Ceritasilat Novel Online

Istana Pulau Es 15


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



Tosu itu ternyata lihai sekali. Pedangnya menyambar-nyambar merupakan gulungan sinar putih sehingga biarpun Gin Sim Hwesio sudah menggerakkan tongkat dan tasbihnya, dibantu pula oleh murid kepala, tetap saja kedua orang hwesio ini terdesak. Betapapun juga, mereka berdua masih mampu mempertahankan diri, tidak seberat tadi ketika Thai-lek Siauw-hud masih membantu Si Tosu. Adapun Im-yang Seng-cu, biarpun masih tertawa-tawa, namun dia kini bersilat dengan hati-hati sekali. Setelah para pengeroyoknya tinggal tiga orang, tadinya ia memandang ringan, akan tetapi begitu Si Gendut Pendek itu maju, dia terdesak dan maklumlah dia bahwa tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud tidak kalah jauh olehnya. Thai-lek Siauw-hud, kematian sudah di depan mata, engkau masih banyak berlagak? Im-yang Seng-cu masih mengejek.

   "Hu-ha-ha! Bualanmu tidak akan menolongmu Im-yang Seng-cu! Sayang kau tidak pernah bersepatu sehingga kalau mati, jangankan sorga, neraka pun tidak akan sudi menerima orang tak sopan, bertelanjang kaki!"

   Im-yang Seng-cu tertawa dan diam-diam ia mendongkol karena sekarang, ia bertemu batunya. Ternyata Si Pendek itu pun suka tertawa dan suka berkelakar. Ia lalu menjalankan siasatnya yang ia dapatkan ketika merantau ke utara, di mana ia mempelajari ilmu gulat dari bangsa Mongol.

   Ketika tiga batang pedang menyambar, disusul sambaran Si Gendut yang lihai, ia cepat memutar tongkatnya dengan pengerahan tenaga sehingga tiga batang pedang itu terpental dan tiga orang pengeroyoknya meloncat mundur dengan kaget, dan pada saat golok menyambar. Im-yang Seng-cu sengaja memperlambat gerakan mengelak. Akan tetapi begitu sinar golok lewat di atas pundak, ia merendahkan tubuh, menangkap pergelangan tangan lawan! Sedetik mereka bersitegang, dan tiba-tiba tubuh yang gendut pendek dari Thai-lek Siauw-hud terlempar ke atas kepala Im-yang Seng-cu! Inilah bantingan dari gulat yang dimiliki Im-yang Seng-cu. Dalam adu tenaga, ia mendapat kenyataan bahwa julukan Thai-lek tidaklah kosong Si Gendut Pendek itu kuat sekali maka ia tadi telah cepat membalikkan tubuh dan melontarkan tuuh si gendut tu dengan kekuatan dari bokong dan punggungnya.

   "Ngekkk....broooottt!"

   Tubuh si Gendut terbanting dan ketika ia mengerahkan sin-kang untuk melawan bantingan, tanpa disengaja lubang belakangnya melepaskan kentut besar!

   "Idiiih....! Bau....! Bau....!"

   Im-yang Seng-cu memijat hidung dengan jari tangan kiri sedangkan tangan kanannya memutar tongkat menyambut serangan perwira gemuk dan dua orang kang-ouw. Muka Thai-lek Siauw-hud merah sekali. Dia tidak terluka akan tetapi telah terbanting sampai terkentut-kentut!

   Memang aneh sekali Thai-lek Siauw-hud ini, dia mempunyai semacam penyakit yang mungkin timbul karena kesalahan berlatih sin-kang dahulu. Entah terlalu banyak angin di dalam perutnya yang gendut itu, ataukah karena lubang belakangnya sudah longgar, akan tetapi setiap kali ia mengerahkan tenaga sin-kang sekuatnya dan hawa sakti terkumpul di perut, selalu tentu ada saja hawa yang bocor sedikit ke belakang sehingga menimbulkan suara kentut yang nyaring! Ketika menghadiri ulang tahun Coa-bengcu di pantai Po-hai dahulu pun, dalam mengikuti pameran tenaga mengangkat benda berat, ia sudah melepas kentut pula dan sekarang, karena terbanting ia mengerahkan sin-kang agar tidak terluka, ia terkentut pula. Rasa malu membuat dia marah sekali dan bagaikan seekor harimau terluka, ia menerjang maju memutar goloknya sambil memaki,

   "Im-yang Seng-cu calon bangkai! Makanlah golokku!"

   Hebat bukan main serangan Thai-lek Siauw-hud yang marah sehingga Im-yang Seng-cu tidak berani main-main, cepat mainkan jurus-jurus pertahanan dengan ketat, menahan serangan golok dan tiga batang pedang yang bertubi-tubi itu. Sekali ini ia terdesak hebat seperti halnya Gin Sim Hwesio dan murid kepalanya. Gin Sim Hwesio mulai merasa khawatir karena murid-muridnya yang menjaga di sekitar kuil tidak ada yang tampak. Tiba-tiba ia berseru,

   "Celaka....!"

   Dan ia memutar tongkatnya mengirim serangan hebat kepada Si Tosu yang lihai, akan tetapi tosu itu dapat mengelak dan bahkan mengirim tusukan dari samping dengan pedangnya. Kekagetan ketua kuil ini melihat api bernyala di belakang kuil membuat gerakannya kurang cepat dan ketika ia mengelak, pedang itu berkelebat ke bawah melukai pahanya.

   Ia terhuyung dan muridnya cepat mendesak Si Tosu untuk menolong suhunya. Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menyusul berkobarnya api, akan tetapi sorak-sorai ini segera terganti teriakan-teriakan kaget dan api pun padam. Tak lama kemudian, berkelebatlah bayangan orang yang cepat dan ringan sekali, dan di situ muncul seorang laki-laki tampan yang menerjang dengan pedangnya, sekali terjang ia telah membuat Si Tosu terlempar ke belakang. Kemudian, laki-laki ini meloncat dan menerjang mereka yang mengepung Im-yang Seng-cu. Melihat laki-laki ini Im-yang Seng-cu tertawa dan berseru, Ha-ha-ha! Kiranya engkau benar-benar Sian (Dewa), bukannya Kwi (Setan)! Suma Hoat atau Jai-hwa-sian tidak menjawab, hanya menggerakkan pedangnya, diputar cepat sekali sehingga dua orang kang-ouw yang baru menangkis menjadi patah pedangnya dan terluka pundak dan dadanya.

   "Siapa engkau....?"

   Thai-lek Siauw-hud membentak, kaget menyaksikan kehebatan gerak pedang Suma Hoat. Suma Hoat tidak menjawab, akan tetapi Im-yang Seng-cu sudah memperkenalkan,

   "Mau kenal sahabatku ini? Dialah Jai-hwa-sian!"

   Si Gendut terkejut sekali. Mengapa orang seperti engkau membela Siauw-lim-pai? Sebagai jawaban Jai-hwa-sian menerjang dan Si Gendut terpaksa menangkis dengan golok.

   "Cringggg!"

   Golok dan pedang bertemu dan melekat, pada saat itulah, Si Perwira gemuk sudah menerjang dengan pedang panjangnya, menyambar ke leher Suma Hoat dari belakang.

   "Pergilah....!"

   Suma Hoat membentak, menggetarkan pedangnya dan mendorong sehingga Thai-lek Siauw-hud terhuyung ke belakang dan secepat kilat Suma Hoat sudah merendahkan diri sahingga pedang perwira gemuk menyambar atas kepalanya. Detik itu juga, pedang Suma Hoat meluncur dari bawah, Si Perwira menjerit, pedangnya terlepas dan ia terjengkang roboh, darah muncrat-muncrat keluar dari perutnya. Akan tetapi, puluhan orang sudah menyerbu datang.

