Istana Pulau Es 39
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 39
"Dengan memiliki sin-kang ini, kalian akan menjadi jauh lebih kuat, dan tidak percuma menjadi penghuni Istana Pulau Es. Latihan ini tidak ringan, karena kalian harus berlatih siang malam di tempat terbuka, terutama sekali pada tengah malam di waktu hawa sedang dinginnya kalian dapat menyedot inti hawa dingin salju. Im-kang yang kalian miliki dahulu itu sudah cukup kuat untuk menjadi dasar, sehingga untuk dapat melatih Swat-im Sin-kang dengan sempurna, kalian hanya memerlukan waktu tiga bulan. Mari kuajari cara berlatih dan kupimpin untuk memberi contoh semalam ini."
"Nanti dulu, Suheng,"
Tiba-tiba Maya berkata, suaranya bersungguh-sungguh sehingga Han Ki dan Siauw Bwee mendengarkan penuh perhatian. Mereka bertiga duduk bersila di atas tanah yang tertutup salju, duduk begitu saja karena memang demikian yang dikehendaki Han Ki untuk melatih Swat-im Sin-kang.
"Kau hendak bertanya tentang apa, Maya-sumoi?"
Han Ki bertanya.
"Suheng, kurasa engkau lupa bahwa aku dan Sumoi bukanlah kanak-kanak lagi seperti beberapa tahun yang lalu sehingga luculah kalau Suheng memperlakukan kami seperti dua orang anak perempuan yang masih kecil! Memang latihan Swat-im Sin-kang seperti yang Suheng terangkan amat penting bagi kemajuan ilmu-ilmu kami, akan tetapi ada hal yang jauh lebih penting lagi yang Suheng lupakan, atau sengaja Suheng lewatkan begitu saja sebagai hal yang tidak penting."
Han Ki memandang tajam, hatinya merasa tidak enak.
"Maya-sumoi, apakah maksudmu? Hal apakah yang kulupakan?"
"Suheng, lupakah engkau untuk apa engkau mengajak aku ke pulau ini? Apa pula artinya engkau mengajak Sumoi pulang ke Pulau Es? Suheng, bukankah aku pernah menyatakan bahwa aku hanya mau kembali ke Pulau Es bersamamu, meninggalkan semua urusan dendam pribadi, kalau engkau mau menerima aku sebagai isterimu?"
"Maya-sumoi!"
"Suheng, kuulangi lagi. Aku dan Sumoi bukanlah anak-anak kecil lagi! Tak perlu kiranya dirahasiakan lagi karena memang bukan rahasia bagi kita bertiga bahwa aku mencintamu, Suheng, juga bahwa Khu-sumoi mencintamu pula. Adapun engkau sendiri, sikapmu sungguh menyakitkan hati. Engkau kelihatan mencintaku, akan tetapi juga menyayang Sumoi. Hal ini tidak bisa dilanjutkan tanpa pernyataanmu untuk menentukan, untuk mengambil keputusan. Sebenarnya, siapakah di antara kami yang Suheng cinta dan pilih untuk menjadi isteri?"
Han Ki menjadi pucat wajahnya, sedangkan Siauw Bwee yang tadinya berseri karena merasa yakin bahwa tentu suhengnya yang jelas telah menyatakan cinta kasihnya kepadanya, akan terang-terangan memilih dia, kini menjadi cemas melihat suhengnya kelihatan bingung.
"Khu-sumoi, bagaimana pendapatmu?"
Tiba-tiba Maya berkata kepada sumoinya.
"Bukankah sudah adil dan semestinya kalau Suheng tidak menyiksa hati kita berdua dan mengambil keputusan dengan sejujurnya?"
Khu Siauw Bwee menelan ludah, sukar untuk menjawab. Dia pun seorang dara yang keras hati dan tabah, namun untuk bersikap terbuka dan terang-terangan seperti Maya, bicara begitu jujur mengenai urusan cinta, behar-benar dia tidak sanggup!
Maka dia hanya dapat mengangguk saja karena memang dia setuju sekali akan pendapat Maya itu. Suhengnya memang harus dapat memutuskan urusan mereka itu agar tidak menyiksa hati lagi, mengambil pilihan sehingga tidak menimbulkan perasaan cemburu. Kam Han Ki menarik napas panjang. Memang hal inilah yang dia khawatirkan semenjak dia mengajak Maya dengan paksa kembali ke Pulau Es. Tadinya dia hendak mengulur waktu, membuat mereka berdua itu lupa akan urusan cinta dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang tinggi. Harus dia akui bahwa cinta kasih hatinya condong kepada Siauw Bwee, akan tetapi betapa mungkin dia mengakui hal itu di depan Maya dan menghancurkan perasaan hati Maya yang amat disayangnya itu?
"Maya-sumoi dan Khu-sumoi.... sungguh berat sekali rasa hatiku menghadapi pertanyaan dan desakan kalian ini. Kalian adalah dua orang sumoiku, yang semenjak kecil bersama-samaku di sini. Aku sayang kepada kalian berdua, aku rela membela kalian berdua dengan taruhan nyawaku. Aku sayang kalian seperti sayang diriku sendiri, bagaimana mungkin aku akan dapat menyakiti dan menyiksa hati kalian, dua orang sumoiku yang tercinta, dan hanya kalian berdua saja yang kumiliki di dunia ini?"
Hening sampai lama setelah Han Ki mengeluarkan kata-kata ini dan pemuda itu menundukkan mukanya, cemas sekali menantikan apa yang akan diucapkan oleh mulut kedua orang sumoinya itu.
Maya dan Siauw Bwee memandang kepada Han Ki, dengan sinar mata tajam seolah-olah sinar mata kedua dara itu hendak membelah dada menjenguk isi hati Han Ki. Mereka berdua, terutama Siauw Bwee, merasa penasaran sekali. Bukankah suhengnya itu telah menyatakan cinta kasihnya ketika dirawatnya dahulu? Akan tetapi, ketika itu, ingatan suhengnya belum pulih benar sehingga pada waktu itu di dunia ini tidak ada gadis bernama Maya bagi suhengnya. Sekarang lain lagi! Di sampingnya terdapat Maya, seorang dara yang ia tahu amat cantik jelita dan berilmu tinggi, seorang dara yang amat disayang oleh suhengnya.
"Suheng, kami berdua kini adalah gadis-gadis yang telah dewasa, bukan kanak-kanak lagi. Karena itu, aku pun maklum akan kesulitan yang Suheng hadapi. Semenjak kecil kita bertiga berada di sini, senasib sependeritaan, maka beratlah bagi Suheng kalau di antara kita sampai terpecah. Maka, aku mempunyai usul, kalau saja Suheng dan Sumoi dapat menerimanya untuk mengatasi kesulitan ini."
Dengan penuh harapan Han Ki mengangkat muka memandang wajah Maya yang amat cantik itu. Kecantikan Maya inilah yang benar-benar membingungkan hati Han Ki. Dia memang amat mencinta Siauw Bwee, akan tetapi Maya.... jantungnya selalu berdebar kalau ia memandang wajah sumoinya yang memiliki kecantikan yang luar biasa dan khas itu!
"Apakah usulmu itu, Sumoi?"
Tanyanya penuh harapan karena tentu saja dia ingin sekali dapat keluar dari kesulitan yang membingungkan hatinya itu.
"Karena Suheng tidak dapat berpisah dari kami berdua, dan menyayang kami berdua, tidak mau menyiksa hati kami berdua, jalan satu-satunya bagi Suheng hanyalah menjadikan kami berdua sebagai isteri Suheng."
Pucat seketika wajah Kam Han Ki mendengar usul yang sama sekali tak pernah disangkanya itu. Juga Siauw Bwee memandang wajah sucinya dengan mata terbelalak, akan tetapi ketika Maya juga memandangnya dan kedua orang wanita itu bertemu pandang, seolah-olah ada permufakatan tanpa kata di antara kedua orang dara itu. Pada detik itu Siauw Bwee dapat menyelami hati sucinya dan melihat ketidakmungkinan apabila Suheng mereka diharuskan memilih seorang di antara mereka. Memang hanya itulah jalan satu-satunya yang akan dapat membebaskan mereka dari ancaman kesulitan dan perpecahan.
