Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 26


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



"Keparat! Lebih baik mati daripada menjadi isteri seorang pengkhianat rendah macam engkau!"

   Kwee Sui tertawa,

   "Ha-ha-ha! Mau atau tidak, engkau akan menjadi isteriku!"

   "Anjing, pengkhianat hina!"

   Akan tetapi Kwee Sui tidak mau melayaninya lagi, bahkan dia lalu merebahkan diri dengan senang hati, membayangkan kemuliaan dan kesenangan yang akan didapatnya, membayangkan betapa dia akan memperisteri gadis cantik yang dirindukannya itu, baik dengan jalan halus maupun dengan kekerasan. Selosin orang perajurit yang berjaga juga mengantuk. Mereka itu lelah sekali setelah bertempur sejak pagi dan kini masih harus menjaga untuk semalam suntuk. Kelelahan membuat mereka mengantuk dan mereka itu duduk melenggut, ada yang bersandar pada tombak yang mereka peluk, ada pula yang meletakkan kepala di atas meja.

   Sebentar saja di antara mereka sudah ada yang mendengkur, bahkan Kwee Sui juga mendengkur dengan enaknya. Kwi Hong yang tubuhnya masih lemas akibat totokan, melihat para penjaganya melenggut dan tertidur, mulai berusaha melepaskan ikatan kedua lengannya yang ditelikung ke belakang. Namun, selain ikatan itu kuat sekali, juga tenaganya belum pulih sehingga sia-sia saja ia meronta. Tiba-tiba Kwi Hong menghentikan usahanya ketika mendengar suara. Matanya terbelalak memandang papan ruangan itu yang bergerak. Penutup lubang papan itu yang menghubungkan ruangan ini dengan ruangan paling bawah, bergerak-gerak dan tak lama kemudian terbuka dari bawah. Muncullah sebuah kepala orang. Hampir saja Kwi Hong berteriak kaget. Di bawah sinar lampu yang tergantung di situ, dia mengenal wajah Bun Beng!

   "Sssttt....!"

   Bun Beng memberi tanda dengan telunjuk di depan mulutnya, menyuruh gadis itu diam. Ketika terjadi keributan di kapal, Bun Beng terkejut, akan tetapi juga girang sekali. Dia dapat menduga bahwa pembantu anak buah Pulau Es yang melepas senjata rahasia peledak itu muncul lagi dan membikin kacau di atas geladak. Kesempatan yang baik, pikirnya. Dia lalu menggunakan tenaganya, memecah papan di tubuh kapal, di atas permukaan air, dan setelah ia berhasil membongkar papan itu, dia merangkak masuk. Dia tiba di ruangan paling bawah yang sunyi, tak seorang pun tampak manusia di sini. Ruangan bawah itu penuh dengan bahan-bahan makan dan air minum, kiranya dijadikan tempat persediaan ransum pasukan itu.

   Melalui anak tangga, dia berjalan naik, kemudian membuka penutup papan dari bawah. Ketika ia melihat Kwi Hong, hatinya girang sekali. Dia tiba di tempat yang tepat, karena memang dia bermaksud untuk menolong gadis itu. Kwi Hong menggerakkan mukanya, dengan dagunya menunjuk ke arah Kwee Sui yang tidur mendengkur. Bun Beng memandang dan melihat pakaian Kwee Sui seperti bukan seorang perajurit atau panglima, dia dapat menduga. Agaknya orang inilah yang mengkhianati Pulau Es. Dia meloncat dan pada saat itu, karena dia lupa menutupnya kembali penutup papan, penutup itu menutup kembali, menimbulkan suara keras. Para penjaga terbangun, gelagapan dan ketika mereka melihat seorang pemuda tak dikenal di situ, mereka cepat meloncat bangun dan siap dengan tombak di tangan. Kwee Sui juga melompat bangun.

   "Siapa kau....?"

   Bentaknya.

   "Tangkap dia!"

   Dua orang penjaga menubruk dengan tangan, mengira bahwa pemuda itu orang biasa saja. Bun Beng menggerakkan kedua tangannya dan dua orang perajurit itu roboh tanpa dapat berkutik lagi karena telah tewas! Penjaga-penjaga yang lain menjadi marah, dan baru mengerti bahwa pemuda itu seorang yang lihai, maka segera mereka gedebag-gedebug menyerang dengan tombak mereka. Akan tetapi, sekali ini tubuh Bun Beng berkelebatan dan terdengar pekik berturut-turut bersama robohnya empat orang perajurit terdepan.

   "Keparat!"

   Kwee Sui memaki dan

   "singgg....!"