   Mereka terdiri dari belasan pemuda-pemuda dan belasan gadis-gadis yang memiliki gerakan gesit dan ringan. Mereka itu adalah anak buah atau murid-murid dari Coa Sin Cu, bengcu di pantai laut Po-hai. Para murid Kuil Siauw-lim-si yang menjaga di luar tadi telah roboh oleh mereka dan ketika mereka mulai membakar kuil, tiba-tiba muncul Suma Hoat yang merobohkan lima orang yang membakar kuil dan memadamkan kebakaran lalu datang membantu Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu. Terjadilah pertadingan yang berat sebelah karena para penyerbu terdiri dari puluhan orang sedangkan yang mempertahankan hanyalah Gin Sim Hwesio yang sudah terluka, Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat. Murid kepala Gin Sim Hwesio juga sudah roboh.

   "Ha-ha-ha! Jai-hwa-sian, mari kita basmi anjing-anjing keparat ini!"

   Im-yang Seng-cu tertawa bergelak dan cepat mengerjakan tongkatnya merobohkan dua pengeroyok karena ingin mengejar ketinggalannya ketika melihat betapa Suma Hoat sudah lebih dulu merobohkan dua orang. Gin Sim Hwesio mengeluh ketika melihat kuilnya menjadi kotor oleh darah manusia, dan karena dia sudah terluka cukup parah, ia hanya dapat menggerakkan tongkatnya untuk melindungi tubuhnya.

   Dari pihak penyerbu, yang memiliki kepandaian tinggi hanya Thai-lek Siauw-hud, dan tosu yang mengaku bernama Thian Ek Cinjin, Si Perwira Gemuk telah tewas oleh pedang Suma Hoat, si Perwira Kurus telah remuk tulang kering kakinya dan dua orang kang-ouw teman mereka pun telah terluka oleh pedang Suma Hoat. Biarpun kepandaian dua orang itu cukup hebat, namun Si Tosu kewalahan menghadapi tomgkat Im-yang seng-cu dan Thai-lek Siauw-hud juga terdesak hebat menghadapi pedang Suma Hoat. Akan tetapi karena datang puluhan orang anak buah Coa Sin Cu, payah jugalah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat, sedangkan Gin Sim Hwesio sudah tidak dapat menyerang lawan kecuali melindungi diri sendiri.

   Bunyi senjata beradu bertubi-tubi nyaring dan terdengar Gin Sim Hwesio mengeluh panjang, tubuhnya terhuyung dan roboh ke belakang ketika kembali bahu kanannya terluka oleh sabetan pedang. Dia sudah terluka dan tenaganya makin berkurang sedangkan para pengeroyoknya yang masih muda-muda itu terlampau banyak. Biarpun ia roboh terjengkang dan rebah sambil memutar tongkatnya, namun keadaannya terancam bahaya maut dengan serangan senjata pedang yang amat banyak, yang bagaikan hujan menimpa dirinya.

   "Trang-trang-trang....!"

   Pedang-pedang yang menyerang tubuh ketua kuil ini terpental, bahkan dua orang pengeroyok roboh terguling ketika Suma Hoat meloncat datang meninggalkan para pengeroyoknya untuk menolong Gin Sim Hwesio. Hwesio itu kini sempat bangun kembali. Darah mengucur dari bahu dan pahanya, namun ia sudah dapat memasang kuda-kuda dan melintangkan tongkatnya. Suma Hoat kini kembali dikepung dan pundaknya kena ujung pedang seorang pengeroyok, bajunya robek dan kulitnya ikut robek sehingga darahnya mulai mengucur keluar. Namun bagaikan seekor naga mengamuk, ia masih terus memutar pedangnya menyambut datangnya serangan Thai-lek Siauw-hud dan para murid Coa-bengcu.

   Keadaan Im-yang Seng-cu juga tidak lebih baik. Biarpun ia masih tertawa-tawa, namun dia sudah terluka pula. Dada kanannya tertusuk pedang, dan untunglah bahwa ia sempat mengerahkan sin-kang sambil emmbanting diri sehingga hanya kulit dan daging dada saja yang robek berdarah. Diapun mengamuk hebat, bahkan terdengar dia bernyanyi nyaring :

   Malang-melintang di dunia kang-ouw
menentang kejahatan mengabdi kebenaran
tongkat di tangan haus darah dan nyawa
para penjahat angkara murka
biarpun tewas dalam membela kebenaran
dengan senjata tongkat tetap di tangan
apa lagi yang membuat penasaran?

   "Bress! Prookk!"

   Kembali dua orang pengeroyok roboh oleh tongkat di tangan Im-yang Seng-cu, akan tetapi pada saat itu, pedang Si Tosu yang lihai telah berhasil membacok ke arah lehernya.

   Im-yang Seng-cu cepat membuang diri ke belakang, namun sinar pedang menyusul dan darah muncrat keluar dari pundak kanan Im-yang Seng-cu, sebagian daging bahu kanannya robek! Ia terhuyung dan memutar tongkatnya sehingga terdengar suara nyaring ketika tongkatnya berhasil menangkis banyak senjata lawan. Suma Hoat mengeluarkan teriakan keras dan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar menyilaukan mata tertimpa api penerangan, membuat Thai-lek Siauw-hud dan teman-temannya mundur, kesempatan itu dipergunakan Suma Hoat untuk meloncat jauh menyambar tubuh Im-yang Seng-cu, dibawa ke tempat di mana Gin Sim Hwesio masih mempertahankan diri.

   "Kalian berdua mempertahankan di belakangku!"

   Kata Suma Hoat dan mulailah terjadi pengepungan yang ketat terhadap tiga orang itu. Gin Sim Hwesio sudah terluka parah, juga Im-yang Sengcu sudah terluka berat, dan hanya Suma Hoat seorang yang masih mampu mengirim serangan balasan karena dua orang temannya hanya mampu mempertahankan diri saja.

   Bukan main kagum hati Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu menyaksikan sepak terjang Suma Hoat. Biarpun pundaknya sudah berdarah, pemuda tampan itu mengamuk terus, melindungi kedua orang yang terluka sambil balas menerjang dengan sambaran pedangnya yang amat luar biasa sehingga sedikit saja ada pengeroyok lengah tentu menjadi korban. Im-yang Seng-cu kagum dan juga gembira menyaksikan teman barunya itu. Dia sendiri bersama Gin Sim Hwesio hanya mampu melindungi diri, dan dia pun maklum bahwa kalau tidak ada Suma Hoat tentu niat buruk anak buah Coa Sin Cu membasmi para hwesio Siauw-lim-pai dan membakar kuil akan terlaksana, bahkan ditambah dengan pengorbanan dirinya sendiri. Saking gembiranya menyaksikan sepak terjang Suma Hoat, ia memutar tongkat sambil bernyanyi:

   Dia dikatakaan Pemetik Bunga
perbuatannya bergelimang darah menghitam
kini dia mati-matian membela
kebenaran dengan taruhan nyawa penuh rela
hitam atau putihkah dia?
Dia disebut berbudi seperti dewa
tapi betapa banyak air mata runtuh dari dara-dara
menangis dengan hati merana
setan atau dewakah dia?

   Suma Hoat tidak dapat memperhatikan nyayian ini hanya diam-diam ia pun kagum sekali akan sikap Im-yang Seng-cu yang dalam himpitan bahaya maut masih sempat bernyanyi-nyanyi. Betapa gagah perkasanya Si Kaki telanjang itu! Suma Hoat memusatkan perhatiannya diujung pedang dan amukannya membuat gentar Thai-lek Siauw-hud. Thian Ek Cinjin dan anak buah mereka. Malam sudah hampir terganti pagi dsn mulailah para penyerbu merasa khawatir. Kalau sampai pagi dan mereka belum berhasil sehingga kelihatan oleh penduduk, tentu rahasia mereka akan pecah dan semua usaha itu akan sia-sia belaka. Maka Thai-lek Siauw-hud lalu memberi aba-aba rahasia. Semua anak buahnya mulai mengumpulkan teman-teman yang tewas atau terluka, kemudian serentak mereka lari meninggalkan tempat itu membawa para korban pihak mereka.

   "Engkau ikut denganku!"

