Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 18


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



Maka ia lalu meraih ke atas dan tangannya memegang kaki burung erat-erat sambil melepaskan cengkeraman kaki burung yang masih mencengkeram pundaknya. Kini dialah yang memegang kaki burung, tidak berani melepaskan karena hal itu akan berarti kematian yang mengerikan baginya. Tiba-tiba ia melihat seekor burung lain, juga amat besar, terbang cepat datang dari jauh. Sudah terdengar suara pekik burung itu melengking keras. Celaka, pikirnya, tak salah lagi tentulah bocah setan itu yang datang menunggang burungnya. Masih terlalu jauh untuk dapat dilihat apakah burung yang terbang datang itu ada penunggangnya atau tidak. Dia memutar otaknya, mencari akal apa yang harus dilakukannya kalau sampai pemuda setan itu betul-betul datang.

   Kalau saja dia bisa naik ke atas punggung burung ini, dia akan mendapat kesempatan untuk menghadapi lawan. Sama-sama menunggang burung, barulah ramai dan sebanding kalau bertempur. Kalau dia bergantung pada kaki burung, tentu saja dia tidak dapat melakukan perlawanan dengan baik, paling-paling dia hanya bisa melindungi tubuhnya dengan sebelah tangan yang sebelah lagi harus ia pergunakan untuk bergantungan pada kaki burung. Tiba-tiba burung yang membawanya itu pun melengking keras, lengking tanda kemarahan dan ketika burung yang terbang datang itu sudah tampak dekat, hati Bun Beng agak lega karena tidak tampak ada penunggangnya. Akan tetapi, kelegaan hatinya itu menjadi berubah seketika ketika kedua ekor burung itu sudah saling serang dengan hebatnya.

   Kini tampak jelas oleh Bun Beng bahwa burung yang baru datang adalah seekor burung garuda putih. Dia mengenal burung itu. Burung tunggangan Pendekar Siluman. Burung garuda dari Pulau Es! Tentu saja dua ekor burung yang menjadi musuh lama itu kini saling terjang mati-matian, saling cakar, saling patuk, saling kabruk sambil mengeluarkan suara melengking menulikan telinga. Bun Beng yang celaka dalam pertarungan antar dua ekor burung raksasa itu. Betapa tidak? Tubuhnya tergantung di kaki burung rajawali dan di dalam pertandingan itu, kedua ekor burung saling terjang sehingga tubuh Bun Beng terbawa, terguncang, bahkan dia menjadi korban terkaman burung garuda yang tentu saja tidak dapat membedakan dia dari kaki burung lawan.

   Bun Beng yang masih bergantung pada kaki rajawali menjadi serba salah. Mau membantu garuda putih dengan memukul tubuh rajawali, berarti dia seperti memukul diri sendiri. Kalau rajawali itu jatuh, bukankah berarti dia sendiri pun jatuh jatuh ke bawah? Mau membantu burung rajawali, dapat ia lakukan dengan jalan memukul garuda putih di waktu dua ekor burung itu saling tubruk, hatinya tidak mengijinkan karena dalam pertandingan antara kedua ekor burung itu otomatis dia berpihak kepada garuda putih yang menjadi peliharaan Pendekar Siluman yang ia kagumi. Membantu rajawali salah, membantu garuda pun tidak mungkin. Diam saja juga tidak baik karena dialah yang paling payah dalam pertadingan angkasa itu.

   Bun Beng benar-benar merasa tersiksa sekali, tersiksa lahir batin. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan, montang-manting terdorong ke sana sini, kena patuk, kena cakar sehingga ia luka-luka dan tubuhnya terasa sakit-sakit, pakaiannya banyak yang terkoyak. Ini benar-benar menyiksa hatinya. Dalam pertadingan biasa, biarpun melawan musuh yang jauh lebih pandai, sedikitnya dia bisa melawan, balas menyerang, atau kalau sudah merasa kalah, dapat melarikan diri. Akan tetapi sekarang ini sama sekali dia tidak berdaya. Membalas tidak bisa, melindungi tubuh sendiri pun tidak sempurna, melarikan diri pun.... mana mungkin? Habislah ikhtiar sebagai manusia dan dalam keadaan seperti itu, tidak lain jalan lagi kecuali menyerahkan nasib ke tangan Tuhan!

   Dia hanya dapat menggunakan sebelah tangan untuk menangkis setiap ada bahaya patukan, cengkeraman atau tubrukan sayap yang mempunyai tenaga kwintalan! Dalam pertandingan angkasa yang ramai itu, Si rajawali raksasa akhirnya terdesak hebat. Banyak bulu sayapnya membodol dan kepalanya berdarah. Hal ini tidak mengherankan. Dalam keadaan biasa saja, garuda putih dari Pulau Es yang terlatih itu merupakan lawan berat baginya, apalagi sekarang sebelah kakinya diganduli orang, tentu saja hal ini membuat gerakannya kurang leluasa sehingga dia lebih banyak menerima patukan dan cengkeraman. Karena itu, sambil mengeluarkan suara melengking bingung, seperti seekor ayam dikejar-kejar anak kecil, rajawali raksasa itu mulai menggerak-gerakkan kakinya yang diganduli Bun Beng, berusaha melepaskan orang yang menjadi pengganggu gerakannya.
(Lanjut ke Jilid 17)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17
Bun Beng maklum akan niat rajawali itu dan tentu saja dia tidak sudi disuruh turun begitu saja. Terlepas berarti melayang turun dari tempat yang tingginya ribuan kaki! Maka ia malah menggunakan tenaganya untuk memegang kaki rajawali itu sekuat mungkin sehingga biarpun rajawali itu berusaha untuk menendangkan kakinya tubuh Bun Beng tetap saja tidak terlepas dari kakinya. Namun, kini keadaan Bun Beng makin payah. Kalau tadinya dia hanya menjaga diri dari serangan garuda putih yang sebetulnya menyerang Si rajawali dan tanpa disengaja menyerang Bun Beng pula, setelah rajawali itu kini berusaha melepaskannya, Bun Beng harus menghadapi dua serangan, yaitu dari garuda yang masih menyerang secara ngawur sehingga dirinya ikut diserang, dan dari rajawali yang hendak menendang dirinya supaya terlepas.

   Tubuh Bun Beng terayun-ayun dan beberapa kali hampir saja pegangannya terlepas. Betapapun juga, dia tidak berani memegang kaki rajawali itu dengan dua tangannya, karena tangan yang kanan ia perlukan untuk menjaga diri, menangkis terjangan garuda. Kepalanya menjadi pening dan tangan kirinya terasa penat sekali. Kalau sudah tidak kuat, dia mengganti tangan kiri dengan tangan kanan yang menggandul, sedangkan tangan kirinya yang penat itu ia pergunakan untuk melindungi tubuhnya dari terjangan garuda putih. Ketika burung garuda menyambar lagi, kini dari bawah, agaknya garuda yang cerdik itu melihat betapa lawannya sibuk dengan kakinya, paruh dan cakar garuda yang menerjang perut rajawali itu otomatis menubruk pula tubuh Bun Beng yang tergantung.

   "Celaka....!"

   Pemuda itu berseru keras dan betapapun ia hendak mempertahankan, tak mungkin ia menangkis serangan garuda sehebat itu hanya dengan tangan yang sudah penat. Gerakan menyelamatkan dirinya secara otomatis membuat ia menggunakan pula tangan kanan, lupa bahwa tangan kanannya tak boleh dilepaskan dari kaki rajawali. Begitu ia menggerakkan tangan kanan melepaskan kaki rajawali, tentu saja tubuhnya terlepas dan melayang ke bawah.

   "Mampus aku sekarang....!"

   Ia mengomel karena jengkel akan kebodohannya sendiri, akan tetapi ia segera teringat dan disambungnya tenang,

   "....kalau Tuhan menghendaki....!"