"Aku tidak melihat jalan lain dan mengingat bahwa kita bertiga senasib sependeritaan sejak kecil aku setuju dengan usul Suci."
Akhirnya Siauw Bwee berkata dengan saura lirih.
"Tidak! Tidak mungkin itu....! Kalian kira aku ini orang apa? Sudah begitu rendahkah batinku sehingga mempergunakan keadaan untuk menang sendiri? Tidak, andaikata kalian rela sekalipun, aku akan mengutuk diri sendiri, Suhu akan mengutuk aku!"
Han Ki yang menjadi bingung itu menutupi muka dengan kedua tangannya. Siauw Bwee dan Maya saling pandang, kemudian terdengar suara Siauw Bwee berkata, suaranya tegas dan dingin,
"Suheng, kiranya bukan demikianlah sikap seorang jantan! Apalagi seorang pemuda seperti Suheng, murid langsung Suhu Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es! Seorang laki-laki harus dapat mengambil keputusan. Suheng, katakanlah sejujurnya, siapakah di antara kami berdua yang Suheng beratkan? Sungguh, aku tidak akan menyalahkanmu andaikata engkau memilih Maya-suci. Katakanlah bahwa engkau hanya mencinta Maya-suci dan memutuskan untuk mengambilnya sebagai isteri, dan aku akan pergi dari sini, tidak akan mengganggu kebahagiaan kalian."
Han Ki menurunkan kedua tangannya dan memandang Siauw Bwee, sinar matanya penuh duka, akan tetapi dia segera menundukkan mukanya lagi, tidak dapat menjawab. Suasana menjadi hening, kemudian terdengar suara Maya, juga amat dingin dan tegas.
"Suheng, tidak kunyana bahwa engkau, pria satu-satunya di dunia ini yang kukagumi, yang kuanggap paling sakti, paling kuat, dan paling jantan, ternyata amat lemah. Mengaku terus terang akan cintamu, engkau tidak berani karena takut melukai hati seorang di antara kami. Kalau engkau mencinta kami berdua, engkau tidak berani menikah dengan kami berdua karena takut kalau dipandang sebagai laki-laki mata keranjang oleh dunia. Kalau begitu, mengapa pula engkau membujuk dan memaksa kami berdua ke sini? Mengapa tidak kaubiarkan saja kami mengembara dan menjauhkan diri darimu yang menyiksa hati kami dengan keraguan? Suheng, perlu apa engkau menghibur kami dengan melatih ilmu-ilmu tinggi? Kami bukan anak-anak kecil lagi, bukan itu yang kami butuhkan."
"Maya-suci benar! Suheng, kalau begitu, biarkan kami pergi lagi meninggalkan tempat ini, meninggalkan Suheng dan tidak perlu Suheng mencari kami lagi!"
Kata Siauw Bwee. Dua orang dara itu sudah meloncat berdiri siap untuk pergi meninggalkan Pulau Es.
"Nanti dulu....!"
Han Ki juga meloncat berdiri, mukanya pucat dan matanya sayu.
"Maya! Siauw Bwee! Berilah waktu padaku. Kalian tidak tahu betapa berat dan sukar bagiku untuk mengambil keputusan dalam hal ini. Sudah kukatakan bahwa, aku mencinta kalian berdua, mencinta sebagai adik-adik seperguruan, sebagai adik-adik kandung sendiri malah! Tiada kebahagiaan bagiku di dunia ini kecuali berdampingan selamanya dengan kalian. Akan tetapi memilih seorang di antara kalian? Benar-benar amat berat dan sukar bagiku. Aku perlu waktu untuk itu. Sekarang begini saja. Biarkan aku sendiri di dalam istana, membuat arca kita bertiga. Sambil membuat arca aku akan memilih, mungkin sekali akan dapat mengambil keputusan setelah jauh dari kalian berdua. Sementara itu, kalian berdua lanjutkan berlatih Swat-im Sin-kang di sini. Kurang lebih tiga bulan lagi, latihan kalian selesai dan pembuatan arca kita bertiga pun akan selesai. Nah, kita bertemu kembali di sini dan aku akan menentukan pilihanku."
Mendengar ini berdebar jantung di dalam dada Maya dan Siauw Bwee. Setelah pemuda itu menyatakan hendak mengambil keputusan, menjatuhkan pilihannya, biarpun hal itu baru akan dilakukan tiga bulan lagi, hati mereka sudah menjadi tegang sekali, tegang dan khawatir, takut kalau-kalau tidak terpilih!
"Kalau tiga bulan lagi engkau belum dapat mengambil keputusan?"
Maya bertanya.
"Kalau demikian, terserah apa yang akan kalian lakukan,"
Jawab Han Ki ragu-ragu karena dia sendiri pun sangsi apakah kelak dia akan dapat mengambil keputusan yang amat sukar dan berat itu. Kembali Maya dan Siauw Bwee saling pandang dan dua orang dara itu telah mengambil keputusan untuk menyetujui permintaan ini. Permintaan terakhir yang akan mengakhiri pula penderitaan batin dan siksaan hati mereka. Biarpun harus menanti dalam tiga bulan, akan tetapi karena dalam tiga bulan itu mereka dapat melatih diri dengan Swat-im Sin-kang, tidak akan terasa terlalu lama.
"Baiklah, aku setuju, Suheng,"
Kata Maya.
"Aku pun setuju,"
Kata pula Siauw Bwee. Han Ki menarik napas lega melihat dua orang sumoinya telah duduk kembali di atas salju.
"Kuharap saja tiga bulan kemudian aku takkan mengecewakan hati kalian. Marilah kuberi petunjuk tentang latihan Swat-im Sin-kang sebelum kutinggalkan kalian untuk mulai memahat arca kita."
Dengan penuh perhatian dua orang dara itu mendengarkan dan melihat petunjuk yang diberikan Han Ki, kemudian di bawah bimbingan suheng mereka itu, mereka mulai dengan latihan sin-kang yang mujijat itu. Karena merupakan ilmu baru, berbeda dengan latihan sin-kang mereka di waktu dahulu, mereka berdua menderita sekali, apalagi setelah tiba di tengah malam yang amat dingin.
Namun, berkat kekuatan tubuh mereka, yang telah memiliki tenaga sakti, terutama sekali Siauw Bwee yang telah memiliki Jit-goat-sin-kang, mereka dapat mengatasi penderitaan itu dan pada keesokan harinya, Han Ki meninggalkan kedua orang sumoinya yang ia percaya akan mampu berlatih tanpa petunjuk dan bimbingannya lagi. Tiga orang penghuni Istana Pulau Es itu melewatkan waktu dengan amat tekun. Maya dan Siauw Bwee tekun berlatih sin-kang dan karena latihan ini membutuhkan pencurahan seluruh perhatian, mereka dapat melupakan urusan mereka dengan Han Ki. Adapun Kam Han Ki yang bekerja dengan tekun di dalam Istana Pulau Es, merasa tersiksa sekali batinnya. Dia bekerja tekun, memahat dan mengukir arca dari batu pualam.
Dia berusaha untuk memilih sambil mengerjakan arca, namun makin dipilih, makin sulit baginya. Ketika dia mengerjakan arca Siauw Bwee, membayangkan sumoinya ini, cintanya makin mendalam dan dia maklum bahwa sesungguhnya kepada Siauw Bweelah cinta kasih hatinya dicurahkan. Dia mencinta Siauw Bwee! Akan tetapi, ketika ia mengerjakan arca Maya, dia membayangkan sumoinya ini dan jantungnya berdebar penuh gairah. Selalu bangkit gairah dan birahinya setiap kali dia teringat kepada sumoinya ini, apalagi ketika membuat arcanya, seolah-olah dia selalu meraba wajah dan tubuh sumoinya. Maklumlah dia bahwa berahinya condong kepada Maya yang memiliki kecantikan luar biasa, kecantikan yang membuat seleranya selalu tergugah.
