Istana Pulau Es 19
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
Orang-orang lemah ini kalau sudah berani menghadapi lawan berarti mereka telah memiliki ilmu kepandaian tinggi karena mereka tidak dapat mengandalkan tenaga mereka yang lemah, pula, karena keadaan mereka yang kelihatan lemah, lawan menjadi lengah dan memandang rendah. Maka dia tidak segera menerjang secara ngawur, apalagi karena dia harus dapat mempertahankan diri selama sepuluh jurus, maka setiap jurus serangannya harus diperhitungkan benar-benar. Mengingat pula akan janji wanita muda itu tidak akan merobah kedudukan kedua kakinya, maka Si Penggembala lalu melangkah perlahan-lahan memutari tubuh Maya dengan maksud menyerang dari belakang! Kalau diserang dari belakang, mau tidak mau lawannya itu tentu akan membalik tubuh dan dengan sendirinya tentu akan merobah kedudukan kedua kakinya, atau setidaknya tentu akan mengangkat sebelah kaki.
Dan kalau hal ini terjadi, berarti dia menang! Ia lalu menerjang dari belakang dengan sabetan yang amat kuat, yang diserang adalah kedua kaki Maya! Memang dia cerdik, tidak saja menyerang dari tempat aman agar dia tidak dapat dirobohkan sampai jurus ke sepuluh, akan tetapi juga dalam jurus terakhir ini dia menyerang kaki lawan. Tak mungkin engkau mengelak atau menangkis, kecuali dengan merubah kedudukan kaki, pikirnya. Untuk menangkis, tentu tangan dara itu tidak sampai ke bawah, dan kaki yang tak boleh digerakkan itu mana bisa mengelak! Akan tetapi Maya sama sekali tidak mengelak maupun menangkis, melainkan menerima saja sabetan itu sambil mengerahkan sin-kang ke arah kedua kakinya, kemudian pinggangnya berputar, tangan kanannya mendorong dengan pukulan jarak jauh.
"Brettt.... dessss....! Auggghhh....!"
Pecut itu mengenai kedua kaki Maya dan melibat-libat kaki, akan tetapi sedikit pun kaki itu tidak tergoyang, dan ketika hawa pukulan Maya yang mengandung Im-kang amat kuat itu mengenai dada Si Penggembala, tak dapat ditahannya pula tubuhnya terjengkang dan terbanting ke belakang dan dia menggigil! Para perwira dan perajurit bersorak menyambut kemenangan panglima mereka itu. Akan tetapi Maya mengangkat tangan menyuruh mereka diam, kemudian ia berkata kepada penggembala itu,
"Engkau sudah kalah, harus memenuhi janji menjadi pembantuku. Kerugian domba akan kuganti agar diberikan oleh kawan-kawanmu kepada pemilik domba."
Di dalam hatinya pemuda gembala itu sudah tunduk dan kagum sekali kepada Maya. Dia lalu berlutut di depan Maya sambil berkata,
"Saya Cia Kim Seng adalah seorang laki-laki sejati yang tidak akan mengingkari janji. Mulai saat ini saya akan membantu Li-ciangkun dan siap melakukan semua perintah dengan taruhan nyawa!"
Wajah Maya berseri gembira dan ia menoleh kepada para perwira dan perajurit.
"Para perwira dan perajurit Pasukan Maut yang gagah perkasa. Kita menerima Cia Kim Seng sebagai seorang perwira pembantuku, sebagai seorang anggauta pasukan kita yang jaya!"
Terdengar sorak-sorai riuh-rendah dan para perwira yang tadinya dirobohkan Kim Seng menghampiri pemuda gembala itu dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya dengan keramahan seorang rekan. Tentu saja pemuda itu menjadi girang sekali dan ia merasa beruntung berada di tengah-tengah pasukan yang demikian kuat dengan seorang pemimpin yang demikian sakti, muda dan jelita. Tiba-tiba semua orang tertegun ketika melihat para penggembala, teman-teman Cia Kim Seng, menjatuhkan diri berlutut dan ada yang menangis. Kim Seng melompat dan membentak mereka,
"Eh, eh, apakah kalian sudah gila? Kenapa menangis?"
"Kalau engkau masuk menjadi anggauta Pasukan Maut yang hebat ini, bagaimana dengan kami? Kami mohon diterima pula menjadi anggauta pasukan di bawah pimpinan Li-ciangkun yang sakti!"
Kata seorang di antara mereka. Maya tertawa gembira,
"Bagus! Bagus! Kumpulkan semua kawan-kawan kalian yang suka membantuku. Aku menerima kalian!"
Para penggembala bersorak dan berdatanganlah penggembala-penggembala yang bertubuh kuat itu dan jumlahnya ada dua puluh tiga orang. Maya menerima mereka dan menyerahkan ganti kerugian kepada dua orang penggembala tua yang tidak ikut masuk. Kemudian pasukannya bergerak maju bersama Cia Kim Seng dan teman-temannya yang ikut berbaris dengan langkah tegap dan dada membusung ke depan. Dari penggembala menjadi perajurit Pasukan Maut, hati siapa tidak akan menjadi bangga dan besar?
Di sepanjang jalan Maya melatih ilmu pedang kepada Cia Kim Seng dan giranglah hatinya melihat betapa "muridnya"
Ini benar-benar memiliki bakat yang baik sekali di samping kekuatan besar, keringanan tubuh, dan keberanian yang luar biasa. Juga para penggembala itu ternyata menjadi perajurit-perajurit yang baik dan kuat. Di sepanjang perjalanan, Maya berhasil mengumpulkan beberapa puluh tenaga sukarela terdiri dari pemuda-pemuda gunung dan dusun sehingga beberapa pekan kemudian pasukan yang tadinya hanya tinggal empat ratus lima puluh orang, kini menjadi lima ratus lebih, meningkat jumlahnya dibanding dengan ketika dia berangkat. Pada suatu hati, pasukan telah tiba di perbatasan daerah Mancu dan mereka membangun perkemahan di tempat itu karena Maya berniat menghentikan gerakan dan berdiam di situ menanti beberapa orang utusan yang ia kirim menyeberangi perbatasan mengadakan kontak dengan bala tentara Mancu.
Beberapa hari lewat tanpa ada peristiwa penting. Para perajurit setiap hari berlatih olah yuda di bawah pimpinan para perwira, sedangkan para perwira sendiri berlatih silat di bawah petunjuk-petunjuk Maya. Yang mengagumkan adalah Kim Seng karena ilmu pedangnya menjadi makin hebat saja sehingga dalam latihan dengan kayu, ia sanggup menandingi pengeroyokan sepuluh orang perwira rekannya! Pemuda ini merasa berterima kasih sekali terhadap Maya yang dia anggap sebagai panglimanya, gurunya, dan orang yang paling dijunjung tinggi, dihormati dan dicintainya! Akan tetapi pada malam ke empat, Cia Kim Seng menghadap Maya dan berkata lirih,
"Li-ciangkun, saya melihat berkelebatnya bayangan asing dan agaknya ada mata-mata menyelundup. Sudah saya cari, akan tetapi tidak dapat saya temukan. Karena khawatir maka saya datang menghadap dan melapor."
Sepasang alis Maya berkerut.
"Hemm, sungguh berani mati sekali! Mari kita cari dia sampai dapat. Kita geledah semua kemah. Dia harus dapat ditangkap hidup-hidup karena aku ingin tahu siapa yang menyuruhnya memata-matai keadaan kita."
Karena tidak ingin menimbulkan kekacauan dan kepanikan di antara para pasukan, diam-diam Maya bersama sebelas orang perwiranya mulai melakukan penggeledahan. Semua kemah dimasukinya, dan para perajurit yang mengira bahwa panglima mereka melakukan pemeriksaan seperti biasa, menyambut dengan hormat dan gembira karena ke mana saja Maya datang, tentu akan terlepas kata-kata ramah terhadap semua perajurit sehingga mereka menjadi gembira dan bangga.
