Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 17


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 17



Keadaan pemerintah Kerajaan Sung ternyata mengalami kemunduran besar. Pada permulaan Kerajaan Sung didirikan oleh Cau Kwang Yin, seorang panglima besar yang pandai akan siasat perang, Kerajaan Sung memang kelihatan kuat, bala tentaranya kuat sehingga berhasil menundukkan dan menaklukkan banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hanya dua buah kerajaan yang tidak ditaklukkan, yaitu Kerajaan Nan-cao di Yu-nan dan Kerajaan Khitan di timur laut dan utara. Selama Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar pertama dan ke dua, kerajaan ini masih memperlihatkan kemajuan. Akan tetapi keadaannya makin lama makin mundur dan mulai masa pemerintahan kaisar ke dua yaitu Kaisar Sung Thai Cung menjelang hari tuanya.

   Kerajaan Sung sudah kurang memperhatikan tentang kekuatan tentaranya. Perhatian lebih dikerahkan dan ditujukan kepada urusan dalam, kepada kebudayaan dan kesenian, lebih cenderung memperindah kerajaan dan tenggelam dalam kesenangan. Sikap atau politik inilah yang menyebabkan Kerajaan Sung menjadi semakin lemah, bahkan sedemikian lemahnya sehingga tidak lagi kerajaan ini mempergunakan senjata untuk menjaga keselamatan negara, melainkan menggunakan emas dan perak untuk "menyogok"

   Dan menawan hati calon musuh sehingga si musuh tidak tega atau segan untuk menyerang Kerajaan Sung. Maka timbullah kebiasaan mengirim upeti kepada kerajaan-kerajaan lain, terutama Kerajaan Khitan.

   Pada waktu cerita ini terjadi, Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar yang ke tiga, yaitu Kaisar Chen Cung (998-1022). Dia adalah keponakan dari kaisar pertama dan terkenal sebagai seorang yang anti kekerasan, anti perang dan berusaha mempengaruhi dan merobah atau membelokkan Agama Buddha dan Tao demi keuntunganp ribadinya. Ia menyatakan bahwa dia seketurunannya adalah orang-orang pilihan Tuhan yang bertugas sebagai wakil Tuhan menjadi kaisar di bumi. Ia lebih tenggelam kepada perkembangan kebudayaan dan sama sekali tidak becus mengatur pemerintahan, apalagi menyusun kekuatan untuk melindungi negara daripada ancaman dan bahaya dari luar. Bahkan dinyatakan oleh Kaisar Chen Cung bahwa kerajaannya tidak membutuhkan kekuatan militer, akan tetapi membutuhkan kekuatan gaib yang timbul dari kemajuan batin, terutama berkat wibawa Sang Kaisar.

   Kaisar ke tiga dari Kerajaan Sung ini sama sekali buta terhadap ancaman-ancaman yang selalu mengelilingi kerajaannya, tidak melihat betapa banyak kekuatan-kekuatan yang mengilar menginginkan kerajaannya. Karena itu ia pun tidak melihat atau tidak acuh terhadap munculnya bangsa Hsi-hsia di perbatasan barat. Bangsa Hsi-hsia ini adalah bangsa perantauan seperti keadaan bangsa Khitan, yang muncul dari barat. Sebagai bangsa perantau mereka ini ulet dan tahan uji. Mereka melihat akan kelemahan Kerajaan Sung, melihat pula akan politik Kaisar Sung yang selalu mengalah serta murah hati, oleh karena itu mereka mulai dengan petualangannya ke pedalaman.

   Di antara para pimpinan bangsa Hsi-shia ini terdapat banyak orang pandai dan sakti dari barat dan mereka ini sudah mulai memperlihatkan kepandaiannya untuk mencari pengaruh dan kekuasaan di antara penduduk pedalaman di sekitar tapal batas sebelah barat. Hanya karena desakan dan peringatan para panglima dan menteri yang setia kepada kerajaan dan yang masih ingat akan kewaspadaan saja maka akhirnya Kaisar Chen Cung menaruh perhatian dan akhirnya diperintahkan kepada Kiang Liong untuk melakukan penyelidikan. Inilah sebabnya maka Kiang Liong melakukan perjalanan, keluar kota raja dan secara kebetulan pemuda ini bertemu dengan Tang Hauw Lam dan Kwi Lan yang hampir celaka dalam tangan Bu-tek Siu-lam.

   Kini Kiang Liong dan Hauw Lam melakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan. Akan tetapi sampai jauh mereka mengejar, belum juga mereka dapat menyusul Thai-lek Kauw-ong. Sudah terlalu lama kakek gundul itu pergi sehingga mereka terlambat dan tidak tahu betul arah mana yang diambil kakek itu. Kiang Liong yang tadi terpaksa menahan kecepatan geraknya untuk mengimbangi kecepatan Hauw Lam, menarik napas panjang dan berkata.

   "Sobat, tiada gunanya mengejar lagi kalau kita belum tahu betul ke mana iblis itu pergi. Lebih baik kita berpencar saja. Aku sedang melakukan perjalanan ke barat, biarlah aku mengejar ke barat dan kau boleh melanjutkan pengejaranmu ke mana kau suka. Kalau aku bertemu dengan iblis itu, jangan khawatir, tentu aku akan turun tangan membantu.. eh, siapa nama Nona tadi?"

   "Mutiara Hitam."

   "Mutiara Hitam.., tentu dia bukan sembarang orang dan biarpun dia sudah tertawan, kurasa tidak akan mudah bagi kakek iblis itu untuk mencelakainya."

   "Kau betul, Kiang-kongcu. Dengan berpencar kita akan lebih berhasil. Terima kasih atas bantuanmu dan sampai jumpa"

   Kata Hauw Lam yang juga tidak mau membuang waktu lagi karena ia amat mengkhawatirkan nasib gadis lincah yang telah menjatuhkan hatinya itu.

   "Agar Kongcu tidak lupa, namaku adalah Tang Hauw Lam, akan tetapi Mutiara Hitam menyebutku Si Berandal"

   Setelah menjura, Hauw Lam lalu melompat dan melanjutkan pengejaran ke utara. Kiang Liong berdiri dan tersenyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata lirih kepada diri sendiri.

   "Bocah itu mabok asmara, tak salah lagi. Mudah-mudahan tidak akan gagal, dia anak baik.."

   Sambil bicara seorang diri pemuda yang tenang ini lalu melanjutkan perjalanannya ke barat sambil memasang mata penuh perhatian ke sekelilingnya kalau-kalau kakek gundul yang melarikan Mutiara Hitam itu lewat di situ dan meninggalkan jejak.

   Sambil melanjutkan perjalanan untuk melakukan penyelidikan, Kiang Liong mengingat-ingat akan segala keterangan yang diperolehnya tentang bangsa Hsi-hsia ini. Menurut keterangan yang ia kumpulkan, bangsa yang menjadi ancaman baru ini dipimpin oleh pendeta-pendeta Tibet yang mendirikan Kerajaan Tangut. Pendeta-pendeta berjubah merah dari Tibet ini memang banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Adapun bangsa Hsi-hsia yang mereka pimpin merupakah bangsa berdarah campuran.

   Setelah melanjutkan perjalanannya selama beberapa hari, Kiang Liong tidak menemukan jejak Mutiara Hitam dan penculiknya, juga tidak melihat adanya gerakan-gerakan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi ia memperoleh keterangan bahwa beberapa bulan yang lalu barisan besar bangsa Hsi-hsia berbondong-bondong menuju ke selatan. Tak seorang pun di antara penduduk dusun yang ia tanya dapat menjelaskan apa yang hendak dilakukan barisan itu dan ke mana perginya. Hanya yang jelas tampak bekas amukan mereka pada setiap dusun yang mereka lalui. Tidak ada harta benda dan wanita muda yang mereka lepaskan begitu saja. Tidak ada dusun yang mereka lalui tanpa mengalami korban yang amat banyak, pembunuhan sewenang-wenang, perampokan, perkosaan dan penculikkan.