Akhirnya, ketika dia membuat arcanya sendiri, seolah-olah dia menjenguk dan mengenal dirinya sendiri lebih mendalam, tahulah dia bahwa tak mungkin dia memilih seorang di antara mereka! Kalau dia memilih Maya, hidupnya takkan bahagia karena dia mencinta Siauw Bwee, sungguhpun Maya akan merupakan isteri yang selalu menyenangkan hatinya. Kalau dia memilih Siauw Bwee yang dicintanya, dia akan selalu merasa rindu dan takkan dapat melupakan wajah Maya yang cantik jelita! Kalau dia memilih keduanya seperti yang diusulkan Maya dan disetujui Siauw Bwee, dia yakin tentu akan selalu timbul persaingan dan cemburu di antara kedua orang sumoinya itu yang memiliki watak jauh berbeda. Baru dalam rasa sayang sebagai adik-adik seperguruan saja, semenjak dahulu mereka telah bersaing.
Apalagi membagi cinta kasihnya sebagai suami. Tentu dia akan menjadi perebutan dan akan menciptakan neraka dalam kehidupan mereka bertiga! Sambil menyelesaikan tiga buah arca yang kini telah jadi dan ternyata benar lebih indah daripada tiga buah arca yang dibuatnya dahulu dan yang dihancurkannya, selama beberapa malam Han Ki tidak tidur, tak dapat beristirahat karena hati dan pikirannya penuh dengan persoalan itu. Hari terakhir dari waktu tiga bulan yang diberikan kepada dua orang sumoinya hampir tiba dan dia masihbelum mengambil keputusan dalam pemilihan itu! Bagaimana dia akan dapat menghadapi kedua orang sumoinya dan bagaimana dia akan mengambil keputusan? Tiga bulan lewat sudah. Maya dan Siauw Bwee berhasil melatih Swat-im Sin-kang sampai tingkat terakhir.
Musim dingin telah berlalu, bukit-bukit es yang memenuhi laut di sekeliling Pulau Es sudah banyak berkurang. Salju yang menutupi Pulau Es sudah banyak mencair. Dua orang dara itu menuju ke pantai dan mencoba Swat-im Sin-kang mereka dengan memukulkan kedua telapak tangan mereka ke arah air. Ternyata hawa pukulan mereka yang mengandung Swat-im Sin-kang dahsyat itu telah membuat air membeku dan menjadi bongkahan-bongkahan es sebesar kerbau dan gajah! Akan tetapi, kemajuan hebat dalam ilmu kepandaian mereka ini tidak membuat Maya dan Siauw Bwee gembira. Sebaliknya, mereka makin gelisah karena waktu yang ditentukan telah tiba, seolah-olah sudah mendekatlah keputusan hukuman bagi mereka! Makin gelisah lagi ketika mereka menanti sampai lewat tiga hari, belum juga suheng mereka muncul!
"Eh, Sumoi. Mengapa Suheng belum juga keluar?"
Maya berkata ketika mereka berjalan kembali ke depan Istana Pulau Es.
"Mungkin arcanya belum selesai, Suci,"
Kata Siauw Bwee yang selalu ingin membela Han Ki.
"Selesai atau belum, semestinya dia keluar untuk memenuhi janjinya. Dia tentu sudah tahu bahwa tiga bulan telah lewat, dan tahu pula betapa menyiksanya menanti seperti ini."
Siauw Bwee menghela napas. Sebenarnya dia pun merasa gelisah sekali, akan tetapi dia tidak mau menyatakan di depan sucinya karena dia hendak melindungi Han Ki.
"Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Suheng terlambat, Suci. Biasanya Suheng tidak pernah melanggar janji. Harap Suci suka bersabar satu dua hari lagi, tentu Suheng akan keluar menemui kita."
"Tidak! Kita sudah menunggu tiga hari. Itu sudah cukup. Aku akan menyusulnya ke dalam!"
Setelah berkata demikian, Maya lalu melangkah memasuki Istana Pulau Es untuk mencari Han Ki di dalan ruangan tempat mereka menyimpan arca dahulu, yaitu di ruangan bawah. Melihat ini, tentu saja Siauw Bwee tidak mau tinggal sendiri dan dia pun cepat melangkah maju dan bersama sucinya memasuki istana. Sunyi sekali di dalam istana itu. Dengan jantung berdebar, kedua orang dara itu memasuki ruangan bawah yang pintunya tertutup. Maya mendorong daun pintu, bersama Siauw Bwee memasuki ruangan itu.
Tiga buah arca batu pualam putih berdiri berjajar di situ, amat indah dan hidupnya menggambarkan mereka bertiga! Kam Han Ki berdiri di tengah-tengah, Siauw Bwee di sebelah kanan dan Maya di sebelah kiri. Dua orang dara itu terpesona, sejenak malah lupa kepada Han Ki, memandang tiga buah arca itu dengan mata terbelalak kagum. Benar-benar suheng mereka tidak membohong, tiga buah arca itu indah sekali, jauh lebih indah daripada yang dibuatnya dahulu. Apalagi arca-arca itu menggambarkan keadaan mereka sekarang, berbeda dengan yang dahulu, yang menggambarkan mereka yang masih remaja. Tiga buah arca itu, ini menggambarkan seorang pria tampan dan gagah namun berwajah sayu, dan dua orang dara yang sudah dewasa, bagaikan dua kuntum bunga yang mengharapkan datangnya lebah, memanggil lebah dengan keharuman mereka. Akan, tetapi, ke mana perginya Han Ki?
"Suheng, di mana engkau?"
Tiba-tiba Siauw Bwee berseru memanggil ketika dia tidak dapat menemukan suhengnya di dalam ruangan itu.
"Hemm, dia malah meninggalkan kita. Dia sudah pergi, Sumoi. Lihat!"
Maya berkata, menuding ke bawah. Siauw Bwee menghampiri dan bersama sucinya membaca tulisan yang dicorat-coret di atas lantai.
"Maya-sumoi dan Khu-sumoi, aku masih belum dapat mengambil keputusan. Masih mencari-cari. Maafkan aku terlambat beberapa hari."
"Hemm, Suheng benar-benar mempermainkan kita!"
Maya berkata marah, kakinya menginjak-injak ukiran huruf-huruf di lantai sehingga lantai kembali rata dan huruf-huruf itu lenyap. Melihat ini, Siauw Bwee merasa tidak senang.
"Suci, engkau terlalu. Karena sayangnya kepada kita maka Suheng merasa tersiksa dan sukar mengambil keputusan. Sepatutnya dia dikasihani, mengapa Suci malah marah-marah kepadanya? Lihat betapa indahnya dia membuat arca kita, tanda bahwa Suheng benar-benar mencinta kita dengan sepenuh hatinya. Kalau Suci juga mencintanya seperti aku mencintanya, tentu Suci tidak akan marah, sebaliknya menaruh kasihan kepadanya."
Maya merasa betapa tepatnya ucapan sumoinya dan hal ini menimbulkan rasa cemburu dan marah besar. Ucapan sumoinya itu membayangkan rasa cinta kasih yang mendalam dari sumoinya kepada Han Ki, dan tampaknya membuat cinta kasihnya sendiri hilang artinya! Dengan perlahan dia membalikkan tubuhnya menghadapi Siauw Bwee, memandang tajam dan berubahlah sinar matanya sekarang. Kebencian yang disebabkan rasa cemburu dan iri hati datang lagi setelah Han Ki tidak ada di situ.
