Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 50


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 50



"Ang Tek Hoat, aku pun bersumpah tidak akan mengganggu Puteri Bhutan ini, akan tetapi engkau harus membantuku dengan sesuatu. Kalau engkau tidak mau melakukan itu dan gagal, terpaksa aku akan membunuhnya dan kami sanggup menghadapi ancaman kosongmu itu!"

   "Tambolon, tak perlu banyak cakap. Katakan apa yang kau kehendaki?"

   "Aku ingin agar engkau pergi ke dusun Nam-lim dan menghadapkan Nona Lu Ceng ke sini. Atau pendeknya, aku ingin menukar puteri ini dengan Nona Lu Ceng."

   "Tek Hoat.... jangan kau celakakan Lu Ceng....!"

   Tiba-tiba Syanti Dewi yang berdiri dengan leher tertempel pedang dan mukanya pucat, berseru.

   "Biar mati aku tidak akan mencelaka-kan adikku itu!"

   Tek Hoat memandang Tambolon dengan sinar mata penuh selidik.

   "Tambolon, mengapa engkau menyuruh aku untuk urusan itu? Engkau dengan begini banyak pembantumu, takut untuk melakukan penangkapan atas diri Nona Lu Ceng maka engkau menyuruh aku?"

   "Ha-ha-ha, jangan menduga yang bukan-bukan, orang muda. Engkau adalah seorang di antara pembantu Lu-bengcu, bukan? Engkau lebih mengenal keadaan di sana dan engkau tentu akan lebih mudah untuk membawa dia ke sini. Sudahlah, kau lakukan itu atau terpaksa aku akan membunuh puteri ini."

   "Mengapa engkau menghendaki dia?"

   "Karena dia telah berhasil memperoleh anak naga Telaga Sungari."

   Diam-diam Tek Hoat terkejut. Dia pun mendengar tentang anak naga itu akan tetapi dia sendiri tidak mempedulikan binatang yang dianggap keramat dan merupakan obat yang amat luar biasa itu.

   "Nona Lu Ceng dan Topeng Setan telah kembali ke Nam-lim dan mereka terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya."

   "Ahhh....?"

   Tek Hoat terkejut.

   "Karena itu, berhati-hatilah dan jangan sampai engkau gagal menyeret Nona Lu ke sini kalau kau ingin melihat puteri ini selamat."

   "Baik, aku akan lakukan itu. Dan sekali lagi ingat, jangan engkau mengganggu selembar rambut pun dari nona ini."

   Setelah berkata demikian, Tek Hoat membalikkan tubuhnya pergi dari situ.

   "Tek Hoat...., jangan kau penuhi permintaan mereka. Jangan kau ganggu adikku Lu Ceng!"

   Syanti Dewi masih berseru marah. Tek Hoat membalik dan menjura.

   "Harap paduka tenang saja."

   Kemudian sekali berkelebat, pemuda itu sudah lenyap di balik pohon-pohon di hutan itu. Demikianlah, malam hari itu Tek Hoat berhasil menyelundup ke dusun Nam-lim yang tentu saja dikenalnya dengan baik dan dia berhasil memasuki kamar Suma Kian Bu yang gelisah tak dapat tidur memikirkan keadaan Ceng Ceng yang menjadi tawanan itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya hati Kian Bu melihat munculnya Tek Hoat di tempat itu. Setelah mereka berdiri berhadapan di dalam kamar, Tek Hoat sejenak menatap wajah Kian Bu dengan tajam, kemudian dia berdiri.

   "Apakah dunia telah terbalik? Tidak salahkah penglihatanku bahwa putera Pendekar Super Sakti kini menjadi sekutu Hek-tiauw Lo-mo?"

   Wajah Kian Bu menjadi merah bukan main.

   "Tek Hoat, jangan engkau mengeluarkan ucapan yang bukan-bukan! Aku di sini menjadi tamu, bukan sekutu!"

   "Bagus! Akan tetapi mengapa engkau enak-enak saja melihat Nona Lu Ceng dijadikan tawanan olehnya?"

   Jantung Kian Bu berdebar penuh rasa malu dan ketegangan. Untung bahwa pemuda aneh ini agaknya belum tahu akan hubungannya dengan Hong Kui, kalau tahu, dia akan merasa makin canggung dan malu lagi.

   "Enak saja kau bicara, apa kau kira aku diam-diam tidak memikirkan hal itu? Akan tetapi mereka itu kuat sekali, aku tidak berani bertindak sembrono dan mengalami kegagalan."

   "Aku datang untuk menyelamatkan Nona Lu Ceng. Dapatkah kau membantuku?"

   "Dengan adanya engkau, tentu keadaan kita lebih kuat. Mari kita serbu dan...."

   "Tidak begitu maksudku, Kian Bu. Aku hanya minta bantuanmu. Di mana Ceng Ceng ditahan?"

   "Di dalam kamar.... Mauw Siauw Mo-li, di ujung lorong belakang. Topeng Setan dimasukkan ke gudang belakang...."

   "Aku tidak peduli dengan Topeng Setan,"

   Kata Tek Hoat.

   "Sekarang baiknya engkau mengacau dengan api. Bakarlah bagian depan bangunan untuk memancing mereka keluar, dan aku akan menyelinap ke belakang dan membebaskan Nona Lu Ceng."

   Kian Bu mengangguk dan setelah menerima bahan pembuat api dari Tek Hoat yang memang telah mempersiapkannya sebelumnya, dia lalu mengikuti Tek Hoat keluar dari kamar itu.

   Setelah memberi isyarat di mana letaknya kamar Mauw Siauw Mo-li, mereka lalu berpisah dan Kian Bu cepat menuju ke depan dan memilih tempat yang baik untuk dibakar. Dia maklum bahwa perbuatannya ini tentu akan membuat dia dibenci oleh Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi dia tidak peduli. Dia tidak mencinta wanita cantik itu, hanya menikmati pergaulan mereka, memuaskan nafsu belaka. Memang dia sudah gelisah dan mencari akal bagaimana dapat menyelamatkan Ceng Ceng dan kemunculan Tek Hoat memang amat kebetulan. Tak lama kemudian, di malam yang sunyi itu, kegelapan di dusun yang menjadi sarang bekas perkumpulan Tiat-ciang-pang dipecahkan oleh sinar api yang bernyala tinggi dan kesunyian dipecahkan oleh teriakan-teriakan banyak orang,

   "Api....! Api....! Kebakaran....!"

   Seketika tempat itu menjadi geger. Para anggauta Pulau Neraka memimpin orang-orang memadamkan api dan Hek-tiauw Lo-mo sendiri dengan kaget dan marah mendatangi tempat kebakaran. Tak lama kemudian muncul Mauw Siauw Mo-li dan Suma Kian Bu. Wanita ini tadi masih menjaga Ceng Ceng di dalam kamarnya. Ketika Suma Kian Bu datang mengetuk pintunya dan mengajaknya keluar untuk melihat kebakaran, Lauw Hong Kui yang tadi menotok Ceng Ceng, lebih dulu mengikat kaki tangan dara itu, baru dia pergi bersama Kian Bu keluar. Ketika mereka tiba di luar, Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepada Kian Bu dan sumoinya, lalu membentak marah,

   "Sumoi, kenapa kau tinggalkan dia? Celaka, ini tentu perbuatan musuh yang menggunakan siasat memancing harimau keluar sarang!"

   Mendengar ini, Hong Kui terkejut dan bersama suhengnya dia berlari kembali menuju ke kamarnya. Saking kaget dan khawatirnya dia sampai tidak melihat bahwa Kian Bu tidak ikut kembali ke dalam.

   "Brakkk!"

   Hek-tiauw Lo-mo menendang pecah daun pintu kamar itu dan keduanya berteriak marah dan kaget melihat pembaringan di mana tadi Ceng Ceng rebah terbelenggu telah kosong.

   "Celaka....!"

   Lauw Hong Kui berteriak.

   "Dia sudah kubelenggu!"

   "Kau tolol....!"