   Kiang Liong menghela napas panjang menyaksikan ini semua. Selama ia mengikuti jejak barisan bangsa Hsi-hsia, entah sudah berapa puluh kali ia berhenti untuk mengubur jenazah-jenazah wanita muda yang menggeletak begitu saja di pinggir jalan, ditinggalkan oleh bangsa Hsi-hsia. Melihat wanita-wanita muda tewas tanpa pakaian itu, ada di antaranya yang sudah menjadi korban binatang buas sehingga mayatnya tidak utuh lagi, Kiang Liong teringat akan bunyi sajak tentang bunga-bunga yang dicampakkan begitu saja ke dalam lumpur setelah habis diisap madunya dan dinikmati harumnya. Karena banyaknya mayat-mayat itu dan karena terlalu sering berhenti di dusun-dusun yang menjadi korban keganasan bangsa Hsi-hsia untuk menolong mereka yang terluka, perjalanan Kiang Liong amat lambat.

   Dan memang bukan kehendaknya untuk mengejar barisan yang menurut taksiran penduduk berjumlah puluhan ribu orang itu. Ia hanya ingin menyelidiki apa yang hendak mereka lakukan dan sampai berapa jauhnya gerakan mereka mengancam Kerajaan Sung. Ia dapat mengumpulkan makin banyak keterangan dari para penduduk dusun-dusun yang dilalui. Menurut berita itu, barisan ini dipimpin oleh perwira-perwira yang perkasa dan para perwira ini dikepalai oleh serombongan pendeta berjubah merah. Di tengah-tengah para pendeta berjubah merah ini terdapat sebuah tandu yang tertutup sutera-sutera merah.

   Di dalamnya tentu ada orang karena menurut para penduduk, ada suara orang yang halus dan rendah keluar dari tandu, dalam bahasa asing, dan adakalanya gadis tercantik yang terampas dimasukkan ke dalam tandu secara paksa. Namun tidak ada seorang pun pernah melihat siapa gerangan orangnya yang berada di dalam tandu dan seperti apa macamnya. Yang jelas bagi Kiang Liong kini adalah bahwa semua pendeta jubah merah menyembah-nyembah penghuni tandu seperti menyembah dewa, sedangkan para perwira tunduk dan taat kepada perintah para pendeta, sebaliknya para anggauta barisan juga taat kepada pimpinan para perwira. Pendeknya, barisan ini merupakan barisan yang amat kuat.

   Makin jauh ke selatan ia mengikuti jejak barisan itu, makin heran dan akhirnya khawatir hati Kiang Liong. Kini ia telah memasuki wilayah Kerajaan Nan-cao. Mau apa barisan orang-orang Hsi-hsia ke Nan-cao? Kerajaan Nan-cao adalah kerajaan ke dua yang bersahabat dengan Kerajaan Sung, setelah Kerajaan Khitan. Dan dia sendiri bersahabat dengan kaum Beng-kauw yang berkuasa di Nan-cao. Sudah dua kali ia mewakili gurunya, Suling Emas, berkunjung ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw. Karena ia sudah hampir sebulan ketinggalan oleh barisan Hsi-hsia, kini Kiang Liong mempercepat perjalanannya.

   Begitu memasuki dusun yang termasuk wilayah Kerajaan Nan-cao, mulailah ia mendengar berita tentang perang yang mencemaskan hal itu. Perang penyerbuan barisan Hsi-hsia ke kota raja Nan-cao dan betapa bala tentara Nan-cao menyambut musuh di luar kota raja dan di mana terjadi perang sampai hampir sebulan lamanya. Akan tetapi akhirnya barisan Hsi-hsia dapat dipukul mundur, demikian menurut berita yang didengarnya. Pada hari itu ketika Kiang Liong menuruni lereng pegunungan kecil, memasuki daerah yang tandus berbatu, tiba-tiba ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah depan. Ia merasa curiga. Daerah tandus ini tidak ditinggali manusia, tanahnya terlalu tandus dan dari puncak pegunungan tadi ia tidak melihat adanya dusun.

   Akan tetapi suara di depan itu menandakan banyak orang berada disana, diseling suara tertawa-tawa dan suara wanita marah-marah. Ia mempercepat jalannya dan setelah membelok di sebuah tikungan yang tertutup batu besar, ia melihat sedikitnya ada dua puluh orang laki-laki yang buas dan asing mengurung dua orang wanita muda yang cantik jelita dan bersikap gagah. Begitu melihat dua orang gadis itu, Kiang Liong menjadi kaget dan menurutkan kata hatinya, ingin ia sekali bergerak melemparkan dua puluh orang laki-laki kasar itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan ia cukup tahu bahwa dua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis lemah, maka ia menyelinap dan mengintai untuk melihat dan mendengar sebelum menentukan apakah ia perlu turun tangan menolong.

   Dua orang gadis itu cantik sekali, kecantikan daerah selatan yang panas. Seorang di antara mereka, yang wajahnya lembut dan agak lebih tua, berusia kurang lebih dua puluh tahun, pakaiannya berwarna kuning dan rambutnya yang hitam digelung ke atas. Gadis ke dua paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya serba merah, gagang pedang tersembul di belakang punggungnya, membuat ia tampak gagah sekali. Wajahnya lebih manis dan galak. Dan gadis yang lebih muda inilah yang kini membentak dan memaki.

   "Anjing-anjing Hsi-hsia, kalian sudah terusir keluar dari negeri kami, masih berani berkeliaran di sini. Hemm, sungguh kebetulan,sekali, sebelum membasmi seribu ekor anjing Hsi-hsia, takkan puas hatiku"

   "Betul, Adikku. Kita harus bunuh anjing-anjing ini agar tidak penasaran arwah orang tua kita."

   Kata gadis yang berpakaian kuning. Mereka berdua menggerakkan tangan dan sudah mencabut pedang masing-masing.

   "Huah-ha-ha-ha, bidadari-bidadari cantik manis, kenapa galak amat? Mari bersenang dengan kami, jago-jago dari Hsi-hsia"

   Seorang di antara dua puluh laki-laki kasar itu, yang berambut merah, berkata sambil menyeringai lebar. Teman-temannya tertawa bergelak dan mereka mengurung dua orang gadis itu dengan sikap menjemukan, seperti segerombolan harimau mengurung dua ekor kelinci yang hendak dipermainkan lebih dulu sebelum dijadikan mangsa.

   Tiba-tiba tampak dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Terdengar jerit-jerit kesakitan disusul robohnya dua orang Hsi-hsia, seorang diantaranya adalah Si Rambut Merah. Ternyata dua orang gadis itu sudah mulai turun tangan, gerakan pedang mereka amat cepat sehingga dalam. sekejap mata saja dua orang laki-laki kasar yang nampak kuat itu sudah roboh binasa. Hal ini sama sekali tidak tersangka-sangka oleh gerombolan orang Hsi-hsia itu sehingga mereka menjadi kaget sekali dan kalau tadinya mereka bergembira hendak mengganggu dan berkurang ajar, kini mereka menjadi marah. Tampak kilatan senjata ketika mereka semua mencabut golok melengkung lebar dari pinggang.

   Kiang Liong yang menonton dari tempat pengintaiannya tidak bergerak, ia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan orang-orang kasar itu, dua orang gadis ini tentu tidak akan kalah dan tidak membutuhkan bantuannya. Ia tersenyum dan memandang kagum. Lima enam tahun yang lalu ketika ia berkunjung ke Nan-cao, dua orang gadis itu masih amat muda, masih remaja. Kini mereka telah menjadi dewasa yang selain cantik manis, juga memiliki ilmu silat yang cukup mengagumkan, tidak mengecewakan kalau mereka menjadi cucu Ketua Beng-kauw. Ia masih ingat betapa enam tahun yang lalu, dua orang gadis yang dulu masih cilik, tanpa malu-malu menemuinya dan mendengar pujian ayah mereka tentang diri Kiang Liong, mereka tanpa sungkan-sungkan minta petunjuk-petunjuk ilmu silat.