   Dia telah menghunus Li-mo-kiam! Para perajurit sendiri terkejut menyaksikan cahaya kilat ini, dan Bun Beng berseru kaget,

   "Li-mo-kiam!"

   "Betul, dia merampasnya dari tanganku dengan tipuan rendah!"

   Kwi Hong berseru. Mendengar ini, Bun Beng merobohkan lagi dua orang perajurit dan menerjang maju ke arah Kwee Sui. Pemuda ini sudah marah sekali. Biarpun dia tahu bahwa pemuda itu yang muncul secara tak terduga ini lihai, namun dia tidak takut. Dia adalah seorang murid Pulau Es yang berkepandaian tinggi, apalagi dia memegang sebatang pedang mujijat. Cepat dia menyambut terjangan Bun Beng dengan bacokan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat dan suara berdesing nyaring. Bun Beng cepat mengelak.

   Biarpun Kwee Sui memiliki ilmu silat tinggi, namun berhadapan dengan Bun Beng dia bukan apa-apa. Bun Beng tidak takut menghadapi ilmu kepandaian Kwee Sui, akan tetapi dia ngeri menyaksikan sinar kilat pedang Li-mo-kiam itu, sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis yang mempunyai wibawa menyeramkan. Melihat lawannya mengelak cepat seperti orang jerih, Kwee Sui tertawa dan merasa bangga, cepat ia menubruk maju lagi. Bun Beng kembali mengelak dan tiba-tiba dia tersandung mayat seorang perajurit, roboh terjengkang. Kwi Hong mengerti akan siasat ini, pandang matanya yang tajam dapat membedakan roboh buatan dan roboh sungguh-sungguh. Akan tetapi untuk membantu berhasilnya siasat Bun Beng, dia sengaja menjerit. Kwee Sui girang sekali, cepat menubruk.

   "Ceppp.... auggghhh....!"

   Pedang Li-mo-kiam kembali minum darah sepuasnya, kini darah dari dalam dada dan jantung Kwee Sui! Ketika Kwee Sui menubruk dan menusukkan pedangnya, Bun Beng yang pura-pura jatuh tadi cepat miringkan tubuh kemudian kakinya melayang dari samping tepat mengenai lengan kanan Kwee Sui yang memegang pedang sehingga pedang itu terpental membalik dan masuk ke dalam dada Kwee Sui sampai menembus ke punggung! Bun Beng cepat meloncat bangun,sebelum tubuh Kwee Sui roboh dia sudah menyambar gagang pedang dan mencabutnya. Darah mengucur seperti pancuran dari dada dan punggung Kwee Sui. Matanya terbelalak memandang ke arah Kwi Hong, kemudian robohlah pemuda yang khianat ini dengan mata masih terbelalak sungguhpun nyawanya telah melayang.

   Bun Beng menggerakkan pedang itu. Sinar kilat yang lebih menyilaukan daripada ketika Kwee Sui menggerakkannya tampak dan sisa para penjaga yang tinggal empat orang itu roboh dengan tubuh putus menjadi dua potong. Tanpa membuang waktu lagi Bun Beng segera meloncat mendekati Kwi Hong, membabat putus belenggunya, kemudian melihat keadaan gadis yang lemas itu dia lalu menotok dua jalan darah di punggung dan pundak. Seketika Kwi Hong pulih kembali tenaganya dan dia.... menubruk Bun Beng sambil menangis! Bun Beng gelagapan, terpaksa memeluk pundak gadis itu dan tanpa disadarinya, jari tangannya mengelus rambut yang halus itu, yang berada di dadanya. Ia merasa betapa air mata gadis itu membasahi baju dan menembus ke dada.

   "Tenanglah, Kwi Hong. Mengapa menangis?"

   "Pulau kami.... ah.... bagaimana nasib mereka....?"

   Kwi Hong terisak, tiba-tiba ia sadar betapa lengan pemuda itu memeluknya dan betapa tangan itu membelai dan mengusap rambutnya dengan mesra. Teringat akan ini, cepat ia merenggutkan tubuhnya dari atas dada Bun Beng, melompat ke belakang dan memandang Bun Beng dengan mata terbelalak penuh kemarahan!

   "Kenapa.... kenapa kau memelukku....?"

   "Ehhh....!"

   "Kenapa kau membelai rambutku?"

   "Ohhh....!"

   "Gak Bun Beng, kau.... hendak kurang ajar padaku, ya?"

   Bun Beng hanya melongo, memandang muka gadis itu dengan muka bodoh.

   "Hayo jawab!"