"Sumoi, ucapanmu itu seolah-olah engkau hendak menyatakan bahwa Suheng adalah milikmu sendiri! Seolah-olah aku marah dan tidak mencintanya, dan hanya engkau yang mencinta! Sumoi, marilah kita hadapi persoalan ini dengan jujur dan bersikap sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Kita bukanlah wanita-wanita lemah yang memperebutkan pria yang dicintanya dengan linangan air mata! Kita adalah wanita-wanita perkasa yang sudah biasa menyelesaikan segala persoalan dengan ujung pedang! Mengapa sekarang kita bersikap lemah? Sudah jelas bahwa Suheng menjadi lemah sekali menghadapi persoalan ini, dia malah tidak berani menghadapinya dan secara pengecut menjauhkan diri dari persoalan, meninggalkan kita berdua di sini!"
"Cukup! Jangan memaki Suheng! Dia bukan pengecut. Habis, engkau mau apa?"
Siauw Bwee timbul kemarahannya mendengar kekasihnya disebut pengecut.
"Bagus, sikapmu makin menjadi-jadi, seolah-olah engkau hendak memonopoli Suheng! Andaikata kita berdua menjadi isterinya, tentu engkau pun akan bersikap seperti ini, hendak menguasai dia sendiri menjadikan aku saingan yang tidak ada artinya. Jalan satu-satunya hanyalah bahwa seorang di antara kita harus lenyap!"
Siauw Bwee membelalakkan mata dan mengerutkan alisnya.
"Maksudmu....?"
Tanyanya untuk mendapat ketegasan.
"Kita selesaikan persoalan ini di ujung pedang! Tentu saja kalau engkau berani, karena sebagai sucimu tentu tingkatku lebih tinggi darimu. Kalau engkau tidak berani melawanku, engkau harus pergi dari sini dan jangan muncul lagi di sini karena berarti bahwa engkau takut dan sudah kalah dalam memperebutkan Kam-suheng!"
"Suci! Aku sama sekali tidak takut padamu, akan tetapi.... kita adalah saudara seperguruan, mana mungkin bertanding saling bunuh? Pula, memperebutkan cinta dengan taruhan nyawa antara saudara adalah perebutan hina...."
"Cerewet! Kalau takut, perlu apa banyak alasan? Siauw Bwee, ingat, aku adalah seorang peperangan, seorang bekas panglima perang. Tidak ada persoalan lain bagiku kecuali berjuang untuk memperebutkan kemenangan. Yang ada bagiku hanyalah kalah dan menang. Hidup adalah perjuangan, yang menang berhak mendapatkan, yang kalah harus tahu diri dan pergi. Kalau tidak kita putuskan sekarang sewaktu Suheng tidak berada di sini, urusan di antara kita tidak akan ada beresnya!"
Siauw Bwee marah sekali.
"Aku tidak sudi! Aku tidak sudi memenuhi permintaanmu yang gila! Aku akan menanti datangnya Suheng."
Setelah berkata demikian, dengan isak tertahan Siauw Bwee berkelebat keluar dan lari dari situ. Maya melotot memandang arca Han Ki, kemudian berbisik,
"Engkaulah yang mendatangkan ini semua dan engkau akan melihat seorang di antara kami bergelimpang tanpa nyawa!"
Kemudian dia membalikkan tubuh, meloncat dan lari mengejar Siauw Bwee.
Dengan hati marah yang ditahan-tahannya, Siauw Bwee lari ke arah pantai yang merupakan tebing curam di Pulau Es. Dia sengaja mendaki pantai yang tinggi ini karena dia hendak melihat dari tempat tinggi ini untuk mencari suhengnya. Mungkin suhengnya yang ia tahu sedang bingung itu naik perahu dan menjauhkan diri dari pulau untuk mencari "ilham"
Menghadapi persoalan yang ruwet itu. Hatinya marah sekali kepada Maya. Tentu saja dia tidak takut menghadapi sucinya itu. Kalau dahulu saja, sebelum meninggalkan pulau, tingkat kepandaiannya belum tentu kalah oleh Maya, apalagi sekarang, setelah dia mendapatkan banyak tambahan ilmu silat yang aneh-aneh. Dia telah mempelajari Ilmu Kaki Tangan Kilat dari kaum lengan buntung dan kaki buntung mempelajari pula Jit-goat-sin-kang. Dalam Ilmu Swat-im Sin-kang pun kekuatan mereka seimbang. Dia sama sekali tidak takut, akan tetapi dia tidak mau melayani kehendak sucinya yang gila itu.
Kalau mereka bertanding mati-matian, tentu akan menimbulkan malapetaka hebat. Andaikata dia kalah dan tewas, baginya sudah tidak ada urusan lagi. Akan tetapi sebaliknya, kalau dia menang dan sucinya terluka atau tewas, bagaimana dia akan dapat memandang wajah suhengnya? Kalau menurutkan hati marah, tentu saja ingin dia melayani dan melawan sucinya yang juga menjadi saingannya itu. Akan tetapi, cinta kasihnya terhadap suhengnya terlalu besar dan tidak ingin menyakiti hati Kam Han Ki dengan melukai, apalagi membunuh Maya. Setelah tiba di tepi pantai yang merupakan tebing tinggi dan amat curam itu, Siauw Bwee memandang ke sekeliling pulau penuh harapan. Namun dia kecewa karena keadaan di sekeliling pulau sunyi, sama sekali tidak tampak adanya perahu seperti yang diharapkannya. Ia lalu mengerahkan khi-kangnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring sekali, memanggil suhengnya,
"Kam-suheng....!"
Suaranya bergema sampai ke sekeliling pulau. Beberapa kali dia mengulang teriakannya yang melengking nyaring, menghadap ke berbagai penjuru. Namun, tidak ada terdengar jawaban, kecuali gema suaranya sendiri.
"Suheng....!"
"Khu Siauw Bwee, bersiaplah engkau!"
Siauw Bwee terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya Maya telah berdiri di hadapannya, dengan pedang terhunus! Wajah Maya kelihatan bengis dan penuh kebencian.
"Suci, mau apa engkau?"
"Cabut pedangmu dan mari kita selesaikan urusan antara kita, sekarang juga!"
"Aku tidak sudi!"
Jawab Siauw Bwee, menekan kemarahan hatinya.
"Kalau tidak mau, minggat engkau dari sini!"
"Aku pun tidak sudi pergi!"
Jawab pula Siauw Bwee.
"Hemmm, hanya ada pilihan bagimu. Pergi dari sini atau cabut pedangmu menandingiku."
"Kalau keduanya aku tidak sudi....?"
"Akan kubunuh engkau di sini, sekarang juga!"
Maya mengelebatkan pedangnya.
"Suci, engkau telah gila! Engkau gila karena cemburu dan iri hati!"
"Tidak, aku hanya mengambil jalan yang tepat dan singkat untuk menghabiskan persoalan yang berlarut-larut. Suheng tidak dapat mengambil keputusan, engkau pun ragu-ragu dan lemah, maka akulah yang mengambil keputusan. Hayo, cabut pedangmu, kalau tidak, aku akan menyerangmu!"
"Hemmm, Maya-suci, agaknya engkau sudah merasa yakin benar akan dapat menang dariku! Aku tidak takut melawanmu, Suci. Akan tetapi aku tidak mau, karena melawanmu berarti akan membuat Suheng makin berduka. Aku terlalu cinta kepadanya maka aku rela berkorban perasaan menghadapi penghinaanmu ini...."
"Cukup! Lihat senjata!"
Maya menjadi makin marah ketika Siauw Bwee bicara tentang cintanya yang mendalam. Pedang di tangan Maya berubah menjadi sinar terang ketika menusuk ke arah dada Siauw Bwee. Dara ini tidak bergerak, tidak mengelak, tidak menangkis hanya memandang dengan mata terbuka lebar, sedikit pun tidak gentar. Pedang yang meluncur cepat itu tiba-tiba terhenti, tepat di depan dada Siauw Bwee, ujungnya sudah menyentuh baju dan tergetar. Maju beberapa senti meter lagi saja tentu ujung pedang akan menembus dada itu!
"Keparat! Aku bukan seorang pengecut yang suka membunuh orang yang tidak melawan!"
Maya berseru marah sekali.