   Dua orang gadis itu adalah puteri-puteri dari adik tiri gurunya yang bernama Kam Bu Sin, mantu Ketua Bengkauw. Yang tua bernama Kam Siang Kui sedangkan adiknya, dua tahun lebih muda, bernama Kam Siang Hui. Kiang Liong masih ingat betul betapa sejak enam tahun yang lalu, Siang Hui lebih berani dan lebih galak. Kini ia dapat mengenal dua orang gadis itu. Tentu nona baju merah itulah Kam Siang Hui, sedangkan yang berpakaian kuning dan bersikap lebih tenang adalah Kam Siang Kui.

   Akan tetapi, ketika tadi ia mendengar ucapan dua orang gadis itu, hati Kiang Liong berdebar gelisah. Ia cerdik dan sekali mendengar kata-kata kedua orang kakak beradik itu, ia sudah dapat menduganya. Tentu dua orang gadis itu kehilangan orang tua mereka dalam perang melawan bangsa Hsi-hsia yang menyerbu Nan-cao. Dan ia menjadi heran dan juga gelisah. Paman gurunya, Kam Bu Sin, memiliki kepandaian tinggi, juga ibu kedua orang gadis itu, yang bernama Liu Hwee, adalah puteri tunggal Ketua Beng-kauw dan memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi. Kalau mereka berdua sampai gugur di medan perang, berarti bahwa fihak musuh memiliki orang-orang yang sakti. Betapapun cemas dan gelisah hati Kiang Liong namun ia tidak mau keluar untuk membantu Siang Kui dan Siang Hui.

   Sebagai seorang pendekar ia tentu saja mengerti bahwa membantu orang-orang gagah yang sama sekali tidak perlu dibantu mendatangkan kesan yang tidak baik dan dapat menyinggung perasaan. Maka ia hanya menonton, walaupun siap untuk turun tangan kalau-kalau dua orang gadis itu terancam bahaya. Dua orang gadis itu mengamuk seperti dua ekor naga. Gulungan sinar pedang mereka yang berwarna putih berkilauan seperti perak, menyambar-nyambar dan para pengeroyok yang hanya terdiri dari orang-orang kasar yang mengandalkan tenaga itu mulai roboh seorang demi seorang. Dalam waktu singkat saja belasan orang roboh mandi darah dan sisanya mulai gentar, bahkan ada yang sudah membalikkan tubuh hendak melarikan diri.

   "Cici, jangan biarkan anjing-anjing itu lari"

   Seru Siang Hui sambil memutar pedang mendesak maju, merintangi mereka yang hendak lari. Siang Kui mengejar ke depan, kedua tangannya bergerak dan robohlah tiga orang lawan yang sudah lari itu, punggung mereka tertusuk senjata rahasia yang berbentuk anak panah.

   Sisa gerombolan yang hanya tinggal enam orang itu menjadi nekat. Sambil berteriak-teriak liar mereka menyerbu mati-matian, namun kenekatan mereka tiada gunanya karena dengan mudah saja Siang Kui dan Siang Hui merobohkan mereka. Dua puluh satu orang menggeletak malang-melintang di depan dua orang gadis itu yang seakan-akan telah menjadi gila saking marah dan sakit hatinya sehingga kini mereka membacok dan menusuki korban yang masih dapat bergerak-gerak dan berkelojotan sampai semua lawan mereka rebah tak bernyawa lagi. Biarpun Kiang Liong maklum bahwa semua itu terdorong oleh rasa duka kehilangan ayah bunda, namun tetap saja ia menganggapnya terlalu kejam dan tidak baik. Maka kini ia melompat keluar dan berseru,

   "Adik-adik.., Cukuplah.."

   Siang Kui dan Siang Hui yang mukanya masih kemerahan dan beringas, membalikkan tubuh dengan sigapnya, siap menghadapi lawan baru. Mula-mula mereka pangling melihat seorang pemuda berpakaian putih yang berdiri di depan mereka dengan sikap tenang dan pandang mata penuh teguran itu sehingga mereka makin mempererat genggaman tangan pada gagang pedang. Akan tetapi ketika mereka melihat alat musik yang-khim tergantung di belakang punggung dan tampak tersembul di belakang pundak pemuda itu, mereka segera mengenal orangnya.

   "Liong-twako (Kakak Liong).."

   Mereka berseru bergantian sambil berlari maju menghampiri Kiang Liong, wajah mereka yang tadinya merah beringas itu berubah lembut, bahkan agak berseri ketika dua pasang mata itu memandang Kiang Liong dan mereka cepat-cepat menyimpan kembali pedang yang tadi dipakai mengamuk.

   "Ji-wi Siauw-moi (Kedua Adik) mengapa berada di sini dan membunuhi orang-orang ini? Ji-wi hendak pergi ke manakah?"

   Ditanya begini, tiba-tiba Siang Hui menubruk Kiang Liong sambil menangis. Ketika Kiang Liong berkunjung ke rumah gadis itu enam tahun yang lalu, Siang Hui baru berusia dua belas tahun maka kini bertemu pemuda ini ia seperti lupa bahwa ia kini sudah berusia delapan belas tahun. Ia sesenggukan di dada Kiang Liong yang menepuk-nepuk pundaknya. Melihat adiknya menangis tersedu-sedu, Siang Kui juga menangis, akan tetapi yang lebih tua hanya berani memegang lengan Kiang Liong sambil berkata,

   "Ah, engkau tidak tahu, Liong-twako.."

   Mereka ini adalah musuh-musuh Nan-cao, mereka ini anjing-anjing Hsi-hsia yang telah menyerbu Nan-cao.. dan.. dan.. dalam pertempuran.. Ayah dan Ibu kami telah gugur.."

   Kiang Liong mengangguk-angguk. Untung tadi ia sudah mendengar dan dapat menduga, kalau tidak, tentu ia akan terkejut sekali. Karena ia sudah tahu, maka kini ia dapat mengeluarkan kata-kata hiburan untuk membangkitkan semangat.

   "Ah, Adik-adikku. Aku juga ikut berduka sekali atas kematian Ayah Bunda kalian. Akan tetapi ingatlah bahwa mati hidup manusia berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Dan kalau diingat, kematian Ayah Bunda kalian dalam tugas membela negara adalah kematian pahlawan yang amat terhormat dan sungguhpun kehilangan ini amat mendukakan hati, namun kematian beliau berdua itu patut dibuat bangga. Aku sudah mendengar bahwa bangsa Hsi-hsia yang menyerbu ke Nan-cao dapat dipukul mundur. Pengorbanan orang tua kalian bukan sia-sia kalau begitu."

   Ucapan pemuda itu tentu akan menjadi hiburan yang manjur dan dapat membangkitkan semangat, apalagi kalau diingat bahwa dua orang gadis ini bukan keturunan sembarangan, melainkan keturunan suami isteri yang gagah perkasa dan masih cucu Ketua Beng-kauw yang sakti. Akan tetapi sungguh di luar dugaan Kiang Liong. Mereka itu hanya sebentar saja terhibur dan sinar mata mereka bercahaya penuh semangat, akan tetapi di lain saat mereka telah menangis lagi tersedu-sedu. Kemudian Siang Hui yang kini berkata dengan suara penuh duka.

   "Liong-twako, malapetaka itu lebih hebat daripada yang kau duga. Tidak hanya Ayah Bunda kami yang gugur, bahkan Han Ki, adik kami yang baru berusia sebelas tahun terculik dan.. Kong-kong (Kakek) serta sebagian besar pimpinan Beng-kauw juga tewas di tangan musuh.."

   "Apa.."

