Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 42


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 42



"Ha-ha-ha, dan orang seperti engkau ini kuambil sebagai murid? Ha-ha-ha, aku benar-benar Siauw-jin yang tidak memandang orang! Bocah, ilmu kepandaianmu ini, ilmu pedang aneh yang baru kau perlihatkan, kiranya sudah cukup untuk membuat aku orang tua menjadi mati kutu!"

   Bun Beng menjura,

   "Harap Locianpwe memaafkan teecu, tidak menertawakan teecu yang bodoh dan teecu mohon petunjuk."

   "Ah, aku tidak main-main. Ilmu pedangmu tadi hebat, kalau ditambah gabungan inti tenaga sakti kami.... wah.... agaknya suhengku Cui-beng Koai-ong sendiri harus tunduk kepadamu!"

   "Gak Bun Beng, dari mana kau memperoleh ilmu pedang tadi?"

   Tiba-tiba terdengar suara Suma Han, suaranya tegas dan pandang matanya membuat Bun Beng mengkirik karena seolah-olah dia merasa betapa sinar mata pendekar itu menembus jantungnya!

   "Maafkan, teecu mendapatkannya secara tidak sengaja, dari sebuah kitab dan ilmu ini bernama Lo-thian Kiam-sut, hampir sama dasarnya dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang pernah teecu dapatkan pula dalam sebuah guha. Akan tetapi, Ilmu Lo-thian Kiam-sut ini teecu pelajari secara sembunyi dan.... dan.... mencuri...."

   Bu-tek Siauw-jin tertawa bergelak, akan tetapi Suma Han kecewa sekali dan dia berkata,

   "Mencuri? Dari siapa?"

   "Dari Ketua Thian-liong-pang."

   "Heh....?"

   Dua orang sakti itu terbelalak dan bahkan Bu-tek Siauw-jin sendiri kaget karena tidak menyangka sama sekali. Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut dan tanpa menyembunyikan sesuatu dia lalu menceritakan semua pengalamannya sampai dia mempelajari ilmu yang luar biasa, ilmu yang oleh Nirahai sendiri tidak dapat dimainkan itu. Mendengar ini, kembali Bu-tek Siauw-jin tertawa kagum, sedangkan Suma Han menghela napas panjang dan berkata,

   "Dia tersesat, mencuri ilmu-ilmu orang lain, sedangkan ilmu tertinggi tidak dapat dipelajarinya, bahkan terjatuh ke tangan orang lain. Ini namanya pembalasan! Gak Bun Beng, tahukah engkau, bahwa setelah engkau memiliki Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut ini, sebetulnya engkau terhitung sute-ku (adik sepergururuanku) sendiri? Melihat dasar gerakanmu aku yakin bahwa kitab itu adalah peninggalan Suhu Koai-lojin."

   "Ahhhh....!"

   Bun Beng terbelalak penuh kaget dan kagum.

   "Teecu.... teecu.... mana berani....?"

   Suma Han tersenyum. Dia merasa makin suka kepada Bun Beng. Jelas bahwa pemuda ini memiliki watak baik, dan ternyata memiliki kepandaian yang hebat pula, hal yang tidaklah mengherankan kalau wataknya demikian sederhana dan merendah.

   "Tidak mengapalah, Bun Beng. Tidak ada bedanya apakah engkau menjadi suteku, ataukah muridku, ataukah hanya sahabat saja. Apa sih artinya segala sebutan kosong? Sekarang yang penting, engkau harus benar-benar mengerahkan seluruh ketekunan dan semangatmu, mencurahkan seluruh perhatian untuk menerima gabungan inti tenaga sakti dari kami berdua, hal yang tak mungkin di-temukan oleh orang lain di dunia ini."

   Mulailah kedua orang sakti itu melatih Bun Beng.

   Pendekar Super Sakti menurunkan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, dua inti tenaga panas dan tenaga dingin, sedangkan Kakek Bu-tek Siauw-jin menurunkan sin-kang dari Pulau Neraka yang telah merubah warna muka semua tokoh Pulau Neraka! Karena pada diri Bun Beng sudah terdapat tenaga sin-kang yang mujijat dari jamur-jamur berwarna yang dimakannya ketika dia berada di dalam guha di bawah tanah tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang, maka Ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi yang mujijat dari Bu-tek Siauw-jin ini tidak mempengaruhi warna mukanya. Bun Beng yang amat tekun, cerdas dan memang berbakat luar biasa sekali itu, melatih diri siang malam tanpa pernah mengaso dan hanya membutuhkan waktu tiga hari saja untuk mewarisi ilmu gabungan dari dua orang manusia sakti itu!

   Melihat hasil ini, makin kagumlah Suma Han dan dia lalu memberi petunjuk kepada Bun Beng bagaimana untuk memanfaatkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut itu sebagai ilmu tangan kosong atau dengan menggunakan senjata lain. Biarpun Suma Han sendiri tidak pernah mempelajari ilmu ini, namun karena dasarnya sama dengan ilmu-ilmu yang ia pelajari dari Pulau Es, peninggalan Koai-lojin, ditambah pengetahuan-nya yang luas akan ilmu silat, dia dapat memberi petunjuk yang amat berharga itu. Pada hari ke empat, ketika Bun Beng sedang tekun berlatih silat dengan tangan kosong, menggunakan tenaga sakti sehingga terdengar suara bercuitan sebagai akibat menyambarnya hawa pukulan-nya yang mengerikan, Suma Han yang berdiri agak jauh bersama Bu-tek Siauw-jin, berkata,

   "Dia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa."

   "Ha-ha-ha, tak mungkin ada lawannya lagi!"

   Bu-tek Siauw-jin mengelus jenggotnya, menyesal mengapa pemuda sehebat itu bukan menjadi murid tunggalnya. Dia pun telah mengajarkan Tenaga Sakti Inti Bumi kepada Kwi Hong, namun dara itu tidak dapat menggabungkannya dengan dua tenaga Im-yang dari pamannya, juga bakat dara itu kalah jauh kalau dibandingkan dengan Bun Beng.

   "Bu-tek Siauw-jin, sekarang aku hendak pergi."

   Kakek itu menoleh ke kiri, memandang wajah pendekar besar yang kini tidaklah keruh dan berduka lagi, bahkan dari sepasang mata yang tajam luar biasa membuat dia tidak berani lama-lama menentangnya itu keluar sinar yang penuh harapan dan gairah hidup yang besar!

   "Ke mana kalau aku boleh bertanya? Siapa tahu, kita dapat saling berjumpa pula. Perkenalanku denganmu ini amat menyenangkan dan amat menguntungkan, dan mau rasanya aku menganggap kau sebagai guru karena engkaulah yang telah membuka mata batinku ketika menghadapi teka-teki Maharya, Suma-Taihiap."

   Suma Han menarik napas panjang.

   "Hanya kebetulan saja, dan ternyata sifatmu yang polos sederhana itu malah lebih mudah menerima penerangan kebenaran sehingga aku tertinggal jauh. Telah kukatakan, ucapan pemuda yang menjadi murid kita itulah yang membuat aku berterima kasih sekali, yang membuka mataku, menyadarkan aku betapa tololnya selama belasan tahun ini aku telah menempuh hidup. Karena ucapannya itulah aku harus segera pergi menyusul mereka."

   "Lulu dan Puteri Nirahai?"

   Kakek itu bertanya. Suma Han mengangguk.

   "Persoalan yang rumit dan sukar takkan dapat dipecahkan oleh pikiran yang penuh dengan pengetahuan lama, oleh pikiran yang hanya dapat melamun dan merasa diri terlalu pandai, terlalu bersih. Hanya pikiran yang sederhana, tidak melayang-layang di angkasa khayal, yang dapat menghadapi kenyataan saja yang akan dapat menyelami dan memecahkan serta mengatasi persoalan, seperti yang diucapkan Bun Beng empat hari yang lalu itu. Aku hendak menyusul mereka sekarang juga. Harap kau orang tua yang baik suka mencari Kwi Hong dan suruh dia kembali ke Pulau Es yang akan kubangun kembali bersama mereka."

   Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk dan tertawa.

   "Engkau masih belum setua aku, Suma-Taihiap, segalanya masih belum terlambat. Selamat berjuang dan sampai jumpa pula. Ingin aku bertemu kembali denganmu kelak, di Pulau Es, di samping mereka yang kau cinta."

   Akan tetapi tubuh Suma Han telah berkelebat lenyap dari depan kakek itu yang masih tertawa-tawa dan mengangguk-angguk. Sudah puluhan tahun kakek ini tidak pernah mempedulikan dunia ramai, hidup seperti orang sinting dan tidak sudi mempedulikan dirinya sendiri, apalagi orang lain. Kini bertemu dengan Suma Han, dia tertarik sekali, merasa suka sekali dan kagum sehingga perasaan ini membangkitkan gairah hidupnya kembali. Bun Beng berhenti berlatih, cepat menghampiri Bu-tek Siauw-jin dan berkata,

   "Ke manakah perginya Suma-Taihiap tadi, Locianpwe?"

   Biarpun dia tadi berlatih tekun, namun pendengarannya cukup tajam untuk mendengar suara berkelebatnya tubuh pendekar itu. Dia tetap menyebut Locianpwe kepada Bu-tek Siauw-jin dan Taihiap kepada Suma Han, karena kedua orang ini, yang hanya menurunkan tenaga inti mereka, tidak mau dianggap guru.

   "Dia sudah pergi menyusul kedua orang yang dicintanya. Ha-ha-ha, sungguh kasihan sekali dia, merana selama belasan tahun. Dengan bekal pengertiannya yang baru tentang hidup dan pandangan hidup, tentu dia akan dapat berbahagia bersama mereka itu. Sekarang kita pun harus pergi, Bun Beng."

   "Ke mana, Locianpwe?"

   "Kau bantu aku mencari Kwi Hong ke kota raja. Entah ke mana perginya bocah nakal itu!"

   Menurutkan kata hatinya, Bun Beng lebih ingin mencari Milana, akan tetapi karena dia pun tidak tahu ke mana perginya Milana, dan kemungkinan besar masih berada di kota raja, maka kebetulan sekali kalau kakek ini hendak mengajaknya ke kota raja. Tentu saja dia tidak berani menolak setelah mendengar penuturan kakek itu bahwa Kwi Hong adalah muridnya!

   Berangkatlah kakek dan pemuda itu dengan gerakan cepat sekali, menuju ke kota raja. Dengan bekal kepandaiannya yang hebat dengan mudah Bun Beng dapat mengimbangi gerakan kaki Bu-tek Siauw-jin yang amat cepat larinya. Akan tetapi, ketika Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin tiba di kota raja, keadaan di sana sudah sepi. Para pimpinan pemberontak yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Koksu yang memberontak itu, telah melarikan diri setelah komplotan yang hendak membunuh Kaisar digagalkan oleh Lulu dan Nirahai. Kini bahkan kedua orang wanita perkasa itu diserahi pimpinan barisan urtuk melakukan pengejaran dan membasmi pasukan-pasukan pemberontak yang sudah dikumpulkan di perbatasan utara. Bu-tek Siauw-jin yang ugal-ugalan itu masih tidak mau terima.

   Dia menyelundup ke dalam istana mencari-cari, bahkan memasuki bekas istana Koksu, memeriksa bekas kamar tahanan kalau-kalau muridnya masih "terselip"

   Di situ, namun sia-sia belaka karena Kwi Hong tidak dapat ditemukan, bahkan tidak ada seorang pun yang tahu ke mana perginya gadis itu. Kesempatan itu dipergunakan pula oleh Bun Beng untuk mencari dan menyelidiki tentang Milana, dara yang dicintanya. Akan tetapi juga tidak ada orang yang dapat menerangkan ke mana adanya dara itu, bahkan tidak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, hampir semua orang tahu bahwa kini Puteri Nirahai telah kembali ke istana, dan bahwa kini puteri perkasa itu memimpin pasukan besar untuk mengejar dan membasmi pemberontak. Mendengar ini, Bun Beng menduga bahwa tentu dara itu ikut bersama ibunya untuk membantu. Maka dia pun mengajak Bu-tek Siauw-jin untuk melakukan pengejaran ke utara.

   "Teecu tahu di mana berkumpulnya kaki tangan pemberontak Koksu itu. Siapa tahu Kwi Hong juga ikut ke sana untuk menonton keramaian membasmi pemberontak,"

   Kata Bun Beng. Kakek itu menggeleng kepala.

   "Celaka tiga belas Si Koksu dan Si Maharya gila! Olah mereka mendatangkan perang dan bunuh-membunuh, saling menyembelih antara manusia itu kau katakan tontonan? Benar-benar dunia sudah tua, ataukah manusianya yang tolol semua? Hayolah!"

   Mereka kembali meninggalkan kota raja menuju ke utara. Apakah yang telah terjadi dengan Milana? Dara itu, seperti telah diceritakan di bagian depan, tidak ikut bersama dengan ibunya untuk mengejar pemberontak ke utara, melainkan ditinggalkan di kota raja. Tadinya, Puteri Nirahai menyuruh puterinya itu mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan kembali Hok-mo-kiam, akan tetapi ketika dia menerima tugas berat dari Kaisar untuk membasmi pemberontak yang dia tahu dipimpin oleh banyak orang sakti, terpaksa dia meminjam Hok-mo-kiam dari tangan anaknya.
(Lanjut ke Jilid 40)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 40
"Biarlah pedang ini kupinjam lebih dulu untuk menghadapi lawan-lawan tangguh itu,"

   Pesannya kepada Milana.

   "Engkau tunggu saja di sini, kalau bertemu dengan ayahmu, ceritakan semuanya dan minta bantuannya untuk menghadapi para pemberontak yang lihai. Juga, kalau engkau bertemu dengan Gak Bun Beng lagi, suruh dia membantu kami di utara. Kami membutuhkan bantuan banyak orang pandai untuk menghadapi para pimpinan pemberontak yang merupakan gabungan orang-orang sakti dari Mongol, Nepal, dan orang Han sendiri."

   Setelah kini menjadi seorang panglima kembali, berubah sikap Nirahai. Yang terpenting baginya pada saat itu adalah tugasnya, maka sama sekali terlupalah urusan pribadi, sehingga dia tidak malu-malu untuk memesan Milana minta bantuan Suma Han. Semua demi tugas kerajaan, dan memang beginilah sifat seorang panglima yang baik.

   Akan tetapi, nasib buruk menimpa diri Milana. Hati dara ini sudah diliputi kegembiraan besar, bukan hanya kegembiraan kalau dia teringet kepada Gak Bun Beng, pemuda yang dicintanya dan yang juga mencintanya, akan tetapi juga karena adanya harapan yang timbul di hatinya tentang ayah dan bundanya. Kalau mereka itu dapat bersatu kembali, alangkah bahagianya hidup ini, apalagi di sana ada.... Bun Beng! Dua hari Milana menanti di kota raja. Sebagai seorang cucu Sri Baginda Kaisar yang diakui, apalagi sebagai puteri dari Panglima Puteri Nirahai, dia amat dihormat dan mendapatkan sebuah kamar yang indah di lingkungan istana, bagian puteri. Namun, darah petualangannya sebagai seorang bekas puteri Ketua Thian-liong-pang, yang sudah biasa bebas merdeka di alam terbuka, tentu saja Milana tidak dapat tahan lama tinggal di lingkungan tertutup itu.