   "Ehh.... ohhh.... Kwi Hong, bagaimana ini? Kau.... kau menangis dan aku merasa bingung, ikut berduka dan terharu.... kenapa kau menuduhku kurang ajar?"

   Tiba-tiba Kwi Hong memandang ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan, dan ia sadar kembali. Tadi kedukaan dan kebingungan yang menyusul kegelisahannya, bercampur dengan rasa kaget dan girang melihat kenyataan bahwa Bun Beng yang disangkanya mati ternyata masih hidup, bahkan lebih dari itu, telah menolongnya dan kelihatan begitu lihai. Semua perasaan ini teraduk menjadi satu, membuat dia bingung dan ketika merasa betapa pemuda itu memeluk dan membelai rambutnya, ia menjadi marah-marah tidak karuan. Setelah sadar ia mengeluh.

   "Ohhhh...."

   Lalu menangis lagi.

   "Sudahlah, Kwi Hong. Ini pedangmu, dan mari kita cepat keluar dari sini sebelum mereka turun. Agaknya di atas geladak terjadi keributan, kurasa orang yang menolong anak buahmu di pulau sekarang telah turun tangan lagi membikin kacau di atas kapal-kapal ini."

   "Yang menolong anak buah Pulau Es? Siapa....?"

   "Nanti kuceritakan, mari ikut denganku."

   Bun Beng lalu menyambar tangannya setelah menyerahkan pedang Li-mo-kiam, lalu mengajak gadis itu melarikan diri melalui penutup papan ruangan itu ke bawah. Kali ini Kwi Hong menurut saja, bahkan dia berbisik,

   "Bun Beng, kau maafkan kelakuanku tadi...."

   Mereka turun ke ruangan bawah kemudian keluar melalui lubang di badan kapal dan meloncat ke perahu kecil Bun Beng. Untung bahwa para pasukan yang berada di atas tiga buah kapal itu, dibantu oleh pasukan dari dua kapal lain yang sudah datang, sedang sibuk memadamkan kebakaran dan malam itu gelap sehingga Bun Beng dan Kwi Hong dapat mendayung perahu menuju ke pulau tanpa terlihat mereka.

   Agaknya mereka itu sibuk memadamkan kebakaran, akan tetapi tidak tampak lagi adanya pertempuran. Ketika Bun Beng dan Kwi Hong mendarat di pulau, dan meloncat ke darat lalu berlari cepat, dari sebuah perahu hitam kecil tampak Lulu memandang mereka. Wanita ini menghela napas lalu mendayung perahunya meninggalkan perairan itu, kembali ke Pulau Neraka. Ketika mendengar penuturan Bun Beng tentang tewasnya Ki Lok yang jenazahnya ditinggalkan di pantai oleh Bun Beng, Kwi Hong menangis lagi. Gadis ini menjadi makin berduka ketika bertemu dengan Phoa Ciok Lin yang terluka sedikit pundaknya, mendengar betapa Yap Sun, Thung Sik Lun, dan banyak lagi paman-pamannya telah tewas dalam pertempuran. Anak buah Pulau Es yang tadinya berjumlah seratus orang lebih hanya tinggal lima puluh orang, termasuk anak-anak.

   "Biarkan mereka datang lagi! Kita akan melawan mati-matian!"

   Kwi Hong berkata dengan air mata membasahi kedua pipinya, mengepal tinju dengan sebelah kiri dan pedang Li"mo-kiam berkilauan di tangan kanan.

   "Kurasa tidak bijaksana kalau begitu, Kwi Hong. Keadaan mereka kuat sekali, dan mereka dipimpin oleh orang-orang pandai."

   "Apa kau takut? Kami mau mengharapkan bantuanmu, siapa kira engkau malah takut menghadapi mereka!"

   Kwi Hong sudah marah-marah lagi, lupa bahwa kalau tidak ada pertolongan Bun Beng entah bagaimana jadinya dengan anak buah Pulau Es, dan terutama dengan dia sendiri.

   "Hong-ji, jangan begitu!"

   Phoa Ciok Lin berkata.

   "Bun Beng telah berbuat banyak sekali untuk kita, dan kurasa kata-katanya memang benar. Kalau kita melawan, biarpun dibantu Bun Beng yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu berarti akan mengorbankan semua sisa anak buah Pulau Es. Kita bertiga agaknya dapat melindungi diri sendiri, akan tetapi bagaimana dengan anak buah kita? Apakah masih kurang banyak jatuhnya korban di pihak kita? Lebih baik kita melarikan diri meninggalkan pulau ini sambil menanti kembalinya Taihiap."

   "Lari....? Dan Istana....?"

