Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 13


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



"Aku harus mengantar Milana lebih dulu pulang ke Mongol,"

   Katanya. Kwi Hong tertawa.

   "Apa sukarnya? Dengan adanya Paman dan dengan menunggang garuda, sebentar saja kita akan dapat mengantar Milana. Eh, di mana anak, itu? Milana....! Milana....!"

   "Aku di sini....! Aku datang....!"

   Terdengar jawaban Milana dan tampaklah anak itu datang berlari menghampiri mereka. Wajahnya sudah cerah kembali karena panggilan suara Kwi Hong sudah mengusir rasa kecewa hatinya.

   "Milana, pedang telah selesai dibuat dan sekarang Bun Beng tidak perlu mencari kayu bakar lagi. Kita dapat bermain main sambil menanti sampai Kakek itu selesai menapai pedang pusaka. Biar kusimpan dulu cawan ini!"

   Kwi Hong berlari pergi membawa cawan kosong. Bun Beng memakai bajunya, lalu mengambil setangkai bunga dari atas tanah, mencium bunga yang indah itu sambil berkata,

   "Milana, terima kasih atas pemberian bunga ini. Engkau sungguh seorang anak yang baik hati...."

   Wajah Milana berseri kemudian berubah merah ketika Bun Beng mendekatinya.

   "Kalau sudah selesai, tentu engkau akan diajak pergi oleh Suma Taihiap."

   Kata Milana perlahan.

   "Engkau akan sekaligus mendapatkan seorang sahabat yang manis seperti Kwi Hong."

   "Ah, mana mungkin! Aku harus mengantarmu lebih dulu pulang ke Mongol,"

   Jawab Bun Beng tiba-tiba merasa kasihan kepada anak itu dan mendekati.

   "Biarkanlah, aku dapat mencari jalan pulang sendiri."

   "Tidak Milana. Sebelum mengantar engkau pulang, aku tidak mau pergi meninggalkanmu di sini. Pula, kurasa Suma-Taihiap akan suka mengantarmu pulang dengan naik burung garudanya. Setelah kau tiba dengan selamat di sana, barulah aku akan suka ikut dan belajar ilmu kepadanya."

   "Bun Beng, mengapa engkau begini baik kepadaku?"

   Milana bertanya, mengangkat muka memandang dengan hati terharu. Bun Beng tersenyum.

   "Apa kaukira engkau kalah baik? Engkaulah yang bersikap amat baik terhadap aku. Engkau keluarga istana raja, dan aku hanya seorang anak sebatangkara yang miskin, namun sikapmu baik sekali. Bagaimana aku tidak akan bersikap baik kepadamu? Lupakah kau akan pelajaran tentang cinta kasih? Kalau engkau menganjurkan cinta kasih antara manusia, agaknya manusia seperti inilah yang paling pantas dicinta."

   Percakapan mereka adalah percakapan kanak-kanak yang meniru niru pelajaran filsafat, maka tentu saja "cinta"

   Yang mereka sebut sebut tidak ada hu-bungannya dengan cinta antara laki laki dan perempuan dewasa. Betapapun juga, ada sesuatu yang aneh terasa di hati mereka.

   "Mengapa begitu, Bun Beng? Apa bedanya aku dengan orang lain?"

   "Hemm, entahlah. Mungkin karena engkau.... manis sekali."

   Milana makin girang dan ia tersenyum tidak tahu betapa Kwi Hong telah datang dan melihat mereka berdiri berhadapan demikian akrab dan melihat Bun Beng memegangi setangkai bunga indah dan mereka tidak tahu betapa Kwi Hong yang keras hati itu memandang dengan mata bersinar sinar penuh iri dan cemburu! Kwi Hong sendiri belum tahu tentang arti cinta antara pria dan wanita, namun tanpa disengaja dia merasa amat tidak senang menyaksikan keakraban antara Bun Beng dan Milana! Akan tetapi Kwi Hong menyembunyikan rasa tidak senangnya ketika ia berlari menghampiri mereka dan berkata.

   "Nah, sekarang tiba waktunya kita bermain main dan marilah kita memperlihatkan ilmu yang kita pelajari. Aku ingin sekali melihat ilmu silatmu, Milana. Agaknya engkau tentu telah mempela-jari ilmu silat yang tinggi. Gerakan kakimu amat ringan dan tanganmu cekatan. Marilah kita main main dan mengukur kepandaian masing-masing untuk menambah pengalaman dan pengetahuan."

   "Ah, mana mungkin aku dapat menandingimu, Kwi Hong? Engkau adalah murid To cu dari Pulau Es yang terkenal, Pendekar Super sakti, sedangkan aku hanya seorang yang sebulan sekali saja menerima latihan dari Ibu. Dalam satu dua jurus saja aku tentu akan roboh!"

   "Aihhh, mengapa kau merendahkan diri, Milana? Aku yakin kepandaianmu tentu sudah cukup tinggi. Pula, kita hanya main main dan hitung hitung berlatih, tidak bertanding sungguh-sungguh, mana perlu saling merobohkan?"

   "Kwi Hong, ilmu silat adalah ilmu untuk menjaga diri, ada unsur bertahan akan tetapi juga selalu mengandung unsur menyerang. Kalau dipergunakan dalam pertandingan, mana bisa main main lagi? Kepalan tangan dan tendangan kaki tidak mempunyai mata. Pula, selama hidupku, belum pernah aku menggunakan ilmu yang kupelajari untuk bertanding. Tidak, aku mengaku kalah!"

   Kwi Hong menjadi kecewa sekali. Tidak ada seujung rambut dalam hatinya ingin merobohkan atau melukai Milana, hanya memang dia ingin mengalahkan anak itu di depan Bun Beng untuk mendapat pujian!

   "Milana, untuk apa engkau mempelajari ilmu kalau kau takut memperguna-kan?"

   Ia mendesak. Bun Beng yang sudah mengenal watak halus Milana, merasa kasihan. Dia tidak menyalahkan Kwi Hong, karena ia maklum bahwa orang yang mempelajari ilmu silat tentu senang bertanding silat dan ia pun tahu bahwa bukan niat Kwi Hong untuk melukai Milana. Tentu saja Kwi Hong belum mengenal watak Milana yang sama sekali berlawanan dengan ilmu silat itu maka ia melangkah maju dan berkata,

   "Kwi Hong, Milana tidak mau bertanding mengadu ilmu. Wataknya terlalu halus untuk bertanding. Kalau engkau ingin berlatih, marilah kulayani, biar terbuka mataku dan bertambah pengetahuanku menerima pelajaran dari murid Suma-Taihiap yang sakti."

   Dalam ucapan ini, Bun Beng sama sekali tidak menyalahkan Kwi Hong, hanya ingin menolong Milana yang kelihatan terpojok. Akan tetapi, hati Kwi Hong tersinggung dengan kata kata bahwa watak Milana terlalu halus, sama dengan mengatakan bahwa wataknya adalah kasar! Dengan kedua pipi merah ia lalu menjawab singkat.

   "Baiklah. Mari!"

   Setelah berkata demikian ia lalu menerjang maju dengan serangan ke arah dada Bun Beng! Bun Beng cepat mengelak dan melompat ke belakang, akan tetapi gerakan Kwi Hong amat cepatnya dan anak ini sudah melanjutkan serangannya dengan pukulan lain yang amat cepat. Bun Beng terkejut, tak sempat mengelak lagi maka ia lalu menggerakkan tangan menangkis.

   "Dukk!"

   Kwi Hong merasa lengannya agak nyeri, akan tetapi Bun Beng terhuyung ke belakang. Dalam hal tenaga sin-kang dia kalah kuat oleh Kwi Hong yang menerima latihan sin kang istimewa dari Suma Han di Pulau Es! Dan Kwi Hong yang merasa lengannya nyeri itu menjadi penasaran mengira bahwa Bun Beng agaknya memiliki kepandaian tinggi maka dia lalu menyerang terus dengan gencar. Bun Beng menggerakkan kaki tangan, mempertahankan diri dengan ilmu silat dari Siauw lim pai yang ia pelajari dari mendiang suhunya, Siauw Lam Hwesio. Akan tetapi lewat belasan jurus, dia terdesak hebat dan setiap kali terpaksa menangkis, dia terpental atau terhuyung.

