Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 20


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



"Yang seorang Ketua Khong-sim Kai-pang. Bagus, bagus. Ha-ha-ha, tentu akan kecut muka Bu-tek Siu-lam si banci melihat betapa musuh mudanya terjatuh ke tanganku. Ini merupakan sebuah jasa yang mengangkat aku lebih tinggi daripadanya, memungkinkan aku menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Dan gadis ini? Mutiara Hitam? Ha-ha-ha, dia cantik. Kudengar Bouw Lek Couwsu paling suka gadis cantik, kebetulan sekali karena aku tidak membawa oleh-oleh untuknya. Hadiah seperti ini tentu akan menyenangkan pemimpin orang-orang Hsi-hsia. Ha-ha-ha-ha"

   Demikianlah, dengan girang Siauw-bin Lo-mo lalu memimpin Cap-ji-liong dan beberapa orang pentolan perampok dan bajak yang menjadi anak buahnya untuk mengunjungi, pimpinan pendeta jubah merah, yaitu Bouw Lek Couwsu karena ia sudah mendengar akan sepak terjang pendeta itu yang sudah membasmi Beng-kauw dan ingin bersahabat untuk memperkuat kedudukannya. Tokoh yang sudah berhasil membunuh Beng-kauw patut dijadikan sahabat kalau dapat ditarik untuk menguntungkan kedudukannya, sebaliknya bila perlu juga patut dibasmi kalau membahayakan. Dibantu oleh Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang dan para kepala bajak dan rampok, tentu saja ia tidak takut menghadapinya andaikata Bouw Lek Couwsu memperlihatkan sikap tidak bersahabat.

   Siauw-bin Lo-mo yang belum mengenal watak Bouw Lek Couwsu dan para pendeta jubah merah dari Tibet, juga tidak menduga bahwa di situ terdapat pula Siang-mou Sin-ni orang terakhir Thian-te Liok-kwi, dengan hati besar memimpin rombongannya mendaki lereng Gunung Kao-likung-san. Akan tetapi ketika rombongan tiba di padang rumput yang berada di lereng itu, hari sudah mulai gelap. Karena tidak mengenal daerah ini, Siauw-bin Lo-mo memerintahkan rombongannya berhenti.

   "Besok kita lanjutkan pendakian ke puncak."

   Katanya.

   Akan tetapi keadaan yang sunyi dan aman itu segera terganggu oleh suara lengking tinggi yang datangnya dari bawah puncak, lengking aneh yang mengingatkan Siauw-bin Lo-mo akan wanita muda yang pernah datang menemui para tokoh Bu-tek Ngo-sian di puncak Chengliong-san. Lengking gadis baju merah yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni. Salahkah pendengarannya? Akan tetapi kakek ini tidak sempat memikirkan hal itu karena tiba-tiba terdengar pekik kesakitan dan kemarahan di antara anak buahnya. Di antara sinar obor yang dipasang anak buahnya, ia melihat beberapa orang perampok roboh dan kini tampaklah olehnya hujan anak panah menyerang mereka. Siauw-bin Lo-mo kaget sekali. Ia melompat ke depan, menyampok anak-anak panah yang menyambar ke arahnya, mengerahkan khikang dan berseru keras.

   "Tahan anak panah. Di sini aku, Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, memimpin Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang dan orang-orang gagah dari hutan sungai, bermaksud mengunjungi Bouw Lek Couwsu pemimpin pasukan Hsi-hsia"

   Suara Siauw-bin Lo-mo amat nyaring dan bergema di empat penjuru. Seketika terhentilah hujan anak panah dan tiba-tiba tampak api obor yang banyak sekali menerangi tempat itu muncul puluhan orang pasukan Hsi-hsia, pasukan panah yang dipimpin oleh belasan orang hwesio berjubah merah yang berwajah keren. Tempat itu sudah terkurung"

   Seorang di antara mereka, pendeta jubah merah, melangkah maju dan berkata kepada Siauw-bin Lo-mo, suaranya parau besar dan logatnya kaku.

   "Nama Siauw-bin Lo-mo sudah terkenal, akan tetapi belum cukup besar untuk berlancang datang membawa anak buah ke wilayah kami tanpa ijin. Apakah gerangan niat yang dikandung di hati Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya?"

   "Ha-ha-heh-heh, bagus sekali kalau orang telah mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo. Kalau kami datang dengan maksud hati buruk, tentu tidak datang secara terang-terangan. Aku datang dengan hati terbuka, ingin bersahabat dengan Bouw Lek Couwsu dan membawa hadiah dara jelita untuk Couwsu"

   "Tidak ada perintah dari Couwsu untuk menerima tamu. Kalau ada hadiah, boleh serahkan kepada kami dan selanjutnya kami harap Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya suka meninggalkan gunung sebagai sahabat."

   "Ha-ha-ha-ha. Para pendeta Tibet benar-benar tidak memandang mata kepada Siauw-bin Lo-mo. Akan tetapi karena kedatanganku memang bukan berniat buruk, biarlah kalian boleh membawa gadis jelita yang menjadi tawanan di dalam kerangkeng itu untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu diiringi hormatku. Juga harap disampaikan bahwa aku Siauw-bin Lo-mo mohon berjumpa besok pagi."

   Pendeta jubah merah itu kelihatan ragu-ragu. Betapapun juga, ia tidak berani memandang ringan Siauw-bin Lo-mo yang namanya sudah amat terkenal sebagai seorang tokoh sakti dan agaknya permintaannya ini cukup pantas untuk dipertimbangkan. Kalau ia pergi menghadap Bouw Lek Couwsu, menyampaikan persembahan berupa seorang gadis muda cantik yang memang ia tahu menjadi kesukaan ketuanya dan mohon persetujuannya menerima permintaan Siauw-bin Lo-mo yang sudah merendahkan diri untuk menghadap, agaknya ketuanya takkan marah.

   "Hemm, asal cianpwe suka berjanji akan menjaga agar anak buahmu tidak menimbulkan kekacauan dan tidak pergi dari tempat ini, agaknya kami akan dapat menerima permintaan yang layak ini."

   Katanya dan ia pun sudah menyebut cianpwe kepada Siauw-bin Lo-mo sebagai tanda bahwa ia mengakui kakek itu sebagai seorang sakti. Lega hati Siauw-bin Lo-mo. Setelah melakukan perjalanan jauh tentu saja ia cukup cerdik dan sabar untuk mengalah dan sedikit merendah terhadap pemimpin pendeta-pendeta Tibet yang sekaligus juga merupakan pimpinan bala tentara Hsi-hsia yang kuat itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras yang didahului dengan lengkingan tinggi.

   "Tidak mungkin. Para Lo-suhu jangan kena dikelabuhi oleh kakek kurus kering yang jahat ini. Namanya Siauw-bin Lo-mo, mukanya tersenyum-senyum akan tetapi hatinya busuk dan palsu"

   Siauw-bin Lo-mo terbelalak memandang dengan penuh kemarahan. Ternyata yang muncul adalah gadis berpakaian merah, murid Siang-mou Sin-ni yang bernama Po Leng In. Tampak cantik dan gagah di bawah sinar banyak obor, tangannya memegang pedang dan rambutnya yang hanya tinggal separuh itu tergantung di depan dada.

   "Po-kouwnio (Nona Po), apakah yang kau maksudkan dengan ucapan itu?"

   Tanya hwesio tinggi besar muka merah.

   "Maksudku, dia ini adalah orang jahat yang tidak mempunyai niat baik. Kalau berniat baik, masa ia membawa-bawa pasukan? Nah, para Lo-suhu dengar baik-baik, aku akan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya."

   Setelah berkata demikian, Po Leng In melangkah maju mendekati Siauw-bin Lo-mo sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung kakek itu.

   "Heh, Siauw bin Lo-mo, kalau kau benar-benar sebagai seorang tokoh besar dan maksud kedatanganmu baik-baik, tentu kau akan menjawab semua pertanyaanku dengan sebenar dan sejujurnya. Bukankah engkau pernah bertemu dengan aku?"