   Hek-tiauw Lo-mo berseru dan meloncat keluar lagi, mendorong sumoinya yang menghalangi jalan. Dia kembali ke tempat kebakaran dan mencari-cari, akan tetapi tidak melihat lagi bayangan Suma Kian Bu. Sambil memaki-maki penuh kemarahan, Hek-tiauw Lo-mo cepat berlari menuju ke tempat tahanan Topeng Setan dan dia masih melihat para penjaganya lengkap di situ karena mereka tidak berani meninggalkan tawanan penting ini. Dan Topeng Setan sendiri masih duduk bersila dalam keadaan terbelenggu di dalam kamar tahanan.

   Kita tinggalkan dulu Hek-tiauw Lomo yang marah-marah melihat hilangnya Ceng Ceng dan mari kita ikuti pengalaman Ceng Ceng. Tadi ketika dia melihat Kian Bu muncul di depan kamar kemudian dia yang sudah tertotok itu dibelenggu oleh Mauw Siauw Mo-li, melihat betapa mereka berdua bicara dengan sikap mesra sekali, hati Ceng Ceng mendongkol bukan main. Tak disangkanya bahwa putera Pendekar Super Sakti atau masih terhitung "paman"

   Tirinya itu, kini menjadi sahabat baik dari Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya. Ketika dulu dia melihat Suma Kian Bu berdua dengan Lauw Hong Kui di Telaga Sungari, dia masih belum menduga jelek dan mengira bahwa mereka itu secara kebetulan saja bertemu di telaga karena keduanya sama memperebutkan anak naga.

   Akan tetapi sekarang, dia menjadi tawanan Hek-tiauw Lo-mo dan Kian Bu berada di situ sebagai sahabat Mauw Siauw Mo-li! Hampir saja Ceng Ceng tidak dapat mempercayai pandangan matanya sendiri. Sungguh tidak mungkin kalau pemuda perkasa itu, yang dia tahu merupakan keturunan pahlawan dan pendekar besar, yang bersama dengan Gak Bun Beng dan Suma Kian Lee telah ikut berjuang membasmi pemberontak, kini tiba-tiba menjadi sahabat Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li, bekas kaki tangan pemberontak dan orang-orang yang pantas digolongkan dengan bangsa iblis jahat! Teringat dia akan teriakan Suma Kian Bu ketika dia memperebutkan anak naga dengan Mauw Siauw Mo-li di atas tiang layar patah itu. Pemuda itu berteriak,

   "Enci, biarkan dia mendapatkan ular itu....!"

   Teriakan ini ditujukan kepada Mauw Siauw Mo-li yang disebut "enci"

   Oleh Kian Bu. Dan teriakan itu saja sudah membuktikan bahwa Kian Bu berpihak kepadanya, minta kepada iblis betina itu agar menyerahkan anak naga kepadanya. Akan tetapi Mauw Siauw Mo-li tidak mau sehingga akhirnya anak ular naga itu putus ekornya. Akan tetapi mengapa sekarang Kian Bu seolah-olah diam saja melihat dia ditawan? Dan mengapa kelihatannya antara Kian Bu dan iblis betina itu begitu mesra? Iblis betina itu cantik sekali memang cantik, menarik dan genit penuh daya pikat. Diam-diam Ceng Ceng mengeluh. Mungkinkah "paman"

   Tirinya itu yang masih muda belia terjebak dalam pikatan si cantik genit?

   Ceng Ceng gelisah bukan main, gelisah memikirkan keselamatan Topeng Setan. Pamannya yang bertopeng buruk itu, yang telah berkorban sedemikian rupa untuk dia, sekarang kembali berada dalam ancaman maut. Ceng Ceng memejamkan matanya mengusir kengerian hatinya yang penuh rasa iba kepada Topeng Setan. Luka di pundaknya karena lengannya buntung itu masih belum sembuh dan sekarang harus menjadi tawanan orang-orang sejahat iblis. Sudah matikah Topeng Setan? Tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar membasahi pipinya. Topeng Setan mati? Dunia tak ada artinya lagi baginya. Karena kalau orang itu mati dia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi dan dia tidak akan dapat menahan derita hidup akan bosan dengan hidup ini.

   Topeng Setan merupakan harapan satu-satunya, seolah-olah merupakan pegangan terakhir baginya dalam kehidupannya yang penuh derita itu. Dia sejak dahulu hanyut dalam gelombang kesengsaraan dan baru sekarang dia mendapat pegangan yang dapat menahan kehanyutannya, pegangan seorang yang dapat dipercayanya sepenuhnya, yang dia yakin amat mencintanya, mungkin menganggapnya sebagai anak sendiri. Kalau dia benar sudah mati, dia pun enggan menanggung derita hidup sendirian saja! Tiba-tiba jendela kamar itu terbuka dari luar, dan sesosok bayangan yang cepat dan ringan sekali melayang masuk. Ang Tek Hoat! Ceng Ceng memandang dengan jantung berdebar ketika melihat betapa jari-jari tangan yang mengandung kekuatan sin-kang hebat itu mematah-matahkan belenggu kaki tangannya, kemudian dia ditotok bebas.

   "Tek Hoat...."

   "Sssssttt, mereka sedang sibuk dengan api, mari kita pergi!"

   Tanpa menanti jawaban dia menyambar lengan Ceng Ceng dan mengajaknya melompat lari dan menyelinap di antara bayangan rumah-rumah di situ lalu langsung melarikan diri secepat mungkin keluar dari dusun Nam-lim.

   "Tek Hoat, berhenti dulu!"

   Tiba-tiba Ceng Ceng berkata dan memegang lengan pemuda itu. Tek Hoat berdiri dan memandang wajah gadis itu di bawah sinar bulan yang bersinar terang di malam itu.

   "Kita harus kembali!"

   Kata Ceng Ceng dengan suara tetap.

   "Ehh....?"

   Tek Hoat menjadi terheran sekali.

   "Susah payah aku membebaskan engkau dan melarikan diri, sekarang engkau hendak kembali ke sana? Apa artinya ini?"

   "Aku tidak boleh melarikan diri sendiri saja sedangkan Topeng Setan masih tertawan di sana. Kita harus menolong dan membebaskannya."

   Tek Hoat yang tidak tahu menahu akan segala pengalaman Ceng Ceng bersama Topeng Setan, tidak tahu betapa Topeng Setan telah kehilangan sebelah lengannya ketika membela Ceng Ceng, diam-diam menjadi kagum sekali, mengira bahwa gadis ini mempunyai rasa setia kawan yang amat besar.

   "Ceng Ceng, kau kira mudah saja aku membebaskanmu tadi? Kalau tidak ada bantuan Suma Kian Bu yang membakar ruangan depan, kiranya belum tentu aku dapat membebaskanmu semudah itu dari tangan orang macam Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya serta kaki tangannya, orang-orang Pulau Neraka itu. Dan sekarang kalau kita kembali ke sana berarti kita akan memasuki guha naga yang amat berbahaya. Apalagi mereka tentu telah bersiap-siap...."

   "Tidak peduli!"

   Ceng Ceng membentak dan mencari-cari saputangan dari balik bajunya. Saputangan milik Tek Hoat yang selama ini selalu dibawanya karena benda itu merupakan "jimat"

   Baginya kalau berhadapan dengan pemuda ini.

   "Ang Tek Hoat, kau berani membantah perintahku? Kau.... kau...."

   Dia bingung karena saputangan itu tidak berada lagi di kantongnya dan mendengar pemuda itu tertawa, dia memandang dan.... ternyata saputangannya itu telah berada di tangan pemuda itu! Agaknya ketika menolongnya tadi, Tek Hoat tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk merampas kembali saputangannya!

   "Ceng Ceng, kau tidak lagi dapat memaksaku melakukan sesuatu."

   "Keparat, kau jahat!"

   Ceng Ceng membentak.

   "Kalau begitu sudahlah, memang kau orang jahat dan tidak patut menjadi temanku. Biarlah aku akan menolongnya sendiri!"

   Ceng Ceng hendak membalikkan tubuhnya, akan tetapi Tek Hoat cepat menahannya.

   "Nanti dulu....! Ceng Ceng, apa kau sudah melupakan kakak angkatmu, Puteri Bhutan?"