   "Wah, Kwi Hong.... aku menyerah kalah!"

   Bun Beng berseru sambil menangkis lagi.

   "Dukk!"

   Kembali Kwi Hong merasa lengannya nyeri. Biarpun sin kangnya lebih kuat, namun kulit lengannya tidak sekeras dan sekuat Bun Beng yang selama setengah tahun hidup seperti kera liar dalam keadaan telanjang bulat. Ia makin penasaran.

   "Mengadu ilmu tidak perlu mengalah. Bun Beng, keluarkan kepandaianmu, balaslah menyerang, jangan mempertahankan saja!"

   Kwi Hong melanjutkan serangannya lebih cepat lagi sehingga Bun Beng menjadi repot sekali. Karena serangan bertubi tubi itu amat cepat dan dahsyat, terpaksa ia dalam keadaan setengah sadar, telah menggerakkan kaki tangannya menurutkan ilmu dalam tiga kitab Sam-po cin keng. Dia menangkis dengan gerakan membentuk lingkaran dengan kaki tangannya dan dari samping ia mengirim pukulan balasan, hanya mendorong ke arah pundak Kwi Hong dan dia berhasil! Pundak Kwi Hong terkena dorongannya sehingga anak perempuan itu terhuyung.

   "Kau hebat juga!"

   Biarpun mulutnya memuji, namun hati Kwi Hong menjadi panas. Dia menerjang lagi lebih hebat. Memang watak Kwi Hong keras dan tidak mau kalah. Dia merasa bahwa sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti dia tidak akan terkalahkan oleh anak anak lain! Bun Beng menjadi sibuk sekali. Biarpun dia mainkan ilmu silat yang dipelajari dari kitab orang sakti yang ia temukan di dalam sumber air panas di guha rahasia, namun isi kitab itu lebih ia kuasai teorinya saja, sedangkan isinya belum ia mengerti benar. Apalagi kini Kwi Hong benar benar mengeluarkan kepan-daiannya. Ilmu silat yang dia pelajari dari Suma Han adalah ilmu silat tingkat tinggi dan anak ini setiap hari berlatih dengan para penghuni Pulau Es maka tentu saja serangan serangannya amat hebat!

   "Plakkk!"

   Punggung Bun Beng kena ditampar. Dia terhuyung akan tetapi berkat semua penderitaan tubuhnya yang membuat tubuhnya kuat, dia tidak roboh dan dapat menangkis pukulan susulan. Kembali dia didesak hebat sampai mundur-mundur dan hanya mampu mengelak menangkis, sedangkan Kwi Hong seperti seekor harimau betina mempunyai keinginan untuk merobohkan Bun Beng. Kalau sudah kalah, tentu Bun Beng tidak berani merendahkannya dan akan menghargainya seperti yang ia inginkan!

   "Kwi Hong, sudahlah....!"

   Berkali kali Milana menjerit ketika melihat betapa Bun Beng mulai terkena pukulan beberapa kali. Biarpun bukan pukulan yang membahayakan, namun cukup membuat Bun Beng beberapa kali terhuyung dan mengaduh. Tiba-tiba Bun Beng menerjang dengan nekat! Sudah menjadi watak Bun Beng sebagai seorang anak yang tidak mengenal takut dan pantang menyerah!

   Apa lagi baru menerima pukulan-pukulan seperti itu, biarpun diancam maut sekalipun dia pantang menyerah dan akan melakukan perlawanan. Dia sudah mengalah, akan tetapi karena Kwi Hong agaknya bersikeras untuk merobohkannya, dia menjadi naik darah dan kini Bun Beng menerjang hebat dengan ilmu barunya secara sedapat dapatnya. Biarpun gerakannya seperti ngawur, namun kakinya berhasil mengenai lutut Kwi Hong sehingga gadis cilik yang merasa kaki kirinya tiba-tiba lemas itu hampir jatuh! Dia meloncat tinggi kemudian menukik turun dan menyerang Bun Beng dari atas dengan kedua tangan. Bun Beng terkejut, berusaha menangkis, namun hanya berhasil menangkis serangan tangan kanan sedangkan tangan kirinya dapat menotok pundak Bun Beng, membuat pemuda cilik itu terguling.

   "Kwi Hong, jangan lukai Bun Beng!"

   Tiba-tiba Milana yang sejak tadi berteriak teriak mencegah pertandingan, sudah menerjang maju.

   "Wuuuut....! Plakkk!"

   Terjangan Milana cepat sekali, akan tetapi Kwi Hong masih sempat menangkis sehingga keduanya terhuyung mundur.

   "Hemm, kiranya engkau boleh juga!"

   Kwi Hong yang sudah menjadi marah karena menyesal bahwa dia telah merobohkan Bun Beng dan tentu Bun Beng akan marah kepadanya, sebaliknya suka kepada Milana yang membelanya, kini menyerang Milana yang cepat mengelak dan balas menyerang! Kiranya anak yang berwatak halus ini memiliki gerakan yang indah dan ringan sekali sehingga pukulan pukulan Kwi Hong dapat ia elakkan semua. Betapapun juga, dia segera terdesak hebat karena agaknya dalam keringanan tubuh saja dia dapat menandingi, sedangkan dalam ilmu silat dan tenaga, dia kalah banyak. Biarpun Milana bergerak dengan gesit, tidak urung dia terkena dorongan tangan Kwi Hong yang mengenai pinggangnya sehingga ia terpelanting jatuh.

   "Kwi Hong, kau terlalu!"

   Bun Beng menubruk Kwi Hong, akan tetapi cepat Kwi Hong mengelak menjatuhkan diri sambil menendang.

   "Bukk!"

   Paha Bun Beng terkena tendangan dan untuk kedua kalinya dia jatuh tersungkur.

   "Kwi Hong! Apa yang kau lakukan ini?"

   Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Suma Han telah berada di situ. Melihat pamannya, seketika lenyap kemarahan dari hati Kwi Hong, terganti rasa takut.

   "Paman, kami hanya main-main...."

   "Main main?"

   Suma Han memandang Bun Beng yang telah bangun dan mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor. Juga Milana telah bangun dan memandang dengan wajah tenang.

   "Karena menganggur, kami berlatih silat."

   Kata pula Kwi Hong.

   "Hemm...."

   Suma Han tetap memandang Bun Beng dan Milana penuh selidik. Melihat sikap pendekar itu dan melihat betapa Kwi Hong ketakutan, Bun Beng lalu cepat berkata.

   "Kami hanya berlatih."

   Milana juga berkata,

   "Kwi Hong hanya melatih saya, Suma Taihiap."

   Suma Han mengerutkan keningnya, wajahnya yang biasanya sudah muram itu kini tampak seolah-olah ada sesuatu yang mengesalkan hatinya. Tanpa menjawab ia lalu meloncat dan tubuhnya berkelebat memasuki pondok. Kwi Hong memandang kepada Bun Beng dan Milana, kemudian dengan suara penuh penyesalan berkata,

   "Maafkan aku, kalian baik sekali."

   Tiba-tiba terdengar bunyi lengking keras dari dalam pondok dan tubuh Suma Han meloncat keluar, tahu tahu sudah tiba di dekat mereka bertiga, matanya mengeluarkan sinar marah ketika ia menegur.

   "Kalian tidak melihat orang datang ke pondok?"

   Tiga orang anak itu memandang Suma Han dengan heran, kemudian menggeleng kepala, Suma Han menghela napas panjung.

   "Kalian hanya bermain main saja, sedangkan sepasang garuda dibunuh orang dan pedang pusaka lenyap dari pondok."

   Tiga orang anak itu terkejut bukan main,

   "Pek eng dibunuh....?"

   Kwi Hong bertanya dan suaranya terdengar bahwa dia menahan tangisnya.

   "Mati terpanah. Tidak mudah kedua burung itu dipanah, tentu pemanahnya seorang yang berilmu tinggi. Dan selagi kalian main main, pedang pusaka dicuri orang."