Akan tetapi, biarpun semua perkemahan telah dimasuki dan diperiksa, Maya dan para pembantunya tetap saja tidak dapat menemukan jejak mata-mata yang dicarinya. Maya mengerutkan alisnya. Apakah mata-mata itu sedemikian lihainya sehingga dapat memasuki perkemahan tanpa terlihat penjaga, bahkan tidak diketahui para perajurit yang demikian banyaknya? Kalau dia mencampurkan diri dengan para perajurit, hal itu tidaklah mungkin karena para perajuritnya tentu akan mengenal orang asing yang menyelundup. Untuk itu mereka sudah cukup terlatih dan di antara para perajurit ada banyak macam kode rahasia yang hanya mereka ketahui sehingga penyelundupan orang luar tentu akan segera diketahui.
"Cia-ciangkun, jangan-jangan engkau hanya melihat bayangan burung saja,"
Kata Kwa-huciang, kepala perwira pembantu utama Maya kepada perwira muda yang baru itu.
"Tak mungkin salah penglihatan Cia Kim Seng,"
Bantah Maya mendahului sebelum pembantu mudanya yang keras hati itu tersinggung.
"Mata-mata itu tentu amat cerdik dan kalau tidak salah dugaanku, saat ini tentu dia berada di dalam kemahku sendiri."
"Hahhh....?"
Para perwira terkejut, juga Kim Seng memandang panglimanya dengan heran.
"Bagaimanakah Li-ciangkun menduga begitu?"
Tanya Kim Seng. Maya tersenyum,
"Seorang mata-mata yang pintar akan memancing harimau keluar sarang. Setelah aku dan kalian keluar, tentu dia akan menggeledah kemahku, karena pekerjaan mata-mata tentulah menyelidiki keadaan panglima dari sebuah pasukan. Mari kita ke sana!"
Akan tetapi ketika dengan bergegas mereka memasuki kemah besar yang menjadi tempat tinggal Maya, tidak terdapat perubahan dan tak tampak bayangan manusia. Para pengawal yang bertugas menjaga di luar pintu kemah, masih berdiri tegak dengan tombak di tangan, tanda bahwa mereka pun tidak melihat orang memasuki kemah itu.
Selagi para perwira mengerutkan alis dan memandang Maya penuh pertanyaan, panglima wanita itu menyuruh mereka diam, matanya agak terpejam, kulit di antara kulitnya berkerut tanda bahwa dia sedang mengerahkan seluruh perhatiannya. Tiba-tiba wanita sakti inl berdongak memandang langit-langit tenda, kemudian memberi isyarat kepada Cia Kim Seng, menuding ke atas. Bekas penggembala domba ini memandang ke atas dan kalau tidak ditunjukkan oleh panglimanya, tentu dia tidak akan tahu. Kini tampaklah betapa kain tenda di bagian itu bergoyang-goyang sedikit, seolah-olah ada seekor tikus atau kucing di atas sana! Akan tetapi dia tahu bahwa panglimanya takkan salah duga, tentu Si Mata-mata berada di atas itu. Ia mencabut pedangnya dan memandang Maya yang tersenyum mengangguk. Isyarat ini cukup bagi Kim Seng dan berserulah ia nyaring,
"Mata-mata keparat turunlah!"
Bentaknya ini disusul loncatan tubuhnya ke atas, pedangnya membabat.
"Brettt!"
Kain tenda itu robek besar terbabat ujung pedang Kim Seng dan dari atas melayang turunlah tubuh seorang laki-laki muda yang tampan. Kim Seng yang masih berada di atas itu melanjutkan babatan pedangnya, kini ke arah tubuh yang melayang turun.
"Cringgg....!"
Dua pedang bertemu dan tangan Kim Seng tergetar.
Laki-laki yang melayang turun itu dalam keadaan terjatuh dari atas masih mampu menangkis serangan Kim Seng, bahkan kini tubuhnya berjungkir balik ringan dan lincah sekali, meluncur cepat seperti burung terbang dan tahu-tahu telah berdiri di depan Maya. Maya kaget bukan main. Inilah seorang lawan yang berat! Tak boleh disamakan dengan kepandaian para perwiranya atau bahkan kepandian Kim Seng sekalipun. Karena itu, ketika ia melihat Kim Seng dengan penasaran hendak menerjang orang itu ia memberi isyarat dengan matanya. Setiap gerak-gerik Maya dari gerak tangan, mulut dan mata, sudah dikenal benar oleh Kim Seng, maka isyarat mata itu sudah cukup baginya dan ia mundur dengan pedang di tangan. Laki-laki itu dengan sikap angkuh dan sama sekali tidak mempedulikan sikap Kim Seng yang hendak menyerangnya tadi, kini menyarungkan pedangnya. Pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah Maya, kemudian dengan tenang sekali ia bertanya,
"Engkaukah yang bernama Maya?"
Maya sudah menyelidiki dengan pandang matanya dan sudah menilai laki-laki ini. Ilmu kepandaiannya tinggi dan pedangnya tadi hebat sekali, mengeluarkan cahaya kilat dan mempunyai wibawa menyeramkan. Laki-laki tampan ini agaknya amat percaya kepada kepandaiannya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ia menjawab, suaranya dingin,
"Akulah Panglima Wanita Maya yang memimpin Pasukan Maut ini!"
Tiba-tiba laki-laki itu tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha-ha! Sudah banyak aku mendengar tentang Pasukan Maut yang hebat dan terutama panglima wanitanya yang berilmu tinggi seperti dewi. Siapa kira bahwa memang wajahnya jelita seperti dewi. Maya...., Maya...., tadinya kukira mengenal nama ini.... hemm, apakah engkau puteri...."
Maya memotong dengan suara tajam seperti pedang menyambar,
"Seorang gagah tidak mengandalkan kepandaian bicara! Engkau siapakah dan menaapa engkau menyelundup seperti maling ke sini?"
"Ha-ha-ha! Nama Maya itulah yang menarikku untuk menyelidiki, di samping nama Pasukan Maut yang terkenal! Aku bernama Can Ji Kun, dan aku sengaja datang hendak menyaksikan sendiri keadaan Pasukan Maut dan hendak menyaksikan sampai di mana kebenaran nama besar Maya yang katanya lihai seperti dewi!"
Hampir saja Maya berseru saking kagetnya. Kini ingatlah dia akan pemuda angkuh ini. Tentu saja dia mengenal seorang di antara murid Mutiara Hitam, bibinya! Dan pemuda itu masih ingat namanya, akan tetapi agaknya pangling karena dia kini telah menjadi seorang dara dewasa yang berpakaian panglima. Dia pun kini tidak merasa perlu lagi menyembunyikan keadaan dirinya karena apakah salahnya kalau diketahui bahwa dia adalah Puteri Khitan? Yang dipimpinnya adalah pasukan yang memberontak terhadap Kerajaan Sung.
"Can Ji Kun, kiranya engkau yang lancang masuk ke sini. Bagaimana dengan keadaan bibiku?"
Mata Can Ji Kun terbelalak dan ia berseru,
"Aihhh! Kiranya benar engkau Maya yang dahulu itu? Ahhh...."
"Can Ji Kun, bagaimana kabarnya dengan bibiku Mutiara Hitam?"
Wajah yang tampan gagah itu menjadi muram dan ia menjawab dengan suara berduka,
"Subo.... Subo telah tewas di Kerajaan Mongol ketika beliau berusaha membalas kematian ayahmu. Abu jenazahnya dikirim oleh Raja Mongol dan telah dikubur di Bukit Merak, disamping kuburan Suhu...."
Wajah Maya berubah pucat dan kemudian merah sekali saking marahnya dan saking bencinya kepada orang Mongol.
"Jadi, Paman Tang Hauw Lam juga...."
Wajah Ji Kun menunduk dan ia mengangguk.
"Suhu.... Suhu.... meninggal dunia karena duka dan.... sakit...."