   Segera dia telah mengenakan pakaian ringkasnya lagi sebagai seorang pendekar, dan melayang keluar dari lingkungan istana bagian puteri itu untuk ke luar dan melakukan penyelidikan kalau-kalau dapat berjumpa dengan ayahnya atau dengan Bun Beng. Akan tetapi, bukan Pendekar Super Sakti atau Gak Bun Beng yang dijumpai ketika pada sore hari itu dia menyelinap keluar dari istana, melainkan seorang yang amat dibenci dan ditakutinya. Wan Keng In! Baru saja Milana meloncat turun dari atas pagar tembok, tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda tampan itu berdiri dengan senyum mengejek di depannya, dan di sebelah pemuda itu berdiri seorang kakek yang amat mengerikan, kakek kurus kering seperti mayat hidup, yang matanya seperti mata boneka tidak bergerak sama sekali. Kakek ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong!

   "Sayur di gunung garam di laut, kalau sudah jodoh pasti akan bertemu menjadi satu, menjadi masakan yang lezat! Ha-ha-ha, adik Milana yang manis, kekasihku yang cantik, calon isteriku yang tercinta. Dengan penuh rindu aku datang hendak menjemputmu di dalam istana, kiranya engkau telah tidak sabar lagi dan keluar menyambutku. Terima kasih!"

   "Manusia iblis! Hayo pergi dari sini! Kalau tidak, akan kukerahkan semua pengawal untuk membunuhmu!"

   Milana mengancam, namun jantungnya berdebar tegang dan penuh rasa ngeri.

   "Hemm, sudah kudengar berita bahwa ibumu, Ketua Thian-liong-pang itu, ternyata adalah Puteri Nirahai dan kini menjadi panglima. Kebetulan sekali, lebih cocok kau menjadi isteriku, engkau cucu Kaisar, dan aku.... calon raja di Pulau Neraka. Marilah manis."

   Tangan Wan Keng In meraih hendak menangkap pinggang ramping dara itu. Tentu saja Milana tidak sudi membiarkan tubuhnya dipeluk, dia mencelat ke kanan sambil menggerakkan tangan kiri yang tadi diam-diam sudah mempersiapkan segenggam Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi).

   Sinar merah menyambar ke arah dada dan perut Wan Keng In dan agaknya pemuda ini tidak tahu bahwa dirinya diserang, karena dia tidak mengelak, tidak pula menangkis. Hal ini menggirangkan hati Milana karena dia merasa yakin bahwa tentu akan mengenai sasaran dan merobohkan lawannya. Kegirangannya menjadikan kelengahan. Dara ini menjerit ketika pemuda ini melanjutkan tubrukannya, tidak peduli sama sekali akan jarum-jarum yang menembus pakaian mengenai dada dan perutnya, tahu-tahu pinggang Milana telah dipeluknya dan di lain saat tubuh Milana telah menjadi lemas karena ditotoknya! Sambil tertawa, Wan Keng In mencabut jarum-jarum yang menancap di bajunya, sama sekali tidak melukai kulitnya yang kebal, kemudian memondong tubuh Milana dan dibawanya lari bersama gurunya yang sejak tadi diam saja tidak mengeluarkan suara.

   "Haiii! Berhenti....!"

   Dua orang penjaga istana, pengawal yang menjaga di luar tembok, mendengar teriakan Milana datang berlari. Ketika mereka melihat siapa yang dipondong dan dibawa lari, mereka terkejut dan marah sekali. Ada penjahat menculik cucu Kaisar yang baru yang cantik, puteri dari Panglima Nirahai! Mereka berdua melupakan keadaan bahwa orang yang dapat menculik puteri itu tentu memiliki ilmu kepandaian hebat. Dengan tombak di tangan mereka berteriak dan mengejar. Wan Keng In dan gurunya belum lari jauh. Karena dua orang pengawal itu melihat Si Kakek lari di sebelah belakang, otomatis mereka mengerjakan tombak mereka, menusuk ke punggung kakek itu yang agaknya tidak mempedulikan sama sekali.

   "Crot! Crot!"

   Dua batang tombak itu menusuk ke punggung, agaknya menembus ke dalam, akan tetapi kakek itu tidak roboh, bahkan tiba-tiba tombak itu meluncur ke belakang seperti anak panah, gagang tombak menembus dada dua orang pengawal itu yang roboh seketika, berkelojotan dengan sinar mata penuh keheranan dan kekagetan. Mereka mati dalam keadaan terheran-heran melihat orang yang telah mereka tusuk dan tembus punggungnya itu tidak apa-apa, malah mereka sendiri yang menjadi korban senjata masing-masing.

   "Jahanam, lepaskan aku!"

   Milana meronta-ronta, akan tetapi Keng In hanya tertawa-tawa saja, seolah-olah dia merasa senang sekali dara itu meronta dan menggeliat dalam pondongannya, membuat dia merasa betul bahwa yang dipondongnya adalah benar-benar dara yang dicintanya, yang membuatnya tergila-gila, dara yang hidupnya dan yang selamanya akan menjadi sisihannya, menjadi permaisurinya di Pulau Neraka! Beberapa orang pengawal terkejut sekali menyaksikan peristiwa itu dari jauh. Mereka segera membunyikan tanda bahaya, sebagian melakukan pengejaran yang sia-sia, sebagian lagi segera melaporkan kepada panglima pengawal di dalam istana.

   Panglima itu terkejut, terpaksa dengan gemetar melaporkan penculikan atas diri Puteri Milana ini kepada Kaisar. Tentu saja Kaisar menjadi marah. Baru saja dia mendapatkan kembali puterinya bersama cucunya, dan kini selagi puterinya itu melaksanakan tugas berat membasmi pemberontak, cucunya diculik orang! Dengan suara keras Kaisar memerintahkan kepada panglimanya untuk mengerahkan pasukannya melakukan pengejaran dan membebaskan kembali cucunya. Akan tetapi sebagai Kaisar yang berpengalaman dia pun maklum bahwa penculik itu tentulah bukan orang biasa, dan sewaktu puterinya yang lihai, dan juga Lulu, pergi memimpin pasukan, kiranya di istana tidak ada orang yang boleh diandalkan memiliki kepandaian tinggi menghadapi penculik itu. Maka segera ditambahkannya,

   "Cari Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es. Kalau dia bisa mengembalikan cucu kami, akan kami ampunkan semua dosanya. Umumkan hari ini!"

   Panglima mundur dan sibuk melaksanakan perintah Kaisar itu. Akan tetapi mana mungkin mengejar penculik-penculik yang berkepandaian setinggi yang dimiliki Wan Keng In dan gurunya. Sia-sia saja para pasukan pengawal mencari ke sana ke mari. Juga sia-sia saja mereka mencari Pendekar Super Sakti, karena ketika pendekar ini selesai melatih Bun Beng dan datang ke kota raja,

   Dia mendengar akan tugas membasmi pemberotak yang dilakukan Nirahai dan Lulu, maka dia bergegas menyusul ke utara! Demikianlah, tentu saja sia-sia Bun Beng mencari Milana, dan peristiwa itu memang dirahasiakan oleh Kaisar yang diam-diam berusaha keras untuk dapat membebaskan cucunya kembali dari tangan para penculiknya agar tidak sampai terdengar oleh Puteri Nirahai, puterinya yang keras hati ini. Kalau sampai terdengar oleh Puteri Nirahai, siapa tahu akan akibatnya. Mungkin saja puterinya itu akan meninggalkan tugasnya membasmi pemberontak. Dan ke manakah perginya Giam Kwi Hong? Telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong berhasil keluar dari kamar tahanan bersama gurunya yang baru, Bu-tek Siauw-jin. Setelah mempelajari ilmu, terutama sekali setelah memperoleh tenaga sakti Inti Bumi ditambah dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya,

   Kwi Hong sekarang menjadi seorang yang luar biasa lihainya. Namun sayang sekali, pengaruh tenaga sakti liar dari Pulau Neraka itu mempengaruhi pula wataknya, dan agaknya pengaruh ini datang dari tenaga sakti itu dan dari pedang Li-mo-kiam di tangannya, karena memang pedang itu bukanlah pedang sembarangan, melainkan sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis yang telah menghirup banyak darah manusia tak berdosa, dan dibuatnya pun secara mujijat dan kejam! Setelah berhasil keluar dari kepungan para jagoan yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan Maharya yang lihai, Kwi Hong menurut petunjuk suhunya, pergi hendak mencari pamannya, Pendekar Super Sakti. Namun usahanya tidak berhasil, bahkan dia mendengar akan keributan di istana dan betapa Koksu berhasil melarikan diri keluar dari kota raja.