   "Kakek Nayakavhira....?"

   Tanya Milana.

   "Dia telah meninggal dunia."

   "Ohh! Dia dibunuh?"

   Bun Beng berteriak kaget. Suma Han menggeleng kepala.

   "Dia mati selagi bersamadhi. Sungguh celaka, ada orang berani mempermainkan aku secara keterlaluan. Kalian di sini saja, jangan main main, bantu aku pasang mata, lihat lihat kalau ada orang. Aku akan memperabukan jenazah Nayakavhira."

   Suma Han lalu membakar pondok itu setelah menumpuk sisa kayu bakar ke dalam pondok dan meletakkan jenazah kakek yang masih bersila itu di atasnya.

   Pondok terbakar oleh api yang bernyala nyala besar. Suma Han berdiri tegak memandang, dan tiga orang itu juga memandang dengan hati kecut. Sungguh tidak mereka sangka terjadi Hal-hal yang demikian hebat. Selain dua ekor burung garuda terbunuh orang, juga pedang pusaka yang dibuat sedemikian susah payah itu dicuri orang dari pondok tanpa mereka ketahui sama sekali. Timbul pe-nyesalan besar di dalam hati Kwi Hong karena andaikata dia tidak memaksa Bun Beng dan Milana bertempur, tentu mereka lebih waspada dan dapat melihat orang yang memasuki pondok dan mencuri pedang pusaka.

   Andaikata mereka bertiga tidak dapat mencegah pencuri itu melarikan pedang, sedikitnya mereka akan dapat menceritakan pamannya bagaimana macamnya orang yang mencuri pedang. Sekarang pedang tercuri tanpa diketahui siapa pencurinya! Keadaan di situ menjadi sunyi sekali karena Suma Han dan tiga orang anak itu tidak bergerak, memandang pondok yang dibakar. Hanya suara api membakar kayu terdengar jelas mengantar asap yang membubung tinggi ke atas. Tiba-tiba tiga orang anak terkejut ketika mendengar suara ketawa melengking yang menggetarkan isi dada mereka. Pantasnya iblis sendiri yang mengeluarkan suara seperti itu, yang datang dari timur seperti terbawa angin, bergema di sekitar daerah itu. Lebih kaget lagi hati mereka bertiga ketika melihat tubuh Suma Han berkelebat cepat dan lenyap dari situ, meninggalkan suara perlahan namun jelas terdengar oleh mereka.

   "Kalian tinggal di sini, jangan pergi!"

   Selagi tiga orang itu bengong saling pandang dengan muka khawatir, tiba-tiba terdengar suara tertawa halus dan berkelebat bayangan orang. Tahu tahu di situ muncul seorang laki laki yang berwajah tampan, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berpakaian seperti siucai dan di punggungnya tampak sebatang pedang. Melihat munculnya orang yang tertawa-tawa ini, Bun Beng memandang penuh perhatian dan dia melihat sebatang pedang bersinar putih tanpa gagang terselip di ikat pinggang orang itu. Anak yang cerdik ini segera dapat menduga bahwa tentu orang ini mencuri pedang, dan pedang bersinar putih yang terselip dan ditutupi jubah namun masih tampak sedikit itu adalah pedang pusaka yang dicurinya.

   "Engkau pencuri pedang!"

   Bentaknya marah dan tanpa mempedulikan sesuatu, Bun Beng sudah menubruk ke depan. Akan tetapi sebuah tendangan tepat mendorong dadanya dan ia roboh terjengkang.

   "Ha ha ha! Memang aku yang mengambil pedang pusaka. Dan siapa di antara kalian berdua yang menjadi murid perempuan Pendekar Siluman?"

   Kwi Hong yang mendengar pengakuan itu sudah menjadi marah sekali. Inilah orangnya yang membikin kacau dan membikin marah gurunya atau pamannya, pikirnya. Ia bergerak maju sambil membentak,

   "Aku adalah murid Pendekar Super Sakti! Maling hina, kembalikan pedang!"

   Akan tetapi sambil tertawa-tawa, laki laki tampan itu membiarkan Kwi Hong memukulnya dan ketika kepalan tangan gadis cilik itu mengenai perutnya, Kwi Hong merasa seperti memukul kapas saja. Ia terkejut, akan tetapi tiba-tiba lengannya sudah ditangkap, tubuhnya dikempit dan sambil tertawa laki laki itu sudah meloncat dan lari pergi.

   "Tahan....!"

   Milana berseru dan meloncat ke depan, akan tetapi sekali orang itu mengibaskan lengan kirinya, tubuk Milana terpelanting dan roboh terguling. Bun Beng sudah bangkit lagi, tidak peduli akan kepeningan kepalanya dan dia mengejar secepat mungkin. Namun, laki-laki itu berloncatan cepat sekali dan sudah menghilang. Bun Beng teringat akan suara ketawa dari arah timur tadi, maka dia lalu mengejar ke timur. Milana merangkak bangun, menggoyang goyang kepalanya yang pening. Ia mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak tampak lagi laki laki yang menculik Kwi Hong, juga tidak tampak bayangan Bun Beng. Dia menduga tentu Bun Beng melakukan pengejaran, maka dia pun meloncat bangun dan mengejar ke timur karena seperti Bun Beng, dia tadi mendengar suara ketawa dari timur.

   Tentu saja baik Bun Beng maupun Milana tertinggal jauh sekali oleh laki-laki yang menculik Kwi Hong karena orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga kedua orang anak itu selain tertinggal juga masing-masing melakukan pengejaran secara ngawur tanpa mengetahui ke mana larinya si penculik dan pencuri pedang itu. Penculik berpakaian sasterawan itu bukan lain adalah Tan Ki atau Tan-siucai yang sudah miring otaknya! Setelah berhasil membunuh Im yang Seng cu yang dipersalahkan karena Im yang Seng-cu tidak membalas dendam dan membunuh Pendekar Siluman, Tan siucai bersama gurunya yang aneh dan amat lihai itu lalu melanjutkan perjalanan mencari Pendekar Siluman yang kabarnya menjadi To cu Pulau Es. Secara kebetulan sekali, ketika mereka berjalan di sepanjang pesisir lautan utara untuk menyelidiki di mana adanya Pulau Es, pada suatu hari mereka melihat dua ekor burung garuda putih beterbangan.

   "Guru, bukankah burung-burung itu adalah garuda putih yang amat besar-besar. Seperti kita dengar, tunggangan Suma Han juga burung garuda putih. Siapa tahu burung-burung itu adalah tunggangannya?"

   Kata Tan siucai.

   "Hemm, burung yang indah dan hebat. Sebaiknya ditangkap!"

   Kata Maharya memandang kagum, kemudian ia mengambil sebuah batu sebesar genggaman tangan dan melontarkan batu itu ke arah seekor daripada dua burung garuda putih yang terbang rendah. Dua ekor burung itu memang benar burung-burung peliharaan Suma Han yang ditinggalkan di tempat itu ketika Kwi Hong hendak menonton kakek menunggang gajah.

   Karena lama majikan mereka tidak memanggil, kedua burung garuda itu menjadi kesal dan beterbangan sambil menyambari ikan yang berani mengambang di permukaan laut, juga mencari binatang-binatang kecil yang dapat mereka jadikan mangsa. Lontaran batu dari tangan Maharya amat kuatnya sehingga batu itu meluncur seperti peluru ke arah burung garuda betina. Burung ini sudah terlatih, melihat ada sinar menyambar ke arahnya, ia lalu menangkis dengan cakarnya. Akan tetapi, biarpun batu itu hancur oleh cakarnya, burung itu memekik kesakitan karena tenaga lontaran yang kuat itu membuat kakinya terluka. Dia menjadi marah sekali, mengeluarkan lengking panjang sebagai tanda marah dan menyambar turun ke bawah dengan kecepatan kilat, mencengkeram kepala Maharya yang berani mengganggunya!

   "Eh, burung jahanam!"

   Maharya menyumpah ketika terjangan itu membuat ia terkejut dan hampir jatuh, sungguhpun dia dapat mengelak dengan loncatan ke kiri.