"Khu Siauw Bwee, engkau adalah seorang pengecut hina kalau tidak berani melawanku, melainkan memancingku agar membunuhmu tanpa melawan sehingga kelak Suheng akan menyalahkan aku. Benar-benarkah engkau seorang pengecut hina?"
Siauw Bwee juga seorang gadis yang berhati keras. Kalau saja dia tidak ingat kepada Han Ki dan tidak ingin menyakiti hati orang yang dicintanya itu, tentu sudah tadi-tadi dia mencabut senjata dan melawan sucinya yang gila oleh cemburu dan iri hati ini. Akan tetapi, sekarang mendengar dia disebut pengecut hina, dia tidak dapat menahan lagi kemarahannya.
"Singgg....!"
Pedangnya telah tercabut.
"Bagus, mari kita selesaikan!"
Maya berseru girang dan menerjang maju dengan pedangnya.
"Trang-cring-cringgg....!"
Bunga api berpijar ketika dua batang pedang itu bertemu bertubi-tubi. Pertandingan itu hebat bukan main. Mereka sama kuat, sama cekatan, dan ilmu pedang mereka pun dari satu sumber. Lenyaplah bayangan tubuh kedua orang dara perkasa itu, terbungkus sinar pedang mereka yang bergulung-gulung seperti dua ekor naga sakti bermain di angkasa raya. Pertandingan itu mati-matian, terutama sekali dari pihak Maya yang benar-benar ingin memenangkan
(Lanjut ke Jilid 38)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 38
pertandingan itu. Sebagai seorang yang biasa mempergunakan siasat perang yang keras dara ini sudah mengambil keputusan untyk membunuh sumoinya dalam pertandingan ini.
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan sekali-kali karena bencinya terhadap sumoinya, melainkan dia tidak dapat melihat jalan lain. Dia harus menang dan kalau kelak Han Ki datang, pemuda itu tentu tidak dapat menyalahkan dia yang menang dalam pertandingan yang terbuka dan adil. Kalau Siauw Bwee tewas, dia mendapat banyak kesempatan untuk menghibur Han Ki, dan tentu cinta kasih pemuda yang terpecah itu akan dicurahkan seluruhnya kepadanya. Akan tetapi, betapa kaget hati Maya ketika ia mendapat kenyataan bahwa gerakan Siauw Bwee jauh lebih hebat dari dahulu! Gerakan kaki dan tangan sumoinya itu amat cepat dan aneh membuat dia bingung dan kadang-kadang dia terdesak hebat. Maklumlah dia bahwa tentu selama dalam perantauan ini, sumoinya telah mempelajari ilmu silat baru yang hebat!
Dan dia hanya membuang waktu perantauannya dengan ilmu perang saja! Maya amat cerdik. Diam-diam dia memperhatikan gerakan kaki dan tangan Siauw Bwee dan berusaha menyelami dan mempelajari intinya. Namun, sedikit saja dia membagi perhatian, sinar pedangnya terkurung dan dia hanya mampu menjaga diri saja tanpa mampu menyerang sedikit pun juga! Maya makin terkejut, lalu berusaha mencari kemenangan dengan mengandalkan tenaga sin-kangnya. Dahulu, sebelum mereka meninggalkan pulau, tingkat sin-kangnya masih menang sedikit dibandingkan dengan sumoinya, dan tentu gemblengan-gemblengan dalam perang yang dialaminya membuat tenaganya lebih kuat lagi. Dengan pengerahan sin-kang sekuatnya pedangnya menyambar dan menangkis, dengan maksud untuk membuat pedang sumoinya patah atau terpental.
"Cringgg....!"
Nyaring sekali bunyi kedua pedang yang bertemu itu dan akibatnya, Siauw Bwee terhuyung mundur dua langkah sedangkan Maya mundur tiga langkah!
"Aihhh....!"
Tak terasa lagi Maya berteriak kaget. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa dalam tenaga sin-kang pun dia kalah kuat sedikit! Hal ini tidaklah aneh karena Siauw Bwee mendapat tambahan tenaga baru dari ilmunya Jit-goat Sin-kang.
Kemarahan Maya menjadi-jadi. Dia menubruk ke depan dan melakukan terjangan membabi-buta, agaknya kini bermaksud mengadu nyawa! Lebih baik mati bersama daripada dia kalah dan kehilangan Han Ki! Kalau dia menghendaki, biarpun tidak terlalu mudah, agaknya Siauw Bwee akan dapat keluar dari pertandingan itu sebagai pemenang. Namun, dara ini di balik kemarahannya masih sadar bahwa dia tidak boleh melukai sucinya, apalagi membunuh karena hal itu mungkin akan menjadi sebab putusnya hubungan cinta antara dia dan Kam Han Ki. Karena inilah, maka dia selalu menjaga gerakannya agar jangan sampai mendatangkan serangan maut yang mengancam nyawa lawan dan kalau mungkin, dia hanya akan mengalahkan sucinya tanpa mendatangkan luka berat.
Akan tetapi, tentu saja hal ini sama sekali tidak mudah. Biarpun dia dapat menandingi sucinya karena ilmu-ilmu gerakan kilat dan Jit-goat Sin-kang, namun kelebihan tingkatnya tidak berapa banyak. Betapapun lihainya Ilmu Gerak Kilat dan Jit-goat Sin-kang, tidaklah melebihi kehebatan ilmu-ilmu yang diajarkan Han Ki kepada mereka. Keunggulan Siauw Bwee hanya karena ilmu-ilmu itu tidak dikenal oleh Maya, membuat sucinya menjadi bingung dan terdesak. Lebih dari dua ratus jurus mereka bertanding namun belum ada yang kalah atau menang. Jangankan terluka bahkan tiada yang berhasil merobek ujung baju lawan sekalipun! Maya makin penasaran, dan Siauw Bwee makin gelisah. Mengapa suhengnya belum juga datang?
Sukar untuk menahan serbuan dahsyat sucinya, dan kalau dia mengalah terus, lambat laun dia sendiri yang akan celaka, akan terluka dan mungkin terancam maut! Karena itu, mulailah Siauw Bwee mempercepat gerakannya dan membalas serangan sucinya dengan jurus-jurus dahsyat. Biarpun dia menggunakan jurus-jurus yang ia pelajari dari suhengnya, namun dia memasukkan inti gerakan dari gerak kilat kaki tangannya yang ia pelajari dalam perantauannya. Menghadapi serangan dahsyat ini, Maya menjadi bingung dan terdesak mundur terus. Dia menggigit bibirnya melawan dan membalas dengan serangan maut, namun pembalasan serangannya hanya membuat pertahanannya kurang rapat dan dengan gerakan seperti kilat menyambar, ujung pedang lawannya sudah berhasil menembus pertahanan Maya dan melukai pundak kirinya!
"Aihhh....!"
Maya terhuyung dan biarpun dia mempertahankan, tetap saja tubuhnya tergelincir dan roboh miring. Pundaknya terbabat ujung pedang dan mengeluarkan banyak darah, membuat lengan kirinya seperti lumpuh. Siauw Bwee terbelalak, pucat mukanya. Dia melempar pedangnya dan menubruk Maya.
"Suci....!"
Siauw Bwee menubruk untuk menyatakan penyesalan hatinya, untuk minta maaf. Akan tetapi tidak demikian perkiraan Maya. Karena matanya gelap dan kepalanya pening akibat luka dan kemarahan, dia mengira bahwa gerakan Siauw Bwee itu merupakan gerakan susulan, merupakan serangan maut untuk membunuhnya. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia membabat dengan pedang di tangannya, dengan tubuh masih rebah miring.
"Singgg.... crakkk! Aduuuhhh.... Suci....!"
Tubuh Siauw Bwee tergelimpang, sebelah kakinya buntung terbabat pedang tadi, darah muncrat dari paha yang buntung.
"Suci.... kau.... kau....!"
