Bu terkejut sekali karena merasa betapa tenaga yang keluar dari tangan Topeng Setan itu kuat bukan main, dan betapa orang yang sudah mengalami luka buntung lengan itu masih sanggup menandingi tenaganya. Hal ini benar-benar membuat dia penasaran dan juga kagum bukan main. Anak ular itu berenang ke dekat Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan cepat tangannya menyambar. Akan tetapi pada saat itu, Lauw Hong Kui Si Siluman Kucing juga sudah menangkap pada saat yang bersamaan, tentu saja mereka lalu berebut dan saling betot! Kasihan ular kecil itu yang dipegang kepala dan ekornya dan dijadikan rebutan! Kian Bu memandang terbelalak. Biasanya kekasihnya itu amat takut terhadap ular, bahkan beberapa kali pingsan melihat ular, akan tetapi mengapa kini berani menangkap ular itu dan membetotnya. Melihat Ceng Ceng juga sudah menangkap ular itu, dia berteriak kepada Hong Kui,

   "Enci, biarkan dia mendapatkan ular itu....!"

   Hong Kui terkejut dan marah.

   "Apa? Tidak sudi!"

   Dan dengan marah dia menarik sekuatnya. Ceng Ceng tentu saja mempertahankannya, gadis ini lebih beruntung dalam perebutan itu karena dia tadi memegang kepala ular yang tentu saja merupakan bagian yang lebih kuat daripada bagian ekornya.

   "Prattt....!"

   Anak ular naga itu putus menjadi dua dan putusnya di dekat ekor sehingga Hong Kui hanya mendapatkan bagian yang sedikit saja, yaitu bagian ekornya! Dan karena Ceng Ceng yang mempertahankan ular itu berada di pinggir balok dan kini tiba-tiba ular putus, tak dapat dihindarkan lagi Ceng Ceng terjengkang dan terjatuh ke dalam air. Pada saat itu, induk ular naga sudah tiba di atas lagi, ekornya mobat-mabit dan balok tiang itu kena dihantam ekor yang amat kuat, pecah berantakan.

   Topeng Setan yang setengah pingsan karena penderitaannya itu melihat Ceng Ceng terjatuh ke dalam air, tahu bahwa gadis itu terancam bahaya karena tidak pandai berenang, maka tepat pada saat balok tiang dihantam ekor ular naga, dia sudah meloncat terjun ke air dan mengejar Ceng Ceng, merangkulnya dan terus dibawanya gadis itu menyelam selagi ular naga mengamuk di atas mereka. Dia maklum bahwa keadaan sudah berbahaya sekali, tenaganya sudah tidak dapat diandalkan lagi untuk melindungi Ceng Ceng dan kalau mereka muncul lagi di permukaan air, tentu semua orang lihai itu akan mengeroyok mereka karena ular itu, biarpun ekornya putus sedikit, masih berada di tangan Ceng Ceng. Karena dia maklum bahwa sekali mereka muncul, tentu mereka akan celaka dan terutama sekali yang terpenting baginya, Ceng Ceng akan terancam bahaya dan anak ular naga itu akan dirampas orang, maka Topeng Setan mengambil keputusan nekat.

   Dia hendak membawa Ceng Ceng menyelam terus dan berenang di bawah permukaan air menuju ke tepi telaga. Dengan sin-kangnya yang sudah amat kuat itu, dan melawan penderitaan tubuhnya yang terluka hebat dengan kekuatan kemauannya yang membaja, Topeng Setan lalu menyeret tubuh Ceng Ceng yang dirangkulnya itu, mulai berenang meninggalkan tempat berbahaya itu di mana tidak hanya ular naga raksasa yang mengamuk, akan tetapi juga banyak tokoh lihai yang mencari-cari mereka. Dengan pengerahan tenaga yang amat mentakjubkan, yang sesungguhnya terdorong oleh keinginan dan kemauannya untuk menyelamatkan Ceng Ceng, Topeng Setan berenang cepat dan hanya menggunakan kedua kakinya dan dia berhasil menjauhi tempat itu.

   Kakinya yang pernah dihantam ekor ular naga terasa nyeri bukan main, akan tetapi dia tidak mau merasakan siksaan ini dan terus menggerakkan kedua kaki meluncur ke depan. Dengan sin-kangnya yang sudah mencapai puncak, dia dapat "menyimpan"

   Hawa udara sehingga dia masih kuat bertahan. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Ceng Ceng. Dasar sin-kang dari gadis ini masih lemah sekali, maka kini dia mulai kehabisan napas, meronta-ronta dan hal ini diketahui oleh Topeng Setan. Akan tetapi, kalau dia membawa Ceng Ceng muncul ke permukaan untuk mencari hawa segar dan bernapas, tentu akan kelihatan oleh musuh dan selanjutnya mereka tidak mungkin dapat melari-kan diri lagi, karena tentu akan dikejar-kejar, baik di permukaan air atau di dalam air.

   Di antara mereka terdapat banyak ahli bermain di air, seperti kakek gundul dan tosu itu. Maka Topeng Setan mempererat pelukannya dan tidak membolehkan Ceng Ceng yang sudah kehabisan napas itu untuk naik ke permukaan air. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kalau dibiarkan terus, gadis itu akan kehabisan napas dan akan tewas pula, maka dia lalu mengambil keputusan nekat. Diangkatnya tubuh Ceng Ceng, didekatkan muka gadis itu dengan mukanya. Di dalam air yang jernih itu mereka tidak dapat saling melihat, karena sinar bulan tidak dapat menembus sedalam itu, akan tetapi remang-remang mereka masih dapat saling melihat bayangan mereka. Topeng Setan lalu menundukkan mukanya dan.... dia menutup mulut Ceng Ceng dengan mulutnya sendiri! Tentu saja Ceng Ceng terkejut bukan main, mula-mula tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh orang tua itu.

   Dia sudah pening dan telinganya mengeluarkan bunyi mengaung, dadanya seperti hendak meledak. Rasa kaget ketika merasa betapa mulutnya dicium seperti itu oleh Topeng Setan, membuat dia ingin menjerit dan otomatis mulutnya terbuka. Agaknya inilah yang dikehendaki Topeng Setan. Dengan bibir masih menutup mulut Ceng Ceng yang terengah-engah itu, dia mengeluarkan hawa "simpanan"

   Yang masih bersih, ditiupkannya ke dalam paru-paru Ceng Ceng yang sudah kehabisan napas. Ceng Ceng gelagapan akan tetapi dadanya menjadi lega dan kini lenyaplah kekagetan dan kemarahan yang tadi menyelinap di dalam hatinya. Kini dia mengerti bahwa orang tua bertopeng buruk itu, sama sekali tidak berniat kurang ajar kepadanya. Sebaliknya malah, kembali Topeng Setan menyelamatkannya!