   Akan tetapi betapa mungkin ia akan dapat menyelamatkan diri dengan tubuh meluncur ke bawah sedemikian cepatnya, menuju ke arah tanah di bawah yang berbatu? Betapapun lihainya, tidak mungkin ia dapat menguasai tubuhnya yang meluncur turun cepat sekali, seperti batu disambitkan. Bukan main herannya rasa hati Bun Beng. Di saat kematian berada di depan mata ini seperti dalam mimpi ia melihat wajah yang berubah-ubah. Pertama wajah Milana, kemudian berubah menjadi wajah Kwi Hong, dan berubah lagi menjadi wajah Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai.

   Gila, ia menyumpah. Mengapa dalam menghadapi maut yang agaknya sekali ini tidak mungkin dapat ia elakkan lagi, pikirannya jadi kacau-balau dan ia teringat akan gadis-gadis itu? Inikah yang disebut watak mata keranjang seorang pria? Ayahnya memperkosa ibunya! Ayahnya dan ibunya saling bunuh! Anak haram, kata Ketua Thian-liong-pang. Anak seorang datuk kaum sesat, seringkali ia mendengarnya. Dan dia masih cucu keponakan seorang tokoh Thian-liong-pang yang mukanya seperti singa. Orang macam apakah dia? Mati pun tidak ada yang kehilangan. Pikiran ini membuat dia makin tenang, karena ia berpendapat bahwa orang seperti dia ini kalau terus hidup pun hanya akan mengalami kesengsaraan dan penghinaan, mengalami tekanan batin dan tidak dihargai orang.

   Satu-satunya orang yang paling baik terhadapnya adalah suhunya yang pertama, Siauw Lam Hwesio. Akan tetapi suhunya itu telah dibunuh secara mengerikan oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun koksu (guru negara) yang tinggi kurus itu bersama pembantu-pembantunya. Tidak, dia tidak boleh mati! Biarpun kalau hidup ia mengalami kesengsaraan batin, akan tetapi dia harus hidup untuk menuntut balas atas kematian Siauw Lam Hwesio yang demikian menyedihkan! Dan dia masih meninggalkan sepasang pedang pusaka yang belum diambilnya. Sayang kalau pedang itu tersia-sia hilang di tempat rahasia itu. Kini timbul keinginan hatinya untuk menyerahkan pedang itu kepada Pendekar Siluman, satu-satunya orang yang dikaguminya di antara seluruh tokoh sakti di dunia ini.

   "Aku tidak mau mati dulu!"

   Bun Beng berteriak diluar kesadarannya dan tiba-tiba ia melihat seekor burung raksasa lain di bawahnya. Celaka, apakah ia dikejar dua ekor burung tadi? Ah, tidak, burung ini berada di bawahnya, bergerak-gerak terbang menyongsongnya, tentu akan menyerangnya pula.

   Dalam keadaan melayang dan meluncur turun ini, sedangkan menjaga jatuhnya saja dia tidak mampu, bagaimana ia akan dapat mempertahankan diri kalau burung raksasa ini menyerangnya? Ah, dia akan tertolong kalau dapat menangkap burung itu. Asal dapat menangkapnya, entah merangkul lehernya atau merangkul kakinya, pendeknya dia harus dapat mengunakan burung itu sebagai penyelamatnya dari kejatuhan yang tak dapat disangsikan lagi akan kehancuran tubuhnya. Kalau tadi timbul kengerian karena takut diserang burung baru ini, sekarang dia malah mengharap agar burung itu benar-benar menyerangnya. Karena kalau dia yang harus menuju ke burung itu, tentu saja tidak mungkin. Tanpa sayap mana mungkin dia bisa mengatur meluncurnya itu? Makin dekat.... dan Bun Beng kembali menyumpah,

   "Dasar awak sialan!"

   Yang disangkanya burung raksasa itu ternyata hanyalah sebuah layangan besar sekali. Memang bentuknya seperti burung, bahkan dilukis seperti burung, akan tetapi tetap saja benda itu hanya sebuah layang-layang yang biasa menjadi permainan seorang kanak-kanak! Apa artinya sebuah layang-layang baginya dalam keadaan terancam bahaya maut seperti itu? Seakan-akan malah mengejeknya, bergerak-gerak ke kanan-kiri dipermainkan angin.

   Melihat betapa layang-layang itu bergerak-gerak seperti seekor burung yang menari-nari mengejeknya, timbul rasa panas di hati Bun Beng. Memang dia terancam bahaya maut, akan tetapi se-dikit pun dia tidak takut. Mengapa harus diejek? Karena dia tidak berdaya membalas, kalau dia dapat tentu akan ditangkapnya layang-layang itu dan dicabik-cabiknya, maka Bun Beng hanya memejamkan matanya dan membiarkan tubuhnya meluncur terus ke bawah. Teringat ia ketika dahulu ia jatuh pula dari kaki burung rajawali terbang dan berada di dalam keranjang, akan tetapi di bawahnya adalah laut luas sehingga dia terjatuh dengan empuk. Hanya satu perbedaannya, kalau dahulu di waktu dia masih kecil dia menjadi pingsan ketika meluncur turun, kini dia dapat mempertahankan diri dan tidak menjadi pingsan.

   Hal ini karena sin-kangnya sudah bertambah jauh lebih kuat, maka ia merasa dadanya sesak dan sukar bernapas namun ia masih dapat menahannya dan masih dalam keadaan sadar sepenuhnya, merasakan betapa tubuhnya melayang turun dengan kecepatan yang mengerikan. Tiba-tiba ia merasa kakinya nyeri dan luncuran tubuhnya tertahan, bahkan kini tubuhnya tergantung dengan kepala di bawah. Ketika ia membuka mata, ia melihat bahwa kedua kakinya terlibat oleh sehelai tali yang cukup besar, sebesar kelingking. Tubuhnya yang bergantung itu bergoyang ke kanan-kiri, akan tetapi tidak melucur ke bawah lagi. Ia melihat ke atas, di atas kepalanya, tidak begitu tinggi, hanya sejauh lima enam meter, tampak layang-layang raksasa tadi bergerak-gerak.

   "Setan! Iblis! Siluman angkasa laknat! Engkau mengacau layang-layangku, si keparat!"

   Tiba-tiba Bun Beng mendengar suara makian dari atas dan dengan mata terbelalak ia melihat bahwa di bawah layang-layang itu tampak seorang kakek berdiri di tali-temali layang-layang, seorang kakek yang bertubuh pendek, berjenggot panjang dengan rambut terurai lepas, melambai tertiup angin. Yang membuat ia terkejut adalah wajahnya berwarna kekuningan mendekati putih, hanya karena jenggot dan rambut-nya sudah berwarna putih perak maka wajahnya tampak menguning!

   Seorang tokoh Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Orang dari mana lagi kalau bukan dari Pulau Neraka yang memiliki kulit kuning seperti dicat itu? Timbul harapannya di hati Bun Beng. Kalau kakek itu dapat hidup di tali layang-layang, tentu ia pun dapat. Harapan untuk hidup membuat Bun Beng sadar dan cepat-cepat ia menggunakan kedua tangannya memegang tali layang-layang dengan erat, kemudian melepaskan kakinya dari belitan dan membalikkan tubuh sehingga kini dia bergantung pada tali layang-layang itu, kedua tangannya memegang erat dan kedua kakinya ia libatkan. Gerakan-gerakannya ini membuat layang-layang itu makin kacau gerakannya, bergoyang ke kanan-kiri, kadang-kadang menukik turun dengan kecepatan mengerikan dan mengeluarkan bunyi angin bercuitan.

   "Setan! Bodoh! Kiranya engkau hanya seorang pemuda tolol. Dari mana kau datang mengacau layang-layangku, heh? Lekas.... wah celaka, pindahkan berat tubuhmu ke kanan, injakkan kakimu pada tali dan enjot tubuhmu ke atas. Wah-wah.... celaka, bisa terus layang-layang ini. Sialan, kau merampas kegembiraanku!"

   Tidak usah dimaki dan diperingatkan pun, Bun Beng sudah maklum betapa bahayanya "menunggang"

   Layang-layang dengan bergantungan pada talinya. Ketika layang-layang itu menukik turun, dia menjadi ngeri sekali.

