Kisah Pendekar Bongkok 9
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
"Saudara-saudara,"
Katanya dengan suara lantang.
"kalian mempunyai seorang kepala dusun yang jahat dan yang mempunyai kaki tangan penjahat, kenapa diam saja dan tidak melawan?"
Semua orang saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketakutan.
"Mana kami berani?"
Akhirnya seorang laki-laki muda menjawab.
"Andaikata Sie-kauwsu masih hidup, apakah mungkin ada kepala dusun yang jahat seperti itu di dusun ini?"
Tanya pula Sie Liong, sekali ini ditujukan kepada mereka yang tua-tua karena tentu saja yang masih muda tidak mengenal Sie Kauwsu. Mendengar ini, beberapa orang tua segera menjawab.
"Tidak mungkin! Dusun ini aman ketika Sie Kauwsu masih hidup!"
"Nah, ketahuilah paman sekalian. Aku bernama Sie Liong dan aku adalah putera Sie Kauwsu! Aku akan mewakili mendiang ayahku untuk menghajar kepala dusun itu, dan kuharap kalian semua mendukung dan membantuku!"
"Kami.... kami tidak berani...."
Beberapa orang berseru.
"Kepala dusun Bouw mempunyai banyak tukang pukul yang lihai."
"Hemm, kalian lihat saja. Mereka itu hanya pandai menggertak, akan tetapi sama sekali tidak lihai. Apalagi jumlah kalian jauh lebih banyak. Kalian tidak perlu turun tangan, lihat saja aku akan menghajar mereka!"
Kata Sie Liong tanpa nada sombong, melainkan nada penasaran mengapa begini banyak pria di dusun orang tuanya itu mandah saja kehidupan mereka ditindas oleh seorang kepala dusun yang jahat. Biarpun pemuda ini sudah berjanji akan menghajar kepala dusun Bouw dan anak buahnya, tetap saja para penduduk dusun itu belum yakin benar. Memang pemuda ini tadi telah mengalahkan tiga orang tukang pukul lurah Bouw, akan tetapi mampukah pemuda yang bongkok itu mengatasi Bouw-chung-cu dengan para jagoannya yang cukup banyak dan kejam? Maka, mereka tidak berani menyanggupi untuk membantu pemuda bongkok itu dan hanya berdiri bergerombol agak jauh.
"Yang kumaksudkan bukanlah agar kalian membantuku menghajar mereka, melainkan mendukung dan selanjutnya bersikap berani dan bersatu menghadapi kekejaman yang menindas kalian. Juga kalau pembesar tinggi datang, kalian harus berani melaporkan kejahatan para pejabat di sini."
Orang-orang itu mengangguk dan merasa lega bahwa pemuda itu tidak minta mereka untuk membantu dengan perkelahian.
Dengan demikian, andaikata pemuda itu gagal dan kalah, mereka tidak akan dipersalahkan oleh Bouw-chung-cu. Tak lama kemudian, terdengar suara banyak orang. Para penduduk dusun itu segera bersembunyi di balik rumah-rumah dan pohon-pohon, seperti kura-kura ketakutan dan menyembunyikan kepalanya di dalam rumahnya. Nampak lurah Bouw yang bertubuh gendut pendek itu diiringkan oleh lima belas orang yang bersikap gagah dan kasar, di antaranya tiga orang yang tadi dihajar oleh Sie Liong. Lurah Bouw ini memperoleh kedudukannya sebagai lurah Tiong-cin dengan jalan menyogok pembesar tinggi yang berwenang menentukan siapa lurah di dusun itu, dan dengan jalan mengancam mereka yang tidak setuju dia diangkat menjadi lurah, dengan bantuan belasan orang tukang pukulnya.
Dia bukan orang berasal dari dusun Tiong-cin, dan baru tiga tahun saja menjadi lurah di situ, dia telah menjadi kaya raya dan hidupnya bagai seorang raja kecil. Ketika mendengar laporan tiga orang tukang pukulnya bahwa di dusunnya datang seorang pemuda bongkok yang berani menentang bahkan menghajar tiga orang tukang pukulnya, lurah Bouw menjadi marah bukan main. Dia sendiri adalah seorang ahli silat yang cukup pandai, dan dia segera mengumpulkan pembantunya yang berjumlah lima belas orang, membawa senjata lengkap mencari pemuda bongkok itu. Sie Liong menanti kedatangan mereka dengan sikap tenang saja, sebaliknya, melihat pemuda itu, tiga orang jagoan yang tadi menerima hajarannya segera menuding dan berseru,
"Itulah si setan bongkok!"
Lurah Bouw mendongkol bukan main. Pemuda itu biasa saja, bahkan cacat, bongkok dan sama sekali tidak mengesankan sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian. Dan tiga orang tukang pukulnya yang ditugaskan menyandera Kwan Siu Si yang membuatnya tergila-gila dan mengilar, dapat digagalkan pemuda itu! Maka begitu berhadapan dengan Sie Liong, lurah Bouw yang juga memegang sebatang golok seperti para anak buahnya, menudingkan goloknya ke arah muka Sie Liong dan membentak marah.
"Engkau ini orang bongkok dari mana, berani datang ke dusun kami dan membikin kacau?"
Sie Liong mengangkat muka memandang wajah lurah itu, sinar matanya yang mencorong mengejutkan hati lurah itu, dan Sie Liong tersenyum.
"Namaku Sie Liong dan aku adalah orang yang dilahirkan di dusun Tiong-cin ini, dan aku datang untuk menengok kuburan ayah ibuku. Tidak tahunya dusun ini telah berada dalam cengkeraman seekor serigala yang kejam! Engkau mengerahkan penjahat-penjahat untuk menindas penduduk dusun. Engkau tidak pantas menjadi lurah, dan aku mewakili ayahku, Sie Kian untuk menghajar kalian dan membersihkan dusun kami ini dari srigala-srigala berwajah manusia yang berkeliaran di sini!"
Wajah lurah Bouw menjadi merah padam saking marahnya. Memang dia bukan orang berasal dari dusun ini, akan tetapi dia telah berhasil menjadi lurah dan hidup makmur di situ.
"Jahanam keparat, setan bongkok yang sombong!"
Dia menoleh kepada para anak buahnya.
"Pukul dia sampai mati!"
Lima belas orang itu memang sudah siap dengan senjata di tangan. Begitu mendengar komando ini, mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok Sie Liong! Belasan senjata tajam berupa golok, pedang dan tombak, datang bagaikan hujan ke arah tubuh Sie Liong.
Orang-orang dusun yang mengintai dan menonton, menjadi pucat dan mereka merasa ngeri. Bahkan ada yang diam-diam sudah meninggalkan tempat itu bersembunyi di rumah sendiri saking takut terlibat. Akan tetapi, Sie Liong yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti, tidak menjadi gugup menghadapi hujan senjata tajam itu. Tubuhnya membuat gerakan memutar dan kedua tangannya dikibaskan ke kanan kiri dan depan belakang. Akibatnya, beberapa batang senjata tajam terlempar karena pemegangnya merasa betapa ada tenaga yang dahsyat menyambar tangan mereka dan membuat lengan mereka menjadi seperti lumpuh! Akan tetapi mereka mengandalkan pengeroyokan banyak orang, maka yang lain masih terus menyerang, dan yang senjatanya terlepas, cepat memungut kembali senjata mereka dan menyerang semakin ganas.