Siauw Bwee meloncat bangun, menyambar kakinya yang buntung. Maya sudah bangkit duduk, mukanya pucat sekali. Baru sekarang dia mengerti betapa dia telah salah duga. Pedang sumoinya ternyata ditinggalkan, dan kini tahulah dia bahwa sumoinya tadi bukan menyerangnya, melainkan hendak memeluknya, dapat dibayangkan betapa hancur hatinya. Dia memandang pedangnya dengan pandang mata jijik, kemudian memandang sumoinya yang memandangi kaki yang buntung.
"Sumoi.... aduh.... Sumoi.... apa yang telah kulakukan....!"
"Suci....!"
"Sumoi....!"
Kedua orang itu berpandangan, kemudian Maya meloncat berdiri, menghampiri sumoinya dan memeluknya.
"Sumoi.... kau ampunkan aku...."
Maya memeluk dan menciumi sumoinya akan tetapi melihat sumoinya diam tak bergerak, disangkanya sumoinya telah tewas, maka dia menjerit-jerit memanggil nama sumoinya, kemudian roboh terguling, pingsan sambil merangkul tubuh Siauw Bwee yang juga pingsan. Mereka tidak tahu betapa pada saat mereka mulai bertanding tadi, badai datang mengamuk. Tidak tahu betapa Han Ki yang datang dengan perahu karena mendengar suara panggilan Siauw Bwee tadi sedang berjuang mati-matian di tengah badai. Han Ki mendayung perahunya dengan susah payah karena perahu itu diombang-ambingkan gelombang. Dengan hati berdebar penuh kegelisahan memikirkan kedua orang sumoinya, Han Ki mengerahkan seluruh tenaganya, namun sampai lama sekali barulah akhirnya dia berhasil minggirkan perahunya dan meloncat ke darat.
Badai masih mengamuk hebat, seolah-olah laut menjadi marah menyaksikan pertandingan antara suci dan sumoi yang mati-matian tadi. Han Ki sama sekali tidak pernah mengira bahwa kedua orang sumoinya itu bertanding mati-matian di atas tebing, di pantai yang curam. Dia berlari-lari ke istana, hendak memperingatkan kedua sumoinya bahwa badai dan taufan datang mengamuk. Akan tetapi, istana itu sunyi, kedua orang sumoinya tidak berada di situ. Dia mulai memanggil-manggil dan berlari ke sana-sini. Akhirnya dia berlari naik ke atas tebing yang tinggi dan berdiri terbelalak, kedua kakinya seperti mendadak lumpuh tak dapat digerakkan. Bahkan dia hampir pingsan menyaksikan pemandangan di depan itu! Apa yang dilihatnya memang telalu mengerikan bagi Han Ki. Kedua sumoinya saling berpelukan dan bertangisan di atas tanah yang masih bersalju, yang kini menjadi merah oleh darah!
Dia tidak tahu bahwa kedua orang dara itu telah siuman kembali dan bertangisan tanpa kata-kata. Yang membuat Han Ki hampir pingsan adalah melihat sebelah kaki Siauw Bwee buntung dan pundak Maya terluka berat. Tiba-tiba Siauw Bwee merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan Maya, kemudian tubuh gadis itu mencelat ke pinggir tebing, dikejar oleh Maya yang menjerit-jerit kini memanggil nama Siauw Bwee dan menangis. Namun terlambat, tubuh Siauw Bwee sudah mencelat ke bawah tebing, ke arah air laut yang sedang bergemuruh dan dahsyat bergelora itu! Maya menjerit-jerit, kemudian gadis itu meloncat ke bawah mengejar sumoinya! Han Ki terlampau kaget dan ngeri ketika dapat bergerak. Andaikata dia dapat bergerak pun akan terlambat, karena jaraknya terlampau jauh. Kini dia berloncatan dan berlarian seperti orang gila sambil berteriak-teriak,
"Siauw Bwee....! Maya....!"
Han Ki berdiri di pinggir tebing dan matanya terbelalak memandang gelombang ombak yang begitu dahsyat, seolah-olah timbul ribuan buah kepala naga siluman yang siap mencaplok apa saja yang berani turun! Betapapun dia mencari dengan pandang mata terbelalak, tidak tampak adanya dua orang sumoinya yang tadi dilihatnya meloncat ke bawah.
"Maya-sumoi....! Khu-sumoi....!"
Kembali dia memekik, kemudian dia menuruni tebing yang curam sekali itu.
Sungguh mengerikan sekali melihat Han Ki berlari dan berloncatan turun. Sekali terpeleset tubuhnya tentu akan hancur ke bawah dan ditelan gelombang ombak yang amat dahsyat, yang tak mungkin dapat dilawan oleh tenaga manusia. Badai mengamuk terus, air laut naik tinggi. Suara angin taufan bercampur air laut yang memecah di batu karang mengerikan hati. Langit menjadi gelap, bukan hanya oleh awan hitam, akan tetapi juga oleh kabut yang dibentuk oleh air yang memecah di batu karang, kemudian turun hujan dari atas. Pulau Es seakan-akan hendak kiamat. Diserang gelombang badai mengamuk, pulau itu tergetar dan terselimut kabut hitam. Suara bergemuruh dahsyat seperti bersorak-sorai setan-setan yang muncul dari permukaan laut, di antara suara bergemuruh dari badai mengamuk ini, terdengar selingan suara lengking panjang,
"Maya....! Siauw Bwee....!"
Dan tampaklah bayangan Han Ki berlari-larian di sepanjang pantai Pulau Es, tersaruk-saruk, kadang-kadang terjatuh dan dilemparkan ombak yang menyeret kakinya. Bangun lagi, berlari-lari, berteriak-teriak dengan pengerahan khi-kangnya, memanggil-manggil nama kedua orang sumoinya tanpa hasil. Kedua sumoinya tidak ada yang menjawab, tidak ada yang muncul, seolah-olah sudah ditelan ombak membadai. Mengerikan dan menyedihkan.
Sebuah perahu kecil dipermainkan ombak bergelombang dalam badai itu. Diangkat tinggi-tinggi di puncak sebuah gelombang yang setinggi bukit, kemudian dihempaskan ke bawah dan seolah-olah ditelan oleh mulut naga air, akan tetapi muncul kembali, diayun-ayun dan diputar-putar. Tiang layar perahu itu sudah lenyap, juga dayung-dayungnya. Yang ada tinggal perahunya yang telanjang dan seorang penghuninya yang tubuhnya terikat pada perahu. Seorang laki-laki muda yang pingsan dan sama sekali tidak merasakan betapa perahunya dipermainkan ombak dahsyat. Untung baginya karena kalau dia tahu akan hal ini, mungkin sekali jantungnya tidak akan kuat menahan kengerian seperti itu!
Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia merasa penasaran ketika melihat Maya dibawa pergi oleh Kam Han Ki. Dia melakukan pengejaran dan berlari secepat dan sekuatnya. Namun tentu saja dia tidak dapat menyusul larinya Kam Han Ki yang memiliki kesaktian tinggi itu. Betapapun juga, Suma Hoat tidak pernah berhenti melakukan pengejaran dengan bertanya-tanya di jalan. Akhirnya dia mendapat keterangan dalam penyelidikannya bahwa Kam Han Ki dan Maya melanjutkan perjalanan dengan perahu di pantai utara yang didatanginya itu. Dia pun lalu melakukan pengejaran dengan perahu, walaupun jarak waktu antara dia dan mereka sudah hampir dua pekan!
Mulailah pemuda yang menjadi korban perasaan asmara yang menggelora itu melakukan pelayaran di daerah yang sama sekali asing baginya, melakukan pengejaran terhadap perahu lain yang tidak dia ketahui ke arah mana perginya. Suma Hoat mengambil keputusan untuk mencari Maya atau Khu Siauw Bwee sampai dapat. Dia tahu bahwa mereka tentulah berada di Pulau Es dan dia harus dapat menemukan Pulau Es. Seorang di antara dua orang dara yang dicintanya itu akan menjadi isterinya. Perbuatan pemuda itu benar-benar merupakan perbuatan yang amat nekad. Sudah sejak puluhan, bahkan ratusan tahun tokoh-tokoh kang-ouw mencari-cari Pulau Es tanpa hasil, sehingga akhirnya di dunia kang-ouw hanya terdapat semacam dongeng saja tentang Pulau Es, dianggapnya bahwa pulau itu tidak ada kenyataannya karena tidak pernah ada yang berhasil menemukannya.