   "Syanti Dewi....? Apa maksudmu?"

   Ceng Ceng terkejut dan memandang tajam.

   "Dia ditawan oleh Raja Tambolon. Aku hendak menolongnya akan tetapi Tambolon menodong leher puteri itu dan mengatakan bahwa dia mau membebaskan Syanti Dewi asal engkau mau menyerahkan diri kepadanya sebagai tukarnya."

   "Lalu.... lalu bagaimana maksudmu? Mengapa dia hendak menangkap aku?"

   "Hemm.... aku telah mendengar bahwa engkau berhasil memperoleh anak naga, maka tentu dia hendak minta mustika itu darimu. Maka, untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi, kita harus menggunakan akal. Engkau pura-pura menjadi tawananku dan kutukarkan dengan Syanti Dewi, setelah puteri yang lemah itu berada padaku, maka aku dapat membantumu untuk meloloskan dia dari Tambolon."

   Ceng Ceng menjadi girang sekali bahwa dia akan dapat menolong kakak angkatnya dan akan dapat bertemu dengan puteri yang telah lama sekali berpisah darinya itu, akan tetapi dia menjadi bimbang karena teringat kepada Topeng Setan yang masih menjadi tawanan Hek-tiauw Lo-mo.

   "Akan tetapi.... bagaimana dengan Paman Topeng Setan....? Kita harus menyelamatkan dia lebih dulu...."

   "Jangan khawatir, Ceng Ceng. Setelah membantuku membakar ruangan depan memancing perhatian musuh, dia tentu akan menolong Topeng Setan. Pula, aku yakin bahwa Hek-tiauw Lo-mo tidak akan membunuh Topeng Setan sebelum dapat menangkapmu kembali. Engkaulah yang dibutuhkan olehnya, bukan dia. Tentu dia dapat dipergunakan sebagai sandera. Marilah, aku khawatir kita akan terlambat menolong Syanti Dewi!"

   Mendengar ini, terpaksa Ceng Ceng mengikuti pemuda itu menuju ke dusun di tepi Sungai Ta-cing di mana Syanti Dewi menjadi tawanan Raja Tambolon. Untung bahwa puteri ini dianggap orang penting sekali setelah gerombolan ini bertemu dan berjanji dengan Tek Hoat yang akan ditukar dengan Ceng Ceng sehingga Syanti Dewi memperoleh perlakuan yang baik dan sopan, karena kalau tidak, sukar dibayangkan bagaimana nasib puteri jelita ini di tangan seorang biadab seperti Tambolon! Hari masih pagi sekali dan penduduk dusun itu masih belum bangun ketika Tek Hoat dan Ceng Ceng tiba di dusun itu.

   "Engkau harus pura-pura menjadi tawananku, biar kutotok jalan darahmu. Kalau hanya pura-pura biasa, tentu tidak akan dapat mengelabui Tambolon dan pemban-tu-pembantunya yang lihai,"

   Kata Tek Hoat. Ceng Ceng mengangguk dan Tek Hoat lalu menotok pundak dara itu sehingga menjadi lemas dan dipanggulnya tubuh Ceng Ceng, dibawa berloncatan ke atas genteng menuju ke tempat Tambolon dan gerombolannya bermalam.

   "Tambolon, aku sudah berhasil menangkap Nona Lu Ceng. Hayo kau keluarkan Puteri Syanti Dewi!"

   Tek Hoat ber-teriak ketika dia tiba di depan rumah yang ditinggali gerombolan itu. Tambolon dan teman-temannya memang sudah siap menanti kedatangan pemuda ini sejak Tek Hoat pergi dengan janjinya untuk menangkap Ceng Ceng. Tambolon sendiri yang keluar, diantar oleh dua orang pengawalnya, mendorong Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak ketika mendengar nama Lu Ceng disebut-sebut. Ketika dia melihat Ang Tek Hoat memondong tubuh Ceng Ceng yang dikenalnya karena di depan rumah itu terdapat penerangan lampu yang cukup terang sehingga dia dapat melihat wajah Ceng Ceng, dia berteriak kaget dan girang,

   "Adik Candra....!"

   Akan tetapi Tambolon menangkap lengannya ketika puteri ini hendak lari menghampiri. Ceng Ceng sendiri merasa girang bukan main dan tak terasa lagi dua butir air mata menetes turun ketika dia melihat puteri itu bercucuran air mata memandang kepadanya. Dia mulai merasa curiga karena Tek Hoat belum juga membebaskan totokannya.

   "Tambolon, kau lemparkan Sang Puteri kepadaku dan aku pun akan melemparkan Nona Lu Ceng kepadamu!"

   Tek Hoat berseru karena dianggapnya bahwa cara inilah yang paling baik dan aman agar dia tidak dicurigai raja liar itu.

   "Hemm, pemuda sombong. Kau kira aku ini orang macam apa? Seorang raja sekali mengeluarkan janji, tidak akan di-telannya kembali. Nah, terimalah!"

   Tambolon yang tadi memegang lengan Syanti Dewi, kini mengangkat puteri itu dan melemparkannya ke arah Tek Hoat. Pemuda ini pun melemparkan tubuh Ceng Ceng yang masih lemas tertotok itu ke arah Tambolon.

   "Adik Candra....!"

   "Enci Syanti....!"

   Dua orang gadis itu hanya mampu memanggil nama masing-masing ketika mereka terlempar saling berpapasan. Tek Hoat cepat menyambar tubuh Syanti Dewi dan didukungnya lalu dibawanya lari secepat mungkin dari tempat berbahaya itu.

   "Ang Tek Hoat.... kau harus menolong Adik Candra...."

   Syanti Dewi berkata ketika melihat betapa dia dilarikan secepat itu meninggalkan Ceng Ceng.

   "Harus satu demi satu, Sang Puteri. Menyelamatkan kalian berdua sekaligus tidak mungkin,"

   Kata Tek Hoat yang tentu saja membohong karena baginya, yang terpenting adalah menyelamatkan puteri yang dicintanya ini. Dia juga suka sekali kepada Ceng Ceng dan tidak pernah dia mempunyai pikiran jahat terhadap gadis itu, akan tetapi sekali ini dia dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu Ceng Ceng atau Syanti Dewi dan tentu saja dia memberatkan Syanti Dewi yang dicintanya sepenuh hati itu.

   "Habis, bagaimana dengan Candra Dewi....?"

   Syanti Dewi membantah.

   "Jangan khawatir, Sang Puteri. Setelah saya menyelamatkan paduka, tentu saya akan berusaha untuk menolongnya."

   Agak lega rasa hati Syanti Dewi, sungguhpun dia masih mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu di tangan raja liar Tambolon yang dia tahu amat jahat dan kejam.

   "Ke mana aku hendak kau bawa....?"

   Kembali dia bertanya ketika melihat pemuda itu melakukan perjalanan cepat sekali, menuju ke utara.

   "Ke kota raja,"

   Jawab Tek Hoat pendek. Tentu saja Syanti Dewi terkejut bukan main. Dia baru saja dilarikan oleh Puteri Milana dari istana kaisar. Dia adalah seorang pelarian. Bagaimana kini pemuda ini hendak membawanya kembali ke kota raja?

   "Tek Hoat....! Apa.... apa yang hendak kau lakukan ini....?"

   Melihat puteri itu memandangnya dengan pandang mata penuh kecurigaan, ketakutan dan ketidakpercayaan, Tek Hoat yang menghentikan larinya itu lalu menurunkannya dan dia menarik napas panjang.

   "Puteri Syanti Dewi, saya memang hanya seorang pemuda bodoh, kasar dan jahat akan tetapi.... harap paduka tenangkan hati karena saya.... saya yang sesungguhnya seorang jahat ini, pada saat ini sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap paduka. Saya ingin membawa paduka berlindung pada Perdana Menteri Su yang saya tahu adalah satu-satunya orang yang dapat dipercaya di kota raja, di samping Jenderal Kao Liang dan Puteri Milana. Akan tetapi, Jenderal Kao Liang sibuk dengan urusan di luar kota raja, Puteri Milana telah pergi meninggalkan kota raja, satu-satunya jalan hanyalah berlindung kepada Perdana Menteri Su. Engkau akan aman di sana, Puteri. Setelah itu, barulah saya akan pergi menolong Ceng Ceng...."