   Dan dia tahu bahwa cara penyelamatan ini pun suatu pengorbanan diri karena dengan memberikan hawa cadangan itu kepadanya, berarti Topeng Setan sendiri akan cepat kehabisan napas! Keharuan memenuhi hati Ceng Ceng dan ketika Topeng Setan melepaskan "ciumannya", dia merangkul pinggang kakek itu dan merapatkan tubuhnya sebagai tanda terima kasihnya. Kini Ceng Ceng dapat bertahan dan mereka terus berenang ke suatu arah tertentu, secara untung-untungan karena mereka tidak dapat melihat arah mana yang terdekat ke pantai. Setiap kali Ceng Ceng kehabisan napas, Topeng Setan lalu "menciumnya"

   Seperti tadi untuk memindahkan hawa murni dan sampai tiga kali dia melakukan hal ini yang berarti menyambung napas dan umur gadis itu. Ceng Ceng tidak meronta lagi, dan setiap kali dia dicium, dia memejamkan matanya dan sungguh aneh, dalam keadaan tercium itu, yang amat terasa olehnya, dia membayangkan wajah.... pemuda laknat yang telah memperkosanya! Dia sendiri merasa heran.

   Dicobanya untuk membayangkan wajah Pangeran Yung Hwa, mengkhayal bahwa pangeran yang tampan dan menarik itulah yang menciumnya, akan tetapi tetap saja wajah pemuda laknat itu yang muncul! Ketika akhirnya, secara kebetulan sekali, mereka dapat mendarat di pantai terdekat, keduanya sudah kehabisan napas. Mereka terengah-engah di pantai, dengan tubuh bawah masih terendam air dan tubuh atas rebah di atas lumpur, dada mereka terasa seperti akan meledak, terengah-engah seperti ikan-ikan terdampar di daratan. Akan tetapi anak ular naga itu masih terus digenggam tangan kanan Ceng Ceng, dan tubuh ular yang ekornya buntung itu masih membelit lengannya dengan kuat. Sementara itu, jauh di tengah telaga, orang-orang lihai masih terus sibuk melawan ular naga yang mengamuk dan mereka sibuk pula berusaha mencari Topeng Setan dan Ceng Ceng.

   Adapun Hong Kui dan Kian Bu yang tadi terlempar ke air ketika balok tiang layar dihantam oleh ekor ular naga, kini sudah berhasil menyelamatkan diri ke atas sebuah pecahan perahu. Melihat ekor ular itu yang masih berdarah, Hong Kui terus saja memasukkannya ke dalam mulutnya dan Kian Bu merasa ngeri melihat betapa mulut yang bentuknya indah itu, bibir yang merah basah dan yang sudah amat dikenalnya dengan ciuman-ciumannya yang hangat dan mesra, kini mengunyah daging, tulang dan kulit ular yang berdarah itu sampai terdengar suara berkerotakan ketika tulang-tulang ekor ular kecil itu hancur digilas oleh gigi-gigi kecil kuat dari Hong Kui. Sedikit pun tidak kelihatan wanita itu merasa jijik, maka kini Kian Bu mulai mengerti bahwa Hong Kui sebenarnya sama sekali tidak takut kepada ular!

   Terbukalah matanya bahwa selama ini wanita itu memang sengaja memancing dan merayunya dan dia merasa betapa bodohnya dia. Akan tetapi biarpun kenyataan ini membuat dia kehilangan perasaan cinta terhadap Hong Kui, namun tidak melenyapkan rasa tertariknya. Wanita itu telah memperkenalkan kenikmatan yang luar biasa kepadanya dan dia masih merasa sayang untuk melepaskannya! Kalau tadinya Kian Bu hampir mengakui dan percaya bahwa dia jatuh cinta kepada Hong Kui, semenjak peristiwa memperebutkan ular itu, dia yakin bahwa sebetulnya tidak ada kasih di hatinya terhadap wanita ini, melainkan hanya nafsu kesenangan karena wanita ini memang hebat dan pandai sekali menghibur dan menyenangkan hatinya.

   Dan melihat Hong Kui mengunyah dan makan ekor ular itu mentah-mentah, timbul juga rasa kasihan di hatinya karena dia maklum bahwa wanita itu terpaksa melakukan hal ini karena khawatir kalau-kalau bagian yang hanya sedikit itu akan terampas orang lain! Akan tetapi, yang sedikit ini pun cukuplah karena seketika itu juga Hong Kui merasa betapa tekanan panas di pusarnya akibat keracunan telah lenyap sama sekali begitu ekor ular itu mema-suki perutnya! Topeng Setan sudah dapat memulihkan pernapasannya. Pundak kirinya terasa sakit bukan main, berdenyut-denyut sampai terasa di ubun-ubun kepalanya, juga kaki kanannya yang kena hantaman ekor ular naga masih terasa setengah lumpuh. Lebih-lebih lagi hatinya seperti ditusuk-tusuk kalau dia teringat akan lengan kirinya yang buntung akan tetapi semua penderitaan lahir batinnya ini dilupakannya seketika ketika dia menoleh kepada Ceng Ceng yang juga sudah tidak begitu terengah-engah seperti tadi.

   "Cepat kau makan ular itu. Ular inilah obat yang akan menghilangkan semua racun yang mengancam nyawamu. Cepatlah, Ceng Ceng."

   Topeng Setan berkata. Ceng Ceng menoleh kepadanya, mukanya pucat, sebagian tertutup rambutnya yang terurai awut-awutan dan basah kuyup. Begitu menoleh dia melihat lengan kiri yang buntung itu dan tiba-tiba Ceng Ceng memandang ular di tangannya dengan wajah beringas.

   "Ular sialan! Ular itu telah membuat lenganmu buntung, Paman. Aku benci ular itu!"

   Ceng Ceng lalu melemparkan ular itu ke telaga!

   "Aihhh.... kau.... kau gila....!"

   Topeng Setan berteriak kaget sekali dan cepat dia terjun ke air dan berenang mengejar ular itu. Untung ular itu sudah menjadi lemah dan setengah mati karena sejak tadi kepalanya digenggam oleh Ceng Ceng dan ekornya telah buntung, maka dia tidak menyelam dan hanya berenang lambat-lambat ke sana-sini sehingga mudah bagi Topeng Setan untuk menangkapnya dan membawanya berenang ke pinggir. Ceng Ceng sudah merangkak dan duduk di atas tanah yang keras di tepi telaga ketika Topeng Setan mendarat.

   "Kau harus makan daging ular ini dan minum darahnya."

   Dia berkata.

   "Ular sialan itu, biarlah aku tidak berobat lagi, Paman."

   "Kau harus!"

   "Tidak....!"

   "Aku akan memaksamu!"

   Ceng Ceng yang pada dasarnya berhati keras itu, mendengar ucapan ini dan melihat sikap yang keras dan marah dari Topeng Setan, lupa kalau orang itu telah kehilangan lengannya dan dia me-loncat bangun sambil mengepal kedua tangannya.

   "Tidak! Tidak sudi! Coba kau memaksaku kalau berani."

   "Mengapa tidak berani? Hanya ular ini obatnya yang akan menyelamatkan nyawamu, Ceng Ceng."

