Ceritasilat Novel Online

Istana Pulau Es 14


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Aahhh.... !"

   Dara itu menangis makin sedih ketika teringat akan itu semua. Kiranya dia menjadi korban seorang laki-laki yang keji! Dan tidak lama kemudian, terdengar suara aneh dari dalam kamar itu, seperti suara leher dicekik, suara yang akan menggegerkan seisi rumah pada esok harinya karena suara itu keluar dari kerongkongan dara yang tadi menggantung diri di kamarnya!

   Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena patah hati sebagai akibat terputusnya cinta kasihnya dengan Ciok Kun Hwa, kemudian ditambah lagi de ngan peristiwa bersama ibu tirinya sehingga dia diusir oleh ayahnya sendiri, Suma Hoat menjadi seorang laki-laki yang suka mempermainkan cinta wanita. Mula-mula dia hanya ingin membalaskan sakit hatinya kepada wanita, akan tetapi lama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaan dan menjadi penyakit sehingga dia berubah menjadi seorang yang selalu mencari korban, seperti seekor burung elang yang selalu kelaparan mengintai dari angkasa mencari anak ayam! Karena ilmu kepandaiannya tinggi dan tidak pernah ia dapat ditangkap, bahkan banyak orang gagah yang roboh ketika berusaha menangkapnya, Suma Hoat diberi julukan Jai-hwa-slan (Dewa Pemetik Bunga), bahkan nama aselinya dilupakan orang.

   Nona hartawan yang menggantung diri di kamarnya itu adalah korban yang entah ke berapa ratus, dan begitu keluar dari kamar, Jai-hwa-sian tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan diri dara yang telah menjadi korbannya. Dia tahu bahwa banyak di antara mereka yang membunuh diri untuk lari dari aib dan malu, ada pula yang diam-diam merahasiakan peristiwa satu malam itu, akan tetapi dia tidak peduli dan juga tidak ingin tahu. Begitu keluar dari kamar, dianggapnya bahwa di antara dia dan korbannya sudah tidak ada sangkut-paut lagi, tidak ada hubungan atau urusan apa-apa lagi.

   Sudah lebih dari lima tahun ia meninggalkan kota raja, meninggalkan orang tuanya dan selama perantauannya di dunia kang-ouw, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri sepak terjang orang-orang gagah dan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang golongan hitam. Biarpun dia sendiri tidak berani menganggap dirinya sebagai orang gagah atau pendekar budiman, namun di lubuk hatinya ia selalu merasa kagum kepada para pendekar itu dan muak menyaksikan kelakuan tokoh-tokoh dunia hitam. Mulailah terbuka mata hatinya betapa ayahnya selama ini melakukan perbuatan-perbuatan sewenang-wenang dan mulailah ia menaruh penghargaan kepada Menteri Kam, paman tuanya yang amat ia takuti itu.

   Dan ia berjanji di dalam hatinya untuk berusaha menjadi atau sedikitnya mencontoh perbuatan-perbuatan para orang gagah. Karena itu, pemuda ini selalu mengulurkan tangan kepada pihak yang tertindas dan menentang golongan dunia hitam sungguhpun ia tidak dapat naeninggalkan kesukaannya merayu wanita-wanita untuk menjadi korbannya, bahkan kalau perlu menggunakan kekerasan! Ia maklum bahwa perbuatannya itu tidak baik, akan tetapi dia sudah mencandu dan tidak dapat menghentikannya, terutama sekali kalau ia ingat akan sakit hati dan patah hatinya. Inilah sebabnya, di samping kebiasaannya memperkosa wanita, ia pun seringkali menolong orang-orang lemah tertindas sehingga dia di samping julukan Pemetik Bunga (Pemerkosa) juga di juluki Dewa!

   Pada masa itu, terjadilah perubahan besar. Setelah Kerajaan Khitan dihancurkan, terutama sekali oleh Kerajaan Yucen yang menjadi makin kuat, kemudian malah barisan Mongol ikut pula menyerbu, diam-diam dibantu oleh pasukan-pasukan Sung yang berada dalam kekuasaan Jenderal Suma Kiat, maka Kerajaan Yucen boleh dibilang tidak ada lagi saingannya di daerah utara di luar tembok besar. Benar bahwa bangsa Mongol sudah mulai memperlihatkan kekuatannya, namun bangsa ini sedang membangun dan menyusun kekuatan mengatasi bentrokan-bentrokan di dalam, di antara bangsa sendiri. Maka bangsa Yucen menjadi makin kuat sehingga bangsa ini mendirikan sebuah wangsa baru yang disebut Wangsa Cin.

   Namun segera menjadi kenyatean pahit bagi Kerajaan Sung bahwa Kerajaan Cin yang baru ini ternyata lebih bengis dan sewenang-wenang daripada Kerajaan Khitan yang sudah runtuh. Biarpun dahulu Kerajaan Khitan juga merupakan kerajaan kuat yang selalu menjadi ancaman untuk Kerajaan Sung, dan setiap tahun Kerajaan Sung mengirim upeti sebagai tanda persahabatan, namun Raja Talibu dari Kerajaan Khitan yang masih ingat akan darahnya yang separuh darah Han, tidak terlalu mendesak dan selalu memperlihatkan sikap yang bersahabat dan saling menghormat. Kini bangsa Cin yang tahu akan kelemahan Sung, menuntut upeti yang lebih besar dan yang sifatnya memaksa, seolah-olah upeti harus dlberikan sebagai tanda pengakuan kebesaran kerajaan baru Cin.

   Kalau dahulu bangsa Khitan tidak pernah mengganggu Kerajaan Sung, kini Kerajaan Cin mulai memperlihatkan keserakahannya, bersikap menghina kepada bangsa Han, bahkan sedikit demi sedikit daerah-daerah di utara yang termasuk wilayah Sung dirampas dengan kekerasan. Kerajaan Sung tak dapat mempertahankan daerah ini dan selalu didesak mundur ke selatan.

   Melihat keadaan ini, bangsa Han pada umumnya, terutama sekali kaum patriot dan orang gagah, menjadi cemas dan kecewa sekali. Tentu saja kekecewaan ini terutama mereka tujukan kepada pemerintah Sung yang amat lemah. Kaisar telah berada dalam cengkeraman para pembesar tinggi yang korup, hidup Kaisar dan keluarganya terlalu mewah, yang di perhatikan hanyalah kesenangan-kesenangan pribadi saja, seolah-olah tidak mem pedulikan betapa rakyatnya di sebelah utara ditindas, dirampok, ditawan dan dipaksa oleh bangsa Yucen yang kini mempunyai Kerajaan Cin yang makin kuat. Pesta pora, bersenang-senang, melakukan pemilihan dara-dara muda jelita setiap bulan memperbanyak isi haremnya dengan dara-dara cantik, membuang-buang kakayaan semena-mena tanpa mempedulikan bahwa semua itu adalah hasil keringat rakyat jelata, hanya inilah yang dikerjakanoleh kaisar dan keluarganya setiap saat.

   Di luar istana, pembesar-pembesar korup berbuat sekehendak hatinya, merajalela tanpa ada pengawasan, masing-masing mempunyai kekuasaan seperti raja-raja kecil di daerah masing-masing, mempergunakan kekuasannya untuk melakukan apa saja demi kesenangan diri pribadi, memeras, memaksa, merampas dan mengadakan peraturan-peraturan yang menekan bawahan. Setiap protes dan nasihat dianggap melawan kekuasaan dan terjadilah penangkapan-penangkapan dan hukuman-hukuman serta pembunuhan-pembunuhan sewenang-wenang. Di sebelah dalam istana sendiri, Kaisar hanya seperti boneka hidup yang tenggelam dalam pelukan data-dara muda jelita, dalam arak-arak wangi dan hidangan serba lezat, mabok oleh tubuh ramping berlenggak-lenggok menari,

   Terbuai suara musik dan nyanyian-nyanyian merdu, dan terlena oleh bisik dan bujuk rayu kaum penjilat. Kekuasaan yang sesungguhnya tidak terletak di tangan Kaisar, melainkan dipegang oleh para pembesar thaikam (orang kebiri) melalui lidah dan tubuh menggairahkan pera selir. Sedemikian besar kekuasaan dan pengaruh para thaikam dan selir muda itu sehingga boleh dibilang seluruh urusan kerajaan merekalah yang memutuskannya. Urusan pengangkatan pembesar-pembesar, baik sipil maupun militer tergantung kepada mereka. Mereka mengajukan usul dan Kaisar menelannya begitu saja. Karena ini, timbullah sistim konco-isme, keluarga-isme, dan sogok-isme, sogokan yang berupa apa saja, benda mati maupun benda hidup, benda mati berupa emas permata dan sutera-sutera halus, benda hidup berupa dara-dara jelita!