Maya mengira bahwa jawaban tersendat-sendat itu adalah karena duka, maka ia menghela napas. Barulah ia tahu bahwa para pembantunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh pertanyaan, agaknya terheran-heran mendengar percakapan itu, apalagi ketika mendengar pemimpin mereka menyebut "bibi"
Kepada pendekar sakti wanita Mutiara Hitam yang namanya tentu saja sudah mereka dengar. Melihat ini, Maya memandang mereka dan berkata,
"Tak perlu kusembunyikan lagi. Aku adalah Puteri Maya, puteri Kerajaan Khitan yang sudah hancur. Karena itulah maka aku memusuhi Kerajaan Sung, Kerajaan Yucen dan bangsa Mongol yang biadab! Adapun dia ini adalah Can Ji Kun, murid Mutiara Hitam."
Sebelas orang perwira itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Maya dengan penuh hormat dan kini mereka lebih bangga lagi menjadi pembantu-pembantu Puteri Maya, puteri Raja Talibu yang terkenal dan keponakan dari Mutiara Hitam!
"Maya, engkau kini telah menjadi seorang panglima yang terkenal. Hemm.... betapa aneh dan mengagumkan."
Maya mengerutkan kening. Dahulu ketika masih kecil, agaknya dia tentu akan ikut dengan bibinya Mutiara Hitam kalau saja di sana tidak ada Ji Kun dan Yan Hwa yang dianggapnya angkuh dan tidak menyenangkan hatinya. Sampai sekarang ternyata Can Ji Kun masih seangkuh dulu.
"Can Ji Kun, setelah engkau tahu bahwa akulah yang menjadi panglima di sini, lalu.... engkau mau apa?"
"Heh-heh-heh, tidak apa-apa. Tadinya aku tertarik sekali akan nama besar Panglima Maya dan ingin mengadu kepandaian, akan tetapi setelah ternyata bahwa hanya engkaulah sebenarnya orang itu, hemmm...., baiklah aku pergi saja!"
"Tahan!"
Maya membentak, menahan kemarahannya. Dia marah sekali akan sikap angkuh pemuda ini, akan tetapi betapapun juga, Ji Kun adalah murid bibinya, jadi masih dekat hubungannya dengan dirinya. Di samping itu, dia tadi melihat bahwa murid bibinya ini lihai. Kalau dia bisa menariknya menjadi pembantu alangkah baiknya, amat menguntungkan bagi terlaksananya cita-citanya. Ji Kun yang sudah membalikkan tubuh itu berhenti dan menoleh.
"Engkau mau apa?"
Tanyanya, sikapnya congkak sekali.
"Can Ji Kun, tak baik membatalkan niat hati setengah jalan. Engkau menganggap aku tidak patut menjadi Panglima Pasukan Maut. Baiklah, mari kita berpibu, aku pun ingin sekali melihat sampai di mana engkau mewarisi ilmu kepandaian bibi yang amat hebat. Dan mari kita berjanji, Ji Kun. Kalau aku kalah dalam adu pibu ini, aku akan meninggalkan kedudukanku sebagai panglima dan akan memperdalam kepandaian sampai aku patut menjadi panglima pasukan ini. Sebaliknya, kalau engkau yang kalah, engkau harus mengakui aku sebagai panglimamu dan engkau menjadi seorang di antara pembantu-pembantuku. Bagaimana?"
"Li-ciangkun! Mana bisa diadakan peraturan ini? Li-ciangkun tidak mungkin akan meninggalkan Pasukan Maut!"
Kwa-huciang membantah kaget, juga para perwira yang lain menjadi gelisah, bahkan Kim Seng segera berkata,
"Mengapa Li-ciangkun melayani pengacau ini?"
Melihat para perwira mengkhawatirkan kekalahan Maya, Ji Kun yang memang berwatak angkuh dan percaya bahwa dia tentu akan menang dengan mudah, sudah berkata sambil tertawa,
"Sudah adil! Pertaruhan itu adil sekali. Maya, jangankan hanya engkau sendirian, biar dibantu sebelas orang perwiramu ini aku tentu akan menang!"
"Sombong!"
Bentak Kim Seng dan bersama sepuluh orang rekannya ia sudah melangkah maju.
"Menggelindinglah kalian!"
Tiba-tiba Can Ji Kun membentak, tubuhnya berputaran seperti gasing, kedua tangannya mendorong dengan tenaga sin-kangnya yang ampuh. Kim Seng kena disambar pukulan sin-kang, terhuyung-huyung ke belakang sedangkan sepuluh orang perwira lainnya terguling roboh! Kesombongan Ji Kun menjadi-jadi dan ia tertawa bergelak.
"Ji Kun, ternyata engkau hanya mewarisi kepandaian Bibi, tidak mewarisi wataknya yang gagah!"
Bentak Maya.
"Majulah!"
Ji Kun berseru nyaring, kini kedua lengannya dilonjorkan mengirim, pukulan sin-kang ke arah Maya. Maya mengerahkan sin-kangnya, tangan kiri masih bertolak pinggang dan dia hanya menyambut dorongan kedua tangan Ji Kun dengan tangan kanannya.
"Desss!"
Dua tenaga sin-kang raksasa bertemu di udara dan akibatnya tubuh Ji Kun terdorong ke belakang sampai dua langkah! Dia terkejut sekali, cepat menahan napas mengerahkan sin-kang melawan hawa dingin yang menyesak dada sambil memandang dengan mata terbelalak. Maya masih berdiri bertolak pinggang dan tersenyum mengejek. Para perwira yang maklum bahwa yang bertanding adalah ahli-ahli tingkat tinggi, mengundurkan diri mepet pada kemah dan menonton dengan mata di buka lebar-lebar, tentu saja dengan hasrat hati ingin melihat panglima mereka menang.
Can Ji Kun merasa penasaran sekali. Sin-kangnya amat kuat dan semenjak ia berpisah dari sumoinya, turun gunung dan malang-melintang di dunia kang-ouw menggegerkan dunia penjahat karena kelihaian dan kekerasannya yang tidak mengenal ampun, tidak pernah ada lawan yang mampu menandingi kekuatan sinkangnya, apalagi ilmu pedangnya. Akan tetapi dorongan kedua tangannya hanya dilawan dengan sebelah tangan saja oleh Puteri Khitan ini dan dia kalah tenaga! Dengan marah dan penasaran dia lalu menerjang maju, kedua tangannya bergerak cepat dan kuat, tulang-tulang lengannya mengeluarkan bunyi berkerotakan ketika sin-kangnya bekerja.
"Wut-wut.... plak-plak....!"
Untuk kedua kalinya tubuh Ji Kun terlempar ke belakang, kini malah sampai lima langkah dan hampir saja ia jatuh. Kedua lengannya yang bergerak cepat melakukan pukulan-pukulan dahsyat tadi kena ditangkis oleh sepasang lengan yang lunak halus itu namun yang mengandung tenaga mujijat yang membuatnya tergetar, kedinginan dan terhuyung ke belakang hampir jatuh.
Rasa penasaran dan malu membuat Ji Kun marah sekali. Keangkuhannya tersinggung, dan dia mengeluarkan suara pekik melengking, kemudian tubuhnya bergerak aneh dan cepat, menerjang maju dan menyerang Maya yang masih berdiri tersenyum-senyum. Biarpun mulutnya tersenyum, akan tetapi Maya bersikap tenang dan hati-hati sekali menyaksikan gerak serangan yang dahsyat itu. Jurus serangan yang dilakukan Ji Kun benar-benar berbahaya sekali. Sepuluh buah jari tangan pemuda itu bergerak-gerak melakukan totokan dan cengkeraman. Itulah jurus yang disebut Tok-hiat-coh-kut (Meracuni Darah Melepaskan Tulang) dari ilmu silat yang paling luar biasa dari Mutiara Hitam, yaitu Capsha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Sakti)! Menghadapi serangan ini, Maya maklum bahwa dia tidak boleh lengah.