Kini, melihat betapa dalam segebrakan saja beberapa orang anak buahnya melepaskan senjata, lurah Bouw sendiri menjadi penasaran dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring, diapun menyerang dengan mengangkat goloknya tinggi-tinggi, kemudian melakukan bacokan yang amat cepat dan kuat. Hanya dengan miringkan tubuh, Sie Liong membuat bacakan itu luput dan lewat di dekat pundaknya, dan sebelum kepala dusun itu sempat merobah posisinya, tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya diraba dan tubuhnya menjadi kaku! Di lain saat, Sie Liong telah mengangkat tubuh lurah ini dan mempergunakan sebagai perisai atau sebagai senjata yang diputar-putar di atas kepalanya! Melihat ini, tentu saja para tukang pukul menjadi terkejut bukan main dan mereka menahan senjata mereka!
Sie Liong terus maju dan kedua kakinya secara bergantian menendangi mereka dan beberapa orang pengeroyok kena ditendang sampai terlempar jauh dan terbanting jatuh dengan kerasnya ke atas tanah! Sebelum mereka dapat bangkit, tiba-tiba datang banyak orang yang memukuli mereka yang terbanting jatuh itu! Mereka yang memukuli ini adalah orang-orang dusun! Kiranya ketika para penghuni dusun melihat betapa pemuda bongkok itu benar-benar dapat mengatasi lurah Bouw dan anak buahnya, mereka menjadi bersemangat sehingga melihat beberapa orang tukang pukul yang mereka benci itu terlempar, mereka lalu mengeroyok dan memukulinya dengan tangan mereka! Tentu saja tukang-tukang pukul yang sudah kehilangan senjata dan masih pening karena terbanting keras, kini hanya mampu berkaok-kaok ketika dikeroyok dan dipukuli para penduduk dusun!
Makin keras dia memaki dan mengancam, makin keras pula orang-orang itu memukulinya sehingga mukanya menjadi bengkak-bengkak dan tubuhpun babak bundas, pakaian mereka robek-robek! Sie Liong tersenyum gembira melihat ulah para penduduk dusun itu. Dia telah berhasil membangkitkan semangat para penduduk dusun itu setelah semangat mereka itu lenyap selama bertahun-tahun di bawah penindasan kepala dusun yang jahat itu. Maka diapun segera melemparkan tubuh kepala dusun Bouw yang jatuh berdebuk dan terguling-guling. Kepala dusun itu hanya dapat mengeluh karena kepalanya sudah pening sekali ketika tubuhnya diputar-putar, kini terbanting keras pula setelah totokan pada tengkuknya dibebaskan pemuda bongkok yang lihai itu. Dan diapun terkejut ketika kini orang-orang dusun mengejarnya dan memukulinya.
"Hei....! Keparat.... ini aku, lurahmu....!"
Teriaknya, akan tetapi teriakannya hanya disambut dengan pukulan-pukulan para penduduk yang sudah melihat kesempatan untuk membalas dendam bertahun-tahun itu.
Lucunya, kini banyak pula wanita dusun yang keluar dan merekapun ikut pula memukuli kepala dusun dan anak buahnya dengan gagang-gagang sapu! Sie Liong mengamuk, dan dalam waktu singkat saja, seluruh tukang pukul yang lima belas orang banyaknya sudah dia robohkan dan kini mereka semua, juga kepala dusun Bouw, berteriak-teriak dan mengaduh-aduh tanpa mampu melawan ketika orang-orang dusun, tua muda, laki perempuan, mengeroyok mereka dan memukuli mereka sampai seluruh muka mereka bengkak-bengkak! Sampai beberapa lamanya Sie Liong membiarkan orang-orang dusun itu melampiaskan kemarahan dan sakit hati mereka, akan tetapi dia menjaga agar mereka tidak melakukan pembunuhan. Akhirnya, khawatir kalau-kalau kepala dusun Bouw dan anak buahnya akan mati konyol dia lalu berseru dengan suara nyaring.
"Cukup, saudara-saudara, cukup dan jangan memukul lagi!"
Teriakan yang nyaring ini ditaati seketika oleh para penghuni dusun yang kini penuh semangat itu. Dipimpin oleh seorang kakek yang bersemangat, mereka pun berseru,
"Hidup putera mendiang Sie Kauwsu....!"
Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas memberi isarat agar mereka tenang, lalu dia memeriksa keadaan enam belas orang musuh itu. Keadaan mereka sungguh menyedihkan, dan lebih dari setengah mati. Muka mereka bengkak-bengkak dan bonyok-bonyok, bahkan kepala dusun Bouw tidak mempunyai hidung lagi. Bukit hidungnya penyok dan hancur, ada yang matanya pecah, patah tulang dan sebagainya. Akan tetapi Sie Liong merasa bersukur bahwa tidak ada di antara enam belas orang itu yang tewas. Dia menghampiri lurah Bouw dan mengguncang pundaknya. Lurah itu mengeluh dan merintih, mencoba untuk membuka kedua matanya yang bengkak-bengkak, memandang kepada Sie Liong.
"Orang she Bouw, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih merasa penasaran dan hendak mempergunakan kekuasaanmu untuk menindas rakyat dusun Tiong-cin?"
Lurah Bouw sudah ketakutan setengah mati. Ketika tadi dipukuli rakyat, dia yang tadinya memaki-maki dan mengancam, mulai menangis dan minta-minta ampun.
"Ampun.... ampunkan saya.... saya tidak berani lagi.... saya akan menjadi lurah yang baik...."
Akan tetapi mendengar ucapannya itu, semua penduduk dusun menolak keras.
"Tidak! Kami tidak mau dia menjadi lurah kami!"
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada orang she Bouw itu.
"Nah, engkau sudah mendengar sendiri. Kalau tidak ada aku di sini, engkau tentu telah mereka pukuli terus sampai mati. Orang she Bouw, sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu itu pergi dari dusun ini secepatnya. Kami penduduk Tiong-cin tidak membutuhkan engkau dan orang-orangmu, kami dapat mengatur diri sendiri. Aku akan melapor kepada pembesar atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa engkau telah pergi, dan kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah, sekarang engkau pergilah dan bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan tetapi, gudang gandum dan padi harus kautinggalkan, karena itu milik rakyat yang kauperas!"
Semua penghuni dusun bersorak gegap gempita menyambut ucapan Sie Liong itu karena mereka semua merasa setuju sekali.
Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw Kun Hok, yaitu kepala dusun yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah dia lalu bersama anak buahnya, kembali ke rumahnya dan mengumpulkan keluarga mereka, membawa harta mereka dan pada hari itu juga mereka pergi meninggalkan dusun Tiong-cin, diantar sorak-sorak para penduduk yang merasa lega sekali. Setelah enam belas orang itu bersama keluarga mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek, yaitu kakek Kwan Sun sendiri, para penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. Kini mereka semua keluar, termasuk kanak-kanak dan wanita sehingga ratusan orang berlutut di depan Sie Liong.
