Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Bongkok 17


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 17



Karena dua orang ini mencari dengan sungguh-sungguh, dengan teliti, dan karena Sie Liong merupakan seorang yang bongkok dan mudah diikuti jejaknya, maka akhirnya Bi Sian dan Bong Gan mengikuti jejak Sie Liong ke daerah Tibet! Dan di sepanjang perjalanan, mereka mendengar akan sepak terjang Pendekar Bongkok. Mereka menduga bahwa tentulah Sie Liong yang dijuluki Pendekar Bongkok, maka mereka terus melakukan pengejaran. Akan tetapi setelah tiba di daerah Tibet, mereka kehilangan jejak Sie Liong. Daerah ini merupakan daerah yang masih liar dan jarang penduduknya. Berhari-hari mereka melalui daerah yang tidak ada dusunnya, maka tentu saja amat sukarnya mencari seseorang di daerah itu, biarpun orang itu mempunyai cacat bongkok sekalipun.

   "Semua orang yang pergi ke Tibet tentu akan berkunjung ke ibu kota Tibet, yaitu kota Lasha,"

   Kata Bong Gan.

   "Sebaiknya kita pergi saja ke sana. Kalau kita tidak dapat menemukan dia di sana, setidaknya kita tentu akan dapat mencari keterangan tentang dia."

   Bi Sian menyetujui pendapat sutenya dan pergilah mereka menuju ke Lasha. Pada pagi hari itu, mereka tiba di Telaga Nam. Melihat keindahan tempat itu, mereka berhenti dan ingin berpesiar dulu di situ selama satu dua hari. Bi Sian tidak perduli akan pandangan orang melihat pakaiannya yang aneh, penuh tambalan namun baru.

   Memang ia setia kepada kebiasaan gurunya, yaitu Koay Tojin, dan biar sekarang tidak melakukan perjalanan bersama gurunya lagi, namun ia tetap masih mempergunakan pakaian tambal-tambalan. Ia sendiri tidak tahu apakah rasa suka akan pakaian tambal-tambalan ini karena sudah terbiasa, ataukah memang ingin sederhana, ataukah melalui kesederhanaan dan tambal-tambalan yang tidak wajar itu justeru ia ingin menonjolkan diri agar diperhatikan orang! Kesederhanaan yang ditonjolkan dan disengaja, bukanlah kesederhanaan lagi namanya, melainkan kesombongan terselubung! Kesederhanann yang mempunyai arti adalah kalau orang itu tidak merasa lagi bahwa dia sederhana! Kesederhanaan adalah kewajaran, tidak dibuat-buat, dan merupakan suatu keadaan kepribadian seseorang. Bukan terletak pada pakaian seadanya, bukan terletak di luar, melainkan bersumber di sebelah dalam dirinya.

   Berbeda dengan Bi Sian, Coa Bong Gan yang ketika kecilnya meniadi anak angkat seorang hartawan dan sudah biasa hidup royal, setelah berpisah dari gurunya, meninggalkan kebiasaan berpakaian tambal-tambalan. Dia mengenakan pakaian yang selalu rapi, walaupun tidak terlalu menyolok, tidak terlalu royal karena sucinya tentu akan menegurnya. Padahal, kalau dia mau, tentu saja dia bisa membeli pakaian yang mahal dan indah. Uangnya? Mudah saja! Di setiap kota terdapat hartawan dan tidak ada penjaga yang cukup kuat, tidak ada pintu yang cukup kokoh baginya kalau dia mau mengambil uang sekehendak hatinya dari gudang harta seorang hartawan! Semenjak melakukan perjalanan bersama Bi Sian, terjadi perang selalu dalam batin Bong Gan. Dia memaksa diri untuk bersikap baik dan sesuai dengan yang diinginkan sucinya. Dia memaksa diri bersikap sebagai seorang pendekar tulen dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua selalu menentang kejahatan dan menolong mereka yang tertindas.

   Akan tetapi sebenarnya, di lubuk hatinya, Bong Can muak dengan semua itu. Bahkan dia harus menekan semua gejolak nafsunya. Semua ini dia lakukan bukan karena dia takut kepada sucinya, melainkan karena dia telah jatuh cinta kepada Bi Sian, karena dia tidak mau menentang semua kehendak Bi Sian, ingin selalu menyenangkan hatinya. Di lain pihak, Bi Sian bukanlah seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah berusia kurang lebih sembilan belas tahun, sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terkandung dalam hati sute yang lebih tua itu terhadap dirinya. Dan ia selalu dalam bimbang ragu, karena ia sendiri belum yakin apakah ia juga mencinta sutenya itu sebagai seorang wanita mencinta seorang pria ataukah tidak. Ia suka kepada sute yang penurut itu, dan harus diakuinya bahwa Bong Gan adalah seorang pemuda yang baik, penurut, ramah, gagah perkasa dan juga tampan menarik!

   Akan tetapi, ia selalu mengusir kebimbangan ini dan mengambil keputusan bahwa sebelum ia mampu membalas kematian ayahnya terhadap Sie Liong, ia tidak akan memikirkan urusan cinta! Orang yang sudah menjadi hamba nafsunya, akan merasa tersiksa kalau dia dalam waktu lama tidak berkesempatan untuk memuaskan gairah nafsu itu. Pemuasan nafsu itu sudah sedemikian dibutuhkannya, sudah mencengkeramnya sehingga dia menjadi kecanduan. Hidupnya akan terasa hampa dan tidak ada artinya, tidak ada kesenangan kalau dia tidak mendapatkan kesempatan lagi untuk memuaskannya. Demikian pula dengan Bong Gan. Sejak remaja, dia telah menjadi hamba nafsu berahi yang dibangkitkan oleh Pek Lan, selir ayah angkatnya yang kemudian menjadi kekasihnya sehingga perhubungannya dengan selir itu tertangkap basah, membuat dia terusir dari rumah ayah angkatnya yang kaya raya.

   Ketika dia menjadi murid Koay Tojin, sukar sekali baginya untuk melampiaskan nafsu berahinya. Dia adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa kalau dia melanggar, walaupun dengan sembunyi-sembunyi, suhunya yang amat lihai itu pasti akan mengetahuinya dan kalau sampai suhunya tahu bahwa dia melakukan suatu perbuatan yang menyeleweng, tentu suhunya marah kepadanya dan hal itu amat berbahaya. Maka, selama tujuh tahun mengikuti Koay ToSin bersama Bi Sian, Bong Gan bersikap jujur dan alim! Lingkungan mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap watak seseorang. Manusia merupakan mahluk yang teragung, terpandai akan tetapi juga amat lemahnya.

   Karena dalam dirinya terkandung daya-daya rendah yang memupuk nafsu yang sudah menyatu dengan hati perasaan dan akal pikirannya, maka mudah sekali manusia terpikat dan terpengaruh oleh keadaan lingkungannya. Terutama sekali lingkungan yang tidak sehat mudah sekali menyeret seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Segala tindak kemaksiatan memang mendatangkan kesenangan lahir dan ini memang merupakan umpan dari setan nafsu untuk memikat manusia. Karena itu, mudah sekali lingkungan yang sesat menyeret seseorang, biarpun orang itu tadinya alim dan tidak suka melakukan kesesatan. Bahkan lingkungan yang sehat dan bersih, biarpun daya tariknya tidak sekuat lingkungan yang sesat, tetap saja dapat mempengaruhi seseorang untuk menyesuaikan diri.

   Demikian pula dengan Bong Gan. Setelah dia hidup bersama Bi Sian dan Koay Tojin, setiap hari bergaul dengan mereka, bagaikan api, nafsu berahinya tidak lagi berkobar-kobar, melainkan kalau tidak padam juga mengecil. Nafsu berahinya bangkit sebelum waktunya, ketika dia berusia tiga belas tahun. Oleh karena itu, tidak begitu sukar baginya untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan yang jauh dari nafsu berahi selama tujuh tahun itu. Ini sebabnya mengapa Koay Tojin, walaupun meragukan kebersihan batin murid ini, tidak menemukan suatu kesalahan dan biarpun berlawanan dengan perasaan nalurinya, tetap mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi kepada Bong Gan. Dan demikian pula Bi Sian. Setelah selama tujuh tahun bergaul dengan Bong Gan, ia melihat sikap dan sifat yang baik dalam tingkah laku Bong Gan selama itu, maka tentu saja iapun percaya kepadanya.