   "Benar, pernah aku melihat Nona di Cheng-liong-san."

   Jawab Siauw-bin Lo-mo, sedikit pun tidak khawatir karena ia memang tidak tahu akan hubungan guru nona ini dengan Bouw Lek Couwsu.

   "Bagus, engkau ternyata masih cukup berani untuk menjawab sebetulnya. Bukankah engkau bersama dengan Thai-lek Kauw-ong, Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, dan seorang tokoh lain lagi membentuk apa yang kalian sebut Bu-tek Ngo-sian?"

   Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk bangga.

   "Memang benar dan akulah orang pertamanya"

   "Bagus. Sekarang katakan, ketika aku muncul di sana mewakili Guruku untuk menghadiri pertemuan puncak, engkau melihat Bu-tek Siu-lam menangkapku dan menghinaku, menghina nama baik Guruku, dan hampir membunuhku. Betulkah? Dan engkau sama sekali tidak mencampuri urusan itu malah engkau lalu pergi, betul?"

   Siauw-bin Lo-mo masih tidak mengerti apa artinya semua itu dan apa hubungan dengan Bouw Lek Couwsu serta para hwesio jubah merah ini. Namun sebagai seorang cerdik, kini melihat munculnya Po Leng In di antara para hwesio jubah merah, ia dapat menduga tentu ada hubungan baik di antara mereka itu. Maka ia lalu menjawab.

   "Yang menghinamu adalah Bu-tek Siu-lam, tidak ada sangkut pautnya dengan aku."

   "Bagus, tidak ada sangkut-pautnya kau bilang? Akan tetapi kau tadi mengaku bahwa Bu-tek Siu-lam adalah sekutumu, saudaramu dalam kelompok Bu-tek Ngo-sian. Engkau melihat Guruku diperhina nama baiknya tanpa bilang apa-apa, melihat aku hampir dibunuh kau pun tidak bilang apa-apa, sekarang masih berani datang dengan maksud baik?"

   "Eh-eh, apa sangkut-pautnya dirimu atau Gurumu dengan kunjunganku pada Bouw Lek Couwsu? Aku.."

   "Tutup mulutmu. Engkau tentu datang sebagai pembela Beng-kauw"

   Setelah berkata demikian, serta-merta Po Leng In lalu menerjang maju, menyerang Siauw-bin Lo-mo dengan pedangnya yang bergerak cepat seperti kilat menyambar. Namun dengan mudah sekali Siauw-bin Lo-mo miringkan tubuh mengelak, bahkan sekali tangannya diulur ke depan, hampir saja gagang pedang di tangan Po Leng In dapat dirampasnya. Gadis itu berseru kaget dan meloncat mundur. Sementara itu, para hwesio jubah merah yang mendengar betapa kakek ini berani menghina nama baik Siang-mou Sin-ni, tentu saja sudah menjadi terpengaruh dan serentak mereka maju menerjang dengan senjata mereka.

   "Ha-ha-ha"

   Pendeta-pendeta Tibet mudah dibujuk murid Siang-mou Sin-ni"

   Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak dan kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak dengan ilmu silatnya yang dahsyat dan aneh. Dua orang hwesio yang ilmunya tinggi, setingkat dengan ilmu Po Leng In, kena ditendang mencelat.

   Adapun Cap-ji-liong tokoh-tokoh Thian-liong-pang, para ketua bajak dan rampok, yang melihat betapa datuk mereka diserang dan dikeroyok, segera berteriak marah dan menyerbu, diikuti anak buah mereka. Demikian pula dari pihak anak buah para pendeta, yaitu orang Hsi-hsia yang berani dan liar, sambil mengeluarkan teriakan lantang lalu maju menggerakkan senjata masing-masing. Terjadilah perang kecil yang dahsyat dan seru di antara sinar-sinar obor. Di bawah pimpinan Siauw-bin Lo-mo yang sakti, Cap-ji-liong mengamuk hebat dan tentu akan banyak jatuh korban di tangan Siauw-bin Lo-mo dan dua belas orang naga itu kalau saja Siauw-bin Lo-mo yang cerdik tidak cepat berseru nyaring.

   "Hajar kerbau-kerbau dungu ini, akan tetapi jangan bunuh mereka"

   Inilah sebabnya maka orang-orang Hsi-hsia yang roboh, juga beberapa orang hwesio jubah merah, hanya terluka saja dan tidak sampai tewas. Melihat hebatnya sepak terjang para penyerbu, seorang hwesio jubah merah cepat-cepat lari naik seperti terbang cepatnya, membuat pelaporan kepada Bouw Lek Couwsu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw Lek Couwsu yang sedang bersenang-senang dengan Siang-mou Sin-ni di dalam kamar iblis betina ini, segera lari keluar ditemani Siang-mou Sin-ni. Kwi Lan yang terkurung dalam kerangkeng tidak luka parah seperti Yu Siang Ki yang sampai lama berada dalam keadaan pingsan. Ketika sadar dan mendapatkan kedua tangannya terbelenggu, demikian pada kedua kakinya, dan ia meringkuk di dalam kerangkeng, Kwi Lan cepat bangkit dan meneliti keadaannya.

   Ia melihat Siang Ki yang masih pingsan berada dalam kerangkeng lain, tak jauh dari kerangkeng yang mengurung dirinya, didorong-dorong oleh beberapa orang, dan dijaga oleh Cap-ji-liong. Sekarang tahulah Kwi Lan mengapa Siang Ki mendesaknya untuk melarikan diri. Pemuda itu ternyata benar. Kalau ia menurut nasihatnya dan membebaskan diri, biarpun Siang Ki menjadi tawanan, namun dia sendiri masih bebas dan tentu akan dapat mencari akal untuk menolong Siang Ki. Akan tetapi, segala hal telah terlanjur, kini ia sendiri tertawan sehingga tidak saja Siang Ki tak dapat ditolong bahkan keselamatannya sendiri terancam malapetaka hebat.

   Kwi Lan meneliti tubuhnya. Tidak terluka parah. Juga belenggu pada kaki tangannya, kalau ia mau, dapat ia patahkan. Namun kerangkeng itu cukup kuat, dan terutama sekali di sekeliling kerangkeng terdapat tokoh-tokoh Cap-ji-liong. Tidak ada harapan baginya untuk meloloskan diri pada waktu itu. Saking jengkelnya, Kwi Lan lalu memaki-maki di sepanjang jalan. Ia amat marah, akan tetapi pengalaman ini membuat ia bertambah kecerdikannya dan ia tidak mau melepaskan atau mematahkan belenggu kaki tangannya pada saat itu karena maklum bahwa hal ini akan percuma saja. Pedang Siang-bhok-kiam dan jarum hijau dalam kantung telah dirampas musuh dan di sekeliling kerangkeng terdapat Cap-ji-liong yang kosen ditambah banyak kepala bajak dan rampok. Ia menanti kesempatan dan saat baik untuk dapat meloloskan diri dengan berhasil sambil menolong Yu Siang Ki.

   Akan tetapi, alangkah kaget dan kecewa hatinya ketika di kaki Gunung Kao-likung-san, rombongan orang Thian-liong-pang ini bertemu dengan Siauw-bin Lo-mo yang agaknya memang sudah menanti di situ. Dengan adanya kakek ini, lenyaplah harapannya untuk dapat membebaskan diri. Kwi Lan tadinya sudah merasa putus asa dan sudah mengambil keputusan untuk memberontak malam hari itu, nekat mengadu nyawa. Maka dapat dibayangkan betapa tegang dan gembira hatinya ketika ia melihat munculnya kesempatan yang baik sekali yaitu pada waktu para pendeta jubah merah yang didahului oleh Po Leng In menyerang Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya.