   Mengertilah dia bahwa kakek Pulau Neraka yang aneh itu tadi "mengemudikan"

   Layang-layang secara aneh dan biarpun di dalam hatinya dia tidak suka kepada tokoh Pulau Neraka yang dianggapnya jahat, namun mendengar perintah itu, otomatis dia mentaatinya. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada kawan atau lawan, yang ada hanyalah orang senasib sependeritaan, kalau gagal sama-sama mati kalau berhasil sama-sama selamat. Dia mengerahkan tenaganya ke kanan menginjak tali layang-layang dan mengenjot tubuh ke atas. Benar saja, layang-layang yang kehilangan gandulan dan bobot di bawah itu segera menghentikan gerakan menukik ke bawah, kepalanya kembali ke atas dan kini layang-layang itu menjadi "odek" (bergoyang-goyang ke kanan-kiri cepat sekali) membuat tubuh Bun Beng terbawa goyang-goyang membuat kepalanya pening karena tubuhnya seperti dikocok ke kanan-kiri.

   "Setan udara! Apakah engkau sudah bosan hidup? Jangan pegang erat-erat, layang-layang menjadi odek tidak karuan, sialan!"

   Biarpun dimaki-maki, Bun Beng yang maklum bahwa keselamatan mereka berdua tergantung dengan keahlian kakek itu, tidak menjadi marah dan bertanya.

   "Habis bagaimana, Kakek yang baik?"

   "Wah-wah, kau mulai menjilat-jilat, ya? Heiii, bukankah aku pernah melihat tampangmu?"

   Bun Beng menjadi bengong. Setelah kini layang-layang itu tidak menukik ke bawah, dia mendapat kesempatan untuk memandang wajah kakek itu penuh perhatian dan.... teringatlah ia bersama Milana ditolong oleh kakek muka kuning yang aneh. Kiranya inilah orangnya! Tak salah lagi. Biarpun kini kelihatan lebih tua dan memakai sepatu pula, tidak bertelanjang kaki macam dulu, namun sikap aneh kakek itu malah bertambah dan sikap inilah yang mengingatkan dia. Akan tetapi dia pun teringat betapa dalam pertemuan-pertemuan pertama itu dia telah mengakali kakek ini untuk dapat melarikan diri bersama Milana, maka ia menganggap bahwa tidaklah cerdik untuk mengakuinya.

   "Aku tidak pernah berjumpa dengan Locianpwe."

   "Ahhh, bohong! Aku pernah melihat mukamu, hemm.... kalau saja engkau sudah tua dan kepalamu botak.... heiii, kau mau ke mana?"

   Bun Beng tidak mau melayani kakek gila itu lebih lama lagi. Dia melihat ke bawah dan maklum bahwa kalau dia merosot turun melalui tali layang-layang itu, dia akan dapat sampai ke bumi dan dapat membebaskan diri. Maka kini dia mulai melorot turun sambil berkata,

   "Locianpwe, aku mau turun, tidak kerasan di sini!"

   "Eh, eh, enak saja! Mana bisa?"

   Kakek itu tertawa bergelak dan tiba-tiba layang-layang itu menukik ke kiri, kemudian membuat gerakan melingkar sehingga tali itu pun menggantung dan ikut pula berputar.

   "Wuuuttt!"

   "Aihhh....!"

   Bun Beng cepat mengelak dengan memindahkan tangan, bergantung pada tali agar jangan sampai terkena patukan layang-layang yang menyambar ke arah tubuhnya! Serangan aneh layang-layang itu luput, akan tetapi Bun Beng maklum bahwa dengan kepandaiannya yang dahsyat, tentu kakek itu akhirnya akan dapat memaksa ia meloncat turun dan akan hancurlah tubuhnya. Ia lalu menggerak-gerakkan tubuhnya, menarik-narik tali layang-layang itu sehingga kembali layang-layang itu menjadi kacau balau gerakannya.

   "Eh.... Ohh.... setan cilik! Jangan kacau layanganku!"

   Kakek itu terkejut dan memaki-maki. Bun Beng tersenyum.

   "Kalau Locianpwe tetap menyerangku, aku pun akan tetap menarik-narik tali layangan sampai putus, biar kita berdua mampus!"

   "Eh, jangan, eh.... nanti dulu. Kalau talinya putus, aku bagaimana?"

   "Masa bodoh. Aku akan jatuh dan mati seketika, tidak menderita. Akan tetapi Locianpwe akan terbawa terbang layang-layang putus, mungkin dibawa ke neraka!"

   "Hahh-ho kalau neraka memang tempatku. Akan tetapi jangan.... biarlah kita berjanji, aku tidak akan menyerangmu akan tetapi kau jangan menarik-narik talinya."

   "Aku berjanji tak akan menarik-narik talinya, akan tetapi Locianpwe jangan menghalangi aku turun."

   "Wah, perjanjian kentut! Mana bisa begitu? Aku tidak menyerangmu dan kau tidak menarik-narik tali, itu sudah satu lawan satu. Kalau ditambah lagi kau kubiarkan turun berarti kau minta dua memberi satu. Mana adil?"

   "Kalau aku tidak boleh turun, apa artinya perjanjian ini? Locianpwe mau menang sendiri saja. Aku hendak turun, Locianpwe menghalang, maka aku menarik tali. Kalau Locianpwe tidak melayani aku turun, aku tidak akan menarik talinya, itu baru adil namanya."

   "Wah, monyet cilik. Engkau benar pokrol bambu kering busuk! Ha-ha-ha, nah, kau turunlah, hendak kulihat bagaimana!"

   Tiba-tiba angin bertiup keras sekali membuat layang-layang itu terbang miring ke kiri.

   "Wuuuutttt....!"

   "Aihhh, celaka. Jangan erat-erat memegang talinya, longgar-longgar saja, kau mengganggu kendaliku!"

   Kakek itu memindahkan berat tubuhnya dan meloncat ke pinggir kanan layang-layang itu.

   "Siuuuttt....!"

   Kini layang-layang miring ke kanan dengan cepatnya sehingga tubuh Bun Beng terbawa melayang ke kiri kemudian ke kanan, membuat kepalanya pening dan jantungnya berdebar penuh kengerian.

   "Aku mau turun, Locianpwe. Akan tetapi Locianpwe harus bersumpah tidak akan menyerangku!"

   Di dalam hatinya, pemuda ini masih curiga kepada kakek yang ia tahu amat cerdik dan curang itu.

   "Apa? Bersumpah?"

   Kakek itu tertawa-tawa dan kini layang-layang kembali telah lurus dan tenang.

   "Boleh saja. Sudah sepuluh kali aku bersumpah dan lima puluh kali melanggarnya, kini ditambah satu kali sumpah untuk dilanggar lima kali, tidak mengapalah!"

   "Wah, sumpah seperti itu apa harganya?"

   Bun Beng mendongkol sekali dan maklum bahwa sumpah kakek ini tidak boleh dipercaya. Diam-diam ia merasa geli juga. Kakek ini curang ataukah jujur? Mengapa kebiasaan melanggar sumpah dia katakan secara terus terang macam itu? Tidak curang tidak jujur, melainkan gila agaknya!

   "Kalau begitu, biar kutarik putus tali ini!"

   Katanya dan mulai menarik-narik lagi.

   "Eit-eit-eiitt....! Jangan! Biarlah, tanpa sumpah-sumpahan. Kau boleh turun tanpa kuhalangi, akan tetapi kau harus memberitahukan namamu."

   Bun Beng berpikir. Kabarnya ayahnya seorang datuk kaum sesat. Orang-orang Pulau Neraka tentulah bukan golongan bersih, maka apa salahnya kalau dia mengaku? Sesama kaum tentulah tidak ada pertentangan.

   "Baiklah, Locianpwe. Aku bernama Gak Bun Beng...."

   "Astaga! Engkau bocah yang dulu kucari-cari? Bocah yang ditinggalkan Ibumu di kuil tua di lembah Sungai Fen-ho? Ha-ha-ha, engkau putera Gak Liat Si Botak! Pantas saja aku seperti pernah melihat macammu, kiranya anak Si Gak Liat, Si Setan Botak. Ha-ha-ha-heh-heh-heh!"

   Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, tangan kanan memegangi tali layang-layang, tangan kiri menekan-nekan perutnya. Mengkal sekali rasa hati Bun Beng menyaksikan lagak kakek itu.

   "Kakek gila, engkau terlalu menghina orang! Siapa sih engkau yang begini sombong? Dan apa hubunganmu dengan Ayah Bundaku?"

   "Ha-ha-heh-heh-heh!"

   Kakek itu masih terpingkal-pingkal bahkan saking geli hatinya, air matanya bercucuran di atas pipinya yang kuning.

   "Namaku Ngo Bouw Ek, di dunia kang-ouw aku dijuluki Kwi-bun Lo-mo akan tetapi aku baru beberapa tahun merantau. Dalam perantauanku yang pertama, kebetulan sekali aku bertemu dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat Ayahmu, kami bertanding dan aku membuat dia payah sampai terkencing-kencing! Ha-ha, dia datuk kaum sesat, mengaku kalah dan dia mengangkat aku sebagai kakak angkat! Lalu dia menceritakan bahwa yang membuat dia sering kali tak dapat tidur adalah perbuatannya atas diri Bhok Kim murid Siauw-lim-pai. Dia mendengar kabar bahwa wanita itu melahirkan seorang putera sebagai akibat perbuatannya yang memperkosa wanita itu. Dia berpesan agar aku kelak mengambil anaknya itu sebagai anak angkat. Ha-ha-ha, biarpun hasil perkosaan, namun Gak Liat amat sayang kepada anaknya karena memang dia tidak pernah punya keturunan. Demikianlah, ketika mendengar berita dia tewas bersama Ibumu, aku lalu menyuruh anak buahku untuk merampasmu, akan tetapi...."

   "Anak buahmu keok semua oleh Pendekar Siluman! Sudahlah, aku tidak perlu mendengar lebih lanjut. Eh, apakah Locianpwe ini Majikan Pulau Neraka?"

   Kakek itu mengangguk.

   "Aku memang Ketua Pulau Neraka.... eh, maksudku, bekas ketua."

   Bun Beng tidak ingin tahu lebih banyak tentang pulau itu, maka ia lalu melorot terus sambil berkata,

   "Sudahlah. Aku sudah mengaku namaku, sekarang aku akan turun."

   "Wah, mana bisa? Kalau kau turun kemudian kau memutuskan tali layang-layang dari bawah, bukankah aku yang cia-lat?"

   Bun Beng berhenti dan memandang ke atas, alisnya terangkat.

   "Apakah Locianpwe tidak percaya kepadaku? Aku bukanlah orang yang curang seperti Locianpwe!"

   "Heh-heh-heh, siapa tahu? Engkau anak Setan Botak dan dalam hal kelicikan, kecurangan dan segala macam sifat busuk ini, di dunia tidak ada yang menyamai dia, siapa tahu sifat liciknya menurun kepadamu. Tunggu, aku pun akan turun!"

   Bun Beng tidak peduli dan melanjutkan usahanya merosot turun melalui tali layang-layang, akan tetapi tiba-tiba kakek itu berteriak.

   "Wah, celaka tiga belas! Taufan datang....!"

   Teriakan itu dikeluarkan dengan suara keras dan penuh rasa kaget, membuat Bun Beng menengok. Dari jauh tampak awan hitam datang cepat sekali dan tak lama kemudian, layang-layang itu meliuk ke kiri dengan kekuatan yang hebat.

   "Lekas kita turun, Locianpwe!"

   "Tidak bisa, terlambat! Lekas kau naik ke sini kalau mau selamat!"

   Bun Beng tidak mau menurut dan hendak merosot terus, akan tetapi tiba-tiba tali layang-layang itu menegang dan bergetar hebat sehingga hampir saja ia tidak kuat bertahan memeganginya karena telapak tangannya terasa nyeri bukan main. Maklumlah ia bahwa kakek itu tidak membohong, maka kini dia mulai merayap naik melalui tali layang-layang.

   "Cepat pegang tanganku!"

   Kakek itu berkata, napasnya agak terengah karena dia yang kini mengulurkan tangan untuk membantu Bun Beng naik, harus mengendalikan layang-layang yang menjadi liar itu dengan sebelah tangan saja. Bun Beng memegang tangan itu dan dia ditarik naik.

   "Berdiri di sini, dan pegang tali-temali di atasmu dengan tangan, hati-hati jangan banyak bergerak dan jangan terlalu erat. Turut dan contoh saja aku!"

   Kakek itu tidak dapat bicara banyak karena kini angin taufan telah mengamuk hebat, membuat layang-layang itu menjadi seperti seekor kuda binal dan tidak dapat dikendalikan lagi.

   Layang-layang itu kadang-kadang naik makin tinggi, tinggi sekali sampai melengkung seperti akan membalik dari arah angin, kemudian terdorong kembali ke belakang dan talinya menegang, meliuk ke kiri sampai seperti tak pernah berakhir, kemudian terdorong ke kanan dan ada kalanya menukik ke bawah secara mengerikan karena kecepatannya luar biasa. Suara angin bercuitan menulikan telinga, dan tali layang-layang itu juga mengeluarkan bunyi berdering-dering seperti sehelai tali yang-kim ditabuh, suaranya kadang-kadang rendah sesuai dengan tinggi rendahnya getaran yang disebabkan oleh tarikan layang-layang yang terbawa angin taufan. Kakek itu memaki-maki Bun Beng.

   "Sialan! Bodoh seperti kerbau engkau! Begini lho! Tekan kaki kanan ke depan, cepat. Bantu aku dong! Bagaimana sih? Setan cilik tolol kau! Dengar baik-baik, jangan sampai layang-layang terus menukik, dan jangan sekali-kali menentang arah angin langsung. Bisa celaka kita! Pindahkan tenaga ke kaki kiri, kaki kanan lepas, tangan kanan menarik tali di atas, cepat! Nah, sekarang kaki kanan yang menekan, tangan kiri menarik. Hayo, seperti bermain layar, akan tetapi jauh lebih sukar, seratus kali lebih sukar!"

   Payah juga Bun Beng mengikuti gerakan dan perintah kakek itu. Tenaga yang dipergunakan untuk melawan kekuatan angin ini merupakan tenaga seluruhnya, itu pun hampir tidak ada artinya terhadap kekuatan angin yang maha dahsyat itu. Kini kakek itu memerintahkan agar tenaga dirobah-robah, bagaimana mungkin begitu mudah? Hampir beberapa detik harus dirobah lagi. Bun Beng merasa seluruh tubuhnya ngilu dan sakit-sakit, kedua kakinya menggigil dan kedua tangannya gemetar, hampir tak kuat memegang tali-temali layang-layang lebih lama lagi.

   "Tolol! Jangan berhenti! Aku sendiri mana kuat mengemudikan layang-layang ini? Kalau tidak ada engkau di sini, tentu aku dapat, akan tetapi ditambah beratmu, benar-benar repot!"

   Sementara itu, angin bertiup makin keras, kini malah disertai kilat menyambar-nyambar, halilintar bermain-main di atas dan kanan-kiri mereka. Cuaca menjadi gelap, bahkan kini percikan air-air halus yang amat kuat sehingga seperti berubah menjadi laksaan jarum-jarum kecil menerjang mereka.

   "Celaka.... celaka....!"

   Kakek itu makin repot dan jelas bahwa dia ketakutan. Bun Beng yang biasanya senang menghadapi maut, menyaksikan sikap kakek itu ketularan rasa takut. Memang keadaan amat mengerikan, dibawa oleh layang-layang dan dipermainkan angin taufan, halilintar dan hujan seperti itu!

   "Dengar baik-baik kalau kau tidak ingin mati turut perintahku dan pelajari agar jangan sampai gagal. Taufan ini berbahaya sekali, untuk turun sekarang tidak mungkin. Satu-satunya jalan hanya mengemudikan layang-layang ini sebaik mungkin agar tidak sampai menukik turun atau talinya putus."