"Sie-taihiap,"
Kata Kwan Sun dengan suara nyaring.
"kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin menghaturkan Terimakasih kepada taihiap yang telah membebaskan kami dari tekanan lurah Bouw. Sekarang kami mohon agar taihiap suka menjadi kepala dusun kami."
"Hidup Sie-taihiap....!"
"Kami setuju!"
"Akur! Sie-taihiap menjadi lurah kami!"
Melihat mereka itu berteriak-teriak, Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas dan hatinya terharu sekali. Selama ini, orang-orang hanya memandang kepadanya dengan ejekan, dengan olok-olok, ada yang dengan pandang mata kasihan. Dia seorang bongkok yang dipandang rendah, membuat dia merasa rendah diri. Akan tetapi sekarang, di dusun orang tuanya, di tempat kelahirannya, dia seperti dipuja-puja!
"Terimakasih atas kepercayaan cu-wi (anda sekalian)! Akan tetapi, aku masih mempunyai tugas yang amat panting dan tidak mungkin tinggal selamanya di sini. Karena itu, aku tidak dapat pula menjadi seorang lurah, apalagi mengingat bahwa aku tidak berpengalaman dan tidak berpengetahuan bagaimana memimpin rakyat dusun. Sebaiknya kalau sekarang cu-wi memilih sendiri seorang di antara cu-wi yang dapat dipercaya, kemudian mengangkatnya menjadi lurah baru."
Kembali terjadi kegaduhan ketika mereka mengajukan nama-nama calon, akan tetapi ternyata sebagian besar suara mereka memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie Liong juga menyatakan persetujuannya.
"Kalian telah memilih dengan tepat. Kwan Lopek memang tepat untuk menjadi lurah kalian yang baru. Kuharap Kwan Lopek dapat menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara ini!"
Kwan Sun bangkit dan mukanya agak merah karena merasa malu bahwa dia, seorang petani biasa, diangkat menjadi lurah.
"Sie-taihiap, bukan saya menolak, akan tetapi bagaimana mungkin saya menjadi lurah tanpa pengangkatan para pembesar yang berwajib di kota besar Wen-su?"
Semua orang menjadi bengong dan bingung karena apa yang diucapkan oleh kakek itu memang benar. Sie Liong mengangguk-angguk, karena diapun baru tahu akan hal itu sekarang.
"Harap lopek jangan khawatir. Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan akan kutemui pejabat yang berwenang untuk itu, akan kuceritakan tentang keadaan di Tiong-cin ini, tentang kejahatan lurah Bouw dan tentang keputusan para penduduk mengangkat lopek sebagai lurah!"
Semua orang bersorak gembira karena mereka semua yakin bahwa kalau Pendekar Bongkok yang muda itu turun tangan, pasti akan beres, seperti yang telah dibuktikan ketika dia menumpas lurah Bouw dan anak buahnya.
"Akan tetapi, taihiap. Bagaimana kalau orang she Bouw itu tidak mau menerima dan setelah taihiap pergi dari sini, dia akan datang bersama gerombolannya dan membalas dendam?"
Tanya seorang penduduk muda dan kembali semua orang bengong dan wajah mereka berubah ketakutan. Membayangkan balas dendam dari lurah Bouw dan gerombolannya, selagi Pendekar Bongkok, demikian mereka menjuluki Sie Liong, tidak berada lagi di dusun itu, membuat mereka mengeluarkan keringat dingin.
"Jangan takut! Kalau kalian sudah bersatu padu seperti tadi, lurah Bouw dan gerombolannya tidak akan mampu berbuat sesuatu! Kulihat tadi di antara cu-wi banyak pula yang kuat dan memiliki gerakan silat. Bukankah mendiang ayahku dahulu adalah guru silat di si-ni dan disebut Sie Kauwsu? Siapakah di antara cu-wi yang pernah berguru kepada ayahku?"
Ternyata ada tujuh orang yang pernah menjadi murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tidak pernah berlatih, akan tetapi ketika Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan gerakan silat, ternyata mereka cukup mahir.
"Aku akan melatih tujuh orang saudara ini dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian mereka akan melatih para muda di sini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau bersatu padu, tentu tidak ada gerombolan penjahat yang banani main-main."
Semua orang setuju dan kakek Kwan Sun dipilih menjadi lurah yang baru, menempati bekas rumah lurah Bouw yang besar! Dan Sie Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan tetapi sebelum dia pergi ke rumah baru dari lurah Kwan lebih dahulu dia minta penjelasan dari Kwan Sun tentang orang tuanya.
"Seperti lopek mengetahui, saya datang untuk berkunjung ke makam ayah ibu saya di sini. Sekarang saya ingin pergi dulu berkunjung ke makam itu. Di manakah makam mereka, lopek?"
"Ah, mari kuantar sendiri, taihiap. Makam itu berada di pinggir dusun sebelah timur, tempat pemakaman penduduk kita."
Lurah baru itu lalu mengantar Sie Liong menuju ke tanah kuburan yang sunyi itu. Tak lama kemudian, Sie Liong sudah berlutut di depan tiga buah makam yang berdampingan. Makam yang sederhana sekali, den tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah ibunya tidak mempunyai sanak keluarga lagi di dusun itu. Setelah memberi hormat, diapun membersihkan rumput-rumput liar di makam itu, dibantu oleh lurah Kwan.
"Ini makam Sie Kauwsu dan ini makam isterinya. Aku sendiri ikut mengubur jenazah mereka, dan yang ini makam Kim Cu An, muridnya yang menjadi calon mantunya."
Sie Liong terkejut dan heran.
"Apakah suheng Kim Cu An Inipun tewas karena penyakit menular yang ganas itu, lopek?"
Kini lurah Kwan itu yang memandangnya dengan mata terbelalak.
"Penyakit menular? Apa maksudmu, taihiap?"
"Bukankah.... bukankah ayah ibu tewas karena penyakit menular?"
"Ah, dari mana taihiap mendengar berita itu! Sama sekali tidak begitu! Di sini memang pernah berjangkit penyakit menular, akan tetapi tidak berapa hebat dan yang jelas, ayah ibumu tidak tewas oleh penyakit menular, juga Kim Cu An ini tidak pula!"
Sie Liong terkejut bukan main, akan tetapi dia mampu menekan perasaannya sehingga tidak nampak pada wajahnya. Dia mempersilakan kakek itu duduk di atas rumput, di depan makam ayah ibunya dan suhengnya, lalu dengan lembut dia berkata,
"Kwan Lopek, sekarang aku minta tolong kepadamu. Ceritakanlah dengan jelas apa yang telah terjadi pada ayah ibuku, dan bagaimana mereka itu tewas."
Kwan Sun mengangguk-angguk.
"Mendiang ayahmu terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat di dusun ini yang gagah perkasa dan kami semua menghormatinya. Dia mempunyai dua orang anak, yang pertama seorang gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu berusia lima belas tahun, dan anak ke dua adalah seorang anak laki-laki yang baru kurang lebih setahun usianya, bernama Sie Liong."
"Akulah anak itu, lopek."
Kakek itu mengangguk.