   Kwi Lan segera mengenal Po Leng In dan begitu pertempuran dimulai diam-diam ia mengerahkan sin-kangnya. Setelah beberapa kali membetot dan menarik, putuslah belenggu kedua tangannya. Tanpa banyak kesukaran, ia membebaskan kedua kakinya. Seorang di antara kepala rampok yang ditugaskan menjaga kedua kerangkeng, berseru kaget dan cepat menghampiri kerangkeng Kwi Lan. Namun tiba-tiba lengan tangan Kwi Lan menyambar dari dalam kerangkeng dan tahu-tahu rampok itu sudah tercengkeram lengannya, ditarik ke kerangkeng dan sebelum orang itu mampu berteriak, nyawanya sudah meninggalkan raganya karena pukulan Siang-tok-ciang yang amat dahsyat dari tangan kiri Kwi Lan.

   Penjaga kerangkeng semua ada tujuh orang. Enam orang yang lain melihat betapa temannya tewas, cepat maju mengurung kerangkeng Kwi Lan dengan tombak di tangan. Biarpun Kwi Lan berkepandaian tinggi, namun bertangan kosong menghadapi ancaman tombak, dari enam penjuru ini sedangkan dirinya masih dikurung di dalam kerangkeng, amat berbahaya juga. Pada saat itu, enam orang perampok ini sudah menjerit kesakitan dan roboh bergulingan. Kwi Lan hanya melihat sinar menyambar, sinar halus. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa muka seorang di antara perampok yang diterangi sinar obor, menjadi hijau ketika orang ini roboh. Itulah tanda bahwa dia terkena racun hijau dari senjata rahasia jarum. Jarum hijau, seperti senjata rahasianya yang kantungnya kini dipegang seorang di antara para perampok, bersama pedang Siang-bhok-kiam.

   Kini ia akan melihat orang yang telah membunuhi hwesio-hwesio dalam kelenteng mempergunakan jarum-jarum hijau. Ketika dua orang berkelebat datang mendekati kerangkeng, Kwi Lan terkejut. Yang seorang adalah laki-laki tua berjenggot, pakaiannya sederhana, usianya tentu sudah enam puluh tahun, tubuhnya kecil kurus, sepasang matanya bersinar lembut, punggungnya membawa pundi-pundi. Orang ke dua adalah seorang gadis amat cantik, senyumnya manis, rambutnya digelung ke atas, usianya sebaya dengannya. Kedua orang ini memegang sebatang pedang dan di pinggang gadis itu terdapat, sebuah kantong kulit. Agaknya gadis itulah yang tadi melepaskan jarum-jarum hijau yang merobohkan para penjaga kerangkeng. Kwi Lan mengerahkan tenaganya, menghantam kerangkengnya sehingga terdengar suara keras dan jebollah kerangkeng itu.

   "Engkau hebat sekali, Adik manis"

   Kata gadis itu melihat cara Kwi Lan menjebol kerangkengnya. Akan tetapi sambil berkata demikian ia menggunakan pedangnya untuk dibabatkan ke arah kerangkeng yang mengurung tubuh Yu Siang Ki.

   "Jangan ganggu dia"

   Kwi Lan menyambar cepat, mengirim pukulan Siang-tok-ciang ke arah gadis cantik itu. Hebat sekali serangannya dan karena hal ini ia lakukan dari belakang selagi gadis itu membabatkan pedangnya ke arah kerangkeng, maka tentu serangannya akan mengenai sasaran.

   "Desss.."

   Tubuh Kwi Lan terhuyung mundur dan lengannya terasa sakit. Kakek kurus yang menangkisnya itu pun terhuyung mundur dan berubah wajahnya ketika berseru.

   "Ihhh.., inikah Siang-tok-ciang? Keji sekali.."

   Akan tetapi Kwi Lan tidak mempedullkan kakek ini karena perhatiannya tertuju kepada keselamatan Yu Siang Ki yang ia sangka akan dicelakakan gadis cantik itu. Ketika ia membalikkan tubuh memandang, ternyata dugaannya keliru karena kini gadis itu telah membabat? beberapa orang hwesio jubah merah, putus kerangkeng dan bahkan sudah melepaskan belenggu tangan Yu Siang Ki.

   "Siapa kalian? Mau apa..?"

   Tanyanya gagap.

   "Nona, kami datang menolong kalian. Selagi ada kesempatan tidak lekas lari mau tunggu apalagi? Goat-ji (Anak Goat) kau jaga dibelakangku, biar kugendong dia"

   Tanpa pedulikan Kwi Lan lagi, laki-laki kurus itu lalu melompat ke dekat kerangkeng Siang Ki, menyambar tubuh pemuda itu dan memanggulnya, kemudian melompat hendak lari. Gadis cantik yang disebut Goat itu pun dengan pedang terhunus melompat di belakangnya, melindungi kakek yang menggendong pemuda itu.

   Kwi Lan cepat mengambil pedang dan kantong jarumnya dari tubuh penjaga yang sudah menjadi mayat, kemudian berpaling menonton pertempuran yang berlangsung hebat. Ia melihat betapa Po Leng In terdesak hebat biarpun gadis ini mengeroyok Siauw-bin Lo-mo dengan beberapa orang Hwesio jubah merah. Timbul keinginan hatinya untuk membantu Po Leng In karena dianggapnya bahwa munculnya Po Leng In merupakan pertolongan baginya, membuka kesempatan baginya untuk membebaskan diri. Akan tetapi ia teringat akan keselamatan Yu Siang Ki. Pemuda ini dalam keadaan luka-luka parah, kini dibawa lari dua orang yang sama sekali tak dikenalnya. Bagaimana kalau pemuda itu terjatuh di tangan musuh? Berpikir demikian, tanpa banyak cakap lagi Kwi Lan lalu melompat dan lari mengejar bayangan dua orang yang membawa lari tubuh Yu Siang Ki.

   "Tahan, senjata.."

   Bentakan ini keras luar biasa, seakan-akan menggetarkan Gunung Kao-likung-san. Apalagi bagi anak buah Siauw-bin Lo-mo karena sambil membentak, Bouw Lek Couwsu melakukan gerakan mendorong sehingga empat orang anggauta Cap-ji-liong terpental dan terhuyung-huyung mundur hanya oleh hawa pukulan yang amat kuat, keluar dari dorongannya tadi. Para hwesio jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia cepat menarik senjata masing-masing dan melompat mundur. Siauw-bin Lo-mo juga memberi perintah kepada anak buahnya untuk menghentikan pertandingan. Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang di bawah sinar obor yang amat banyak, Siauw-bin Lo-mo melihat seorang hwesio tinggi besar berkaki satu, memegang sebatang tongkat kuningan yang amat besar dan berat dengan kepala tongkat berukirkan patung Buddha yang amat indah. Di dekat kakek ini berdiri seorang wanita yang amat cantik dan garang, berambut terurai panjang.

   Wanita ini sukar ditaksir berapa usianya, bibirnya manis tersenyum-senyum akan tetapi matanya membuat orang berdiri bulu tengkuknya karena sinar mata itu amat keji dan ganas. Melihat wanita ini jantung Siauw-bin Lo-mo berdebar saking kagetnya karena biarpun selamanya ini belum pernah bertemu dengan wanita ini, sekarang ia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah Siang-mou Sin-ni, seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang sudah terbasmi habis itu. Ia memang mendengar kabar bahwa hanya Siang-mo Sin-ni seorang yang masih hidup di antara Thian-te Liok-kwi, akan tetapi menurut berita, wanita sakti ini sudah mengasingkan diri di pulau kosong di laut selatan. Kini mengertilah Siauw-bin Lo-mo mengapa Po Leng In bersekutu dengan hwesio jubah merah, kiranya gurunya berada di tempat ini, bersama Bouw Lek Couwsu.

   "Ha-ha-ho-ho-ho. Terima kasih bahwa Bouw Lek Couwsu berkenan keluar sendiri menyambut. Sungguh merupakan kehormatan besar bagiku. Tidak kelirukah dugaanku bahwa sahabat yang perkasa ini adalah Bouw Lek Couwsu, pemimpin pasukan Hsi-hsia yang gagah berani?"