   Tiba-tiba Suma Hoat berseru, tubuhnya berkelebat ke depan dan ia sudah menyambar pinggang seorang di antara gadis-gadis penyerbu yang sejak tadi memang sudah diincarnya, bahkan ketika mengamuk tadi ia berlaku hati-hati agar jangan melukai gadis berpakaian hijau ini. Gadis itu menjerit, meronta dan menggerakkan pedangnya membacok, akan tetapi sekali mengetuk pergelangan gadis itu, pedangnya terbang dan di lain saat tubuhnya sudah ditotok dan dikempit lengan kiri Suma Hoat. Gadis yang cantik itu tak dapat bergerak lagi. Kemudian, tanpa menoleh lagi, Suma Hoat meloncat berkelebat dan pergi dari situ tanpa pamit.

   "Eh, nanti dulu!"

   Im-yang Seng-cu berseru.

   "Taihiap, harap tunggu dulu, Pinceng hendak menyampaikan terima kasih Gin Sim Hwesio juga berteriak, akan tetapi Suma Hoat tidak peduli dan sama sekali tidak menengok atau menjawab. Im-yang Seng-cu tertawa dan berkata kepada Gin Sin Hwesio,

   "Itulah seorang pendekar besar yang rusak hatinya oleh asmara! Ha-ha-ha-ha, dia terkenal di dunia kang-ouw sebagai Jai-hwa-sian, akan tetapi siapa kira malam ini dia membela Siauw-lim-pai mati-matian. Losuhu selamat berpisah!"

   Im-yang Seng-cu juga berkelebat pergi mengejar bayangan Suma Hoat yang sudah lenyap di telan keremangan pagi.

   "Omitohod....!"

   Gin Sim Hwesio merangkap kedua tangan, kedua tangan seperti berdoa, diam-diam harus mengakui bahwa keselamatannya dan keselamatan kuilnya, juga agaknya keselamatan Siauw-lim-pai sehingga tidak terseret dalam pertentangan adalah jasa pertolongan orang muda yang di dunia kang-ouw disohorkan sebagai seorang penjahat cabul yang dikutuk semua orang. Im-yang Seng-cu, melakuan pengejaran. Hatinya penuh rasa penasaran dan penuh rasa kekecewaan. Begitu bertemu dengan Suma Hoat, ia merasa tertarik, merasa suka dan kagum. Ia tahu bahwa di dasar hatinya, Suma Hoat memiliki watak pendekar yang besar yang mengagumkan. Akan tetapi sayang seribu kali sayang watak yang baik itu dikotori oleh kesukaan lain yang dianggap terkutuk di seluruh dunia yaitu suka mengganggu wanita!

   Bahkan perbuatannya semalam yang amat mengagumkan, kegagahan serta keberanian disertai tekad untuk membela kebenaran dengan taruhan nyawa tanpa ditawar-tawar lagi, pada akhirnya dicemarkan oleh perbuatannya yang amat tercela, yaitu menculik seorang di antara para penyerbu yang masih muda dan cantik. Penculikan yang jelas diketahui apa maksudnya! Padahal, di waktu mengamuk tadi, demi membela kebenaran membersihkan nama Siauw-lim-pai, dia sudah terancam bahaya maut dan kalau dikehendaki. Jai-hwa-sian yang sudah terluka itu masih sempat melarikan diri. Akan tetapi, dia sama sekali tidak mau menyelamatkan diri tidak mau meninggalkan Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu yang terluka parah, bahkan melindungi mereka dan mengamuk dengan nekat!

   "Jai-hwa-sian.... bagaimana aku akan dapat menyadarkanmu dari kebiasaan buruk itu?"

   Im-yang Seng-cu berlari terus dan baru setelah matahari naik tinggi ia menemukan jejak Jai-hwa-sian yang membawa lari korbannya ke dalam sebuah hutan di luar kota Lok-kiu! Im-yang Seng-cu mencari-cari di dalam hutan dan akhirnya ia mendengar suara-suara dari balik rumpun yang itu, dan tahulah ia bahwa Jai-hwa-sian bersama korbannya berada di balik rumpun itu, di atas tanah yang ditilami rumput tebal hijau seperti permadani! Dia menyelinap mendekati, siap untuk menolong gadis yang menjadi korban itu.

   Betapapun kagumnya terhadap Jai-hwa-sian, di sini terdapat seorang wanita yang perlu ditolong! Dan dia akan melawan Jai-hwa-sian, demi kebenaran, kalau perlu berkorban nyawa! Memang tidak salah bahwa gadis itu adalah seorang diantara para pnyerbu kuil semalam, seorang anak buah Coa Sin Cu akan tetapi persoalannya sekarang lain. Gadis itu kini menjadi seorang wanita yang terancam kehormatannya oleh seorang penjahat cabul tukang memperkosa, bukan oleh seorang pendekar yang semalam mempertahankan nyawanya untuk membela kebenaran! Ia menduga bahwa tentu akan mendengar gadis itu menangis seperti biasa kalau seorang Jai-hwa-cat (Penjahat Pemerkosa) menerkam korbannya, dan mendengar suara Jai-hwa-sian membujuk rayu atau mengancam. Akan tetapi, muka Im-yang Seng-cu menjadi merah sekali, matanya terbelalak ketika ia mendengar suara gadis itu, penuh kemanjaan penuh rayuan.

   "Koko.... aku.... aku cinta padamu! Betapa gagah perkasa engkau.... betapa.... tampan dan mesra! Koko, aku rela menjadi milikmu selamanya...., aku cinta padamu!"

   Dan terdengarlah jawaban Jai-hwa-sian, suaranya mengandung kegetiran,

   "Aku tidak percaya akan cinta! Perempuan yang cantik rupanya belum tentu cantik hatinya. Yang ada ini hanya nafsu! Nafsu berahi! Dan aku...."

   Tiba-tiba suara itu terhenti kemudian disusul bentakan,

   "Im-yang Seng-cu! Aku suka bersahabat denganmu karena aku kagum padamu, akan tetapi kalau kau mencampuri urusan pribadiku, aku akan melupakan kekagumanku dan terpaksa engkau akan kuanggap penghalang. Pergilah, atau seorang di antara kita akan mati!"

   Im-yang Seng-cu menarik napas panjang, merasa malu karena benar-benar keterlaluan baginya untuk mengintai dua orang yang sedang berkasih mesra, sama sekali tidak ada tanda-tanda perkosaan, dan kedua telinganya sendiri jelas mendengar pernyataan cinta gadis itu kepada Jai-hwa-sian! Betapa mungkin ini? Dia menggeleng-geleng kepala dan berkata,

   "Jai-hwa-sian, aku hanya ingin melihat engkau sadar bahwa perbuatanmu itu menyeleweng daripada kebenaran."

   "Im-yang Seng-cu, perbuatan yang menyangkut urusan pribadiku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga, dan sama sekali engkau tidak berhak mencampurinya. Pilihlah sekarang, engkau mau pergi atau aku terpaksa menggunakan kekerasan?"

   Im-yang Seng-cu menghela napas. Apa yang akan ia lakukan? Dia tidak takut menghadapi Jai-hwa-sian, sungguhpun ia maklum bahwa orang itu lihai sekali, apalagi sekarang dia sudah terluka cukup parah. Andikata dia mendengar gadis itu menangis dan minta tolong, jangankan baru orang selihai Jai-hwa-sian, biar sepuluh kali lebih lihai, dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela wanita yang tertindas dan terhina. Akan tetapi wanita yang suaranya manja dan merayu itu mana membutuhkan "pertolongannya"? Bahkan, kalau ia mencampuri, bukan hanya Jai-hwa-sian yang tidak senang hatinya, jelas bahwa wanita itu pun akan membecinya! Jadi siapa yang ditolongnya dan untuk apa ia mencampuri urusan ini? Ia menggerakkan pundak lalu pergi dari tempat itu. Han Ki memandang kedua arca Maya dan Siauw Bwee dengan mata bersinar-sinar, penuh kegembiraan.