   Baru setelah dua orang murid ini berpisah dari guru mereka, dan Bong Gan sudah berusia dua puluh tahun, pemuda ini mulai berani membiarkan nafsu berahinya berkobar lagi, berani dia mencarl wanita untuk memuaskan gairah nafsu berahinya, baik secara suka sama suka, secara suka rela, dengan cara membeli maupun dengan paksaan mengandalkan kepandaiannya. Namun, hal ini dilakukan dengan amat hati-hati, bahkan jarang dia memperoleh kesempatan karena biarpun sudah berpisah dari suhunya yang dia takuti, dia masih bersama sucinya (kakak seperguruan). Bukan karena dia takut kepada Bi Sian, melainkan karena dia jatuh cinta kepada gadis itu. Dia tidak ingin kelihatan sesat dan buruk di depan Bi Sian. Dia tahu bahwa kalau sampai gadis itu mengetahui kesesatannya, tentu harapannya untuk mempersunting bunga yang harum itu akan lenyap.

   Ketika berada di Sung-jan, tempat tinggal orang tua Bi Sian, dia bermalam di hotel dan karena itu dia mempunyai kesempatan untuk memuaskan nafsu berahinya dengan berkunjung ke rumah pelesir yang mewah. Celakanya, di situ dia bertemu dengan mendiang Yauw Sun Kok, ayah kandung Bi Sian! Tentu saja dia tidak ingin melihat orang ini memberitahu tentang keberadanya di rumah pelesir itu kepada Bi Sian, maka tidak ada jalan lain kecuali membunuhnya! Dibunuhnya Yauw Sun Kok dan diapun menyamar sebagai Sie Liong yang kelihatannya demikian disayang oleh Bi Sian sehingga menimbulkan perasaan cemburu di hatinya. Perbuatannya ini berhasil baik. Yauw Sun Kok terbunuh dan Sie Liong yang didakwa sebagai pembunuhnya. Tentu saja dia merasa amat girang ketika Bi Sian minta bantuannya untuk mencari Sie Liong yang melarikan diri, membantunya membalaskan sakit hatinya karena Sie Liong telah membunuh Yauw Sun Kok, seperti telah dipercaya oleh semua orang.

   Inilah kesempatan baik baginya, bukan saja untuk dapat terus berdekatan dengan gadis yang dicintanya, akan tetapi juga untuk membalas jasa. Kalau mereka maju berdua, betapapun lihainya paman dari Bi Sian itu, tentu mereka berdua akan mampu merobohkannya. Memang si bongkok itu harus dibunuh sehingga rahasia pembunuhan atas diri Yauw Sun Kok itu akan tertutup selamanya. Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan selama tiga bulan, dia mulai merasa tersiksa. Gadis yang dicintanya itu, sedemikian dekatnya, setiap hari dia harus melihat segala kecantikannya, namun dia tidak boleh memilikinya, tidak boleh menyentuhnya dan tidak boleh membelainya. Yang lebih membuatnya menderita lagi adalah karena tidak ada wanita lain yang dapat menjadi pengganti Bi Sian untuk sementara.

   Jarang terdapat kesempatan baginya untuk mencari wanita pemuas nafsunya, karena dia selalu bersama Bi Sian dan dia menjaga dengan sungguh agar jangan sampai gadis yang dicintanya itu memergoki dia berhubungan dengan wanita lain. Ketika dua orang muda itu mendayung perahu kecil di atas Telaga Nam sambil menikmati sinar matahari pagi, hawa udara sejuk hangat dan pemandangan yang amat indah itu, diam-diam Bong Gan memperhatikan gadis yang duduk di depannya. Mereka duduk berhadapan dalam perahu kecil itu. Dia yang menda-yung mundur, gadis itu yang mengemudikan dengan dayung lain. Setelah perahu meluncur sampai di tengah telaga, di mana terdapat sebuah pulau kecil dan di sekeliling pulau itu terdapat bunga teratai merah dan putih, indah sekali, Bi Sian berkata,

   "Kita berhenti di sini. Mari kita ke pulau itu. Alangkah indahnya di sana, sute,"

   Gadis itu memang selalu bersikap gembira dan terbuka, namun hatinya keras sehingga kadang nampak galak. Mereka mendekatkan perahu ke pantai lalu mendarat di atas pulau kecil itu. Dengan gembira sekali Bi Sian berlari-lari ke tengah pulau, dikejar oleh Bong Gan. Mereka lalu duduk di bagian paling tinggi dari pulau itu, duduk di atas rumput hijau tebal yang lunak. Melihat wajah sucinya yang putih halus kemerahan itu, yang pagi itu nampak cantik sekali, melihat betapa sucinya duduk di atas rumput tebal di dekatnya,

   Terbayang dalam pikiran Bong Gan betapa akan senang dan nikmatnya kalau mereka telah menjadi sepasang kekasih, bermesraan dan bergumul di atas rumput hijau itu, di atas pulau kecil yang demikian sunyi, dikelilingi air telaga yang biru dan luas, tidak ada seorang lainpun yang mengganggu. Bayangan pikiran ini membuat jantungnya berdebar dan gairah nafsunya timbul dan berkobar. Namun, Bong Gan adalah seorang pemuda cerdik sekali. Biarpun gairah nafsu telah mencengkeramnya, dia tidak menjadi mata gelap. Dia tahu bahwa kalau dia mempergunakan kekerasan, selain belum tentu dia akan mampu menundukkan sucinya, juga hal itu akan membuat harapannya untuk memperisteri Bi Sian hancur sama sekali. Gadis itu tentu akan membencinya. Padahal, dia benar-benar jatuh cinta kepada Bi Sian, bukan sekedar hendak mempermainkannya saja, melainkan hidup bersamanya sebagai suami isteri.

   "Hai, sute! Kenapa engkau memandang padaku seperti itu?"

   Tiba-tiba pertanyaan yang mengejutkan hatinya itu keluar dari mulut Bi Sian. Gadis ini merasa heran melihat betapa sutenya memandang kepadanya tidak seperti biasa, dengan sinar mata yang demikian tajam dan jelas sekali pandang mata itu mengandung kekaguman dan kemesraan yang mengejutkan hatinya. Ditegur secara seperti itu, Bong Gan yang sedang melamun dan membiarkan dirinya dibuai khayal indah itu, terkejut dan dia tersipu.

   "Suci, aku sedang gembira sekali!"

   Jawabnya, kecerdikan dan ketenangannya menolongnya sehingga dia tidak nampak gugup ketika menjawab. Melihat sikap sutenya biasa saja, lenyap kecurigaan Bi Sian dan iapun memandang ke sekeliling, lalu menghela napas panjang.

   "Yahhhh.... akupun gembira sekali, sute. Memang amat indah pemandangan di sini, indah menyenangkan dan hawanyapun nyaman bukan main!"

   "Aku merasa seperti di sorga, suci!"

   Bi Sian memandang pemuda itu dan tertawa.

   "Di sorga? Hi-hik, seperti engkau pernah tahu sorga saja. Memang indah sekali pemandangan di sini, indah dan hening, hawa udara jernih dan di sini begini tenang, begini penuh damai dan tenteram.... akan tetapi seperti sorga? Aku tidak tahu...."

   "Bukan tempatnya yang mendatangkan perasaan bahagia di hatiku, suci."

   Bi Sian kembali menoleh dan masih tersenyum.

   "Bukan karena tempatnya dan hawa udaranya? Lalu karena apa?"

   "Karena ada engkau di dekatku, suci."

   "Ihhh!"

   Bi Sian meloncat bangkit, kini berdiri dan bertolak pinggang, ke dua pipinya berubah merah.