   Tiba-tiba Topeng Setan menyerbu dan Ceng Ceng berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat, dan sebuah totokan pada pundaknya membuat dia roboh dan tak dapat bergerak lagi. Akan tetapi sebelum dia roboh, lengan Topeng Setan sudah menahannya dan dia lalu direbahkan dengan hati-hati di atas rumput.

   "Karena kau berkeras menolak, aku terpaksa menggunakan kekerasan ini, Ceng Ceng. Ular ini harus cepat kau pergunakan sebagai obat, kalau sampai mereka mengejar ke sini, ular ini akan terampas dan kau akan celaka. Maafkan aku, terpaksa aku melakukan ini padamu...."

   Topeng Setan mencari sehelai daun teratai lebar, membuatnya dengan susah payah sebagai tempat air dan sementara itu dia menjepit leher ular dengan jari kakinya yang dilepaskan dari sepatunya yang basah, kemudian dengan jari-jari tangannya yang panjang dia menggulung dan menggenggam ular itu ke dalam kepalannya, dan mengerahkan tenaga menghimpitnya! Tentu saja kepala dan tubuh ular itu menjadi hancur dan cairannya mengucur ke dalam mangkok daun teratai itu, cairan yang terdiri dari darah dan perasan tubuh ular itu, cairan kuning kemerahan yang dipandang dengan mata jijik oleh Ceng Ceng.

   "Cairan ini mengandung obat mujarab, akan tetapi juga mengandung racun ular itu yang akan mematikan bagi orang biasa. Akan tetapi karena tubuhmu sudah kebal racun, maka racun ular ini tidak akan mengganggu, bahkan mungkin akan mendatangkan suatu keuntungan bagimu, Ceng Ceng. Mestinya tidak dihidangkan secara begini saja, yang agak menjijikkan, akan tetapi apa boleh buat, kita masih belum aman benar dan obat ini perlu secepatnya kau minum."

   Ceng Ceng yang sudah lumpuh kaki tangannya itu hanya menjawab pendek,

   "Aku tidak mau!"

   "Maaf....!"

   Topeng Setan kembali menggerakkan jari tangannya.

   "Aaaahhhh!"

   Mulut Ceng Ceng terbuka dan tak dapat tertutup kembali! Topeng Setan lalu menuangkan cairan itu ke dalam mulut yang terbuka itu! Ceng Ceng mencium bau yang amat amis dan busuk, maka dia tidak mau menelan cairan yang sudah berada di mulutnya itu.

   "Maaf, terpaksa aku....!"

   Topeng Setan lalu menggunakan telunjuk dan ibu jarinya untuk memencet kedua lubang hidung Ceng Ceng. Dipencet lubang hidungnya seperti itu, Ceng Ceng tak dapat bernapas dan gelagapan sehingga terpaksa cairan itu tertelan olehnya. Dia di "cekoki"

   Cairan ular yang menjijikkan itu. Topeng Setan itu lalu membebaskan totokannya dan Ceng Ceng bangkit duduk, meludah berkali-kali akan tetapi cairan itu telah memasuki perutnya.
(Lanjut ke Jilid 47)

   Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 47
"Kau maafkanlah aku, Ceng Ceng...."

   Suara itu demikian penuh permohonan dan penyesalan sehingga kemarahan Ceng Ceng sudah sebagian terusir pergi. Apalagi dia ingat bahwa semua yang dilakukan oleh Topeng Setan itu semata-mata adalah untuk menolongnya. Dan penolakannya tadi pun hanya karena berduka dan menyesal mengapa untuk mencari ular itu Topeng Setan sampai mengorbankan lengannya.

   "Mengapa kau minta maaf?"

   Tanyanya pendek.

   "Maaf bahwa aku terpaksa memaksamu minum cairan obat itu."

   "Engkau memaksaku karena aku menolak dan engkau melakukan itu karena engkau hendak menolongku, Paman."

   "Maaf, bahwa aku harus memencet hidungmu, menotokmu, mencekokkan obat itu kepadamu."

   "Sudahlah, obat sudah masuk ke perutku, mengapa diributkan lagi?"

   "Dan maafkan aku.... aku terpaksa mengoper hawa murni kepadamu secara itu...."

   Topeng Setan memalingkan mukanya membelakangi Ceng Ceng, lalu bangkit berdiri dan memasuki hutan tak jauh dari situ. Ceng Ceng juga bangkit dan mengikutinya memasuki hutan itu. Di bawah sebatang pohon, Topeng Setan lalu berusaha membuat api, akan tetapi karena tangannya tinggal satu, sukarlah dia menggosok-gosokkan kayu kering untuk membuat api. Ceng Ceng merebut kayu kering itu dan dia lalu membuat api dan menyalakan api unggun. Tanpa bicara keduanya duduk di dekat api unggun itu. Topeng Setan merenung ke dalam api, sedangkan Ceng Ceng memandang wajah yang buruk itu.

   "Kenapa kau minta maaf tentang itu, Paman? Kalau kau tidak melakukannya, tentu saat ini aku sudah menjadi mayat dengan perut kembung penuh air."

   Topeng Setan menoleh dan mereka saling pandang. Pengalaman hebat yang baru saja mereka alami berdua itu masih menegangkan hati mereka. Ketika dua pasang mata itu bertemu, Topeng Setan cepat mengelak dan menunduk.

   "Bagaimana.... perasaan tubuhmu sekarang, Ceng Ceng?"

   Ceng Ceng juga sadar betapa dia tadi memandang orang itu dengan sinar mata penuh kagum, penuh rasa syukur dan terima kasih, maka dia cepat menjawab sambil merasakan keadaan tubuhnya,

   "Rasanya enak dan hangat.... dan rasa muak itu lenyap, Paman."

   "Hemm.... aku yakin bahwa engkau akan sembuh sama sekali. Engkau telah terbebas dari bahaya maut, Ceng Ceng."

   Suara itu terdengar girang. Ceng Ceng merasa jantungnya seperti ditusuk.

   "Apa artinya itu? Dan untuk nyawaku yang tidak berharga ini engkau harus mengorbankan lengan kirimu! Ah, Paman....!"

   Topeng Setan menoleh ke kiri memandang ke arah pundaknya yang buntung.

   "Ah, ini? Tidak begitu hebat. Sekali waktu manusia akan kehilangan sesuatu yang berharga di luar kehendaknya, Ceng Ceng. Kalau dia dapat menghadapi peristiwa itu dengan penuh kewaspadaan dan kesadaran, maka tidaklah terlalu menyiksa hati benar...."

   Ceng Ceng memandang dengan mata terbelalak.

   "Kau.... kau kehilangan lengan kiri dan tidak tersiksa hatimu karenanya?"

   Topeng Setan menggeleng kepalanya.

   "Ceng Ceng, segala peristiwa yang terjadi, menimpa diri kita tidak mengandung suka maupun duka, tidak mengadung sesuatu yang ada hubungannya dengan batin. Suka atau duka adalah permainan batin, permainan hati dan pikiran. Betapapun akan hebatnya pikiranku menyiksa hati, tetap saja lenganku takkan dapat tumbuh kembali. Karena itu, mengapa harus dipikir? Permainan pikiran hanya akan menimbulkan derita batin, menimbulkan duka, menimbulkan sengsara dan menimbulkan kebencian, dendam dan permusuhan belaka...."