   Siauw-bin Lo-mo menegur sambil mendekati Bouw Lek Couwsu. Bouw Lek Couwsu mengerutkan alisnya yang tebal, lalu matanya menyapu keadaan di sekeliling tempat itu. Ia melihat beberapa orang anak buahnya terluka dan dirawat teman-temannya, akan tetapi tak seorang pun tewas. Ia mengangguk-angguk dan kembali memandang Siauw-bin Lo-mo sambil berkata, menggerakkan tongkat kuningan itu di depan dada.

   "Pinceng pernah mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo. Apakah Lo-mo mengandalkan kepandaian tidak memandang mata kepada pinceng (aku) dan malam ini sengaja hendak mencoba kepandaianku?"

   "Ho-ho-ha-ha-ha. Sama sekali tidak. Salah mengerti.. salah mengerti. Mana bisa aku begitu tak tahu diri membentur gunung? Aku Siauw-bin Lo-mo selamanya mengenal orang gagah. Aku sengaja datang untuk berkenalan dan bersahabat, dan sebagai bukti kemauan baikku, aku datang membawa hadiah seorang dara jelita yang liar, bukan sembarangan dara berjuluk Mutiara Hitam, untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu.."

   Pada saat itu Ma Kiu sudah lari menghampiri Siauw-bin Lo-mo dan berkata, suaranya gugup.

   "Locianpwe.., dalam keributan.. dua orang tawanan telah lolos.."

   "Apa?"

   Sekali ini Siauw-bin Lo-mo lupa ketawanya dan mukanya kelihatan marah sekali.

   "Goblok kau. Hayo lekas kejar sampai dapat"

   Ia lalu menjura kepada Bouw Lek Couwsu setelah melihat Cap-ji-liong berkelebat pergi untuk mengejar tawanan yang lolos, menjura dan berkata.

   "Maaf, Couwsu, aku harus menangkap kembali tawanan itu dan mempersembahkan kepadamu sebagai bukti niat baikku. Besok aku naik untuk menghadap."

   Tanpa menanti jawaban, Siauw-bin Lo-mo lalu berkelebat pergi menyusul anak buahnya.

   "Hemm, iblis tua itu mencurigakan"

   Kata Siang-mou Sin-ni.

   "Dia, memang jahat dan sama sekali tidak boleh dipercaya"

   Kata Po Leng In.

   "Sudah teecu (murid) laporkan bahwa dia adalah seorang di antara Bu-tek Ngosian yang membiarkan saja ketika teecu dihina di Cheng-liong-san."

   "Hemm, harus diberi hajaran"

   Siang-mo Sin-ni sudah siap untuk mengejar ketika tiba-tiba terdengar suara tanduk ditiup dari puncak. Itulah tanda rahasia yang digunakan oleh pasukan Hsi-hsia untuk memberi tanda bahaya.

   "Agaknya di puncak terjadi hal yang tidak baik. Marilah, Kim Bwe, kita lihat ke atas. Urusan Siauw-bin Lo-mo kita tunda sampai besok, kita lihat apa kehendaknya besok."

   Ketika dua orang sakti itu dengan gerakan cepat laksana terbang berkelebat ke arah puncak, wajah Po Leng In menjadi pucat. Ia dapat menduga apa maknanya tanda bahaya yang ditiup orang di puncak itu. Tentu Kiang Liong sudah turun tangan dan agaknya ketahuan penjaga. Dengan jantung berdebar tak enak ia lalu berlari cepat pula menyusul gurunya dan Bouw Lek Couwsu, mendahului para pendeta jubah merah yang juga berlari-lari naik. Dugaan Po Leng In memang tepat. Kiang Liong yang ditinggalkan wanita ini di lereng gunung itu, menanti sampai cuaca menjadi gelap dan tepat seperti yang dipesankan Po Leng In. Ia lalu mendaki ke puncak melalui lereng berbatu. Gerakannya cepat sekali akan tetapi ia berlari naik dengan amat hati-hati dan waspada.

   Begitu tiba di puncak, hatinya girang melihat keributan dan melihat para pendeta baju merah berlari-larian keluar masuk pintu gerbang yang terjaga kuat oleh orang-orang Hsi-hsia. Kemudian dari tempat persembunyiannya di luar tembok, ia melihat pula pendeta baju merah yang buntung kaki kirinya berkelebat cepat keluar tembok bersama seorang wanita cantik berambut panjang. Ia dapat menduga bahwa tentu mereka inilah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Biarpun hanya mendengar keterangan dari Po Leng In, namun kini melihat gerakan mereka berdua demikian cepat, ia tahu bahwa dua orang itu amat sakti. Maka legalah hatinya ketika malihat dua orang ini berlari turun diikuti beberapa orang pendeta baju merah dan sepasukan orang-orang Hsi-hsia.

   Ia segera meloncat ke atas tembok pada saat peronda dan penjaga sedang lengah karena keributan yang terjadi di bawah puncak. Makin terasa olehnya jasa Po Leng In, karena ia maklum bahwa andaikata tidak terjadi keributan di bawah puncak, andaikata Po Leng In tidak sengaja memancing keributan dan memancing keluar dua orang sakti itu serta menimbulkan kesibukan di puncak, akan sukarlah baginya untuk dapat melompati tembok yang selalu terjaga rapat itu. Gerakan Kiang Liong memang amat cepat sehingga tubuhnya sukar diikuti pandangan mata orang biasa. Ketika ia meloncat ke dalam dan bergerak menyelinap di antara bangunan-bangunan di situ, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan putih saja.

   Betapapun juga, ketika ia tiba di bangunan terbesar di tengah-tengah kelompok bangunan itu, seperti yang ditunjuk oleh Po Leng In, ia menghadapi kesulitan. Bangunan ini terjaga, baik di bagian depan, kanan kiri, belakang maupun atas. Dengan hati-hati sekali Kiang Liong mengintai dan mengatur siasat. Agaknya bangunan besar-besar yang menjadi tempat tinggal Bouw Lek Couwsu dan para selirnya, juga termasuk tempat kediaman Siang-mou Sin-ni, mempunyai penjaga-penjaga tetap. Di depan terjaga empat orang, di belakang, kanan dan kiri masing-masing tiga orang dan di atas genting tampak menjaga dua orang. Dari semua penjaga itu, agaknya penjaga di atas genteng merupakan penjaga berkepandaian tinggi karena mereka adalah dua orang pendeta jubah merah. Adapun penjaga lain adalah orang-orang Hsi-hsia tinggi besar.

   Kiang Liong lalu mengumpulkan beberapa buah batu kecil, kemudian menyelinap ke sebelah kiri bangunan itu. Beberapa detik kemudian, tiga orang penjaga di sebelah kiri rumah besar itu roboh dan tak sempat mengeluarkan sedikit pun suara karena tengkuk mereka disambar batu-batu kecil yang membuat mereka roboh pingsan tanpa mengetahui sebabnya. Cepat bagaikan bayangan setan, Kiang Liong melompat keluar dan sekaligus mengempit tiga tubuh penjaga itu dibawa ke tempat gelap, ditotok lumpuh dan disembunyikan di bawah gerombolan pohon kembang. Berturut-turut ia lakukan hal seperti pada penjaga di kanan, depan dan belakang sehingga dalam waktu beberapa menit saja tiga belas orang Hsi-hsia yang menjaga rumah itu sudah rebah tumpang-tindih dalam keadaan pingsan di bawah pohon.

   Tepat seperti dugaan Kiang Liong, dua orang penjaga di atas rumah, yaitu dua orang pendeta jubah merah, ternyata adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, tidak seperti tiga belas orang Hsi-hsia yang hanya kuat saja. Buktinya, sambitan kerikil, dari tangan Kiang Liong itu tidak merobohkan dua orang hwesio jubah merah ini, hanya membuat mereka terhuyung-huyung saja di atas genteng. Kiang Liong tidak mau memberi kesempatan. Tubuhnya berkelebat cepat melayang naik ke atas genteng. Dua orang pendeta jubah merah yang masih belum pulih kagetnya, menyambutnya dengan usaha perlawanan.