   "Sute, apa maksudmu dengan omongan itu?"

   Bong Gan masih tetap duduk. Dia mengangkat muka, memandang wajah gadis itu dengan sikap tenang.

   "Maafkan aku, suci, aku hanya bicara sejujurnya saja. Entah mengapa aku sendiri tidak mengerti, suci, akan tetapi aku selalu merasa berbahagia di sampingmu. Terutama sekali saat ini, kita hanya berdua saja di pulau kecil kosong ini. Alangkah bahagianya kalau aku terus dapat berada di sampingmu, selama hidupku."

   Wajah yang tadinya kemerahan itu berubah agak pucat, dan Bi Sian merasa betapa jantungnya berdebar kencang. Tentu saja ia mengerti apa yang menjadi isi hati sutenya itu.

   "Sute, kau.... bicaramu aneh sekali. Mana mungkin kita berdampingan selama hidupmu...."

   "Kenapa tidak mungkin, suci? Kalau kita menjadi suami isteri...."

   "Sute....!!"

   Bi Sian berseru, matanya terbelalak karena ia menganggap sutenya terlalu berani, terlalu lancang.

   "Maaf, suci. Kalau suci menganggap aku bersalah atau kurang ajar, aku pasrah dan siap menerima hukuman. Akan tetapi dengarkan dulu pengakuanku, suci. Kita bergaul sejak aku berusia tiga belas tahun dan engkau sebelas tahun, mengalami suka duka yang sama, menjadi teman berlatih, teman bermain, dan bahkan sekarang, setelah kita berdua berpisah dari suhu, kita masih berdampingan. Dahulu aku memang memiliki perasaan sayang seperti seorang saudara seperguruan kepadamu, suci. Akan tetapi setelah kita sama-sama dewasa.... biarlah aku mengaku terus terang saja, akibatnya terserah kebijaksanaanmu. Aku telah jatuh cinta padamu, suci, dan aku mengharapkan kelak untuk dapat menjadi suamimu, hidup berdampingan denganmu selama hidupku."

   Wajah Bi Sian sebentar pucat sebentar merah mendengar pengakuan sutenya itu. Memang ia sudah menduga bahwa sutenya jatuh cinta padanya, akan tetapi begitu pengakuan itu keluar dari mulut sutenya sendiri, bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa haru, ada malu, ada pula marah karena sutenya dianggapnya lancang, ada pula rasa girang dan semua perasaan itu teraduk membuat ia sejenak tak mampu bergerak ataupun mengeluarkan kata-kata. Sejenak mereka saling pandang, dan akhirnya Bi Sian menghela napas sambil memutar tubuh membelakangi sutenya. Kemudian terdengar suaranya lirih.

   "Sute....!"

   "Ya, suci?"

   Jawab Bong Gan penuh harap.

   "Mulai sekarang, engkau kularang bicara seperti itu lagi, kularang membicarakan tentang cinta lagi!"

   "Tapi, suci, jawablah dulu pernyataan cintaku padamu. Sudikah engkau menerimanya? Sudikah engkau membalasnya? Agar ada kepastian dan tidak lagi membuat aku bimbang ragu, suci. Kasihanilah aku...."

   "Cukup! Aku tidak dapat menjawab sekarang! Pendeknya, aku melarang engkau bicara tentang itu lagi sebelum aku berhasil menemukan Sie Liong dan membunuhnya. Kalau engkau tidak setuju dengan permintaanku ini, engkau boleh pergi dan aku tidak membutuhkan bantuanmu lagi untuk menghadapi musuh besarku itu."

   Di belakang Bi Sian, Bong Gan tersenyum, senyum kemenangan. Kalau gadis ini tidak suka kepadaku, tentu ia sudah menjadi marah dan seketika mengusirku, pikirnya. Akan tetapi, Bi Sian mengajukan syarat, yaitu menjawab kalau sudah berhasil membunuh Sie Liong, si bongkok! Hal ini meyakinkan hatinya bahwa sucinya itupun "ada hati"

   Kepadanya. Andaikan tidak, tidak mungkin memberi waktu untuk menjawabnya. Kalau gadis itu tahu bahwa jawabannya kelak akan "tidak", tentu ia tidak akan memberi waktu. Jawabannya jelas "ya", akan tetapi tunggu sampai musuh itu dapat dibunuh.

   "Baiklah, suci. Nasibku berada di tanganmu, kebahagiaan hidupu berada dalam genggamanmu. Aku menerima syaratmu itu dan maafkan kelancanganku tadi."

   Bi Sian menarik napas lega, ia lalu membalikkan tubuh lagi menghadapi Bong Gan dan wajahnya sudah pulih kembali seperti biasa. Akan tetapi agaknya ia sudah kehilangan kegembiraannya di pulau itu.

   "Mari kita kembali ke darat dan melanjutkan perjalanan kita ke Lasha."

   "Baik, suci,"

   Kata Bong Gan, tak banyak membantah karena dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dia tidak boleh membuat sucinya marah atau jengkel. Semenjak puterinya pergi tanpa pamit, dan setelah selesai mengurus jenazah suaminya, Sie Lan Hong hampir setiap hari menangisi nasibnya.

   Nyonya ini masih muda, baru berusia tiga puluh tahun, akan tetapi sejak remaja sudah harus mengalami banyak penderitaan batin yang amat berat. Dalam usia lima belas tahun, demi menyelamatkan adiknya, terpaksa ia harus menyerahkan dirinya kepada pria yang telah membunuh ayah ibunya di depan matanya! Bahkan kemudian menjadi isteri pembunuh orang tuanya itu. Penderitaan batin hebat ini menjadi ringan setelah iapun akhirnya jatuh cinta kepada pria itu dan bahkan melahirkan seorang anak perempuan dari pria yang menjadi suami dan ayah anaknya itu. Kemudian, hatinya tersiksa lagi karena sikap suaminya kepada adiknya. Suaminya membenci adik kandungnya sehingga adiknya itu sampai melarikan diri. Kembali ia menderita kalau teringat kepada adiknya. Apalagi puterinya juga pergi dibawa orang sakti menjadi muridnya.

   Kebahagiaan sebentar dirasakannya lagi ketika adiknya muncul sebagai seorang pendekar walaupun tubuhnya bongkok, lebih bahagia lagi karena puterinya juga pulang sebagai seorang gadis muda yang cantik dan lihai. Akan tetapi, betapa pendeknya kebahagiaan yang dinikmatinya. Suaminya dibunuh oleh Sie Liong! Dia tidak terlalu menyalahkan Sie Liong. Bagaimana mungkin menyalahkan kalau ia mengingat bahwa suaminya adalah pembunuh ayah ibunya, ayah ibu Sie Liong? Ia sendiri, andaikata dahulu memiliki kemampuan, tentu saja tidak sudi diperisteri, bahkan akan membalas dendam dan akan membunuh Yauw Sun Kok! Akan tetapi, puterinya mendendam kepada Sie Liong dan kini puterinya minggat untuk mencari dan membalas dendam kematian ayahnya kepada Sie Liong! Ia tidak dapat menyalahkan Sie Liong yang membunuh suaminya, juga tidak dapat menyalahkan Bi Sian yang hendak membalas sakit hati karena kematian ayahnya.

   "Aihh, apa yang dapat dan harus kulakukan....?"

   Berulang kali ia mengeluh dalam tangisnya. Selama belasan hari ia tenggelam dalam duka sehingga tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat. Akan tetapi pada suatu pagi, pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan keluar dari kamarnya dengan berdandan memakai pakaian ringkas, membawa sebuah buntalan panjang yang isinya adalah sebatang pedang!