   Kedua arca yang berdiri di dekat arcanya sendiri itu amat memuaskan dirinya. Arca-arca itu sudah jadi, persis seperti kedua orang sumoinya yang amat dikasihinya dan ia kagum akan hasil seni yang diciptakan tangannya, melainkan kagum akan kecantikan kedua orang sumoinya. Baru sekarang ia dapat memandangi kecantikan kedua orang gadis remaja itu sepuas hatinya. Memang hebat! Sukarlah menentukan siapa di antara keduanya yang lebih cantik. Kadang-kadang tampak Maya lebih cantik, akan tetapi kadang-kadang Siauw Bwee lebih manis dan jelita. Hanya diam-diam ia harus mengakui bahwa sepasang mata Maya amat hebat, luar biasa hebatnya dan menyinarkan kehangatan yang membuat ia kadang-kadang merasa jantungnya berdebar, apalagi ditambah bibir yang seolah-olah mengandung senyum penuh arti itu.

   Gerakan halus di belakangnya pada saat itu amat dikenalnya. Berkat latihan yang tekun, tanpa menengok pun Han Ki maklum bahwa Maya telah berada dalam kamar kerjanya membuat arca. Dia mengenal benar gerakan halus kedua orang sumoinya, malah dapat membedakannya. Apalagi, ada keharuman yang khas pada diri masing-masing dara itu karena keduanya suka memakai bunga yang berlainan, bunga-bunga yang sering kali dipetiknya dari pulau-pulau lain, yang dia cari untuk kedua orang sumoinya karena dia tahu bahwa semua wanita menyukai bunga dan bau-bau harum.

   "Suheng...."

   Han Ki menoleh tersenyum.

   "Sudah hampir jadi arca-arca kita, Sumoi. Hanya tinggal menghaluskannya saja, dalam sehari saja tentu selesai."

   Maya berlutut di dekat suhengnya.

   "Suheng, arca siapakah yang terindah di antara tiga buah arca ini?"

   Pertanyaan kanak-kanak, pikir Han Ki sambil tersenyum dan dia menjawab, suaranya menggoda,

   "Tentu saja arcaku sendiri!" "Ah, Suheng sombong!"

   Han Ki hanya tertawa.

   "Suheng, kalau dua yang lain ini, mana lebih cantik?"

   Han Ki mengerutkan alisnya, sejenak tak dapat menjawab. Akan tetapi kemudian terdengar suaranya menggoda karena dia terpaksa melayani pertanyaan yang manja itu,

   "Wah, tentu saja arcamu lebih cantik."

   Wajah yang itu berseri, manis pandang mata yang biasanya hangat itu lebih panas lagi, senyumnya manis memikat.

   "Suheng...."

   Maya menyentuh lengan suhengnya,

   "Benarkah engkau anggap aku paling cantik?"

   Han Ki menatap wajah sumoinya dan memang dia harus mengakui bahwa wajah itu luar biasa cantiknya, kecantikan khas, yang sukar dilukiskan karena memiliki ciri tersendiri dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. Terpaksa ia mengangguk dan menjawab sungguh-sungguh "Engkau memang cantik jelita, Sumoi."

   "Tidak ada wanita di dunia ini yang melebihi kecantikanku?"

   Pertanyaan ini makin manja dan Maya mendekatkan mukanya. Tampak garis-garis muka yang amat indah itu, bulu matanya panjang lentik melengkung, agak merapat karena mata itu memandang setengah terpejam, bibir itu terbuka sedikit, tampak sederetan gigi putih dan napas dara itu seperti agak terengah. Han Ki hanyalah seorang laki-laki yang masih muda pula. Jantungnya berdebar dan jakunnya bergerak ketika ia menelan ludah,

   "Engkau cantik sukar dicari bandingnya di dunia ini, Maya."

   Maya memandang dengan sinar mata penuh arti, tangannya memegang lengan Han Ki, suaranya menggetar berbisik,

   "Suheng, engkau pun bagiku merupakan pria yang paling hebat di dunia ini.

   "Maya....!"

   Han Ki membantah kaget. Akan tetapi Maya yang sudah mabok oleh perasaannya sendiri itu melanjutkan.

   "Suheng, bukankah aku lebih cantik pula dibandingkan dengan Sung Hong Kwi?"

   "Maya-sumoi....!"

   Maya sudah menjatuhkan diri ke dalam pelukan suhengnya dan berbisik,

   "Suheng, aku bersedia menjadi pengganti Hong Kwi...., aku...., Suheng, bukankah engkau mencintaku seperti aku cinta padamu....?"

   Kali ini benar-benar Han Ki terkejut karena di luar kesadarannya ia telah memeluk tubuh itu penuh dendam rindu terhadap Sung Hong Kwi yang selama lima tahun ditahan-tahannya, bahkan muka Maya yang tengadah itu dekat sekali dengan mukanya sehingga napas yang keluar dari hidung dara itu menyentuh pipinya. Bagaikan sinar kilat tampak wajah gurunya dan Han Ki melepaskannya, bangkit berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi Maya, memejamkan mata mengheningkan hati dan pikirannya mengusir gairah nafsu yang menyesakkan dada.

   "Suheng....!"

   Maya juga bangkit berdiri dan memeluk pinggangnya.

   "Maya-sumoi, jangan....!"

   Han Ki berkata dan melepas kedua lengan yang merangkul pinggang itu, melangkah maju dua langkah sambil membalikkan tubuh menghadapi sumoinya. Kini ia telah menguasai nafsunya dan matanya memancarkan pandang mata penuh teguran.

   "Sumoi, mulai detik ini jangan engkau ulangi semua sikap dan kata-katamu tadi!"

   "Suheng....! Aku.... cinta padamu, Suheng...."

   "Diam! Keluarlah engkau sebelum kutampar!"

   Maya memandang dengan mata terbelalak lebar, seperti mata kelinci yang ketakutan, napasnya terengah dan naiklah sedu-sedan dari dadanya, kemudian membalik dan lari keluar sambil terisak.

   Han Ki memejamkan mata, menarik napas panjang dan kedua kaki yang lemas itu berlutut, dan kemudian ia memandangi arca-arca itu. Maya mencintainya! Dan biarpun Siauw Bwee tidak pernah memperlihatkan sikap dengan terang-terangan, namun ia dapat menduga bahwa Siauw Bwee juga mencintanya! Dan dia? Ah, cintanya sudah habis, sudah terbang pergi bersama Hong Kwi. Betapa mungkin ia jatuh cinta lagi? Namun ahhh...., dia bergidik kalau teringat tadi betapa nafsu berahi menguasainya, membuat ia ingin memeluk ketat tubuh itu, ingin mencium bibir dan mata itu, ingin membelai merayu. Ah, betapa mudahnya ia jatuh cinta kepada Maya, dan.... ketika ia memandang arca Siauw Bwee, dia pun tahu bahwa akan amat mudah pula, semudah tadi, ia jatuh hati kepada Khu Siauw Bwee yang halus wataknya. Celaka!

   "Kau...., kau mata keranjang!"

   Han Ki menampar kepalanya sendiri, terbayanglah wajah Hong Kwi dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Sampai lama ia termenung seperti itu, berjam-jam dan hanya dengan kekuatan batinnya yang hebat saja akhirnya ia dapat menindas perasaannya. Kemudian, seperti orang mabok ia melanjutkan pekerjaannya memperhalus tiga buah arca itu, tidak mempedulikan apa-apa. Bahkan ketika dua kali Siauw Bwee menjenguknya, mengajaknya makan kemudian setelah bertanya mengapa dia tidak tidur, dia hanya menjawab tanpa menoleh,

   "Aku tidak lapar dan tidak mengantuk. Aku ingin menyelesaikan ini, Khu-siauw-moi, tinggalkan aku sendiri."

   Pada jengukannya yang ke dua, Siauw Bwee ragu-ragu den memandang suhengnya, kemudian berkata,

   "Ini tentu kesalahan suci entah apa sebabnya!"

   Han Ki terkejut, akan tetapi menindas perasaannya dan menoleh.

   "Mengapa engkau, berpendapat demikian?"

   "Kulihat Suci menangis, dia pun tidak mau makan, tidak mau tidur. Ketika aku bertanya ddan menghiburnya dia malah membentakku agar aku tidak mencampuri urusannya. Suheng, apakah yang terjadi?"