   "Kita bawa lari semua pusaka istana,"

   Kata pula Ciok Lin.

   "Memang itu benar sekali, Kwi Hong."

   Bun Beng berkata tenang.

   "Kalau kita melawan, selain anak buah Pulau Es dapat terbunuh semua oleh mereka tanpa kita dapat banyak melindungi karena kita sendiri tentu berhadapan dengan lawan-lawan tangguh, juga pusaka-pusaka Istana Pulau Es akan terampas oleh mereka. Agaknya itulah yang menyebabkan Koksu membawa pasukan datang menyerbu Pulau Es."

   Menghadapi bantahan dua orang itu, Kwi Hong terpaksa menurut. Dia pun tidak ingin kelak dipersalahkan pamannya kalau sampai terjadi pusaka-pusaka dirampas pasukan pemerintah dan semua anak buah tewas. Maka, di bawah pimpinan Phoa Ciok Lin pergilah semua sisa penghuni Pulau Es, menggunakan semua perahu kecil yang tersembunyi. Mereka lari dengan perahu-perahu itu melalui utara, semua berjumlah sepuluh buah perahu kecil. Pada keesokan harinya, pelarian-pelarian yang tergesa sehingga tidak ada kesempatan menguburkan kawan-kawan mereka yang tewas, melihat bahwa lima buah kapal besar itu melakukan pengejaran. Mereka menjadi panik, akan tetapi Ciok Lin dengan tenang memberi aba-aba, menjadi petunjuk jalan paling depan.

   Perahu-perahu itu memasuki sekumpulan es terapung yang seperti bukit-bukit kecil. Mereka mengambil jalan berbelak-belok, jalan yang hanya diketahui oleh Ciok Lin. Lima buah kapal itu mengejar, namun terpaksa mereka menghentikan pengejaran mereka karena kapal-kapal yang besar itu terhalang oleh bukit-bukit es dan tidak mungkin memasuki jalan air sempit di antara bukit-bukit es itu. Dengan penasaran Bhong Ji Kun lalu memerintahkan anak buahnya mendarat lagi di Pulau Es. Yang ada di situ hanyalah mayat-mayat kedua pihak yang bergelimpangan. Pondok-pondok kecil dibakar, istana dirampok, dikuras habis benda-benda berharga dari istana itu, kemudian istana itu dibakar habis! Tamatlah istana Pulau Es, dan pulau itu kini tampak menyedihkan sekali, menjadi gundul karena pohon-pohon yang tidak berapa banyak tumbuh di situ ikut pula terbakar habis!

   Dengan marah sekali karena semua usahanya gagal bahkan kehilangan banyak pasukan, kerusakan kapal-kapal, dan hanya mendapatkan barang-barang rampasan berupa harta benda yang tidak seberapa, tanpa ada benda-benda pusaka yang diharapkan, Bhong Ji Kun memerintahkan anak buahnya berlayar pulang ke daratan. Sementara itu, Phoa Ciok Lin membawa anak buahnya ke daratan pulau, akan tetapi sebelah utara dan mereka bersembunyi di pantai yang penuh dengan tebing-tebing curam dan guha-guha yang sunyi. Tempat persembunyian yang paling aman dan tempat itu pun hanya diketahui oleh Pendekar Super Sakti. Setelah mengantar sisa anak buah Pulau Es ke tempat persembunyianya, Bun Beng lalu berpamit. Kwi Hong mengerutkan alisnya ketika dia dipamiti. Mereka berdiri di tepi laut dan wajah gadis itu masih muram penuh kedukaan memikirkan nasib Pulau Es.

   "Engkau hendak pergi ke manakah, Bun Beng?"

   Tanyanya, suaranya gemetar dan pandang matanya sayu. Bun Beng hanya mengira bahwa sikap gadis ini karena kedukaannya.

   "Aku hendak pergi ke kota raja. Aku harus dapat merampas kembali Hok-mo-kiam yahg dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan Maharya, juga aku harus membuat perhitungan dengan mereka yang telah membunuh Suhu. Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Bhe Ti Kong, bukan hanya karena telah membunuh Suhu, akan tetapi juga karena penyerbuan mereka ke Pulau Es."

   Kwi Hong menghela napas panjang. Ingin sekali dia ikut bersama pemuda ini, akan tetapi dia maklum bahwa hal itu tidak pantas, maka dia lalu melepaskan sarung pedang Li-mo-kiam dari pinggangnya, menyerahkannya kepada Bun Beng sambil berkata,

   "Kau terimalah kembali pedang ini, Bun Beng. Pedang ini perlu bagimu untuk melaksanakan tugasmu yang amat berbahaya itu. Mereka adalah orang sakti dan...."