   Malam tadi ia mengenangkan kembali semua peristiwa, mengenangkan munculnya Sie Liong dalam kamarnya. Ia telah menceritakan kepada Sie Liong, membuka rahasia bahwa pembunuh ayah bunda mereka adalah Yauw Sun Kok dan bahwa ia dapat mengerti mengapa adiknya membunuh suaminya. Akan tetapi, yang membuat ia merasa ragu adalah sikap Sie Liong. Kenapa adiknya itu terkejut mendengar cerita itu, seolah-olah baru setelah ia bercerita adiknya tahu akan hal itu? Pula, mengapa adiknya menyangkal keras telah membunuh suaminya? Sungguh tidak beralasan sekali bagi Sie Liong untuk terkejut dan menyangkal, kalau memang dia telah mengetahui rahasia itu dan membalas dendam atas kematian ayah ibu mereka. Mengapa adiknya harus berpura-pura dan berbohong kepadanya?

   "Sungguh aneh dan tidak masuk di akal,"

   Pikir nyonya muda itu. Pada pagi hari itu, ia tidak mampu lagi menahan kegelisahan dan keraguan hatinya. Ia hidup seorang diri, kehilangan orang-orang yang dicintainya. Ditinggal mati suaminya, juga musuh besar yang dibencinya karena suami itu pembunuh ayah bundanya, akan tetapi juga dicintanya karena suami itu adalah ayah dari puterinya.

   Kemudian ditinggal pergi Sie Liong, adik kandungnya yang amat disayangnya dan dikasihaninya karena adiknya itu seorang yang memiliki cacat di tubuhnya. Kemudian ditinggal pergi puterinya yang terkasih. Ia hidup kesepian, apa lagi harus menanggung kegelisahan memikirkan betapa puterinya itu pergi untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayah gadis itu. Ia harus mencegah bentrokan antara mereka itu! Ia harus dapat menemukan Sie Liong dan minta penjelasan akan sikapnya, minta adiknya itu mengakui secara jujur apakah ia membunuh Yauw Sun Kok ataukah tidak. Akan tetapi sebelum ia pergi mencari puterinya dan adiknya, ada satu pekerjaan yang teramat penting baginya, yaitu ia akan melakukan penyelidikan terlebih dahulu.

   Dan satu-satunya tempat di mana ia boleh jadi akan menemukan sesuatu adalah tempat pelesir di mana suaminya pernah menjadi langganan mereka, untuk bermain perempuan dan mabok-mabokan! Tanpa memperdulikan anggapan orang melihat ibu rumah tangga memasuki tempat pelesir itu, Sie Lan Hong memasuki rumah pelacuran di mana suaminya pernah menjadi seorang langganan yang baik. Ia membawa cukup bekal uang dan dengan pengaruh uang ini mulailah ia menyogok para pelacur untuk memberi keterangan tentang suaminya pada kunjungan terakhir. Dua orang pelacur muda yang manis-manis terpikat oleh janji hadiah uang itu dan mereka mengaku bahwa merekalah yang melayani mendiang Yauw Sun Kok pada kunjungannya yang terakhir kalinya itu.

   "Dia tidak bermalam di sini,"

   Kata mereka,

   "melainkan bersenang-senang dengan kami dan minum arak sampai mabok dan pulang menjelang tengah malam."

   Lan Hong mengangguk dan dengan sabar ia bertanya,

   "Selain itu, apa lagi yang terjadi di sini? Apakah dia bertemu dengan seseorang di sini? Apakah dia membicarakan sesuatu yang masih kalian ingat? Katakan saja terus terang segala hal yang terjadi, kalian akan kuberi hadiah yang indah. Lihat, gelang ini ada dua buah, harganya mahal dan akan kuberikan kepada kalian seorang satu kalau kalian mau menceritakan semua hal dengan terus terang...."

   Dua pasang mata pelacur-pelacur itu berkilauan ketika melihat dua buah gelang emas yang tebal dan terukir indah itu.

   "Setelah dia minum agak banyak dia memang mengomel, mengatakan bahwa dia mengenal pemuda yang sedang pelesir dengan kawan-kawan kami, dan bahwa dia tidak suka melihat pemuda itu pelesir di situ, juga tentang kebenciannya kepada seorang bongkok...."

   Lan Hong tertarik sekali.

   "Seorang pemuda? Apakah dia berjumpa dengan seorang pemuda di sini?"

   "Ketika dia masuk, dia bertemu dengan seorang kong-cu (tuan muda) yang sedang makan minum ditemani beberapa orang kawan kami. Akan tetapi mereka tidak saling menegur, seperti yang tidak saling mengenal."

   "Siapakah pemuda itu? Apakah dia.... bongkok?"

   Dua orang pelacur itu tertawa.

   "Bongkok? Apanya yang bongkok? Sama sekali tidak! Bahkan dia tampan sekali dan kami berdua menyesal mengapa dia tidak memilih kami. Dia tampan, muda dan royal."

   "Apakah dia langganan lama di sini?"

   "Tidak! Baru sekali itu dia datang dan sampai kini tidak pernah muncul lagi. Akan tetapi dia masih muda, tampan sekali, dan royal...."

   "Siapa namanya?"

   Tanya Lan Hong dengan jantung berdebar tegang.

   "Nanti dulu, akan kami panggil mereka yang dulu melayaninya,"

   Kata dua orang pelacur itu dan tak lama kemudian dua orang pelacur lain ikut duduk di situ. Mereka inilah dua di antara empat orang pelacur yang pada malam itu melayani pemuda yang mereka bicarakan.

   "Dia tidak menyebutkan namanya, hanya mengatakan bahwa dia putera Coa-wangwe (Hartawan Coa) di kota Ye-ceng maka kami menyebutnya Coa-kongcu (tuan muda Coa). Dia seorang langganan yang.... menyenangkan sekali, sayang hanya satu kali itu dia datang."

   Para pelacur itu tertawa-tawa dan mereka tidak melihat perubahan yang nampak pada wajah Lan Hong. Coa Kong-cu? Sute dari Bi Sian itu bernama Coa Bong Gan!

   "Tolong gambarkan, bagaimana bentuk wajah, tubuh dan pakaian Coa-kongcu itu!"

   Tanya Lan Hong, menyembunyikan suaranya yang agak gemetar dengan pertanyaan yang lirih.

   "Aku masih ingat benar! Dia memang hebat segala-galanya!"

   Kata seorang pelacur berbaju hijau yang genit.

   "Wajahnya tampan, bentuknya bulat dan kulitnya putih, alisnya tebal dan hitam sekali, hidungnya mancung dan dia suka.... suka mencium, hi-hik. Dia nakal dan matanya tajam, tubuhnya sedang dan kekuatannya seperti.... kuda jantan! Pakaiannya pesolek...."

   Lan Hong sudah bangkit berdiri dan dia memberikan gelang kepada dua orang pelacur pertama, dan memberikan uang yang cukup banyak kepada yang lain. Kemudian, tanpa mengeluarkan kata apapun ia meninggalkan tempat itu.

   Pagi hari esoknya, pergilah Sie Lan Hong, nyonya muda yang baru berusia tiga puluh tiga tahun itu, meninggalkan rumahnya, membawa buntalan pakaian dan tidak lupa membawa pedangnyanya. Ia pernah bercakap-cakap dengan Sie Liong dan adiknya itu pernah membuat pengakuan bahwa dia akan pergi ke Tibet untuk menyelidiki keadaan para pendeta Lama di Tibet, mengapa para pendeta itu memusuhi para pertapa di Himalaya. Menurut adiknya, tugas itu harus dia laksanakan sebagai pesan dari para gurunya. Maka, kalau hendak mencari Sie Liong, ia harus pergi ke Tibet. Kota tempat tinggalnya adalah kota Sung-jan yang berada di perbatasan sebelah barat Propinsi Sin-kiang, maka untuk mencari adiknya ia harus melakukan perjalanan ke selatan, memasuki daerah Tibet yang masih asing baginya.