   Ceng Ceng makin terheran-heran. Manusia ataukah apa yang bersembunyi di dalam topeng itu?

   "Paman, setelah segala yang kau lakukan demi aku, setelah segala budi yang berlimpah-limpah bertumpuk yang kau lakukan untukku, setelah segala pengorbanan besar yang kau derita karena aku, maukah engkau memenuhi permintaanku ini? Aku.... aku ingin sekali melihat wajahmu, Paman."

   Topeng Setan kelihatan terkejut sekali, tersentak kaget dan melangkah mundur seperti terhuyung sampai punggungnya menabrak batang pohon di belakangnya, kepalanya digelengkan dan matanya terbelalak menatap wajah Ceng Ceng.

   "Tidak....! Tidak...., jangan kau minta itu.... kau boleh memerintahkan apa saja padaku Ceng Ceng, kau boleh menyuruh dan minta apa saja, aku akan melaksanakan dan menuruti.... akan tetapi yang satu ini.... jangan kau memaksa aku menang-galkan topengku...."

   "Kenapa, Paman? Antara kita.... mengapa engkau segan memperlihatkan mu-kamu? Kita sudah senasib sependeritaan, aku merasa kita bukan orang lain lagi, sudah berkali-kali aku hutang budi dan hutang nyawa kepadamu, yang sampai mati pun takkan mampu kubalas. Aku hanya ingin melihat manusia yang paling baik dan paling mulia terhadap diriku di dunia ini, mengapa kau menolak?"

   "Aku tidak bisa membuka topeng ini, akan terlalu mengerikan...., wajahku sangat mengerikan, jauh lebih buruk dari topeng ini. Engkau akan menjadi ketakutan dan aku khawatir engkau akan menjadi jijik dan muak, bahkan benci melihatku. Jangan, Ceng Ceng, jangan kau memaksa aku membuka topeng ini. Kau boleh membukanya kalau kelak aku sudah mati...."

   Ceng Ceng menundukkan mukanya, menarik napas panjang.

   "Aku tidak akan memaksamu, Paman. Sungguhpun aku yakin bahwa betapapun buruk rupamu, aku tidak akan dapat merasa takut, apa-lagi jijik dan muak, apalagi membencimu. Bagaimana mungkin aku bisa membenci seorang yang telah berkorban sedemikian hebat untukku? Aku jadi heran sekali apa yang terjadi antara wanita yang.... kau bunuh itu dengan engkau. Kalau aku menjadi dia, agaknya.... aku mau melakukan apa saja untuk seorang semulia engkau ini, Paman. Apakah bibi itu melakukan hal yang amat menyakitkan hatimu?"

   Topeng Setan menghela napas panjang, agaknya lega karena Ceng Ceng tidak memaksanya membuka topeng. Dia duduk lagi bersandar batang pohon, lalu menjawab,

   "Tidak, Ceng Ceng, dia seorang wanita yang amat hebat, tiada keduanya di dunia ini, akan tetapi aku.... aku telah membunuhnya...."

   "Kasihan sekali engkau, Paman...."

   Topeng Setan agaknya ingin mengalihkan percakapan karena dia lalu berkata,

   "Ceng Ceng, engkau sekarang sudah sembuh, engkau tidak terancam lagi oleh racun, bahkan dengan latihan I-kin-keng yang telah kuajarkan, semua ilmu beracun yang kau pelajari dari Ban-tok Mo-li sehingga tubuhmu beracun akan lenyap, dan.... aku sendiri masih belum tahu akibat aneh apa yang akan didatangkan oleh khasiat anak naga yang telah memasuki tubuhmu. Sekarang, sebaiknya kalau kau kembali ke kota raja, kau.... kau temui Pangeran Yung Hwa itu...."

   "Eh, mengapa, Paman?"

   Ceng Ceng bertanya dengan kaget sekali.

   "Engkau seorang gadis yang amat baik, seorang wanita berjiwa pahlawan, engkau sudah mengalami banyak kesukaran dan seorang wanita seperti engkau berhak untuk hidup mulia dan bahagia. Pangeran Yung Hwa itu, dia seorang bangsawan tinggi, putera Kaisar, dia terpelajar tinggi dan tampan dan baik dan yang terutama sekali, dia cinta kepadamu, Ceng Ceng. Kau pergilah kepadanya...."

   Ceng Ceng menggeleng kepala keras-keras.

   "Tidak! Dia boleh cinta kepadaku, akan tetapi aku.... aku tidak berharga...."

   "Hemmm, jangan kau berkata begitu, Ceng Ceng. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak cinta kepada pangeran itu? Aku teringat akan pemuda tampan yang berilmu tinggi, adik dari Puteri Milana, puteri dari Pendekar Super Sakti, yang bernama Suma Kian Lee itu. Dia pun cinta kepadamu, Ceng Ceng. Baik Pangeran Yung Hwa maupun Suma Kian Lee keduanya adalah pemuda-pemuda pilihan yang sukar dicari tandingannya di dunia ini. Kau kembalilah ke kota raja, kau berhak hidup bahagia. Apakah engkau mencinta Suma Kian Lee....?"

   "Tidak, Paman. Sama sekali tidak mungkin! Dia adalah pamanku sendiri!"

   Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ehhh....?"

   Topeng Setan kelihatan terkejut sekali mendengar ini.

   "Putera Pendekar Super Sakti itu.... pamanmu?"

   Ceng Ceng mengangguk dan hatinya terasa perih ketika dia teringat kepada Kian Lee. Pemuda itu pun amat baik kepadanya, bahkan dia tahu bahwa Kian Lee cinta kepadanya, sehingga dia dapat membayangkan betapa hancur hati Kian Lee ketika memperoleh kenyataan-kenyataan bahwa dia adalah keponakannya sendiri! Pemuda itu pun demikian mencintanya sehingga rela mengorbankan dirinya sendiri ketika berusaha mengobatinya sampai kedua tangannya keracunan.

   "Rahasia itu terbuka ketika aku bertemu dengan Paman Gak Bun Beng. Itulah sebabnya mengapa aku pernah mengatakan kepadamu, Paman, bahwa sheku bukanlah Lu, melainkan Wan. Ayahku adalah Wan Keng In, kakak tiri Paman Suma Kian Lee. Ayahku adalah putera tiri Pendekar Super Sakti, dia.... ayahku itu.... dia amat jahat, Paman."

   Ceng Ceng lalu menceritakan riwayat dirinya, diceritakan semua tanpa ada yang disembunyikan bahwa dia hidup di Bhutan dengan kakeknya yang ternyata adalah kakek buyutnya, betapa tadinya dia mendengar dari kakeknya bahwa ayah kandungnya adalah Gak Bun Beng yang sudah mati seperti ibunya. Betapa dia mengawal Puteri Syanti Dewi yang menjadi kakak angkatnya itu sehingga mengalami banyak kesengsaraan, betapa kemudian dia bertemu dengan Gak Bun Beng dan mendengar akan semua riwayat ibunya yang diperkosa oleh Wan Keng In yang memakai nama Gak Bun Beng. Semua diceritakannya dengan panjang lebar, didengarkan dengan mata terbelalak dan penuh perhatian oleh Topeng Setan. Setelah mendengar semua itu, Topeng Setan menarik napas panjang.