   Keadaan semacam ini tentu saja mengakibatkan makin lemahnya Kerajaan Sung. Para tokoh kang-ouw, para partai-partai persilatan dan perkumpulan-perkumpulan orang gagah merasa marah sekali dan kecewa bukan main sehingga mereka mulai membenci kerajaan yang dipimpin oleh orang-orang lalim itu. Mereka ini lalu terpecah-pecah, mendukung dan membantu pembesar-pembesar dan raja-raja muda yang menguasai daerah-daerah dan yang mulai memberontak dan tidak mengakui kedaulatan pemerintah Kerajaan Sung pusat. Yang paling dibenci oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan oleh pembesar-pembesar daerah, di antara para pembesar daerah, di antara pembesar pusat yang korup, adalah Jenderal Suma Kiat.

   Kebencian mereka memuncak ketika para pembesar daerah ini mendengar akan perbuatam Suma Kiat terhadap Menteri Kam yang mereka hormati, mereka percaya sepenuhnya sebagai penegak keadilan dan satu-satunya pembesar yang paling berani dalam menentang perbuatan lalim para thaikam dan kaisar sendiri, menjadi tewas. Bukan hanya para pembesar daerah yang membenci Suma Kiat, juga terutama sekali para tokoh kang-ouw yang menaruh hormat kepada putera Suling Emas itu, menjadi sakit hati dan berusaha untuk membalas kematian Menteri Kam. Mulailah terjadi kesimpangsiuran dan bentrokan-bentrokan ketika para pembesar daerah ini berkuasa dan berdaulat di daerah masing-masing dan mulailah penghidupan para pembesar kerajaan Sung menjadi tidak aman, setiap saat mereka terancam oleh pembunuhan-pembunuhan yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw dan juga mata-mata para pembesar daerah.

   Hampir semua partai persilatan mengadakan aksi anti Kaisar dan anti Kerajaan Sung. Kecuali Siauw-lim-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tua yang amat tinggi ilmunya, yaitu Kian Ti Ho Siang. Menghadapi kekacauan di Kerajaan Sung, ketika para muridnya menyatakan pendapat ketua mereka, Kian Ti Hosiang merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada sambil berkata,

   "Omitohud...., segala peristiwa telah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan menjadi akibat daripada sepak terjang manusia yang selalu dikuasai nafsu pribadinya! Kita adalah orang-orang beragama yang bertugas menyebarkan agama, ada sangkut-paut apakah dengan urusan kerajaan? Siapa pun yang menjadi pembesar, bagi kita sama saja, mereka adalah manusia-manusia yang belum sadar dan sudah menjadi kewajiban kita untuk memberi penerangan. Mengikuti perputaran dan pertentangan kerajaan, berarti terjatuh ke dalam api permusuhan dan hal ini sungguh bertentangan dengan sifat kita. Tidak, Siauw-lim-pai tidak boleh terbawa-bawa dan kalian semua pinceng larang untuk mencampuri pertentangan di antara pembesar-pembesar daerah, orang-orang kangouw dan pemerintah pusat."

   "Maaf, Supek, teecu sekalian tentu saja mentaati pesan Supek dan semua nasihat Supek benar belaka,"

   Kata seorang hwesio yang menjadi murid kepala, yaitu Ceng San Hwesio yang dianggap sebagai seorang hwesio yang paling maju dan yang diharapkan kelak menggantikan kedudukan Ketua Siauw-lim-pai setelah ketua sekarang yang terhitung supeknya itu mengundurkan diri.

   "akan tetapi apabila badai mengamuk, semua pohon besar kecil akan diamuk badai. Binatang-binatang kecil seperti burung sekalipun akan berusaha menyelamatkan diri, apakah kita harus mandah saja menjadi korban keganasan badai?"

   Dengan ucapannya ini, Ceng San Hwesio hendak mengatakan bahwa pertentangan antara para pembesar daerah dibantu orang kang-ouw dengan pemerintah pusat tentu akan mendatangkan perang dan mereka tentu akan terlanda akibat perang.

   Kian Ti Hosiang mengangguk-angguk, ia maklum bahwa para murid Siauw-lim-pai, disamping menjadi kaum beragama, juga merupakan orang kuat yang memiliki kepandaian, penegak kebenaran dan tentu saja merasa penasaran menyaksikan kelaliman merajalela. Pohon akan tunduk oleh kekuasaan alam dan akan condong ke mana angin bertiup tanpa perlawanan. Mencontoh sifat pohon bukanlah hal yang mudah, akan tetapi kalau kalian tidak dapat mencontohnya tirulah sifat burung dilanda badai, yaitu mencari perlindungan dan keselamatan diri tanpa merusak dan merugikan pihak lain.

   "Nah, kalian tentu mengerti dan laksanakanlah pesan pinceng ini."

   Setelah berkata demikian, Kian Ti Hosiang bersila dan memejamkan matanya. Ini merupakan tanda bagi para murid bahwa ketua itu mengakhiri wawancara dan telah mulai bersamadhi. Maka mereka pun bubaran. Demikian sikap Ketua Siauw-lim-pai ini dijadikan pegangan oleh para murid, juga oleh semua cabang-cabang Siauw-lim-pai yang tersebar dimana-mana. Sikap ini adalah tidak ingin mencampuri pertentangan dan menjauhkan diri dari urusan kerajaan, tidak melakukan perbuatan permulaan ke arah permusuhan, namun hanya boleh bertindak menyelamatkan orang lain.

   Cabang Siauw-lim-pai di kota Lo-kiu juga melakukan politik seperti itu. Para hwesio Siauw-lim-pai di cabang itu melakukan tugas mereka sehari-hari di dalam kelenteng dengan tekun dan ten teram, menyebar pelajaran tentang kasih sayang dan membantu rakyat yang membutuhkan bantuan. Beberapa kali mereka didatangi tokoh-tokoh kang-ouw, kaki tangan para pembesar daerah, dan petu gas-petugas pembesar pusat untuk mena rik mereka yang merupakan tenaga kuat untuk berpihak, namun semua permintaan ditolak dengan halus oleh Gin Sin Hwe sio, ketua kelenteng Siauw-lim-pai di Lo-kiu itu.

   Pada waktu itu memang belum ada terjadi perang terbuka, namun telah ada bentrokan-bentrokan kecil antara kaki tangan masing-masing pihak dan di ma na-mana, termasuk di Lo-kiu, terdapat pertentangan paham dan diam-diam terdapat mata-mata semua pihak yang saling menyelidiki. Namun seperti biasa, rakyat yang sudah kenyang akan pertentangan itu dan masih melanjutkan usaha mereka seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Perdagangan masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran masih penuh tamu yang datang untuk makan minum sambil bercakap-cakap. Di tempat-tempat seperti inilah sering kali dijadikan tempat pertemuan antara teman golongan masing-masing sehingga tidak jarang pula terjadi bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan luka-luka dan kematian.