   "Tidak apa-apa. Aku pun tidak tahu dia mengapa? Sudahlah, tinggalkan aku sendiri,Sumoi!"

   Sejenak Siauw Bwee berdiri di belakangnya, ragu-ragu. Kemudian terdengar ucapannya lirih,

   "Engkau kelihatan berduka, Suheng. Kenapakah?"

   "Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!"

   "Suheng, selama lima tahun kita tinggal di sini, baru sekarang kulihat engkau berduka dan Suci menangis, Suheng, engkau...., engkau satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini, disamping ibuku yang entah berada di mana. Suheng, kalau engkau berduka, aku ikut berduka...."

   Han Ki memejamkan mata, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Akan tetapi hanya sebentar ia telah dapat menguasai dirinya. Ia menoleh, memaksa diri tersenyum dan berkata,

   "Engkau ini aneh-aneh saja, Sumoi. Aku tidak apa-apa, hanya tekun menyelesaikan arca-arca ini. Eh, bagaimana dengan perahu yang kaubuat? Telah selesaikah?"

   Dia sengaja membelokkan percakapan untuk mengalihkan perhatian sumoinya itu.

   "Sudah, Suheng. Layar yang kauberi sudah kujahit dan kupasang. Besok pagi akan kucoba. Aku ingin mengunjungi pulau yang kulihat di sebelah selatan itu"

   Han Ki tersenyum.

   "Itu Pulau Kijang. Pulau kosong akan tetapi banyak binatang kijang disana."

   
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku ingin menagkap kijang."

   "Boleh, akan tetapi kalau memburu kijang, cari yang sudah tua agar pembiakannya tidak terganggu."

   "Aku ingin menangkap seekor anak kijang, tidak membunuhnya. Aku ingin memeliharanya, untuk teman disini."

   Han Ki berdiri, membalikkan tubuh dan memandang sumoinya.

   "Apa? di sini ada aku dan sucimu, dan engkau hendak mencari kijang untuk teman?"

   Siauw Bwee menunduk dan terdengar suaranya lemah seperti berbisik,

   "Aku...., aku kadang-kadang merasa kesepian, Suheng tarutama sekali.... sekarang ini...."

   Setelah berkata demikian Siauw Bwee membalikkan tubuhnya dan lari pergi.

   "Hei....! Khu-sumoi....?"

   Han Ki memanggil akan tetapi dara itu tidak menoleh dan lapat-lapat Han Ki mendengar sumoinya itu terisak! Han Ki berdiri termangu-mangu kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

   "Perempuan....!"

   Gumamnya dengan hati terheran-heran dan tidak mengerti. Hatinya makin bingung dan makin berduka karena perasaannya membisikkan bahwa mulai saat itu ia hanya akan menjumpai kesulitan-kesulitan dengan kengan kedua sumoinya itu. Untuk melupakan pekerjaannya. Semalam suntuk dia tidak tidur dan memperhalus ukiran tiga buah arcanya. Pada keesokan harinya, barulah pekerjaannya selesai dan selagi ia hendak beristirahat, tiba-tiba ia terlonjak bangun karena mendengar suara desir angin yang aneh dan yang dikenalnya baik-baik. Itulah suara pukulan-pukulan dengan tenaga sin-kang yang kuat.

   Biasanya, desir angin pukulan itu terdengar di waktu kedua sumoinya berlatih akan tetapi sekali ini, desir angin hebat itu diseling suara bentakan-bentakan nyaring orang bertempur. Ia merasa heran dan khawatir sekali cepat meloncat bangun dan melesat keluar dari Istana Pulau Es. Ketika ia tiba di luar, ia berdiri kaget melihat betapa kedua orang sumoinya sudah saling serang dengan hebatnya! Pohon tumbang batu berhamburan dilanggar angin pukulan kedua sumoinya yang berkelahi dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan semua ilmu yang selama ini mereka latih. Sekali ini mereka bukan sedang berlatih, melainkan sedang saling serang sungguhsungguh, setiap serangan mendatangkan maut. Sekelebatan saja ia dapat mengerti bahwa dalam perkelahian itu, Siauw Bwee masih bersikap mengalah dan lebih banyak mengelak, akan tetapi Maya menyerang seperti seekor singa betina kehilangan anaknya.

   "Maya....! Siauw Bwee....!"

   Berhenti....!"

   Han Ki berteriak sambil lari menghampiri. Akan tetapi ia tertegun dan menghentikan larinya ketika melihat kini kedua orang dara itu saling serang dari jarak dekat, tidak hanya mengandalkan sin-kang seperti tadi, melainkan menggunakan jari-jari tangan mereka yang lihai dan yang merupakan cengkeraman-cengkeraman maut, totokan-totokan yang membawa nyawa! Akan tetapi yang membuat Han Ki tertegun adalah jeritan mereka yang saling menuduh.

   "Engkaulah yang membuat suheng berduka! Engkau sungguh seorang adik yang tidak mengenal budi!"

   "Dan engkau....! Engkau yang menjadi biang keladinya sehingga dia tidak dapat menerima cintaku!"

   Maya membalas dengan teriakan marah.

   "Begitukah? Kalau benar dia mencintaku, sepatutnya kau tahu diri!"

   Balas Siauw Bwee.

   "Kau perempuan tak bermalu!"

   "Engkau yang tidak tahu malu!"

   "Sumoi.... !"

   Jangan berkelahi!"

   Han Ki berteriak keras dan tubuhnya mencelat menangkis sambil mengerahkan tenaga. Akibatnya, tubuh Maya dan Siauw Bwee terlempar ke belakang, terpental dan terhuyung-huyung.

   "Kau.... membelanya....!"

   Siauw Bwee berkata sambil menangis.

   "Kau.... kau.... melemparku dahulu, kau.... benar-benar mencinta bocah kurang ajar ini!"

   Maya juga menangis.

   "Ahh, Maya-sumoi dan Khu-sumoi, apakah kalian berdua telah menjadi gila? Hentikan permusuhan gila ini! Aku.... aku.... ahhh.... !"

   Han Ki menjambak rambutnya sendiri dan ingin pula dia menangis!

   "Suheng! Berterus teranglah, apakah engkau mencinta Maya-suci?"

   Siauw Bwee bertanya.

   "Suheng, engkau bilang aku paling cantik di dunia ini! Bukankah engkau mencintaku? Ataukah.... engkau cinta kepada Sumoi?"

   Maya juga menuntut jawaban pasti. Wajah Han Ki menjadi pucat. Kemudian ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya karena pandang matanya terasa
(Lanjut ke Jilid 15)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15
berkunang-kunang, dan sambil menggelengkan kepalanya ia berkata,

   "Aku tidak tahu..., aku tidak tahu kalian adalah kedua orang sumoiku, seperti adik-adikku sendiri...., aku tidak cinta siapa-siapa....!"

   Ia hanya mendengar isak tertahan dan mendengar berkelebatnya gerakan tubuh mereka pergi dari situ. Dia tidak peduli, bagi dia asalkan kedua orang dara itu tidak saling serang pada saat itu, cukuplah. Akan tetapi ketika sampai lama dia tidak mendengar gerakan mereka, ia membuka kedua tangannya dan memandang.

   Kedua orang dara itu tidak tampak lagi dan keadaan di sekelilingnya sunyi. Sunyi dan dingin karena angin yang bertiup membawa datang salju-salju tipis. Ia mulai merasa khawatir, lalu melangkahkan kaki mencari kedua orang sumoinya, khawatir kalau-kalau mereka itu pergi untuk melanjutkan pertandingan mati-matian di bagian lain dari pulau itu. Akan tetapi, mereka tidak ada di pulau dan betapa kaget hatinya ketika melihat dua buah perahu berlayar, jauh dari pantai, yang sebuah ke barat, yang sebuah lagiselatan. Ia mengenal perahu lama dengan layar hitam itu membawa Maya menuju ke barat, sedangkan yang sebuah lagi adalah perahu buatan Siauw Bwee, dengan layar kuning meluncur pergi membawa dara itu ke selatan! Han Ki berlari ke pantai, berteriak nyaring,

   "Sumoiiii....!"