"Ya, kami sudah menduganya, taihiap, walaupun tadinya kami ragu-ragu...."
Dia memandang ke arah punggung Sie Liong.
"Mendiang ayahmu mempunyai beberapa orang murid, dan yang menjadi murid utamanya adalah mendiang Kim Cu An yang ketika itu berusia kurang lebih dua puluh tahun dan sudah ditunangkan dengan puterinya yaitu Sie Lan Hong. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kami sedusun dikejutkan oleh keadaan di rumah orang tuamu. Sungguh mengerikan dan menyedihkan sekali...."
Kakek itu berhenti bercerita dan termenung.
"Lalu bagaimana, lopek? Apa yang telah terjadi di rumah orang tuaku?"
Sie Liong mendesak karena dia sudah tidak sabar lagi dan ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi kepada ayah ibunya. Kwan Sun menghela napas panjang.
"Akulah seorang di antara para tetangga yang pertama kali menyaksikan keadaan itu. Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu An, dalam keadaan tewas terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami mendapatkan bahwa semua binatang peliharaan orang tuamu, anjing, kucing, ayam dan kuda, juga mati terbunuh."
"Ahhh! Apa yang telah terjadi dengan mereka, lopek? Siapa pembunuh mereka?"
Kakek itu manggeleng kepalanya.
"Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka dan siapa pembunuh mereka. Tidak ada tanda-tanda sama sekali! Encimu, Sie Lan Hong dan engkau seudiri, tidak berada di sana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang terjadi dengan taihiap dan enci taihiap itu. Barang-barang dalam rumah Sie Kauwsu tidak dicuri orang yang menjadi pembunuh itu. Dan barang-barang itu, rumah itu, sudah lama dirampas oleh lurah Bouw."
Sie Liong mengepal tinjunya.
"Jangan-jangan lurah Bouw yang melakukan itu!"
Kakek Kwan menggeleng kepala.
"Saya kira bukan, taihiap. Biarpun dia amat jahat, akan tetapi saya yakin dia tidak akan mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya kira, yang mengetahui siapa pembunuhnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi ketika itu taihiap baru berusia setahun, akan tetapi encimu, Sie Lan Hong...."
"Lopek,"
Sie Liong memotong.
"apakah di antara para penduduk dusun ini tidak ada yang kebetulan melihat orang asing malam itu di dusun ini, lopek?"
Kakek itu manggeleng kepala lagi.
"Tidak ada. Kalau ada, tentu dia sudah bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie Kauwsu dan kami semua merasa bersedih dan kehilangan."
Sie Liong mengerutkan alisnya, termenung.
"Lopek, banyak Terimakasih atas keteranganmu, dan aku tidak ingin lagi bicara tentang hal itu."
Setelah berkata demikian, pemuda ini bersila di depan makam dan memejamkan kedua matanya, bersamadhi.
Kakek Kwan tidak lagi berani mengganggunya. Terjadi perang di dalam pikiran Sie Liong. Mengapa encinya bercerita lain? Mengapa encinya seperti hendak menutupi kematian ayah ibunya, dan mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena penyakit menular? Benarkah encinya tidak tahu akan peristiwa itu? Ataukah encinya sengaja membohonginya? Akan tetapi, bagaimana mungkin encinya berbohong kepadanya? Dia yakin benar betapa besar kasih sayang encinya kepadanya. Dia tidak mau membicarakan urusan itu lagi dengan Kwan Sun, karena khawatir kalau orang-orang mencurigai encinya. Bagaimanapun juga, memang segalanya menunjukkan bahwa encinya tentu tahu akan peristiwa itu dan tahu pula siapa pembunuh ayah ibunya!
Hanya encinya yang tahu, dan dia pasti akan mendengarnya dari encinya. Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, encinya. Setelah merasa cukup melakukan sembahyang di depan makam itu, Sie Liong lalu mengikuti Kwan Sun yang menjadi lurah baru untuk pulang ke rumah baru lurah itu. Dia harus tinggal beberapa hari lamanya di dusun itu untuk melatih beberapa jurus kepada bekas murid-murid ayahnya agar para penduduk dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi ancaman orang-orang jahat seperti lurah Bouw. Dengan penuh semangat para penduduk dusun itu, terutama mereka yang pernah belajar silat kepada Sie Kauwsu berlatih silat di bawah bimbingan Sie Liong selama satu minggu. Dan pada ma-lam terakhir, Sie Liong duduk bersila di dalam kamarnya di rumah lurah Kwan merenungkan nasibnya.
Nasib yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya. Sejak kecil dia telah menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia menjadi murid orang-orang sakti dan berlatih ilmu di puncak bukit, hidupnya nampak indah dan berbahagia. Sekarang, begitu turun, dia mendengar berita kematian orang tuanya yang amat mengejutkan, yaitu bahwa ayah ibunya tewas karena dibunuh orang, sama sekali bukan karena penyakit. Ayah ibunya dan seisi rumah dibunuh, kecuali encinya dan dia! Apa artinya ini semua den mengapakah encinya harus berbohong kepadanya? Dia harus mendengar penjelasan dari encinya. Pada keesokan harinya dia berpamit meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya itu. Lurah Kwan terkejut mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi meninggalkan dusun mereka.
"Sie Taihiap, kenapa engkau tergesa-gesa hendak meninggalkan kami? Harap taihiap menanti selama beberapa hari karena kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap yang telah menyelamatkan semua saudara di dusun ini dari penindasan orang jahat. Selain itu, juga saya sendiri mempunyai urusan yang amat penting untuk diselesaikan kepada taihiap."
Sie Liong tersenyum. Dia memang memiliki rasa persaudaraan dekat sakali dengan para penghuni dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya. Kalau para penduduk hendak menjamunya, sebagai semacam pesta perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia tidak ingin mengecewakan hati mereka, dan pula, menunda beberapa
(Lanjut ke Jilid 09)
Kisah Pendekar Bongkok (Serial 06 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
haripun apa salahnya? Biarpun hatinya ingin sekali mendengar dari encinya tentang kenatian orang tuanya, namun dia tidak tergesa-gesa.
"Baiklah, Kwan Lopek. Aku tidak berkeberatan untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi jangan terlalu lama. Tentang urusanmu itu, apakah itu, lopek?"
"Sebelumnya maaf kalau pertanyaanku ini menyinggung karena terlalu pribadi. Akan tetapi bolehkah aku mengetahui apakah engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie Taihiap?"
Sie Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. Kalau saja dia tidak menerima penggemblengan ilmu-ilmu yang dalam, juga pengertian tentang kehidupan dari para gurunya, tentu pertanyaan itu akan menyinggung perasaannya. Dia seorang yang cacat, bagaimana berani memikirkan tentang perjodohan? Wanita mana yang mau didekati seorang laki-laki yang bongkok seperti dia? Yatim pi-atu, miskin, dan bongkok pula!
"Tidak, lopek. Aku masih hidup seorang diri."
Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira sehingga Sie Liong menjadi heran. Bahkan kini kakek itu tertawa.
"Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan menghendaki, dan kalau taihiap tidak merasa rendah, kami sekeluarga, bahkan seluruh penduduk dusun ini akan merasa berbahagia sekali kalau taihiap sudi menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si. Ia juga sudah yatim piatu dan ia seorang anak yang amat baik, taihiap."