   Akan tetapi, hal ini amatlah mengherankan dan mengagumkan pihak yang melakukan bentrokan selalu mengganti kerugian pemilik restoran atau rakyat yang menderita rugi akibat bentrokan-bentrokan itu. Hal ini adalah karena masing-masing golongan bukan hanya saling bermusuhan, akan tetapi juga berlumba untuk merebut hati rakyat yang amat diperlukan dukungannya. Karena itulah, maka pemilik restoran-restoran tidak khawatir akan terjadinya bentrokan-bentrokan bahkan sebagai pedagang-pedagang cerdik, setiap terjadi bentrokan yang merusakkan perabot restoran, mereka berkesempatan menarik keuntungan dengan menaikkan jumlah penafsiran ganti rugi! Juga para pembesar setempat selalu bersikap bijaksana, tidak mencampuri bentrokan-bentrokan itu karena sekali mereka ini mencampuri dan berat sebelah, berarti mereka akan menanam permusuhan!

   Pada suatu pagi, restoran itu sudah hampir penuh oleh tamu yang datang berbelanja. Ketika seorang pemuda tampan yang pakaiannya indah, dengan pedang bergantung di punggung, gagah sekali sikapnya, memasuki restoran, pelayan menyambutnya dengan ramah dan mempersilakan duduk di meja sudut sebelah dalam yang kosong. Pemuda ini bukan lain adalah Suma Hoat. Semenjak meninggalkan gadis yang kemudian membunuh diri, dua hari yang lalu, dia belumi bertemu dengan wanita yang menggerakkan berahinya sehingga hatinya menjadi kesal. Ia memasuki kota Lo-kiu, juga dengan niat mencari calon korbannya, akan tetapi wanita di daerah ini tidak ada yang menarik hatinya. Ia menanggalkan pedang buntalan pakaiannya, meletakkan di atas meja dan memesan makanan dan minuman.

   Setelah pelayan pergi untuk melayani pesanannya, pemuda ini menyapu ruangan restoran dengan pandang matanya. Tamu yang memenuhi tempat itu terdiri dari bermacam-macam golongan, dan ramailah mereka itu bercakap-cakap dengan teman masing-masing yang duduk semeja. Tidak ada yang menarik perhatian Suma Hoat, karena mereka itu terdiri dari pedagang-pedagang dan pelancong-pelancong. Melihat betapa para pedagang dan pelancong memenuhi restoran sambil bercakap-cakap bersendau-gurau, keadaan nampaknya tenang tenteram dan damai. Akan tetapi ketika seorang tamu baru memasuki restoran, perhatian Suma Hoat segera tertarik sekali. Orang ini adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengannya, paling tinggi dua puluh lima tahun usianya,

   Pakaiannya sederhana sekali, bahkan yang amat mencolok adalah kakinya yang tidak bersepatu, telanjang sama sekali! Laki-laki ini memanggul sebuah tongkat dan ujung tongkat tampak sebuah buntalan kain kuning yang agaknya berisi pakaian. Wajah laki-laki ini kurus seperti tubuhnya, dan tidak ada keanehan menonjol pada dirinya, kecuali kaki telanjang itu dan sinar matanya yang tajam, senyumnya yang seolah-olah mengejek pada keadaan di sekitarnya. Rambutnya diikat ke atas dan dia lebih mirip seorang tosu perantau, hanya pakaiannya tidak seperti pendeta To-kauw (Agama To), melainkan seperti seorang petani yang bangkrut! Tidaklah mengherankan apabila pelayan restoran menyambut tamu istimewa ini dengan alis berkerut, hati curiga dan pandang mata pelayan itu naik turun melalui pakaian sederhana dan kaki telanjang. Laki-laki itu mengikuti pandang mata Si Pelayan lalu berkata,

   "Bung Pelayan, engkau tidak melayani pakaian dan sepatu, bukan? Yang kau layani bukan pula orangnya, melainkan uangnya, bukan? Nah, aku mempunyai uang itu, maka jangan ragu-ragu melayani uangku!"

   Setelah berkata demikian, laki-laki itu menepuk-nepuk bungkusannya dan terdengarlah suara berkerincingnya perak. Pelayan itu cepat membungkuk dan mempersilakan tamu aneh itu dan tidak jauh dari meja Suma Hoat. Ketika melewati meja ini, laki-laki tadi melirik ke arah pedang yang terletak di meja Suma Hoat, mengerling tajam ke arah Suma Hoat, lalu tersenyum dan membungkuk. Akan tetapi, betapapun tertarik hatinya, Suma Hoat pura-pura tidak melihatnya. Di dalam hatinya ia merasa geli dan menganggap betapa tepatnya ucapan orang aneh itu. Memang tidak dapat disangkal betapa palsu sikap manusia yang matanya sudah tertutup oleh bayangan perak dan emas, silau oleh harta dunia sehingga setiap gerakan mereka merupakan pengabdian terhadap harta dunia!

   Orang menilai orang lain bukan dari orangnya, melainkan dari pakaian, kekayaan, dan kedudukannya, pendeknya yang dinilai adalah hal-hal yang sekiranya dapat mendatangkan kesenangan dan keuntungan bagi yang me nilai! Buktinya tersebar di mana-mana. Datanglah ke rumah seseorang ddengan pakaian butut dan nama tak terkenal, maka engkau akan disambut dengan penuh curiga, pandang rendah dan penghinaan karena Si Tuan Rumah mang anggap bahwa engkau hanya akan menda tangkan kerugian dan ketidaksenangan belaka. Sebaliknya, kalau engkau datang de ngan pakaian serba indah, dengan kekayaan berlimpah, dengan kereta mewah dan dengan nama besar serta kedudukan, tentu engkau akan disambut dengan terbongkok-bongkok dan tersenyum-senyum karena engkau dianggap akan mendatangkan keuntungan atau kesenangan! Hal ini tak mungkin dapatdibantah lagi karena memang kenyataannya demikianlah.

   Maka, biarpun sikapnya tak acuh, diam-diam Suma Hoat memperlihatkan laki-laki itu dan menduga bahwa orang itu tentulah bukan orang sembarangan, sungguhpun tak tampak sebatang pun senjata pada dirinya. Timbul kegembiraannya karena ada sesuatu yang menarik hatinya dan di dalam hatinya timbul pula keyakinan bahwa munculnya seorang tokoh luar biasa seperti ini tentu akan disusul dengan peristiwa yang menarik. Akan tetapi ia meragu. Jangan-jangan orang yang masih muda ini hanya berlagak saja, karena pada waktu itu memang tidak jarang orang berlagak dengan pakaian dan sikap yang aneh-aneh agar dianggap orang aneh, atau setidaknya agar dianggap bahwa dia adalah lain daripada yang lain! Si Pelayan yang sudah biasa melayani orang-orang kang-ouw, kalau tadinya menganggap laki-laki itu sebangsa pengemis yang merugikan, kini dapat menduga pula bahwa orang aneh itu tentulah seorang kang-ouw maka ia bertanya dengan sikap hormat.

   "Sicu hendak memesan apakah?"

   Akah tetapi orang itu tidak menjawab, hanya memandang ke arah pintu depan. Si Pelayan menoleh ke arah pintu dan tiba-tiba mukanya berubah, senyumnya melebar dan serta-merta ia meninggalkan orang itu dan lari terbungkuk-bungkuk menyambut datangnya serombongan tamu yang tiba.

   Melihat ini, Suma Hoat memandang pula dan diam-diam ia menaruh perhatian karena dapat menduga dari langkah-langkah kaki dan sikap lima orang itu bahwa mereka adalah orang-orang penting dan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka itu terdiri dari dua orang yang pakaiannya seperti perwira tinggi, dua orang pula berpakaian sebagai orang-orang kang-ouw dengan pedang di punggung, dan seorang lagi adalah hwesio berkepala gundul dan berpakaian serba kuning. Pada waktu sekacau itu, melihat seorang pendeta hwesio memasuki restoran bukan merupakan penglihatan aneh. Lima orang itu memasuki ruangan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa, sedangkan Si Pelayan yang menyambut segera berkata,

   "Selamat datang, Ngo-wi (Tuan Berlima) yang terhormat! Pesanan ciangkun kemarin telah kami sediakan. Silakan, di sanalah tempat terhormat Ngo-wi!"

   Pelayan itu dengan bantuan beberapa orang temannya lalu mengatur meja, tiga meja disatukan di tengah ruangan itu, di depan meja Suma Hoat dan orang bertelanjang kaki.