   Pada suatu hari Sie Lan Hong tiba di kaki sebuah bukit. Ia merasa lelah sekali. Perjalanan itu sungguh tidak mudah. Bagaimanapun juga, ia seorang wanita yang tergolong masih muda, bahkan dalam usianya yang tiga puluh tiga tahun itu ia nampak sebagai seorang wanita yang matang dan penuh daya tarik. Banyak godaan dihadapinya dalam perjalanan itu. Hal itulah yang membuat ia merasa kesal, disamping tubuhnya juga merasa lelah. Untung bahwa ketika kecil, ia sudah digembleng oleh ayahnya, seorang guru silat sehingga tubuhnya menjadi kuat dan ketika menjadi isteri Yaw Sun Kok, iapun menerima latihan ilmu silat dari suaminya sehingga ia memiliki bekal ilmu silat yang lumayan, cukup untuk sekedar menjaga diri. Dengan sikapnya yang pendiam dan anggun, dengan pedangnya, kaum pria yang tadinya hendak berkurang ajar meniadi jerih dan sampai hampir sebulan dalam perjalanan, ia masih dapat menyelamatkan diri dari ganguan para pria iseng.

   Ketika tiba di kaki bukit itu, ia menjadi bingung. Menurut keterangan yang diperoleh di dusun terakhir tadi, di depan tidak ada lagi dusun sebelum ia melewati bukit itu. Dan bukit itu cukup besar, dilihat dari bawah penuh dengan hutan! Dan matahari sudah mulai condong ke barat. Agaknya, ia akan kemalaman di bukit itu dan terpaksa harus melewatkan malam di bukit. Baru pada hari esok ia boleh mengharapkan dapat bertemu dusun lagi. Hatinya agak kecut. Tempat itu sunyi sekali dan menyeramkan. Ia sudah memasuki daerah Tibet, dan ia tidak tahu ke mana harus mencari adiknya atau puterinya. Akan tetapi, ia akan pergi ke Lasha dan di sana ia mengharapkan akan mendapat keterangan tentang dua orang yang dicintanya dan dicarinya itu. Menurut kete-rangan terakhir yang ia dapatkan, perjalanan ke Lasha masih membutuhkan waktu sedikitnya satu bulan lagi!

   Mengapa aku tidak membeli saja seekor kuda di dusun terakhir itu, pikirnya. Kalau dengan menunggang kuda, tentu perjalanan akan dapat dilakukan lebih cepat dan tidak begitu melelahkan seperti sekarang ini. Dengan hati kecut iapun mulai mendaki bukit itu. Ia mendaki dengan cepat, memaksa kedua kakinya yang sudah lelah karena sedapat mungkin ia harus tiba di puncak bukit dan mencari tempat yang baik dan aman untuk bermalam sebelum hari menjadi gelap. Baru saja ia tiba di lereng bukit itu, di tepi hutan pertama, tiba-tiba dari dalam hutan bermunculan sepuluh orang laki-laki yang kelihatan kasar dan buas. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan di dada mereka ada lukisan seekor kala putih yang menyeramkan.

   "Heiii, ada seorang wanita berjalan seorang diri!"

   "Amboi manisnya!"

   "Lihat pinggangnya, seperti kumbang!"

   "Pinggulnya....waw seksi banget!"

   Sepuluh orang itu sudah mengepungnya dan Lan Hong memandang dengan muka pucat. Selama melakukan perjalanan, sudah banyak dia digoda pria, akan tetapi belum pernah bertemu gerombolan laki-laki yang begini kasar dan kelihatan buas. Juga di punggung mereka nampak golok besar yang mengerikan. Biarpun ia puteri seorang guru silat, bahkan bekas isteri seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun menghadapi gerombolan yang kasar dan ceriwis ini, jantung dalam dadanya berdebar penuh rasa tegang dan gelisah. Namun, Lan Hong menenangkan dirinya lalu berkata dengan lembut.

   "Harap cu-wi suka mengasihani aku seorang wanita yang mencari anaknya dan tidak menggangguku. Biarkan aku pergi dari sini!"

   "Tentu saja kami kasihan kepadamu, manis. Karena kasihan dan sayang maka kami tidak akan membiarkan engkau berjalan sendiri. Mari kami antar, ha-ha-ha!"

   Kata seorang di antara mereka.

   "Kawan-kawan, mari kita bersenang-senang, selagi toako (kakak tertua) tidak ada. Kalau ada dia, celaka, tentu akan dia habiskan sendiri dan kita tidak akan kebagian!"

   Kata yang lain. Semua orang tertawa mendengar ini dan menyatakan setuju. Segera mereka berlumba untuk menangkap Lan Hong. Wanita ini sudah siap dan ia mencabut pedang dari buntalan pakaiannya.

   "Harap kalian mundur atau terpaksa aku mempergunakan pedangku!"

   Bentaknya. Melihat betapa wanita yang manis itu memegang pedang, sepuluh orang itu terkejut, akan tetapi hanya sebentar saja. Mereka memandang rendah kepada wanita itu dan kembali sambil tertawa-tawa mereka mengepung.

   "Wah, pandai juga bermain pedang, ya? Bagus, kalau melawan lebih mengasyikkan!"

   Dan kembali mereka hendak menangkap dari berbagai jurusan. Melihat ancaman mengerikan itu, Sie Lan Hong menggerakkan pedangnya ke belakang sambil membalikknu tubuhnya. Orang yang berada di belakangnya, terkejut ketika ada sinar menyambar. Dia menarik tangannya, akan tetapi pedang itu tetap saja menggores lengannya, merobek baju dan kulit lengan. Dia berteriak kesakitan dan juga marah.

   "Hemm, galak juga, ya? Kawan-kawan, mari kita tundukkan dulu wanita manis dan galak ini. Akan tetapi jangan dilukai, sayang kalau sampai ia terluka!"

   Dan mereka mencabut golok mereka, golok besar yang kelihatan berat dan tajam berkilauan. Lan Hong memutar pedangnya dan beberapa batang golok menangkis. Ketika mereka mengerahkan tenaga.

   "Trangggg....!"

   Pedang itu terlepas dari tangan Lang Hong yang menjadi terkejut bukan main. Sepuluh orang itu tertawa bergelak dan kesempatan ini dipergunakan oleh Lan Hong untuk menyelinap di antara mereka dan melarikan diri secepatnya ke arah kiri.

   Sepuluh orang berpakaian hitam-hitam itu tertawa gembira lalu lari mengejar sambil berteriak-teriak. Mereka seperti segerombolan srigala yang mengejar dan mempermainkan seekor kelinci, yakin bahwa akhirnya kelinci itu takkan terlepas dari terkaman mereka. Mereka mengejar sambil tertawa-tawa dan Lan Hong melarikan diri sekuat tenaga. Ia dapat membayangkan kengerian yang melebihi maut kalau sampai ia tertangkap oleh orang-orang biadab itu. Lebih baik mati dari pada membiarkan dirinya diperkosa dan dihina. Akan tetapi, sebelum putus asa, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk melarikan diri atau melawan sampai napas terakhir.

   Para pengejar itu memang sengaja hendak mempermainkan Lan Hong, maka mereka hanya berlari di belakangnya, tidak segera menangkapnya. Lan Hong berlari terus, menurut jalan setapak dan ia melihat sebuah kuil tua di depan. Karena tidak tahu lagi harus lari ke mana, dan kedua kakinya sudah menjadi semakin lelah, Lan Hong lalu lari menuju ke kuil itu. Siapa tahu penghuni kuil dapat menolongnya, pikirnya penuh harapan. Sepuluh orang pria itu mengejar sambil tertawa-tawa.

   "Ha-ha-ha, engkau mengajak kami ke kuil itu, manis? Tempat yang enak untuk bersenang-senang!"

   Lan Hong tidak memperdulikan ucapan mereka dan berlari terus. Hatinya semakin kecut ketika melihat bahwa kuil itu adalah sebuah kuil tua yang agaknya sudah tidak dipakai lagi. Tentu kosong tidak ada orangnya, pikirnya dengan gelisah. Akan tetapi, ketika ia memandang ragu dan berdiri di ruangan depan, terdengar suara dari dalam.

   "Jangan takut, masuklah dan kami yang akan menghadapi gerombolan iblis itu!"