   Namun sia-sia, tingkat kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk menandingi pemuda sakti ini. Dua kali tangan Kiang Liong bergerak dan mereka sudah tertotok lumpuh dan di saat lain tubuh mereka sudah dilempar di tumpukan tubuh para penjaga lain dalam keadaan pingsan dan lumpuh. Akan tetapi, Kiang Liong tertegun dan mau tidak mau harus mengagumi kesetiaan dan kegagahan para penjaga dan dua orang pendeta itu karena betapapun dipaksa dan diancamnya, ketika ia mencari keterangan tentang dua orang gadis tawanan, mereka itu tetap membungkam. Terpaksa Kiang Liong lalu mencari sendiri, menyelinap ke dalam bangunan besar itu. Ketika empat orang pelayan wanita menyambut munculnya dengan mata terbelalak ketakutan, Kiang Liong cepat mengangkat tangan dan berkata,

   "Aku tidak akan menyusahkan kalian, aku datang untuk menolong dua orang tawanan, dua orang gadis yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu. Beritahu di mana mereka dan aku akan membawa pergi mereka dari sini dengan segera."

   Dengan tubuh gemetar empat orang pelayan itu berlutut dan saking takutnya tak seorang pun dari mereka dapat menjawab. Dan pada saat itu kembali bermunculan wanita-wanita pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik, diam-diam Kiang Liong mengeluh dalam hatinya. Tidak dirobohkan berbahaya, untuk menyerang mereka ia tidak tega karena mereka itu adalah wanita-wanita lemah.

   "Hayo lekas beritahukan di mana adanya dua orang gadis tawanan itu. Kalau tidak, terpaksa aku bunuh kalian"

   Ia sengaja mengancam.

   "Ampun.. mereka.. mereka di sana.. di kamar belakang.."

   Seorang pelayan akhirnya dapat menjawab.

   "Lekas bawa aku ke sana"

   Pelayan itu terhuyung-huyung ketakutan, akan tetapi dapat berjalan menuju ke ruang belakang, diikuti oleh Kiang Liong dari belakang. Akhirnya mereka tiba di depan sebuah kamar yang pintunya bercat merah, daun pintunya tertutup. Dengan pengerahan tenaganya, sekali dorong saja daun pintu itu terbuka dan.. Kiang Liong mengeluarkan suara mengutuk ketika ia melihat Siang Kui dan Siang Hui, dua orang gadis cucu Ketua Beng-kauw yang cantik itu, terbelenggu di atas pembaringan dalam keadaan telanjang. Melihat tumpukan pakaian mereka di atas pembaringan, Kiang Liong cepat meloncat dekat dan sebentar saja semua belenggu yang mengikat dua orang gadis itu sudah dipatahkan.

   "Lekas pakai pakaian kalian"

   Bisiknya sambil membalikkan tubuh, tidak mau melihat kakak beradik yang telanjang itu. Siang Kui dan Siang Hui dengan muka merah sekali cepat-cepat mengenakan pakaian mereka.

   "Untung kau datang tepat pada waktunya, Liong-twako."

   Kata Siang Kui dengan suara terharu.

   "Terima kasih, Twako. Mari sekarang kita hajar sampai mampus monyet-monyet gundul itu"

   Seru Siang Hui penuh kemarahan. Kiang Liong menoleh menghadapi mereka. Mendengar ucapan mereka, melihat sikap dan keadaan mereka, hatinya lega. Ia maklum bahwa kedatangannya belum terlambat.

   "Siauw-moi, jangan bicara tentang menghajar mereka. Jumlah mereka banyak sekali, yang paling penting sekarang, di mana adanya Han Ki adik kalian?"

   Barulah enci adik itu teringat dan mereka menjadi bingung.

   "Kami berdua begitu terculik, selalu dikeram ke dalam kamar ini dan tak seorang pun di antara pelayan ada yang mau membuka mulut memberi tahu di mana adanya Han Ki. Mari kita cari."

   Kata Siang Kui penuh semangat.

   Kiang Liong menggeleng kepala, lalu menarik tangan mereka keluar dari dalam kamar itu, terus ke ruang depan. Di ruangan ini terdapat rak senjata dan ia menyuruh kakak beradik itu memilih senjata. Siang Kui dan Siang Hui memilih sebatang pedang dan begitu tangan mereka memegang senjata, dua orang nona ini kelihatan bersemangat sekali. Mereka sudah gatal tangan untuk mengamuk dan mengadu nyawa dengan orang yang telah membasmi keluarga mereka dan bahkan telah menculik mereka, nyaris membunuh mereka. Melihat sikap ini, Kiang Liong berbisik.

   "Lekas kalian lari dari sini, ambil jalan dari kiri bangunan ini. Di sana ada sebatang pohon, kalian loncati pagar tembok melalui pohon itu dan melarikan diri keluar. Aku akan mencari Han Ki baru menyusul kemudian.."

   "Mana bisa begini?"

   Siang Hui mencela.

   "Aku tidak mau lari, aku akan mengadu nyawa dengan monyet-monyet gundul itu"

   "Biarkan kami berdua membantumu, Twako."

   Siang Kui juga berkata nadanya mendesak.

   "Ji-wi Siauw-moi harap jangan salah mengerti. Keadaan di sini berbahaya sekali dan amat kuat. Kalau tidak kebetulan ada musuh menyerbu sehingga semua tokoh di sini terpancing keluar, aku sendiri agaknya belum tentu dapat menolong kalian dengan mudah. Kalau Han Ki sudah dapat kutolong tentu aku ikut melarikan diri bersama kalian. Akan tetapi sekarang aku harus mencari Han Ki lebih dulu."

   "Justeru untuk adik kami itu kami harus bantu, kalau perlu dengan taruhan nyawa"

   Kata Siang Hui. Kiang Liong habis sabar.

   "Kalian harus mengerti, kepandaian mereka hebat, aku sendiri belum tentu dapat menang menandingi mereka, masih harus melindungi kalian, berarti kita semua berempat akan binasa semua."

   "Kami tidak takut mati"

   Siang Kui dan Siang Hui berseru saling mendahului. Kiang Liong melotot.

   "Kalau aku bekerja sendirian, lebih besar harapan dapat menolong adikmu. Kalian hendak menggangguku? Ingin semua ditangkap dan semua mati sehingga tidak akan ada orang yang membalas kematian Ayah Bunda kalian? Masih tidak cepat-cepat pergi?"

   Dua orang gadis itu seketika menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian bagaikan dua ekor ayam digebah, mereka meloncat keluar dan menghilang di dalam gelap. Hanya terdengar mereka meninggalkan isak tertahan. Kiang Liong tersenyum geli.

   "Dasar puteri-puteri Paman Bu Sin gagah perkasa dan berani mati."

   Ia memuji, hatinya perih teringat akan kematian Kam Bu Sin dan Isterinya yang begitu menyedihkan. Segera ia teringat akan Kam Han Ki, maka cepat ia menyelinap keluar dari bangunan besar itu dan mendatangi para pelayan wanita yang berkumpul di sebuah ruangan dengan tubuh menggigil dan muka pucat.

   "Aku tidak akan ganggu kalian. Akan tetapi kalian harap memberi tahu, di mana adanya Kam Han Ki, anak laki-laki kecil yang diculik dan dibawa ke sini sebagai tawanan"

   
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah ribut bicara sendiri akhirnya seorang pelayan berkata.

   "Kami tidak tahu orang gagah. Yang menahannya adalah Siang-mou Sin-ni.."

   "Di mana kamar Siang-mou Sin-ni?"

   Pelayan itu hanya dapat menudingkan telunjuknya pada bangunan sebelah kanan bangunan besar itu. Tampak bayangan putih berkelebat dan pemuda baju putih itu sudah lenyap dari depan mata mereka. Para pelayan itu cepat berlutut dan saling peluk penuh rasa takut. Akan tetapi dua orang di antara mereka lalu berlari keluar, biarpun kaki mereka menggigil namun akhirnya mereka sampai juga ke tempat penjaga. Di sini dengan suara terputus-putus mereka lalu menceritakan tentang serbuan pemuda pakaian putih.