   "Tidak salah lagi, tentu tunggangan Pendekar Siluman!"

   Kata Tan siucai.

   "Kalau burung liar mana mungkin begitu lihai? Guru, kita bunuh saja burung-burung ini!"

   Setelah berkata demikian, Tan Ki mengeluarkan sebatang panah, memasang pada sebuah gendewa kecil.

   Menjepretlah tali gendewa dan sebatang anak panah meluncur dengan kecepatan kilat menyambar burung garuda betina yang masih terbang rendah. Burung itu berusaha mengelak dan menangkis dengan sayapnya, namun anak panah itu dilepas oleh tangan yang kuat sekali, menembus sayap dan menancap dada! Burung itu memekik dan melayang jatuh, terbanting di atas tanah, berkelojotan dan mati! Burung garuda jantan menjadi marah sekali, mengeluarkan pekik nyaring dan menyambar ke bawah hendak menyerang Tan siucai. Namun sambil tertawa, Tan Ki sudah melepas sebatang anak panah lagi. Garuda ini pun mencengkeram, namun anak panah itu tetap saja menembus dadanya dan burung ini pun roboh tewas! Dua ekor burung garuda yang terjatuh kini tewas di tangan seorang berotak miring yang lihai sekali.

   Tan siucai dan gurunya kini merasa yakin bahwa tentu kedua ekor burung garuda itu adalah binatang tunggangan Pendekar Siluman seperti yang mereka dengar diceritakan orang-orang kang ouw. Maka mereka berlaku hati-hati, menyelidiki daerah itu dan akhirnya dari jauh mereka melihat pondok di mana mengepul asap dan terdengar bunyi martil berdencing. Mereka tidak berlaku sembrono, hanya mengintip dengan sabar dan dapat menduga bahwa Pendekar Siluman tentu berada di pondok itu, sedangkan seorang di antara dua orang anak perempuan yang bermain main di luar dengan seorang anak laki-laki tentulah muridnya seperti yang dikabarkan orang. Tadinya Tan siucai hendak mengajak gurunya menyerbu dan membunuh musuh yang dibencinya itu, yang dianggap telah merampas tunangannya. Akan tetapi ketika Maharya mendapatkan bangkai gajah besar tak jauh dari tempat itu, dia menahan niat ini.

   "Kalau tidak salah, gajah ini adalah binatang tunggangan kakakku Nayakavhira! Jangan jangan tua bangka itu pun berada di dalam pondok bersama Pendekar Siluman. Aahhh, tidak salah lagi, tentu dia. Dan suara berdencing itu. Tentu Si Tua Bangka membuatkan pedang pusaka untuk Pendekar Siluman! Huh, dia selalu menentangku! Kalau aku tidak bisa membunuhnya, tentu dia akan mendahului aku merampas Sepasang Pedang Iblis! Kita harus berhati-hati. Aku tidak takut menghadapi Pendekar Siluman kaki buntung yang disohorkan orang itu. Akan tetapi tua bangka Nayakavhira itu lihai sekali dan terhadap dia kita tidak dapat menggunakan ilmu sihir. Kita menanti saja dan kalau ada kesempatan baik, baru kita menyerbu."

   Ketika melihat Suma Han keluar dari pondok dan meninggalkan tiga orang anak, Maharya lalu mengajak muridnya diam diam, menggunakan kesempatan selagi tiga orang anak itu bertempur untuk menyelundup ke dalam pondok.

   "Dia tentu sedang samadhi menapai pedang, inilah kesempatan baik karena Pendekar Siluman sedang keluar. Kau ambil pedangnya, biar aku yang menghadapi Nayakavhira!"

   Akan tetapi, ketika mereka memasuki pondok, mereka melihat bahwa Nayakavhira telah mati dalam keadaan masih duduk bersila di pondok, di depannya menggeletak sebatang pedang bersinar putih yang belum ada gagangnya. Tentu saja Maharya menjadi girang sekali dan Tan siucai mengambil pedang pusaka itu. Diam diam mereka keluar dari pondok dan mengintai dari tempat persembunyian mereka. Mereka melihat Suma Han datang lagi kemudian melihat Suma Han membakar pondok untuk memperabukan jenazah Nayakavhira.

   "Bagus! Sekarang biar aku memancing dia pergi, hendak kucoba sampai di mana kepandaiannya. Kau menjaga di sini, kalau dia sudah pergi, kau culik muridnya. Dengan demikian, akan lebih mudah engkau membalas dendam."

   Demikianlah, dari tempat jauh di sebelah timur Maharya mengeluarkan suara ketawa sehingga memancing da-tangnya Suma Han, sedangkan Tan siucai berhasil menculik Kwi Hong! Pada hakekatnya, Tan siucai bukanlah seorang yang jahat atau kejam. Akan tetapi pada waktu itu, otaknya sudah miring karena dendamnya dan karena dia memaksa diri mempelajari ilmu sihir dari Maharya. Maka dia pun tidak membunuh Bun Beng dan Milana, hal yang akan mudah dan dapat ia lakukan kalau dia berhati kejam. Dia mengempit tubuh Kwi Hong sambil lari menyusul gurunya dan terkekeh mengerikan.

   "Lepaskan aku! Keparat, lepaskan aku! Kalau tidak, Pamanku akan menghancurkan kepalamu!"

   "Heh heh heh, Pamanmu? Gurumu sekalipun, Si Pendekar Buntung kakinya itu, tidak akan mampu membunuhku, bahkan dia yang kini akan mampus di tangan Guruku. Siapa Pamanmu, heh?"

   "Tolol! Pamanku ialah guruku Suma Han Pendekar Super Sakti, To cu dari Pulau Es! Lepaskan aku!"

   Saking herannya bahwa anak perempuan itu bukan hanya murid, akan tetapi juga keponakan musuh besarnya, Tan siucai melepaskan Kwi Hong dan memandang dengan mata terbelalak.

   "Engkau keponakannya? Keponakan dari mana, heh?"

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kwi Hong mengira bahwa orang gila ini takut mendengar bahwa dia keponakan gurunya, maka dia berkata,

   "Guruku adalah adik kandung mendiang Ibuku."

   Tan siucai tertawa.

   "Ha ha ha ha! Kebetulan sekali! Dia telah membunuh kekasihku, tunanganku, calon isteriku. Biar dia lihat bagaimana rasanya melihat keponakannya kubunuh di depan matanya. Heh heh heh!"

   Kwi Hong memandang marah.

   "Setan keparat! Engkau gila! Diriku tidak membunuh siapa siapa dan jangan kira engkau akan dapat terlepas dari tangannya kalau kau berani menggangguku!"

   "Engkau mau lari? Heh heh heh, larilah kalau mampu. Lihat, api dari tanganku sudah mengurungmu, bagaimana kau bisa lari?"

   Kwi Hong memandang dan ia terpekik kaget melihat betapa kedua tangan yang dikembangkan itu benar benar mengeluarkan api yang menyala nyala dan mengurung di sekelilingnya!

   "Setan.... engkau setan....!"

   Ia memaki akan tetapi hatinya merasa takut dan ngeri.

   "Ha ha ha, hayo ikut bersamaku. Aku tidak mau terlambat melihat musuh besarku mati di tangan Guruku!"

   Tan siucai menubruk hendak menangkap Kwi Hong. Anak ini menjerit dan tanpa mempedulikan api yang bernyala-nyala di sekelilingnya, ia meloncat menerjang api. Dan terjadilah hal yang mengherankan hatinya. Ketika menerjang, api itu tidak membakarnya, bahkan tidak ada lagi! Seolah-olah melihat api tadi hanya terjadi dalam mimpi! Maka ia berbesar hati lari terus.

   "Hei hei.... mau lari ke mana, heh?"