   "Tidak usah, Kwi Hong. Aku telah memberikan pedang itu kepadamu, bagaimana dapat kuterima kembali? Ataukah.... engkau tidak suka menerima pemberianku?"

   "Tidak sama sekali, akan tetapi...."

   "Sudahlah. Kau bersama Bibi Phoa menjaga di sini, melindungi sisa anak buah Pulau Es sambil menanti datangnya Suma-Taihiap. Kalau bertemu di dalam perjalananku, tentu akan kusampaikan kepadanya akan segala peristiwa yang terjadi di Pulau Es. Selamat tinggal, sampai jumpa pula, Kwi Hong."

   Kwi Hong mengangguk dan ketika pemuda itu berlari cepat meninggalkan tempat itu, Kwi Hong berdiri memandang dan termenung. Tak disadarinya, dua titik air mata turun ke atas kedua pipinya. Mengapa hatinya terasa berat berpisah dengan pemuda itu? Apakah benar seperti pertanyaan pamannya dahulu bahwa dia mencinta Bun Beng? Dia merasa suka, kagum, kasihan kepada pemuda itu dan ingin selalu berdekatan, merasa berat ditinggalkan. Inikah cinta?

   "Hong-ji, dia adalah seorang pemuda yang amat baik."

   Kwi Hong cepat membalikkan tubuhnya dan cepat pula menghapus dua titik air mata dari pipinya. Ia melihat Phoa Ciok Lin telah berdiri di situ. Jantungnya berdebar keras dan mukanya menjadi merah sekali.

   "Apa.... apa maksudmu, Bibi....?"

   Wanita itu menarik napas panjang menjawab.

   "Engkau cinta padanya, Hong-ji, dan aku tidak menyalahkanmu. Dia memang seorang pemuda yang baik, pantas mendapatkan cinta seorang gadis sepertimu, dan kurasa.... dia pun mencintamu, Hong-ji"

   "Bibi....!"

   "Jangan marah, aku bicara karena kenyataan dan aku cukup awas melihat keadaan kalian orang-orang muda. Cinta memang amat berkuasa dan aneh, Hong-ji."

   Kembali dia menarik napas panjang dan pandang matanya sayu seperti orang melamun.

   "Cinta dapat membuat orang menjadi halus perasaannya, menjadi seorang yang mau mengorbankan apa saja, sampai nyawanya. Akan tetapi mampu pula membuat orang menjadi kejam, menjadi mudah putus asa, akan tetapi juga dapat membuat orang menjadi tahan derita...."

   Kwi Hong memandang wanita itu dengan terharu.

   "Seperti engkau sendiri, Bibi. Bukankah engkau mencinta Pamanku, mencinta dengan seluruh badan dan nyawamu?"

   Phoa Ciok Lin menjatuhkan diri duduk di atas batu karang dan merenung ke arah lautan. Dia mengangguk dan terdengar suaranya lirih,

   "Benar, tak perlu kusembunyikan. Akan tetapi apa gunanya mencinta sebelah pihak? Salahku sendiri, orang yang tak tahu diri. Akan tetapi aku tidak kasihan kepada diriku sendiri, Hong-ji, melainkan kasihan kepada Pamanmu. Pamanmu jauh lebih sengsara dan menderita daripada aku, gara-gara dua orang wanita yang dicintanya.... hemmm.... cinta dapat mendatangkan neraka dunia bagi orang yang gagal. Semoga engkau kelak tidak gagal bersama Gak Bun Beng, Hong-ji...."

   "Bibi....!"

   Kwi Hong maju menubruk dan merangkul wanita itu dan kedua orang itu saling peluk dan menangis, bukan hanya menangis karena urusan cinta, melainkan menangisi Pulau Es yang hancur berantakan. Penyerangan ke Pulau Es dan hancurnya pulau itu oleh pasukan-pasukan pemerintah menggegerkan dunia persilatan. Ternyata koksu, atas nama pemerintah telah unjuk gigi dan terjadilah perubahan hebat di dunia persilatan. Kalau dahulu Pulau Es membuat semua orang kang-ouw gemetar, kini menjadi bahan tertawaan mereka. Kiranya Pulau Es tidaklah sekuat yang mereka duga. Kemudian Bhong Ji Kun yang merasa penasaran karena kegagalan di Pulau Es, hanya berhasil menghancurkan pulau itu, menimpakan kemarahannya kepada Pulau Neraka.