   Dan nampak dua orang pria yang gagah berlompatan keluar dari ruangan dalam. Mereka adalah dua orang pemuda yang berbangsa Han, berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi dan sikapnya gagah. Orang ke dua bertubuh sedang, akan tetapi mukanya yang bulat itu penuh brewok yang rapi sehingga dia kelihatan gagah pula. Di tangan mereka nampak sebatang pedang. Melihat mereka dan sikap mereka yang baik, Lan Hong segera memberi hormat.

   "Ji-wi taihiap (dua pendekar perkasa), tolonglah saya,...."

   "Nona, jangan takut. Masuklah dan kami akan membasmi para penjahat itu!"

   Kata yang tinggi besar dan dia berkata kepada orang ke dua yang brewok.

   "Sute, mari kita hadapi mereka, di depan kuil!"

   Mereka lalu berloncatan keluar. Lan Hong cepat menyelinap di balik dinding dan ia mengintai keluar dengan jantung berdebar penuh ketegangan, akan tetapi lega juga bahwa di situ ia bertemu dengan dua orang gagah yang siap membela dan melindunginya. Ia hanya dapat berharap agar kedua orang gagah itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi untuk melawan pengeroyokdn sepuluh orang yang buas itu. Sepuluh orang berpakaian hitam dengan gambar seekor kala putih di baju bagian dada, tercengang ketika melihat dua orang pemuda gagah berdiri di depan kuil dengan pedang di tangan, menghadang mereka.

   "Heii, siapa kalian berani menghadang di depan kami? Hayo cepat menggelinding pergi!"

   
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bentak seorang di antara sepuluh orang berpakaian hitam itu. Pemuda yang tinggi besar itu menudingkan telunjuk kirinya ke arah mereka sambil melintangkan pedang di depan dadanya yang bidang.

   "Hemm, sudah lama kami mendengar tentang gerombolan Kala Putih yang jahat! Ternyata kabar itu benar, gerombolan Kala Putih bukan hanya perampok dan perkumpulan penjahat keji, akan tetapi juga tidak segan untuk mengganggu wanita. Sudah sepantasnya kalau kami membasmi gerombolan macam kalian!"

   Sepuluh orang itu terbelalak penuh kemarahan mendengar kata-kata yang amat menghina itu. Seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi kurus, melangkah maju. Agaknya ia mewakili kawan-kawannya dan dengan suara melengking tinggi diapun membentak.

   "Kalian ini bocah-bocah ingusan hendak menentang Kala Putih? Perkenalkan nama kalian lebih dulu agar kami tidak akan membunuh orang tanpa nama!"

   Pemuda tinggi besar itu dengan lantang menjawab,

   "Kami tidak pernah menyembunyikan nama! Kami adalah murid murid Kun-lun-pai yang selalu akan menentang kejahatan. Namaku Ciang Sun dan sute ini adalah Kok Han!"

   Memang dua orang pemuda perkasa itu bukan lain adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai yang berani itu.

   Mereka berdua diutus oleh ketua Kun-lun-pai, yaitu Thian Hwat Tosu, untuk pergi ke daerah Tibet mencari susiok (paman guru) mereka yang bernama Lie Bouw Tek. Lie Bouw Tek adalah murid kepala Kun-lun-pai, murid langsung dari ketua Thian Hwat Tosu dan karena Ciang Sun dan Kok Han adalah murid kelas tiga, maka Lie Bouw Tek terhitung susiok mereka. Mereka berdua mencari-cari Lie Bouw Tek dan membawa sepucuk surat dari ketua Kun-lun-pai untuk murid kepala itu. Seperti telah kita ketahui, dalam perjalanan, mereka pernah berjumpa dengan Pendekar Bongkok Sie Liong ketika Sie Liong mempertemukan dua orang kekasih yang dipisahkan karena watak ayah si gadis yang mata duitan. Mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah murid-murid Kun-lun-pai sepuluh orang berpakaian hitam itu menja di semakin marah.

   "Aha, kiranya orang-orang Kun-lun-pai yang usil dan gatal tangan, hendak mencampuri urusan kami orang Kala Putih! Kami tidak pernah bertentangan dengan Kun-lun-pai, selalu bersimpang jalan, kenapa hari ini ada orang Kun-lun-pai yang sengaja hendak menentang kami?"

   Ciang Sun tersenydm mengejek.

   "Selama Kala Putih tidak melakukan kejahatan, kami dari Kun-lun-pai tidak perduli. Akan tetapi, kami selalu akan menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga. Kalian mengejar-ngejar seorang wanita dengan niat yang kotor dan jahat, tentu saja kami menentang kalian!"

   "Keparat, sekali lagi, pergilah kalian dan biarkan kami menawan perempuan itu! Kami masih memandang perkumpulan Kun-lun-pai dan tidak akan menuntut atas sikap kalian yang lancang ini!"

   "Persetan dengan Kala Putih yang jahat!"

   Bentak Ciang Sun. Sepuluh orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan mereka. Kalau tadi mereka masih meragu dan mencoba untuk membujuk adalah karena mereka tahu bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar, dan mereka tidak ingin menanam permusuhan dengan perkumpulan itu. Akan tetapi, para anggauta Kala Putih selalu mengandalkan kepandaian dan keberanian mereka untuk melakukan kekerasan memaksakan kehendak mereka, maka melihat sikap kedua orang murid Kun-lun-pai yang menentang itu, merekapun segera mulai menyerang!

   Ciang Sun dan sutenya, Kok Han, menggerakkan pedang mereka menyambut serangan golok dan terjadilah perkelahian yang seru. Sepuluh batang golok berkelebatan dan sinarnya, ketika tertimpa matahari sore menyilaukan mata. Namun, gerakan kedua orang murid Kun-lun-pai memang indah dan dua orang ini merupakan murid yang cukup pandai sehingga pedang mereka berubah menjadi dua gulung sinar yang amat kuat, yang mampu menahan semua serangan golok, bahkan sinar pedang itu mencuat ke sana-sini melakukan serangan balasan yang membuat sepuluh orang anggauta Kala Putih itu menjadi kacau balau dan terdesak mundur! Lan Hong yang mengintai dari dalam bingung melihat betapa dua orang penolongnya dikeroyok oleh sepuluh orang buas itu.

   Ia ingin sekali membantu mereka, akan tetapi pedangnya telah hilang ketika ia dikeroyok tadi. Ia mencari-cari dengan matanya di dalam ruangan kuil itu dan melihat beberapa potong kayu yang agaknya dipergunakan orang membuat api unggun. Lalu dipilihnya sebatang kayu sebesar lengannya, panjangnya satu meter lebih. Kayu itu cukup kuat dan lumayan untuk dipergunakan sebagai senjata. Lan Hong sudah menjadi nekat. Kalau kedua orang penolongnya itu kalah, tentu ia akan terjatuh ke tangan sepuluh orang jahat itu. Melarikan diripun tidak ada gunanya, karena hari akan menjadi gelap dan ia tidak mengenal jalan. Lebih baik membantu kedua orang penolongnya itu, menang atau kalah bersama mereka! Ia lalu meloncat keluar dan menyerbu ke dalam pertempuran itu, menggunakan tongkatnya memukul seorang pengeroyok dari belakang.

   "Bukk!"

   Orang itu terjungkal pingsan karena pukulan Lan Hong tepat mengenai tengkuknya! Kemudian Lan Hong mengamuk dengan tongkatnya, membantu dua orang murid Kun-lun-pai itu. Melihat ini, dua orang pemuda itu merasa kagum, akan tetapi juga khawatir. Dari gerakannya, mereka dapat menduga bahwa wanita yang mereka tolong itu pandai juga ilmu silat, akan tetapi ia hanya bersenjata sebatang kayu sedangkan para pengeroyok adalah orang-orang kejam yang semua memegang golok.

   "Nona, masuklah ke dalam, biar kami yang menghajar mereka!"

   Teriak Kok Han dengan khawatir.

   "Tidak, aku harus membantu kalian membasmi iblis-iblis jahat ini!"

   Jawab Lan Hong yang terus mengamuk dengan tongkatnya. Akan tetapi, dua orang mengeroyoknya dengan golok dan Lan Hong terhimpit, lalu sebuah tendangan yang cukup keras mengenai pahanya, membuat wanita itu terguling roboh!