   Dengan sikap angkuh lima orang itu menarik kursi dan duduk mengelilingi meja, dua orang perwira membelakangi Suma Hoat dan Si Tosu membelakangi meja laki-laki berkaki telanjang. Suma Hoat mulai makan, akan tetapi diam-diam ia memperhatikan lima orang itu, dan juga memperhatikan Si Kaki Telanjang yang masih belum memesan makanan karena ditinggalkan pelayan yang kini sibuk melayani lima orang itu. Karena lima orang itu menanti pesanan makanan mereka yang amat banyak sambil bercakap-cakap perlahan, Suma Hoat sambil makan memasang telinga dan menangkap percakapan mereka.

   "Sungguh menjemukan sekali keledai-keledai gundul itu!"

   Kata seorang perwira yang bertubuh tinggi besar.

   "Akan tetapi, mulai malam nanti mereka tidak akan dapat tinggal diam lagi!"

   Kata perwira kurus sambil tertawa.

   "Kabarnya mereka lihai,"

   Kata orang yang berpakaian tokoh kang-ouw, bajunya berwarna biru.

   "Aahh, yang lihai hanya ketuanya, dan pinto sanggup melawannya,"

   Kata Si Tosu dengan suara rendah. Pinto akan mem perkenalkan diri sebagai tokoh Hoasan....

   "Sstt, harap Totiang hati-hati,"

   Perwira gemuk mencela dan menoleh ke kanan kiri.

   "Takut apa?"

   Tosu itu berseru dan melirik ke arah Suma Hoat yang masih makan dan berpura-pura tidak mendengar.

   "Semua sudah diatur baik. Memang Hoa-totiang benar. Kalau pusat perkumpulan mereka mendengar bahwa cabang mereka terbasmi oleh perwira Sung dan tokoh Hoa-san, hendak kulihat apakah ketua pusatnya akan tetap dingin saja,"

   Kata pula perwira kurus. Percakapan mereka terhenti karena munculnya empat orang pelayan yang membawa hidangan yang mereka pesan. Banyak benar hidangan itu dan mereka sudah mempersiapkan sumpit ketika mereka dikejutkan oleh suara orang menggebrak meja sambil berseru,

   "He, Bung Pelayan yang tidak adil! Aku sudah datang lebih dulu dan pesan lebih dulu, mengapa orang-orang lain yang datang belakangan dilayani lebih dulu? Sungguh menjemukan!"

   "Sicu, harap bersabar....!"

   Pelayan membujuk dengan wajah ketakutan, bukan takut terhadap Si Kaki Telanjang, melainkan takut kepada rombongan lima orang itu karena ia membungkuk-bungkuk kepada dua orang perwira sambil menggumam.

   "Ciangkun, maafkan....!"

   Melihat ini, Suma Hoat menjadi panas perutnya dan ia pun berkata,

   "Pelayan, tugasmu melayani tamu yang sama-sama membayar tanpa pilih kedudukan dan pilih kasih!"

   Pelayan itu makin ketakutan dan empat orang pelayan mundur-mundur ketika melihat betapa lima orang itu melototkan mata mereka. Si Perwira kurus memencet hidungnya dan berkata,

   "Wah-wah, banyak sekali lalat di sini! Membikin orang kurang bernafsu makan saja! Biar kubasmi lalat-lalat ini!"

   Katanya dan menyambar kain lap dari pundak seorang pelayan, kain itu ia gerakkan ke atas, ke kanan kiri dan.... belasan ekor lalat yang memang banyak terdapat di situ terkena sambaran angin pukulan, runtuh semua ke atas meja Si Kaki Telanjang!

   Si Kaki Telanjang melihat bangkai belasan ekor lalat di atas mejanya, dan terdengarlah suara ketawa lima orang itu terbahak-bahak,

   "Ha-ha-ha!"

   Si Perwira Kurus yang memperlihatkan kepandaian nya itu tertawa.

   "Kalau sudah amat ke laparan, lalat pun merupakan hidangan yang lumayan! Ha-ha-ha-ha!"

   Lima orang itu tertawa lagi, yang paling keras ketawanya adalah Si Perwira Kurus karena ia sengaja hendak menghina Si Kaki telanjang yang menoleh sambil tertawa mangerling ke arah Si Kaki Telanjang.

   "Ha-ha-ha-hauuup....!"

   Tiba-tiba Si Perwira kurus menghentikan ketawanya, matanya mendelik, ia terbatuk-batuk dan berusaha mengeluarkan tiga ekor lalat yang menyambar memasuki mulutnya yang tadi tertawa dan kini bersarang ke tenggorokkannya.

   "Haaak-agghh.... haaakk-huaaakkk!"

   "Eh, kau kenapa?"

   Temannya Si Per wira Gemuk, bertanya, juga tiga orang lainnya memandang heran, menghentikan ketawa mereka.

   "Ughh-ughh...., lalat...., masuk mulut...., si bedebah!"

   Perwira kurus itu terbatuk-batuk dan empat orang temannya tertawa-tawa geli, akan tetapi mereka itu menjadi terheran-heran juga mengapa ada lalat bisa masuk ke mulut teman mereka.

   "Tiga ekor...., ihh, huakk, si keparat!"

   Perwira itu menyumpah-nyumpah dan terpaksa menelan tiga ekor lalat itu karena tidak berhasil mengeluarkannya. Empat orang temannya makin terheran. Suma Hoat memandang dengan kagum. Ia melihat tadi betapa Si Kaki Telanjang itu menggunakan telunjuk kirinya menyentil tiga ekor bangkai lalat dari atas mejanya dan menerbangkan bangkai tiga ekor lalat itu memasuki mulut Si Perwira Kurus. Dia ikut merasa gembira dan tak dapat menahan ketawanya. Ha-ha-ha, memang bagi yang kelaparan, tiga ekor bangkai lalat juga merupakan hidangan lumayan! Lima orang itu semua menengok ke pada Suma Hoat, dan Si Perwira Gemuk lalu minum araknya setelah berkata,

   "Menangkap lalat banyak caranya, aku suka dengan cara ini!"

   Setelah minum arak semulut penuh, ia lalu menyemburkan arak dari mulutnya ke arah lalat-lalat yang beterbangan. Belasan ekor lalat disambar percikan arak, dan berikut percikan araknya, bangkai-bangkai lalat itu menyambar ke arah Suma Hoat! Ini pun merupakan demonstrasi kepandaian yang tidak rendah karena seperti halnya Si Perwira Kurus tadi, Si Gemuk itu pun menyembur dengan pengerahan tenaga sin-kang yang kuat. Dengan tenang Suma Hoat melambaikan tangan kirinya dan percikan arak bersama bangkai-bangkai lalat itu terputar-putar kemudian ia mengangkat mangkok kuah dan semua percikan arak berikut bangkai lalat masuk ke dalam mangkok itu, semua masuk dengan tepat seolah-olah dituangkan ke situ. Suma Hoat memandang kepada Si Gemuk dan berkata,

   "Kalau orang gemar kuah deging lalat, silakan minum!"

   Maka terbanglah mangkok dan kuah itu ke arah Si Perwira Gemuk.

   "Setan....!"

   Si Perwira berseru dan mengelak dengan jalan melempar tubuh ke belakang, akan tetapi mangkok itu melayang dari atas dan mengguyur kepalanya sehingga kepalanya dan mukanya tersiram kuah dan bangkai-bangkai lalat. Biarpun ia gelagapan dan mukanya terasa perih, tangan perwira gemuk itu masih berhasil menangkap mangkok dan sekali remas mangkok itu hancur berkeping-keping!

   "Ha-ha-ha! Hebat! Hebat! Ada yang suka mengganyang lalat mentah-mentah, ada pula yang suka mandi kuah lalat, ha-ha-ha!"

   Kini Si Kaki Telanjang yang berjingkrak dan bertepuk tangan, diam-diam ia kagum sekali menyaksikan kepandaian pemuda pesolek tampan yang tadi sudah menarik perhatiannya itu.