Dia lalu mempergunakan gin-kangnya, tubuhnya berkelebat cepat sekali, mengelak ke sana-sini kemudian kedua lengannya diputar di depan badan sehingga tampak gulungan sinar biru dari warna lengan bajunya, membentuk payung yang menolak dan menangkis semua serangan lawan. Ji Kun makin marah dan tiba-tiba ia merobah gerakannya. Sekali ini memutar tubuhnya seperti tadi ketika ia merobohkan sebelas orang perwira sekaligus, tubuhnya berputar seperti gasing mengejar lawan dan dari putaran itu kadang-kadang kedua tangannya mengirim pukulan-pukulan berbahaya yang tak tersangka-sangka. Inilah jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Bepusing Mengeluarkan Kilat), juga sebuah di antara Tiga Belas Jurus Sakti! Maya terkejut sekali.
Akan tetapi dia adalah murid Bu Kek Siansu yang sudah digembleng secara tekun dan hebat oleh Kam Han Ki, maka menghadapi jurus aneh ini dia tidak menjadi bingung. Dia berdiri tegak, tidak menghiraukan bayangan tubuh lawan yang berpusing itu, hanya pada waktu tampak berkelebatnya lengan tangan dari putaran itu menyambar, dia memapaki dengan telapak tangannya, menggunakan dorongan dengan tenaga saktinya. Ketika Ji Kun terpaksa mengakhiri jurus ini karena tidak mempan terhadap lawannya yang lihai, tiba-tiba tubuh Maya berkelebat lenyap dari depannya. Sebagai murid seorang sakti, Ji Kun maklum bahwa lawannya menggunakan gin-kang yang amat hebat, yang lebih tinggi daripada tingkatnya sendiri, maka cepat ia membalikkan tubuh. Dan memang benar, tahu-tahu Maya telah berada di belakangnya.
Cepat Ji Kun melakukan gerakan menangkis, akan tetapi Maya mengeluarkan bentakan menggeledek yang menggetarkan seluruh ruangan itu, bahkan sebelas orang perwiranya seketika merasa kakinya lumpuh dan jatuh berlutut, sedangkan Ji Kun yang menangkis tadi terdorong ke belakang dan hampir saja ia roboh terbanting kalau tidak cepat-cepat meloncat ke atas dan berjungkir-balik. Dia tidak jatuh, akan tetapi wajahnya sebentar pucat sebentar merah dan tiba-tiba tampak sinar kilat menyilaukan mata ketika murid Mutiara Hitam ini sudah mencabut pedangnya! Melihat ini, Maya terkejut sekali dan menegur, Ji Kun, perlukah pibu dilanjutkan dengan senjata? Belum terbukakah matamu bahwa tingkat kepandaianku sekarang ini takkan terlawan olehmu dan mungkin hanya mendiang Bibi Mutiara Hitam saja yang akan dapat menandingiku?"
"Kalau kau belum mengalahkan pedangku, aku tetap belum mengaku kalah, Maya!"
Jawab Can Ji Kun dengan keras kepala. Maya menghela napas. Untuk mendapatkan seorang sehebat ini memang tidak mudah. Dia maklum bahwa biarpun kepandaian Ji Kun amat tinggi, namun ilmu silatnya masih berada di atas tingkat Ji Kun, demikian pula gin-kang dan sinkangnya. Hanya melihat pedang itu, dia merasa ngeri.
"Pedangmu dahsyat dan mengandung hawa kejam, Ji Kun. Akan tetapi jangan kira bahwa aku takut menghadapi pedangmu. Marilah!"
Maya menggerakkan tangan kanannya dan dia sudah mencabut pedang panjangnya, pedang panglima yang ia terima sebagai pemberian Bu-taiciangkun sendiri. Sebuah pedang yang amat baik, terbuat daripada baja biru, akan tetapi bukanlah pedang pusaka seperti yang berada di tangan Ji Kun.
"Awaslah terhadap seranganku ini, Maya!"
Ji Kun berseru dan tubuhnya menerjang maju, didahului oleh sinar putih yang menyilaukan mata dari pedangnya. Maya tidak menjawab, melainkan mengelak jauh ke kiri sambil mengelebatkan pedangnya menusuk mata kaki lawan.
Serangan seperti ini hanya dilakukan oleh seorang ahli pedang yang sudah tinggi tingkatnya sehingga Ji Kun cepat-cepat meloncat dan pedangnya sudah meluncur ke dada Maya. Ji Kun mengerti bahwa entah siapa yang menjadi guru Maya, mungkin sekali Menteri Kam Liong yang ia dengar memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari Mutiara Hitam, maka diapun mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan Ilmu Pedang Lan-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan) yang merupakan perpaduan dari Siang-bhok-kiam dari Mutiara Hitam dan Pek-kong-To-hoat dari Tang Hauw Lam. Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa biarpun dalam hal pengalaman masih kalah jauh oleh Menteri Kam Liong, namun dalam hal ilmu silat, tingkat Maya malah lebih tinggi daripada tingkat menteri putera Suling Emas itu karena dara ini adalah penghuni, Istana Pulau Es, murid tidak langsung dari Bu Kek Siansu!
Menghadapi ilmu pedang yang dimainkan Ji Kun demikian dahsyatnya, diam-diam Maya kagum sekali dan memuji kepandaian bibinya, maka ia bersikap tenang. Terutama sekali pedang pusaka di tangan Ji Kun membuat ia ngeri. Pedang itu mengeluarkan hawa maut yang menggetar dan dingin sekali. Kalau saja sin-kangnya tidak sudah amat kuat, agaknya dia akan terpengaruh oleh getaran itu yang akan mengacaukanpermainan pedangnya. Dia pun tak berani mengadukan pedangnya dengan pedang lawan, dan ketika Ji Kun mendesaknya sedemikian rupa sehingga terpaksa sekali Maya mengelebatkan pedang menangkis, tak tercegah lagi kedua pedang bertemu.
"Takkk!"
Maya terkejut bukan main karena pedangnya itu melekat pada pedang Ji Kun yang seolah-olah mempunyai daya tarik atau daya sedot yang mujijat! Dan kesempatan ini dipergunakan Ji Kun untuk menggerakkan pedang ke bawah, membacok kepala Maya! Maya mengelak cepat.
"Breet!"
Robek dan putuslah ujung pundak baju panglima wanita itu. Dia melompat mundur, Ji Kun tersenyum girang dan mendesak terus.
Kini Maya mengerti bahwa pedang pusaka itu selain mempunyai wibawa ampuh, juga mempunyai daya menyedot. Pengetahuan ini membuat dia memutar otak mencari akal. Ketika untuk kesekian kalinya sinar pedang yang ampuh itu terus mendesaknya dan mengirim tusukan, kembali ia menangkis. Kalau dibacok, dia tidak berani menangkis karena pertemuan langsung itu mungkin sekali akan merusakkan pedangnya. Akan tetapi kalau hanya tusukan, dia berani menangkis dari samping. Dia sengaja menangkis dari atas sehingga ketika pedangnya tersedot dan menempel, pedangnya berada di atas pedang lawan dan sebelum Ji Kun melanjutkan pedangnya untuk mengirim serangan mendadak,. Maya telah mendorongkan tangan kirinya dengan pengerahan tenaga sin-kang yang membentuk hawa pukulan dingin. Inilah pukulan inti es yang hebatnya bukan kepalang, yang oleh Han Ki tdisebut pukulan Swat-im Sin-jiu!
Tubuh Ji Kun seperti terkena aliran halilintar, menggigil dan pedangnya terlepas dari tangannya. Dia berusaha mempertahankan diri namun ia hanya dapat mencegah tubuhnya terguling, dan hanya jatuh duduk dengan muka pucat! Cepat ia bersila dan memejamkan matanya, mengerahkan hawa murni untuk melindungi isi dadanya yang terserang hawa dingin luar biasa. Semua perwira bengong terlongong dan tidak ada yang bergerak, semua terpesona oleh pertandingan yang sedemikian hebatnya, yang belum pernah mereka saksikan selama hidup mereka. Maya menyimpan pedangnya, membungkuk dan mengambil pedang Ji Kun. Dia mengamati pedang itu dan tangannya menggigil.
"Bukan main....!"