Wajah Sie Liong berubah merah. Siu Si? Hemm, gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama sekali belum pernah berpikir tentang jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang manis itu mau di-jodohkan dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah baginya. Gadis itu berwajah manis, bertubuh padat dan sehat, juga seorang gadis dari dusun tempat kelahirannya sendiri.
"Bagaimana, Sie Taihiap? Maafkan kami kalau usulku tadi menyinggung perasaanmu. Memang kami akui bahwa Siu Si seorang gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apabila dibandingkan dengan taihiap."
"Ah, jangan berkata demikian, lopek! Sama sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu. Bahkan aku merasa berterimakasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak mempunyai ayah ibu, aku harus minta keputusan enci-ku dalam hal perjodohan. Maka, bersabarlah kalau aku belum dapat memberi jawaban dan keputusan sekarang. Aku akan menyampaikan kepada enci dan minta keputusan enci."
"Tapi.... tapi, engkau sendiri tidak berkeberatan, taihiap?"
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sie Liong menggelengkan kepala. Lurah Kwan menjadi girang bukan main.
"Terimakasih, taihiap! Aku akan memberitahu kepada kawan-kawan agar secepatnya mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang ke rumah encimu!"
Pada keesokan harinya, perjamuan makan untuk menghormati Sie Liong dan untuk menghaturkan selamat jalan diadakan di rumah Lurah Kwan. Semua penghuni dusun itu hadir, dan Sie Liong duduk semeja dengan Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si sendiri. Gadis ini nampak malu-malu, karena ia sudah diberitahu oleh kakeknya tentang usaha kakeknya menjodohkannya dengan pendekar itu.
Sie Liong melihat betapa gadis yang manis ini kelihatan canggung dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie Liong yang tajam dapat menangkap bekas air mata dan mata yang agak kemerahan oleh tangis, dan bahwa sikap ramah dan senyum di bibir yang mungil itu tidak wajar, seperti dipaksakan. Lurah Kwan bangkit berdiri dan minta perhatian kepada semua orang, lalu dia membuat pengumuman bahwa dia telah menjodohkan Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong! Tentu saja berita ini amat menggembirakan para penduduk dusun itu dan mereka menyambutnya dengan sorakan dan tepuk tangan. Lurah Kwan mengangkat kedua lengan ke atas dan merekapun diam, wajah mereka berseri dan mereka mendengarkan penuh perhatian apa yang akan diucapkan oleh kepala dusun baru itu.
"Perjodohan ini telah kami bicarakan dengan Sie-taihiap, dan diapun tidak berkeberatan. Akan tetapi jawaban dan keputusannya akan diberikan setelah dia menyampaikan hal itu kepada encinya yang kini tinggal di kota Sung-jan. Karena itu, dalam waktu dekat ini Sie-taihiap akan meninggalkan dusun kita dan pulang ke Sung-jan untuk minta persetujuan encinya."
Kembali orang-orang bersorak dan bertepuk tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa Siu Si, gadis yang tadi melayani mereka bahkan diajak makan bersama oleh kakeknya, diam-diam telah pergi meninggalkan meja dan keluar dari ruangan itu. Kwan Sun yang melihat hal itu hanya tertawa.
"Maafkan cucuku. Maklum, ia malu-malu,"
Katanya dan Sie Liong juga tidak berkata sesuatu.
Malam itu, di dalam kamarnya, Sie Liong agak gelisah. Malam terakhir dia di rumah keluarga Kwan yang menjadi lurah baru, karena besok pagi-pagi dia akan pergi meninggalkan dusun itu. Akan tetapi bukan hal itu yang membuatnya tidak dapat tidur. Dia membayangkan keadaan sendiri, tentang ikatan jodoh itu. Bagaimana kalau encinya menyetujui ikatan jodoh itu? Kalau encinya tidak setuju, hal itu bukan yang digelisahkan. Kalau encinya tidak setuju, tinggal menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak jadi. Dia hanya suka saja kepada Siu Si yang manis, apalagi gadis sedusun dengannya. Dia belum dapat merasakan, belum tahu dan belum mengerti apa itu yang dinamakan cinta antara pria dan wanita. Akan tetapi, bagaimana kalau encinya setuju? Apakah dia harus menikah dengan Siu Si?
Lalu apa jadinya dengan dia? Dia tidak mempunyai rumah tinggal, tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan sesuatu. Tinggal di rumah Lurah Kwan? Sebagai laki-laki, tentu hal ini merendahkan harga dirinya. Ikut encinya? Inipun tidak betul, mengingat akan sikap cihu-nya dan bahkan urusan kematian orang tuanya masih menjadi rahasia yang harus dia tanyakan kepada encinya. Dan Bi Sian.... Tiba-tiba Sie Liong tertegun dan termeung. Bi Sian! Terbayanglah wajah anak perempuan yang manis, manja dan galak itu, dan jantungnya berdebar. Mengapa timbul parasaan yang amat aneh ketika dia teringat kepada Bi Sian? Uhh, anak itu tentu akan menggodanya setengah mati kalau mendengar bahwa dia hendak kawin! Tiba-tiba saja timbul penyesalan di dalam hatinya. Mengapa dia tergesa-gesa menerima usul lurah Kwan?
Kini dia telah melangkah maju, tidak mungkin mundur lagi tanpa menyakiti hati keluarga Kwan. Tiba-tiba Sie Liong bangkit duduk, memejamkan mata dan mengerahkan pendengarannya yang terlatih. Dia mendengar suara isak tangis tertahan! Karena mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak bares, apalagi dia menduga bahwa tangis itu agaknya suara tangis Siu Si di dalam kamarnya, dengan hati-hati Sie Liong membuka jendela kamarnya dan sekali berkelebat dia sudah berada di luar kamarnya, kemudian meloncat naik ke atas genteng dan mengintai ke dalam kamar gadis yang dicalonkan menjadi isterinya itu. Benar saja. Siu Si duduk di atas pembaringan sambil menangis lirih. Agaknya gadis itu menahan suara tangisnya agar tidak kedengaran orang lain. Seorang wanita setengah tua duduk di dekat gadis itu dan menghiburnya.
"Bibi Liu, kau tidak perlu membujuk dan menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh engkau menemaniku dan membujukku. Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama bersahabat akrab dengan Sui-koko, dan semua orang tahu, engkau juga tahu bahwa kami saling mencinta dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Bahkan kong-kong, biarpun tidak secara resmi, menyetujui kalau Siu-koko kelak menjadi suamiku. Akan tetapi kenapa tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan.... Si Bongkok itu?"
"Hushh, jangan berkata demikian, Siu Si. Dia adalah seorang pendekar sakti yang budiman...."
"Aku tidak perduli! Biar dia sakti seperti dewa sekalipun, aku tidak sudi, aku tidak suka padanya. Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk?"
Siu Si menangis lagi.
"Hushh, kau tidak boleh berkata begitu, Siu Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi dia tidaklah buruk. Pula, dia telah menyelamatkan kita semua, terutama engkau! Kalau tidak ada dia, bukankah engkau telah menjadi tawanan Lurah Bouw?"