   Tan siucai mengejar dan agaknya dalam kegilaannya ia merasa senang mempermainkan Kwi Hong, mengejar sambil menggertak menakut nakuti, tidak segera menangkapnya, padahal kalau dia mau, tentu saja dia dapat menangkap dengan mudah dan cepat. Lagaknya seperti seekor kucing yang hendak mempermainkan seekor tikus. Membiarkannya lari dulu untuk kemudian ditangkap dan diganyangnya. Tan-siucai hanya hendak menakut-nakuti saja karena anak itu adalah keponakan dan murid musuh besarnya, tidak mempunyai maksud sedikit pun juga di hatinya untuk melakukan sesuatu yang tidak baik. Mungkin dia akan benar-benar membunuh Kwi Hong di depan Suma Han, namun hal itu pun akan dilakukan semata-mata untuk menyakiti hati musuh besar yang telah merampas dan dianggap membunuh kekasihnya!

   "Heh-heh-heh, mau lari ke mana kau?"

   Sekali meloncat, tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan dan sambil tertawa-tawa ia telah tiba menghadang di depan Kwi Hong!

   "Ihhhhh!"

   Kwi Hong menjerit kaget penuh kengerian, akan tetapi dia tidak takut dan menghantam perut orang itu.

   "Cessss!"

   Tangannya mengenai perut yang lunak seolah-olah tenaganya amblas ke dalam air, maka Kwi Hong lalu membalikkan tubuh dan melarikan diri ke lain jurusan.

   "Heh-heh-heh, larilah yang cepat, larilah kuda cilik, lari! Ha-ha-ha!"

   Tan-siucai tertawa-tawa dan mengejar lagi dari belakang. Berkali-kali ia mempermainkan Kwi Hong dengan loncat menghadang di depan anak itu. Ketika ia sudah merasa puas mempermainkan sehingga Kwi Hong mulai terengah-engah kelelahan, tiba-tiba Tan-siucai tersentak kaget karena tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang wanita yang mukanya berkerudung menyeramkan! Biarpun Tan-siucai kini telah menjadi seorang yang berkepandaian tinggi, namun kemiringan otaknya membuat dia kadang-kadang seperti kanak-kanak. Begitu melihat munculnya seorang wanita berkerudung, agaknya ia teringat akan cerita-cerita yang dibacanya tentang setan-setan dan iblis, maka mukanya berubah pucat dan ia membalikkan tubuhnya melarikan diri sambil menjerit,

   "Ada setan....!"

   "Aduhhh....!"

   Ia menjerit dan tubuhnya terpental karena pinggulnya telah ditendang dari belakang. Kini wanita berkerudung itulah yang keheranan. Tendangannya tadi disertai sin-kang yang kuat, yang akan meremukkan batu karang dan orang di dunia kang-ouw jarang ada yang sanggup menerima tendangannya itu tanpa menderita luka berat atau bahkan mati. Akan tetapi orang gila itu hanya menjerit tanpa menderita luka sedikit pun. Bahkan kakinya merasakan pinggul yang lunak seperti karet busa!

   "Eh, kau.... kau bukan setan? Kakimu menginjak tanah, terang bukan setan! Keparat, kau berani menendang aku? Tunggu ya, aku akan menangkap dulu anak itu!"

   Tan-siucai melangkah hendak me-nangkap lengan Kwi Hong yang masih berdiri terengah-engah dan juga memandang wanita berkerudung itu dengan mata terbelalak.

   "Jangan ganggu dia!"

   Tiba-tiba wanita itu membentak, suaranya merdu namun dingin dan mengandung getaran kuat. Tan-siucai sadar bahwa wanita ini agaknya memang sengaja hendak menentangnya maka ia membusungkan dada dan menudingkan telunjuknya.

   "Aihh, kiranya engkau hendak menentangku, ya? Sungguh berani mati. Engkau tidak tahu aku siapa? Awas, kalau aku sudah marah, tidak peduli lagi apakah engkau wanita atau pria, berkerudung atau tidak, sekali bergerak aku akan mencabut nyawamu!"

   Wanita berkerudung itu mendengus penuh hinaan,

   "Siapa takut padamu? Tentu saja aku tahu engkau siapa. Engkau adalah seorang yang tidak waras, berotak miring yang menakut-nakuti seorang anak perempuan. Kalau aku tidak ingat bahwa engkau adalah seorang gila, apakah kau kira tidak sudah tadi-tadi kupukul kau sampai mampus? Nah, pergilah. Aku memaafkanmu karena engkau gila dan tinggalkan anak ini."

   Tan-siucai sudah lenyap kegilaannya dan ia marah sekali.

   "Engkau yang gila! Engkau perempuan lancang, hendak mencampuri urusan orang lain dan engkau memakai kerudung penutup muka. Hayo buka kerudungmu dan lekas minta ampun kepadaku!"

   "Agaknya selain gila, engkau pun sudah bosan hidup. Nah, mampuslah!"

   Tiba-tiba wanita berkerudung itu menerjang maju dengan cepat sekali, tahu-tahu tangannya sudah mengirim totokan maut ke arah ulu hati Tan-siucai. Tan-siucai telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun dia terkejut sekali karena maklum bahwa totokan itu dapat membunuhnya dan bahwa gerakan wanita itu selain cepat seperti kilat juga mengandung sin-kang yang luar biasa! Dia tidak berani main-main lagi, tahu bahwa lawannya adalah seorang pandai, maka cepat ia menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan tenaga.

   "Desss!"

   Tubuh Tan-siucai terguling saking hebatnya benturan tenaga itu dan ia cepat meloncat bangun sambil mengirim serangan balasan penuh marah.

   "Hemm, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian!"

   Wanita berkerudung itu berseru dan menyambut pukulan Tan-siucai dengan sambaran tangan ke arah pergelangan lawan. Tan-siucai tidak mau lengannya ditangkap maka ia menghentikan pukulannya dan tiba-tiba kakinya menendang, sebuah tendangan yang mendatangkan angin keras mengarah pusar lawan.

   "Wuuuttt!"

   Wanita itu miringkan tubuh membiarkan tendangan lewat dan secepat kilat kakinya mendorong belakang kaki yang sedang menendang itu. Gerakan ini amat aneh dan Tan-siucai tak dapat mengelak lagi. Kakinya yang luput menendang itu terdorong ke atas, membawa tubuhnya sehingga ia terlempar ke atas seperti dilontarkan.

   "Aiiihhh....!"

   Tan-siucai berteriak akan tetapi wanita itu kagum juga menyaksikan betapa lawannya yang gila itu ternyata memiliki gin-kang yang tinggi sehingga mampu berjungkir balik di udara dan turun ke tanah dengan keadaan kakinya tegak berdiri. Adapun Tan-siucai yang makin kaget dan heran menyaksikan gerakan wanita berkerudung itu, teringat akan sesuatu dan membentak,

   "Aku mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah...."

   "Akulah Ketua Thian-liong-pang!"

   Wanita itu memotong dan menerjang lagi, gerakannya cepat sekali sehingga sukar diikuti pandang mata dan Tan-siucai terpaksa meloncat mundur dengan kaget.

   "Singggg....!"

   Tampak sinar hitam berkelebat dan tahu-tahu tangan Tan-siucai telah mencabut pedang hitamnya, tampak sinar hitam bergulung-gulung dengan dahsyatnya. Diam-diam Ketua Thian-liong-pang itu kaget dan heran.

   Bagaimana tiba-tiba muncul seorang siucai gila seperti ini padahal di dunia kang-ouw tidak pernah terdengar namanya. Namun dia tidak gentar sedikitpun juga. Dia maklum bahwa tingkat kepandaian siucai tampan yang gila ini amat tinggi, akan tetapi tidak terlampau tinggi. Maka ia pun menghadapinya dengan kedua tangan kosong saja. Tubuhnya berkelebatan menyelinap di antara sinar pedang hitam dan mengirim pukulan sin-kang bertubi-tubi sehingga hawa pukulan itu saja cukup membuat Tan-siucai terhuyung mundur dan kacau permainan pedangnya! Ketika dengan rasa penasaran ia membabat kedua kaki wanita itu, Ketua Thian-liong-pang mencelat ke atas, ujung kakinya menendang tenggorokan lawan, Tan-siucai miringkan kepala dengan kaget sekali.

   "Aduhhh....!"

   Ia menjerit dan roboh terguling-guling, tulang pundaknya yang tersentuh ujung sepatu wanita terasa hendak copot, nyeri sampai menusuk ke jantung rasanya.