   Dia lalu berangkat lagi, membawa lima belas buah kapal dan seribu orang anggauta pasukan, berangkat lagi berlayar ke utara mencari Pulau Neraka! Dengan petunjuk jalan para nelayan di lautan utara, akhirnya dia berhasil menemukan Pulau Neraka, akan tetapi apa yang didapatinya? Pulau itu telah kosong! Semua penghuni Pulau Neraka telah lebih dulu menyingkirkan diri dan meninggalkan pulau itu, seolah-olah mengejek Koksu. Bhong Ji Kun marah, membakar pulau itu, kemudian kembali ke kota raja dengan tangan hampa. Memang Lulu telah lebih dulu mengungsikan anak buahnya ke daratan. Dia maklum bahwa tentara pemerintah pasti akan menyerbu Pulau Neraka, maka lebih dulu dia memerintahkan anak buahnya mengungsi ke daratan.

   Kini Pulau Es dan Pulau Neraka tidak ada lagi, atau lebih tepat kosong dan sudah terbakar, semua penghuninya telah lari dan semua orang menduga bahwa larinya tentu ke daratan di mana mereka dapat bersembunyi dengan mudah. Mendengar ini, Nirahai menjadi marah dan mendongkol sekali kepada Koksu. Bertahun-tahun dia menggembleng diri, memperkuat perkumpulan Thian-liongpang untuk sewaktu-waktu menyerang ke Pulau Es, untuk menandingi kekuatan Pulau Es dan kelihaian Suma Han. Kini didahului oleh pasukan pemerintah! Juga dia harus mengakui di dalam hatinya bahwa dia merasa sakit hati mendengar Pulau Es dibakar. Benar-benar watak wanita yang kecewa dalam cinta amat aneh. Dia sendiri ingin menyerbu Pulau Es, mengalahkan suaminya. Kini mendengar tempat suaminya diobrak-abrik orang lain, dia marah-marah dan sakit hati!

   Apalagi ketika ia mendengar bahwa pasukan Koksu itu atas perintah kaisar sendiri, mengertilah dia apa yang menjadi sebab penyerbuan itu. Tentu Kaisar, ayahnya sendiri, masih merasa dendam terhadap Suma Han yang melarikannya (baca cerita Pendekar Super Sakti), maka kini hendak menangkap Suma Han, atau agaknya lebih tepat lagi, hendak mencari dia! Diam-diam Nirahai tersenyum di balik kerudungnya. Tentu ayahnya itu, Kaisar dan kaki tangannya, tidak pernah mimpi bahwa Ketua Thian-liong-pang yang penuh rahasia itu adalah Puteri Nirahai yang dicari-cari! Ketika mereka mendengar akan penyerbuan tentara ke Pulau Neraka, dia makin penasaran lagi. Tadinya Thianliong-pang dianggap sebagai perkumpulan paling kuat dan yang menjadi tandingannya hanyalah Pulau Es dan Pulau Neraka.

   Kini kedua pulau itu telah dihancurkan pemerintah, siapa lagi yang akan menjadi tandingan Thian-liong-pang? Sekaranglah saatnya dia memperlihatkan kekuatan dan menjagoi dunia kang-ouw. Setelah berunding dengan para pembantunya, maka Thian-liong-pang membuat pengumuman dan mengundang seluruh partai dan semua golongan putih dan hitam, untuk memenuhi undangan Thian-liong-pang di mana akan diberi kesempatan kepada semua jago silat dunia untuk membuktikan siapa yang patut menjadi datuk pertama di dunia persilatan dan perkumpulan mana yang patut disebut perkumpulan terkuat. Untuk keperluan ini, Thian-liong-pang memilih tempat di kaki Pegunungan Ciung-lai-san, di daerah Se-cuan, bekas daerah pertahanan pemberontak Bu Sam Kwi. Daerah ini selain sunyi, juga merupakan daerah tandus seperti gurun pasir dan jauh dari kota maupun dusun.

   Beberapa hari sebelum hari yang ditentukan untuk pertemuan itu, pihak Thian-liong-pang telah berkumpul di tempat itu. Mereka membangun sebuah pondok gubuk yang tingginya dua puluh meter. Kemudian, lima puluh orang anggauta Thian-liong-pang pilihan, berkumpul dengan dipimpin oleh Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi Kang, Tang Wi Siang dan para wanita pelayan yang lihai, serta beberapa orang tokoh Thian-liong-pang lain seperti Su Kak Liong, saudara kembar yang kehilangan adiknya, karena adiknya, Toat-beng-to Su Kak Houw, telah tewas ketika hendak membunuh Bun Beng dan banyak orang yang menjadi tokoh Thian-liong-pang pula. Adapun Nirahai sendiri bersama Milana baru datang ke tempat itu sehari sebelumnya dan keduanya meloncat naik dan memasuki gubuk yang tinggi, menutupkan pintunya dan tidak tampak dari luar.