Kini, dengan berperahu kecil, tanpa petunjuk hanya bermodal jejak Kam Han Ki yang dikabarkan melanjutkan perjalanan dengan perahu dari pantai itu, Suma Hoat mencari Pulau Es. Dia benar-benar sudah nekat karena cinta kasihnya. Dia seperti seorang yang sudah kelaparan dan kehausan, haus dan lapar akan cinta karena selama ini dia hanya tenggelam dalam nafsu berahi, tidak pernah mengenal cinta yang sesungguhnya. Lebih dari dua bulan dia hidup di atas perahunya yang mengarungi lautan bebas dan asing. Bekal makanannya sudah lama habis dan untuk menyambung hidupnya, Suma Hoat terpaksa makan ikan laut. Kadang-kadang dia mendapatkan binatang darat di atas pulau karena sudah banyak sekali pulau dia datangi dan yang ternyata bukan Pulau Es, melainkan pulau-pulau kosong yang tidak ada penghuninya.
Pada hari itu, secara tiba-tiba badai mengamuk dan menimbulkan gelombang-gelombang sebesar bukit. Betapapun kuatnya kedua lengan Suma Hoat menggerakkan dayung, namun sama sekali tidak ada artinya bagi lautan yang sedang mengganas itu. Dia sama sekali tidak berdaya, seperti seorang bayi dan akhirnya, setelah dia hampir tidak kuat bertahan lagi, Suma Hoat mengikat tubuhnya, melibatkan tali dengan erat pada tubuhnya, diikat pada perahu kemudian menyerahkan nasibnya kepada lautan. Tubuhnya yang terikat pada perahu itu dipermainkan gelombang, diangkat tinggi-tinggi dan dihempaskan kembali, disambut gelombang lain, dilontarkan ke atas dan dibanting lagi sampai dia pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi dengan perahu dan tubuhnya.
Dia tidak tahu berapa lama dia dijadikan permainan gelombang dan sampai berapa jauh dia dihanyutkan. Melihat keadaan Suma Hoat pada waktu badai mengamuk itu, sungguh mengerikan dan semua yang melihatnya tidak ada yang akan menduga bahwa dia akan dapat keluar dari keadaan itu dengan selamat. Akan tetapi apakah yang dapat menentukan mati hidupnya seorang manusia? Kalau belum tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat mematikannya, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan apa pun yang akan dapat menyelamatkannya. Suma Hoat siuman dan membuka matanya. Kepalanya terasa pening sekali, tubuhnya nyeri semua dan tenaganya habis.
Akan tetapi tubuhnya tidak bergerak-gerak lagi, perahu di mana tubuhnya terikat itu tidak diombang-ambingkan gelombang lagi. Dia masih mendengar suara bergemuruh, suara badai mengamuk, akan tetapi perahunya tidak lagi di atas air, melainkan berada di atas daratan yang kokoh kuat! Dia selamat! Perahunya telah dilontarkan gelombang ke atas daratan, sedemikian jauhnya sehingga tidak ada lagi gelombang yang dapat mencapainya. Suma Hoat mengerahkan tenaga untuk membikin putus ikatan pada tubuhnya. Namun dia mengeluh dan kaki tangannya terkulai lemas. Agaknya tidak ada sisa tenaga lagi di tubuhnya. Akan tetapi tali itu telah mengendur dan dengan perlahan dia meloloskan kedua lengan, kemudian membuka tali yang mengikat tubuhnya itu dari perahu.
Ketika dia bangun duduk, kepalanya berdenyut-denyut dan pandang matanya berkunang. Sejenak dia memejamkan mata, ketika dibukanya kembali dan denyut di kepalanya tidak begitu hebat, dia memandang ke sekelilingnya. Air laut masih mengganas, ombak membesar dan angin badai masih mengamuk. Akan tetapi dia telah terdampar ke sebuah pulau yang cukup besar. Tiba-tiba dia mendengar suara mengerikan. Suara melengking dahsyat, suara memekik-mekik seperti bukan suara manusia. Pekik melengking seperti itu keluar dari dalam dada setan dan iblis, pikirnya ngeri. Dia lalu menyeret tubuhnya sendiri makin naik ke tengah pulau agar jangan sampai tercapai gelombang. Tidak lupa dia menggunakan seluruh tenaga untuk menyeret perahu. Perahu itu telah menyelamatkan nyawanya, dan dia masih amat membutuhkannya untuk membawanya keluar dari tempat ini.
Setelah melakukan hal itu, Suma Hoat lalu duduk bersila, mengatur napas untuk memulihkan tenaganya sambil menanti berhentinya badai yang masih mengamuk dahsyat. Untung bahwa dia telah memiliki ilmu Jit-goat Sin-kang yang mengandung unsur Yang-kang dan Im-kang. Dengan Im-kang di tubuhnya, dia dapat melawan hawa dingin yang luar biasa itu, hawa dingin yang seolah-olah keluar dari dalam tanah pulau yang didudukinya. Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia telah berada di Pulau Es! Angin taufan mulai mereda, agaknya sudah cukup puas mengamuk selama hampir sehari semalam. Suara bergemuruh pun berhenti. Suma Hoat yang telah beberapa lamanya duduk bersila mengatur napas, merasa tenaganya sudah pulih sebagian.
Kepeningan kepalanya menghilang dan sungguhpun tubuhnya masih lelah dan rasa nyeri-nyeri di seluruh tubuh masih terasa, dia sudah merasa ringan dan membuka matanya. Laut di pantai tidak bergelombang hebat lagi, yang terdengar hanyalah suara berkerosoknya air yang menipis habis di pantai datar. Suma Hoat teringat akan suara melengking yang didengarnya ketika badai masih mengamuk tadi. Dia bangkit perlahan, membalikkan tubuh memandang ke arah tengah pulau yang kini tidak diselubungi kabut. Ia tercengang dan memandang terbelalak ketika samar-samar tampak sebuah bangunan di tengah pulau! Hampir dia tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Digosoknya kedua matanya, lalu memandang lagi. Tidak berubah. Bangunan itu masih berdiri megah di tengah pulau. Seperti sebuah istana.
"Istana....? Istana.... Pulau Es....?"
Tak terasa lagi mulut Suma Hoat berbisik.
Teringatlah dia akan suara melengking nyaring ketika terjadi badai. Mungkin saja suara manusia kalau manusianya adalah penghuni Istana Pulau Es yang dia tahu amat sakti. Bangkit semangatnya setelah timbul dugaan dan harapan di hatinya bahwa dia berada di Pulau Es, secara kebetulan dan aneh sekali tiba di pulau yang memang dicari-carinya itu. Jantungnya berdebar keras. Apakah dia akan berjumpa dengan Khu Siauw Bwee dan Maya? Apakah kedua orang dara yang dicintanya itu berada di sana? Ketika ia tiba di depan bangunan yang indah dan megah itu, Suma Hoat menjadi ragu-ragu untuk masuk. Dua orang dara itu, sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat sekali, apalagi suheng mereka, Kam Han Ki.
Mereka bertiga adalah orang-orang sakti. Tanpa seijin mereka, bagaimana dia berani memasuki istana itu? Akan tetapi, setelah menghadapi ancaman-ancaman maut di lautan ketika dia mencari dua orang dara itu, ketika mencari Pulau Es, mengapa kini dia merasa takut akan ancaman kemarahan mereka? Tidak, dia tidak takut karena memang dia sudah nekat. Mereka adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi, tidak mungkin akan mudah marah hanya karena dia masuk ke istana tanpa ijin saja. Dengan pikiran ini, melangkahlah Suma Hoat memasuki istana yang kelihatan sunyi sekali itu. Ruangan depan istana itu kosong, demikian pula ruangan tengah. Selagi dia kebingungan karena merasa betapa istana itu menyeramkan dengan kesunyian dan keindahannya, tiba-tiba dia mendengar suara orang, seperti tengah bersenandung atau membaca doa!