   "Pangcu dari Thian-liong-pang, lihat baik-baik siapa aku! Engkau takut dan lemas, berlututlah!"

   Tiba-tiba Tan-siucai menuding dengan pedangnya, melakukan ilmu hitamnya, untuk menguasai semangat dan pikiran lawannya melalui gerakan, suara dan pandang matanya. Namun, Ketua Thian-liodg-pang itu memakai kerudung di depan mukanya sehingga tidak dapat dikuasai oleh pandang matanya, adapun suaranya yang mengandung getaran khi-kang hebat itu masih kalah kuat oleh sin-kang lawan. Kini wanita itu tertawa merdu, ketawa yang bukan sembarang ketawa karena suara ketawanya digerakkan dengan sin-kang dari pusar sehingga membawa getaran yang amat kuat. Gelombang getaran ini menyentuh hati Tan-siucai sehingga dia ikut pula tertawa bergelak di luar kemauannya. Mendengar suara ketawanya sendiri, Tan-siucai terkejut dan cepat ia menindas rasa ingin ketawa itu, pedangnya membacok dari atas!

   "Manusia berbahaya perlu dibasmi!"

   Tiba-tiba Ketua Thian-liorg-pang itu berkata dan tangan kirinya bergerak dari atas, ketika pedang itu tiba ia menjepit pedang dari atas dengan jari tangannya yang ditekuk! Bukan main hebatnya ilmu ini yang tentu saja hanya mampu dilakukan oleh orang yang kepandaiannya sudah tinggi sekali dan sin-kangnya sudah amat kuat. Tan-siucai terkejut, berusaha menarik pedang namun pedang itu seperti dijepit oleh tang baja dan sama sekali tidak mampu ia gerakkan. Saat itu Ketua Thian-liong-pang sudah menyodokkan jari-jari tangan kanannya ke arah perut Tan-siucai yang kalau mengenai sasaran tentu akan mengoyak kulit perut!

   "Aiihhhh....!"

   Tiba-tiba Ketua Thian-liong-pang itu memekik, pekik seorang wanita yang terkejut dan ngeri, kemudian tubuhnya meloncat jauh ke belakang, sepasang mata di balik kerudung itu terbelalak. Tan-siucai yang tadinya sudah hilang harapan dan maklum bahwa dia terancam bahaya maut, menjadi kaget dan girang sekali melihat wanita sakti itu meloncat mundur, tidak jadi membunuhnya. Saking girangnya, gilanya kumat dan ia meloncat pergi sambil tertawa-tawa,

   "Ha-ha-ha, engkau tidak tega membunuhku, ha-ha-ha!"

   Ketua itu masih bengong dan membiarkan Si Gila pergi. Tentu saja dia tadi meloncat ke belakang bukan karena tidak tega membunuh Tan-siucai, melainkan ketika tangannya hampir mengenai perut lawan, tiba-tiba ada sinar putih yang luar biasa keluar dari balik jubah bagian perut. Sinar putih ini mengandung hawa mujijat sehingga mengagetkan Ketua Thian-liong-pang yang maklum bahwa sinar yang mengandung hawa seperti itu hanyalah dimiliki sebuah pusaka yang maha ampuh!

   "Sayang engkau melepaskan Si Gila itu,"

   Kwi Hong berkata ketika melihat Tan-siucai menghilang. Ketua Thian-liong-pang itu agaknya baru sadar akan kehadiran Kwi Hong. Dia menoleh dan memandang anak itu, di dalam hatinya merasa suka dan kagum. Anak yang bertulang baik, berhati keras dan penuh keberanian.

   "Sudah cukup kalau engkau terbebas darinya,"

   Ia berkata.

   "Anak, engkau siapakah dan mengapa engkau ditangkap Si Gila?"

   "Aku tidak tahu dengan orang apa aku bicara. Apakah engkau tidak mau membuka kerudungmu sehingga aku dapat memanggilmu dengan tepat?"

   Kwi Hong bertanya, memandang muka berkerudung itu dan diam-diam ia kagum karena dia sudah mendengar akan nama besar Thian-liong-pang dan tadi pun sudah menyaksikan sendiri kelihatan wanita ini sehingga timbul keinginan untuk melihat bagaimana kalau wanita ini bertanding melawan pamannya! Wanita itu menggeleng kepala.

   "Tidak seorang pun boleh melihat mukaku, kecuali.... kecuali.... yah, tak perlu kau tahu. Sebut saja aku Bibi. Engkau siapakah?"
(Lanjut ke Jilid 13)

   Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
"Bibi yang perkasa, aku adalah Giam Kwi Hong, murid dan juga keponakan dari To-cu Pulau Es."

   "Pendekar Siluman....!"

   Wanita berkerudung itu bertanya, jelas kelihatan terkejut bukan main. Besar rasa hati Kwi Hong. Semua orang mengenal pamannya, mengenal dan takut. Agaknya wanita perkasa ini tidak terkecuali, maka ia menjadi bangga, tersenyum dan mengangguk.

   "Benar, dan Si Gila itu tadi sengaja menculikku karena dia memusuhi Paman Suma Han. Katanya Pamanku membunuh kekasihnya, tunangannya. Kurasa dia bohong karena dia gila. Kalau saja Paman tidak dipancing pergi, mana dia mampu menculikku?"

   "Di mana Pamanmu sekarang? Apa yang terjadi?"

   "Paman sedang membuat pedang pusaka bersama kakek yang bernama Nayakavhira. Pedang sudah jadi dan karena Kakek itu hendak menapai pedang, Paman pergi untuk mencari garuda kami. Paman datang dan mengatakan bahwa sepasang garuda dibunuh orang, kemudian ternyata bahwa pedang pusaka itu lenyap. Baru tadi kuketahui bahwa pedang yang baru jadi diambil oleh Si Gila. Maka sayang tadi kau lepaskan dia, seharusnya pedang itu dirampas dulu, Bibi."

   "Ahhhh....!"

   Ketua Thian-liong-pang itu kagum bukan main. Kiranya benar dugaannya. Si Gila itu menyelipkan sebatang pedang pusaka yang amat ampuh di pinggangnya. Dia menyesal mengapa tadi tidak mengejar dan merampas pedang itu.

   "Ketika Paman membakar pondok untuk memperabukan jenazah Nayakavhira yang kedapatan sudah mati tua di pondok, ada suara ketawa. Paman cepat pergi mencari dan tiba-tiba muncul Si Gila itu, dan aku diculik....."

   "Hemm.... kalau begitu Pamanmu tidak jauh dari sini. Mari kuantar engkau menyusulnya."

   Tanpa menanti jawaban, wanita itu memegang lengan Kwi Hong dan anak ini kagum bukan main. Kembali dia membandingkan wanita ini dengan pamannya, karena digandeng dan dibawa lari seperti terbang seperti sekarang ini hanya pernah ia alami ketika dia dibawa lari pamannya.

   Tiba-tiba wanita itu berhenti dan menuding ke depan. Kwi Hong memandang dan terbelalak heran menyaksikan pamannya itu sedang duduk bersila di atas tanah, tongkatnya melintang di atas kaki tunggal, kedua tangannya dengan tangan terbuka dilonjorkan, matanya terpejam dan dari kepalanya keluar uap putih yang tebal! Adapun kira-kira sepuluh meter di depannya tampak seorang kakek bersorban seperti Nayakavhira, hanya bedanya kalau Kakek Nayakavhira berkulit putih, orang ini berkulit hitam arang, memakai anting-anting di telinga, hidungnya seperti paruh kakatua, jenggotnya panjang dan dia pun bersila seperti Suma Han dengan kedua tangan dirangkapkan di depan dada dan matanya melotot lebar, juga dari kepalanya keluar uap tebal. Baik Suma Han maupun kakek hitam itu sama sekali tidak bergerak seolah-olah mereka telah menjadi dua buah arca batu!

   "Paman....!"

   Tiba-tiba mulut Kwi Hong didekap tangan Ketua Thian-liong-pang yang berbisik.