   "Makanlah!"

   Si Perwira Kurus menyambar dua buah mangkok sayurnya yang belum dimakan sesendok pun, dilemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Akan tetapi orang aneh ini menerima dua buah mangkok itu dengan kedua tangannya, tangkas sekali gerakannya sehingga ketika ia meletakkan dua buah mangkok itu, tidak ada setetes pun kuahnya tumpah.

   "Ha-ha-ha, lagi! Lagi....!"

   Katanya gembira. Dua orang kang-ouw yang melihat ini menjadi penasaran, mereka pun menyambar mangkok-mangkok masakan dan melemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Cepat sekali sambaran mangkok-mangkok itu, namun Si Kaki Telanjang lebih cepat lagi menerima mangkok-mangkok itu seperti seorang pemain akrobat yang mahir dan susulan mangkok-mangkok berikutnya diterima semua sampai semua hidangan dari atas meja lima orang itu kini pindah ke mejanya.

   "Singggg....!"

   Tiba-tiba tampak sinar berkelebat, sinar putih yang menyambar cepat bukan main ke arah Si Kaki Telanjang. Melihat ini, Suma Hoat terkejut. Yang melempar itu adalah Si Tosu dan yang dilemparkan sebuah piring sehingga senjata rahasia itu menyambar cepat bukan main, padahal saat itu, Si Kaki Telanjang sedang sibuk menerima sambaran mangkok-mangkok terakhir.

   "Ke sini....!"

   Suma Hoat membentak, tangannya diulur ke depan dengan pengerahan sin-kangnya yang kuat dan...., piring yang berubah menjadi sinar putih itu seperti bernyawa, berputaran dan melayang ke arah tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan tenang meletakannya ke atas meja.

   Lima orang itu terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa di dalam restoran itu terdapat dua orang yang demikian lihai. Mereka tahu diri, bahkan Si Tosu yang memiliki kepandaian tertinggi di antara mereka cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat.

   "Maafkan pinto dan teman-teman yang tidak melihat dua buah Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata."

   Ucapan ini biasa dilakukan oleh orang-orang kang-ouw yang mengakui keunggulan orang pandai. Empat orang temannya juga sudah bangkit berdiri dan menjura. Akan tetapi Suma Hoat dan Si Kaki Telanjang itu sama sekali tidak berdiri, tetap duduk dengan tenang. Mohon tanya,

   "Ji-wi-enghiong dari aliran manakah?"

   Tiba-tiba Si Kurus, perwira yang tadi mengganyang tiga ekor lalat, bertanya.

   "Aku bukan dari aliran apapun juga dan tidak mempunyai urusan dengan siapapun juga,"

   Kata Suma Hoat acuh.

   "Heh-heh, dan aku pun hanya seorang perantau yang tidak mempunyai backing (sandaran), seorang manusia biasa biarpun bukan tergolong lalat hijau,"

   Kata Si Kaki Telanjang sambil tertawa.

   "Kalau begitu, sekali lagi maaf,"

   Kata Si Perwira Kurus.

   "Karena belum mengenal, kami telah bersikap lancang, dan harap Ji-wi tidak mencampuri urusan kami."

   "Ha-ha-ha, sahabat yang baik, engkau terlalu merendah. Setelah menjamu kami dengan hidangan-hidangan yang begitu komplit, siapa bilang bahwa kalian belum mengenal kami? Terima kasih, ya?"

   Perwira Gemuk yang kini bersikap hormat dan berhati-hati, menjura ke arah Si Kaki Telanjang sambil berkata,

   "Hidangan kami hanya sekedarnya, harap Jiwi-enghiong suka menerimanya dengan senang hati. Kami mohon diri!"

   Lima orang itu lalu menjura dan membalikkan tubuh hendak meninggalkan restoran itu.

   "Eh, eh, sahabat-sahabat baik, nanti dulu!"

   Si Kaki Telanjang bangkit berdiri dan menggapai.

   "Harap jangan mempermainkan aku orang miskin, dan jangan akal-akalan, ya? Hidangan ini belum dibayar, kalau kalian pergi tanpa membayar, tentu aku yang ditagih, bisa repot aku membayarnya!"

   "Sahabat, biarlah aku yang membayarnya!"

   Suma Hoat berkata, menganggap Si Kaki Telanjang itu keterlaluan sekali.

   "Tidak, mereka memberi hadiah, kenapa harus kita bayar sendiri?"

   Si Kaki Telanjang berkata membantah. Perwira gemuk merogoh kantung bajunya dan menggapai pelayan yang datang membungkuk-bungkuk,

   "Ini bayaran hidangan!"

   Kata Si Perwira mengeluarkan beberapa buah uang perak dan memberikan kepada Si Pelayan. Si Pelayan menerima dan matanya terbelalak. Uang itu terlampau banyak, akan tetapi dia bergidik ketika menerimanya. Perwira itu tidak peduli dan pergilah dia bersama empat temannya meninggalkan restoran.

   "Heii! Kenapa kau bengong? Apakah bayarannya kurang?"

   Si Kaki Telanjang menegur pelayan.

   "Kalau kurang bilang saja, mereka harus menambahnya!"

   "Tidak...., tidak kurang malah lebih...., akan tetapi...."

   Pelayan itu memperlihatkan perak yang berada di telapak tangannya dan ternyata bahwa potongan-potongan uang perak itu kini telah menjadi satu seperti dijepit jepitan baja yang amat kuat! Si Kaki Telanjang tertawa,

   "Bagus, kalau lebih, berikan kelebihannya untuk menambah arak!"

   Pelayan ini pergi tanpa berani membantah karena kalau lima orang itu saja bersikap mengalah dan gentar terhadap dua orang aneh ini, apalagi dia!

   "Mari, sahabat yang tampan. Kita makan bersama!"

   Suma Hoat menjawab,

   
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Makanlah sendiri. Aku tidak rakus!"

   Si Kaki Telanjang terbelalak, kemudian bangkit berdiri dan membungkuk.

   "Aihh...., dasar aku si tukang rakus! Perkenalkan, aku tidak mempunyai nama, akan tetapi orang-orang sinting di dunia ini menyebutku Im-yang Seng-cu."

   Suma Hoat terkejut. Dia sudah mendengar nama besar orang aneh ini dan sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa orangnya masih begitu muda, namun namanya sudah menggemparkan dunia persilatan. Menurut kabar yang ia peroleh, Im-yang Seng-cu adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang dianggap murtad, menjadi seorang perantau yang ilmunya tinggi, wataknya aneh dan gila-gilaan akan tetapi selalu menindas kejahatan. Ia pun menjura dan berkata,

   "Aku pun tidak mempunyai nama, dan orang-orang suci di dunia ini menyebutku Jai-hwa-sian!"
(Lanjut ke Jilid 14)

   Istana Pulau Es (Seri ke 05 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14
"Haiii!"

   Im-yang Seng-cu meloncat bangun, kemudian menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangannya.

   "Jangan berkelakar, kawan. Orang seperti engkau ini tidak patut disebut Jai-hwa-sian!"

   "Akan tetapi memang benar akulah Jai-hwa-sian, dan kalau engkau merasa terlalu suci untuk berdekatan dengan...."

   "Wah-wah, stop! Biar engkau Jai-hwa-sian atau Jai-hwa-kwi (setan) aku tidak peduli. Yang penting kita berdua hari ini bertemu secara kebetulan dan menyenangkan sekali. Kupersilakan engkau sudi menemaniku, makanan di mejamu tentu sudah kotor kena percikan arak bau dari mulut orang tadi!"

   Suma Hoat memang tertarik sekali untuk berkenalan dengan orang aneh yang telah ia lihat sendiri kelihaiannya tadi, maka ia lalu bangkit berdiri dan pindah duduk, menghadapi meja Si Kaki Telanjang. Mereka lalu makan minum, dan karena Im-yang Seng-cu makan dengan lahapnya tanpa bicara, Suma Hoat juga makan tanpa berkata sesuatu.

   "Benarkah engkau Jai-hwa-sian?"