   "Hati-hati....!"

   Teriak Ciang Sun yang cepat menerjang dan melindungi tubuh wanita itu dari para pengeroyoknya, dengan pedangnya berkelebat ke kiri merobek pangkal lengan seorang pengeroyok, dan melindungi tubuh Lan Hong dengan putaran pedangnya. Akan tetapi Lan Hong bangkit lagi dan mengamuk lagi, tidak memperdulikan pahanya yang terasa nyeri. Kini, dua orang murid Kun-lun-pai menjadi semakin sibuk karena mereka harus pula melindungi Lan Hong yang mengamuk seperti seekor harimau betina itu. Namun, diam-diam mereka merasa kagum dan tidak menyesal menolong wanita yang ternyata gagah berani ini. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, dengan suara pria yang besar dan parau,

   "Tahan semua senjata!"

   Mendengar suara ini, sembilan orang berpakaian hitam itu segera berloncatan ke belakang. Ada yang menolong kawan yang pingsan oleh pukulan tongkat di tangan Lan Hong, dan ada yang dengan girang berseru,

   "Toako datang....!"

   Melihat para pengeroyok berloncatan mundur, Ciang Sun dan Kok Han memandang orang yang baru datang itu dengan penuh perhatian. Lan Hong juga meloncat ke belakang dan wanita ini menahan rasa nyeri di pahanya, wajahnya merah sekali, napasnya agak terengah, dahi dan lehernya basah keringat, rambutnya kusut, akan tetapi ia nampak semakin manis menarik dan gagah ketika ia berdiri tak jauh dari dua orang pemuda Kun-lun-pai itu dengan tongkat di tangan, tongkat yang sudah tidak karuan bentuknya karena berulang kali bertemu dengan golok para pengeroyok yang tajam.

   Orang yang baru datang itu adalah seorang laki-laki yang usianya antara empat puluh lima sampai lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, kepalanya besar dan botak sedangkan kulit muka dan tangannya putih sekali, putih yang tidak wajar sehingga mudah diketahui bahwa dia adalah seorang bule. Rambut di kepalanya agak kekuningan yang hanya tumbuh di bagian bawah saja, dan bulu-bulu di muka, leher dan lengannya juga kekuningan. Dia pun mengenakan pakaian serba hitam, akan tetapi terbuat dari sutera, dan lukisan seekor kala putih di bajunya lebih besar daripada yang berada di baju anak buahnya. Mudah diduga bahwa tentu dialah kepala dari gerombolan Kala Putih itu. Dengan suara yang aneh dan asing logatnya, raksasa bule itu berteriak marah.

   "Heh, siapa yang berani membikin ribut di sini dan bahkan melukai seorang anak buahku? Siapa kalian bertiga dan mengapa berkelahi melawan anak buahku?"

   Sebelum dua orang pemuda itu menjawab, seorang anak buah gerombolan itu sudah cepat melaporkan,

   "Toako, mereka berdua itu adalah murid-murid Kun-lun-pai yang sombong. Kami sedang mengejar wanita itu yang berani lewat seorang diri di sini, untuk kami tangkap dan kami serahkan kepada toako untuk diambil keputusan. Eh, dua orang ini muncul dan melindunginya, hendak merampasnya dari tangan kami!"

   Raksasa bule itu memandang kepada Lan Hong dan wanita itu merasa bulu tengkuknva meremang saking ngerinya. Mata itu sungguh menyeramkan dan begitu penuh gairah! Kemudian raksasa itu, setelah menjelajahi seluruh tubuh Lan Hong dengan sinar matanya, tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, kiranya memperebutkan wanita? Aha, baru kuketahui sekarang bahwa orang-orang Kun-lun-pai juga suka kepada wanita. Tidak aneh, tidak aneh!"

   "Kami tidak memperebutkan wanita!"

   Bentak Ciang Sun marah.

   "Kami melindungi wanita ini karena dikejar-kejar oleh anak buahmu. Kami murid Kun-lun-pai akan menentang semua kejahatan dan melindungi siapa saja yang terancam!"

   "Ha-ha-ha-ha, tidak perlu malu-malu, sobat muda! Laki-laki mana yang tidak akan suka kepada seorang wanita yang manis dan denok seperti ini? Kalau memang kalian tidak suka, serahkan saja kepadaku, mengingat hubungan baik antara Kala Putih dan Kun-lun-pai. Ketahuilah bahwa aku adalah Konga Sang, ketua dan pemimpin Kala Putih yang selama ini tidak pernah mengganggu Kun-lun-pai."

   "Kami tidak akan membiarkan siapa saja mengganggu manita ini!"

   Bentak pula Ciang Sun.

   "Ho-ho-ha-ha, kiranya kalian mengajak bertanding? Baik, memang wanita ini cukup berharga untuk dijadikan taruhan dalam pertandingan. Kalau kalian dapat mengalahkan aku, Konga Sang, kalian boleh pergi membawanya dan kami takkan mengganggu. Akan tetapi kalau kalian kalah, wanita ini harus diserahkan kepadaku. Sudah adil, bukan?"

   Lan Hong yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba membentak dengan suara nyaring,

   "Iblis jahat, engkau terlalu menghinaku. Dengarlah baik-baik, aku lebih baik mati dari pada menyerah kepadamu!"

   "Konga Sang,"

   Kata Kok Han yang brewok gagah,

   "kalau engkau memang laki-laki sejati, biarkan wanita ini pergi melanjutkan perjalanannya dan jangan diganggu. Sedangkan kalau engkau menghendaki kita untuk bertanding, kami akan menyambut tantanganmu itu. Taruhannya bukan wanita melainkan nyawa kita!"

   "Kalian orang-orang muda sombong!"

   Konga Sang berseru dan sekali tangan kanannya bergerak, dia telah melepaskan sebatang rantai yang tadi melibat pinggangnya. Rantai itu sebesar ibu jari, panjangnya ada dua meter dan di ujung rantai terdapat kaitan baja yang menyeramkan. Inilah senjata raksasa bule itu. Dia memutar rantainya di atas kepala lalu membentak,

   "Kalau kalian berani, majulah!"

   Ciang Sun dan Kok Han maklum bahwa kepala gerombolan Kala Putih ini tentu lihai, maka merekapun maju dengan sikap yang waspada. Ciang Sun berkata kepada Lan Hong,

   "Enci, engkau mundurlah!"

   Lan Hong tahu diri. Iapun maklum bahwa kepala gerombolan ini tidak
(Lanjut ke Jilid 17)
Kisah Pendekar Bongkok (Serial 06 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17
boleh disamakan dengan anak buahnya tentu lihai bukan main dan ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat dipergunakan membantu dua orang pendekar Kun-lun-pai itu. Kalau ia memaksa diri maju, tentu hanya akan menjadi penghalang bagi dua orang penolongnya. Maka iapun melangkah mundur dan siap dengan tongkatnya untuk membela diri. Ia mengeraskan hatinya, mencoba untuk bersikap tetap tenang dan siap menghadapi apapun juga. Hanya satu pegangannya. Ia tidak akan menyerah dan kalau terpaksa, ia akan mempertahankan diri sampai mati!

   "Haiiiiiitt....!"

   Kakek raksasa itu berteriak dan rantai di tangannya menyambar-nyambar ganas ke arah dua orang lawannya. Ciang Sun dan Kok Han mempergunakan kelincahan tubuh mereka untuk mengelak dan merekapun balas menyerang dengan pedang mereka. Namun, semua serangan pedang dapat ditangkis oleh sinar rantai yang bergulung-gulung.