   Melihat sikap pemuda itu, melihat pandang matanya yang penuh kedukaan, jelas terbayang pada wajah yang tampan itu betapa sakit rasa hati pemuda itu karena dia telah mencurigainya. Syanti Dewi lalu menghela napas.

   "Aku yakin bahwa engkau adalah seorang yang amat gagah perkasa dan dapat kupercaya sepenuhnya, Ang Tek Hoat. Baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan ke kota raja, dan aku menyerahkan semua nasibku ke tanganmu, juga aku mengharapkan bantuanmu untuk keselamatan adik Candra Dewi."

   Tek Hoat menjadi lega dan girang hatinya.

   Tidak ada hal yang lebih menyakitkan hatinya daripada kehilangan kepercayaan puteri yang dicintanya ini. Dia tahu bahwa dia sama sekali tidak berharga bagi puteri jelita ini, akan tetapi setidaknya kalau dia sudah dapat melakukan sesuatu bagi puteri ini, apalagi menyelamatkan puteri ini dari bencana, hatinya sudah akan merasa bahagia. Akan tetapi kalau dia teringat betapa puteri ini mencinta Suma Kian Bu, dan hal itu memang sudah sewajarnya mengingat bahwa Suma Kian Bu adalah putera Pendekar Super Sakti, hatinya seperti ditusuk rasanya. Dan dia akan menegur pemuda itu karena dia melihat pemuda itu bermain gila dengan seorang busuk seperti Mauw Siauw Mo-li, dan kalau perlu dia akan menggunakan kekerasan untuk memperingatkan pemuda ltu agar menjadi orang berharga untuk dicintai seorang seperti Syanti Dewi!

   "Agar dapat cepat, terpaksa saya harus memondong paduka...."

   "Terserah kepadamu, Tek Hoat. Aku percaya sepenuhnya kepadamu,"

   Jawab Syanti Dewi dan Tek Hoat lalu memondong puteri itu dengan hati-hati dan kembali melanjutkan perjalanan sambil berlari cepat. Bukan main rasa bangga dan bahagia hatinya. Puteri yang dicintanya itu telah dipondongnya! Gemetar rasa seluruh tubuhnya ketika dadanya dan tangannya merasakan kehangatan dan kelembutan tubuh yang dipondongnya, hidungnya mencium keharuman yang membuat semangatnya melayang. Dia merasa terharu sekali! Keharuan pertama kali yang pernah dirasakan oleh pemuda yang digembleng oleh keadaan dan menjadi seorang yang keras ini. Dengan mudah Tek Hoat dapat melompati pagar tembok di sekeliling istana Perdana Menteri Su setelah dia tiba di kota raja pada malam hari berikutnya. Ketika dia tiba di ruangan dalam, dua orang pengawal membentaknya dan menghadangnya dengan pedang di tangan.

   "Aku bukan orang jahat...., kalian tentu mengenal puteri ini, lekas kalian laporkan kepada Perdana Menteri bahwa aku dan puteri ingin menghadap sekarang juga....!"

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dua orang pengawal itu adalah pengawal-pengawal setia dari Perdana Menteri Su. Mereka tentu saja mengenal keadaan dan tahu akan hal ihwal Puteri Syanti Dewi dari Bhutan ini.

   Melihat puteri itu yang kini menjadi pelarian muncul bersama seorang pemuda di tengah ruangan istana seperti iblis saja, mereka terkejut dan seorang dari mereka cepat berlari dan mengetuk pintu kamar Perdana Menteri Su setelah dia memanggil lima orang pengawal lain untuk mengurung pemuda itu. Perdana Menteri Su terkejut sekali mendengar laporan bahwa Puteri Syanti Dewi muncul bersama seorang pemuda lihai dan hendak menghadapnya. Cepat dia berpakaian dan keluar dari kamarnya. Ketika melihat perdana menteri itu datang, Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi yang tadinya beristirahat dan duduk di atas bangku, dijaga dari jauh oleh para pengawal, cepat berdiri dan Tek Hoat memberi hormat kepada perdana menteri tua itu. Perdana Menteri Su mengangkat tangan kanannya, memandang Syanti Dewi lalu bertanya dengan suara serius dan pandang mata penuh selidik kepada Tek Hoat.

   "Siapakah kau dan bagaimana kau dapat datang bersama Puteri Bhutan ini di waktu tengah malam di sini?"

   "Saya adalah Ang Tek Hoat...."

   "Hemm.... aku sudah pernah mendengar namamu dari Puteri Milana...."

   Kakek bangsawan itu mengangguk-angguk dan memberi isyarat dengan tangannya agar para pengawal mundur dan menjaga dari jauh saja, jangan ikut mendengarkan percakapan mereka. Perdana Menteri Su adalah seorang yang bijaksana dan cerdas sekali. Begitu melihat Puteri Syanti Dewi dan sikap puteri ini, maka dia dapat yakin bahwa pemuda ini bukan orang berbahaya, apalagi setelah dia mendengar namanya, maka tidaklah perlu sekali para pengawal menjaga keselamatannya dan agaknya yang akan disampaikan oleh pemuda ini tentulah hal yang amat penting maka dia menyuruh para pengawal mundur.

   "Ceritakan apa kepentingan kalian,"

   Kemudian perdana menteri itu berkata setelah dia duduk di atas sebuah bangku di depan dua orang muda itu.

   "Saya baru membebaskan Puteri Syanti Dewi dari tangan raja liar Tambolon...."
(Lanjut ke Jilid 49)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 49
"Ahh....? Si keparat itu berani berada di dekat kota raja?"

   Tek Hoat lalu menceritakan di mana adanya Tambolon dan para pembantunya, yaitu di desa dekat Sungai Ta-cin di selatan kota raja. Dia minta agar perdana menteri sudi melindungi Syanti Dewi, sedangkan dia sendiri hendak pergi menolong Ceng Ceng dan Topeng Setan pula yang masih berada di dalam tangan Hek-tiauw Lo-mo.

   "Hemm, tentu saja aku akan membantu Sang Puteri ini. Kebetulan sekali siang tadi aku bertemu dengan rombongan utusan dari Kerajaan Bhutan. Aku akan menyerahkan Sang Puteri kepada mereka agar dapat dikawal kembali ke Bhutan, dan aku akan menghubungi Jenderal Kao agar raja liar Tambolon dan bekas para pembantu pemberontak itu dapat dibasmi!"

   Tek Hoat menjadi girang sekali, juga Puteri Syanti Dewi girang bukan main mendengar bahwa rombongan utusan ayahnya yang dipimpin Panglima Pengawal Jayin sendiri sudah berada di kota raja! Tek Hoat lalu memberi hormat kepada Perdana Menteri Su dan menghaturkan terima kasihnya, kemudian dia memberi hormat kepada Syanti Dewi yang cepat dibalas oleh puteri itu. Sejenak mereka berpandangan, dan Tek Hoat berkata dengan suara gemetar,

   "Selamat jalan, Sang Puteri. Semoga Thian selalu melindungi paduka dengan berkah yang berlimpah-limpah sehingga paduka akan hidup bahagia selalu."

   Terharu rasa hati Syanti Dewi. Dia sudah tertarik sekali kepada pemuda ini sejak pemuda ini menyelamatkan dirinya dari Pangeran Liong Khi Ong, apalagi setelah mendengar bahwa pemuda inilah yang dahulu menyamar sebagai tukang perahu. Kini lagi-lagi pemuda itu menolongnya dari ancaman mengerikan di tangan Tambolon.