   Tiba-tiba Im-yang Seng-cu bertanya.

   "Kalau benar mengapa?"

   Suma Hoat balas bertanya. Im-yang Seng-cu tertawa.

   "Engkau jantan sejati. Akan tetapi aku tidak bisa percaya bahwa engkau adalah Jai-hwa-sian yang tersohor itu."

   "Kalau engkau ragu-ragu, aku pun meragukan apakah benar engkau ini Im-Yang Seng-cu yang terkenal."

   "Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Apakah artinya nama julukan? Yang penting kecocokan hati, dan aku cocok sekali denganmu. Biarlah kita saling menutup mata terhadap nama. Eh, sahabat, bagaimana pendapatmu tentang lima orang tadi?"

   "Mereka lihai, akan tetapi sombong."

   Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk.

   "Mereka merupakan lawan-lawan tangguh, terutama si tosu bau yang hendak menodai nama Hoa-san-pai tadi. Dan Si Gemuk yang mencengkeram uang perak membuktikan bahwa sin-kangnya tinggi. Eh, apa yang hendak kau lakukan terhadap rencana mereka?"

   "Rencana yang mana?"

   "Tentang niat mereka menyerbu kelenteng?"

   "Aku tidak mengerti dan tidak peduli,"

   Jawab Suma Hoat.

   "Aihhh! Engkau sudah tahu mereka akan menyerbu kelenteng dan membasmi hwesio-hwesio di sana, dan masih tidak peduli? Dengar baik-baik, yang hendak mereka serbu adalah kelenteng cabang Siauw-lim-pai, dan mereka itu hendak membakar hati tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, terutama Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang!"

   Biarpun Im-yang Seng-cu bicara penuh gairah dan semangat, Suma Hoat mendengarkan dengan sikap dingin dan melanjutkan menyumpit dan makan potongan daging.

   "Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,"

   Jawabnya.

   "Apa?"

   Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya.

   "Jai-Hwa-sian, kalau benar kau Jai-hwa-sian, salahkan pendengaranku selama ini bahwa di samping.... eh.... kebiasaanmu yang tidak terpuji, engkau adalah seorang pendekar yang selalu siap mengulurkan tangan menentang kejahatan?"

   Mendengar ini, Suma Hoat menunda sumpitnya dan memandang tajam.

   "Im-yang Seng-cu, tentang kebiasaanku, itu adalah urusan pribadi. Dan tentang sifat pendekar, aku bukan seorang pendekar, akan tetapi aku bukan pula seorang yang suka mencampuri urusan permusuhan orang lain, sedangkan aku belum tahu siapa salah dan siapa yang benar."

   Im-yang Seng-cu menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Aih-aihh...., sampai begitu jauhkah engkau mengerti tentang keadaan di dunia kang-ouw dan kerajaan?"

   "Aku tidak ada urusan dengan kerajaan dan dunia kang-ouw."

   "Kalau begitu, engkau perlu mengerti. Dengarlah baik-baik,"

   Im-yang Seng-cu lalu menceritakan pendirian Siauw-lim-pai tentang pertentangan-pertentangan yang timbul antara Kerajaan Sung dan banyak pembesar-pembesar daerah yang hendak berdiri sendiri. Kemudian ia menambahkan.

   "Nah, siapakah yang tidak kagum akan kebijaksanaan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti itu? Akan tetapi sekarang, lima orang cecunguk tadi hendak merusak pendiriannya yang bijaksana itu. Si Tosu hendak menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai membunuh ketua cabang Siauw-lim-si, hal ini berarti mereka hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kemudian, dua orang perwira tadi hendak menyamar sebagai perwira-perwira Sung, ini berarti orang-orang ini hendak melawan Kerajaan Sung dan membantu para pemberontak! Tidak kasihankah engkau kepada pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang tidak berdosa dan tidak sayangnya engkau kalau melihat pendirian yang bijaksana itu menjadi berantakan?"

   Suma Hoat tertarik sekali. Dia sudah mendengar bahwa di antara para tokoh besar, kedudukan Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, amatlah tinggi dan kesaktiannya dapat disejajarkan dengan paman tuanya. Menteri Kam Liong. Dia sudah mendengar pula bahwa Menteri Kam telah tewas dikeroyok pasukan kerajaan di bawah pimpinan ayahnya sendiri, hal yang amat menyesalkan hatinya.

   "Im-yang Seng-cu, bagaimana engkau bisa tahu bahwa mereka tadi hendak membasmi para hwesio kelenteng Siauw-lim-si?"

   Yang ditanya tertawa,

   "Biarpun dalam hal ilmu kepandaian aku masih kalah jauh dibandingkan denganmu, akan tetapi agaknya tentang dunia kang-ouw aku lebih tahu. Mereka bicara tentang keledai-keledai gundul yang berarti hwesio, dan di kota Lo-kiu ini satu-satunya kelenteng yang memiliki hwesio-hwesio lihai hanyalah kelenteng Siauw-lim-si di sebelah barat kota. Dan percakapan mereka tadi cocok dengan keadaan pada waktu ini. Sudahlah, kalau memang engkau tidak memiliki kegagahan biar aku sendiri yang akan membela para hwesio Siauw-lim-pai!"

   Suma Hoat tersenyum dingin.

   "Silakan!"

   Im-yang Seng-cu menenggak araknya, lalu bangkit berdiri dengan sikap marah.

   "Sebaiknya mulai saat ini, julukanmu dirubah menjadi Jai-hwa-kwi (Setan Pemetik Bunga) saja! Selamat tinggal!"

   Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan Suma Hoat dan pergi dengan cepat, memanggul tongkat dan buntalan pakaiannya. Tak lama kemudian, Suma Hoat juga meninggalkan restoran itu setelah membayar makanan yang dipesannya tadi. Im-yang Seng-cu yang maklum bahwa seorang diri saja dia akan kurang kuat untuk menghadapi lima orang lihai yang hendak menyerang Siauw-lim-si, maka ia lalu langsung pergi ke kuil itu yang berada di sebelah barat, di ujung kota.

   "Saya mohon bertemu dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini,"

   Katanya kepada penjaga kuil. Penjaga kuil itu, seorang hwesio muda, memandang Im-yang Seng-cu penuh kecurigaan dan menjawab,

   "Suhu sedang bersamadhi, tidak boleh diganggu. Kalau Sicu hendak bersembahyang, siauw-ceng dapat melayani Sicu."

   Im-yang Seng-cu menjadi tidak sabar menyaksikan pandang mata hwesio muda itu mengandung kecurigaan, maka katanya keras,

   "Aku mempunyai urusan penting sekali dengan Gin Sim Hwesio, urusan yang menyangkut persoalan jatuh bangunnya Siauw-lim-si ini, dan juga termasuk urusan mati hidupmu. Harap jangan banyak curiga dan lekas minta Gin Sim Hwesio keluar menemuiku!"

   Alis hwesio itu berkerut. Tamu ini biarpun aneh dan tidak bersepatu, usianya hanya sebaya dengan dia, mengapa sikapnya begini angkuh?

   "Maaf Sicu,"

   Jawabnya dengan sikap yang sopan namun keras.

   "Urusan jatuh bangunnya Siauw-lim-si adalah tanggung jawab kami sendiri, adapun urusan mati hidup siauwceng adalah urusan Tuhan. Sicu tidak ada hubungannya dengan itu. Kami di sini selalu mengutamakan hidup suci dan damai, dan hanya melayani orang-orang yang ingin menikmati sinar kasih Sang Budda dan bersembahyang."

   Bukan main jengkelnya hati Im-yang Seng-cu melihat kekerasan hati hwesio muda itu. Diam-diam ia memaki diri sendiri yang suka mencampuri urusan orang. Apakah dia keliru dan Jai-hwa-sian yang benar? Dia penasaran dan berkata lagi,

   "Engkau sungguh terlalu curiga dan keras kepala! Katakanlah kepada suhumu bahwa aku Im-yang Seng-cu mohon bertemu!"