   Kwi Hong yang masih merasa penasaran itu cepat mengejar pula keluar dari kota raja dan dia berhasil mendapatkan jejak Pangeran Yauw Ki Ong, pangeran Mancu yang berusaha memberontak dibantu Koksu. Pangeran ini sedang melarikan diri melalui pintu gerbang kota raja sebelah utara, dikawal oleh Koksu, Maharya dan beberapa orang panglima yang setia kepada mereka, termasuk beberapa orang tokoh Mongol dan Nepal. Hati dara ini tadi belum merasa puas. Tadinya ketika dia dikepung oleh Koksu, Maharya dan lain-lain bersama gurunya, dia mengamuk dan merobohkan banyak perwira pengawal kaki tangan Koksu dengan pedangnya. Dia merasa gembira sekali melihat darah muncrat setiap kali pedang berkelebat, maka dia agak menyesal dan kecewa ketika gurunya menyuruhnya melarikan diri dari kepungan. Dia amat membenci Koksu dan Maharya, yang dianggap musuh-musuh besar pamannya.

   Kini, selagi dia sendirian, tidak ada gurunya yang melarangnya, kebetulan sekali dia dapat menyusul rombongan musuh ini, tentu saja dia tidak mau membuang kesempatan baik untuk me-muaskan hati dan pedangnya! Rombongan Pangeran Yauw Ki Ong melakukan perjalanan yang penuh kelesuan, sungguhpun dengan tergesa-gesa. Mereka telah mengalami pukulan hebat, dan hanya karena di situ ada Koksu yang pandai menghiburnya dengan janji-janji muluk bahwa pasukan mereka akan dikerahkan untuk langsung memerangi Kaisar, maka Pangeran Yauw tidak putus asa. Pangeran ini telah kehilangan segala kemewahan hidup dan kemuliaan, bahkan tidak sempat membawa pergi selir-selirnya yang muda-muda, harta bendanya yang berlimpah, dan kini menjadi seorang pelarian yang harus melakukan perjalanan melarikan diri tanpa berhenti selama dua hari dua malam!

   Pada malam ketiganya, Pangeran Yauw setengah memaksa Koksu untuk menghentikan perjalanan. Dia sudah merasa terlalu lelah, bahkan isterinya sudah beberapa kali jatuh pingsan saking kelelahan. Juga roda-roda kereta perlu dibetulkan karena hampir copot. Melihat bahwa pengejaran tidak ada, atau mungkin juga masih jauh, dan tempat penjagaan pasukan-pasukan mereka yang pertama sudah dekat, Koksu tidak keberatan dan beristirahatlah mereka di sebuah dusun. Penduduk dusun yang belum tahu akan keributan yang terjadi di kota raja, menyambut rombongan ini penuh penghormatan. Terhibur juga hati Pangeran Yauw dan rombongannya karena dapat melepaskan lelah malam hari itu, dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali perjalanan dilanjutkan dalam keadaan tubuh mereka lebih segar.

   Akan tetapi, baru saja rombongan keluar dari dusun dan tiba di pinggir sebuah hutan, tiba-tiba terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang pengawal yang menunggang kuda paling depan roboh dengan tubuh hampir putus menjadi dua potong terbabat kilatan pedang di tangan seorang dara yang cantik namun sepak terjangnya ganas bukan main. Koksu dan Maharya bersama para panglima pembantu mereka cepat melarikan kuda ke depan dan di sana mereka melihat seorang gadis dengan sebatang pedang yang berkilat sinarnya menyilaukan mata di tangan, berdiri dengan sikap gagah penuh tantangan. Dara itu bukan lain adalah Giam Kwi Hong! Melihat dara itu, terkejut hati Koksu dan Maharya, karena mereka menyangka bahwa munculnya dara perkasa itu tentulah bersama kakek sinting yang mereka takuti, Bu-tek Siauw-jin! Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara melengking tertawa penuh ejekan yang sengaja dia keluarkan untuk memancing keluar Bu-tek Siauw-jin,

   "Siauw-jin manusia rendah dan hina, tua bangka cebol mau mampus, keluarlah jangan bersembunyi di belakang celana muridmu perempuan!"

   Sepasang mata Kwi Hong mengeluarkan sinar berapi karena marahnya mendengar ucapan menghina yang ditujukan kepada gurunya itu.

   "Maharya pendeta iblis!"

   Pedangnya menuding ke depan dan sinar berkilat menyilaukan mata keluar dari ujung pedang itu, membuat semua orang bergidik ngeri melihatnya.

   "Suhu tidak berada di sini, tidak perlu engkau membuka mulut mengeluarkan hawa busuk memaki Suhu! Aku datang sendiri untuk membunuh engkau yang menghina Suhu, dan membunuh Koksu yang telah membasmi Pulau Es. Kalian berdua adalah manusia-manusia berakhlak bejat, dan aku mewakili pamanku untuk membasmi kalian!"

   Pangeran Yauw Ki Ong yang menjenguk keluar dari keretanya melihat gadis itu. Jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga penuh gairah. Gadis itu luar biasa cantiknya! Dan dia telah kehilangan begitu banyak selir muda yang cantik. Kalau dia bisa mendapatkan gadis ini, terhiburlah dia oleh kehilangan semua selirnya itu.

   "Seng-jin, siapakah dia?"

   Bisiknya kepada Koksu setelah dia turun dan mendekati.

   "Dia bernama Giam Kwi Hong, keponakan Majikan Pulau Es dan kini agaknya menjadi murid Bu-tek Siauw-jin, setan bangkotan Pulau Neraka. Dia lihai, terutama pedangnya, akan tetapi harap Ong-ya tidak khawatir. Tanpa gurunya, mudah bagi saya untuk menundukkan dan membunuhnya."

   "Jangan dibunuh. Kalau kita dapat menariknya sebagai sekutu, bukankah baik sekali? Tentu membuka kemungkinan untuk menarik pamannya, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es, untuk membantu kita pula menghadapi Kaisar."

   Sepasang mata Koksu itu bersinar-sinar dan sekaligus dia dapat memikirkan akal yang amat baik, sesuai dengan usul pangeran yang dianggapnya tepat sekali ini. Cepat dia mengeluarkan ucapan dalam bahasa India yang ditujukan kepada paman gurunya, Maharya. Pendeta itu mengangguk-angguk, tertawa dan melangkah maju bersama Koksu menghampiri Kwi Hong.

   "Bagus, majulah kalian berdua, agar mudah bagiku untuk membunuh kalian sekaligus dengan pedangku!"

   Kwi Hong membentak, siap dengan pedangnya.

   "Sabarlah, Nona. Kami hendak mem-bicarakan urusan penting dengan Nona. Bersabarlah karena sesungguhnya di antara kita tidak ada permusuhan sesuatu."

   Tiba-tiba Maharya mengeluarkan kata-kata dengan lambat namun jelas, keluarnya satu-satu dan setiap ucapan mengeluarkan getaran hebat dari ilmu hitamnya untuk mempengaruhi gadis itu.

   Gelombang getaran hebat menyambar ke arah Kwi Hong dan terasa benar oleh dara ini, membuatnya agak pening dan tubuhnya bergoyang-goyang, namun dengan pengerahan sin-kangnya dia dapat berdiri tegak kembali dan memandang dengan mata penuh kemarahan. Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, terdengar suara Koksu lemah lembut,

   "Nona, harap maafkan kalau kami pernah menyerangmu karena Nona berada bersama dengan Bu-tek Siauw-jin. Setelah kami mengetahui bahwa Nona bukan menyeberang kepada Pulau Neraka, melainkan masih keponakan Majikan Pulau Es, maka sadarlah kami bahwa Nona bukanlah musuh, melainkan teman senasib dan seperjuangan dengan kami."