   Kakek itu sukar sekali bicara dengan jelas karena kencangnya angin meniup terbang suaranya. Terpaksa ia lalu merangkul Bun Beng dan berteriak.

   "Rangkul aku dan dekatkan telingamu pada mulutku!"

   Setelah Bun Beng melakukan perintah ini, Kwi-bun Lo-mo lalu membisikkan pelajaran sedikit demi sedikit caranya menggerakkan tenaga pada kaki dan tangan, mengatur bobot, memindah-mindahkan tenaga dalam untuk mengimbangi serangan angin yang amat dahsyat. Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian sekalian mempraktekkan pelajaran itu mencontoh gerakan kakek aneh dan membantunya mengemudikan layang-layang.

   Dia sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan berbahaya itu dia telah menerima pelajaran ilmu rahasia yang amat hebat, yaitu Ilmu Hoan-sin-kang (Memindahkan Tenaga Sakti) yang tidak hanya dapat dipergunakan untuk mengemudikan layang-layang melawan serangan angin taufan yang maha dahsyat, akan tetapi juga merupakan ilmu yang dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan berat yang memiliki sin-kang amat kuat! Ilmu ini merupakan ilmu tingkat tinggi yang dimiliki Ketua atau Majikan Pulau Neraka, dan selain Si Ketua sendiri, hanya kakek inilah orang ke dua yang memilikinya, maka dia berani main-main dengan maut di tempat berbahaya itu, yaitu bermain dan mengemudikan layang-layang. Mati-matian kedua orang itu bertempur dengan angin taufan, bersama-sama mengemudikan layang-layang yang mereka paksa untuk menuruti kehendak mereka, melawan kehendak angin.

   Sampai setengah hari lamanya angin taufan mengamuk dan selama setengah hari itu merupakan latihan yang amat hebat bagi Bun Beng, latihan terberat yang pernah ia alami selama hidupnya, akan tetapi karena keadaan yang memaksa, demi menolong nyawa, dalam waktu sependek itu dia telah berhasil memetik inti dari ilmu ini! Menjelang senja, barulah angin taufan itu mereda, hujan pun berhenti. Dengan pakaian basah kuyup, kedua orang itu terengah-engah berdiri di atas tali dan berpegang pada tali layang-layang yang juga basah semua dan luntur gambarnya. Mereka kehabisan tenaga dan kini hanya mengandalkan kaki tangan yang sudah gemetar karena penat, tubuh menggigil kedinginan dan kehabisan tenaga. Akan tetapi kakek itu menyeringai tersenyum lebar memandang Bun Beng.

   "Engkau hebat, orang muda. Ha-ha-ha, tidak percuma engkau menjadi putera Gak Liat, heh-heh-heh!"

   Melihat betapa kakek itu bicara sebenarnya, tidak mengolok-olok dan memaki-maki lagi, Bun Beng berkata sungguh-sungguh.

   "Locianpwe yang hebat dan aku kagum sekali. Sebetulnya, macam apakah mendiang Ayah itu?"

   "Gak Liat? Ya begitulah, seorang manusia seperti aku dan engkau ini,"

   Jawab kakek itu seenaknya.

   "Tapi, banyak orang menyebutnya seorang jahat. Dan Locianpwe sendiri tadi mengatakan dia seorang yang licik dan curang."

   "Memang dia licik dan curang, nomor satu di dunia mengenai kelicikannya. Akan tetapi kalau tidak licik, mana mungkin dia menjadi datuk kaum sesat? Tanpa kelicikan, mana mungkin dapat menonjol di dunia hitam?"

   Biarpun kakek itu mulai memuji ayahnya, namun pujian ini mendatangkan rasa tak puas di hati Bun Beng. Bagaimana hatinya akan senang dan puas kalau ayahnya dipuji sebagai seorang yang paling licik di dunia, sebagai seorang tokoh, bahkan datuk kaum sesat?

   "Sudahlah, Locianpwe. Terima kasih atas pertolonganmu, aku hendak turun sekarang."

   Setelah berkata demikian, Bun Beng merosot turun dan biarpun kedua telapak tangannya menjadi panas karena tenaganya sudah hambir habis, namun rasa nyeri itu bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan kesengsaraan selama setengah hari tadi dan ia merosot terus.

   "He, tunggu! Apa kau kira aku selama-nya akan tinggal di sini? Aku pun mau turun!"

   Kakek itu bergegas turun pula dari tali layang-layang yang kini terbang dengan anteng dibawa angin semilir halus. Keduanya lalu merosot turun melalui tali layang-layang yang amat tinggi itu. Demikian tingginya layang-layang itu sehingga Bun Beng melihat pohon-pohon amat kecil di bawah, seperti rumput saja. Ia bergidik. Bukan main kakek bermuka kuning itu, main-main dengan maut seperti itu. Apa sih senangnya bermain-main dengan layang-layang yang begitu tinggi? Memang menegangkan, seperti seekor burung garuda terbang di angkasa, akan tetapi bagaimana kalau tali layang-layang putus? Bagaimana kalau kehabisan angin dan layang-layang itu melayang turun? Benar-benar permainan yang berbahaya dan gila!

   "Ha, Bun Beng, aku girang sekali dapat bertemu denganmu. Aku akan dapat memenuhi permintaan mendiang Ayahmu. Ikutlah bersamaku dan engkau akan memperoleh kepandaian hebat, apalagi kalau Pangcu kami bersedia membimbingmu. Ketua kami adalah seorang yang memiliki kepandaian seperti...."

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Iblis!"

   Bun Beng menyambung.

   "Ketua Pulau Neraka tentu seorang iblis."

   "Ha-ha! Engkau seperti Ayahmu. Memang benar kepandaiannya hebat seperti iblis sendiri."

   Bun Beng tidak menjawab dan mencari akal bagaimana dia akan dapat membebaskan diri dari kakek yang melorot turun di atasnya itu. Dia tidak sudi menjadi anggauta Pulau Neraka seperti dia tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang. Biar dia dijanji akan diberi pelajaran ilmu yang tinggi, yang tidak diragukannya lagi, akan tetapi satu-satunya yang ia mau menjadi gurunya hanyalah Pendekar Siluman! Kalau Pendekar Siluman yang mengajaknya ke Pulau Es, tentu dia tidak akan menolak, bahkan akan menjadi girang sekali. Kini dia mencari akal bagaimana dapat melarikan diri dari kakek itu. Dia mempercepat gerakan kaki tangannya melorot turun, akan tetapi kakek itu tetap berada dekat di atas kepalanya! Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak sambil menggerak-gerakkan tangan ke bawah.

   "Heiii....! Bangkotan busuk, pengecut laknat, jangan curang kau! Tunggu sampai aku turun dan kita boleh bertanding sampai selaksa jurus!"

   Bun Beng cepat memandang ke bawah dan ia juga terkejut sekali.

   Di bawah sana, ia melihat bahwa tali layang-layang itu oleh Si Kakek aneh diikatkan pada sebatang pohon besar dan ujung tali malah dikaitkan kuat-kuat pada sebuah batu karang yang kokoh. Kiranya setelah kakek itu berhasil menaikkan layang-layangnya sampai tinggi sekali, ia mengikat tali itu di sana kemudian agaknya kakek itu lalu memanjat ke atas melalui tali layang-layang untuk kemudian bermain-main di atas! Dan kini di dekat pohon itu tampak seorang kakek bersorban dengan tubuh dibelit-belit kain kuning seperti mendiang Kakek Nayakavhira pembuat pedang yang dahulu datang menunggang gajah dan juga pernah bertanding dengan kakek muka kuning ini! Di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki tampan dan yang membuat Bun Beng merasa terkejut adalah ketika melihat betapa kakek bersorban itu menghampiri tali layang-layang dan agaknya hendak memutus tali itu!

   "Ha-ha-ha!"

   Kakek itu tertawa bergelak dan agaknya Kwi-bun Lo-mo baru tahu bahwa kakek bersorban itu bukanlah kakek India penunggang gajah yang dulu pernah bertempur dengannya. Tentu saja Bun Beng mengerti bahwa kakek di bawah itu bukan Nayakavhira karena biarpun hampir sama, kakek di bawah itu lebih tinggi dan kurus, juga kulitnya lebih hitam.