   Pemuda ini dikabarkan jahat sekali, dikabarkan menjadi kaki tangan pemberontak, akan tetapi baginya, pemuda ini amat baik, amat gagah perkasa dan menimbulkan rasa iba di hatinya. Ingin dia menceritakan kepada pemuda ini tentang hal ibu pemuda itu yang pernah dijumpainya ketika Ang Siok Bi bertemu dengan Milana, dan ingin dia menceritakan rahasia tentang diri pemuda ini. Akan tetapi dia merasa tidak enak untuk bercerita di depan perdana menteri, juga dia masih sangsi apakah rahasia itu setelah dibukanya tidak akan menghancurkan hati pemuda itu. Karena ini maka siang tadi dia selalu meragu dan belum menceritakan apa yang diketahuinya tentang pemuda ini kepada Tek Hoat. Dan sekarang telah terlambat. Kalau dia mengajak pemuda itu bicara empat mata, tentu amat tidak baik dan akan menimbulkan prasangka yang bukan-bukan terhadap perdana menteri.

   "Terima kasih...., Tek Hoat. Aku akan selalu ingat bahwa sudah dua kali engkau menyelamatkan aku dari bahaya yang lebih mengerikan daripada maut. Terima kasih...."

   Wajah Tek Hoat berseri sejenak mendengar ini, kemudian dia memandang dengan sinar mata penuh kasih sayang dan kemesraan, namun hanya sekejap saja karena dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi cepat sekali dari istana itu. Sekali berkelebat tubuhnya sudah mencelat keluar dan naik ke atas genteng lalu lenyap. Perdana Menteri Su menghela napas panjang.

   "Seorang pemuda yang hebat sekali kepandaiannya...."

   Dia lalu mengajak Sang Puteri Syanti Dewi untuk menemui isterinya dan memberinya sebuah kamar untuk mengaso dan memerintahkan sepasukan pengawal untuk menjaga di luar kamar puteri itu dengan ketat. Malam itu juga dia mengabarkan kepada Panglima Jayin yang bermalam di sebuah rumah penginapan di kota raja. Syanti Dewi tidak dapat tidur di dalam kamarnya. Wajah Ang Tek Hoat selalu terbayang di depan matanya, terutama sekali wajah pemuda itu pada saat terakhir hendak meninggalkannya. Pandang mata itu! Tidak salahkah dia? Benarkah pemuda itu menolongnya dengan pengorbanan dirinya, sampai hampir te-was ketika melawan para pengawal Liong Khi Ong, didasarkan rasa cinta kasih kepadanya? Ah, tidak mungkin.

   Tentu karena pemuda itu mulai insyaf akan kesesatannya, setelah dia membantu pemberontak lalu dia insyaf dan bahkan menentang pemberontak, membunuh dalang pemberontak Pangeran Liong Khi Ong! Mengapa dia selalu terkenang kepada pemuda itu? Sedangkan dia sama sekali tidak tersentuh hatinya ketika pemuda seperti Suma Kian Bu menyatakan cinta kasih kepadanya? Dibandingkan dengan Ang Tek Hoat, tentu saja Suma Kian Bu menang jauh! Pemuda itu putera Pendekar Super Sakti, adik kandung Puteri Milana, cucu Kaisar! Akan tetapi entah bagaimana, dia tidak mempunyai perasaan cinta terhadap pemuda yang amat tampan dan gagah itu, yang dalam pandangannya masih seperti kanak-kanak saja, sungguhpun dia amat suka kepada Suma Kian Bu, rasa suka yang lebih mirip rasa suka seorang kakak kepada adiknya! Rasa sayang persaudaraan.

   Dan tentang cinta kasih terhadap seorang pria, agaknya baru satu kali pernah dia alami, yaitu terhadap Gak Bun Beng! Sungguhpun kini dia insyaf bahwa tidak mungkin dia dapat berjodoh dengan pendekar setengah tua yang amat menarik hatinya, mengagumkan hatinya dan yang dianggapnya sebagai sebuah puncak di Pegunungan Himalaya, tenang dan mendalam seperti lautan, dan yang dapat dipercaya seratus prosen itu. Keinsyafan itu membuat dia mengubur rasa cinta kasih itu karena dia pun maklum bahwa seorang laki-laki sehebat Gak Bun Beng, sekali menjatuhkan cinta kasihnya, yaitu kepada Puteri Milana, selama hidupnya tidak akan dapat mencinta seorang wanita lain, biarpun dia tahu bahwa pendekar besar itu pun amat tertarik kepadanya dan amat mencintanya.

   Keinsyafan ini membuat cinta kasihnya terhadap Gak Bun Beng menjadi cinta kasih terhadap seorang paman, ayah atau guru yang amat dihormati dan dijunjung tinggi, dan dia hanya mengharapkan pendekar itu akan dapat berkumpul kembali dengan Puteri Milana karena dia akan ikut merasa gembira jika melihat pria perkasa itu berbahagia hidupnya. Kini, melihat Tek Hoat yang pendiam dan kadang-kadang pandai bicara, kadang-kadang muram, kadang-kadang gembira, dia melihat pula adanya sifat-sifat yang mendekati sifat-sifat Gak Bun Beng. Pemuda ini menimbulkan kepercayaan besar dalam hatinya, dan pemuda ini pun membayangkan sebagai sebongkah batu karang yang besar dan kokoh kuat, yang akan dapat merupakan seorang pelindung yang boleh diandalkan. Juga seperti Gak Bun Beng, pemuda ini seolah-olah hidup di dalam alam penderitaan, alam kedukaan dan penyesalan.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Perdana Menteri Su sudah memanggilnya. Kemudian mengatakan bahwa perdana menteri itu telah melakukan kontak dengan para utusan Bhutan yang dipimpin oleh Panglima Jayin.

   "Karena engkau masih merupakan seorang pelarian istana, maka untuk mencegah timbulnya keributan, terutama sekali untuk mencegah terjadinya pencegatan-pencegatan seperti yang terjadi ketika kau dikawal pasukan Jenderal Kao, maka sebaiknya kalau engkau menyamar sebagai seorang wanita biasa, Sang Puteri."

   Demikianlah, tak lama kemudian, dua orang pengawal tua mengantarkan seorang gadis yang cantik sekali akan tetapi berpakaian biasa seperti pakaian semua wanita sederhana, rambutnya juga dikuncir ke belakang dan dia berjalan keluar dari istana perdana menteri melalui pintu belakang.

   Panglima Jayin yang menyambutnya di jalan, tidak memberi hormat melainkan memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri gembira hatinya dapat bertemu dengan puteri junjungannya itu. Kemudian dia menggantikan dua orang pengawal itu, mengantarkan Sang Puteri menuju ke sebuah rumah penginapan kecil di mana anak buahnya sudah berkumpul. Para anak buah panglima pengawal Bhutan ini pun berpakaian seperti orang-orang biasa dan mereka segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Syanti Dewi ketika puteri yang cantik ini dalam pakaian wanita biasa memasuki rumah penginapan itu diantar oleh Panglima Jayin yang kelihatan tinggi tegap dan gagah dalam pakaian penyamarannya seperti orang biasa.

   Dengan sehelai surat dari Perdana Menteri Su di dalam sakunya, Panglima Jayin dan rombongannya dapat mengawal Sang Puteri mengendarai sebuah kereta keluar dari kota raja tanpa ada yang berani mengganggu dan mulailah Puteri Syanti Dewi yang kini dikawal oleh para pengawalnya sendiri dari Bhutan itu melakukan perjalanan pulang ke Bhutan. Tanpa dapat dicegah lagi, teringat betapa dia akan pulang ke Bhutan dan mungkin tidak akan dapat bertemu dengan orang-orang di dunia timur ini kembali, air matanya menetes-netes di sepanjang kedua pipinya. Dia tidak tahu jelas siapa yang ditangisinya, akan tetapi wajah orang-orang yang selama ini baik sekali kepadanya terbayang semua, terutama sekali wajah Gak Bun Beng, Jenderai Kao Liang, Puteri Milana, Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee, dan terutama sekali wajah Ang Tek Hoat.

   "Ha-ha-ha, akhirnya engkau terjatuh pula ke dalam tanganku, nona manis. Ha-ha-ha!"