   "Anak bodoh, tidak tahukah engkau bahwa Pamanmu sedang bertempur mati-matian melawan kakek sakti itu? Mereka mengadu sihir dan kalau engkau mengganggu Pamanmu, dia bisa celaka. Kau tunggu saja di sini sampai pertempuran selesai, baru boleh mendekati Pamanmu. Aku mau pergi!"

   Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, Ketua Thian-liong-pang itu lenyap dari belakang Kwi Hong yang tidak mempedulikannya lagi karena perhatiannya tertumpah kepada pamannya. Kwi Hong sama sekali tidak tahu bahwa sebelum dia tiba di tempat itu, Bun Beng telah lebih dulu melihat pertandingan yang amat luar biasa itu, bersembunyi di tempat lain dan memandang dengan napas tertahan dan mata terbelalak. Dibandingkan dengan Kwi Hong, dia jauh lebih terheran karena apa yang dilihatnya tidaklah sama dengan apa yang dilihat Kwi Hong! Kalau Kwi Hong hanya melihat pamannya duduk bersila melonjorkan kedua lengan ke depan menghadapi kakek hitam yang bersila dan merangkapkan tangan depan dada,

   Bun Beng melihat betapa di antara kedua orang sakti yang duduk bersila tak bergerak seperti arca itu terdapat seorang Suma Han ke dua yang sedang bertanding dengan hebatnya melawan seorang kakek hitam ke dua pula, seolah-olah bayangan mereka yang sedang bertanding! Mengapa bisa begitu? Mengapa kalau Kwi Hong tidak melihat ada yang bertanding? Karena dia baru saja tiba sehingga dia tidak dikuasai pengaruh mujijat seperti yang dialami Bun Beng. Ketika Bun Beng berlari secepatnya mengejar Tan-siucai yang menculik Kwi Hong secara ngawur ke timur karena dia sudah tertinggal jauh sehingga penculik itu tidak tampak bayangannya lagi dan napasnya mulai memburu, dia melihat Suma Han sedang bertanding melawan seorang kakek hitam.

   Pertandingan yang amat hebat dan cepat sekali sehingga pandang mata Bun Beng menjadi kabur dan kepalanya pening. Dia melihat betapa tubuh Pendekar Siluman itu mencelat ke sana ke mari sedangkan tubuh kakek hitam itu berputaran seperti sebuah gasing. Begitu cepat pertandingan itu se-hingga dia tidak dapat mengikuti dengan pandang matanya. Dia tidak berani memperlihatkan diri biarpun ketika melihat Suma Han dia menjadi girang sekali dan ingin menceritakan tentang Kwi Hong yang diculik orang. Menyaksikan pertandingan yang hebat itu dia lupa segala, lupa akan Kwi Hong yang diculik orang dan ia menonton sambil bersembunyi dengan mata terbelalak. Tiba-tiba kakek itu terlempar sampai sepuluh meter jauhnya dan terdengar kakek itu berkata,

   "Pendekar Siluman, engkau hebat sekali. Tetapi aku masih belum kalah. Lihat ini!"

   Kakek itu lalu duduk bersila, merangkapkan kedua tangan depan dada sambil mengeluarkan bunyi menggereng hebat sekali dan.... hampir Bun Beng berseru kaget ketika melihat betapa dari kepala kakek itu mengepul uap kehitaman tebal dan muncul seorang kakek ke dua, persis seperti seorang kakek itu sendiri!

   "Maharya, engkau hendak mengadu kekuatan batin? Baik, aku sanggup melayanimu!"

   Kata Suma Han yang segera duduk bersila dan juga dari kepalanya mengepul uap putih yang tebal dan dari uap ini terbentuklah seorang Suma Han kedua yang bergerak maju menghadapi "bayangan"

   Kakek hitam, kemudian kedua bayangan itu bertanding dengan hebat!

   Suma Han melonjorkan kedua tangan ke depan dan gerakan bayangannya menjadi makin cepat dan kuat! Bun Beng yang terkena getaran pengaruh mujijat, dapat melihat kedua bayangan yang bertanding itu, yang tidak dapat tampak oleh Kwi Hong yang baru tiba. Bun Beng yang dapat menyaksikan pertandingan aneh itu, dengan mata terbelalak dan muka pucat menonton. Ia melihat gerakan bayangan kakek itu aneh, berloncatan menyerang bayangan Suma Han dengan jari-jari tangannya. Kedua tangan hanya menggunakan dua buah jari, telunjuk dan tengah, untuk menusuk-nusuk dengan cepat sekali, sedangkan kedua kakinya berloncatan seperti gerakan kaki katak. Terdengar bunyi angin bercuitan ketika kedua tangannya menusuk-nusuk.

   Namun gerakan bayangan Suma Han yang tidak bertongkat itu tetap tenang biarpun cepatnya membuat mata Bun Beng sukar mengikutinya. Bayangan Pendekar Super Sakti ini mencelat ke sana-sini menghindarkan semua tusukan jari tangan lawan, bahkan membalas dengan pukulan kedua tangan yang mendatangkan angin sehingga kain panjang lebar yang menjadi pakaian kakek hitam, hanya dibelitkan, berkibar oleh angin pukulan itu. Tubuh kedua bayangan itu seolah-olah tidak menginjak tanah, kadang-kadang keduanya membubung tinggi dan bertanding di udara, kemudian turun lagi ke atas tanah. Bun Beng yang menonton pertandingan itu menjadi bingung, sukar mengikuti gerakan kedua bayangan itu sehingga dia tidak tahu siapa yang mendesak dan siapa yang terdesak. Hanya dia melihat Suma Han yang bersila itu masih duduk tenang tak bergerak sedikit juga, kedua mata dipejamkan.

   Sedangkan kakek hitam yang bersila itu matanya makin melotot mukanya mulai berpeluh dan kedua tangan yang dirangkapkan di depan dada itu bergoyang menggigil sedikit. Dan biarpun ada pertempuran yang demikian hebatnya, tidak terdengar suara sedikit pun juga. Keadaan sunyi sekali, sama sunyinya seperti yang dirasakan Kwi Hong yang hanya melihat dua orang sakti itu duduk bersila berhadapan tanpa bergerak. Baik Kwi Hong maupun Bun Beng yang masing-masing bersembunyi di tempat terpisah dan tidak saling melihat, merasa khawatir karena saking sunyinya, mereka itu hanya mendengar suara pernapasan mereka sendiri yang tertahan-tahan! Sementara itu, mereka yang saling bertanding mengadu kesaktian mengerahkan seluruh kekuatan batin untuk menghimpit lawan. Diam-diam Maharya terkejut bukan main.

   Kalau tadi, ketika ia memancing Pendekar Siluman ke tempat itu kemudian ia tantang dan serang, dalam pertandingan silat dia terdesak bahkan sampai terdorong dan terlempar jauh, dia tidak menjadi penasaran karena memang dia sudah mendengar berita bahwa Pendekar Siluman memiliki ilmu silat yang luar biasa dan tenaga sin-kang yang dahsyat. Maka dia lalu mengambil cara lain, yaitu menghadapi lawannya dengan ilmu sihir dan ia merasa yakin pasti akan dapat menang. Dia terkenal di negaranya sebagai seorang ahli sihir yang tangguh. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia melihat Pendekar Siluman menandinginya dengan ilmu yang sama, bahkan kini ia merasa betapa kekuatan batinnya terdesak hebat! Kakek ini merasa penasaran sekali. Dalam hal mengadu kekuatan raga, dia tidak pernah menemui tanding, apalagi dalam mengadu kekuatan batin.

   Kini, berhadapan dengan seorang lawan muda yang patut menjadi cucunya, dia selalu tertindih kalah lahir batin! Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan itu dan dengan geram ia menggerakkan mu-lut yang tertutup kumis itu berkemak-kemik, mengerahkan segala kekuatannya dan pandang mata yang melotot itu seolah-olah mengeluarkan api! Bun Beng yang kebetulan memandang kakek yang duduk bersila itu hampir berteriak kaget melihat betapa sepasang mata kakek itu seperti mengeluarkan api! Dia cepat menengok ke arah Suma Han dan melihat betapa pendekar itu kelihatan mengerutkan alis, tidak tenang seperti tadi, dan kedua lengannya yang dilonjorkan itu tergetar seolah-olah hendak menambah tenaga yang keluar dari sepasang telapak tangannya.