   "Setan India! Jangan curang, tunggu aku turun kalau berani!"

   Kembali Kwi-bun Lo-mo berteriak sambil melorot makin cepat mengikuti Bun Beng, akan te-tapi jarak antara mereka dengan tanah masih terlampau tinggi sehingga kalau sekarang tali itu diputus, mereka akan celaka! "Bun Beng, kau melorot sambil bergantung. Jangan menghalangi aku. Kalau dia berani memutus tali, akan kuarahkan jatuhku ke tubuh si keparat itu!"

   Kwi-bun Lo-mo berseru dan Bun Beng melanjutkan gerakannya merosot sambil bergantung ke bawah.

   "Ha-ha-ha, kalian berdua bermain-main dengan maut. Nah, mampuslah!"

   Orang India yang tertawa-tawa itu meloncat dekat dan menggerakkan tangan hendak memutus tali layang-layang.

   Bun Beng sudah merasa ngeri, apalagi setelah kini mengenal kakek India itu sebagai kakek sakti yang pernah bertanding melawan Pendekar Siluman, pertadingan yang amat luar biasa di mana kedua orang sakti itu mempergunakan ilmu sihir sehingga yang bertanding adalah bayangan atau semangat mereka! Celaka, pikirnya, andaikata mereka dapat turun juga, ia merasa ragu-ragu apakah Kwi-bun Lo-mo mampu menandingi kakek yang memiliki ilmu sihir itu! Dan laki-laki yang berada di belakang kakek bersorban itu pun dia kenal, karena laki-laki itulah yang dahulu pernah menculik Kwi Hong, laki-laki berpakaian sasterawan yang setengah gila dan yang mencuri pedang pusaka buatan Kakek Nayakavhira! Tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dibarengi bentakan halus,

   "Iblis tua keparat!"

   Muncullah seorang dara yang gerakannya gesit sekali. Bayangannya didahului sinar dari pedangnya yang ia pergunakan untuk menerjang kakek bersorban dengan gerakan luar biasa, pedangnya membentuk lingkaran pada ujungnya seolah-olah hendak mengguratkan lingkaran pada dada kakek bersorban. Menghadapi serangan hebat ini, kakek ini berseru kaget dan cepat meloncat mundur, tidak mendapat kesempatan untuk memutus tali layang-layang. Namun dara itu terus menyerangnya dengan gerakan luar biasa, pedangnya lenyap menjadi sinar bergulung-gulung yang seolah-olah merupakan awan atau kabut menggulung tubuh kakek bersorban!

   "Hayo cepat turun!"

   Kwi-bun Lo-mo berseru.

   Tanpa diperintah pun Bun Beng sudah mempercepat gerakannya merosot terun dan bukan main lega hatinya setelah kedua kakinya merasai tanah yang teguh dan kuat. Hampir saja ia terhuyung karena setelah kini menginjak tanah, tubuhnya masih terasa ringan seolah-olah tak berobah, seperti orang mabok arak. Akan tetapi semenjak tadi pandang matanya tidak terlepas dari dara yang masih menyerang kakek bersorban. Bukan main hebatnya terjangan gadis itu dan jantung Bun Beng berdebar tegang. Ketika ia mengenal dara itu. Biarpun kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik, namun tidak salah iagi, dia itu adalah Giam Kwi Hong, murid atau juga keponakan Pendekar Siluman! Kakek bersorban itu, yang Bun Beng tahu amat sakti, sampai terdesak mundur, repot mengelak dari sambaran pedang di tangan Kwi Hong.

   "Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau bukan tua bangka penunggang gajah!"

   Kwi-bun Lo-mo tertawa dan pada saat Maharya, kakek India itu mencelat ke kanan untuk menjauhi sinar pedang Kwi Hong dan berada dekat dengannya, Kwi-bun Lo-mo cepat menghantamnya dengan kedua lengan didorongkan ke depan. Terdengar bunyi bersuit dan angin menyambar ke arah kakek bersorban yang cepat mendorongkan pula kedua tangannya menangkis.

   "Dessss!"

   Dua tenaga sin-kang raksasa bertemu dan kedua orang kakek itu terpental ke belakang.

   "Wah-wah, kau hebat juga....!"

   Kwi-bun Lo-mo berseru kaget.

   "Mundur kalian bertiga....!"

   Tiba-tiba Maharya membentak, suaranya mengge-ledek penuh wibawa yang aneh dan bagaikan menanti perintah yang tak dapat dibantah lagi karena segala kemauan hati mereka dikuasai perintah ini, Kwi-bun Lo-mo, Kwi Hong dan Bun Beng otomatis meloncat mundur sampai lima meter!

   "Locianpwe, Nona Kwi Hong, awas dia mempunyai ilmu sihir! Jangan memandang matanya dan jangan mendengar suaranya!"

   Bun Beng cepat berteriak, kemudian ia mendahului menerjang laki-laki yang sejak tadi hanya menonton Maharya bertanding dengan Kwi Hong. Laki-laki ini bukan lain adalah Tan Ki atau Tan-siucai yang tadi bengong memandang Kwi Hong dengan penuh gairah. Dia tadi tidak membantu karena tentu saja ia percaya penuh akan kesaktian gurunya. Akan tetapi melihat betapa dua orang yang secara aneh turun dari tali layang-layang itu bukan orang sembarangan pula,

   Apalagi kini Bun Beng meloncat maju dan menyerangnya dengan gerakan dahsyat, dia terkekeh, memandang rendah pemuda itu dan mengelak sambil balas menyerang. Bun Beng menjadi heran melihat gerakan lawan yang luar biasa, kedua kaki lawan tidak meninggalkan tanah, akan tetapi tubuhnya bisa meliuk-liuk dengan lemas, seperti sebatang pohon cemara pecut tertiup angin. Tubuh atas itu meliuk ke kiri, kemudian membalik sambil balas menyerang dengan tangan kanan menghantam perutnya. Ketika ia menangkis dan menggeser kaki kanan, tahu-tahu tangan kiri lawan sudah mencengkeram kepalanya, hal yang luar biasa sekali mengingat bahwa tangan kiri lawannya itu berada dalam posisi jauh. Tangan kiri itu tiba-tiba memanjang, seperti karet yang dapat mulur dan tahu-tahu jari-jarinya telah dekat dengan kepalanya.

   "Eh....!"

   Ia berseru dan cepat meloncat mundur sambil melepas tendangan ke arah lengan yang sudah ditarik kembali oleh Tan-siucai sambil terkekeh-kekeh. Sementara itu Kwi Hong yang terheran-heran mendengar pemuda tampan itu menyebut namanya, teringat bahwa Maharya memang pandai ilmu sihir, maka otomatis ia pun mentaati peringatan pemuda itu, tidak mau memandang mata kakek bersorban dan dengan kekuatan batinnya ia "menulikan"

   Telinga agar jangan mendengar bentakan Si Kakek tukang sihir yang mengandung penuh daya melumpuhkan itu.

   Ia sudah menerjang maju lagi dengan tusukan pedangnya, disusul serangkaian serangan hebat yang membuat Maharya kembali terdesak. Kwi-bun Lo-mo yang kini sudah dapat menguasai dirinya kembali setelah tadi terpengaruh sihir Maharya, merasa kagum kepada Bun Beng yang semuda itu sudah tahu akan ilmu kakek bersorban. Dia pun maklum bahwa ilmu sihir semacam I-hun-to-hoat untuk mempengaruhi pikiran orang mengandalkan kekuatan pandang mata dan getaran suara yang mengandung sin-kang kuat sekali, maka apabila dapat mengelakkan pandang mata dan suara itu tentu sihir itu tidak akan mempunyai daya kekuatan. Maka iapun menutup pendengaran dan menghindarkan pertemuan pandang mata, lalu tertawa mengejek.