   Ributlah para penjaga, dan para pendeta jubah merah lalu membunyikan tanda tiupan tanduk untuk memberi tahu para tokoh yang sedang turun puncak menghadapi lawan. Sebagian pula dengan senjata di tangan lalu menyerbu, lari ke arah bangunan yang menjadi tempat tinggal Siang-mou Sin-ni. Kiang Liong yang berhasil memasuki tempat tinggal Siang-mou Sin-ni, kaget mendengar suara tiupan tanduk itu. Ia maklum bahwa bahaya mengancamnya, bahwa suara itu merupakan tanda bahaya dan persiapan pihak lawan. Ia harus segera menemukan Han Ki. Rumah itu kosong, agaknya para pelayan sudah lari keluar. Ia cepat menuju ke belakang. Biasanya, tempat tawanan adalah di bagian belakang. Kamar-kamar di belakang dimasukinya, yang pintunya tertutup didobraknya, namun ia tidak dapat menemukan anak itu.

   "Han Ki.., Kam Han Ki.."

   Teriakan panggilan berkali-kali ini menggema di sekitar puncak karena suara Kiang Liong didorong oleh khi-kang yang amat kuat. Namun tidak ada jawaban. Tentu saja Han Ki tak dapat menjawab karena pada saat itu Han Ki menggeletak di dalam kamar Siang-mou Sin-ni dalam keadaan pingsan. Suara tapak kaki banyak orang menyatakan bahwa rumah itu telah terkurung. Ia lalu melayang keluar dari dalam rumah melalui jendela. Dalam sekejap mata, belasan buah senjata tajam menyambutnya seperti hujan.

   "Trang-trang-trang.."

   Suara pertemuan senjata nyaring ini disusul robohnya lima orang pengeroyok sekaligus. Ketika meloncat keluar tadi ia telah mencabut, keluar sepasang senjatanya yang aneh, yaitu sepasang pensil. Dengan tubuh masih melayang dapat menangkis dan sekaligus merobohkan lima orang pengeroyok, dapat dibayangkan betapa lihainya pemuda ini. Akan tetapi jumlah pengeroyok makin bertambah.

   Orang-orang Hsi-hsia sungguh pun tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, namun mereka adalah orang-orang peperangan yang ulet dan berani, lagi pula amat kuat sehingga robohnya banyak kawan tidak mengecilkan hati mereka yang terus mengamuk dan mengeroyok. Jumlah mereka yang puluhan orang banyaknya ini diperkuat oleh belasan orang hwesio jubah merah yang memiliki ilmu silat cukup lihai karena mereka ini adalah kaki tangan, juga murid Bouw Lek Couwsu. Hebat sekali amukan Kiang Liong. Dalam waktu setengah jam lebih, tidak kurang dari dua puluh orang Hsi-hsia roboh tak dapat bangun lagi ditambah tujuh orang pendeta jubah merah roboh terluka. Ia tidak akan melarikan diri sebelum dapat menolong Han Ki. Sepasang siang-pit (pensil) di tangannya menjadi dua gulungan sinar memanjang seperti dua ekor ular sakti saling belit dan melayang-layang di angkasa.

   "Tahan senjata, mundur semua.."

   Tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring berpengaruh, Kiang Liong tidak mengenal suara ini, akan tetapi semua pengeroyok seketika meloncat mundur sambil menarik senjata masing-masing, bahkan lalu mundur dan berdiri menjadi dua barisan dengan sikap menghormat.

   Karena menduga bahwa kini yang muncul tentulah Bouw Lek Couwsu yang terkenal sakti bersama Siang-mou Sin-ni yang kesaktiannya pernah ia dengar dari suhunya, maka Kiang Liong memegang sepasang senjatanya erat-erat, pandang mata ditujukan ke depan, seluruh urat syarafnya siap menghadapi lawan tangguh. Di bawah sinar obor yang dipegang kedua barisan berjajar di kanan kiri, tampaklah kini seorang pendeta gundul berkaki satu yang berjubah merah. Biarpun kaki kirinya buntung, namun dengan bantuan tongkat, ia dapat berjalan dengan tegak dan cepat sekali. Di samping hwesio ini berjalan seorang wanita cantik yang berambut panjang.

   "Bagus. Engkau tentulah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, iblis tua jantan betina yang amat keji"

   Kiang Liong membentak marah sekali. Bouw Lek Couwsu membelalakkan matanya. Kalau seorang tokoh benar seperti Siauw-bin Lo-mo yang terkenal sakti masih jerih terhadap dirinya, bagaimana ada seorang pemuda seperti ini berani memaki dia dan Siang-mou Sin-ni? Dan menyaksikan pengeroyokan tadi, Melihat banyaknya murid-murid dan orang-orang Hsi-hsia roboh, benar-benar pemuda ini luar blasa sekali. Keheranannya melampaui kemarahannya ketika ia bertanya.

   "Orang muda yang tak takut mati, engkau siapakah?"

   Dengan sikap tenang pemuda itu menjawab,

   "Aku she Kiang bernama Liong. Karena engkau melakukan kebiadaban di kalangan Beng-kauw dan menculik wanita dan kanak-kanak, maka aku datang untuk menghadapimu. Bouw Lek Couwsu, hayo kau bebaskan Kam Han Ki, anak kecil itu tidak tahu apa-apa"

   Bouw Lek Couwsu mengangguk-anggukkan kepala sambil meraba kepalanya yang gundul.

   "Aih-aih.. pantas kau seberani ini. Kiranya engkau inikah yang bernama Kiang-kongcu, putera Pangeran Sung yang terkenal sebagai murid Suling Emas?"

   Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni melompat ke depan dan tertawa, suara ketawanya melengking tinggi menyeramkan, sungguhpun wajahnya menjadi menarik sekali ketika tertawa, karena tampak giginya berderet rapi dan putih berkilauan di balik bibir merah, cuping hidungnya berkembang kempis dan matanya menyinarkan api.

   "Hi-hi-hik"

   Inikah murid Suling Emas? Bagus, kau wakili Gurumu mampus di tanganku"

   Berkata demikian, kepala wanita ini bergerak dan dari kanan kiri pundaknya menyambar bayangan hitam.

   "Siuuuuttt"

   Dahsyat sekali gulungan dua, sinar hitam ini menyambar ke arah leher dan pusar Kiang Liong. Pemuda ini sudah menyaksikan kelihaian Po Leng In menggunakan rambut sebagai senjata, namun dibandingkan dengan gerakan ini, Po Leng In bukan apa-apa. Dua gumpal rambut panjang ini menyambar seperti dua ekor naga, mengeluarkan bunyi mengerikan dan mendatangkan bau harum yang mencekik leher. Pemuda ini maklum bahwa terkena hantaman ujung rambut ini akibatnya hebat, apalagi kalau sampai terbelit. Karena itu, cepat ia sudah menggerakkan sepasang pensilnya, menggetarkan sepasang senjata itu dengan tenaga sin-kang.

   "Plak-plak.. aiihhh.."

   Siang-mou Sin-ni terkejut bukan main sampai mengeluarkan suara kaget ketika sepasang gumpalan rambutnya itu terpukul membalik. Getaran pensil itu tidak memungkinkan rambutnya untuk melibat. Rasa kaget ini berbalik menjadi kemarahan.

   Kembali kepalanya bergerak dan kini dua gumpalan rambut bergabung menjadi satu dan menyambar ke depan, gerakannya seperti sebatang toya baja menghantam kepala Kiang Liong. Karena bergabung menjadi satu, maka tenaganya menjadi lipat dua kali. Menyusul serangan rambut ini, kedua tangan Siang-mou Sin-ni juga bergerak melakukan pukulan dengan jari-jari tangan terbuka. Hebatnya, dari kedua telapak tangan itu keluarlah bau yang amis sekali, amis busuk dan tampak telapak tangannya merah seperti mengeluarkan darah. Kiang Liong yang tahu bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, bekas musuh besar gurunya, tidak mau bersikap sembrono. Ia sudah siap dan kini ia menggerakkan kedua pensilnya seperti orang mencorat-coret di udara, menuliskan huruf-huruf indah dengan gerakan indah pula.