"Tapi dia menolongku dengan pamrih! Buktinya, setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi saja dan bahkan ingin menjadi suamiku? Aku tidak sudi.... tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok! Aihh, aku mau minggat saja dengan Siu-koko...."
"Hushhh....!"
Wajah Sie Liong menjadi pucat, lalu merah kembali dan tanpa diketahui siapapun, dia sudah melayang turun kembali ke dalam kamarnya. Hatinya seperti ditusuk rasanya. Dia menyelamatkan dusun kelahirannya, menolong penduduk dengan hati yang jujur, menghindarkan Siu Si dari bahaya dengan sesungguhnya tanpa pamrih. Akan tetapi kini dia dituduh yang bukan-bukan. Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya Si Bongkok dengan nada suara menghina dan penuh kebencian! Dan gadis yang amat membencinya itu akan menjadi isterinya? Tidak, tidak mungkin! Dengan tubuh lemas dan jari tangan agak gemetar Sie Liong lalu menulis sepucuk surat, pendek saja isinya.
Kwan Lopek,
Maafkan kepergianku tanpa pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja. Aku tidak mau terikat perjodohan dan aku bukan calon suami yang baik bagi cucumu.
Sie Liong.
Malam itu juga Sie Liong meninggalkan rumah Lurah Kwan, meninggalkan dusun Tiong-cin lalu keluar menuju ke barat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala di timur, dia sudah tiba di puncak sebuah bukit. Dia duduk menghadap ke arah matahari yang baru tersembul, duduk memeluk kedua lututnya, tersenyum pahit dan kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si di antara isaknya.
"Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk? Aku tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok...."
Senyum yang menghias wajah Sie Liong menjadi pahit sekali. Ia mengepal tinjunya, wajahnya merah. Akan tetapi kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis. Kenapa dia harus marah? Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa? Biarlah dia berbahagia dengan kebongkokannya, dengan keburukannya. Bongkok dan buruk hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterimakasih kepada Siu Si. Seorang gadis yang hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani menentang kesewenang-wenangan.
Kakeknya memang sewenang-wenang! Kalau kakek Kwan itu sudah tahu bahwa cucunya saling mencinta dengan seorang pemuda lain, kenapa mempunyai niat hendak menjodohkan cucunya itu dengan dia! Untuk membalas budi? Untuk mencari muka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan dan keselamatan penduduk? Yang jelas, niat itu sudah pasti berpamrih. Kalau tidak, tentu kakek Kwan tidak akan memutuskan ikatan kasih sayang antara cucunya dan pemuda lain. Ya, dia harus berterimakasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain yang lemah dan tidak berdaya, tidak menentang melainkan "terima nasib", bukankah dia akan memasuki sebuah perkawinan yang celaka? Isterinya akan merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan membencinya, dan hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!
"Terimakasih, Siu Si...."
Dia berbisik, lalu bangkit berdiri. Pagi itu indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan sinar redup cemerlang. Dia tersenyum kepada matahari.
"Terimakasih, matahari, untuk pagi yang seindah ini...."
Dia kembali berbisik dan memandang matahari. Tidak lama, karena segera sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik untuk kesehatan mata. Sie Liong membalikkan tubuh, lalu menuruni puncak bukit itu, senyumnya tidak lagi pahit, melainkan senyum cerah, menyongsong hari yang cerah.
"Terimakasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok ini...."
Dia berbisik penuh rasa sukur. Bukankah tubuhnya itu pemberian Tuhan? Bongkok atau tidak, pemberian Tuhan adalah anugerah yang sempurna, dan patut disukuri. Biarlah semua orang tidak menyukainya dan menghinanya karena tubuhnya yang bongkok, dia tidak akan berkecil hati. Memang dia bongkok, tinggal orang lain mau menerimanya seperti apa adanya ataukah tidak. Dia memang bongkok dan dia tidak ingin menjadi tidak bongkok, karena keinginan seperti itulah yang menyengsarakan kehidupan manusia. Mengi-nginkan sesuatu yang tidak dimilikinya, menginginkan sesuatu yang lain dari yang pada yang ada. Tidak, dia tidak menginginkan apa-apa. Dia memang bongkok, seorang pemuda yang berbahagia.
"Liong-te....!"
Sie Lan Hong menjerit dan merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita itu merangkul dan menangis di dada adiknya.
"Aih, Liong-te.... betapa girangnya hatiku melihatmu....!"
Sie Liong membiarkan encinya menangis dan menumpahkan semua peraaaan haru dan rindu, juga kebahagiaan hati melihat bahwa adik yang telah lama menghilang itu kini muncul dalam keadaan selamat dan telah menjadi seorang pemuda dewasa. Setelah mereda guncangan hatinya, Sie Lan Hong melepaskan rangkulannya.
"Enci, marilah kita duduk dan bicara,"
Kata Sie Liong,
"dan mana ci-hu (kakak ipar)?"
"Cihu-mu.... dia pergi, sebentar tentu akan kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di dalam."
Sambil bergandeng tangan mereka masuk. Diam-diam Sie Liong memperhatikan segala yang nampak di situ. Encinya nampak kurus dan pucat, dan garis-garis duka membuat encinya nampak tua. Padahal kini usianya mendiri dua puluh tahun, berarti encinya baru tiga puluh empat tahun. Belum setua nampaknya! Tentu encinya hidup dalam kedukaan, pikirnya.
Karena dia pergi? Dan rumah ini berbeda jauh dengan tujuh delapan tahun yang lalu. Cihu-nya yang berdagang rempa-rempa dapat dikatakan hidup makmur biarpun tidak terlalu kaya. Dahulu, prabot rumahmya cukup mewah dan keluarga encinya hidup berkecukupan. Akan tetapi sekarang sunguh berbeda sekali keadaannya. Pakaian yang dikenakan encinya juga tidak seindah dulu. Di tububuya tidak pula nampak perhiasan mahal. Dan prabot rumah sudah berganti semua, terganti prabot yang murah dan buruk. Tentu saja hati Sie Liong diliputi perasaan khawatir sekali walaupun wajahnya tidak membayangkan sesuatu ketika dia duduk berhadapan dengan encinya. Keduanya saling pandang dan wajah wanita itu berseri melihat betapa adiknya, walaupun punggungnya masih bongkok, namun telah menjadi se-orang pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan tubuhnya nampak sehat.
"Liong-te, selama ini engkau pergi ke mana saja?"
"Aku mempelajari ilmu silat, enci, berguru kepada orang-orang sakti dari Himalaya."
Sie Liong menceritakan secara singkat tentang riwayatnya ketika belajar ilmu silat. Mendengar ini, encinya girang sekali.
"Ah, sukurlah, adikku. Dengan demikian, maka engkau kini tentu menjadi seorang pendekar yang tidak akan mengecewakan hati ayah dan ibu di alam baka...."
Sie Liong merasa heran. Biasanya dahulu encinya paling tidak suka membicarakan ayah dan ibu mereka yang sudah tiada.
"Enci Hong, kedatanganku ini untuk bertanya sesuatu kepadamu dan harap sekali ini engkau tidak berbohong kepadaku."