   Kini Kiang Liong tak dapat menahan kekagetan hatinya. Berita ini terlalu hebat.

   "Bagaimanakah orang Hsi-hsia mampu menewaskan orang-orang seperti Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) dan para pimpinan Beng-kauw?"

   "Diantara barisan Hsi-hsia terdapat orang-orang sakti, dan agaknya mereka ini memang menyelundup bersama barisan Hsi-hsia untuk menyerbu Beng-kauw. Buktinya mereka tidak peduli akan kekalahan barisan Hsi-hsia dan lebih mengutamakan penghancuran pimpinan Beng-kauw. Mereka adalah pendeta-pendeta berjubah merah yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian lihai, dipimpin oleh seorang wanita setengah tua yang cantik dan berambut panjang dan seorang kakek pendeta jubah merah yang kaki kirinya buntung sebatas lutut. Dua orang inilah yang lihai sekali dan yang berhasil menewaskan Kong-kong dan para pimpinan Beng-kauw, termasuk Ayah Bunda kami. Liong-twako, kau tolonglah, bantulah kami untuk membalas dendam dan menolong adik kami Han Ki."

   "Tentu aku suka membantu kalian. Akan tetapi, ke mana kita akan mencari? Dan ke mana pula kalian hendak pergi sebelum bertemu dengan pasukan musuh ini?"

   "Tadinya kami hendak pergi menghadap Kakek Kauw Bian Cinjin untuk minta pertolongannya."

   Jawab Siang Kui. Wajah Kiang Liong yang tadinya menjadi muram karena berita duka yang hebat itu agak berseri,

   "Ahhh, jadi Locianpwe Kauw Bian Cinjin tidak gugur bersama pimpinan Beng-kauw?"

   Siang Kui menggeleng kepala dan menghapus air matanya.

   "Kakek Kauw Bian Cinjin sudah tiga tahun lebih mengundurkan diri dari Beng-kauw dan pergi bertapa di Puncak Tai-liang-san, maka terhindar dari malapetaka. Hanya beliau yang dapat membantu kami, dan untung kami bertemu denganmu di sini, Liong-twako. Musuh amat kuat dan biarpun tentara Hsi-hsia sudah terpukul mundur dari Nan-cao, namun mereka masih berkeliaran di sekitar tapal batas barat. Buktinya di sini kami bertemu dengan anjing-anjing ini yang agaknya memang menghadang perjalanan kami. Menurut para penyelidik, kakek dan nenek sakti bersama para pendeta berjubah merah bersembunyi di Pegunungan Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang."

   Tiba-tiba Kiang Liong menggerakkan kedua tangannya mendorong pundak kedua orang gadis itu sehingga mereka itu terlempar dua meter lebih, terhuyung-huyung.

   "Eh, ada apa, Twako..?"

   Siang Hui menegur, juga Siang Kui terkejut sekali.

   Akan tetapi Kiang Liong sudah meloncat sambil membalikkan tubuhnya kedua tangannya menangkis dan runtuhlah beberapa buah peluru hitam yang menyambar ke arah tubuhnya. Kini barulah dua orang gadis itu tahu bahwa tadi pun ada beberapa buah peluru hitam menyambar ke arah mereka dan kalau tidak ada Kiang Liong yang mendorong mereka, tentu mereka menjadi korban. Mereka memandang dengan mata terbelalak, merasa ngeri betapa ada orang dapat membokong mereka tanpa mereka ketahui. Hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa orang yang melepas senjata rahasia itu tentulah orang yang amat lihai.

   "Huah-ha-ha-heh-heh. Orang muda, kautangkas juga"

   Terdengar suara terkekeh-kekeh dan muncullah seorang kakek bertubuh kecil dari balik sebatang pohon besar yang tiada berdaun lagi.

   Kakek ini amat kurus dan tua, hanya rangka terbungkus kulit keriput, bajunya tak berlengan, kedua pergelangan lengannya terlindung selubung hitam, entah dari bahan apa. Kuku tangannya panjang-panjang seperti kuku setan, melengkung runcing. Kumisnya kecil menjuntai lesu. Kakinya telanjang pula. Pinggangnya memakai sabuk yang ada dompet-dompetnya kecil berjajar. Punggungnya menggendong bambu besar dan bambu kecil, dan sepasang mata orang aneh ini kelihatan menghitam menakutkan. Mulutnya bergerak-gerak tertawa terpingkal-pingkal dan terbahak-bahak, akan tetapi mukanya, terutama matanya, sama sekali tidak membayangkan tawa, bahkan amat serius dan sungguh-sungguh. Kiang Liong bersikap tenang. Ia maklum bahwa orang didepannya ini adalah seorang berilmu tinggi dan agaknya termasuk golongan hitam. Maka ia menjura dan bertanya.

   "Agaknya saya berhadapan dengan seorang Cian-pwe. Selamanya, belum pernah saya Kiang Liong dan kedua orang adik saya ini bertemu dengan Cian-pwe, mengapakah begitu bertemu Locianpwee lalu menyerang kami dan siapakah julukan Locianpwe?"

   "Ha-ha-ha, heh-he-heh. Girang sekali hatiku mendengar orang-orang Beng-kauw terutama sekali si bedebah Liu Mo si mata keranjang yang banyak bininya itu mampus. Ha-ha-ha. Dan untungku bertemu dengan dua orang cucunya. Heh, orang muda, apakah kau orang Bengkauw? Kalau bukan, lekas pergi jangan mencampuri urusan Siauw-bin Lo-mo. Serahkan dua orang bocah ini kepadaku agar puas hatiku dan lunas perhitunganku dengan Beng-kauw"

   Kiang Liong mengerutkan keningnya dan diam-diam menjadi marah sekali. Kiranya inilah yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian?

   "Hemm, Locianpwe yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo dan menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian? Pantas saja tidak segan bersikap keji, tidak jauh bedanya dengan Bu-tek Siu-lam yang pernah saya jumpai. Saya tidak mempunyai kehormatan untuk menjadi anggauta Beng-kauw yang terkenal, akan tetapi para pimpinan Beng-kauw adalah orang-orang tua yang saya hormati, sedangkan yang muda-muda adalah saudara-saudara saya. Locianpwe baru dapat mengganggu kedua orang adik saya ini setelah melalui mayat saya"

   "Ha-ha-ha, heh-heh, orang muda yang bernyali besar. Kau sudah bosan hidup?"

   Sambil terkekeh-kekeh ketawa mengejek Siauw-bin Lo-mo menerjang maju. Gerakan Siauw-bin Lo-mo amatlah cepatnya dan senjata-senjatanya hanyalah jari-jari kuku tangannya.

   Akan tetapi, kuku jari tangan ada sepuluh buah banyaknya dan setiap kuku runcing tajam mengandung racun sehingga sama dengan memegang sepuluh buah senjata yang amat berbahaya. Tubrukannya liar ganas, gerakannya cepat laksana burung menyambar. Ia menerjang sambil tertawa, mengira bahwa sekali tubruk ia akan mampu merobohkan lawannya yang masih muda. Akan tetapi perkiraannya jauh meleset dan ia terheran-heran ketika ternyata menubruk tempat kosong dan pemuda yang tampan dan tenang itu tahu-tahu telah lenyap. Ia hanya mendengar angin berseliwer di samping kanannya, maka cepat Siauw-bin Lo-mo membalikkan tubuhnya. Benar saja, pemuda itu sudah berdiri di belakangnya dan kini kedua tangan pemuda itu sudah memegang dua buah senjata yang lucu dan aneh.