   "Akan tetapi, riwayatmu itu bahkan mengangkat derajatmu, Ceng Ceng. Engkau adalah cucu tiri dari Pendekar Super Sakti, dan engkau adalah adik angkat dari Puteri Bhutan, bahkan kakek buyutmu adalah seorang bekas panglima pengawal yang setia. Engkau cukup berharga bahkan untuk seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa itu sekalipun, engkau sudah terlalu berharga. Dia amat mencintamu, Ceng Ceng, bahkan dia sampai menolak dikawinkan dengan Puteri Syanti Dewi karena dia cinta padamu. Mari kuantar engkau menjumpai-nya, Ceng Ceng...."

   "Paman....! Jangan engkau berkata demikian, Paman....!"

   Dan tiba-tiba Ceng Ceng menangis tersedu-sedu karena dia teringat akan keadaan dirinya.

   "Eh, eh.... Ceng Ceng, kenapa....?"

   Topeng Setan bertanya, suaranya gemetar. Ceng Ceng mengusap air matanya dan memandang wajah bertopeng buruk itu, yang menjadi seperti wajah iblis ketika tertimpa cahaya api unggun yang merah.

   "Baiklah, kau boleh mendengar semua, Paman. Engkau sudah kuanggap seperti pamanku sendiri seperti ayah sendiri, seperti sahabatku yang termulia di dunia ini, bahkan sebagai satu-satunya orang yang menjadi sahabatku. Aku.... aku sama sekali tidak berharga, Paman, apalagi bagi seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa. Aku hanya seorang yang menanti kematian...."

   "Eh, apa maksudmu?"

   "Paman.... aku.... aku telah tertimpa malapetaka yang lebih hebat daripada kematian. Aku telah ternoda, aku telah diperkosa orang...."

   Dengan terengah-engah dan terputus-putus Ceng Ceng menceritakan melapetaka hebat di dalam guha itu ketika dia diperkosa oleh pemuda laknat itu.

   "Dia kutolong, akan tetapi dia malah memperkosa aku, Paman.... dia, si laknat itu, dia bernama Kok Cu, murid Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Mendiang kakek Lauw Ki Sun yang tewas dan jenazahnya kau kubur di depan kuil itu, dialah yang menceritakan kepadaku siapa adanya manusia iblis itu. Kakek itu adalah pelayan dari Dewa Bongkok dan pemuda yang merusak hidupku itu adalah murid Si Dewa Bongkok, dialah orang yang kau gambar itu, Paman. Aku harus menemukannya, engkau harus membantu aku untuk membalas dendam setinggi langit dan sedalam lautan ini. Aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum dapat membunuhnya, dan setelah aku berhasil membunuhnya, mudah-mudahan dengan bantuanmu karena dia lihai sekali, Paman. Sesudah itu, aku.... aku akan membunuh diri, untuk apa hidup menderita aib yang hebat ini....?"

   Topeng Setan bangkit berdiri, mengepal tinjunya, matanya terbelalak, seluruh urat di dadanya yang telanjang karena bajunya dirobek untuk membalut pundak kirinya, tampak dan dari kedua mata yang terbelalak lebar itu jatuh air matanya satu demi satu, seperti butir-butir mutiara runtuh dari untaiannya. Dadanya bergelombang dan terdengar rintihan aneh keluar dari mulutnya yang berbibir tebal sekali itu. Ceng Ceng memandang dengan heran. Melihat Topeng Setan berdiri seperti iblis berdiri, dengan air mata bercucuran seperti itu, hati Ceng Ceng seperti diremas-remas rasanya. Dia tahu bahwa orang bertopeng ini juga amat mencintanya sehingga orang itu kini menderita pukulan batin yang hebat setelah mendengar ceritanya.

   Melihat orang yang sudah buntung lengannya karena dia itu kini menangis, Ceng Ceng memandang dengan bibir gemetar, kemudian menggigil dan bibir itu mewek-mewek menahan tangis, akhirnya dia menubruk dan me-rangkul pinggang Si Buruk Rupa itu sambil menangis sesenggukan. Sampai mengguguk Ceng Ceng menangis, melepaskan seluruh kedukaan dan penyesalan hatinya, menumpahkan semua rasa penasaran yang bertumpuk-tumpuk dan dia seolah-olah memeluk gunung yang kokoh kuat, yang akan dapat dipergunakan sebagai sandaran hidup ketika dia sendiri sudah hampir tidak kuat menahan penderitaan yang menimpanya. Dengan lengan kanannya, Topeng Setan memeluk dan jari-jari tanngannya mengelus kepala gadis itu penuh keharuan dan kasih sayang.

   "Paman.... Paman.... ahhh.... Paman.... hu-hu-huuuuhh...."

   Ceng Ceng menangis seperti anak kecil, air matanya membasahi dada yang bidang, kuat, tegap dan berkulit putih halus, merupakan kontras yang aneh dengan kulit wajah yang buruk itu.

   "Tenanglah, Ceng Ceng. Kuatkan hatimu.... dan hadapilah kenyataan hidup seperti ini.... jangan kau putus harapan, Ceng Ceng. Aku.... aku bersumpah akan melindungimu dan membantumu menemukan kebahagiaan...."

   "Paman, kau bilang tadi.... kau akan meninggalkan aku.... kau menyuruh aku pergi ke kota raja...."

   "Tidak lagi, Ceng Ceng. Aku baru akan pergi setelah melihat engkau menemui kebahagiaan hidup. Jangan khawatir, aku akan mempertaruhkan nyawaku demi kebahagiaanmu."

   "Paman.... uhu-hu-huuuu, Paman...."

   Ceng Ceng makin menjadi tangisnya karena hatinya terharu sekali mendengar ucapan yang keluar dengan suara gemetar itu.

   "Paman, mengapa kau begini baik kepadaku. Mengapa....?"

   Ceng Ceng mengguncang-guncang tubuh yang dipeluknya itu.

   "Dan mengapa dia.... dia begitu jahat.... dia merusak hidupku.... mengapa....?"

   Topeng Setan tidak menjawab, hanya mengelus-elus rambut itu dan membiarkan Ceng Ceng menumpahkan semua rasa penasaran hatinya. Setelah gelora perasaan itu agak mereda di hati Ceng Ceng, Topeng Setan lalu mengajak gadis itu pergi dari situ.

   "Kita harus pergi melanjutkan perjalanan. Mereka tentu akan mengejar terus dan sebelum luka di pundakku sembuh, amat berbahaya menghadapi lawan berat, Ceng Ceng."

   "Baik, Paman. Aku hanya menurut dan ikut padamu."