Serunya sambil menggeleng kepala. Memegang pedang itu, ia merasa seolah-olah pedang itu bernyawa dan mengeluarkan hawa maut yang amat kejam! Can Ji Kun membuka matanya dan melotot memandang Maya. Jelas terbayang pada pandang matanya bahwa ia khawatir sekali kalau pedangnya dirampas Maya. Melihat ini Maya lalu melangkah maju dan menyerahkan pedang itu kepada Ji Kun sambil berkata,
"Ji Kun, seorang murid Mutiara Hitam yang gagah perkasa tidak patut memiliki pedang seganas ini."
Bayangan khawatir lenyap dari wajah Ji Kun, terganti rasa lega ketika ia menerima pedangnya. Ia bangkit berdiri,menyimpan pedangnya dan berkata,
"Pedang ini adalah pedang Lam-mo-kiam pemberian Subo."
"Ahhh.... sungguh heran mengapa Bibi menyimpan pedang seperti itu,"
Kata Maya perlahan, kemudian sambil menatap tajam wajah murid bibinya itu ia bertanya
"Bagaimana sekarang, Ji Kun? Apakah engkau akan memenuhi janji dan membayar taruhanmu?"
Ji Kun membusungkan dadanya dan menjawab,
"Li-ciangkun, mungkin sekali aku bukan seorang murid yang baik dari Suhu dan Subo, akan tetapi aku tetap adalah seorang gagah yang tidak akan mengingkari janji. Biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu."
Sebelas orang perwira bersorak dan menghampiri Ji Kun, berebut menjabat tangan pemuda itu saking girang hatinya. Ji Kun tersenyum masam, akan tetapi diam-diam kagum sekali kepada Maya dan harus ia akui bahwa kepandaiannya tidak dapat menandingi dara itu!
"Ji Kun, mulai sekarang engkau menjadi seorang perwira berpangkat huciang dan membantu Kwa-huciang. Dari mulai sekarang aku memanggilmu Can-huciang. Eh, aku teringat akan sumoimu, Ok Yan Hwa. Di manakah dia sekarang?"
Diingatkan kepada Ok Yan Hwa, sumoinya yang juga menjadi kekasihnya, akan tetapi juga musuhnya (betapa aneh) itu, wajah yang tampan itu menjadi muram.
"Aku tidak tahu. Kami saling berpisah setelah Suhu meninggal dunia dan turun gunung."
Mungkin karena gemblengan pengalaman-pengalaman pahit, semuda itu Maya sudah dapat menjenguk isi hati orang dengan melihat wajahnya.
Ia tahu bahwa tentu ada apa-apa antara kedua murid bibinya itu dan bahwa bicara mengenai diri Yan Hwa tidak menyenangkan hati pembantu barunya ini, maka dia tidak bertanya lebih banyak. Pada keesokan harinya, terdengarlah berita mengejutkan yang disampaikan oleh utusan yang menyeberang perbatasan bahwa bala tentara Mancu yang berada di tapal batas, yang tadinya hendak menyatukan diri dengan pasukan-pasukan Bu-tai-ciangkun di pantai untuk bersama-sama menyerbu ke selatan, telah lebih dulu dihancurkan oleh bala tentara Kerajaan Cin, yaitu tentara Yucen! Bala tentara Mancu terpaksa mundur dan melarikan diri ke barat, terancam bahaya terjepit oleh pasukan-pasukan Yucen dan pasukan Sung yang bergerak dari selatan! Mendengar ini, Maya mengumpulkan dua belas orang pembantunya.
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Karena sudah jelas bahwa barisan Mancu yang menjadi sekutu kita itu terancam oleh pihak Yucen dan Sung, terpaksa aku akan melanjutkan gerakan pasukan mengejar dan membantu mereka. Akan tetapi, kita harus mengirim laporan kepada Bu-tai-ciangkun yang masih menanti di pantai. Can-huciang, aku menugaskan engkau membawa lima puluh orang pasukan untuk menyampaikan laporan kepada Bu-tai-ciangkun!"
"Baik!"
Jawab Can Ji Kun yang segera mengumpulkan pasukan lima puluh orang, membawa surat laporan Maya dan berangkat pada hari itu juga ke timur. Maya lalu mengatur rencana pengejaran ke barat.
"Sayang kita tidak tahu pasti ke mana mundurnya barisan Mancu dan di antara kita tidak ada yang mengenal baik daerah ini."
"Li-ciangkun, harap jangan khawatir. Aku mengenal daerah ini dengan baik dan kiranya tidak akan keliru kalau saya katakan bahwa barisan Mancu tentu mundur ke selatan."
Maya tercengang. Banyak hal yang aneh dan tidak tersangka-sangka dimiliki oleh bekas penggembala domba ini!
"Mengapa kau berpendapat demikian, Cia-huciang? Bukankah di selatan banyak terdapat barisan Sung?"
"Jalan mundur satu-satunya yang paling lemah dijaga musuh hanyalah ke selatan. Ke timur berhadapan dengan barisan Yucen yang kuat, demikian pula ke utara. Sedangkan di sebelah barat terdapat pasukan-pasukan Mongol dan Sung. Di selatan hanya terjaga oleh pasukan Sung, akan tetapi mengingat keadaan Sung yang makin lemah daripada menghadapi barisan Yucen atau Mongol lebih ringan menghadapi pasukan Sung. Maka kiranya tidak akan meleset jika kita perhitungkan bahwa barisan Mancu itu tentu mengundurkan diri ke selatan."
Maya mengangguk-angguk, diam-diam ia kagum karena tidak mengira bahwa Si Penggembala domba ini memiliki pemandangan yang luas dan cerdik.
"Baiklah, kalau begitu kita mengejar ke selatan."
Berangkatlah pasukan itu pada keesokan harinya, menuju ke selatan dan ketika para penyelidik memberi pelaporan bahwa memang benar ada tanda-tanda bahwa pasukan-pasukan Mancu mengundurkan diri ke selatan, Maya makin kagum terhadap pembantunya, Cia Kim Seng. Keadaan di sepanjang jalan amat sunyi, karena sebagian besar penduduk mnengungsi dari daerah yang dilanda perang itu. Kita kembali mengikuti perjalanan dan pengalaman Khu Siauw Bwee yang sudah lama kita tinggalkan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara perkasa itu mempelajari ilmu gerak tangan kilat dan gerak kaki kilat dari kakek yang kedua kakinya buntung dan lengan kirinya juga buntung. Kedua ilmu silat yang amat aneh itu adalah ilmu rahasia dari kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung. Ilmu silat ini memang luar biasa dan kini Siauw Bwee telah mempelajari teorinya dari kakek itu, bahkan sekalian diajari cara pemecahannya sehingga tentu saja Siauw Bwee menjadi lihai bukan main. Kaki tangannya masih utuh dan ilmu-ilmu itu dimainkan oleh orang-orang cacad saja sudah begitu hebat, apalagi dimainkan oleh Siauw Bwee yang selain masih utuh kaki tangannya, juga telah memiliki dasar ilmu silat yang, tingkatnya jauh lebih tinggi pula. Disamping ini masih mendapat ajaran rahasia pemecahan kedua ilmu itu!
"Bagus! Li-hiap telah menguasai kedua ilmu itu dengan sempurna! Andaikata. Aku sendiri yang melatih dengan kaki tangan utuh, belum tentu dapat sesempurna ini!"
Lu Gak, demikian nama kakek itu, tertawa puas. Akan tetapi Siauw Bwee sama sekali tidak merasa puas. Sudah sering kali ia minta agar kakek itu beristirahat, akan tetapi kakek itu berkeras, siang malam mengajarnya padahal keadaan kesehatan kakek itu buruk sekali! Kini, biarpun kakek itu tertawa, wajahnya amat pucat dan napasnya memburu.
"Lu-locianpwe, engkau terlalu memaksa diri. Sebaiknya sekarang beristirahat."
"Baiklah.... baiklah Khu-lihiap. Besok adalah hari pibu antara mereka, seperti biasa mengambil tempat di kuil tua dekat rawa, kuil bekas tempat tinggal nenek moyang kami kedua pihak di mana terdapat pula kuburan mereka berdua itu. Engkau wakililah aku Li-hiap, mendamaikan mereka dengan mengalahkan mereka. Kalau berhasil, barulah aku dapat mati dengan mata terpejam."