   "Tidak perlu mengeluarkan kata-kata membujuk yang kosong!"

   Kwi Hong masih dapat mempertahankan diri terhadap getaran yang terus dikerahkan oleh Maharya untuk mempengaruhi dirinya dan pikirannya.

   "Memang aku keponakan Majikan Pulau Es, dan aku tidak akan pernah lupa betapa kalian memimpin pasukan menghancurkan Pulau Es, membunuh banyak orang kami, bahkan telah menawanku dengan akal jahat!"

   "Aihhh, harap Nona jangan terburu nafsu. Pada waktu itu, kami hanyalah petugas-petugas saja dari Kaisar. Kaisar yang memusuhi Pulau Es. Kaisar membenci Pendekar Siluman pamanmu itu karena pamanmu pernah mencemarkan nama baik kerajaan. Kami hanya ditugaskan untuk menyerang Pulau Es. Kalau mau bicara tentang biang keladinya, hanyalah Kaisar sendiri yang bertanggung jawab! Kami sudah merasa menyesal sekali mengapa dahulu kami menurut saja akan perintah Kaisar lalim itu! Karena kelalimannya maka kami memberontak! Kita semua telah dibikin sakit hati oleh Kaisar lalim itu, Nona. Karena itu, apa perlunya antara kita bermusuhan sendiri, sedangkan kita semua dikejar-kejar oleh pasukan Kaisar yang dipimpin oleh Majikan Pulau Neraka dan oleh Ketua Thian-liong-pang? Mereka menggunakan kesempatan ini untuk merangkul Kaisar, untuk menghancurkan kita, ya, kita, karena Pulau Es menjadi musuh besar mereka!"

   Kwi Hong mulai tergerak hatinya, sebagian karena ucapan-ucapan Koksu, namun terutama sekali oleh gelombang getaran ilmu hitam Maharya yang mujijat. Dia menjadi ragu-ragu sekali.

   "Hemmm.... begitukah? Paman memang tidak pernah mau dekat dengan kerajaan...."

   "Tentu saja. Pamanmu juga seorang pelarian, seperti kami. Daripada antara kita yang senasib ini terjadi permusuhan, bukanlah jauh lebih baik kalau kita bersatu menghadapi Kaisar lalim dan membalas dendam kita bersama?"

   Pengaruh ilmu sihir yang dikerahkan oleh Maharya telah melumpuhkan semua daya tahan Kwi Hong, dan kini dia mendengarkan ucapan Koksu dengan penuh perhatian, alisnya berkerut dan tangannya yang memegang pedang Li-mo-kiam tidak menegang lagi. Kemudian dia mengangguk-angguk dan berkata, masih agak meragu,

   "Mana mungkin kita melawan pasukan pemerintah?"

   "Ha-ha!"

   Maharya kini berkata dengan suaranya yang menggetar.

   "Jangan Nona ragu-ragu, karena kami telah membuat persiapan. Marilah Nona ikut bersama kami dan menyaksikan sendiri persiapan kami dengan pasukan kami yang amat kuat. Kalau Nona membantu kami, apalagi kalau kita bersama dapat bergabung dengan Majikan Pulau Es, apa sukarnya menghancurkan kekuasaan Kaisar lalim itu?"

   Kwi Hong teringat. Pamannya menjadi pelarian, bersembunyi dan mengasingkan diri di Pulau Es, bahkan kemudian pulau itu dihancurkan oleh pemerintah. Memang harus dia akui bahwa pemerintah telah memusuhi pamannya dan telah melakukan hal-hal yang menyakitkan batin.

   "Baiklah,"

   Dia menyarungkan pedang Li-mo-kiam.

   "Aku suka bekerja sama dengan kalian, untuk menghukum Kaisar lalim!"

   Pangeran Yauw Ki Ong segera maju dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada.

   "Kami merasa berterima kasih, bersyukur, dan bergirang hati sekali mendengar keputusan Lihiap (Pendekar Wanita) yang bijaksana. Selamat datang dan selamat berjuang bersama-sama, Lihiap. Percayalah, kami Pangeran Yauw Ki Ong yang tidak sudi menyaksikan kelaliman Paman Kaisar menindas rakyat, setelah kami berhasil menduduki singasana, tidak akan pernah dapat melupakan jasa Lihiap yang amat berharga ini!"

   Ucapan itu dikeluarkan dengan sikap halus dan sopan, disertai pandang mata kagum dan senyum menggerakkan kumis tipis pangeran itu yang dimaksudkan untuk menundukkan hati perawan cantik perkasa itu. Namun, Kwi Hong hanya balas menghormat dan seujung rambut sekalipun tidak pernah merasa tertarik kepada aksi Si Pangeran ini. Seekor kuda yang terpilih disediakan untuk Kwi Hong dan tak lama kemudian,

   Dara ini telah menunggang kuda di antara rombongan itu, menjadi sekutu mereka dan bersama-sama mereka lalu melanjutkan perjalanan menujuu ke utara di mana terdapat gabungan pasukan anak buah Koksu, orang-orang Nepal dan orang-orang Mongol. Demikianlah, tentu saja sia-sia bagi Bu-tek Siauw-jin untuk mencari muridnya itu di kota raja. Dia dan Bun Beng hanya menduga bahwa karena di utara ada "keramaian"

   Yaitu pengejaran yang dilakukan pasukan-pasukan pemerintah di bawah pimpinan Puteri Nirahai terhadap para pemberontak, agaknya Kwi Hong pun tentu akan menonton keramaian ke sana. Dugaan ini membuat keduanya tidak betah tinggal terlalu lama di kota raja dan segera mereka pun melakukan perjalanan cepat menyusul ke utara. Di sepanjang perjalanan, tiada hentinya Bun Beng memperdalam ilmunya yang baru,

   Terutama sekali permainan Ilmu Silat Pedang Lo-thian Kuam-sut yang dilakukan dengan tangan kosong dengan pengerahan tenaga gabungan yang dia latih dari Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin. Rombongan yang diikuti Kwi Hong itu setelah tiba di Tembok Besar di sebelah utara Peking, lalu menyusuri sepanjang tembok yang besar dan panjang itu menuju ke timur. Kiranya pasukan gabungan para pemberontak itu bersembunyi di dekat gunung-gunung dan jurang-jurang yang amat curam. Memang tempat ini amat tersembunyi dan juga liar sehingga pasukan penjaga kerajaan pun hanya beberapa hari sekali saja meronda di bagian ini. Akan tetapi pada waktu itu, semua pasukan di sekitar daerah ini yang melakukan penjagaan di tapal batas Tembok Besar adalah pasukan anak buah Koksu yang memang sudah diatur sebelumnya.

   Karena ini pula maka mudah bagi orang-orang Nepal dan Mongol untuk menyelundup masuk melalui Tembok Besar di mana terjaga oleh kaki tangan Koksu sendiri. Di sekitar Tembok Besar di lembah Sungai Luan itu telah dibangun pondok-pondok darurat yang dijadikan markas oleh pasukan gabungan pemberontak ini. Bahkan para jagoan yang tadinya menanti di sebelah utara kota raja, di daerah sumber minyak di mana Bun Beng pernah mengamuk, setelah usaha mereka membunuh Kaisar gagal, sisa para jagoan ini pun sudah melarikan diri dan berkumpul menjadi satu di lembah Sungai Luan ini, untuk memperkuat pasukan pemberontak. Kekuatan mereka terdiri dari kurang lebih lima ratus orang, dan merupakan gabungan pasukan Mongol Nepal dan pasukan pengawal Koksu yang rata-rata merupakan perajurit-perajurit pilihan.