   Seperti diketahui, Milana meninggalkan ibunya tanpa pamit untuk mencari Bun Beng. Akan tetapi sebelum niat hatinya tercapai, dia mendengar pula berita akan dihancurkannya Pulau Es oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dara ini mengkhawatirkan ayahnya dan dia cepat pulang untuk mengabarkan hal itu kepada ibunya. Semenjak pagi pada hari yang ditentukan itu, datanglah berbondong-bondong pasukan orang-orang kang-ouw dari pelbagai aliran dan partai persilatan. Bahkan partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai yang terdiri dari belasan orang hwesio, dan Kun-lun-pai yang diwakili oleh kaum tosu, Bu-tong-pai yang dipimpin sendiri oleh ketuanya, yaitu Ang-lojin atau Ang Thian Pa bersama puterinya yang menarik perhatian karena cantiknya, Ang Siok Bi. Hadir pula dari Partai Go-bi-pai, Kong-thong-pai dan lain-lain, yaitu dari partai-partai aliran bersih.

   Dari kaum perampok dan golongan hitam juga banyak yang hadir, di antaranya dari Hek-liong-pang, Hek-kai-pang perkumpulan pengemis baju hitam, dan Hui-houw-pai perkumpulan harimau terbang, Sin-to-pang perkumpulan ahli golok, Lam-hai-pang, dan masih banyak lagi. Akan tetapi karena sebagian besar di antara mereka itu sudah mengenal nama Thian-liong-pang, mereka menjadi jerih dan hanya datang untuk melihat-lihat, karena semenjak Pemerintah Mancu berdiri dan semenjak pertemuan di pulau muara Huang-ho, tidak ada perkumpulan kang-ouw yang berani lagi mengadakan pertemuan macam ini, apalagi pertemuan besar ini. Adapun pihak golongan bersih, hanya datang karena merasa sungkan kepada Thian-liong-pang, dan juga ingin menyaksikan sendiri seperti apa macamnya Ketua Thian-liong-pang yang disohorkan memiliki kepandaian seperti iblis, yang melampaui kehebatan para datuk golongan hitam maupun putih!

   Karena tanah di tempat pertemuan itu tandus, setiap ada rombongan baru datang berkuda, tentu dari jauh tampak debu mengebul tinggi. Ada pula yang memikul ketua-ketua mereka dengan tandu, dan ada pula yang datang berkuda. Sebagian besar di antara mereka itu kini memelihara rambut yang dikuncir, sesuai dengan peraturan pemerintah baru. Akan tetapi ada pula yang tidak mau mentaati peraturan ini dan masih menyanggul rambutnya atau membiarkan saja panjang terurai seperti tampak pada para anggauta Thian-liong-pang dan para anggauta perkumpulan kaum sesat. Tentu saja peraturan ini tidak berlaku bagi para tosu yang semenjak dahulu mempunyai mode tersendiri dalam menyanggul rambut mereka, dan para hwesio yang semenjak dahulu memang tidak berambut kepalanya!

   Kedatangan rombongan tamu dari segenap penjuru itu disambut oleh para anak buah Thian-liong-pang yang berkumpul mengelilingi gubuk tinggi, berbaris rapi menghadap keluar. Setiap tokoh yang melihat tamu datang dari depan, cepat menyambut dengan hormat sambil menjura. Di antara para orang kang-ouw itu, baik pihak tuan rumah maupun para tamu, tidak menduga sama sekali bahwa pertemuan orang dunia persilatan ini tidak luput dari pengawasan pemerintah. Bahkan banyak mata-mata pemerintah yang lihai menyeludup masuk, menyamar sebagai rombongan orang kang-ouw. Lebih hebat lagi, Koksu Bhong Ji Kun sendiri bersama pembantu-pembantunya telah siap menyerbu dengan pasukannya yang seribu orang banyaknya, begitu terdapat tanda dari para penyelidiknya.