"Baik, Locianpwe, dan mudah-mudahan semua berjalan lancar,"
Jawab Siauw Bwee dan hatinya lega menyaksikan kakek itu dapat tidur pulas di dalam pondok. Kakek ini sebenarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, biarpun tidak berkaki dan hanya berlengan satu, namun tubuhnya dapat bergerak meloncat-loncat dengan tekanan tangannya ke atas tanah. Akan tetapi sayang, karena keadaan tubuhnya seperti itu dan mengandung penyakit berat pula, tentu saja kakek ini bukan lawan kaum kaki buntung dan lengan buntung yang saling bermusuhan itu.
Pada keesokan harinya, di depan kuil tua yang dimaksudkan, telah berkumpul seluruh anggauta kaum kaki buntung berjumlah tiga puluh enam orang dan kaum lengan buntung sebanyak tiga puluh orang. Mereka dipimpin oleh ketua masing-masing, yaitu Liong Ki Bok si kaki buntung dan The Bian Le si lengan buntung. Seperti biasa setiap tahun masing-masing pihak mengajukan lima orang jago untuk diadu sampai mati! Pihak yang lebih banyak jumlahnya menang dianggap pemenang dan pibu akan dilanjutkan tahun depan, akan tetapi adakalanya pertempuran terjadi dengan hebat sehingga semua anggauta saling serang merupakan perang kecil yang akan merobohkan banyak korban di kedua pihak.
Kedua pihak telah mengajukan lima orang jago, termasuk ketua masing-masing. Akan tetapi, sebelum pertandingan dimulai, berkelebatlah bayangan orang dan Siauw Bwee telah meloncat ke tengah-tengah antara mereka! Dara ini datang bersama Lu Gak akan tetapi kakek itu hanya menonton dari tempat tersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia tidak mau memperlihatkan diri, khawatir kalau-kalau kemunculannya akan mengganggu tugas Siauw Bwee yang bagi kakek ini amatlah penting, merupakan tugas hidupnya! Melihat munculnya Siauw Bwee, yang amat dikenal oleh kedua pihak karena dengan keduanya dara ini pernah bentrok, Kedua kaum cacad itu menjadi terkejut dan marah.
"Bocah pengecut!"
Bentak Liong Ki Bok yang merasa tertipu karena tadinya ia merasa menyesal telah "membunuh"
Gadis ini dan yang ternyata kemudian sama sekali tidak mati malah membikin kacau anak buahnya. Tadi ketika dalam pertemuan ini orang she Liong itu tidak melihat Cia Cen Thok yang ternyata selama bertahun-tahun itupun tidak mati, hatinya sudah menjadi lega. Siapa tahu sekarang dara yang ilmunya tinggi itu berada di situ!
"Mau apa engkau?"
Bentak The Bian Lee dan kedua orang ketua kaum buntung itu agak lega hatinya karena teguran-teguran mereka ini jelas membuktikan bahwa dara lihai itu tidak berpihak kepada siapapun. Siauw Bwee memandang kedua orang ketua itu berganti-ganti, kemudian berkata dengan senyum mengejek dan suara bernada dingin,
"Kalian ini orang-orang tua, sudah bercacad tubuhnya akan tetapi masih selalu dikuasai nafsu mendendam yang membikin kalian seperti hidup di neraka dan selalu, haus darah dan kejam! Lupakah kalian bahwa sebenarnya kalian ini adalah keturunan saudara-saudara seperguruan dan kepandaian kalian berasal dari satu sumber? Mengapa permusuhan yang gila ini masih juga dilanjutkan?"
"Eh, bocah setan. Mau apa engkau mencampuri urusan kedua kaum yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirimu?"
Bentak Liong Ki Bok.
"Pergilah! Kami tidak mempunyai urusan denganmu!"
Bentak pula The Bian Le. Siauw Bwee tertawa,
"Nah, nah! Sikap kalian ini saja sudah menunjukkan bahwa kalian tidak semestinya saling bermusuh. Begitu ada orang luar mencampuri, kalian besikap seperti hendak bersatu! Alangkah akan baik dan kuatnya kalau kalian dapat bersatu, yang satu memenuhi kekurangan yang lain. Bukankah dengan hidup berdampingan secara damai kalian dapat saling tolong-menolong?"
"Banyak cerewet!"
The Bian Le berteriak,
"Urusan kami adalah urusan dendam turun-menurun, siapa juga tidak boleh mencegahnya atau coba mendamaikannya! Kalau salah satu kaum di antara kami musnah, barulah akan terhenti!"
"Wah, wah! Memang aku tahu bahwa ketua kaum lengan buntung lebih galak dan lebih fanatik. Banyak orang baik-baik menjadi korban karena permusuhan gila ini, bahkan baru masuk menjadi murid saja sudah terjadi kekejian, membuntungi lengan dan kaki! Sungguh kasihan mereka, sudah dibuntungi lengan atau kakinya, yang didapat hanya ilmu kanak-kanak yang hanya bisa dipakai saling hantam antara saudara sendiri!"
"Engkau terlalu menghina kami!"
Teriak Liong Ki Bok.
"Perempuan keparat!"
The Bian Le membentak. Siauw Bwee mengangkat kedua tangan ke atas.
"Disuruh damai secara baik-baik, tidak sudi, memang seharusnya dilakukan dengan kekerasan. Sekarang baik kita buktikan betapa kalian ini sia-sia saja mengorbankan kaki tangan untuk mempelajari ilmu kanak-kanak! Mari kita bertaruh. Aku seorang diri dengan tangan kosong melawan kalian dua orang ketua gila! Kalau aku kalah dan mati, sudahlah, kalian boleh melanjutkan permusuhan gila ini sampai dunia kiamat! Akan tetapi kalau kalian dengan ilmu kanak-kanak kalian kalah olehku, kalian harus menghentikan permusuhan ini dan merobah menjadi persaudaraan. Coba, pergunakan kedua ilmu kalian untuk bersatu mengalahkan aku kalau bisa!"
Dua orang ketua itu tertegun. Mereka sudah maklum akan kelihaian dara ini, akan tetapi melawan mereka berdua berarti mencari mati, karena kedua ilmu mereka itu isi-mengisi sehingga memperlengkap kekurangan mereka.
"Nona, jangan main-main!"
Teriak Liong Ki Bok.
"Engkau mencari mampus!"
Teriak pula The Bian Le.
"Gertak sambal! Ataukah gertakan untuk menutupi bahwa kalian jerih mengeroyok aku?"
"Keparat! Siapa takut?"
Teriakan ini keluar berbareng dari mulut kedua orang ketua.
"Kalau begitu, kalian menerima taruhanku?"
Tanya Siauw Bwee dengan girang. Kedua orang ketua ini sejenak saling pandang. Penghinaan dara itu membuat keduanya menjadi marah sekali, kemarahan yang amat besar sehingga pada saat itu mengatasi rasa saling benci mereka.
"Aku terima!"
Kata Liong KI Bok.
"Marilah!"
Kata The Bian Le.
"Bagus! Nah, seranglah!"
Siauw Bwee menantang sambil berdiri di tengah-tengah menghadapi mereka di kanan kiri.
Liong Ki Bok sudah menggerakkan. kedua tangannya, yang kiri mencengkeram disusul totokan tongkat. Gerakannya cepat bukan main karena dia sudah menggunakan ilmu gerak tangan kilat. Sedangkan The Bian Le juga sudah menerjang maju dengan pukulan tangan kanan disusul tendangan yang dahsyat! Namun, karena Siauw Bwee sudah paham betul akan gerakan mereka dan perkembangannya, tahu pula cara pemecahannya, dengan mudah ia mengelak sambil tertawa mengejek. Makin diserang, makin cepat ia mengelak dan makin keras suara ketawanya sehingga kedua orang ketua itu menjadi makin marah. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga datangnya serangan tangan Liong Ki Bok seperti hujan dan kedua tangannya seperti berubah menjadi delapan buah saking cepatnya. Demikian pula, The Bian Le seolah-olah mempunyai delapan buah kaki yang menghujankan tendangan dengan gerak, kaki yang indah dan rapi.