   Pangeran Yauw Ki Ong yang tergila-gila oleh kecantikan Kwi Hong, bersikap amat manis terhadap nona ini. Pangeran yang sudah banyak pengalaman dengan usianya yang mendekati empat puluh tahun itu tidak mau mela-kukan tindakan yang tergesa-gesa dan sembrono terhadap Kwi Hong karena dia maklum bahwa nona ini bukan bukan seorang wanita sembarangan. Dia ingin menguasai tubuh Kwi Hong, akan tetapi bukan hanya tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya yang cantik saja, juga terutama sekali ilmu kepandaiannya yang tinggi. Kalau dia dapat meraih dara ini menjadi selirnya yang tercinta, maka dia sekaligus mendapatkan seorang penghibur yang cantik jelita dan seorang pengawal pribadi yang boleh diandalkan! Dia maklum bahwa dengan bantuan Koksu dan Maharya,

   Setelah dara ini dapat dibujuk menggabung, dengan mudah dia dapat menggunakan kekerasan atau dengan pengaruh ilmu sihir Maharya, untuk menggagahi tubuh dara ini secara paksa. Namun hal ini sama sekali tidak dikehendakinya. Setelah tiba di markas mereka yang berada di lembah Sungai Luan, di atas puncak Pegunungan Merak Merah, rombongan ini beristirahat. Pada keesokan harinya mereka berkumpul, yaitu Pangeran Yauw, Koksu, Maharya, Thian Tok Lama, Kwi Hong, dan para panglima tinggi, untuk mengatur siasat menghadapi pemerintah yang ingin mereka gulingkan. Akhirnya diambil keputusan untuk selain melakukan penjagaan ketat, juga untuk mengirim utusan mata-mata dan para penyelidik untuk mengetahui gerak-gerik musuh di selatan. Selesai berunding, Pangeran Yauw mengajak Kwi Hong untuk berburu di bawah puncak dengan pasukan pengawal.

   "Lihiap tentu belum mengenal daerah ini,"

   Katanya manis.

   "Di sini banyak sekali terdapat rusa kesturi yang mempunyai dedes yang amat harum baunya."

   Kwi Hong tertarik sekali.

   "Pangeran, apakah dedes itu?"

   Sang Pangeran tersenyum penuh gaya. Sambil menggerak-gerakkan tangan untuk menimbulkan kesan lebih mendalam, dia menjawab,

   "Dedes adalah semacam peluh yang keluar dari tubuh belakang rusa kesturi, dan merupakan bahan wangi-wangian yang amat berharga dan sukar dicari bandingnya dalam hal keharumannya, dan tidak sembarang waktu seekor rusa kesturi mengeluarkan peluh dedes ini. Peluh ini hanya keluar di waktu seekor rusa kesturi datang berahinya dan keluarnya dedes yang menyiarkan bau harum itu adalah daya penarik untuk mengundang seorang lawan kelaminnya untuk.... hemmm.... untuk bermain cinta."

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Biarpun pangeran itu sudah bicara dengan hati-hati sekali, namun tetap saja wajah Kwi Hong menjadi merah sekali mendengar penuturan itu. Sejenak Pangeran Yauw terpesona. Betapa cantiknya ketika sepasang pipi Kwi Hong berubah merah seperti itu! Andaikata dia sendiri seekor rusa kesturi, di saat itu tentulah dia akan mengeluarkan peluh dedes yang tidak kepalang tanggung banyaknya!

   "Di samping rusa kesturi ini, juga terdapat rusa-rusa muda yang tanduknya merupakan bahan obat kuat yang amat mujarab. Obat lok-jiong (tanduk menjangan muda) amat mahal dan tanduk itu dapat membuat tubuh menjadi sehat segar dan usia menjadi panjang. Selain binatang-binatang itu kita manfaatkan tanduknya dan dedesnya, juga dagingnya sedap bukan main, lunak gurih dan menghangatkan tubuh. Di samping ini, masih terdapat binatang-binatang lain dan tanam-tanaman yang belum pernah Nona saksikan sebelumnya. Marilah kita berburu, saya tanggung Nona akan merasa puas dan gembira sekali."

   Dan pangeran itu memang tidak berbohong. Pemandangan alam di Pegunungan Merak Merah itu benar-benar amat indah, dan banyak terdapat tumbuh-tumbuhan dengan bunga-bunga beraneka warna yang belum pernah dikenal Kwi Hong. Bermacam batang bambu yang aneh-aneh dan bagus sekali tumbuh di daerah ini. Setelah berburu selama setengah hari, Kwi Hong dan Pangeran Yauw berhasil memanah roboh dua ekor rusa yang gemuk dan muda, dan kebetulan sekali dari dua ekor rusa ini terdapat dedesnya dan dari yang kedua terdapat tanduknya yang muda dan panjang.

   Sore hari itu, Pangeran Yauw mengundang Kwi Hong untuk duduk di tepi Sungai Luan, di dalam taman alam yang amat sejuk dan indah, menghadapi meja penuh hidangan arak dan bermacam masakan daging rusa yang lezat! Dalam kegembiraannya, Kwi Hong yang menganggap bahwa pangeran itu adalah seorang bangsawan yang sopan dan ramah, sama sekali tidak menaruh curiga dan makan minum bersama pangeran itu, bahkan tertawa memuji ketika Sang Pangeran menuliskan beberapa baris sajak. Kiranya pangeran bangsa Mancu ini pandai pula dalam hal kesusastraan. Setelah mereka makan cukup kenyang dan minum arak yang cukup memanaskan tubuh, Pangeran Yauw memanggil pelayan pribadinya dan menyuruh mengambil arak simpanannya. Arak di dalam sebuah guci batu giok biru itu ditaruh di atas meja.

   "Giam-lihiap, ini adalah arak simpanan yang saya dapatkan di selatan. Arak yang amat luar biasa, sudah tua sekali. Harap Lihiap sudi menerima penghormatan kami dengan tiga cawan arak ini!"

   Sambil tersenyum Pangeran Yauw menuangkan secawan arak dari guci arak batu giok itu. Arak itu berwarna merah kekuningan, amat harum baunya dan ketika berada di dalam cawan, kelihatan seperti air emas.

   "Kami namakan arak ini arak emas. Silakan minum, Lihiap!"

   Kwi Hong merasa sudah terlalu banyak minum akan tetapi dia merasa tidak enak untuk menolak. Diminumnya arak dari cawan itu bersama dengan pangeran yang juga mengangkat cawannya. Arak itu memang enak sekali, manis dan harum, akan tetapi juga amat keras sehingga Kwi Hong merasa betapa hawa panas naik ke kepalanya, membuat ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut.

   "Masih dua cawan lagi, Lihiap,"

   Kata Sang Pangeran gembira sambil menuangkan lagi arak ke dalam cawan Kwi Hong yang kosong.

   "Maaf, Ong-ya. Saya sudah minum terlalu banyak. Tidak kuat lagi...."

   Kwi Hong menundukkan mukanya dan mengatur napas untuk menghilangkan rasa pening di kepalanya.

   "Aihhh, apakah penghormatan kami yang hanya tiga cawan tak dapat Lihiap terima?"

   Pangeran itu berkata dengan suara ringan, tanda bahwa dia pun agak mabok.

   "Bukan begitu, Ong-ya. Tentu saja saya tidak berani menolak kebaikan Ong-ya, akan tetapi saya benar-benar telah agak pening, maka dua cawan arak ini.... biarlah saya minum perlahan-lahan...."

   Pangeran itu tersenyum ramah lagi dan mengangguk-angguk.

   "Aku percaya seorang gagah seperti Lihiap tidak akan mengecewakan hatiku...., biarlah guci arak ini kutinggalkan saja di sini, harap Lihiap nanti suka menerima dua cawan arak kehormatan dariku lagi, bahkan boleh menghabiskan arak ini kalau suka. Sisanya berikut guci araknya boleh Lihiap kembalikan nanti, aku menanti di kamar.... aku mempunyai sebuah benda yang amat berharga, hendak kuserahkan kepada Lihiap sebagai hadiah."