   "Heh-heh-heh, kau dukun dari Himalaya yang busuk, tanpa sebab kau hendak memutus tali layang-layangku. Sekarang kau kena kutuk para dewamu, bertemu dengan seorang pemuda yang cerdik, seorang dara yang lihai sekali, dan aku yang akan mengirim nyawamu kembali ke puncak Himalaya!"

   Sambil mengejek demikian, Kwi-bun Lo-mo maju pula menerjang, membantu Kwi Hong. Karena tokoh Pulau Neraka ini pun maklum bahwa Maharya bukanlah seorang lemah, bukan hanya mengandalkan ilmu sihirnya melainkan memiliki ilmu kepandaian hebat pula dan bertenaga sin-kang kuat sekali,

   Maka begitu menyerang ia pun mengerahkan tenaga dan menggunakan jurus khas dari Pulau Neraka, kedua tangannya tiba-tiba berubah menjadi lunak seperti kapas, namun di balik telapak tangan yang menjadi lunak ini tersembunyi kekuatan dahsyat yang akan merusak sebelah dalam tubuh lawan jika bertemu dengan tangan lunak ini. Sesuai dengan namanya yaitu Toat-beng-bian-kun (Tangan Lemas Mencabut Nyawa), ilmu ini adalah ilmu baru yang diterimanya dari Ketua Pulau Neraka. Karena ilmu pukulan tangan kosong ini telah digabung dengan ilmu khas keturunan Pulau Neraka, yaitu hawa dan tenaga beracun yang membuat warna kulit mereka berubah, maka tentu saja pukulan-pukulan tangan yang kelihatannya lemas tak bertenaga dan lunak itu mengandung bahaya mengerikan dan setiap gerakan merupakan maut bagi lawan!

   Maharya yang biasanya memandang rendah setiap lawan, kini terkejut sekali. Biarpun tadi ia kelihatan terdesak oleh gulungan sinar pedang Kwi Hong yang seperti kilat menyambar-nyambar, namun dia tidak gentar dan menghadapi dengan tangan kosong saja. Akan tetapi, setelah sekali menangkis dan lengannya tersentuh tangan Kwi-bun Lo-mo yang mengandunng Ilmu Toat-beng-bian-kun dan membuat lengannya panas dan gatal, ia terkejut bukan main, berteriak keras dan melompat mundur sambil menggerakkan kedua tangannya ke sebe-lah dalam pakaiannya. Kini ia telah memegang sepasang senjata yang amat aneh. Tangan kirinya kini telah memakai sarung tangan yang berkilauan seperti emas, sedangkan tangan kanannya memegang seekor ular putih yang kecil dan panjangnya hanya dua kaki, akan tetapi ular putih itu masih hidup!

   "Ha-ha-ha, dukun hitam, apa engkau mau main sulap mencari uang kecil? Bukan di sini tempatnya, melainkan di pasar! Aku tidak mempunyai uang kecil sepeser pun, apalagi yang besar!"

   Sambil tertawa mengejek, Kwi-bun Lo-mo menerjang lagi dengan tangannya yang beracun, maklum bahwa pertemuan yang satu kali tadi, biarpun tentu saja tidak akan melukai lawan yang begitu pandai akan tetapi sedikitnya membuat hati lawan gentar. Kwi Hong yang tidak banyak bicara sudah menusukkan lagi pedangnya. Kini Maharya tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kiri yang bersarung tangan emas itu menangkap pedang. Bukan main kagetnya Kwi Hong karena merasa pedangnya tergetar. Ia menarik kembali pedangnya dan pada saat itu Maharya melepas pedang sambil menggunakan tenaga sin-kang mendorong.

   "Aihhh!"

   Hanya dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik di udara sampai lima kali Kwi Hong dapat menghindarkan diri dari tolakan tenaga sin-kang yang dapat melukai isi dadanya itu! Ia terkejut dan maklum bahwa selain sarung tangan yang dipakai kakek India itu tidak mempan senjata, juga bahwa tenaga kakek itu masih jauh melampaui tenaganya sendiri! Kini Kwi-bun Lo-mo sudah menerjang maju menggunakan tangan kanan memukul dengan tangan lunaknya yang beracun untuk memberi kesempatan gadis berpedang itu memulihkan kedudukannya. Maharya mengangkat tangan kiri, menangkis pukulan itu dan tangan kanannya digerakkan.

   "Plakkk!"

   Kedua tangan bertemu dan Kakek Kwi-bun Lo-mo terkejut karena tangan bersarung emas itu kiranya sanggup menerima pukulan Toat-beng-bian-kun, dan kini secara tiba-tiba ular yang dipegang ekornya itu melayang dan menyambar lehernya dengan mulut terbuka lebar, mendesis dan menggigit! Ia cepat miringkan kepalanya akan tetapi tetap saja ular itu dapat menggigit pundaknya.

   "Mampus kau!"

   Maharya berseru girang.

   "Ha-ha-ha, gigitan cacing itu enak sekali rasanya, menambah vitamin di tubuhku. Suruh dia gigit lagi, dukun India! Ha-ha-ha!"

   Biarpun pundaknya mengeluarkan sedikit darah, akan tetapi Kwi-bun Lo-mo masih tertawa-tawa.

   Di dalam tubuhnya yang berkulit kuning itu telah mengalir darah yang penuh racun, mana dia takut akan segala gigitan ular beracun? Kakek India itu kaget dan dengan marah ia lalu menyerang kedua orang pengeroyoknya, bukan hanya ularnya yang terayun-ayun mengancam lawan dengan gigitan beracun, juga tangan kirinya yang tidak takut menghadapi senjata tajam atau pukulan beracun itu merupakan tangan maut yang setiap saat menyambar hendak mencabut nyawa lawan. Tan-siucai yang tadinya memandang rendah Bun Beng, menjadi terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar lihai sekali ilmu silatnya. Tadinya ia menganggap bahwa seorang muda seperti itu akan mudah ia robohkan dengan ilmunya "tangan panjang,"

   Yaitu lengan yang dapat ia ulur.

   sampai hampir dua kali panjang normal. Banyak sudah lawan yang roboh oleh ilmunya ini karena tidak menyangka-nyangka bahwa tangan itu dapat mulur seperti karet. Akan tetapi, pemuda itu hanya sebentar saja terkejut, kemudian sudah dapat menjaga diri dan mengirim serangan dengan jurus-jurus yang dahsyat, yang mendatangkan angin keras dan membuat Tan-siucai bingung. Maklum bahwa ia berhadapan dengan murid orang pandai, Tan-siucai berteriak keras dan tampaklah sinar hitam ketika ia mencabut pedangnya, sebatang pedang hitam yang mengeluarkan bau amis seperti telur itik membusuk. Dengan pedangnya ini ia menerjang dan mengobat-abitkan pedang, merupakan sinar yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Bun Beng.

   Bun Beng memang tadinya terkejut menyaksikan lengan yang bisa mulur panjang. Akan tetapi kemudian ia mendapat kenyataan bahwa lawannya itu biarpun bertenaga kuat dan memiliki ilmu aneh tidaklah seberat yang ia kira dan tidak memiliki dasar ilmu silat yang tangguh. Maka ia sudah mendesak dengan jurus-jurus Siauw-lim-pai yang kuat sehingga dua kali memukul bahu kanan dan menendang paha kiri lawan. Biarpun pukulan dan tendangan ini meleset dan tubuh lawan memiliki kekebalan setidaknya lawannya menjadi panik sehingga mencabut pedang hitam! Bun Beng tidak menjadi jerih, bahkan ia makin lega hatinya. Gerakan pedang itu lebih didorong rasa marah daripada gerakan ilmu pedang yang tinggi nilainya, maka baginya, pedang hitam itu tidaklah sebahaya tangan kosong yang dapat mulur mungkret tadi.