"Duk!"
Kedua orang ketua itu terhuyung-huyung karena secara aneh sekali tahu-tahu pangkal paha kaki tunggal Liong Ki Bok sudah kena ditendang Siauw Bwee, sedangkan pangkal lengan satu The Bian Le sudah kena ditepuk!
"Nah, bukankah ilmu kalian seperti ilmu kanak-kanak?"
Siauw Bwee mengejek dan cepat mengelak karena kedua orang itu sudah menerjang lagi dengan dahsyat dan penuh kemarahan.
Kini Siauw Bwee bersilat menurut petunjuk Kakek Lu Gak, mainkan dua macam ilmu silat yang merupakan pemecahan rahasia kedua ilmu mereka. Mulailah keduanya terheran-heran dan terdesak hebat! Mereka segera mengenal ilmu mereka sendiri, dan kini bahkan serangan mereka seperti tetesan air yang menimpa lautan, amblas tanpa bekas, sebaliknya setiap serangan Siauw Bwee seolah-olah melumpuhkan semua perkembangan gerakan mereka! Setelah bertanding selama seratus, jurus, akhirnya dengan gerakan indah sekali Siauw Bwee berhasil menotok thian-hu-hiat mereka secara berbareng dengan kedua tangannya dan seketika kedua orang ketua itu mengeluh
(Lanjut ke Jilid 19)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 19
dan jatuh terduduk dalam keadaan lumpuh! Siauw Bwee bertolak pinggang.
"Bagaimana, apakah kalian masih memiliki kegagahan untuk memenuhi janji?"
Liong Ki Bok dan The Bian Le tetap membisu, hanya menundukkan muka dengan alis berkerut. Siauw Bwee cepat menotok dan membebaskan mereka yang segera melompat bangun. Anak buah kedua kaum cacad itu menjadi marah dan mereka sudah bergerak hendak mengeroyok Siauw Bwee. Akan tetapi ketua mereka membentak mereka supaya mundur.
"Aku mengaku kalah. Nona lihai sekali, akan tetapi.... bagaimana Nona dapat mempelajari ilmu gerak tangan kilat kami?"
Kata Liong Ki Bok.
"Hal itu tidak perlu dibicarakan. Yang penting sekarang, kalian sudah kalah dan harus memenuhi janji untuk menghentikan permusuhan!"
Tiba-tiba The Bian Le berseru,
"Mari kita pulang! Biarlah sekali ini kami kaum lengan satu mengaku kalah. Sampai lain tahun!"
Dan ia sudah berlari pergi diikuti dua puluh sembilan orang anak buahnya, pergi dengan wajah muram dan penasaran!
"Kami memenuhi janji dan menghentikan pertempuran untuk kali ini!"
Kata pula Liong Ki Bok, yang juga berloncatan pergi diikuti semua anak buahnya. Siauw Bwee tercengang dan diam-diam mengeluh. Celaka, usahanya itu sama sekali tidak berhasil. Hanya berhasil menghentikan pibu hari itu saja, tetapi sama sekali tidak berhasil menghentikan permusuhan di antara kedua kaum, tidak berhasil menghapus dendam di antara mereka. Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan keras dari arah tempat Kakek Lu Gak bersembunyi. Ia meloncat ke tempat itu dan melihat Lu Gak roboh dengan mata mendelik!
"Lu-locianpwe!"
Siauw Bwee cepat memeriksa keadaan kakek itu dan mendapat kenyataan bahwa kakek itu terserang jantungnya dan dalam keadaan pingsan. Dia lalu memondong tubuh yang hanya berlengan satu itu, membawanya lari kembali ke pondok Lu Gak. Kakek itu setelah sadar lalu mengeluh panjang dan menggeleng kepalanya.
"Keras kepala.... keras kepala mereka itu.... Li-hiap....!" "Aku akan menghajar mereka, Locianpwe. Akan kupaksa mereka!"
Siauw Bwee berkata gemas, maklum bahwa kakek ini merasa berduka sekali ketika tadi menyaksikan betapa kedua kaum itu masih saja tidak mau menghentikan permusuhan mereka, berarti bahwa tugasnya telah gagal! Akan tetapi, dengan napas terengah-engah kakek itu berkata,
"Percuma, Lihiap....! Ahh....! Kiranya hanya Tuhan saja yang akan dapat menggerakkan hati mereka dan membuka mata mereka bahwa semua permusuhan dan dendam itu amatlah tidak baik...."
"Tenanglah, Locianpwe. Yang paling penting Locianpwe memelihara kesehatanmu dulu, nanti perlahan-lahan kita mencari akal. Percayalah, aku akan membantumu."
"Aihh, kau baik sekali, Li-hiap. Akan tetapi mereka, aahhh...."
Dan kakek itu lalu menangis terisak-isak! Siauw Bwee menjadi terharu sekali dan dia tidak tega meninggalkan kakek itu yang telah menurunkan ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Dengan sabar dia menghibur dan merawat kakek yang menderita sakit itu. Tiga hari kemudian, selagi Siauw Bwee menggodok obat untuk Kakek Lu Gak, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar pondok. Siauw Bwee segera meloncat keluar dan tampaklah semua anggauta kedua kaum bercacad itu berkumpul di luar pondok dan saling memaki,
"Sudah jelas betapa rendah dan curangnya Si Lengan Buntung!"
Teriak seorang nenek berkaki buntung sambil menudingkan tongkatnya ke arah kelompok lengan buntung yang memandang marah.
"Siapa lagi kalau bukan kalian yang menculik ketua kami dengan bantuan gadis setan itu? Orang she Lu adalah seorang di antara kaummu, tentu membantu kalian!"
"Tutup mulutmu yang kotor!"
Bentak seorang kakek lengan buntung juga menudingkan telunjuk lengan tunggalnya kepada rombongan kaki buntung,
"Gadis itu pernah berada di tempat kalian, tentu dia telah membantu kalian menculik ketua kami!"
Mendengar ini Siauw Bwee yang baru keluar berseru,
"Apa ini saling tuduh dan membawa-bawa aku?"
Semua orang menengok dan ketika melihat Siauw Bwee, seperti mendengar komando saja mereka kedua pihak telah menyerbu dan menyerang Siauw Bwee. Dara perkasa ini terkejut dan heran akan tetapi juga marah. Tubuhnya berkelebat ke depan, menyambar-nyambar laksana burung walet menyambar sekumpulan laron sehingga terdengarlah orang-orang mengaduh disusul robohnya belasan orang berturut-turut! Untung bagi mereka bahwa Siauw Bwee masih menaruh kasihan, menganggap mereka itu orang-orang keras kepala yang bodoh dan dimabok dendam, maka dia masih menahan tenaganya dan hanya merobohkan mereka tanpa membunuh.
"Tahan.... Apakah kalian telah gila mengeroyok Khu-lihiap? Berhenti semua....!"
Siauw Bwee melompat kedekat pintu, berdiri di sebelah Lu Gak yang telah duduk di depan pintu, menggerak-gerakkan tangan kanannya dengan marah. Semua orang kedua kaum cacad itu memandang Lu Gak dan seorang kakek lengan buntung berkata,
"Lu-supek, Suhu The Bian Le telah diculik orang. Siapa lagi yang mampu menculik Suhu kalau bukan Nona ini?"
"Juga ketua kami diculik oleh Nona ini!"
Berkata seorang tokoh kaki buntung. Lu Gak menggeleng-gelengkan kepalanya,
"Hemm.... kalian sudah gila semua, gila oleh dendam permusuhan sehingga melontarkan fitnah dan tuduhan secara membabi-buta. Apakah kalian melihat sendiri Khu-lihiap menculik kedua orang ketua kalian?"