   Setelah berkata demikian, pangeran itu meninggalkan Kwi Hong dengan langkah kaki agak terhuyung-huyung, langkah seorang mabok. Kwi Hong menjadi lega hatinya. Harus diakuinya bahwa pangeran itu bersikap amat baik kepadanya. Memang dia tidak bermaksud menolak minum dua cawan arak lagi, akan tetapi ia hanya takut kalau dua cawan itu diminumnya sekaligus, dia akan menjadi mabok betul-betul. Kalau dibiarkannya minum sendiri perlahan-lahan, kiranya tidak apa-apa. Dia mengangkat guci arak itu dan dipandangnya di bawah sinar lampu merah yang dipasang di taman alam itu. Sebuah guci arak giok yang amat indah.

   Dia tersenyum, meletakkan guci ke atas meja, kemudian memandang cawan arak wangi. Cawan yang ke dua! Ketika tangannya bergerak ke arah cawan, hendak diangkat dan diminumnya arak itu sedikit demi sedikit, tiba-tiba dara itu menaruh cawan araknya cepat ke atas meja dan gerakan cepat ini membuat arak sedikit tumpah, sedangkan tangan kirinya menyambar benda hitam yang meluncur ke arah dirinya. Melihat bahwa benda itu adalah sebuah batu hitam kecil dan ada sehelai kertas diikat pada batu, dia menjadi curiga dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat ke arah datangnya batu tadi. Akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sekitar tempat itu, dan ketika dia melanjutkan pencariannya keluar dari taman alam itu, dia hanya melihat lima orang tukang kuda sedang bekerja keras menyikat tubuh kuda-kuda tunggangan pangeran dan para pembesar lainnya.

   Tentu saja Kwi Hong tidak mau menanyakan sesuatu kepada mereka ini dan dia kembali ke dalam taman. Di bawah sinar lampu merah, dia melihat tulisan di atas kertas itu. Hanya beberapa huruf yang ditulis dengan tergesa-gesa agaknya. JANGAN DIMINUM ARAK PERANGSANG ITU! Kwi Hong mengerutkan alisnya, meremas hancur kertas itu dan membuangnya sambil memandang ke arah cawan arak dan guci yang masih terletak di atas meja. Dia merasa penasaran karena sungguh tidak mengerti. Apa artinya arak perangsang? Jelas bukan arak beracun, karena kalau beracun, tentu dia sudah roboh. Pula, mengapa pangeran akan meracuninya? Pangeran itu dan semua pembantunya merupakan sekutunya untuk menghadapi Kaisar! Tak mungkin mereka itu mempunyai niat buruk terhadap dirinya. Akan tetapi, apa maksud Si Penulis surat aneh ini? Dan siapa orangnya?

   Diukur dari tenaga lemparan batu kecil tadi, orang itu memiliki kepandaian biasa saja! Biarpun Kwi Hong tidak mempedulikan isi tulisan itu dan dia pun tidak takut kalau-kalau dia diracuni, namun kegembiraannya lenyap dan dia tidak mau lagi minum arak. Arak yang sudah berada di dalam cawan itu dia tuangkan kembali ke dalam guci, kemudian dia membawa guci batu giok itu menuju pondok besar tempat peristirahatan Pangeran Yauw Ki Ong. Setelah penjaga mempersilakan masuk seperti yang dikehendaki pangeran, Kwi Hong memasuki pondok. Alisnya berkerut dan hatinya tidak senang sekali ketika ia melihat pangeran itu dengan pakaian setengah telanjang roboh telentang di atas pembaringan dan dikeroyok oleh dua orang wanita cantik yang menggosok tubuhnya dengan minyak, sedangkan orang ke dua memijat tubuhnya.

   "Ha-ha, engkau telah datang menyusulku, Lihiap? Harap kau taruh saja guci itu di atas meja dan duduklah. Duduklah di kursi itu, atau di pinggir pembaringan ini, nanti akan kuambilkan sebuah hiasan rambut burung Hong dari batu giok yang amat indah, hendak kuhadiahkan untukmu."

   Karena sikap pangeran ini masih ramah dan tidak menonjolkan kekurangajaran, maka Kwi Hong yang agak pening oleh arak itu masih tidak merasa. Dia masih terlalu jujur untuk dapat mengenal kegenitan seorang laki-laki yang hendak menjatuhkannya, maka setelah meletakkan guci itu di atas meja dia menjura dan berkata,

   "Saya hendak mengaso, Pangeran, dan tidak berniat melanjutkan percakapan kita. Soal hadiah, saya tidak membutuhkannya dan kalau Ong-ya hendak memberikan kepadaku, besok masih banyak waktu. Selamat malam dan maafkan saya."

   Tanpa menanti jawaban dara itu membalikkan tubuh dan dengan langkah lebar meninggalkan pangeran itu yang menjadi kecewa sekali. Pangeran Yauw mendorong dua orang pelayannya dan meloncat turun, menyambar guci arak, membuka tutupnya dan mengintai isinya. Dia kecewa sekali dan maklum bahwa calon korbannya itu tidak minum lagi. Biarpun secawan dari arak emas ini sudah cukup untuk merobohkan seorang wanita yang bagaimana keras hati dan dingin sekalipun, namun agaknya masih kurang kuat untuk menundukkan Kwi Hong! Obat perangsang itu belum cukup kuat untuk mempengaruhi Kwi Hong yang masih bersih, hanya membuat dara itu bingung saja! Pangeran Yauw maklum bahwa dia tidak boleh terburu nafsu, dan dia akan mencari kesempatan lain untuk melampiaskan niatnya.

   Dia tersenyum mengusir kekecewaannya, kemudian merangkul dua orang pelayannya itu sebagai penghibur dan pengganti diri Kwi Hong yang tadinya ia harapkan malam itu akan terjatuh ke dalam pelukannya. Selagi Pangeran Yauw Ki Ong tenggelam ke dalam hiburan kedua orang pelayan wanita muda itu, dan Kwi Hong ke dalam kenyenyakan tidur tanpa mimpi akibat hawa arak, dan Koksu bersama para pembantu-nya yang berilmu tinggi juga beristirahat dengan hati tenteram karena percaya akan ketatnya penjagaan anak buah mereka, tampaklah dua sosok bayangan tubuh orang yang berkelebat dan bergerak seperti setan di dekat markas para pemberontak ini. Di dalam kegelapan malam muda itu memang dua sosok bayangan yang berkelebatan di sekitar tempat itu amat mengerikan.

   Gerakan mereka cepat laksana gerakan iblis sendiri, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang terdengar suara ketawa menyeramkan. Karena bulan belum muncul, sukar untuk menentukan bentuk dua sosok bayangan itu. Akan tetapi setelah bulan yang lambat itu mulai muncul dan memuntahkan cahayanya yang pucat disaring awan-awan tipis sehingga menciptakan cahaya redup kehijauan di malam hari yang sunyi itu, bentuk dua sosok bayangan itu kelihatan agak jelas. Kiranya mereka adalah dua orang manusia, sungguhpun tidak mungkin manusia biasa melihat cara mereka bergerak secepat itu. Seorang di antara mereka bertubuh pendek sekali, rambutnya panjang riap-riapan membuat kepalanya yang besar itu kelihatan makin besar, dan Si Pendek inilah yang tertawa-tawa.

   Temannya tidaklah setua kakek pendek ini, melainkan seorang muda yang kepalanya dilindungi sebuah topi caping lebar dan di punggungnya tampak buntalan pakaiannya. Sebuah kuncir rambut besar kadang-kadang melambai di balik pundaknya ketika dia bersama kakek itu berloncatan melalui jurang-jurang yang curam. Dilihat dari jauh, oleh mereka seperti dua ekor kijang bermain-main dan saling berkejaran di malam sunyi itu. Akan tetapi tak lama kemudian tampaklah bayangan mereka. Kakek itu masih tertawa-tawa, akan tetapi mereka membawa sekumpulan senjata yang banyak sekali. Susah payah mereka membawa senjata-senjata tajam yang malang-melintang itu sehingga ada yang tercecer di jalan.