Dia segera menuruni anak tangga perlahan-lahan dan berhenti di depan sebuah pintu yang tertutup, menahan napas mendengarkan suara seorang laki-laki yang sedang membaca sajak! Suara itu gemetar, kadang-kadang terisak, kadang-kadang tersendat-sendat dan diseling tarikan napas panjang penuh kedukaan. Suma Hoat mendengarkan dengan jantung berdebar dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi dia tidak berani lancang memasuki ruangan di balik pintu yang tertutup itu. Dia hanya mendengarkan. Mula-mula suara itu bersajak, dengan nada suara penuh duka, penuh lontaran pertanyaan dengan suara merintih.
Aduhai sayang, mengapa kalian begitu kejam?
Mengapa kalian hancurkan cinta yang indah?
Haruskah cinta berdampingan dengan benci?
Di mana ada cemburu dan iri,
adakah cinta di sana?
Aduhai sayang,
sesungguhnya siapa yang kalian cinta?
Akukah.... atau diri kalian sendiri?
Suma Hoat tertegun dan bingung. Suara siapakah itu? Dan apa maksudnya? Apa yang telah terjadi dengan pria itu sehingga mengeluarkan rintihan yang keluar dari hati yang rusak dan hancur? Dia mendengarkan lagi, karena kembali suara laki-laki itu bersajak, kini tidak terdengar penuh duka, bahkan berwibawa sungguhpun suara itu masih menggetar penuh perasaan.
Setiap orang manusia ingin dicinta
tanpa ada yang menyayang,
hidup terasa hampa, mengapa....?
Karena hatinya tidak mengenal cinta!
yang tidak mengenal cinta, haus akan cinta
dia yang hatinya penuh oleh cinta sejati
tidak lagi mengharapkan dirinya dicintai
cinta sejati hanya kenal memberi
tak tahu minta, tak ingin jasa!
Untuk kedua kalinya Suma Hoat tertegun. Kini bahkan mukanya terasa panas. Dia merasa seolah-olah dia disindir. Selama bertahun-tahun, semenjak dia ditinggal mati cinta pertamanya, Ciok Kim Hwa, dia haus akan cinta kasih wanita. Akan tetapi dia pun tidak pernah jatuh cinta. Yang ada terhadap wanita-wanita yang diperkosanya hanyalah nafsu semata. Adakah hatinya tidak mengenal cinta? Setelah bertemu dengan Maya dan Siauw Bwee, adakah perasaannya terhadap dua orang dara itu pun bukan cinta maka dia mengharapkan balasan cinta kasih mereka? Aihh, dia tidak mengerti sama sekali, namun di sudut hatinya, ada sesuatu yang terpesona dan tergetar oleh isi kata-kata orang yang belum dilihatnya itu. Kembali dia memperhatikan karena suara itu telah bicara kembali.
Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
namun Siansu berkata :
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapapun juga, cinta segi tiga
tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!
Kini Suma Hoat terkejut. Orang itu menyebut-nyebut Siansu, bukankah yang dimaksudkan itu adalah Bu Kek Siansu, manusia dewa yang hanya didengarnya dalam dongeng? Dan bukankah murid manusia dewa itu adalah Maya, Khu Siauw Bwee dan suheng mereka, Kam Han Ki? Kalau begitu, tentu Kam Han Ki laki-laki di dalam itu! Selagi ia hendak melangkah maju, tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu yang masih tertutup,
"Suma Hoat, bagaimana engkau bisa sampai di sini dan apa kehendakmu?"
Suma Hoat makin kaget. Cepat dia menjura di tempatnya sambil berkata,
"Harap Kam-taihiap sudi memaafkan. Terus terang saja, semenjak perpisahan di medan perang dahulu, saya terus mengikuti, kemudian mencari-cari Taihiap yang saya duga tentu berada di Pulau Es. Namun, berbulan-bulan saya tersesat di lautan, dan hanya oleh kehendak Thian saja maka saya dapat tiba di tempat ini, terbawa hanyut oleh badai yang mengamuk."
Daun pintu terbuka dan Suma Hoat hampir meloncat mundur saking heran dan kagetnya ketika ia melihat orang yang muncul dari pintu itu. Dia masih mengenal wajah Kam Han Ki, akan tetapi pakaian orang sakti ini koyak-koyak, rambutnya awut-awutan, mukanya pucat sekali, matanya merah dan wajah yang tampan itu seolah-olah bertambah tua belasan tahun dalam waktu tiga bulan ini! Akan tetapi, kekhawatiran hati Suma Hoat lenyap ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kam Han Ki. Sama sekali tidak ada tanda marah pada pandang mata itu, pandang mata yang masih amat tajam menembus jantung dan menjenguk isi hati, akan tetapi begitu lembut dan penuh pengertian!
"Suma Hoat, setelah kami bertiga melupakan segala urusan pribadi antara kami dengan orang tuamu, mengapa engkau masih mencari perkara dengan melakukan pengejaran kepada kami? Setelah kini engkau berhasil mendarat di Pulau Es, apakah kehendakmu?"
Suma Hoat menundukkan mukanya. Tidak dapat dia menahan pandang mata Han Ki yang begitu lembut namun begitu penuh kekuatan. Sambil bertunduk dia menjawab,
"Maaf, Taihiap. Terus terang saja, setelah saya mengetahui bahwa Nona Maya dan Nona Khu Siauw Bwee, keduanya jatuh cinta kepadamu, saya menjadi penasaran dan melakukan pengejaran. Tak mungkin keduanya menjadi milikmu, tentu seorang di antara mereka akan kau tolak cintanya dan di situlah terbuka harapan dan kesempatanku, Taihiap. Tak perlu kupungkiri lagi, saya mencinta kedua orang nona itu dan hanya kalau seorang di antara mereka dapat menjadi isteri saya, hidup saya akan bahagia."
Mulut di wajah yang pucat itu tersenyum, senyum yang mengandung iba hati. Alisnya berkerut, kemudian dia membukakan daun pintu lebar-lebar sambil berkata,
"Dua orang nona yang kau cari sudah tidak ada lagi, Suma Hoat. Yang ada tinggal inilah!"
Suma Hoat memandang ke dalam dan matanya terbelalak.
Di dalam ruangan itu terdapat tiga buah arca dari batu pualam yang amat indah sekali seolah-olah hidup dan bernapas! Arca tiga orang yang amat dikenalnya. Yang berdiri di tengah adalah arca Kam Han Ki sendiri, akan tetapi sayang arca itu bercacat, berlubang dua buah di dahinya, karena dalam kedukaannya tadi Han Ki telah menusuknya dengan dua buah jari tangannya. Di sebelah kanan, yaitu di pinggir kiri arca pria itu, adalah arca Khu Siauw Bwee, cantik jelita, bertubuh ramping dengan wajah yang lemah-lembut, akan tetapi anehnya, sebelah kaki arca itu buntung! Adapun arca ke tiga yang berdiri di sebelah kanan arca Han Ki, adalah arca Maya yang amat cantik dan agung, tanpa cacat, tidak seperti dua arca yang bercacat itu.
"Apa.... apa maksudmu? Di mana mereka? Apa yang telah terjadi?"
Hati Suma Hoat merasa tidak enak sekali, apalagi ketika dia teringat akan keadaan Kam Han Ki yang dihimpit kedukaan dan teringat akan isi sajak-sajak tadi. Kam Han Ki menutupkan kembali daun pintu, kemudian memberi isyarat dengan tangan, mengajak Suma Hoat keluar dari istana. Setelah tiba di luar istana, dia mempersilakan Suma Hoat duduk di atas batu hitam yang biasa dipergunakan sebagai tempat berlatih sin-kang.
Mutiara Hitam Eps 32 Cinta Bernoda Darah Eps 17 Mutiara Hitam Eps 9