   Sepasang mata hwesio itu terbelalak. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai bukanlah pendeta-pendeta sembarangan dan telinga serta mata mereka tajam, pengertian mereka tentang dunia kang-ouw luas karena hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga terkenal di dunia kang-ouw. Sambil menjura hwesio itu berkata,

   "Omitohud..., kiranya orang gagah Im-yang Seng-cu yang datang? Maafkan Sicu, Siauw-ceng rasa bahwa Siauw-lim-pai tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Hoa-san-pai."

   "Aku tidak datang sebagai utusan Hoa-san-pai, melainkan karena maksud pribadi, dan yang hendak kubicarakan adalah hal penting yang menyangkut keselamatan Siauw-lim-pai, bukan hanya mengenai kuil ini, melainkan mengenai Siauw-lim-pai seluruhnya. Lekas kau beritahukan kepada suhumu sebelum terlambat."

   Tiba-tiba dari sebelah dalam terdengar suara. halus,

   "Siapakah yang ingin berjumpa dengan pinceng?"

   Im-yang Seng-cu memandang. Yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi, kurus yang usianya sudah empat puluh tahun lebih, bersikap gagah dan tangan kirinya membawa seuntai tasbeh. Ia cepat menjura dan bertanya.

   "Apakah aku berhadapan dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini?."

   "Benar, Sicu."

   Hwesio itu berkata dan balas menjura dengan hormat.

   "Aku adalah Im-yang Seng-cu, ada urusan penting mengenai kuil ini hendak kusampaikan kepada Losuhu."

   "Omitohud.... ! Pinceng merasa menerima kehormatan besar sekali dengan kunjungan seorang pendekar kang-ouw yang ternama seperti Sicu. Silakan masuk dan mari kita bicara di ruangan dalam."

   Setelah mereka memasuki ruangan dalam yang sederhana namun bersih sekali, dan duduk berhadapan, Im-yang Seng-cu lalu berkata, wajahnya serius,

   "Gin Sim Hwesio, Siauw-lim-pai terancam bahaya besar. Malam nanti, kuil ini akan diserbu, semua penghuninya akan dibunuh dan mungkin kuilnya akan dibakar!"

   Hwesio tinggi kurus itu menerima berita ini dengan sikap tenang-tenang saja sungguhpun sinar keheranan dan tidak percaya terpancar dari kedua matanya.

   "Omitohud! Sungguh luar biasa sekali berita yang Sicu bawa ini. Siapakah yang begitu gatal tangan hendak melakukan hal-hal hebat itu? Kami selamanya tidak bermusuhan dengan siapa juga, kami bersahabat dengan semua golongan...."

   "Aku mengerti Losuhu!"

   Im-yang Seng-cu memotong tak sabar.

   "Aku tahu sikap bijaksana yang menjadi pegangan Siauw-lim-pai, dan aku kagum serta menghargai sikap yang diambil oleh ketua kalian, Kian Ti Hosiang-locianpwe yang terhormat. Akan tetapi, justeru sikap diam tidak mencampuri dan tidak memusuhi siapa-siapa itulah yang menjadi sebab ancaman yang akan dilakukan orang malam nanti."

   Mulailah hwesio itu tertarik.

   "Siapakah yang akan melakukan hal yang keji itu, Sicu? Dan kenapa?"

   "Aku tidak tahu mereka itu siapa, akan tetapi yang jelas, mereka itu akan menyerbu dan membasmi kuil ini dengan menyamar sebagai tokoh Hoa-san-pai dan perwira-perwira Kerajaan Sung."

   Dengan singkat namun jelas Im-yang Seng-cu lalu menceritakan tentang lima orang yang ia lihat dan dengar percakapan mereka di dalam restoran pagi hari itu. Gin Sim Hwesio adalah murid Siauw-lim-pai yang lebih condong dengan sikap suhengnya di pusat, yaitu Ceng San Hwesio yang bersikap keras terhadap orang-orang yang memusuhi Siauw-lim-pai, tidak seperti sikap Kian Ti Hosiang. Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, ia mengerutkan alisnya kemudian bangkit berdiri dan menjura kepada tamunya.

   "Banyak terima kasih akan peringatan Sicu. Pinceng tidak percaya bahwa ada orang-orang yang berniat begitu jahat terhadap kuil ini, dan andaikata benar demikian, pinceng dan murid-murid akan sanggup menghadapi mereka. Selamat jalan, Sicu."

   Im-yang Seng-cu membelalakkan mata,

   "Losuhu, aku akan membantumu!"

   "Tidak baik kalau pihak luar mencampuri, kami sanggup membela diri dan kami tidak ingin menarik orang luar sehingga permusuhan akan berlarut-larut. Selamat jalan, Sicu!"

   Im-yang Seng-cu hampir tidak dapat percaya. Dia diusir halus-halusan! Dengan hati mengkal Im-yang Seng-cu bangkit berdiri, menampar kepalanya sendiri dan mengomel,

   "Dasar si bodoh yang ingin mencampuri urusan orang-orang besar! Benar sekali pandangan Si Jai-hwa-sian! Selamat tinggal, Losuhu!"

   Ia membalikkan tubuhnya hendak pergi.

   "Tunggu dulu, Sicu. Hendaknya jangan salah paham. Pinceng berterima kasih sekali, akan tetapi kalau pinceng menerima bantuan Sicu, bukankah hal ini berarti pinceng perluas permusuhan dengan orang-orang yang belum kita ketahui dari golongan mana datangnya? Pinceng kira, kalau pinceng sudah berhadapan dengan mereka, pinceng dapat membujuk mereka agar tidak melanjutkan niat jahat mereka sehingga perdamaian dapat dijaga dan dipertahankan."

   Akan tetapi, Im-yang Seng-cu mendengus marah dan pergi meninggalkan kuil itu. Namun hatinya penasaran. Jiwa kependekarannya mengalahkan rasa jengkelnya dan biarpun penawarannya untuk membantu ditolak mentah-mentah, dia masih tetap ingin menjaga dan kalau perlu membantu pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang ia tahu bersih hatinya namun juga amat keras kepalanya itu.

   Malam itu sunyi sekali di sekitar kuil. Malam yang gelap, akan tetapi keadaan di dalam dan di luarnya terang karena para hwesio menyalakan lampu penerangan atas perintah Gin Sim Hwesio. Biarpun hatinya keras dan kepercayaannya terhadap diri sendiri dan para muridnya amat besar, namun ketua kuil itu telah siap sedia dan berlaku hati-hati. Kuil cabang Siauw-lim-pai di Lo-kiu ini tidak begitu besar dan Gin Sim Hwesio hanya dibantu oleh murid-muridnya, para hwesio muda Siauw-lim-pai yang jumlahnya ada dua puluh orang. Dia merasa bahwa kedudukannya sudah cukup kuat karena murid-muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Para muridnya menjaga di sekeliling kuil, sedangkan Gin Sim Hwesio sendiri duduk bersila melakukan samadhi di tengah ruangan depan. Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gin Sim Hwesio berkata,

   "Siap....!"

   Dan perintah ini segera disampaikan kepada semua murid sambung-menyambung. Tak lama kemudian tampaklah berkelebat bayangan enam orang yang gerakannya gesit sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian tinggi. Melihat ini, enam orang murid kepala yang ditugaskan menjaga di dalam, segera keluar membawa obor sehingga sinar penerangan di ruangan depan itu makin cemerlang menerangi wajah enam orang itu. Gin Sim Hwesio sudah bangkit berdiri, tasbeh di tangan kiri, sebatang tongkat hwesio di tangan kanan, memandang tajam. Ia mengenal lima orang yang diceritakan Im-yang Seng-cu, yaitu dua orang kang-ouw, dua orang berpakaian perwira, dan seorang tosu. Akan tetapi kini bertambah dengan seorang lagi yang membuatnya terkejut karena gerakan dan sinar mata orang ini menunjukkan bahwa kepandaiannya amat tinggi, orangnya gendut pendek dan mulutnya tertawa-tawa atau tersenyum-senyum lebar, usianya kurang lebih empat puluh tahun.