   Tangan kanannya memegang sebatang pensil bulu sedangkan tangan kirinya memegang pensil kayu. Sebetulnya kalau menurutkan wataknya sebagai seorang pendekar yang enggan bersikap curang, melihat lawan bertangan kosong, Kiang Liong hendak melayani dengan tangan kosong pula. Akan tetapi, serangan pertama tadi membuat ia terkejut karena kuku-kuku jari tangan lawan mengeluarkan sinar hitam dan ia mencium bau amis, maka tahulah ia bahwa lawannya ini seorang tokoh jahat yang mempunyai keahlian tentang racun, maka ia tidak segan-segan lagi untuk mencabut keluar sepasang pensilnya. Juga gerakan kakek ini amat cepat, menandakan bahwa lawan ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh tidak di sebelah bawah tingkat Bu-tek Siu-lam yang lihai itu"

   Di lain pihak, Siauw-bin Lo-mo ketika melihat betapa gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya dan kemudian melihat sepasang senjata di tangan Si Pemuda, juga terkejut bukan main. Senjata itu saja sudah merupakan bukti bahwa pemuda ini benar-benar bukan lawan sembarangan karena hanya orang yang tinggi tingkat kepandaiannya saja dapat mempergunakan senjata sekecil dan seringan itu. Makin kecil ringan serta lemah senjatanya, makin tinggilah kepandaian orang.

   Siauw-bin Lo-mo adalah seorang tokoh yang belum pernah bertemu tanding, kecuali ketika ia terpaksa mengakui keunggulan Kauw Bian Cinjin beberapa tahun yang lalu. Karena kekalahannya dari tokoh Beng-kauw inilah maka ia mendendam sakit hati kepada Beng-kauw. Karena merasa dirinya memiliki kepandaian tinggi jarang ada tandingnya, maka tentu saja kini ia tidak gentar menghadapi lawan yang masih muda, sungguhpun ia maklum bahwa lawan ini tak boleh dipandang ringan.

   "Ho-ho-ha-ha, sayang kalau seorang muda seperti engkau mampus di tanganku. Kau lihat kelihaianku. Ha-ha-ha"

   Kini ia menerjang maju dengan gerakan teratur, tidak asal tubruk lagi seperti tadi. Ternyata ilmu silatnya tangan kosong dahsyat, mengeluarkan angin pukulan yang bersuitan dan gerakan kedua tangannya cepat sekali. Kuku panjang itu terpentang dan menyambar-nyambar dari segala jurusan secara tidak terduga-duga. Agaknya kakek ini sudah tidak sabar lagi untuk cepat-cepat menjatuhkan lawan mudanya, maka ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmunya yang dahsyat dengan keyakinan bahwa seorang muda seperti Kiang Liong tak mungkin dapat mengatasi serangannya ini.

   Akan tetapi kenyataannya jauh berbeda dengan keyakinan hatinya. Pemuda itu dengan gerakan sigap dan amat indah dapat mengelak dan menghindarkan diri dari rangsangan serangannya, bahkan balas menyerang karena sepasang pensil itu menyambut serangan-serangannya dengan totokan-totokan pada jalan darah di pergelangan, telapak tangan, dan dekat siku. Dengan cara ini, dari keadaan terserang Kiang Liong berbalik menyerang karena sebelum setiap pukulan dan cakaran lawan mendekati tubuhnya, ia telah mendahului dengan totokan yang amat kuat dan tepat sasarannya. Keyakinan Siauw-bin Lo-mo untuk mendesak pemuda itu menjadi berbalik kenyataannya sehingga dia sendiri yang terdesak dan kalau saja ia tidak lihai mainkan gelang baja pelindung pergelangan tangan, tentu ia siang-siang sudah menjadi korban totokan.

   "Heh-heh, kau berani mati"

   Bentaknya sambil bergelak dan tubuhnya tiba-tiba merobah gerakan.

   Kini kuku-kukunya yang runcing itu tidak langsung menyerang tubuh lawan, melainkan berusaha mencengkeram pensil lalu disusul cengkeraman ke arah lengan atau bagian tubuh terdekat apabila Kiang Liong menarik senjatanya karena khawatir terkena cengkeraman yang kuat itu. Dengan siasat gerakan macam ini, keadaan kembali menjadi terbalik dan kini pemuda itulah yang tampaknya terdesak. Kuku-kuku yang panjang runcing berbisa, ditambah baja pelindung pergelangan tangan kakek itu benar-benar amat menyulitkan sasaran totokan kedua pensilnya. Kini bahkan kakek itu mulai berloncatan seperti monyet, akan tetapi secara tidak terduga-duga kedua kakinya kadang-kadang melakukan tendangan-tendangan berantai, bukan tendangan biasa, melainkan tendangan disertai cengkeraman jari kaki yang dapat membentuk cakar garuda.

   Lima jari kuku tangan kiri yang runcing itu mencengkeram dengan gerakan cepat ke arah pansil bulu di tangan kanan Kian Liong. Pemuda ini mengelakkan pensil bulunya dan cepat menotok dengan pensil kayu di tangan kiri mengarah ke leher lawan. Akan tetapi terdengar suara keras ketika pensil kayu itu tertangkis oleh pelindung pergelangan kanan kakek itu yang melanjutkan gerakan tangan kanan dengan cengkeraman ke arah lengan kiri Kiang Liong. Pemuda ini tidak membiarkan dirinya dicengkeram, cepat ia menggeser kaki ke kanan sehingga tubuhnya miring dan cengkeraman itu luput. Pada detik itu secara tak tersangka-sangka kaki kiri lawannya bergerak menendang ke arah perut. Tendangan yang keras dan cepat sekali datangnya. Kiang Liong kaget dan menggerakkan pensil bulu ke arah kaki itu, menotok ke arah mata kaki, kemudian pensil kayunya secepat kilat menotok ke leher kanan lawan.

   "Breettt.., Takkk.."

   Siauw-bin Lo-mo berseru kaget dan terhuyung. Kiang Liong juga berseru kaget dan cepat memutar kedua senjatanya di depan tubuh untuk membentuk gaya bertahan.

   Kiranya tadi secara tak terduga-duga, kakek itu hanya mengelak sedikit dan membiarkan pundaknya mewakili leher menerima totokan sambil mengerahkan sin-kang dan tangan kirinya cepat-cepat mencengkeram ke arah pinggang kanan Kiang Liong. Pemuda ini kaget bukan main, cepat ia mendoyongkan tubuh ke belakang sehingga otomatis totokannya yang semula ditujukan ke leher lawan kemudian oleh lawannya sengaja diterima dengan pundak itu tidak mengenai secara tepat sekali. Namun karena tenaga yang tersalur melalui pensil kayu itu adalah tenaga sin-kang murni dan kuat, maka akibatnya cukup membuat Siauw-bin Lo-mo terhuyung ke belakang dengan muka berubah.

   Kiang Liong juga kaget. Tahulah ia bahwa lawannya adalah seorang yang amat lihai, maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu merobah gerakan. Kini ia menerjang maju dan sepasang senjatanya itu dipegang seperti orang hendak menulis, kemudian mulailah ia menggerakkan sepasang pensil seperti menulis huruf-huruf di udara, mencorat-coret ke arah lawan. Gerakannya wajar, seperti hendak menuliskan pensil-pensilnya di atas tubuh lawan. Akan tetapi akibatnya hebat sekali. Silau rasanya mata Siauw-bin Lo-mo menghadapi coretan-coretan itu karena ia menjadi bingung sekali. Berkali-kali ia menangkis dengan kedua tangannya bahkan berusaha merampas sepasang pensil yang amat lihai itu, namun sia-sia hasilnya malah hampir saja ia terkena totokan yang sama sekali tak disangkanya.

   Gerakan mencorat-coret seperti orang menulis itu ternyata merupakan serangan-serangan maut dan setiap gerakan mengandung tenaga yang amat kuat. Lebih hebat lagi tenaga yang keluar dari gerakan sepasang pensil itu berbeda, bahkan berlawanan sehingga amat membingungkan kakek yang tadinya merasa bahwa di dunia ini jarang ada orang mampu menandinginya. Kini menghadapi seorang pemuda saja ia sudah kewalahan, jangankan hendak mengalahkannya atau mengenal ilmu silatnya yang luar biasa itu. Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa ilmu silat yang dimainkan Kiang Liong itu adalah ilmu silat simpanan yang diturunkan oleh Suling Emas kepadanya.