   Ceng Ceng menjawab dan dia tahu bahwa mulai saat itu, untuk segala urusan, sampai kepada urusan mencari musuh besarnya, dia harus mengandalkan pamannya yang buruk rupa dan penuh rahasia ini, yang kini dipercayanya setelah dia saksikan kehebatan sepak terjangnya.

   Maka berangkatlah mereka meninggalkan hutan itu menuju ke selatan karena menurut rencana Topeng Setan, mereka akan pergi ke sebelah selatan kota raja, di markas kaum sesat yang dulu menjadi markas kaum Tiat-ciang-pang, di mana Ceng Ceng telah diangkat menjadi bengcu (ketua) oleh kaum sesat dan Topeng Setan bersama-sama Tek Hoat menjadi pembantu-pembantunya. Di tempat itu mereka akan bersembunyi dan beristirahat sampai luka di pundak Topeng Setan sembuh sama sekali. Hukum karma seperti yang dikenal oleh kita semua adalah lingkaran setan berupa roda-roda sebab akibat yang saling berkaitan dan tiada habisnya karena semua itu digerakkan oleh pikiran manusia yang membentuk nafsu-nafsu sebagai lanjutan dari setiap peristiwa yang terjadi atas diri manusia sendiri.

   Dari suatu sebab timbullah akibat, dan akibat lain sehingga menjadi lagi si sebab juga si akibat dan sebaliknya. Sebagai contohnya, terjadi suatu peristiwa di mana kita dirugikan orang lahir maupun batin. Mungkin kejadian ini pun merupakan akibat dari sebab-sebab terdahulu, akan tetapi kita menganggapnya sebagai sebab dan peristiwa itu mendatangkan kemarahan dan dendam sehingga tentu saja menimbulkan akibat yang terjadi dari pihak kita, membalas dendam dan sebagainya sebagai reaksi. Reaksi dari kita ini terhadap pihak luar yang kita anggap merugikan, kembali dapat menjadi suatu aksi yang memancing reaksi lain dari pihak luar itu sehingga dengan demikian, si reaksi menjadi aksi dan sebaliknya.

   Dengan adanya kenyataan ini, maka yang membentuk lingkaran setan yang disebut hukum karma sesungguhnya adalah kita sendiri, pikiran kita sendiri yang selalu siap untuk melakukan reaksi. Sebaliknya, kalau dengan kesadaran mendalam kita menghadapi peristiwa yang merugikan kita itu sebagai suatu peristiwa yang wajar, sebagai suatu kenyataan yang habis sampai di situ saja, tidaklah timbul dendam, kemarahan, kebencian, harapan atau lain macam perasaan lagi dan patahlah lingkaran setan itu! Jelas bahwa mengingat-ingat masa lalu, baik itu setahun yang lalu, kemarin atau semenit yang lalu, disambung dengan membayangkan masa depan, baik itu nanti, besok atau kelak, merupakan pembentukan lingkaran setan atau hukum karma tadi. Batin yang bebas dari masa lalu dan masa depan, akan bebas pula dari hukum karma.

   Sekali kita membiarkan diri terseret oleh hukum karma, hidup akan terombang-ambing menjadi permainannya, yang sesungguhnya adalah permainan dari nafsu-nafsu keinginan dan hasil pikiran kita sendiri. Setiap peristiwa yang ter jadi tidak bersifat senang atau susah, yang terjadi adalah suatu kenyataan sungguhpun kejadian itu sendiri tidak akan terlepas dari keadaan yang dibentuk oleh kita sendiri. Suka atau duka akan terjadinya peristiwa itu terletak dalam penanggapan kita. Siapa mengejar suka tak dapat tidak pasti berkenalan dengan duka karena suka atau duka hanya permainan dari pikiran sendiri yang menilai, membanding, memilih, membenarkan atau menya-lahkan. Kita tidak berani meninggalkan semua ini, karena kita takut untuk menjadi "bukan apa-apa", dan kita menganggap bahwa melepaskan semua suka duka hidup, berarti kita akan menjadi kosong melompong, tidak berarti apa-apa dan kita menjadi ngeri untuk kehilangan arti kita!

   Karena itu, dengan membuta kita melanjutkan semua ini, melanjutkan kehidupan seperti yang sudah-sudah, sungguhpun setiap hari kita ditimpa kesengsaraan dan menjadi permainan konflik-konflik, dari konflik batin sendiri sampai konflik antar manusia sampai ke perang-perang yang berkobar di seluruh pelosok dunia. Dan dipermainkan oleh konflik dan kesengsaraan ini kita namakan hidup! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Puteri Syanti Dewi yang dilarikan ke luar dari istana oleh Puteri Milana, akhirnya bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan atas usul jenderal yang gagah perkasa dan bijaksana ini, Puteri Syanti Dewi lalu dikawal oleh dua losin pasukan pengawal jenderal itu. Pasukan itu lalu mengawal Syanti Dewi yang menunggang kuda Jenderal Kao di tengah-tengah dan berangkatlah mereka membelokkan perjalanan ke barat untuk memulai perjalanan yang amat jauh itu ke Bhutan.

   Kepala atau komandan pasukan ini bernama Can Siok, seorang gagah berusia empat puluh tahun yang telah lama menjadi seorang di antara pengawal kepercayaan Jenderal Kao Liang, memiliki kepandaian tinggi sebagai anak murid Hoa-san-pai dan dia mengantongi surat perintah Jenderal Kao yang akan dapat dipergunakan sebagai "jimat"

   Di dalam perjalanannya menuju ke Bhutan mengantar puteri jelita itu. Pengawal Can Siok ini maklum betapa berat tugasnya mengantar puteri itu, yang dia tahu diam-diam juga mungkin dianggap buronan oleh Kaisar, dan tentu akan menarik hati orang-orang jahat di tengah perjalanan. Akan tetapi, mengandalkan ketangkasan dua losin tenaga dalam pasukannya dan mengandalkan nama Jenderal Kao Liang yang surat perintahnya dia kantongi, pengawal ini melakukan perjalanan dengan hati tenang sungguhpun dia selalu berhati-hati.

   Dua hari kemudian, mereka berhenti di sebuah dusun karena kemalaman. Dusun itu terletak di tepi Sungai Ta-cing yang mengalir di sebelah selatan dan barat kota raja Peking. Setelah melapor kepada kepala dusun setempat, kepala dusun dengan penuh kehormatan lalu memerintahkan penginapan tunggal di dusun itu untuk mengosongkan semua kamar dan memberikannya kepada rombongan ini. Dusun ini berada di dekat hutan yang menjadi markas para kaum sesat yang dipimpin oleh Ceng Ceng. Ketika rombongan ini tiba di dusun, seorang di antara anggauta Tiat-ciang-pang yang kini telah menggabung menjadi anak buah perkumpulan kaum sesat itu, cepat lari ke markasnya dan memberi laporan bahwa ada sepasukan pengawal lewat dan bermalam di dusun tepi sungai Ta-cing itu, mengantarkan seorang puteri yang menurut kabar angin adalah Puteri Bhutan yang dikabarkan melarikan diri dari istana Kaisar.