   Akan tetapi, samar-samar dia hanya melihat kedua orang sumoinya itu menoleh dan melambaikan tangan kemudian tangan yang melambai itu menyentuh muka, seperti menghapus air mata! Tak terasa lagi kedua mata Han Ki menjadi basah dan dia memandang sampai kedua buah perahu itu lenyap dari pandang matanya.Di dalam hatinya, semenjak tinggal di situ, dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke dunia ramai. Akan tetapi, kini kedua orang sumoinya, dua orang yang paling dicintainya di dunia ini, meninggalkan Pulau Es, menempuh hidup menghadapi dunia ramai yang penuh bahaya.

   Teringat dia akan cita-cita kedua orang sumoinya membalas dendam, dan terbayanglah dia betapa sumoi-sumoinya itu akan menghadapi bahaya-bahaya besar. Betapa mungkin ia mendiamkan saja kedua orang yang dikasihinya itu terancam bahaya di sana? Tidak, dia harus pergi menyusul, membantu mereka dan kalau mungkin mengakurkan mereka. Akan tetapi mungkinkah ini? Betapapun juga, dia harus menyusul mereka dan berusaha. Setelah dua buah perahu itu tidak tampak lagi, Han Ki mengalami perasaan yang selama hidupnya belum pernah dirasainya, yaitu perasaan hati kosong dan nelangsa, seolah-olah semangat dan segala gairah hidupnya terbang melayang dibawa pergi bayangan dua buah perahu yang ditumpangi Maya dan Siauw Bwee, lenyaplah semua gairah dan kegembiraan hidup, seolah-olah kegembiraan hidupnya selama ini berada di tangan kedua sumoinya itu.

   Han Ki menjatuhkan diri duduk di pantai, termenung, hatinya kosong, pikirannya melayang-layang jauh mencari-cari dan terkenanglah ia akan keadaan hidupnya selama ini. Semenjak kecil ia sudah sebatang kara, seorang diri di dunia ini dan selama itu ia dahulu selalu gembira, tidak pernah merasa kehilangan sesuatu. Kemudian, pengikatan cinta kasihnya dengan Sung Hong Kwi membuat ia merasa sengsara dan menderita kehilangan karena dipisahkan dari orang yang dicintanya itu. Namun, rasa sengsara itu terobati ketika ia tinggal di pulau ini bersama kedua orang sumoinya. Semua rasa sayangnya ia curahkan kepada kedua orang sumoinya itu. Dan sekarang timbul pula keruwetan karena cinta, dan akhirnya dia menderita lebih hebat lagi setelah kedua orang itu pergi meninggalkan Pulau Es, meninggalkan dia! Maka teringatlah ia akan petuah-petuah Bu Kek Siansu, gurunya yang bijaksana,

   "Han Ki, segala hal yang menimpa dirimu kelak, jangan kaupersalahkan keadaan di luar dirimu, karena sesungguhnya yang menjadi sebab daripada akibat yang menimpa diri berada di dalam diri sendiri. Carilah sebab-sebabnya pada dirimu sendiri dan dengan jalan itu engkau akan dapat memperbaiki diri dan mengenal kekotoran diri sendiri. Mengenal cacat diri pribadi jauh lebih penting dan berharga daripada mengenal cacat selaksa orang lain."

   Teringat akan petuah ini, Han Ki mengangguk-angguk, kemudian termenung lagi karena dalam menderita kekosongan hati dan kehilangan ini, lapat-lapat terngiang di telinganya petuah gurunya mengenai hal ini.

   "Segala peristiwa merupakan mata rantai yang tak dapat dipisah-pisahkan, karena saling menyambung, saling mengikat dan saling menjadi sebab. Segala macam perasaan suka-duka, gembira, marah, puas, kecewa dan lain-lain hanyalah permainan daripada rasa sayang diri dan iba diri. Yang mau bersuka tentu akan bertemu dengan duka. Ingatlah, Han Ki, bahwa senang bergandeng tangan dengan susah. Hanya dia yang MEMILIKI saja yang akan KEHILANGAN! Memiliki itu bersifat senang, akan tetapi memiliki membawa datang kewajiban paksa yaitu MENJAGA karena di depannya terbentang mengerikan jurang KEHILANGAN. Karena ada dan tiada itu saling mengait, yang ada tentu akan tiada, sebaliknya yang tiada tentu akan ada, maka yang memiliki tentu akan kehilangan! Dan dia yang merasa suka di waktu memiliki, sudah tentu saja akan menderita duka di waktu kehilangan. Oleh karena itu, Han Ki, berbahagialah si bijaksana yang TIDAK MEMILIKI APA-APA, karena dia akan bebas daripada suka maupun duka!"

   Han Ki termenung mengerutkan alisnya.

   Betapa tepat petuah gurunya itu, betapa cocok dengan keadaan hidupnya. Bahkan ia yakin bahwa wejangan itu cocok pula dengan kehidupan semua manusia. Orang yang tidak mempunyai apa-apa takkan khawatir kehilangan. Si pembesar khawatir kehilangan kedudukannya, si hartawan khawatir kehilangan hartanya, si terkenal khawatir kehilangan kesohorannya, dan kalau sampai kemudian terjadi kehilangan, itu akan menimbulkan duka. Seperti dia sekarang, karena dia memiliki kedua orang sumoinya, mencintainya, maka kini kehilangan dan menimbulkan duka nestapa di hatinya, menyesal kecewa dan suka! Dahulu pun, karena dia memiliki Sung Hong Kwi, mencintainya, dia menjadi berduka ketika kehilangan. Andaikata dia tidak memiliki kesemuanya itu, pasti sekarang dia akan tetap hidup tenang gembira!

   "Janganlah kita sampai dikuasai nafsu, Han Ki. Sebaliknya kita harus menguasai nafsu perasaan sehingga kita mempunyai tanpa memiliki, pada lahirnya kita mempunyai namun batin kita tidak terikat sehingga batin kita tidak tergoncang sewaktu yang kita punyai itu hilang, karena hal itu sudah wajar. Mata batin yang sadar sudah menjadi waspada, melihat sesuatu berlandaskan kewajaran sehingga tidak lagi menjadi kaget, tidak menjadi duka karenanya. Menang dan kalah sudah menjadi rangkaian maka wajarlah. Berkumpul dan berpisah wajar pula. Tidak ada hal aneh di dunia ini yang patut disesalkan."

   Han Ki menghela napas panjang. Melamun dan mengenangkan kembali semua wejangan gurunya dan yang merupakan obat yang amat mujarab karena dia merasa hatinya ringan kini, tidak seberat tadi, sungguhpun ia tidak mungkin dapat lenyap gundah gulana yang menyesak dada. Bukan hanya karena kehilangan dua orang yang dicintainya, melainkan karena kedua orang sumoinya itu membawa ganjalan hati yang rumit, membawa dendam dan permusuhan karena cinta, cinta dua orang dara remaja terhadap dirinya! Mulai saat itu bangkitlah semangat Han Ki dan lalu dia membuat sebuah perahu dan beberapa pekan kemudian berangkatlah Han Ki menaiki perahunya yang kecil sederhana,meninggalkan Pulau Es,meninggalkan tiga buah arca mereka yang seolah-olah menjadi mereka menghuni Istana Pulau Es yang mereka tinggalkan. Kalau hati Han Ki merana karena ditinggal pergi dua orang yang dikasihinya sehingga dunia terasa kosong olehnya, hati Maya pun merana penuh kekecewaan dan penuh cemburu terhadap sumoinya.

   Dia mencintai suhengnya, dan melihat sikap suhengnya selama lima tahun dia tinggal di Pulau Es, dia pun merasa yakin bahwa suhengnya mencintainya. Bukan hanya mencinta seperti seorang suheng terhadap sumoinya, melainkan cinta seorang pemuda terhadap seorang dara! Hal ini diketahuinya benar atau diduganya penuh keyakinan, menyaksikan sikap dan pandang mata Han Ki, juga ketika suhengnya mengukir arcanya, jari-jari tangan suhengnya itu penuh perasaan dan amat mesra, sehingga ketika ia menonton suhengnya bekerja menyelesaikan arcanya, dia merasa seolah-olah jari tangan suhengnya itu bukan meraba-raba arca, melainkan meraba dan membelai tubuhnya sendiri, membuat ia merasa mesra dan nikmat. Akan tetapi, mengapa suhengnya tidak mau mengaku cinta? Apakah karena di sampingnya ada Siauw Bwee?