   Itulah Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat yang dahulu diciptakan oleh manusia dewa Bu kek Siansu dan kemudian diturunkan kepada Suling Emas. Ilmu silat ini adalah gerakan silat tinggi yang disesuaikan dengan ilmu kesusastraan. Hanya orang yang sudah menguasai sastra secara mendalam, yang dapat menulis huruf-huruf indah dan kuat saja akan mampu menguasai Hong-in Bun-hoat. Tentu saja ia harus memiliki dasar ilmu silat tinggi yang sudah matang pula. Biarpun Kiang Liong adalah seorang pelajar yang pandai ilmu sastra dan juga sudah digembleng ilmu silat tinggi oleh gurunya, namun ia hanya mampu
(Lanjut ke Jilid 17)
Mutiara Hitam (Seri ke 04 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17
menguasai delapan bagian saja dari ilmu yang sakti ini. Untuk dapat menguasai ilmu ini sampai sepuluh bagian atau seluruhnya membutuhkan pengalaman bertahun-tahun seperti Suling Emas.

   Betapapun, yang delapan bagian ini sudah cukup membuat seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo menjadi sibuk dan terdesak hebat. Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui menonton pertempuran ini dengan pandang mata kagum. Menyaksikan kehebatan sepak terjang kakek aneh itu, mereka berdua tahu diri dan tidak berani maju membantu Kiang Liong. Mereka maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh di bawah tingkat kakek itu, maka jika mereka membantu, hal ini tidak akan menguntungkan Kiang Liong. Betapa kagum hati mereka melihat Kiang Liong mendesak kakek itu dengan sepasang pensilnya.

   Siauw-bin Lo-mo masih berusaha mempertahankan diri, namun makin lama ia makin terkurung dan tak dapat keluar dari lingkaran ujung pensil yang bergerak-gerak secara aneh itu. Dalam pandang matanya, kini ada banyak sekali ujung pensil yang menyerang jalan-jalan darah terpenting di tubuhnya membuat ia sibuk dan akhirnya ia bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan diri, Siauw-bin Lo-mo tak dapat tertawa lagi dan agaknya baru kali ini selama hidupnya ia bertanding melawan seorang pemuda tanpa ketawa mengejek. Rasa penasaran dan malu membuat ia menjadi marah. Tiba-tiba ia meloncat dari keadaan bergulingan itu, tangan kanan kiri sudah merenggut keluar dua buah benda hitam sebesar telur angsa, kemudian ia membanting dua "telur"

   Itu ke atas tanah di sebelah depannya. Terdengar suara meledak dua kali dan asap putih tebal menyelimuti sekelilingnya.

   Kiang Liong terkejut dan dapat menduga bahwa asap putih tebal bergulung-gulung ini tentu mengandung racun, maka ia cepat mengumpulkan napas dalam dada lalu menahan napas dan menerjang maju dengan totokan-totokan maut dalam bentuk tulisan. Dengan ketabahan luar biasa Kiang Liong menyerbu lawan yang bersembunyi dalam asap putih. Makin lama asap mengepul makin banyak dan tebal sehingga kedua orang itu lenyap ditelan gumpalan-gumpalan asap. Akan tetapi, kakek aneh ini sekarang sudah mengambil bambu kecil yang tadinya ia gendong di punggung dan begitu ia membuka sumbat bambu itu dari dalam bambu keluar asap hitam yang amat busuk baunya.

   Kiang Liong terkejut bukan main. Inilah semacam asap beracun yang luar biasa jahatnya. Jangankan tercium dan memasuki paru-paru, baru mengenai kulit saja sudah dapat menimbulkan keracunan hebat. Maka ia cepat menggerakkan lengan-lengan bajunya dikebutkan dengan pengerahan tenaga sin-kang asap itu buyar tidak jadi menyerangnya. Keadaan di sekeliling gelap pekat dan ia tahu bahwa dirinya dikurung asap-asap beracun. Kiang Liong cepat mengerahkan gin-kangnya karena pada saat itu ia sudah tidak dapat melihat lagi ke mana perginya lawan. Ia meloncat cepat keluar dari kurungan asap. Setelah tiba di luar kurungan asap, ia dapat melihat betapa lawannya sudah lenyap dari tempat itu dan ketika ia menengok ke belakang, ternyata dua orang gadis itu pun sudah lenyap tak tampak bayangannya lagi"

   "Kui-moi.."

   Hui-moi.."

   Ia memanggil dengan suara nyaring. Namun tidak ada jawaban sehingga hatinya menjadi khawatir sekali.

   Mungkinkan Si Kakek sakti itu ketika menghilang di dalam gumpalan asap berkesempatan pula untuk menawan dua orang gadis itu? Ah, tidak mungkin rasanya. Betapa pun lihainya Siauw-bin Lo-mo, tidak mungkin dapat melarikan diri sambil menculik dua orang gadis itu sedemikian cepat dan di luar tahunya. Apalagi kalau diingat bahwa dua orang kakak beradik itu bukanlah gadis-gadis lemah dan tentu akan melawan kalau akan diculik sehingga tidak mudah tertawan. Kiang Liong menyelidiki keadaan sekeliling tempat itu, bahkan memeriksa tanah dan rumput di mana Siang Kui dan Siang Hui tadi berdiri. Namun tidak terdapat tanda-tanda atau jejak-jejak yang mencurigakan. Ia mendongkol sekali, merasa ditipu dan dipermainkan lawan.

   "Siauw-bin Lo-mo kakek iblis"

   Teriaknya marah.

   "Kalau engkau memang laki-laki, hayo maju dan lanjutkan pertandingan. Tak ada, gunanya bersikap pengecut dan melarikan gadis-gadis itu"

   Betapapun kerasnya ia berteriak, tiada jawaban kecuali tiupan angin yang membawa hawa panas terik matahari.

   Dengan pandang mata seperti harimau marah, Kiang Liong lalu meloncat dan berlari-lari cepat. Tujuannya sudah tetap. Pergi ke Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang. Kalau tidak salah dugaannya, tentu kakek iblis tadi merupakan sekutu para pendeta Tibet yang memimpin pasukan Hsi-hsia menyerbu Nan-cao. Tentu ada permusuhan di antara Beng-kauw. Kalau ia harus pergi dulu mencari Kauw Bian Cinjin seperti yang direncanakan Siang Kui dan Siang Hui, ia khawatir kalau-kalau akan terlambat. Ia harus pergi menolong dua orang gadis itu dan adiknya.

   Wajah yang tampan itu menjadi muram. Ia berduka kalau teringat akan nasib malang yang menimpa keluarga Kam Bu Sin, adik gurunya dan nasib para pimpinan Beng-kauw. Mereka tewas dan setelah pimpinan Beng-kauw terbasmi, siapa lagi yang dapat menggantikan mereka? Hanya tinggal Kauw Bian Cinjin seorang diri. Ah, betapa akan marah dan berduka hati gurunya kalau mendengar berita tentang malapetaka ini. Gurunya mempunyai hubungan yang amat erat dengan Bengkauw. Di samping semua itu, kekuatan Nan-cao terletak kepada Beng-kauw. Kalau Beng-kauw runtuh, apa jadinya Kerajaan Nan-cao kelak?