   Kabar seperti itu memang cepat sekali tersiar sehingga tidak mengherankan kalau berita itu telah terdengar di daerah itu. Kalau saja Ceng Ceng berada di tempat itu, tentu dia akan girang sekali mendengar berita ini. Akan tetapi pada waktu itu, Ceng Ceng belum kembali ke markas ini dan telah terjadi perubahan besar sekali di pusat kaum sesat daerah kota raja ini. Baru beberapa hari yang lalu, markas kaum sesat itu telah diambil-alih dan dikuasai oleh rombongan Pulau Neraka! Seperti kita ketahui, Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya, orang-orang Pulau Neraka, juga berusaha menangkap anak ular naga di Telaga Sungari dan setelah melihat bahwa mereka gagal, naga yang terluka menyelam kembali ke dalam telaga dan anak ular itu lenyap setelah yang terakhir berada di tangan Ceng Ceng, Hek-tiauw Lo-mo membawa anak buahnya mendarat.

   Mereka melakukan perjalanan cepat dengan kuda-kuda yang telah tersedia dan mereka langsung menuju ke sarang kaum sesat di selatan kota raja ini karena Hek-tiauw Lo-mo sudah tahu bahwa Ceng Ceng menjadi bengcu di sarang ini. Karena menduga bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan yang terluka itu tentu akan bersembunyi di sarang ini, maka dia telah mengejar ke sana, akan tetapi ternyata dia dan rombongannya jauh lebih cepat tiba di tempat itu daripada Ceng Ceng dan Topeng Setan yang melakukan perjalanan lambat berhubung dengan lukanya Topeng Setan. Setelah tiba di sarang itu, dengan mudah saja Ketua Pulau Neraka ini dapat menguasai para kaum sesat tanpa banyak menimbulkan korban.

   Kaum sesat di tempat itu sudah terpengaruh dan tunduk begitu mendengar bahwa kakek raksasa mengerikan itu adalah Ketua Pulau Neraka, apalagi menyaksikan kelihaian anak buahnya. Setelah mendengar bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan belum tiba di situ, Hek-tiauw Lo-mo lalu mengatur untuk menyambut kedatangan dua orang itu yang diharapkan masih menyimpan anak ular naga Telaga Sungari. Akan tetapi, malam hari itu Hek-tiauw Lo-mo mendengar pelaporan bahwa rombongan pengawal sedang mengiringkan Puteri Bhutan bermalam di dalam dusun yang hanya dua puluh li jauhnya dari sarang itu. Mendengar pelaporan ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk-angguk dan cepat dia memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk merampas dan menculik Puteri Bhutan itu.

   Dia pernah mendengar bahwa gadis liar Ceng Ceng adalah saudara angkat Puteri Bhutan yang menimbulkan kegemparan itu, maka kini mendengar puteri itu lewat di dekat tempat itu, tentu saja dia tidak mau membuang kesempatan baik ini untuk menawan Sang Puteri, karena puteri ini dapat dia pergunakan sebagai sandera untuk memaksa Ceng Ceng menyerahkan anak naga kepadanya! Dan selain anak naga yang amat diinginkannya itu, juga dia harus memaksa Topeng Setan mengembalikan kitab Istana Gurun Pasir. Kitab itu yang kini telah lengkap karena tadinya bagiannya dan bagian yang dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam, baru-baru ini terjatuh ke tangan kakek Lauw Ki Sun, pelayan dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir dan kakek itu setelah terluka parah dilarikan oleh Topeng Setan,

   Maka menurut dugaannya, pasti kitab itu kini berada di tangan Topeng Setan! Dengan adanya anak naga dan kitab Istana Gurun Pasir itu di tangan Ceng Ceng dan Topeng Setan, Hek-tiauw Lo-mo akan berusaha sekuat tenaga dan mau melakukan apapun juga untuk menangkap dan memaksa mereka menyerahkan dua buah benda keramat itu. Baru saja anak buah Pulau Neraka yang diutus oleh Hek-tiauw Lo-mo berangkat untuk menangkap Puteri Bhutan yang hanya dikawal oleh dua losin perajurit itu, tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo mendengar suara kucing. Lirih saja suara ini yang datangnya dari atas genteng dan yang bagi orang lain tentu akan dianggap suara kucing aseli, akan tetapi kakek raksasa ini sudah hafal akan suara su-moinya, maka sambil tersenyum lebar dia menggerakkan tangannya seperti orang tidak sabar dan berseru,

   "Sudahlah, Sumoi, kalau sudah datang turun saja, kenapa mesti banyak lagak!"

   "Suheng....!"

   Dari atas genteng melayang sesosok tubuh yang gerakannya ringan sekali dan tahu-tahu di depan kakek raksasa mengerikan itu berdiri Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui yang cantik jelita dan kedua pipinya kemerahan, wajahnya cemerlang tertimpa sinar lampu yang terang. Sejenak Hek-tiauw Lo-mo memandang wajah sumoinya itu dengan kagum, akan tetapi tiba-tiba dia meloncat bangun dari kursinya dan memandang wajah sumoinya lebih teliti lagi.

   "Eh, engkau sudah sembuh....!"

   Lauw Hong Kui mencibirkan bibirnya yang merah basah itu kepada suhengnya, sikapnya manja dan mengejek.

   "Suheng, setelah engkau kejam meninggalkan aku terancam bahaya maut dan darahku keracunan, apa kau kira aku tidak mampu mencari obatnya sendiri?"

   "Salahmu sendiri!"

   Hek-tiauw Lo-mo mengomel.

   "Engkau mencuri ilmu dari kitabku...."

   "Huh, kitab itu pun kitab curian,"

   Lauw Hong Kui mencela.

   "Jangan kurang ajar kau! Setelah kau mencuri ilmu dari kitabku sampai darahmu keracunan, apa yang kau harapkan dariku? Hal itu kuanggap sebagai hukuman bagimu, akan tetapi racun itu pun tidak akan membunuhmu, maka aku diam saja."

   Hek-tiauw Lo-mo memandang lebih teliti wajah sumoinya yang berseri-seri dan kemerahan, sehat sekali.

   "Sudahlah, Sumoi, sekarang katakan bagaimana engkau bisa memperoleh obat yang mencuci bersih darahmu?"

   Dengan sikap angkuh dan lagak bangga Lauw Hong Kui bertolak pinggang dan berkata.

   "Suheng tidak berhasil di Telaga Sungari, bukan? Aku sudah melihat sendiri betapa Suheng gagal, bahkan hampir celaka oleh Nenek Durganini yang seperti iblis itu!"

   "Eh, eh.... kau juga berada di sana?"

   "Tentu saja! Dan berhasil!"

   "Berhasil? Kau mau bilang bahwa anak naga itu...."

   Tiba-tiba tangan Hek-tiauw Lo-mo itu menyambar dan sumoinya tidak mampu lagi mengelak karena pergelangan tangannya sudah dipegang oleh kakek raksasa itu. Jari-jari tangan kakek itu lalu menotok sana-sini membuat sumoinya tak dapat bergerak, lalu tangannya meraba-raba dari ubun-ubun kepala sampai punggung dan ulu hati di antara dua tonjolan buah dada wanita itu.