   Hatinya kecewa, penasaran, dan mengkal dan larilah dara ini kepada cita-citanya. Dia harus memenuhi cita-citanya. Dia harus membalas dendam keluarganya. Membalas kematian ayah bundanya, membalas kehancuran kerajaan ayahnya. Dia akan membalas dendam kepada Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung, terutama sekali Kerajaan Sung karena selain kerajaan ini ikut bertanggung jawab atas kehancuran Kerajaan Khitan dan tewasnya ayah bundanya, juga Kerajaan Sung telah menewaskan pek-hunya, Menteri Kam Liong, dan telah membikin sengsara pula kepada suhengnya, Kam Han Ki. Dia harus membalas Kerajaan Sung, inilah tugasnya yang paling penting. Biarpun dia tidak tahu bagaimana caranya membalas dendam kepada sebuah kerajaan, namun dia akan mencari cara itu, dan tidak akan berhenti sebelum cita-citanya tercapai. Dia percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi dan dia tidak takut menghadapi siapapun juga di Kerajaan Sung!

   Perahunya berlayar terus ke barat. Sampai keesokan harinya, dia beium melihat daratan besar, hanya bertemu dengan pulau-pulau kecil yang kosong. Akan tetapi pada keesokan harinya, menjelang tengah hari, ia terkejut melihat sebuah mayat manusia terbawa ombak lalu didekat perahunya. Mayat seorang laki-laki yang berpakaian tentara! Maya cepat lari ke pinggir perahu dan kini tampaklah olehnya bahwa bukan hanya sebuah itu saja mayat yang terapung di laut karena segera tampak banyak sekali mayat manusia di samping bagian-bagian perahu yang pecah dan peralatan perang yang terbawa hanyut oleh ombak. Siapakah mereka? Tentara mana dan mengapa perahu mereka pecah dan mereka semua tewas? Pada tubuh mayat-mayat itu tampak luka-luka bekas senjata tajam. Agaknya terjadi pertempuran yang mengakibatkan semua ini, pikirnya. Tiba-tiba ia makin terkejut melihat asap membubuhg tinggi di sebelah kiri perahu, agak jauh dari situ.

   Maya cepat mengatur kemudi dan membelokkan perahunya menuju ke arah asap yang membubung tinggi. Perahunya melawan ombak dan tak lama kemudian tampaklah olehnya penyebab asap itu. Kiranya ada beberapa buah perahu terbakar dan di atas lautan yang bergelombang itu tampak olehnya pertempuran yang dahsyat antara dua pasukan di atas perahu-perahu besar dan kecil yang berk gerak-gerak naik turun oleh ombak. Udara yang digelapkan oleh asap itu penuh dengan anak panah yang beterbangan ke sana-sini mengeluarkan bunyi bersuitan dan amat banyak bagaikan hujan saling menyerang musuh kedua pihak. Tampak pula panah-panah yang dipasangi kain berminyak yang bernyala-nyala menyambar perahu-perahu dan terbakarlah perahu-perahu yang terkena panah berapi ini.

   Dahsyat dan mengerikan, bising oleh suara anak panah, suara perahu memakan perahu, dan suara teriakan-teriakan manusia sedang berjuang melawan maut. Mayat-mayat bergelimpangan di atas perahu-perahu, ada yang terapung-apung, ada pula yang terluka dan belum mati terlempar ke laut, teriakan mereka melolong-lolong karena ngeri menghadapi maut di laut, sungguh menyayat hati. Banyak sekali di antara perajurit yang tadinya dengan gagah berani menghadapi maut melawan musuh, setelah kini berada dalam cengkeraman maut yang berada gelombang lautan, menjerit-jerit dan minta tolong seperti seorang pengecut yang penakut. Memang adakalanya orang yang berani mati menghadapi ancaman maut di tangan senjata tajam musuh menjadi ketakutan menghadapi ancaman maut ditelan air.

   Maya memandang semua itu dengan hati tertarik. Aneh-aneh sekali. Dia tidak merasa ngeri atau takut! Pengalaman-pengalamannya setelah Kerajaan Khitan hancur, ketika dia dibawa pasukan Khitan yang berkhianat di bawah pimpinan bekas pengawal Bhutan, amatlah hebatnya sehingga perang bukan merupakan hal yang baru baginya. Dia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri, bahkan tertarik hatinya untuk ikut pula berperang! Dia tidak tahu siapa yang berperang, akan tetapi dia ingin membantu pihak yang terdesak! Karena itu, Maya mempercepat perahunya menghampiri daerah perang yang mengerikan itu, dan matanya memandang penuh perhatian. Ketika ia melihat sebuah perahu besar seperti perahu perang dikepung oleh banyak perahu-perahu kecil, ia mendekatkan perahunya ke tempat itu.

   Kagum hatinya menyaksikan beberapa orang berpakaian perwira dan anak buahnya mempertahankan perahu besar itu. Setiap kali ada perajurit dari perahu-perahu kecil itu berhasil meloncat ke atas perahu besar, tentu orang ini roboh lagi dengan tubuh terluka. Gerakan para perwira di atas perahu besar menunjukkan bahwa mereka memiliki kegagahan dan kepandaian lumayan. Akan tetapi, serangan anak panah yang seperti hujan lebatnya, telah merobohkan banyak anak buah perahu besar sehingga di atas dek perahu besar itu telah bertumpukan mayat-mayat perajurit. Hanya beberapa orang perwira yang masih sempat mempertahankan diri, menggunakan golok besar atau pedang untuk menangkis semua anak panah yang menyambar ke arah diri mereka.

   Di antara beberapa orang perwira itu, ada dua orang yang amat mengagumkan hati Maya karena mereka itu amat gagah perkasa, dan bukan hanya melindungi diri sendiri namun juga orang ini membagi-bagi perintah dan berusaha melindungi anak buah mereka dengan pedang mereka yang panjang. Seorang di antara mereka yang berpakaian amat indah dan gagahnya dapat ia kenal dari pakaiannya sebagai seorang panglima besar, berjenggot panjang dan sudah putih. Adapun orang kedua adalah seorang berpakaian panglima muda yang brewok dan gagah perkasa, yang berjuang bahu-membahu dengan Si Panglima Besar. Namun keadaan mereka itu amat terdesak, tidak hanya karena pihak musuh yang amat banyak jumlahnya, yang meloncat dari perahu-perahu kecil yang mengepung perahu besar-besar, akan tetapi juga karena para anak buah mereka itu sibuk memadamkan perahu besar yang sudah terbakar sebagian!

   "Gak-goanswe (Jenderal Gak), engkau sudah memberontak terhadap Kerajaan Sung, sekarang telah terkepung menyerahlah!"

   Terdengar teriakan dari perahu-perahu kecil, dan mendengar ini, segera timbul rasa suka di hati Maya terhadap jenderal yang agaknya memberontak terhadap pemerintah Sung ini. Inilah kesempatannya untuk membalas, pikirnya. Yang berperahu besar itu adalah seorang jenderal dengan anak buahnya yang memberontak dan lawan mereka adalah tentara Kerajaan Sung yang harus dibasminya! Dengan dayungnya, Maya lalu mendayung perahunya menuju ke tengah medan pertempuran. Ada anak panah yang menyeleweng dan menyambar ke arahnya, akan tetapi hanya dengan kebutan tangan ia berhasil meruntuhkan semua anak panah dan akhirnya ia dapat mendekatkan perahunya ke perahu besar setelah melalui kobaran api yang memakan perahu. Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet, tubuhnya mencelat ke atas perahu besar.

   "Basmi tentara Sung yang lalim!"