   Biarpun lengan itu masih dapat mulur, akan tetapi karena disambung pedang, lebih mudah dapat dilihat arah gerakannya, tidak seperti kalau kosong dapat mencengkeram, menangkap mendorong atau memukul, sukar sekali diduga. Namun, harus ia akui bahwa lawannya mainkan pedang secara aneh dan istimewa, dengan ilmu pedang yang tidak dikenalnya sama sekali. Pedang itu selalu datang menyerangnya dengan tiupan angin, dan bukan hanya pedang yang menyerangnya melainkan selalu dibarengi dengan pukulan atau tendangan, seolah-olah seluruh daya serang lawan dikumpulkan untuk menghantamnya, Bun Beng harus mengandalkan kelincahan tubuhnya yang segera pulih kembali begitu ia menghadapi bahaya. Kalau begini terus, bagaimana aku bisa menang, pikirnya.

   Serangan lawan ini mengingatkan ia akan serangan angin taufan ketika ia berada di atas layang-layang bersama Kwi-bun Lo-mo. Serangan angin taufan! Tiba-tiba ia teringat akan pelajaran kakek Pulau Neraka itu untuk menghadapi serangan angin taufan. Perhatikan dari mana angin menyerang, jangan menentang, ikuti tiupannya akan tetapi harus dapat kau kendalikan sehingga mudah untuk menyimpang. Pindahkan hawa dan tenaga sakti sesuai dengan serangan angin, jangan biarkan kita terseret akan tetapi berusaha selalu berada di atasnya, menunggang angin. Demikianlah antara lain inti pelajaran yang ia terima di atas layang-layang sambil mencontoh gerakan kakek Pulau Neraka. Kini, serangan-serangan lawannya dengan pedang hitam itu seperti angin, mengapa tidak ia coba mengatasinya dengan pelajaran baru di atas layang-layang?

   "Wuuuutttt!"

   Tan-siucai kembali menyerang dengan hebat, dengan semangat menyala dan keyakinan bahwa dia tentu akan dapat membunuh pemuda yang sudah tak mampu balas menyerang itu.

   Pedang hitamnya menusuk dada, tangan kirinya mendorong dengan pukulan ke arah pusar, dan kaki kanannya sudah siap menyusulkan tendangan! Bun Beng tidak menggunakan cara mengelak seperti tadi. Dengan ilmu baru menundukkan angin taufan, tubuhnya yang tadinya miring, dengan kaki kanan di depan itu, ia pindahkan kaki dan tenaga pada kaki kiri, lalu kedua tangannya diangkat ke atas seolah-olah ia me-megangi tali-temali layang-layang dan tubuhnya meloncat ke atas tinggi sekali sehingga pukulan dan tusukan lewat di bawah kakinya yang ditekuk ke dada. Tendangan lawan menyusul, ia terima dengan kedua kakinya, menginjak kaki lawan yang menendang dan meminjam tenaga ini ia ayun tubuhnya ke atas dan meluncur ke depan melalui atas kepala lawan, kemudian membalik dan memindahkan tenaga lagi ke kaki kiri yang turun menginjak lawan.

   "Plakk! Augg....!"

   Pundak kanan Tan-siucai terkena injakan kaki Bun Beng, lumpuh rasa seluruh lengan kanannya dan pedang hitam itu terlepas. Bun Beng cepat turun menyambar dan pedang hitam telah berada di tangannya! Tan-siucai membalik dan matanya merah saking marahnya memandang Bun Beng yang kini tersenyum-senyum memegang pedang hitam! Ia girang sekali karena dengan ilmu barunya itu ia berhasil! Pemuda ini memang cerdik sekali sehingga dia dapat menggunakan ilmu baru yang bagi orang lain tentu hanya dapat dipergunakan untuk mengendalikan layang-layang melawan angin taufan itu untuk melawan musuh yang lihai. Sambil tersenyum, ia lalu menubruk maju dan menyerang Tan-siucai dengan pedang hitam. Tan-siucai memekik, tangan kirinya bergerak dan sinar putih yang amat terang menyilaukan mata berkelebat menangkis pedang.

   "Cringggg!"

   Kini Bun Beng yang kaget bukan main karena pedang hitam rampasan itu telah patah menjadi dua!

   "Hok-mo-kiam....!"

   Ia berseru keras dan cepat menjatuhkan diri bergulingan karena pedang putih yang kini berada di tangan lawan itu, setelah membabat patah pedangnya, sinarnya masih terus menerjangnya! Ia meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak.

   Tak salah lagi, tentu itulah Hok-mo-kiam, pedang yang dibuat oleh Kakek Nayakavhira dan yang dicuri oleh pemuda sinting ini bersama gurunya, Kakek Maharya! Gentar juga hati Bun Beng menyaksikan pedang bersinar putih yang mengandung penuh wibawa mujijat itu, dan ia siap siaga berkelahi mati-matian, mengandalkan kelincahannya karena apa artinya pedang buntung yang toh patah lagi kalau bertemu dengan Hok-mo-kiam? Ia tahu bahwa Pendekar Siluman dan mendiang Kakek Nayakavhira memberi nama Hok-mo-kiam (Pedang Penakluk Iblis) pada pedang itu, yang khusus dibuat untuk menundukkan Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Teringatlah ia akan sepasang pedang bersinar kilat yang ia simpan di dalam guha rahasia di tempat tinggal para pemuja Sun-go-kong.

   "Kembalikan pedang itu!"

   Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Kwi Hong telah meninggalkan Kakek Maharya, menyerang Tan-siucai dengan pedang di tangannya. Serangan yang hebat sekali, dilakukan dengan tubuh masih melayang di udara, dengan kecepatan seperti kilat menyambar didorong oleh tenaga sin-kang yang kuat sekali. Biarpun otaknya sinting, Tan-siucai mengenal serangan maut, dia lalu menggeser kaki ke kiri, menggerakkan pedangnya menangkis sambil mendorongkan tangan kirinya untuk mencegah dara per-kasa itu memukulnya.

   "Tranggg!"

   Tampak bunga api muncrat dan Tan-siucai memekik kaget, pedangnya terlepas akan tetapi cepat-cepat ia sambar kembali karena gadis itu tidak sempat menyerangnya lagi.

   Ternyata bahwa kini Kwi Hong juga hanya memegang sebatang pedang buntung, persis seperti yang dialami Bun Beng. Dengan mata terbelalak, Kwi Hong memandang pedangnya dan diam-diam ia merasa amat kagum akan keampuhan Hok-mo-kiam yang dibuat oleh Kakek Nayakavhira itu. Pedangnya adalah pemberian pamannya, sebatang pedang pusaka yang cukup ampuh, namun sekali bertemu dengan Hok-mo-kiam menjadi patah! Padahal sudah jelas bahwa dia menang tenaga dan pedang di tangan Tan-siucai itu sampai terlepas. Ia makin marah dan penasaran, bertekad untuk merampas kembali pedang yang dahulu dicuri oleh orang itu, tubuhnya menerjang maju dengan pukulan-pukulan kilat yang biarpun Tan-siucai memegang sebatang pedang pusaka, akan berbahaya sekali bagi sasterawan sinting itu.

   "Plakkk!"

   Pukulan Kwi Hong tertangkis oleh tangan Maharya yang bersarung tangan. Kiranya kakek ini sudah meloncat meninggalkan Kwi-bun Lo-mo untuk melindungi muridnya, terutama menjaga agar pedang pusaka itu tidak terampas lawan.

   "Ho-ho, kau hendak lari ke mana, dukun keparat?"

   Kwi-bun Lo-mo tertawa dan melompat pula mengejar. Kini pertandingan menjadi kacau-balau dan akhirnya kini Bun Beng dan Kwi-bun Lo-mo mengeroyok Maharya, sedangkan Kwi Hong masih bertanding melawan Tan-siucai. Karena maklum bahwa gadis itu berbahaya sekali, Tan-siucai memutar pedangnya dan berlindung di balik gulungan sinar pedang. Benar saja, sinar pedang itu demikian hebat dan mengan-dung wibawa yang amat kuat sehingga biar Kwi Hong lihai, gadis ini tidak berani sembrono mendesak maju, melainkan berusaha mencari lowongan tanpa terancam sinar pedang yang ia tahu amat ampuh.

   

Kisah Pendekar Bongkok Eps 15 Pendekar Super Sakti Eps 21 Kisah Pendekar Bongkok Eps 8

Cari Blog Ini