   "Hemm, kau sudah sembuh sama sekali akan tetapi kalau kau makan semua anak naga itu tentu hawanya terasa olehku. Kau bohong, kau tidak makan semua anak naga dan entah obat apa yang telah menyembuhkan keracunan darahmu,"

   Kata kakek itu dan dia membebaskan kembali sumoinya. Setelah dapat bergerak, Mauw Siauw Mo-li memandang suhengnya dan dengan mata berapi dia berkata penuh kemarahan,

   "Suheng, kalau lain kali kau memperlakukan aku seperti tadi, aku akan membunuhmu!"

   "Heh-heh, kau harus belajar seratus tahun lagi untuk dapat melakukan itu, anak manis. Sekarang ceritakan saja obat apa yang telah menyembuhkanmu?"

   "Apalagi kalau bukan anak naga itu? Akan tetapi kalau aku mendapatkan semua dan telah makan seluruhnya, apa kau kira aku demikian tolol untuk muncul di depanmu? Tentu engkau akan merampas khasiatnya dengan cara makan dagingku dan minum darahku."

   "Ahhhh! Masa aku melakukan hal itu? Engkau adalah sumoiku."

   "Huh, seperti aku tidak mengenalmu saja, Suheng. Akan tetapi karena aku hanya memperoleh ekor anak naga itu dan telah kumakan habis, andaikata engkau makan dagingku dan minum seluruh darahku pun tidak ada manfaatnya bagimu. Suheng, sisa anak naga itu, sebagian besarnya karena aku hanya memperoleh ekor sejengkal, telah dilarikan oleh dara liar bersama Si Topeng Setan yang lihai."

   "Aku tahu.... hemmm....!"

   Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan tangan kirinya ke arah genteng.

   "Suheng, jangan....!"

   Lauw Hong Kui mencegah akan tetapi terlambat, tampak sinar berkelebat dan sebatang golok terbang yang panjangnya hanya satu kaki meluncur ke arah bayangan seorang pemuda yang berdiri di atas genteng. Akan tetapi dengan mudah saja pemuda itu mengulur tangan kiri dan menangkap hui-to (golok terbang) itu pada gagangnya, lalu dia melayang turun dan melemparkan golok kecil itu kembali ke arah Hek-tiauw Lo-mo sambil berkata,

   "Lo-mo, beginikah kau menyambut tamu?"

   "Hehhh!"

   Hek-tiauw Lo-mo mendengus dan tangannya bergerak, jari tangannya menampar hui-to yang menyambar ke arah dadanya.

   "Krekkk!"

   Hui-to itu patah-patah menjadi tiga potong dan semua potongannya, berikut gagangnya, menancap di atas lantai. Hek-tiauw Lo-mo memandang wajah pemuda yang bukan lain adalah Suma Kian Bu itu. Dia menjadi terkejut.

   "Ah, kiranya engkau, keparat!"

   Bentaknya dan dia sudah siap untuk menyerang.

   "Suheng, jangan! Dia adalah sahabatku, sahabatku yang sangat baik!"

   Lauw Hong Kui meloncat di depan suhengnya, menghadang dan melindungi Kian Bu.

   "Lo-mo, kalau tidak melihat muka sumoimu dan tidak menerima undangannya, apakah kau kira aku sudi datang mengunjungimu sebagai tamu?"

   Kian Bu juga berkata dengan nada suara mengejek.

   "Sumoi, apa artinya ini? Tahukah kau siapa pemuda ini?"

   "Dia adalah Suma Kian Bu yang telah membantuku mencari anak naga."

   "Dia adalah putera dari Majikan Pulau Es, goblok! Dan kau berkawan dengan orang yang menjadi musuhku ini?"

   "Kalau dia benar putera Pendekar Super Sakti, aku malah merasa bangga dapat menjadi.... eh, sahabat baik."

   "Minggirlah, aku akan membunuhnya!"

   Hek-tiauw Lo-mo berseru marah.

   "Enak saja engkau bicara, Lo-mo. Dahulu di waktu aku masih kecil pun engkau tidak mampu membunuhku, apalagi sekarang,"

   Jawab Kian Bu, sedikit pun tidak menjadi takut.

   "Suheng, harap jangan kau mengumbar keganasanmu di mana-mana tanpa perhitungan!"

   Lauw Hong Kui mencela suhengnya.

   "Lupakah Suheng bahwa Suci telah tewas dan hanya tinggal kita dua saudara? Aku akan membantu dia kalau Suheng menyerangnya dan kita akan saling gempur mati-matian. Begitukah yang Suheng kehendaki? Ingat, Suheng melihat sendiri betapa banyak orang-orang berilmu telah bermunculan di Telaga Sungari, bukankah sebaiknya kalau kita bersatu sehingga kedudukan Suheng lebih kuat setelah Suci meninggal dunia?"

   Hek-tiauw Lo-mo bukanlah seorang bodoh. Dia meninggalkan Pulau Neraka karena tidak betah tinggal di tempat yang amat berbahaya itu. Sumoinya yang pertama telah tewas dan sumoinya yang masih muda ini juga amat lihai, terutama sekali senjata-senjata rahasianya yang amat berbahaya, maka dapat dijadikan sekutu yang boleh diandalkan, apalagi mengingat betapa akhir-akhir ini, ketika menghadapi orang-orang Lembah Bunga Hitam, sumoinya ini juga langsung turun tangan membantunya. Dia menarik napas panjang dan mengendurkan lagi kedua tangannya.

   "Sudahlah, selama dia menjadi sahabatmu, aku tidak akan mengganggunya."

   Dan Hek-tiauw Lo-mo dengan wajah bersungut-sungut lalu memasuki kamarnya. Kian Bu mengerutkan alisnya.

   "Enci, aku tidak suka tinggal di tempat suhengmu ini."

   "Eh, Kian Bu, kenapa engkau pun meniru watak Suheng yang pemarah?"

   Dengan sikap manja Hong Kui menggandeng lengan pemuda itu.

   "Ingat, kita ke sini untuk menanti munculnya Topeng Setan dan dara liar itu, siapa tahu nasib kita baik dan anak naga itu dapat terjatuh ke tangan kita. Jangan pedulikan dia, anggap saja engkau menjadi tamu di rumahku...."

   Dengan bujuk rayu dan kegenitannya, Lauw Kui Hong akhirnya dapat mengajak Kian Bu memasuki sebuah kamar tamu yang lengkap dan mewah. Kian Bu juga tidak membantah lagi, akan tetapi kalau saja Hong Kui tahu apa yang terkandung di dalam hati kekasihnya ini, tentu dia tidak akan segembira itu melayani dan menghibur hati kekasihnya dengan segala kepandaiannya bermain cinta.

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 51 Sepasang Pedang Iblis Eps 24 Sepasang Pedang Iblis Eps 19

Cari Blog Ini