   Teriaknya dan sekali menggerakkan kaki tangan, tiga orang tentara Sung yang mengeroyok panglima besar pemberontak itu roboh.

   Dengan cekatan sekali Maya merampas sebatang golok dan sebatang pedang, kemudian mengamuklah sang dara perkasa ini yang membuat Si Jenderal melongo. Baru sekarang ini ia menyaksikan seorang dara jelita yang masih remaja, bersilat secara aneh, tangan kiri mainkan golok dengan ilmu golok sedangkan tangan kanan mainkan pedang dengan ilmu pedang. Dalam waktu beberapa menit saja, lima orang pengeroyok roboh dan tubuh mereka mencelat keluar dari perahu besar terjatuh ke laut karena ditendang kaki-kaki yang kecil mungil itu! Setelah kepungan terhadap diri Sang Jenderal itu berkurang sehingga Sang Jenderal dengan leluasa dapat bergerak melindungi dirinya,

   Maya lalu meninggalkannya untuk mengamuk dan membabati tentara musuh yang mulai membakar layar perahu besar. Amukannya hebat sekali dan setelah golok dan pedang rampasannya yang buruk itu rusak-rusak, ia menangkap tengkuk leher seorang perwira Sung yang berhasil naik ke perahu besar, kemudian merampas pedang dan sarung pedangnya yang indah, dan sekali menggerakkan tangan ia melempar tubuh sang perwira Sung dari perahu besar pula. Dan kini dara perkasa itu mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan kiri. Akan tetapi di sebelah belakang perahu besar terjadi keributan hebat. Maya cepat menengok dan alangkah kagetnya ketika ia menyaksikan pemandangan aneh. Dua orang laki-laki yang tubuhnya menempel satu sama lain, dua orang dampit, mengamuk dan membantu tentara kerajaan Sung!

   Gerakan mereka tangkas dan aneh sekali, dan Maya segera teringat akan cerita suhengnya akan sepasang manusia dampit yang amat lihai, bersembunyi di tempat keramat Pulau Nelayan. Pada saat itu, perwira pemberontak yang brewok, yang gagah perkasa menerjang marah kepada sepasang orang dampit yang merobohkan banyak anak buahnya. Perwira muda itu menerjang dengan pedang panjangnya, menyerang dua orang yang tubuhnya menjadi satu dan bersambung di bagian punggung. Akan tetapi, Si Dampit itu, lihai bukan main karena empat buah tangan mereka bergerak secara berbareng dan tahu-tahu pedang di tangan panglima muda itu telah dirampas, pundak Si Panglima Muda dicengkeram dan di lain saat Sang Panglima Muda pemberontak sudah ditawan dan dikempit dalam keadaan lumpuh tertotok!

   "Tawan dan bawa dia ke sini!"

   Terdengar perintah dari sebuah di antara perahu kecil. Maya menjadi marah sekali. Begitu melihat sepasang manusia dampit, sudah timbul kebenciannya. Apalagi melihat mereka telah menawan panglima muda pemberontak yang sedang dibelanya, maka ia pun merobohkan para pengeroyok dengan pedangnya yang digerakkan secara luar biasa cepatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke arah sepasang orang dampit, pedangnya menyambar, sekaligus membabat dua buah kepala orang dampit itu.

   "Wuuuuttt.... tranggg....!"

   Maya terkejut karena tenaga manusia-manusia dampit itu ternyata amat kuat sehingga pedangnya tergetar. Namun, manusia dampit itu lebih kaget lagi karena pedang dara yang ditangkis itu kini telah melakukan gerakan melengkung dan tahu-tahu sudah menyambar ke arah empat buah kaki mereka. Cepat mereka meloncat ke atas dan Maya mendapat kenyataan bahwa dua orang dampit itu tidak saja kuat sin-kangnya, akan tetapi juga amat lihai gin-kangnya.

   "Lepaskan dia....!"

   Maya membentak dan mengirim serangan bertubi-tubi.

   Selama berada di Pulau Es, dia dan sumoinya paling tekun mempelajari ilmu pedang dan ilmu pedang yang mereka latih baersama Han Ki adalah ilmu pedang ciptaan Bu Kek Siansu, hebatnya bukan main. Baru slnar pedangnya saja sudah berbahaya sekali, dapat merobohkan lawan, apalagi kini ia mendesak dari jarak dekat! Sepasang manusia dampit itu tadinya memandang rendah dan mengandalkan tiga buah tangan mereka, karena yang sebuah mengempit tubuh Si Panglima Muda, untuk melawan Maya. Namun, sepasang senjata di kedua tangan Maya, yaitu pedang dan sarung pedangnya, amatlah hebat gerakannya, selain aneh gerakannya juga cepat bukan main dan mengandung tenaga sin-kang yang dingin menusuk tulang. Setiap kali senjata kedua orang dampit itu bertemu pedang di tangan Maya, kedua orang itu menggigil dan terdengar seorang di antara mereka yang kepalanya botak, berseru,

   "Gadis siluman!"

   Orang ke dua yang berambut riap-riapan berseru,

   "Loncat turun, bawa dia lari!"

   Si Kepala Botak yang mengempit tubuh panglima muda dengan tangan kanannya, membuat gerakan maut, dibantu oleh kaki Si Rambut Panjang yang juga mengenjot tubuhnya. Karena loncatan mereka digerakkan oleh enjotan empat buah kaki, tubuh mereka melayang cepat keluar dari perahu besar. Mereka meloncat ke atas atap sebuah perahu kecil dan terus melompat dari situ ke perahu lain, agaknya hendak membawa tawanan mereka ke perahu dari mana tadi terdengar suara perintah pemimpin mereka. Akan tetapi, Maya juga meloncat, gerakannya seperti burung walet, amat cepatnya melakukan pengejaran.

   "Ke mana kau hendak lari, setan dampit?"

   Bentaknya, pedangnya berkelebat menyambar dari belakang. Si Rambut Panjang yang berada di sebelah belakang, menangkis dengan pedangnya, kemudian sisihannya sudah melompat lagi, kini tidak melompat ke perahu, melainkan melompat ke.... air!

   Maya terkejut, mengira bahwa Si Dampit hendak terjun ke air, hal yang tentu saja tak dapat ia lakukan karena biarpun dia pandai berenang, namun kepandaiannya di air tidaklah boleh diandalkan untuk melawan lawan lihai seperti Si Dampit itu. Akan tetapi ternyata bahwa Si Dampit itu tidak menceburkan diri ke air, melainkan hinggap di atas mayat seorang tentara yang sudah mati, yang mengapung di air dengan menelungkup! Maya menyambar cepat, hinggap di atas kayu pecahan perahu dan pedangnya menyambar, akan tetapi Si Dampit sudah melompat lagi menggunakan mayat itu sebagai tempat loncatan. Dari perbuatan ini saja dapat dibayangkan betapa lihai Si Dampit ini dan betapa tinggi gin-kangnya. Namun Maya tidak kalah cepat dan terus loncat mengejar, bahkan menyusul dan selagi tubuh mereka di udara, ujung pedangnya yang menyambar dengan cepat menusuk lengan Si Botak yang mengempit tubuh perwira yang melawan itu.

   "Aduhhh....!"

   Si Botak berteriak dan tentu saja kempitannya terlepas. Maya yang menangkis serangan pedang Si Rambut Panjang dengan sarung pedangnya, berjungkir balik di udara, menggigit pedangnya dan tangan kanannya dengan gerakan seperti seekor burung elang menyambar kelinci, sudah mencengkeram leher baju Si Panglima Muda dan kembali berjungkir balik tubuhnya melayang ke atas sebuah perahu. Dari situ kembali ia berloncatan menggunakan pecahan perahu, mayat-mayat tentara, dan atap-atap perahu yang sedang terbakar, langsung ke perahu besar. Dia masih sempat membebaskan totokan Si Panglima Muda dan melemparkan tubuhnya itu ke atas dek perahu, kemudian memutar senjatanya menghadapi para musuh yang mengeroyok, berkata,

   

Mutiara Hitam Eps 31 Mutiara Hitam Eps 17 Mutiara Hitam Eps 4

Cari Blog Ini