Wanita itu terbelalak memandang kepadanya, mukanya segera berubah agak pucat dan sinar matanya membayangkan ketakutan.
"Apa.... apakah yang ingin kautanyakan, adikku?"
"Apa yang telah terjadi dengan ayah dan ibu kita, enci?"
Wanita itu nampak semakin kaget.
"Ayah dan ibu? Mereka.... mereka meninggal dunia...."
"Tak perlu membohong lagi, enci. Aku sudah pergi ke Tiong-cin dan di sana aku mendengar bahwa ayah dan ibu, dan juga suheng Kim Cu An, dua orang pelayan wanita, anjing, ayam dan kuda, semua dibunuh orang pada suatu malam. Nah, enci tidak perlu berbohong lagi!"
Sie Lan Hong menangis, lalu mengusap air matanya dan berkata,
"Engkau maafkan aku, Liong-te. Memang dulu aku berbohong kepadamu agar tidak membuat engkau penasaran dan diracuni dendam. Memang pada malam jahanam itu keluarga ayah diserbu musuh. Ayah telah mengetahuinya, maka dia memaksa aku pergi meninggalkan rumah dan membawa engkau yang baru berusia sepuluh bulan. Ayah memaksaku, dan andaikata aku tidak pergi membawamu mengungsi, tentu kita berdua sudah menjadi korban pembunuhan pula...."
Sie Liong memandang wajah encinya dengan tajam dan penuh selidik.
"Enci, di dusun kita itu tidak ada seorangpun mengetahui siapa pembasmi keluarga kita. Apakah engkau tahu, enci? Siapakah musuh besar yang demikian kejam itu?"
Sie Lan Hong menangis lagi dan menggeleng kepala keras-keras.
"Tidak.... ah, aku tidak tahu.... aku tidak tahu.... aku mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tihu siapa pembunuh itu...."
Melihat encinya menangis lagi, agaknya berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka yang mengerikan, Sie Liong tidak bertanya lagi. Jadi benar ayah ibunya, suhengnya, dua orang pelayan dan semua binatang peliharaan di rumah orang tuanya dibunuh orang. Tentu orang itu menyimpan dendam yang amat hebat maka melakukan perbuatan sekejam itu. Lalu dia teringat kepada Yauw Bi Sian.
"Enci, aku tidak melihat Bi Sian. Di manakah ia?"
Encinya kembali memperlihatkan wajah duka.
"Ia juga pergi mempelajari ilmu. Ia bertemu dengan seorang sakti dan menjadi muridnya, lalu diajak pergi oleh gurunya itu."
"Ahhh....!"
Sie Liong kagum sekali mendengar ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar silat pada seorang sakti!
"Siapakah nama gurunya, enci?"
"Namanya Koay Tojin...."
Sie Liong menahan debaran jantungnya. Koay Tojin? Kakek yang seperti gila namun yang amat sakti itu? Koay Tojin adalah sute dari Pek-sim Sian-su, gurunya sendiri!
"Kapan ia pulang, enci?"
Tanyanya, hatinya masih berdebar girang.
"Entah, menurut janjinya dahulu ketika pamit, agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang."
"Enci yang baik, engkau kelihatan begini lesu, kurus dan sengsara. Juga aku melihat perubahan dalam rumah ini. Enci, apakah cihu gagal dalam usahanya dan menderita rugi? Apakah engkau sakit, enci?"
Ditanya demikian, Sie Lan Hong tiba-tiba menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis sesenggukan. Sedih sekali. Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja encinya menangis tersedu-sedu. Setelah tangis itu mereda, Sie Liong memegang tangan encinya, digenggamnya tangan itu.
"Enci, engkau hanya mempunyai aku sebagai keluargamu. Percayalah kepadaku dan ceritakan semuanya. Siapa tahu aku akan dapat meringankan beban penderitaan batinmu, enci."
Wanita itu menggeleng kepalanya.
"Aih, memang nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau pergi, lalu disusul Bi Sian juga pergi. Semenjak itu ah, cihu-mu berubah sama sekali. Dia dahulu begitu baik, begitu mencintaku, akan tetapi sudah beberapa tahun ini.... dia hampir setiap malam pergi. Dia berjudi sampai habis-habisan. Pekerjaannya tidak diurus sehingga bangkrut.... dan dia.... dia hanya berjudi dan pelesir saja...."
Sie Liong mengerutkan alianya. Cihu-nya itu sungguh semakin tua tidak mencari jalan terang! Akan tetapi, bagaimana dia dapat mencampuri urusan rumah tangga encinya? Bagaimanapun juga, cihu-nya telah menyeleweng, dan hal itu perlu ditegur dan diingatkan. Sie Liong teringat bahwa adiknya baru datang. Diusapnya air mata dan ia pun memaksa diri tersenyum.
"Aih, engkau datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak enak saja, Liong-te. Mari, engkau beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu untukmu."
"Biar kubersihkan sendiri, enci. Akupun tidak akan lama sekali tinggal di sini."
"Liong-te, jangan begitu! Engkau baru pulang dan engkau mendatangkan kegembiraan di hatiku. Jangan tergesa-gesa pergi. Temanilah encimu yang kesepian ini, Liong-te. Ah, kita sudah tidak mempunyai pelayan, semua harus dikerjakan sendiri."
"Baiklah, enci. Aku akan tinggal selama beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita."
Diam-diam dia bermakasud untuk membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu dia akan menggunakan teguran keras!
Setelah jauh malam, baru nampak Yauw Sun Kok pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok! Memang semenjak Bi Sian pergi, Yauw Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya karena anaknya tidak ada dan dia merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit lamanya. Dia merasa bosan dengan isterinya dan dia berpelesir di luaran, menjadi langganan rumah pelacuran dan rumah perjudian. Perdagangannya bangkrut karena tidak diurusnya sehingga perabot rumahpun yang berharga telah dijualnya untuk modal berjudi! Terhadap isterinya dia tidak perduli, bahkan pernah beberapa kali kalau isterinya mengomelinya, dia tidak segan turun tangan memukulinya. Melihat encinya tergopoh-gopoh membuka pintu depan, Sie Liong juga ke luar dari dalam kamarnya.
"Brakkkkkk!"
Daun pintu didorong kuat-kuat dari luar ketika kuncinya dibuka oleh encinya dari dalam dan tubuh Sie Lan Hong terdorong oleh daun pintu sampai terhuyung dan hampir jatuh.
"Perempuan gila! Perempuan malas! Engkau sudah segan membuka pintu untuk suamimu, hah? Engkau sudah bosan melayani aku, atau engkau sudah mempunyai seorang pacar simpanan? Awas, kubunuh kau!"
Bentak Yauw Sun Kok sambil berjalan terhuyung menghampiri isterinya. Jelas bahwa dia mabok. Karena diperlakukan kasar dan dimaki-maki di depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya hanya menghadapi suaminya dengan cucuran air mata, kini tak dapat menahan kemarahannya.
"Sungguh bagus sekali sikapmu ini ya? Sejak pagi engkau pergi meninggalkan rumah, pulang sudah malam dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu segera kubuka, engkau malah memaki-maki aku!"