   Raja Tambolon tertawa gembira ketika dia menrundong tubuh Ceng Ceng masuk ke ruangan dalam rumah yang dijadikan tempat tinggal sementara itu, diikuti oleh Si Petani Maut Liauw Kui, Si Siucai Yu Ci Pok, dan lima orang Loan-nga Mo-li. Nenek ahli sihir Durganini tidak nampak sekali ini karena seperti telah diceritakan di bagian depan, nenek itu berjumpa dengan bekas suaminya, See-thian Hoat-su dan pergi bersama kakek ini dan Teng Sian In yang menjadi murid See-thian Hoat-su.

   Ceng Ceng kini mengerti bahwa dia telah ditinggalkan oleh Tek Hoat begitu saja! Dia telah ditipu oleh Tek Hoat dan dia dijadikan barang tukaran dengan Syanti Dewi. Celaka pikirnya. Pemuda itu benar-benar luar biasa jahat dan curangnya. Untuk mendapatkan Syanti Dewi, pemuda itu telah menyelamatkannya dari tangan Hek-tiauw Lo-mo akan tetapi kiranya bukan ditolong untuk dibebaskan, melainkan untuk diserahkan kepada Tambolon sebagai penukar diri Syanti Dewi. Terjatuh ke tangan pemuda berhati palsu seperti itu, tentu kakak angkatnya itu akan celaka, pikirnya penuh kekhawatiran. Dan dia sendiri, dia baru saja terlepas dari tangan Hek-tiauw Lo-mo kini terjatuh ke tangan Tambolon, sama saja dengan terlepas dari mulut harimau terjatuh ke dalam cengkeraman seekor srigala!

   "Tambolon, aku tahu bahwa engkau adalah seorang laki-laki yang berjiwa dan berwatak pengecut! Kalau memang engkau yang suka mengangkat diri menjadi raja, benar-benar seorang yang jantan, hayo kau bebaskan aku dan kita bertanding sampai selaksa jurus sampai seorang di antara kita menggeletak mampus!"

   Ceng Ceng memaki.

   "Ha-ha-ha! Susah payah aku mendapatkan dirimu, sampai-sampai aku harus mengorbankan dan kehilangan Puteri Bhutan yang denok ayu, masa sekarang harus membebaskan kau dan bertanding lagi. Sayang kalau sampai aku harus membunuhmu begitu saja, nona manis,"

   Tambolon tertawa-tawa, akan tetapi kemudian tiba-tiba sikapnya berubah, wajahnya bengis dan dengan kasar dia mendudukkan tubuh Ceng Ceng yang masih lemas tertotok itu ke atas kursi di sebelahnya, memegangi pundak dara itu dan membentak.

   "Hayo katakan di mana adanya anak ular naga itu dan serahkan kepadaku!"

   Hemm, kiranya untuk itu dia menangkapku dan rela membebaskan Syanti Dewi, pikirnya.

   Tahulah kini Ceng Ceng bahwa dia tidak akan dapat hidup lagi. Seperti juga Hek-tiauw Lo-mo, Tambolon ini agaknya berkeras ingin memiliki anak naga dan karena anak naga itu telah dimakannya habis, maka tentu seperti juga Hek-tiauw Lo-mo, raja liar ini akan membunuhnya dan minum semua darahnya yang telah mengandung khasiat dari anak naga itu. Dia tidak bisa mengharapkan pertolongan lagi. Kedua orang pembantunya yang boleh diandalkan, keduanya sudah tak dapat diharapkannya lagi. Tek Hoat telah menipunya, tak mungkin pemuda ini dapat membantunya. Dan Topeng Setan masih berada di dalam tahanan Hek-tiauw Lo-mo, entah masih hidup atau sudah mati. Tidak ada lagi seorang manusia yang akan mampu menyelamatkannya, maka dia lalu menjawab.

   "Aku tidak tahu!"

   Dan menutup mulut dan matanya, seperti orang sedang bersamadhi.

   "Keparat, apakah kau ingin kusiksa untuk mengaku?"

   Tambolon berteriak marah.

   "Ong-ya, saya mendengar bahwa gadis ini menderita luka parah dan kalau dia mencari anak naga itu tentu untuk mengobatinya. Setelah memperoleh anak naga itu dengan demikian susah payah, di mana lagi disimpannya kalau tidak di dalam perutnya? Lihat, wajahnya demikian merah dan sehat, tentu karena khasiat anak naga itu."

   Tiba-tiba Si Siucai Maut Yu Ci Pok berkata.

   "Kata-kata Yu-hiante ada benarnya dan untuk mernbuktikannya, tidak ada jalan lain kecuali memeriksa darahnya,"

   Kata pula Liauw Kui Si Petani Maut.

   "Aha, kalian benar! Tentu telah ditelannya anak naga itu, maka Hek-tiauw Lo-mo menangkapnya. Aku tahu kebiasaan manusia iblis itu, suka sekali makan daging dan minum darah manusia. Daging gadis manis ini tentu lunak dan darahnya tentu manis apalagi kalau mengandung khasiat anak naga. Belenggu dia dan bebaskan totokannya!"

   Liauw Kui dan Yu Ci Pok cepat membelenggu kaki dan tangan Ceng Ceng pada kursi yang didudukinya dengan tali sutera yang amat kuat, kemudian Liauw Kui membebaskan totokan pada pundak dara itu. Akan tetapi Ceng Ceng tetap menutup mulut dan matanya, seolah-olah tidak merasakan itu semua. Gadis ini memang sedang memusatkan perhatiannya.

   Sudah beberapa hari ini semenjak dia minum sari dari anak ular naga itu, dia merasa sesuatu bergerak-gerak aneh di dalam perutnya, gerakan yang disertai hawa amat panas akan tetapi kadang-kadang juga amat dingin. Akan tetapi gerakan-gerakan itu segera menghilang maka dia melupakannya. Sekarang, kembali perutnya bergerak-gerak dan diam-diam dia bergidik. Jangan-jangan anak naga yang hanya diminum perasannya itu kini hidup kembali dan bergerak-gerak di dalam perutnya! Makin lama gerakan-gerakan itu makin menghebat dan seolah-olah ada tenaga mujijat yang hidup di dalam rongga perutnya dan yang kini minta jalan keluar! Ceng Ceng menjadi khawatir sekali karena perutnya seperti hendak pecah rasanya, ditekan oleh hawa mujijat yang berputar-putar di perutnya itu. Maka dia lalu mengerahkan sin-kangnya, mengerahkan tenaga dari pusarnya untuk menekan dan menindih tenaga liar mujijat itu.

   Akan tetapi betapa heran dan kagetnya ketika hawa liar itu malah menyerbu ke dalam pusarnya, tak terkendalikan lagi, demikian kuatnya bergerak-gerak di dalam pusar hendak menerobos ke atas! Pada saat itu, Tambolon sudah mengeluarkan sebatang jarum, hendak menusuk pergelangan lengan Ceng Ceng untuk mengeluarkan darah gadis itu dan memeriksanya apakah benar darah gadis itu sudah lain dari biasa dan telah mengandung khasiat mujijat dari anak ular naga. Dan Ceng Ceng tidak tahu akan itu semua karena dia sendiri sedang berjuang melawan hawa liar mujijat yang kini dari dalam rongga perut memasuki pusarnya dan akhirnya dia tidak dapat menahan lagi, membuka saluran dari pusarnya sehingga hawa mujijat itu kini menjalar di seluruh tubuhnya, membuat tubuhnya terasa panas seperti dibakar dan keringatnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.

   "Cusss....!"

   Tambolon menusukkan jarumnya ke pergelangan lengan Ceng Ceng.

   "Krakkk....!"

   Jarum itu mendadak patah seperti ditusukkan pada baja yang keras.

   "Ahhhh....!"

   Tambolon terkejut bukan main dan juga kagum karena dia mengira bahwa gadis itu telah menggunakan sin-kang yang sedemikian kuatnya sehingga kulit lengannya mampu mematahkan jarum baja.

   "Keparat, dia melawan! Totok dia agar tidak mampu mengerahkan sin-kang!"

   Katanya kepada Liauw Kui. Si Petani Maut ini selain amat lihai ilmu silat dan senjata pikulannya, juga terkenal sebagai ahli menotok jalan darah yang lihai sekali. Mendengar perintah rajanya, dia lalu menggerakkan tangan kanannya, dua jari yaitu telunjuk dan jari tengahnya menusuk ke arah pundak kiri Ceng Ceng, di bagian jalan darah Kin-ceng-hiat.