   "Liok-wi siapakah, malam-malam mengunjungi kuil kami secara ini?"

   Si Perwira Gemuk yang agaknya memimpin penyerbuan itu, tertawa sambil mencabut pedang panjang dari pinggangnya,

   "Kami adalah dua orang perwira tinggi, Kerajaan Sung, datang untuk membasmi kuil Siauw-lim-si karena para hwesio Siauw-lim-pai bersekutu dengan berontak!"

   "Dan pinto Thian Ek Cin-jin dari Hoa-san-pai!"

   Kata Si Tosu sambil mengejek.

   "Omitohud! harap Cu-wi tidak membohong lagi karena pinceng sudah tahu bahwa Ji-wi-ciangkun hanyalah, perwira-perwira Sung yang palsu, sedangkan Toyu juga hanya menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai. Sebaiknya katakan terus terang, apakah maksud Cu-wi datang mengganggu? Cu-wi sudah mendengar bahwa Siauw-lim-pai tidak mau mengotorkan diri dengan pertentangan dan perebutan kekuasaan. Kami tidak mau memusuhi siapapun juga, dan kalau Cu-wi datang hendak mengobarkan kemarahan Siauw-lim-pai dan memancing-mancing usaha keji itu tidak akan berhasil, sebaliknya Cu-wi selamanya akan merasa tidak aman. Sebaiknya Cu-wi pergilah dengan aman sebelum kita semua melakukan dosa!"

   Lima orang itu saling pandang dengan mata terbelalak,

   "Ahhhh Si Keparat.... tentu mereka yang membocorkan....!"

   Teriak Si Perwira Kurus. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ telah muncul Im-yang Seng-cu yang tertawa dan berkata,

   "Ha-ha-ha, kiranya si pemakan lalat yang datang! Eh, apakah engkau sudah ketagihan lalat lagi dan datang ke sini hendak mencari makanan? Di sini terlalu bersih, tidak ada lalat hijau, ha-ha!"

   "Engkau.... Im-yang Seng-cu!"

   Tiba-tiba orang pendek gemuk yang tersenyum-senyum tadi melangkah maju dan menegur. Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk.

   "Hemm, hemm...., kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee juga hadir! Sekarang tahulah aku bahwa yang berdiri di belakang semua ini tentulah Coa Sin Cu!?"

   "Setan kau!"

   Dua orang perwira gendut dan kurus itu sudah menerjang maju, dibantu oleh dua orang kang-ouw, sedangkan tosu, dan Si Gendut yang bukan lain adalah Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee menerjang Gin Sim Hwesio yang dibantu enam orang muridnya. Im-yang Seng-cu sudah menggerakkan tongkatnya dan sinar hitam yang lebar dan panjang bergulung di depan tubuhnya menangkis serangan empat batang pedang, dan sambil meloncat mundur mencari tempat luas ia mengejek ke arah ketua kuil cabang Siauw-lim-si,

   "Bagaimana, Losuhu? Berhasilkah engkau menghadapi mereka dengan pelajaran suci agamamu? Ha-ha-ha, orang-orang macam mereka ini hanya patut dihadapi dengan tongkat penggebuk anjing!"

   "Omitohud...., terpaksa pinceng melanggar pantangan berkelahi!"

   Gin Sim Hwesio juga sudah menggerakkan tongkat hwesionya dan melanjutkan.

   "Im-yang Seng-cu, terima kasih atas bantuanmu akan tetapi jangan mengotorkan kuil dengan darah atau pembunuhan!"

   Akan tetapi, biarpun mulutnya berkata demikian, hati hwesio ini terkejut sekali menyaksikan kelihaian dua orang lawannya, terutama Si Gendut yang dengan gerakan golok besarnya di tangan kanan telah membuat senjata para muridnya menyeleweng, kemudian dorongan tangan kiri yang amat kuat membuat seorang di antara muridnya roboh terjengkang dan muntah darah!

   "Ha-ha-ha, Gin Sim Hwesio. Kalau kita tidak membunuh tentu kita yang akan terbunuh!"

   Im-yang, Seng-cu tertawa lagi, tongkatnya menyambar-nyambar dan dengan ilmu kepandaiannya yang campuraduk, ia berhasil mengacaukan pertahanan keempat orang pengeroyoknya. Imyang Seng-cu adalah seorang jagoan Hoa-san-pai, murid Tee Cu Cinjin yang merupakan orang terpandai di Hoa-san-pai, akan tetapi semenjak bertahun-tahun ia berkelana, merantau dan mempelajari banyak sekali ilmu silat. Memang mempelajari ilmu silat merupakan hobbynya. Tidak seperti para murid Hoa-san-pai yang menjaga kemurnian ilmu silat Hoasan-pai dan tidak sudi mempelajari ilmu silat golongan atau partai lain, Im-yang Seng-cu tidak pantang mempelajari ilmu silat apapun juga, baik ilmu silat kaum putih maupun kaum hitam sehingga dia dianggap murtad dari Hoa-san-pai.

   Akan tetapi berkat kesukaannya mempelajari segala macam ilmu silat dan mengawin-ngawinkan semua ilmu itu, Im-yang Seng-cu memperoleh kemajuan hebat dan dia memiliki gerakan yang aneh-aneh, sedangkan keuntungan lain adalah bahwa dia mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat lawan sehingga memudahkannya untuk menghadapi lawan itu. Selain segala keanehan yang dimilikinya, juga jago kang-ouw yang masih muda akan tetapi wataknya luar biasa ini mempunyai sebuah keanehan lain, yaitu dia selalu bernyanyi dan mengarang sajak setiap melakukan pertempuran! Kali ini pun dia sudah memutar tongkatnya sambil bernyanyi, suaranya lantang dan nyaring :

   Betapa dunia takkan kacau-balau
oleh tingkah mahluk bernama manusia
pendeta tidak segan berbuat dosa
pejabat tidak segan berbuat khianat
Pendekar berubah menjadi penjahat
Si bengcu cerdik menggoyang kaki
membiarkan anjing-anjing memperebutkan tulang
tinggal dia menanti hasil terakhir!
Oh dunia....! Oh manusia....!
Sungguh menyedihkan, ataukah menggelikan

   Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pada saat menyanyikan bait terakhir, ujung tongkatnya yang tadinya dikempit ketika ia menggerakkan ujung satunya untuk menangkis tiga batang pedang, tiba-tiba mencuat melalui belakang ketiaknya dan langsung menyambar ke arah kaki Si Perwira kurus. letak! Tulang kering kaki kanan Si Perwira Kurus dihajar ujung toya, retak den rasa nyeri menusuk ke tengah jantung.

   "Ayaaaa....! Aduh-aduhhh....!"

   Perwira kurus itu berloncatan dengan sebelah kaki, pedangnya terlepas dan ia berjingkrak-jingkrak memegangi kaki yang rasanya patah-patah. Yang terpukul adalah tulang kering kakinya, namun rasa nyeri menusuk-nusuk jantung. Ha-ha-ha! Kalau menangis jangan terlalu lebar membuka mulut, nanti kemasukkan lalat lagi! Im-yang Seng-cu mengejek dan mendesak tiga orang pengeroyoknya. Im-yang Seng-cu, manusia sombong! Tiba-tiba sebatang golok besar menyambar dari belakang.

   "Syuuutt...., tranggg!"

   Im-yang Seng-cu mundur dan terkejut karena telapak tangannya tergetar ketika tongkatnya menangkis golok. Kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee yang menyerangnya. Orang gendut pendek ini ketika melihat betapa empat orang kawannya tidak mampu pengalahkan Im-yang Seng-cu, bahkan perwira kurus terluka, segera meninggalkan Gin Sim Hwesio karena tosu itu sendiri cukup untuk menghadapi Gin Sim Hwesio yang kini hanya dibantu oleh seorang murid, sedangkan lima orang muridnya telah roboh dan tewas.

   

Mutiara Hitam Eps 24 Cinta Bernoda Darah Eps 31 Cinta Bernoda Darah Eps 16

Cari Blog Ini