   "Ha-ha-ha, betapa lucunya kalau mereka itu dikejutkan dan dalam kegugupan mencari-cari senjata mereka!"

   Kata yang muda. Kakek pendek itu pun tertawa, akan tetapi dia lalu menengadah dan bernyanyi,

   "Senjata adalah benda sialan, dibenci oleh siapapun juga. Tidak dipergunakan para bijaksana, Bahkan dalam kemenangan sekalipun senjata tak sedap dipandang mata karena yang mengagungkannya hanyalah pembunuh-pembunuh kejam! Alat pembunuhan antar manusia menimbulkan kematian terpaksa mendatangkan duka dan air mata dan kemenangan dirayakan dengan upacara kematian!"

   "Locianpwe, saya mengenal sebagian kalimat nyanyian Locianpwe adalah dari isi kitab To-tek-keng! Akan tetapi juga tidak sama...."

   Pemuda itu, Gak Bun Beng menegur heran.

   "Ha-ha-ha, perlu apa menghafal isi ujar-ujar kitab apapun juga seperti seekor burung? Yang penting adalah mengerti dan melaksanakan, karena pelaksanaan yang berdasarkan pengertian bukanlah penjiplakan belaka namanya. Aku benci segala macam senjata, hayo kita buangkan semua senjata di dalam gudang itu!"

   Dua orang itu membawa senjata-senjata yang mereka panggul itu ke tepi jurang, lalu melemparkan senjata-senjata itu ke dalam jurang yang hitam, jurang yang tak dapat diukur dalamnya sehingga ketika senjata-senjata itu sampai ke dasar ujung, tidak terdengar apa-apa dari tempat mereka berdiri!

   Sambil tertawa-tawa, Bu-tek Siauw-jin dan Bun Beng segera berlarian lagi menghampiri gudang senjata milik para pemberontak untuk mengangkuti semua senjata yang terkumpul di situ dan dibuang ke dalam jurang. Belasan orang penjaga gudang itu masih berdiri di tempat masing-masing, akan tetapi mereka ini berdiri seperti arca karena sudah tertotok, bahkan senjata di tangan dan di pinggang mereka pun sudah dilucuti oleh Bu-tek Siauw-jin dan ikut terbawa untuk dibuang ke dalam jurang itu. Karena jarak antara gudang senjata dan jurang tempat pembuangan itu cukup jauh, dan jumlah senjata dalam gudang amat banyak sedangkan betapa pun saktinya, kedua orang itu masing-masing hanya mempunyai sepasang tangan, setelah bekerja sampai pagi, belum ada setengah isi gudang berhasil mereka buang ke dalam jurang.

   Ketika untuk kesekian kalinya Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin kembali ke gudang, begitu mereka memasuki gudang, terdengar bentakan-bentakan dan ternyata gudang itu telah dikurung oleh puluhan orang perajurit! Mereka telah ketahuan, atau lebih tepat lagi, peronda telah melihat penjaga-penjaga yang tertotok kaku itu sehingga mereka segera melaporkan kepada Koksu dan Koksu yang menduga bahwa tentu ada mata-mata musuh menyelundup sudah memasang perangkap sehingga ketika dua orang itu datang, mereka telah terkurung! Tentu saja kedua orang itu segera diserbu dan dikeroyok oleh puluhan orang perajurit. Apalagi setelah Koksu menerima pelaporan bahwa yang mengacau di gudang senjata adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng, dia segera mengerahkan para pembantunya untuk mengeroyok.

   "Wah, repot nih, Bun Beng!"

   Bu-tek Siauw-jin berkata, sambil sibuk meloncat ke sana-sini di antara serbuan para perajurit.

   "Kita membuang senjata supaya jangan ada perang, malah diperangi!"

   "Mari kita keluar, Locianpwe!"

   Bun Beng berkata, khawatir juga karena dia tidak mungkin dapat menghadapi pengeroyokan hebat itu dengan sikap berkelakar dan tidak peduli seperti kakek yang agaknya tidak bisa melihat bahaya itu.

   Dengan gerakan kaki tangannya, Bun Beng berusaha membuka jalan keluar dari dalam gudang senjata, akan tetapi karena Bu-tek Siauw-jin enak-enak saja menendingi semua pengeroyoknya, kadang-kadang terkekeh girang kalau melihat beberapa orang terjengkang roboh sendiri setelah memukulnya, Bun Beng merasa bingung dan benar-benar mendongkol sekali. Kakek itu agaknya malah girang dan gembira menghadapi pengeroyokan itu, seperti seorang kanak-kanak memperoleh sebuah permainan baru dan merasa sayang untuk meninggalkannya! Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras di luar gudang tempat pengeroyokan itu dan terjadilah kekacauan hebat. Menurut pendengarannya yang memperhatikan suara teriakan-teriakan itu, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa tempat markas pemberontak itu telah diserbu oleh pasukan pemerintah! Keadaan menjadi kacau balau.

   Koksu dan para pembantunya segera lenyap dari situ meninggalkan Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin yang masih dikeroyok oleh para pasukan penjaga. Tentu saja bagi Koksu dan teman-temannya, berita penyerbuan pasukan pemerintah itu lebih penting, lebih hebat dan harus segera ditanggulangi daripada kekacauan yang disebabkan oleh perbuatan dua orang ini. Memang benarlah apa yang didengar oleh Bun Beng. Pasukan besar pemerintah yang dipimpin oleh Puteri Nirahai dan Lulu telah datang menyerbu tempat itu secara mendadak. Terjadilah perang yang amat hebat, perang mati-matian karena para pemberontak membuat pertahanan yang terakhir. Mereka masih menanti datangnya bala bantuan dari barat dan utara, siapa mengira bahwa pagi hari itu mereka harus menghadapi penyerbuan pasukan pemerintah yang tidak mereka sangka-sangka akan demikian cepat datangnya.

   Tentu saja Koksu tidak menyangka bahwa Puteri Nirahai sendiri yang menjadi pemimpin penyerbuan ini, seorang puteri yang sudah banyak pengalamannya dalam menghadapi pasukan pemberontak, seorang yang tidak saja ahli dalam hal ilmu silat, juga seorang ahli perang yang terkenal! Setelah Koksu dan para pembantunya meninggalkan gudang senjata di mana Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin terkepung, tentu saja dengan mudah kedua orang sakti ini mampu keluar dari kepungan. Apalagi karena para perajurit yang mendengar akan penyerbuan tentara musuh sudah menjadi panik, bahkan akhirnya sisa mereka meninggalkan dua orang itu untuk membantu teman-teman menghadapi pasukan pemerintah. Gudang senjata telah mereka bobol dari belakang dan sisa senjata yang masih berada di dalam gudang telah mereka angkut keluar untuk dipergunakan para pasukan menghadapi musuh.

   "Wah, perang telah terjadi?"

   Kata Bu-tek Siauw-jin setelah mereka berdua keluar dari dalam gudang senjata. Terdengar dari situ pekik sorak mereka yang berperang, dan suara senjata yang meng-gegap gempita.

   "Mudah-mudahan saja para pemberontak segera dapat dihancurkan,"

   Kata Bun Beng sambil berdiri termenung. Yang terbayang di depan matanya adalah Milana. Apakah dara itu ikut berperang membantu ibunya yang memimpin pasukan pemerintah itu? Teringat betapa fihak pemberontak terdapat orang-orang pandai seperti Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama, ia merasa khawatir juga akan kekasihnya itu.

   "Locianpwe, saya hendak menonton perang dan kalau perlu membantunya."

   

Pendekar Super Sakti Eps 11 Kisah Pendekar Bongkok Eps 6 Pendekar Super Sakti Eps 19

Cari Blog Ini