Sie Liong hampir tidak mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga keadaan badan orang itu berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu rapi. Akan tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya kusut, matanya seperti orang mengantuk dan mulutnya cemberut. Cihu-nya itu seperti orang yang tidak percaya mendengar ucapan isterinya.
"Apa? Engkau hendak melawan, ya? Siapa yang mengajarmu melawan suami? Perempuan sial! Perempuan terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?"
Yauw Sun Kok mengangkat tangan ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun kuat, Sie Liong maklum bahwa kalau encinya terkena pukulan itu, bisa celaka. Sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat dekat dan dia menangkap pergelanggn tangan cihu-nya sambil berkata,
"Harap jangan memukul!"
Yauw Sun Kok menoleh ke kanan. Ketika melihat bahwa ada seorang pemuda menangkap lengannya, kemarahannya memuncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya.
"Bagus! Sungguh perempuan tak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar menyimpan seorang laki-laki di rumah, ya? Pantas, engkau berani melawan aku, suamimu!"
Dia maju dan hendak menyerang isterinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di depannya.
"Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci dan mendakwa yang bukan-bukan!"
"Engkau pemuda kurang ajar berani main-main dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok! Bongkok....?"
Yauw Sun Kok membelalakkan kedua matanya seolah-olah tidak dapat melihat dengan jelas, lalu mendekatkan mukanya.
"Engkau bongkok....? Benarkah engkau Sie Liong?"
"Benar, cihu. Aku Sie Liong."
"Sie Liong....? Ha-ha-ha....!"
Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok itu.
"Engkau sudah dewasa, akan tetapi masih cacat. Ha-ha-ha!"
Dia tertawa-tawa seperti orang gila.
"Jangan bicara sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dulu lagi. Dia telah menjadi murid orang-orang sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami,"
Kata Sie Lan Hong. Seketika Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak.
"Apa? Engkau....? Engkau handak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemm, mau apa engkau mencarinya, Sie Liong? Apa kau kira setelah beberapa tahun ini engkau belajar sedikit ilmu silat lalu kaukira akan mampu melawan pembunuh itu? Huh, jangan sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki kepandaian tinggi dan banyak pengalaman, masih tidak mampu menandingi pembunuh itu. Apalagi engkau?"
"Hemm, jadi cihu tahu siapa pembunuh ayah dan ibuku? Siapa dia itu, cihu?"
"Dia adalah Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang amat sakti. Aku sendiri tidak mampu mencarinya. Apa lagi bocah cacat seperti engkau!"
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walaupun dahulu juga cihu-nya tidak suka kepadanyaa, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya demikian kasar dan menghina. Teringat dia akan cerita encinya dan tadipun dia melihat betapa encinya akan dipukuli.
"Cihu! Tidak sepatutnya cihu berkata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak perduli! Dan sekarangpun cihu memperlihatkan sikap yang amat buruk terhadap enci!"
"Apa? Kau anak kurang ajar.... Hemm, encimu sudah mengadu, ya....?"
"Cihu, tanpa pengaduan dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan, pulang malam marah-marah, bahkan mau memukul enci! Keadaan rumah tanggamu menjadi rusak, habis-habisan, karena kauhabiskan untuk berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah terseret ke dalam lumpur...."
"Tutup mulutmu, keparat!"
Tiba-tiba Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim serangan kilat ke arah dada dan leher adik isterinya. Bi-arpun dia sedang mabok, akan tetapi karena memang dia seorang ahli silat yang pandai, serangannya ini masih amat berbahaya dan kalau hanya ahli silat biasa saja, masih akan sukar untuk dapat menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu. Akan tetapi, yang diserangnya adalah Sie Liong, biarpun seorang pemuda cacat, punggungnya bongkok namun dia murid tersayang dari Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Sian-su manusia sakti dari He-lan-san itu. Dengan mudah saja Sie Liong memiringkan tubuhnya dan menggunakan lengan kirinya untuk mendorong dari samping dan tubuh Yauw Sun Kok terpelanting!
"Cihu, aku tidak mau dihina dan dipukul lagi!"
Melihat betapa akibat serangannya membuat dirinya terpelanting, Sun Kok marah sekali. Dia menyambar ke arah dinding di mana tergantung sebatang pedang hiasan. Biar dia mabok, gerakannya masih cepat sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan kanannya, terlolos dari sarungnya.
"Jangan....! Jangan berkelahi! Jangan pergunakan pedang....!"
Sie Lan Hong berteriak ketakutan. Akan tetapi suaminya tidak memperdulikan jeritannya dan sudah menyerang Sie Liong dengan pedangnya. Pedang menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong menekuk lutut sehingga pedang itu menyambar lewat berdesing di atas kepalanya. Akan tetapi dengan cepat, pedang yang menyambar itu telah membalik dan kini menusuk ke arah dadanya.
"Cihu, engkau sedang mabok!"
Bentak Sie Liong dan dia menggunakan tangannya dari samping memukul pedang sambil mengerahkan tenaganya.
"Plakkk!"
Pedang itu terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang menjadi terkejut bukan main. Namun dia masih sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini maklum betapa cihunya yang mabok itu harus diberi hajaran agar sadar bahwa yang dihadapinya bukanlah anak bongkok dan lemah yang dahulu. Maka, dia sengaja menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.
"Dukkk!"
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keras sekali tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang. Pemuda itu masih berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan terbanting cukup keras. Dia bangkit duduk dengan mata terbelalak, dan pada saat itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahlan yang lebih hebat, sudah berlutut di dekatnya.
"Hemm, sudahlah. Engkau sedang mabok maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo, mengasolah.... tidurlah...."
Ia membantu suaminya bangkit berdiri dan memapahnya menuju ke kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah. Biarpun mabok, sebenarnya orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya terkejut bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Sungguh berbahaya sekali.
Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia meraza lebih aman menyembunyikan diri dan berlindung di balik kemabokannya, maka diapun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja ketika dipapah isterinya ke kamar. Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur. Kakek jembel itu duduk di bawah pohon besar, nampak melenggut. Memang nyaman sekali pada siang hari yang amat panas itu duduk berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh. Angin semilir sejuk dan kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar batang pohon, tongkat bututnya menggeletak di dekat kakinya yang dijulurkan. Kakek jembel ini sudah tua sekali, hampir delapan puluh tahun usianya.
Pakaiannya butut penuh tambalan. Tiba-tiba kedua matanya yang tadi tertutup seperti orang tidur, kini terbuka dan dia tertawa-tawa seorang diri, lalu memejamkan kembali matanya. Orang-orang yang melihat keadaannya ini tentu akan menduga bahwa dia seorang jembel tua yang hidup sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada tokoh kang-ouw lewat di situ dan melihat jembel tua ini, dia tentu akan terkejut setengah mati. Kakek tua ren-ta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Dia adalah Koay Tojin, seorang yang terkenal memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sepak terjangnya aneh dan biarpun dia jarang bahkan hampir tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw ketakutan kalau bertemu dengannya.
Mutiara Hitam Eps 23 Istana Pulau Es Eps 7 Istana Pulau Es Eps 14