   Memang Suma Han juga terkejut sekali ketika tiba-tiba ia merasa betapa kekuatan kakek lawannya itu menjadi berlipat! Hawa panas menyerangnya sehingga ia cepat mengerahkan inti sari dari Swat-im Sin-kang. Setelah kedua te-naga panas dan dingin itu saling dorong-mendorong, akhirnya dia merasa betapa hawa panas berkurang. Keningnya tidak berkerut lagi, akan tetapi tampak beberapa tetes keringat membasahi dahi Suma Han. Benar-benar hebat lawannya itu, pikirnya. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan seorang lawan sehebat Kakek Maharya ini! Kalau dalam hal ilmu silat dia hanya memang sedikit saja, dalam hal ilmu yang didasari kekuatan batin, dia tidak berani mengatakan lebih kuat!

   Hanya yang menguntungkan dirinya, kekuatan batin yang di-milikinya adalah pembawaan dirinya, dibentuk oleh kekuatan alam dan dimatangkan dengan ilmu sin-kang dan pelajaran yang ia terima menurut petunjuk Koai-lojin. Sedangkan kekuatan batin kakek lawannya itu dikuasainya oleh latihan-latihan yang puluhan tahun lamanya. Betapapun hebat usaha manusia, mana mampu menandingi kekuatan dan kekuasaan alam? Maka dalam pertandingan ini, Suma Han yang mengandalkan tenaga batin dari kekuasaan alam, sukar untuk dikalahkan oleh kakek yang telah menjadi datuk dalam ilmu sihir itu. Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan tampak tiga sinar putih yang menyilaukan mata menyambar ke arah tubuh kakek hitam itu, menyambar muka di antara mata, ulu hati dan pusar!

   "Eigghhhh....!"

   Kakek itu mengeluarkan suara menggereng seperti harimau, tangannya yang tadinya dirangkap di depan dada bergerak dan mulutnya terbuka. Bun Beng terbelalak menyaksikan betapa kakek itu telah menangkap tiga sinar itu yang ternyata adalah tiga batang pisau, ditangkap dengan kedua tangan, sedangkan yang menyambar muka telah digigitnya! Bayangan kakek yang bertanding melawan bayangan Suma Han telah lenyap masuk kembali ke kepala kakek itu, demikian pula bayangan Suma Han telah lenyap. Sekali menggerakkan tubuh, kakek itu sudah meloncat berdiri dan tampak tiga sinar menyambar ke arah kirinya ketika ia melontarkan tiga ba-tang pisau itu ke arah dari mana datangnya pisau-pisau tadi. Kemudian ia meloncat jauh dan lenyap, hanya terdengar suaranya.

   "Pendekar Siluman! Lain kali kita lanjutkan!"

   Sunyi keadaan di situ setelah kakek itu menghilang. Suma Han bangkit berdiri bersandar kepada tongkatnya, menoleh ke arah dari mana datangnya pisau-pisau tadi dan berkata, suaranya dingin dan penuh wibawa seperti orang marah.

   "Siapa yang telah berani lancang turun tangan tanpa diminta?"

   Daun bunga bergerak dan muncullah seorang wanita amat cantik jelita dari balik rumpun, berdiri di depan Suma Han tanpa berkata-kata. Keduanya saling pandang dan berseru, suaranya menggetar penuh perasaan,

   "Nirahai....!" "Han Han....!"

   Keduanya berdiri saling pandang dan sungguhpun dalam suara mereka terkandung kerinduan yang mendalam, namun keduanya hanya saling pandang dan dari kedua mata wanita cantik itu menetes air mata berlinang-linang.

   "Han Han, bertahun-tahun aku menanti akan tetapi engkau tidak kunjung datang menyusulku. Sampai kapankah aku harus menanti? Sampai dunia kiamat? Han Han, aku isterimu!"

   "Nirahai, engkau.... telah pergi meninggalkan aku, membuat hatiku merana...."

   "Memang aku pergi, akan tetapi engkau tidak melarang!"

   "Aku.... ah, aku tidak ingin memaksamu.... aku.... ahh...."

   "Han Han, engkau laki-laki lemah! Engkau suami yang hanya tunduk dan mengekor kepada isteri, engkau pria yang tidak tahu isi hati wanita. Engkau.... ahh, sakit hatiku melihatmu....!"

   "Nirahai....!"

   Suma Han melangkah maju dan merangkul wanita itu. Nirahai tersedu dan menyembunyikan muka di dada suaminya, membiarkan Suma Han mengelus rambutnya,

   "Nirahai, aku cinta padamu. Demi Tuhan, aku cinta padamu.... akan tetapi karena engkau mempunyai cita-cita, aku merelakan engkau pergi...."

   "Ibuuuu....!"

   Terdengar teriakan girang dan muncullah Milana berlarian. Mendengar teriakan ini, Nirahai melepaskan pelukan Suma Han dan menyambut Milana dengan tangan terbuka, lalu memon-dong anak itu dan menciuminya penuh kegirangan,

   "Milana....! Anakku....! Ahhh, sukur engkau selamat. Betapa gelisah hatiku mendengar laporan Pamanmu tentang malapetaka di laut itu!"

   Suma Han memandang dengan wajah pucat sekali.

   "Milana!"

   Dia membentak, suaranya mengguntur, mengagetkan Kwi Hong dan Bun Beng di tempat persembunyian masing-masing di mana kedua orang anak ini tertegun menyaksikan adegan pertemuan antara Suma Han dan isterinya yang tidak mereka sangka-sangka itu.

   "Engkau perempuan rendah, isteri tidak setia! Engkau meninggalkan aku dan tahu-tahu telah mempunyai seorang anak! Ahhh, betapa menyesal hatiku telah mentaati perintah mendiang Subo....!"

   Setelah berkata demikian dengan pandang mata penuh jijik dan kebencian, Suma Han membalikkan tubuhnya dan pergi berjalan terpincang-pincang meninggalkan Nirahai. Nirahai menjadi pucat, terbelalak dan menurunkan Milana yang berdiri memeluk pinggang ibunya dan bertanya.

   "Ibu....! Dia siapa....? Mengapa To-cu Pulau Es itu marah-marah kepadamu?"

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Nirahai menangis mengguguk.

   "Dia.... dia Ayahmu...."

   Suaranya gemetar dan ia menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis tersedu-sedu. Milana cepat menoleh, kemudian lari meninggalkan ibunya, mengejar Suma Han sambil menjerit.

   "Ayaaahhh....! Ayah....!"

   Mendengar jeritan anak itu, cepat Suma Han membalik, mengira bahwa dia tentu akan melihat munculnya laki-laki yang menjadi ayah dari anak Nirahai itu. Akan tetapi, ia menjadi bingung dan terheran-heran ketika melihat anak itu mengejarnya, kemudian menjatuhkan diri berlutut dan memeluk kakinya sambil menangis dan memanggil-manggil.

   "Ayaahh.... ayaahku....!"

   Suma Han terbelalak memandang bocah yang menangis memeluki kaki tunggalnya, kemudian mengangkat muka memandang Nirahai yang masih menangis tersedu-sedu menutupi muka dengan kedua tangan sambil berlutut di atas tanah.

   "Heh....! Apa....! Bagaimana....? Engkau.... anak siapa....?"

   "Ayah.... engkau Ayahku.... aku anak Ayah dan Ibu....."

   Milana mengangkat muka. Tubuh Suma Han menggigil dan ia menyambar tubuh Milana, diangkat dan dipondongnya.

   "Anakku? Engkau.... anakku....?"

   Ia menciumi muka bocah itu. Milana tertawa dengan air mata bercucuran, merangkul leher pendekar yang dikagumi dan yang dirindukan itu. Suma Han berpincang melangkah ke depan Nirahai.

   

Pendekar Super Sakti Eps 11 Kisah Pendekar Bongkok Eps 8 Pendekar Super Sakti Eps 2

Cari Blog Ini