   Teringat akan ini, Kiang Liong mempercepat larinya. Ia maklum bahwa tugasnya menolong Siang Kui, Siang Hui dan Han Ki, adik kedua orang gadis itu, bukanlah tugas ringan, bahkan merupakan tugas berbahaya sekali. Yang akan ia hadapi bukanlah lawan-lawan biasa, melainkan kekuatan yang amat besar, kekuatan yang telah membasmi Beng-kauw. Kalau tokoh-tokoh besar, terutama sekali Ketua Beng-kauw yang amat sakti, sampai tewas menghadapi kekuatan ini, terang bahwa dia seorang diri tidak akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, betapapun juga Kiang Liong tidak menjadi gentar. Ia harus cepat-cepat mengejar dan berusaha menolong anak-anak pamannya, Kam Bu Sin, kalau perlu dengan taruhan nyawa.

   Girang dan juga bingung Kiang Liong ketika akhirnya ia dapat mengikuti jejak Siauw-bin Lo-mo. Dari para penduduk pegunungan ia mendengar bahwa kakek kurus kecil yang selalu tertawa itu melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Kao-likung-san. Tepat seperti yang diduganya. Akan tetapi ia merasa bingung mendengar bahwa kakek itu melakukan perjalanan seorang diri saja. Kalau begitu, ke manakah perginya Siang Kui dan Siang Hui? Siapakah yang menculik mereka? Kalau yang menculik itu teman-teman Siauw-bin Lo-mo, kenapa kakek ini melakukan perjalanan seorang diri saja? Karena penasaran ia mengejar terus sampai ke kaki Pegunungan Kao-likung-san.

   Sampai di kaki gunung ini ia menjadi bingung karena kehilangan jejak kakek yang dikejarnya. Daerah itu amat sunyi tidak ada penduduk dan ia tidak dapat menduga ke arah mana kakek itu pergi, juga tidak tahu di mana adanya markas para pendeta Tibet yang telah membasmi Beng-kauw. Menurut penuturan kedua orang gadis itu, katanya para pendeta Tibet bermarkas di Pegunungan Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang. Mulailah ia pergi mencari sungai yang dimaksudkan. Dua hari lamanya ia berputaran akhirnya ia dapat melihat sungai itu. Dari sebuah lereng yang tinggi dan terjal, ia melihat sungai itu jauh di bawah, tampak kecil berliku-liku dan airnya berwarna biru dengan buih putih menabrak batu-batu.

   Tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan Kiang Liong cepat melempar diri ke bawah. Beberapa batang anak panah menyambar dan lewat di atas tubuhnya. Ketika ia meloncat bangun, tempat itu sudah terkepung oleh tujuh orang laki-laki tinggi besar, dipimpin oleh seorang hwesio berkepala gundul dan berjubah merah. Keadaan tujuh orang laki-laki itu sama dengan dua puluh orang yang mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui, maka Kiang Liong cepat menduga bahwa mereka ini tentulah orang-orang Hsi-hsia dan hwesio itu tentulah seorang di antara pendeta Tibet yang memimpin barisan itu. Maka ia bersikap waspada dan juga girang karena tanpa disangka-sangka ia mendapatkan jejak markas yang dicarinya. Dengan sikap tenang ia menghadapi hwesio itu dan berkata.

   "Bukankah kalian ini orang-orang Hsi-hsia dan Lo-suhu ini seorang pendeta Tibet?"

   Pertanyaan Kiang Liong menimbulkan kekagetan kepada mereka. Hwesio itu pun membelalakkan matanya yang bundar dan memandang penuh selidik, kemudian terdengar suaranya yang nyaring dengan logat kaku.

   "Orang muda, engkau siapakah dan bagaimana engkau dapat mengenal kami? Apakah engkau ada keperluan menghadap pimpinan kami?"

   "Aku she Kiang bernama Liong dan aku dapat mengenal Lo-suhu sekalian karena sudah banyak aku mendengar tentang pasukan Hsi-hsia. Memang aku ingin bertemu dengan pimpinan kalian, terutama sekali untuk minta kembali seorang anak kecil bernama Kam Han Ki dan dua orang nona yang beberapa hari yang lalu kalian culik."

   "Keparat, Orang Beng-kauw mencari mampus. Serbu"

   Teriak pendeta itu yang mendadak berubah sikapnya menjadi galak sekali. Tujuh orang laki-laki tinggi besar itu serentak mentaati komando ini dan bagaikan harimau-harimau kelaparan mereka menubruk Kiang Liong dengan serangan-serangan ganas. Kini mengertilah Kiang Liong mengapa Siang Kui dan Siang Hui mengamuk dan membunuhi semua orang Hsi-hsia yang mengeroyok mereka. Kiranya selain dua orang gadis itu mendendam karena kematian keluarga mereka dan terculiknya adik mereka, juga orang-orang Hsi-hsia ini amat kejam dan ganas, seperti iblis-iblis yang haus darah.

   Bahkan gerakan tujuh orang ini berbeda dengan para pengeroyok Siang Kui dan Siang Hui. Gerakan tujuh orang Hsi-hsia ini biarpun sama ganas dan kasar, namun lebih dahsyat dan jelas bahwa mereka ini memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan dan keberanian yang nekat. Kiang Liong tidak menyia-nyiakan waktu. Tubuhnya bergerak ke kiri dan begitu kaki tangannya menyambar, empat orang pengeroyok sudah roboh, tak mampu bangkit kembali. Tiga orang Hsi-hsia yang lain kaget setengah mati, mata mereka sampai terbelalak kaget, akan tetapi hal ini sama sekali tidak disusul oleh rasa takut karena buktinya mereka berteriak parau dan menyerbu makin dahsyat lagi dengan golok mereka. Pendeta berkepala gundul itu juga terkejut dan kini menghunus pedangnya lalu ikut menyerbu, gerakannya amat kuat dan pedangnya mendatangkan angin.

   Kiang Liong kembali meloncat ke kanan, sengaja agak jauh untuk memancing para pengeroyoknya. Tiga orang Hsi-hsia menyerbu, tidak peduli akan sesuatu agaknya dan mereka ini benar-benar merupakan perajurit-perajurit yang tak kenal takut sehingga orang-orang seperti ini kalau dipakai berperang tentu amat kuat. Kiang Liong sudah siap, begitu tiga orang ini maju diikuti oleh hwesio jubah merah yang lebih berhati-hati sikapnya, ia menerjang maju, jari tangannya menyambar dan hampir berbareng tiga orang Hsi-hsia ini pun roboh. Hwesio itu cepat memutar pedang ketika melihat kaki Kiang Liong menyambar ke arahnya. Akan tetapi ternyata pemuda lihai ini hanya menggertak dengan tendangannya. Begitu pedang membabat ke arah kakinya, ia menahan kaki itu dan tangan kirinya menotok ke arah pundak dengan totokan maut.

   Hwesio itu terkejut, berseru keras dan berusaha menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke kanan, begitu keras gerakannya sehingga ia tidak melihat bahwa di sebelah kanannya adalah tebing yang curam. Tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke bawah. Hwesio itu mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali dan diam-diam Kiang Liong menjadi kagum. Sudah jelas bahwa nyawa hwesio itu berada dalam cengkeraman maut, akan tetapi hwesio dalam usaha terakhir, bukan berteriak minta tolong melainkan mengeluarkan suara suitan nyaring memberi peringatan teman-temannya. Sampai dekat ajal pun hwesio ini masih melakukan tugasnya. Benar saja dugaannya, karena dari atas lereng kini muncul puluhan orang yang berlari-lari ke bawah dipimpin oleh beberapa orang hwesio berjubah merah.

   Dari jauh mereka itu sudah menghujankan anak panah sehingga terpaksa ia mencabut pensil dan memukul setiap anak panah yang mengancam dirinya. Ia sudah bersiap untuk melayani mereka semua, sungguhpun ia merasa sangsi apakah ia akan sanggup menghadapi pengeroyokan demikian banyak orang sendirian saja. Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar sinar merah. Kiang Liong kaget, tak menyangka bahwa dari tempat dekat ada orang membokongnya. Untuk membikin gentar hati lawan, Kiang Liong mengeluarkan kepandaiannya. Tangan kirinya berputar dan dengan dua buah jari tangannya, ia menjepit senjata rahasia itu yang ternyata adalah sebatang piauw beronce merah dan ketika ia memandang terdapat sepotong kertas dibelitkan pada piauw ini. Ia makin heran, cepat ia membuka kertas itu dan membaca tulisan tangan halus indah.