   "Takkk! Aughhh....!"

   Liauw Kui ter-huyung ke belakang sambil memegangi tangan kanannya. Dua batang jari tangannya seperti akan patah-patah rasanya dan hawa panas yang amat hebat menyerangnya dari pundak gadis itu, membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh dan kehilangan tenaga! Tentu saja semua orang menjadi terheran-heran melihat keanehan ini. Gadis itu masih duduk di atas kursi dalam keadaan terbelenggu, dan memejamkan matanya, alisnya berkerut, semua tubuhnya mengeluarkan hawa panas.

   Jelas bahwa gadis itu tidak seperti sedang mengerahkan tenaga, akan tetapi mengapa jarum menjadi patah dan totokan Si Petani Maut menjadi gagal? Pada saat itu Ceng Ceng memang sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Telinganya seperti penuh dengan bunyi mengaung-ngaung dan biarpun kedua matanya dipejamkan, namun dia masih melihat warna merah serta darah yang menyilaukan, dan seluruh tubuhnya terasa nyeri semua. Celaka, pikirnya, aku tentu keracunan hebat, akan tetapi pikiran ini hanya seperti kilatan halilintar saja karena segera pikirannya menjadi kosong lagi dan seluruh perhatiannya hanya tertuju pada pergerakan hebat di dalam perutnya, pusarnya, dadanya dan semua tubuhnya, bahkan pergerakan itu sampai terasa ke ubun-ubun kepalanya.

   "Dia.... dia mempunyai ilmu yang mujijat.... ingat, dia gadis beracun!"

   Liauw Kui berkata dan semua orang sudah mencabut senjatanya.

   "Biar aku menotoknya dengan poan-koan-pit!"

   Teriak Yu Ci Pok dan cepat dia telah menggerakkan senjata pensil baja itu ke arah punggung dan tengkuk Ceng Ceng

   "Cus-cuss.... krekk-krekkk! Aihhh....!"

   Yu Ci Pok meloncat ke belakang, tubuhnya tergetar dan kedua buah senjata pensil itu patah menjadi empat potong!

   "Ilmu siluman....! Biar kita keluarkan darahnya dan kita tampung!"

   Berkata Tambolon.

   "Cepat ambilkan panci!"

   Song Lan Ci, orang pertama dari Loan-ngo Mo-li, sudah cepat lari dan minta sebuah panci kepada anak buah Tambolon, kemudian dia datang lagi dan bersama empat orang saudaranya dia pun sudah mencabut pedang-pedang samurai mereka. Tambolon sudah mencabut pedangnya dan dengan gerakan tangkas dia sudah menerjang ke depan, menusukkan pedangnya ke arah leher Ceng Ceng karena leher itu tentu akan mengalirkan semua darah segar dari tubuh dara itu yang akan ditadahi dengan panci.

   Dia akan "menyembelih"

   Gadis itu di atas kursinya dalam keadaan terbelenggu! Pada saat itu, Ceng Ceng sudah berada dalam keadaan puncak dari getaran hawa mujijat yang menguasai seluruh tubuhnya. Dia sudah menahan-nahan diri agar tidak muntah karena keadaannya itu membuat dia merasa mual dan ingin muntah. Akan tetapi pada saat pedang Tambolon bergerak, dia sudah tidak dapat bertahan lagi, merasa seolah-olah nyawanya dicabut melalui mulutnya, maka dara yang merasa bahwa dia tentu mati pada saat itu, padahal sakit hatinya belum terbalas, pemuda laknat itu belum terdapat olehnya, rasa penasaran membuat dia menjerit sekuatnya. Lengking yang amat hebat keluar dari tenggorokannya, dibarengi dengan gerakan tubuhnya yang seolah-olah hendak meronta dan melawan maut yang disangka hendak merenggut nyawanya.

   "Aaaiiihhhh....!"

   Lengking ini diikuti dengan keluarnya darah menghitam bergumpal-gumpal yang dimuntahkan oleh mulut Ceng Ceng, akan tetapi hebatnya, pada saat dia menggerakkan tubuhnya, kaki tangannya bergerak dan semua tali sutera kokoh kuat yang membelenggunya putus semua. Bukan itu saja, dari kedua tangannya yang bergerak kalang-kabut itu keluar hawa mujijat yang luar biasa dahsyatnya sehingga Tambolon yang sedang menusukkan pedangnya, kena digempur hawa mujijat ini sehingga dia terlempar ke belakang. Tidak terkecuali Si Petani Maut dan Si Siucai Maut, bersama Loan-ngo Mo-li yang memegang samurai, terdorong oleh hawa mujijat dari gerakan kedua lengan tangan Ceng Ceng sehingga mereka itu terlempar ke belakang dan terbanting ke atas lantai dengan keras!

   Ceng Ceng membuka matanya, merasa betapa dada dan perutnya lega bukan main setelah dia memuntahkan darah bergumpal-gumpal itu. Melihat betapa gerakan-gerakannya dapat mematahkan belenggu dan merobohkan delapan orang itu, dia sendiri terheran dan terkejut, akan tetapi kecerdasannya mengingatkan bahwa dia kini memperoleh kesempatan baik sekali. Cepat dia meloncat keluar dan melarikan diri di dalam kegelapan malam! Tak lama kemudian, setelah sadar dari kekejutan yang hebat, Tambolon dan para pembantunya meloncat bangun, kemudian mereka berteriak-teriak melakukan pengejaran, diikuti oleh anak buah mereka. Akan tetapi Ceng Ceng telah lenyap dan selain Tambolon sendiri, juga para pembantunya masih terkejut dan jerih menyaksikan kehebatan gadis itu.

   Ceng Ceng sendiri juga terheran-heran. Dia tidak tahu mengapa bisa terjadi seperti itu, akan tetapi karena dia seorang gadis yang memiliki kecerdasan, dia teringat dan menduga bahwa tentu semua itu adalah khasiat darah anak ular naga yang telah diminumnya. Agaknya baru sekarang khasiat anak ular naga itu memperlihatkan diri, dan hasilnya memang hebat. Hanya dia masih belum mengerti benar keadaannya dan sayang bahwa Topeng Setan tidak berada di situ, karena kalau ada, tentu pembantunya yang serba bisa itu akan dapat memberi keterangan. Memang dugaan Ceng Ceng tidak keliru, semua itu adalah khasiat dari darah anak ular naga dan darah-darah hitam bergumpal-gumpal yang keluar dari mulutnya itu adalah dari racun-racun yang dahulu dilatih dan berada di tubuhnya.

   Hawa mujijat itu adalah hawa yang dibangkitkan oleh darah anak ular itu. Seluruh tubuh Ceng Ceng masih gemetar. Ketika dia menyelinap di antara pohon-pohon, tiba-tiba dua orang anak buah Tambolon muncul dan hampir bertumbukan dengan dia di tempat gelap. Mereka sama-sama kaget, akan tetapi dua orang anak buah Raja Tambolon itu telah mengenalnya dan cepat mereka mengangkat golok mereka untuk menyerang sambil berteriak-teriak memanggil teman-teman mereka. Ceng Ceng yang masih merasa gemetar tubuhnya dan dikuasai oleh hawa yang bergerak-gerak, merasa lemas dan tidak bersemangat untuk melayani mereka. Setelah mengelak, dia lalu teringat akan senjatanya yang ampuh, yaitu ludahnya.

   "Cuh! Cuhh!"

   Dua kali dia meludah dan tepat mengenai muka dua orang lawan itu. Akan tetapi Ceng Ceng menjadi kaget dan bingung karena dua orang yang terkena ludah beracunnya itu sama sekali tidak roboh, bahkan menyumpah-nyumpah marah dan menyerangnya lebih ganas lagi! Dan karena teriakan mereka tadi, kini muncul lagi dua orang lain yang segera mengepungnya. Celaka, pikirnya. Kalau sampai Tambolon dan para pembantunya datang, dia tentu celaka.