   Setiap kali pedang bertemu rantai, terdengar bunyi nyaring dan nampak bunga api berpijar. Terjadilah perkelahian yang hebat, lebih seru daripada tadi ketika dua orang itu dikeroyok sepuluh orang anak buah gerombolan Kala Putih. Akan tetapi, lewat tiga puluh jurus lebih, kedua orang murid Kun-lun-pai itu diam-diam mengeluh karena mereka mendapat kenyataan bahwa lawan mereka sungguh amat lihai. Permainan rantai itu sungguh dahsyat, selain amat cepat datangnya, juga mengandung tenaga yang lebih kuat dari pada tenaga mereka berdua sehingga setiap kali pedang mereka bertemu rantai, mereka merasa betapa telapak tangan mereka menjadi nyeri dan panas. Bahkan beberapa kali, hampir saja mereka melepaskan pedang karena tidak tahan getaran hebat yang menyerang telapak tangan mereka.

   "Ha-ha-ha, mampuslah!"

   Tiba-tiba raksasa bule itu membentak dan rantainya menyambar dengan tenaga sepenuhnya ke arah Ciang Sun. Pendekar ini melompat ke samping, akan tetapi tetap saja kaitan rantai itu mengenai leher bajunya.

   "Bretttt....!"

   Baju itupun terobek sampai ke bawah, dari tengkuk ke pinggang. Masih untung bahwa kulit tubuh Ciang Sun tidak terluka! Pada saat itu, Kok Han sudah menusukkan pedangnya untuk melindungi kakak seperguruannya.

   Konga Sang menangkis dengan ujung rantai, dan tiba-tiba dia melepaskan rantai dari tangan kiri, hanya memegangi dengan tangan kanan dan tangan kirinya yang berjari besar-besar itu telah menangkap pergelangan tangan Kok Han. Dan dengan sentakan aneh sambil memutar tubuhnya, tak dapat dipertahankan lagi oleh Kok Han, tubuhnya ikut terputar dan diapun terpelanting dan terbanting keras! Kiranya kepala gerombolan Kala Putih itu lihai pula dalam ilmu gulat! Ciang Sun cepat memutar pedangnva menyerang untuk melindungi su-tenya yang cepat menggulingkan tubuhnya dan melompat bangun kembali. Kembali, kedua orang murid Kun-lun-pai itu menghadapi sambaran rantai dan kini mereka hanya mampu mempertahankan diri saja, tidak mampu lagi balas menyerang.

   "Ha-ha, kalian jaga baik-baik agar pengantinku itu tidak melarikan diri! Dua ekor domba ini sebentar lagi akan kusembelih, ha-ha-ha!"

   Konga Sang berkata kepada anak buahnya karena dia sudah merasa yakin bahwa tak lama lagi dia akan dapat merobohkan dua orang lawannya dan memondong wanita manis itu.

   Sambil menyeringai, anak buahnya mendekati Lan Hong. Wanita ini memandang dengan wajah pucat. Iapun tahu bahwa dua orang penolongnya sudah terdesak dan berada dalam bahaya. Ia tahu bahwa mereka kini tidak mampu melindunginya lagi dan untuk melawan para anak buah gerombolan itupun ia tidak akan menang. Oleh karena itu, iapun sudah mengambil keputusan nekat, untuk melawan mati-matian dan kalau tertawan, ia akan membunuh diri! Ia mengangkat tongkatnya sambil berseru.

   "Majulah, akan kuhancurkan kepalamu!"

   Akan tetapi, dua orang di antara para anak buah gerombolan itu, dua orang yang bertubuh tinggi besar, melangkah maju sambil menyeringai.

   "Manis, jangan banyak tingkah. Engkau akan menjadi pengantin pemimpin kami malam ini, ha-ha-ha! Lebih baik menyerah saja!"

   Akan tetapi Lan Hong menyambut mereka dengan hantaman tongkatnya! Ia sudah lelah sekali, sudah hampir kehabisan tenaga, akan tetapi ia masih bersemangat dan pukulannya masih kuat. Akan tetapi, dua orang anak buah gerombolan itu adalah dua orang yang terkuat di antara mereka. Yang dihantam tongkat itu miringkan tubuhnya dan ketika tongkat itu lewat, orang ke dua sudah menangkap lengan kanan Lan Hong yang memegang tongkat, sedangkan orang pertama sudah merangkulkan kedua lengannya yang panjang dan besar melingkari pinggang ramping Lan Hong.

   "Lepaskan! Keparat busuk, lepaskan aku....!"

   Lan Hong meronta untuk melepaskan diri, namun dua orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali. Pada saat itu, terdengar bentakan,

   "Kalian srigala-srigala yang jahat!"

   Bentakan ini disusul berkelebatnya bayangan orang dan dua orang raksasa yang sedang menangkap Lan Hong yang meronta-ronta itu tiba-tiba saja terlempar dan terpelanting, roboh dan tidak mampu bangkit kembali.

   Seorang pecah kepalanya dan seorang lagi mengerang kesakitan dengan beberapa buah tulang iga patah-patah. Kiranya yang muncul adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, berpakaian biru, dan tadi begitu muncul, dia menendang roboh dan menampar tewas dua orang anak buah gerombolan yang sedang menangkap Lan Hong. Lan Hong terbelalak dan memandang kepada penolongnya. Seorang pria yang tinggi besar dan gagah perkasa, usianya hampir empat puluh tahun, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi, pakaiannya berwarna biru dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang dengan ronce merah. Ketika Ciang Sun dan Kok Han melihat pria gagah perkasa itu, mereka menjadi girang sekali.

   "Lie susiok (paman guru Lie)!"

   Seru mereka dengan gembira dan hampir berbareng.

   "Mundurlah kalian dan hajar saja anak buah Kala Putih, biar aku yang menghadapi Konga Sang!"

   Kata pria gagah perkasa itu. Dia bernama Lie Bouw Tek, murid kepala Kun-lun-pai yang memang sedang dicari-cari oleh dua orang murid Kun-lun-pai itu. Begitu meloncat dan menggantikan dua orang murid kepo-nakannya, Lie Bouw Tek telah mencabut sebatang pedangnya yang mengeluarkan sinar kemerahan. Itulah pedang pusaka Ang-seng-kiam (Pedang Bintang Merah) yang menurut dongeng dibuat dari logam yang berasal dari bintang dan logam itu berwarna merah!

   "Hemm, siapakah engkau?"

   Konga Sang membentak ketika melihat bahwa yang menghadapinya adalah seorang laki-laki yang tingginya tidak kalah olehnya, berdada bidang dan kokoh, dengan sinar mata yang tajam dan mencorong.

   "Konga Sang, sudah lama aku mendengar akan sepak terjang Kala Putih yang semakin jahat. Sekarang kebetulan sekali kita bertemu di sini, aku tidak akan membiarkan engkau merajalela mengumbar nafsu kejahatanmu. Aku bernama Lie Bouw Tek, murid Kun-lun-pai!"

   "Aha, lagi-lagi murid Kun-lun-pai. Sungguh mati, tak kusangka bahwa Kun-lun-pai terdiri dari orang-orang usil dan lancang, suka mencampuri urusan orang lain!"

   "Tak perlu banyak cakap, Konga Sang! Bukan hanya murid Kun-lun-pai, akan tetapi seluruh pendekar di dunia ini pasti akan menentang perbuatan ja-hat!"

   "Manusia sombong!"

   Bentak Konga Sang dan rantainya sudah menyambar dahsyat ke arah kepala Lie Bouw Tek. Pendekar ini merendahkan tubuhnya dan ketika rantai melewati atas kepalanya dia melangkah maju dan pedangnya menusuk ke bawah lengan kanan lawan! Gerakannya mantap, cepat dan kuat sekali sehingga pedang itu meluncur bagaikan sinar merah yang didahului angin dan suara mendesing! Terkejutlah Konga Sang dan dia terpaksa melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri. Rantainya membuat gerakan memutar dan kembali menyambar ke arah pinggang lawan. Sekali ini Lie Bouw Tek menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga. Melihat lawan menangkis, Konga Sang girang dan dia menarik sedikit rantainya agar ujung yang ada kaitannya dapat melibat pedang lawan.

   

Istana Pulau Es Eps 12 Istana Pulau Es Eps 30 Mutiara Hitam Eps 20

Cari Blog Ini