   "Lekas mundur, dari bawah pohon Siong turun ke bawah sampai di sungai. Cepat sebelum terlambat"

   Kiang Liong merasa heran, akan tetapi sebagai seorang cerdik ia tidak ragu-ragu lagi. Siapa pun orang yang mengirim surat secara aneh ini, belum tentu mempunyai niat buruk. Adapun puluhan orang yang berlari-lari turun dari atas itu, sudah jelas berniat mengeroyok dan membunuhnya.

   Maka ia pun cepat membalikkan tubuhnya dan mundur sampai ke pohon siong yang dimaksudkan dalam surat. Ketika ia menjenguk ke bawah, ternyata bagian ini berbatu-batu sehingga memungkinkan dia untuk merayap turun. Ia menahan napas mengumpulkan semangat, lalu turun melalui cabang-cabang pohon itu ke bawah, dari cabang yang melengkung ke bawah itu ia merayap terus berpegangan dan berpijak pada batu-batu gunung dan akar-akaran, terus merayap ke bawah dengan cepatnya. Sebelum ia mencapai dasar jurang yang amat curam dan seolah-olah tiada batasnya ini, ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah atas kepalanya. Agaknya puluhan orang yang mengejar dari atas tadi sudah lewat di dekat pohon dan karena tidak melihatnya maka terus berlari melewati pohon.

   
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Akan tetapi Kiang Liong masih tetap hati-hati dan ia terus merayap turun secepatnya. Ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya sebelum ia sampai di dasar jurang. Kekhawatirannya ternyata terbukti ketika tiba-tiba terdengar sambaran angin dari atas. Ia cepat bergantung kepada sebatang akar dan mengayun tubuhnya mengelak. Sebuah panah tangan yang hitam meluncur dekat pundaknya. Ketika ia berdongak, ia melihat lima orang hwesio berjubah merah sudah merayap turun, pula mengejarnya. Kemudian hwesio-hwesio itu mengayun tangan dan kini belasan batang senjata rahasia menyambar ke bawah. Suara senjata-senjata itu bercuitan mengerikan dan sambarannya amat cepat.

   Terpaksa Kiang Liong menggunakan kekuatan kakinya untuk berdiri di atas akar melintang dan ia menggunakan ujung lengan bajunya yang digerakkan kuat-kuat untuk memukul runtuh semua senjata rahasia. Namun alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa senjata-senjata rahasia ini mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dari para pengeroyok yang telah ia robohkan tadi. Jelas bahwa tingkat kepandaian lima orang hwesio berjubah merah yang mengejarnya ini cukup tinggi dan tidak boleh dipandang ringan. Apalagi ketika ia melihat betapa kini banyak sekali orang Hsi-hsia mulai pula menuruni tebing itu sambil berteriak-teriak. Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya, Kiang Liong mempercepat gerakannya merayap turun dan akhirnya dengan hati lega ia sampai juga di atas tanah. Sungai Nu-kiang kini berada tak jauh di depan dan ia lalu lari ke tepi sungai. Akan tetapi ia tidak melihat tempat sembunyi yang baik.

   Tiba-tiba ia mendengar suara halus memanggilnya dari sebelah kiri. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang wanita cantik melambaikan tangannya, dan wanita itu berdiri di balik sebuah batu besar. Memang banyak terdapat batu-batu besar sepanjang sungai sebelah kiri, agaknya batu-batu besar ini adalah batu-batu yang gugur dan longsor dari lereng gunung. Ia tidak tahu siapa wanita itu, akan tetapi mengingat akan tulisan surat yang ia terima di atas tadi, sangat boleh jadi wanita inilah yang memberi petunjuk kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu lari ke sebelah kiri dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandang mata para pengejarnya yang masih merayap turun hati-hati dari atas tebing, karena ia terlindung dan tertutup oleh batu-batu besar. Wanita itu sudah lenyap dan ketika Kiang Liong mencari-cari dengan pandang matanya, terdengar suara halus.

   "Ke sini.. masuk ke guha ini.."

   Suara itu datang dari sebuah guha yang terbentuk oleh tumpukan batu-batu besar. Sebetulnya bukan guha melainkan batu-batu besar yang bertumpuk-tumpuk dan di antara batu-batu besar itu terdapat celah-celah yang sebesar tubuh manusia. Kiang Liong berlari dan memasuki celah-celah itu. Ternyata agak dalam juga celah-celah itu dan di sebelah dalam makin lebar, ada semeter lebarnya. Tempat ini remang-remang dan tampaklah sesosok bayangan wanita yang bertubuh ramping, memberi isyarat dengan tangan agar ia masuk terus. Dalam keadaan remang-remang mereka berhadapan dan wajah wanita itu cantik manis. Kiang Liong merasa pernah melihat wajah ini, akan tetapi ia lupa lagi di mana dan kapan.

   "Nona siapakah dan mengapa.."

   "Ssstt.. belum waktunya bicara."

   Wanita itu berbisik, suaranya halus dan lirih, kemudian untuk dapat diterima oleh pendengarannya, ia mendekatkan mulutnya di telinga Kiang Liong.

   "Kongcu, kau sembunyilah di sini. Musuh terlalu banyak dan lihai.."

   Berdebar jantung pemuda itu. Sejak memasuki tempat yang sempit itu tadi bau yang amat harum telah menyengat hidungnya dan kini setelah nona itu berdiri begitu dekat, bau harum semerbak itu lebih nyata lagi keluar dari rambut yang terurai panjang. Rambut panjang "Kini teringatlah ia"

   Nona ini adalah gadis cantik yang pernah diganggu Bu-tek Siu-lam, yang kemudian ditolong oleh Mutiara Hitam dan Si Berandal atau Tang Hauw Lam. Ketika hal itu terjadi, ia bersembunyi maka ia mengenal siapa gadis ini. Namanya Po Leng In wanita berpakaian merah yang berambut panjang dari Siang-mou Sin-ni.

   "Kau.. kau.. murid Siang-mou Sin-ni.."

   "Sstt, mereka tentu sudah dekat.."

   Wanita itu berbisik lagi dan kini hawa yang hangat dari mulut wanita itu menyentuh pipinya. Agaknya saking tegang wanita itu mendekatkan mulutnya. Kiang Liong teringat lagi akan keadaannya yang terancam pengeroyokan puluhan orang.

   "Bersembunyi pun percuma, tentu mereka akan dapat menemukan kita."

   Ia pun berbisik dan siap untuk menerjang keluar. Dua buah tangan yang kecil dan berkulit halus menahan dadanya.

   "Jangan bergerak, Kongcu. Kau di sinilah aku yang akan menahan mereka. Kaulihat saja, jangan khawatir"

   Setelah berkata demikian, wanita itu melangkah keluar dan karena tadinya ia berada di sebelah dalam untuk keluar ia harus melewati Kiang Liong. Tempat itu sempit, jadi tentu saja tubuh mereka saling merapat. Merasa betapa tubuh padat penuh tonjolan yang halus dan keras mepet di tubuhnya, Kiang Liong terpaksa memejamkan mata. Untung hanya sebentar saja godaan hebat ini dan kini Po Leng In sudah menyelinap keluar. Karena betapapun juga ia belum mengenal betul wanita itu dan belum tahu akan wataknya, apalagi kalau diingat bahwa wanita itu murid iblis betina Siang-mou Sin-ni, maka dengan hati-hati Kiang Liong lalu bergerak mendekati mulut celah-celah batu untuk mengintai keluar.

   

Suling Emas Eps 14 Cinta Bernoda Darah Eps 18 Suling Emas Eps 29

Cari Blog Ini