   Dalam sekejap mata, sepasang pensilnya sudah membuat gerakan menyilang dan seperti menggunting rambut, Siang-mou Sin-ni terkejut dan menarik kembali rambutnya melanjutkan pukulan telapak tangan merah ke arah dada dan lambung pemuda itu. Namun gerakan corat-coret selanjutnya itu secara otomatis membuat sepasang pensil sudah maju menyambut pergelangan kedua tangan Siang-mou Sin-
(Lanjut ke Jilid 20)
Mutiara Hitam (Seri ke 04 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20
ni dengan totokan-totokan pada jalan darah. Kalau pukulan dilanjutkan, sebelum telapak tangan menyentuh baju Kiang Liong, tentu saja ujung pena akan lebih dulu bertemu dengan pergelangan tangan menotok jalan darah. Gerakan ini dilakukan seperti orang menulis huruf sehingga tak tersangka dan membingungkan lawan. Kembali Siang-mou Sin-ni berseru keras dan menarik kedua tangannya sambil menggeser kaki mundur selangkah sehingga ia pun berhasil membebaskan diri daripada totokan kedua pensil.

   "Kiang Liong, kau masih tidak mau menyerah? Lihat siapa mereka ini"

   Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu yang tadi memberi tanda kepada anak buahnya, menudingkan telunjuknya kepada dua orang gadis di sampingnya. Kiang Liong memandang dan matanya terbelalak, wajahnya pucat karena dua orang gadis itu adalah Siang Kui dan Siang Hui, tampak lemas dan kakinya tangannya terbelenggu, memandang kepadanya dengan mata duka namun sedikit pun tidak takut.

   "Liong-twako, maaf, kami tertangkap kembali."

   Kata Siang Kui, sedih melihat kekagetan dan kekecewaan yang membayang di mata Kiang Liong.

   "Liong-twako, jangan hiraukan kami"

   Kata Siang Hui dengan suara lantang.

   "Ha-ha-ha-ha, Kiang-kongcu. Dua orang cucu Ketua Beng-kauw ini sungguh gagah dan manis. Sayang kalau mereka mati. Menyerahlah, dan mereka akan kubebaskan"

   "Liong-twako, kami tidak takut mati teriak Siang Hui.

   "Benar Twako, jangan hiraukan kami. Jangan menyerah, lawanlah dan kalau dapat larilah"

   Teriak pula Siang Kui.

   Kiang Liong berdiri tegak ragu-ragu, wajahnya pucat. Melihat Bouw Lek Couwsu memalangkan tongkatnya, mengancam di atas kepala dua orang gadis itu, maklumlah ia bahwa sekali ia bergerak, dua orang gadis itu tentu akan tewas. Dan dia seorang diri belum tentu akan dapat mengalahkan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, apalagi dibantu banyak sekali pendeta jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia. Baru Siang-mou Sin-ni seorang saja tadi ia sudah merasakan kelihaiannya. Kiang Liong seorang pemuda yang cerdik dan tenang, maka sebentar saja ia sudah dapat mengambil keputusan.

   "Bouw Lek Couwsu, jangan seperti anak kecil. Bebaskan gadis-gadis itu dan adik mereka, kemudian kalau kau dan Siang-mou Sin-ni ada kepandaian, cobalah untuk mengalahkan dan membunuhku"

   Sikapnya tenang, suaranya berpengaruh sehingga kembali Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara kagum.

   "Seperti Suling Emas benar.., Beginilah Suling Emas di waktu mudanya"

   Akan tetapi Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak.

   "Orang muda sombong. Gurumu sendiri Si Suling Emas belum tentu dapat menandingi pinceng, apalagi engkau muridnya. Kau lepaskan senjatamu dan menyerahlah, pinceng ingin bicara denganmu dan pinceng memerlukan bantuanmu. Pinceng berjanji akan membebaskan dua orang gadis ini. Tentang anak laki-laki itu, dia adalah hak Siang-mou Sin-ni."

   "Bagaimana aku dapat percaya omonganmu, Bouw Lek Couwsu?"

   Pendeta jubah merah itu marah sekali.

   "Kiang Liong, kau benar-benar memandang rendah kepada pinceng. Tak tahukah engkau dengan siapa kau bicara? Pinceng adalah ketua yang terhormat dari para pendeta jubah merah. Sebagai pendeta kepala, sekali pinceng mengeluarkan kata-kata, pasti tak ditarik kembali"

   Kiang Liong tersenyum mengejek. Ia sengaja hendak memanaskan hati pendeta ini. Makin panas hatinya, kelak ia akan makin malu untuk menarik kembali kata-katanya.

   "Hemm, siapa tidak tahu bahwa engkau menjadikan jubah merah dan kepala gundul sebagai kedok belaka, Bouw Lek Couwsu? Engkau berpakaian pendeta akan tetapi tidak hidup sebagai pendeta, bagaimana aku bisa percaya omongan seorang pendeta palsu? Akan tetapi aku akan lebih percaya kalau engkau bicara sebagai pimpinan barisan Hsi-hsia yang terkenal jujur dan perkasa"

   Suara Kiang Liong diucapkan nyaring dan lantang sekali sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ, termasuk orang-orang Hsi-hsia.

   Diam-diam Bouw Lek Couwsu mengutuk di dalam hatinya. Ia merasa benar-benar dilucuti oleh pemuda ini. Sebagai seorang pimpinan suku bangsa Hsi-hsia yang mengharapkan kedudukan besar, tentu saja ia tidak akan berani menarik kembali kata-kata dan merendahkan diri dan martabat dalam pandangan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi di samping ini, ia pun amat membutuhkan bantuan Kiang Liong. Pemuda ini adalah putera pangeran di Kerajaan Sung yang sudah terkenal. Kalau ia dapat menarik pemuda ini menjadi sekutu. Alangkah akan baiknya, akan memudahkan rencananya menyerbu Sung.

   "Baiklah, aku berjanji sebagai pimpinan Hsi-hsia untuk membebaskan dua orang gadis ini setelah kau melepaskan senjata dan menyerah."

   Kiang Liong tersenyum lalu memandang sepasang pensilnya.

   "Twako, jangan menyerah"

   "Twako, mari kita berontak, lawan dan adu nyawa dengan mereka"

   Namun Kiang Liong menggelengkan kepala dan memandang dua orang gadis itu sambil berkata.

   "Kalian harus menurut kepadaku. Setelah dibebaskan, lekas turun gunung dan jangan hiraukan aku lagi"

   Di dalam suara ini terkandung wibawa besar, dan sepasang mata itu menatap dengan begitu pasti sehingga dua orang gadis itu menunduk sambil terisak menangis. Kiang Liong mendongak ke atas, melihat tiang bendera yang amat tinggi berdiri di situ. Bendera pasukan Hsi-hsia berkibar di puncak tiang. Ia lalu berkata.

   "Biarlah sepasang pensilku kusimpan di atas sana"

   Kedua tangannya bergerak, terdengar suara berdesing nyaring sekali dan dua sinar menyambar ke atas. Ketika semua orang memandang, ternyata dua buah pensil itu telah manancap berjajar di puncak tiang bendera. Semua orang terbelalak memandang penuh keheranan dan kekaguman. Bahkan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni sendiri menjadi kagum.

   "Ha-ha-ha, engkau benar seorang muda gagah perkasa."

   Kata Bouw Lek Couwsu yang kemudian menoleh dan memberi perintah kepada anak buahnya.

   "Bebaskan dua orang nona ini dan jangan halangi mereka turun gunung"

   Belenggu kedua orang nona ini dilepaskan. Mereka sejenak meragu, memandang ke arah Kiang Liong dengan sepasang mata basah, akan tetapi Kiang Liong menggerakkan mukanya dan berkata.

   "Pergilah, Ji-wi Siauw-moi dan berhati-hatilah."