   "Minggir....!"

   Teriaknya dan kaki tangannya bergerak menyerang. Gerakannya kacau karena Ceng Ceng merasa betapa tenaganya sendiri lenyap ditelan oleh hawa yang masih bergerak-gerak itu seolah-olah dia tidak mampu lagi menguasai kaki tangannya. Akan tetapi, begitu kedua tangannya bergerak mendorong ke depan dan kanan kiri, empat orang itu memekik ngeri, terlempar dan senjata mereka terpental, terbanting dan tidak bangun lagi karena mereka tewas seketika! Ceng Ceng mendengar datangnya banyak kaki orang, maka cepat dia membalikkan tubuhnya dan lari dari situ. Begitu dia meloncat, hampir dia berteriak kaget karena loncatannya kini seperti terbang saja. Sekali meloncat dia sudah melayang ke atas hampir menabrak pohon! Tubuhnya begitu ringan dan lon-catannya begitu kuat sehingga dia tidak dapat menguasai lagi tubuhnya.

   "Brukkk!"

   Dia terbanting ke atas tanah seperti seekor burung sedang belajar terbang. Akan tetapi Ceng Ceng merangkak bangun dan lari lagi, sekali ini dia berhati-hati karena dia mulai maklum bahwa di dalam tubuhnya terdapat tenaga mujijat yang liar dan tidak dapat dikendalikan sehingga kalau dia salah menggunakannya, dia tidak mampu lagi mengatur keseimbangan dirinya.

   Akhirnya dia dapat meninggalkan tempat itu dan tidak mendengar lagi suara para pengejarnya. Tadinya dia berniat untuk mengejar Tek Hoat dan menolong Syanti Dewi, akan tetapi dia tidak tahu ke mana perginya pemuda berhati palsu itu, maka dia lalu memutuskan untuk kembali saja mencari dan menolong Topeng Setan. Akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pening bukan main dan tanpa dapat dicegahnya lagi tubuhnya terguling. Karena gelap, dia tidak tahu bahwa dia terguling ke dalam sebuah jurang. Untung baginya bahwa jurang itu tidak terlalu dalam, dan bahwa di luar kesadarannya, tubuhnya seperti balon karet terisi penuh hawa yang penuh, maka biarpun dia pingsan, ketika terguling-guling ke dalam jurang itu tubuhnya sama sekali tidak terluka, terlindung oleh hawa mujijat itu.

   "Kalian pengecut-pengecut hina-dina, manusia-manusia busuk yang tak tahu malu!"

   Maki-makian itu terdengar dari dalam sebuah kamar tahanan yang amat kuat, berdinding tebal dan berpintu besi.

   "Kalau kalian berani mengganggu seujung rambut saja dari Ceng Ceng, aku bersumpah akan menghancurkan kepala kalian satu demi satu!"

   Yang memaki-maki ini adalah Topeng Setan! Dapat dibayangkan betapa risau hatinya kalau dia mengingat akan nasib Ceng Ceng yang telah terjatuh ke dalam tangan Hek-tiauw Lo-mo. Kalau saja anak ular naga itu belum diminum darahnya oleh Ceng Ceng, masih ada harapan bagi dara itu untuk lolos dengan selamat. Akan tetapi, darah anak ular itu telah diminum Ceng Ceng dan dia tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo manusia iblis itu amat membutuhkan darah itu. Dia tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo tidak akan ragu-ragu lagi untuk makan daging dan minum darah Ceng Ceng untuk memperoleh khasiat darah anak ular naga itu. Mem-bayangkan ini, hatinya merasa ngeri dan dia berteriak-teriak dan memaki-maki.

   "Hek-tiauw Lo-mo, pencuri busuk, keparat keji dan curang. Hayo kau tandingi aku, satu lawan satu, jangan me-ngandalkan orang banyak selagi aku terluka dan jangan kau berani mengganggu Ceng Ceng!"

   Karena Topeng Setan selalu meronta dan memaki, maka ketika dia roboh tadi, dia lalu dibelenggu di dalam kamar tahanan ini dan keadaannya mengerikan sekali. Pundak kirinya yang buntung itu masih mengeluarkan darah, buktinya bajunya di bagian pundak itu masih basah dan merah. Kedua kakinya dibelenggu, demikian pula tangan kanannya, dengan belenggu baja yang amat kuat dan di-ikatkan pada tiang-tiang di sudut kamar sehingga tubuhnya tergantung menelungkup, terapung kurang lebih dua kaki dari lantai. Tentu saja dia berada dalam keadaan tersiksa. Hanya satu hal yang tidak berani dilakukan oleh para anak buah Pulau Neraka atau anak buah Hek-tiauw Lo-mo, yaitu membuka topengnya. Hal ini adalah karena pesan dari Mauw Siauw Mo-li sendiri yang memenuhi permintaan Suma Kian Bu.

   Sampai kini, para anak buah itu tidak berani membuka topeng buruk itu, akan tetapi karena Topeng Setan selalu memaki-maki Hek-tiauw Lo-mo, menantang-nantang dan berteriak-teriak sepanjang malam, para anak buah yang terdiri dari orang berwatak keras dan berhati kejam itu menjadi marah dan benci sekali! Mulailah mereka mencambuki tubuh yang sudah tergantung menelungkup itu. Melihat Topeng Setan tidak mempedulikan siksaan ini, dan tidak menghentikan maki-makiannya seperti yang diperintahkan oleh para penjaga, para anak buah Hek-tiauw Lo-mo menjadi makin marah. Mereka kini tidak hanya mencambuki, juga menyirami dengan air, menggunakan pentungan untuk menggebuki punggung dan pinggulnya sehingga terdengar suara bak-buk-bak-buk di samping meledaknya pecut.

   Hebatnya, semua cambukan dan gebukan itu seolah-olah tidak terasa oleh Topeng Setan yang masih menantang-nantang. Karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia sama sekali tidak berdaya, sedangkan Ceng Ceng terancam bacana hebat, maka Topeng Setan melampiaskan kekhawatiran dan kemarahannya dengan berteriak-teriak dan memaki-maki untuk memancing kemarahan Hek-tiauw Lo-mo dan agar perhatian mereka semua tidak hanya tercurah kepada Ceng Ceng yang tidak diketahuinya bagaimana nasibnya itu. Topeng Setan tidak tahu pula akan apa yang terjadi malam tadi, hanya mendengar teriakan kebakaran. Kini, setelah malam lewat, sikap para anak buah Hek-tiauw Lo-mo lebih kejam lagi. Muncul di situ Hek-tiauw Lo-mo yang wajahnya muram dan keruh.

   "Iblis laknat Hek-tiauw Lo-mo, kalau kau berani, hayo kau lawan aku, laki-laki sama laki-laki, jangan mengganggu wanita! Ataukah kau sudah demikian penge-cut tidak berani melawan seorang laki-laki yang sudah cacat dan terluka? Ha-ha-ha, betapa hina engkau!"

   Topeng Setan memaki-maki dan meronta-ronta sehingga belenggu-belenggu tangan dan kedua kakinya mengeluarkan bunyi berkerontangan.

   "Siksa dia, akan tetapi jangan bunuh dulu! Siksa dia sampai dia minta-minta ampun kepadaku!"

   Bentak Hek-tiauw Lo-mo yang berwajah keruh itu lalu meninggalkan kamar tahanan Topeng Setan. Dia datang hanya untuk memeriksa apakah Topeng Setan masih berada di situ dan sekali pandang saja tahulah dia bahwa Topeng Setan tidak ada sangkut pautnya dengan terbebasnya Ceng Ceng dan larinya Suma Kian Bu. Akan tetapi dia sudah berpesan kepada semua anak buahnya agar Topeng Setan tidak tahu akan peristiwa lolosnya Ceng Ceng malam tadi. Mendengar perintah dari kepala mereka, tentu saja para penjaga itu menjadi girang sekali. Mereka memang ingin me-lampiaskan kemendongkolan dan kemarahan mereka.

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 40 Sepasang Pedang Iblis Eps 9 Sepasang Pedang Iblis Eps 29

Cari Blog Ini