"Kemarin pagi ketua kami menyatakan hendak mengadakan pertandingan pibu secara diam-diam di dekat rawa melawan ketua lengan buntung,"
Demikian kakek yang berkaki buntung bercerita,
"Kami dilarang turun karena pibu itu merupakan pibu perorangan diantara kedua ketua, dan dilakukan diam-diam agar jangan diketahui oleh Nona ini yang melarang pibu. Akan tetapi sampai sehari ketua kami tidak pulang, maka terpaksa kami menyusul ke rawa. Pada waktu senja itu, ketika kami tiba di dekat rawa, kami bertemu rombongan lengan buntung yang juga mencari ketua mereka. Akan tetapi kedua pihak kami hanya mendapatkan lengan baju yang buntung dari ketua lengan buntung dan tongkat ketua kami. Karena tidak kelihatan mayat di situ, berarti ketua kami diculik dan siapa lagi yang sanggup menculiknya kalau bukan Nona ini?"
Tiba-tiba Siauw Bwee melangkah maju dan orang-orang kedua kaum itu otomatis melangkah mundur. Mereka jerih terhadap Siauw Bwee yang luar biasa lihainya.
"Permusuhan di antara kalian telah menimbulkan banyak malapetaka. Lihat Lu-locianpwe ini, karena dialah satu-satunya orang yang sadar dan waras di antara kedua kaum, dia berusaha mendamaikan dan apa yang kalian perbuat terhadapnya? Membuntungi kedua kakinya! Padahal dialah yang paling tepat memimpin kalian dari dua kaum ke arah jalan yang benar penuh damai. Sekarang, ketua kalian lenyap diculik orang, dan kalian datang pula menuduh Lu-locianpwe dan aku! Hemm, kalau tidak ingat betapa besar, rasa sayang Locianpwe ini kepada kedua kaum yang gila, agaknya aku akan senang untuk membunuh kalian semua seperti membasmi lalat-lalat busuk yang hanya mengotori dunia! Sekarang agaknya Thian sendiri yang menghukum kalian sehingga ketua kalian lenyap diculik orang. Apakah kalian belum juga sadar? Kalau aku berjanji untuk membantu kalian mencari ketua kalian, apakah kalian suka bersumpah untuk menghapus permusuhan dan bekerja sama membantu aku mencari mereka?"
Orang-orang kedua rombongan saling pandang. Yang fanatik dimabok dendam masih ragu-ragu.
"Ingat, orang yang dapat menculik ketua-ketua kalian tentu berkepandaian tinggi. Aku akan berusaha mencarinya dan melawannya untuk menolong ketua kalian, Akan tetapi bersumpahlah lebih dulu bahwa semenjak saat ini, semua dendam di antara kalian telah habis dan kalian tidak akan saling bermusuhan lagi, bagaimana, sanggupkah?"
Hening sejenak dan terdengar mereka semua berbisik-bisik. Kemudian, kakek kaki buntung memelapor teman-temannya,
"Kami pihak kaum kaki buntung bersumpah, dan sanggup asal ketua kami diselamatkan!"
Siauw Bwee tersenyum. Memang pihak kaki buntung belum segila pihak lengan buntung. Maka ia bertanya,
"Bagaimana dengan kaum lengan buntung? Kalau tidak mau aku hanya akan mencari dan menyelamatkan Liong Ki Bok ketua kaki buntung saja!"
"Kami.... kami sanggup dan bersumpah untuk menghabiskan permusuhan asal ketua kami diselamatkan!"
Akhirnya nenek lengan buntung berseru. Siauw Bwee masih belum puas. Dia maklum betapa hebat dendam dan permusuhan di antara mereka dan siapa tahu kalau nanti ketua mereka telah berada di tengah mereka, permusuhan akan dilanjutkan.
"Bagaimana kalau kelak ternyata bahwa kedua ketua kalian masih tidak mau berdamai dan melanjutkan permusuhan?"
Hening pula sejenak dan tiba-tiba terdengarlah Kakek Lu Gak yang sejak tadi mendengarkan penuh perhatian berkata,
"Mengapa kalian ragu-ragu? Begitu bodohkah kalian menaati kehendak ketua kalian yang sudah gila? Kalau ternyata mereka masih nekat saling bermusuhan dan tidak menaati janji dengan Khu-lihiap, kita hancurkan saja mereka yang menjadi sarang dan bibit permusuhan."
"Akurr....!"
Kini semua anggauta kedua kaum itu berteriak. Wajah Siauw Bwee berseri,
"Kalau begitu, marilah. Bawa aku ke tempat mereka berdua lenyap meninggalkan lengan baju dan tongkat!"
Berangkatlah mereka menuju ke rawa di mana dahulu Siauw Bwee hampir celaka dikeroyok burung-burung liar. Ketika mereka tiba di tepi rawa di mana mereka menemukan tongkat Liong Ki Bok dan lengan baju The Bian Le, Siauw Bwee memandang ke sekitarnya dan dia mengerutkan kening.
Rawa itu amat luas dan tidak tampak tempat yang kiranya dapat dipergunakan sebagai tempat tinggal orang yang menculik kedua orang ketua itu. Dia merasa heran dan menduga-duga. Kalau benar dua orang itu diculik, tentu tidak disembunyikan di rawa ini, melainkan dibawa ke lain tempat. Tempat terbuka. luas seperti rawa ini, mana mungkin dipakai menawan orang? Dia memandang lagi ke sekeliling dan diam-diam bergidik. Tempat ini merupakan tempat sarang maut dan teringatlah penuh kengerian akan dua orang temannya yang juga melarikan diri cerai-berai ketika dikeroyok burung, yaitu Cia Cen Thok si bekas "mayat hidup"
Dan pemuda Co-bi-san yang gagah, Hui-eng Liem Hok Sun. Tentu mereka itu telah tewas dimakan burung atau tenggelam di dalam rawa atau.... dikeroyok ular. Siauw Bwee bergidik.
"Li-hiap, ke mana sekarang kita mencari mereka?"
Tiba-tiba nenek lengan buntung bertanya dan semua orang kini memandang kepada Siauw Bwee. Siauw Bwee menjadi bingung, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Tiba-tiba Kakek Lu Gak yang juga ikut bersama mereka yang sejak tadi mengerutkan alisnya dan memandangi daerah rawa yang luas, berkata,
"Ahh, aku tahu! Tidak salah lagi....!"
Semua orang kini memandang kakek itu dan Siauw Bwee bertanya,
"Di mana mereka menurut pendapatmu, Locianpwe?"
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang diam mendengarkan jawaban kakek itu,
"Kedua orang sute itu kalau diculik orang tentu disembunyikan di suatu tempat. Rawa ini tak mungkin dipergunakan untuk maksud itu dan satu-satunya tempat yang paling tepat tentulah di kuil tua!"
Orang-orang kedua kaum cacad itu saling pandang dan agaknya mereka tidak percaya, bahkan mulai kelihatan murung dan kecewa karena sesungguhnya mereka tidak suka datang ke tempat itu, kecuali jika diadakan pibu! Namun, melihat Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak pergi menuju ke kuil tua, mereka mengikuti dari belakang.
"Lihat itu....! Siauw Bwee berseru ketika kuil itu sudah tampak, menuding ke arah benda-benda beterbangan di atas kuil.
"Kelelawar-kelelawar siang!"
Anggauta kedua rombongan berteriak kaget dan seketika menghentikan langkah.
Akan tetapi Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak sudah cepat bergerak ke arah kuil. Kedua rombongan maju pula mengikuti, akan tetapi dengan wajah takut-takut. Siauw Bwee lebih dulu tiba di kuil dan cepat memasuki kuil itu terus ke ruangan belakang yang menambus ke halaman belakang yang penuh rumput. Dan tampaklah pemandangan yang mengejutkan hatinya. Dua orang kakek itu, Liong Ki Bok dan The Bian Le, rebah telentang di atas rumput, agaknya terluka dan tertotok, terbelalak memandang ke arah ratusan kelelawar yang beterbangan di atas dan mengeluarkan suara seperti sekumpulan anjing dan kera berkelahi, siap untuk menerjang kedua orang kakek yang tidak berdaya itu!
Mutiara Hitam Eps 20 Cinta Bernoda Darah Eps 31 Cinta Bernoda Darah Eps 17