   Dua orang nona itu sedih sekali. Tadi pun ketika mereka dipaksa oleh Kiang Liong setelah mereka ditolong, dipaksa pergi dan tidak diperbolehkan ikut pemuda itu mencari Han Ki, mereka menangis kecewa. Sekarang tahulah mereka bahwa pemuda itu ternyata benar ketika menyuruh mereka melarikan diri. Musuh terlampau banyak dan sakti.

   Baru saja mereka tiba di lereng bukit, mereka itu bertemu dengan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni yang berlari cepat naik ke puncak sehingga tanpa dapat melakukan perlawanan berarti mereka telah ditangkap kembali. Dan sekarang karena mereka berdua, Kiang Liong menjadi tawanan tanpa dapat melawan. Tentu saja mereka berduka sekali. Kali ini mereka tidak berani membantah dan sambil menangis mereka pergi meninggalkan tempat itu, di dalam hati berjanji akan cepat-cepat mencari adik mendiang kakek mereka yang bertapa di puncak Tai-liang-san, minta pertolongannya kemudian kembali ke tempat ini untuk menolong Kiang Liong dan Han Ki. Kalau terlambat dan dua orang itu sudah terbunuh, mereka akan mengamuk dan mengadu nyawa. Setelah dua orang gadis itu pergi, Bouw Lek Couwsu berkata.

   "Orang muda, pinceng sudah berjanji membebaskan mereka dan sekarang mereka sudah bebas. Engkau menjadi tawananku, dan pinceng juga tidak bermaksud membunuhmu, kalau saja engkau tidak menolak tawaranku. Sebagai seorang tawanan, kau harus dibelenggu dan harap saja kau tidak melawan agar kami tidak perlu membunuhmu sebelum berunding"

   Kiang Liong bukan seorang bodoh. Kalau sepasang pensilnya masih berada di kedua tangannya sekalipun, belum tentu akan dapat membebaskan diri dari dua orang sakti ini bersama seratus orang lebih anak buah mereka yang sudah mengurung tempat itu. Kini sepasang senjata sudah ia simpan di atas tiang bendera, dan ia sudah berjanji pula untuk menyerah. Seorang pendekar harus memegang janjinya dan ia menyerah, kecuali tentu saja kalau ia akan dibunuh, ia akan melawan sedapat mungkin. Maka mendengar ucapan ini ia tersenyum dan menjawab.

   "Silakan Bouw Lek Ciouwsu."

   Ia memasang kedua tangan dengan merangkap pergelangan tangannya.

   Seorang pendeta jubah merah murid Bouw Lek Couwsu tanpa diminta segera melompat maju. Ia sudah membawa sebuah rantai besi dan untuk menyenangkan hati gurunya ia segera mengikat kedua pergelangan tangan itu erat-erat kemudian mengaitkan ujungnya kepada mata rantai. Demikian kuatnya belenggu itu sehingga kedua tangan Kiang Liong sedikit pun tak dapat bergerak. Dengan hati puas dan muka bangga pendeta jubah merah itu melangkah mundur dan memandang ke arah gurunya mengharapkan pujian.

   "Goblok kau, Goblok dan tolol"

   Pendeta jubah merah itu kaget setengah mati, takut mendongkol dan heran terbayang di mukanya.

   "Tapi.. Suhu.."

   "Kau kira belenggu itu dapat menahan kedua tangannya?"

   Bentak Bouw Lek Ciouwsu.

   Kiang Liong kagum akan kecerdikan dan ketajaman mata pendeta kepala itu. Ia tersenyum dan tak perlu berpura-pura lagi. Sekali ia mengerahkan tenaga Kim-kong-kiat, terdengar suara keras dan rantai besi yang membelenggunya itu patah-patah. Kemudian ia menyodorkan kedua tangannya lagi kepada Bouw Lek Couwsu. Semua anak buah yang berada di situ mengeluarkan seruan kaget dan melongo. Seekor harimau sekalipun tak mungkin dapat mematahkan belenggu seperti itu, dan pemuda ini mematahkannya sedemikian mudah.

   "Biar kubelenggu dia untukmu"

   Terdengar Siang-mou Sin-ni berkata, sebagian jengkel menyaksikan kegagahan Kiang Liong dan juga sebagian benci karena mengingat bahwa pemuda ini adalah murid Suling Emas,

   Musuh besar yang amat dibencinya karena Suling Emaslah yang mengenyahkan dia dari dunia kang-ouw (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Sambil berkata demikian, kepalanya bergerak dan segumpal rambutnya telah menyambar ke arah kedua tangan Kiang Liong, seperti seekor ular hidup rambut itu membelit-belit pergelangan tangan. Kiang Liong dapat merasa betapa rambut yang membelit kedua lengannya itu mengandung tenaga yang luar biasa, terasa panas dan maklumlah ia bahwa wanita sakti yang terkenal karena rambutnya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan dan sekiranya ia berusaha melepaskan ikatan rambut, ia masih sangsi apakah dia akan berhasil. Maka ia diam saja dan bahkan memuji.

   "Rambutmu memang amat hebat, Siang-mou Sin-ni"

   Untuk kedua kalinya anak buah yang berada di situ melongo. Mereka sudah dapat menduga bahwa tamu kehormatan pemimpin mereka itu tentulah seorang wanita sakti dan pandai mempergunakan rambut sebagai senjata. Akan tetapi kalau rambut itu bisa lebih kuat daripada rantai besi, benar-benar hal ini membuat mereka menjulurkan lidah saking heran. Setelah kedua tangan Kiang Liong terbelenggu, tiba-tiba sekali Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara melengking tinggi, tangan kanannya bergerak menghantam ke depan. Kiang Liong terkejut, karena ia sama sekali tidak menyangka akan diserang. Ia tak dapat menangkis maupun mengelak, hanya dapat mengerahkan tenaga, dan menerima pukulan itu.

   "Bukkk.."

   Lambungnya terkena pukulan. Tidak sakit rasanya akan tetapi hawa panas menjalar di seluruh tubuhnya dan terkumpul di lambung kembali, mendatangkan rasa gatal-gatal dan hidungnya mencium bau amis. Diam-diam ia kaget sekali karena ia maklum bahwa pukulan Siang-mou Sin-ni yang dilakukan secara curang itu adalah pukulan yang amat hebat, pukulan beracun yang ia sendiri tidak tahu akan bagaimana akibatnya. Tentu saja Kiang Liong sebagai tokoh muda tidak mengenal pukulan ini. Selain ilmu menggunakan rambut yang amat hebat di waktu mudanya Siang-mou Sin-ni menciptakan ilmu dahsyat mengerikan yang bernama Tok-hiat-hoat-lek.

   Dahulu ketika ia sering menghadapi Suling Emas (dalam cerita CINTA BERNODA DARAH), dia menggunakan Tok-hiat-hoat-lek pula, yaitu dengan cara menyemburkan darah dari dalam perutnya, langsung keluar dari mulut. Darah yang beracun ini amat berbahaya dan jlka mengenai kulit lawan, dapat membuat kulit dan daging lawan membusuk dan tidak ada obatnya"

   Akan tetapi makin tua, Siang-mou Sin-ni makin matang ilmunya dan kini ia dapat menggunakan Tok-hiat-hoat-lek menjadi pukulan tangan terbuka. Darah beracun yang, dikumpulkannya itu dapat ia robah menjadi hawa beracun yang jika mengenal lawan akan meracuni darah lawan itu. Tanpa diketahuinya, Kiang Liong telah terkena pukulan Tok-hiat-hoat-lek ini dan perlahan-lahan darah di tubuhnya mulai keracunan.

   "Kim Bwe, jangan bunuh dia"

   Bentak Bouw Lek Couwsu sambil melompat maju menghadang. Keduanya saling pandang dan akhirnya Siang-mou Sin-ni tertawa.

   

Cinta Bernoda Darah Eps 11 Cinta Bernoda Darah Eps 11 Cinta Bernoda Darah Eps 7

Cari Blog Ini