   Bhong Ji Kun bukan seorang bodoh, dan tentu saja dia tidak akan memusuhi orang-orang kang-ouw, apalagi partai-partai besar yang oleh pemerintah, bahkan diharapkan kerja sama mereka. Pemerintah yang telah berhasil memelihara keamanan setelah menundukkan semua kerusuhan, tidak akan memancing kekecewaan dan pemberontakan baru dengan jalan menindas orang-orang kang-ouw. Tidak, Bhong Ji Kun tidak akan mengganggu Thian-liong-pang yang merupakan
(Lanjut ke Jilid 25)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 25
perkumpulan besar yang berpengaruh, atau mengganggu tamu-tamunya. Akan tetapi, yang diincarnya adalah orang-orang Pulau Es dan Pulau Neraka. Kalau sampai mereka yang berhasil melarikan diri dari kedua pulau itu berani muncul di situ, barulah dia akan mengerahkan pasukan dan pembantu-pembantunya untuk menyerbu dan menangkapi mereka dengan dalih memberontak.

   Dengan menangkapi para penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka, dia mengharapkan akan dapat memaksa mereka menyerahkan pusaka-pusaka dari kedua pulau itu, terutama dari Pulau Es. Untuk maksud inilah Bhong Ji Kun menyiapkan pasukan dan pembantu-pembantunya. Akan tetapi, belum juga rencana ini memperoleh hasil, rombongan Koksu ini telah mengalami hal yang menggemparkan, yang membuat Bhong Ji Kun marah bukan main karena dia telah kehilangan dua orang pembantunya yang setia dan dapat diandalkan, yaitu Tan Ki atau Tan-siucai, dan Thai Li Lama! Hal itu terjadi ketika dia dan pembantu-pembantunya bersembunyi di dalam hutan-hutan di lereng Pegunungan Ciung-lai-san, mengurung dan mengawasi daerah tandus di kaki gunung yang dijadikan tempat pertemuan oleh Thian-liong-pang itu.

   Karena daerah pengawasan itu amat luas, mereka berpencar, demikian pula para pasukan yang hanya beristirahat di hutan-hutan sambil bersiap-siap menanti perintah kalau saat penyerbuan tiba. Sehari sebelum pertemuan tiba, pasukan pemerintah telah bersembunyi di hutan lereng Pegunungan Ciung-lai-san itu, di antara mereka tampak Tan-siucai. Tan-siucai yang masih penasaran karena belum berhasil membalas dendam kepada Suma Han yang dianggap telah menyebabkan kematian tunangannya, yaitu Lu Soan Li, sekali ini mengharapkan benar agar Suma Han muncul di tempat pertemuan. Dia maklum bahwa dia sendiri tidak akan mampu mengalahkan musuh besar yang dianggap telah menghancurkan kebahagiaan hidupnya itu,

   Namun dia percaya penuh kepada gurunya yang kini telah bergabung dengan orang-orang sakti seperti kedua Lama dan Koksu. Dengan hadirnya tokoh-tokoh sakti ini dibantu oleh seribu orang pasukan, mustahil kalau musuh besarnya itu akhirnya tidak akan tewas! Dia ingin sekali memberi pukulan maut terakhir kepada Suma Han, dengan tusukan kedua pedangnya, pedang hitam dan Hok-mo-kiam yang dibanggakannya. Karena menunggu adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan, waktu dirasakan merayap amat lambat, Tan-siucai pergi berjalan-jalan seorang diri di dalam hutan yang dianggapnya tempat yang paling aman. Seribu orang pasukan menjaga di situ, dan dia sendiri memiliki kepandaian tinggi, tentu saja dia tidak takut akan munculnya ular atau harimau.

   Dengan wajah berseri penuh harapan, apalagi mengingat akan kedudukannya sebagai pembantu koksu yang membuat hidupnya terjamin dan penuh kemewahan dan kemuliaan, membuat dia dengan mudah memperoleh pakaian mewah dan indah, makanan serba lezat, tidak kekurangan uang, dan boleh dikata memungkinkannya untuk berganti teman wanita setiap malam. Tan-siucai melangkah perlahan mengagumi pohon-pohon dan kembang-kembang yang sedang mekar di dalam hutan itu. Dia berjalan perlahan, hati-hati agar pakaiannya yang indah dari sutera halus itu tidak sampai kotor oleh debu tanah atau tersangkut tetumbuhan berduri. Senja hampir tiba, sinar matahari tidak begitu panas lagi dan angin senja mulai bertiup seolah-olah menyampaikan selamat jalan kepada matahari yang mulai condong ke barat, sebentar lagi akan meninggalkan permukaan bumi sebelah sini.

   Karena dipenuhi harapan menggembirakan, Tan-siucai tersenyum-senyum, kemudian bersenandung. Akan terjadi penyerbuan, dan dia girang mendapat kesempatan lagi mengerjakan pedang hitamnya, memenggal leher orang, menusuk jantung lawan dari dada sampai menembus punggung, melihat darah segar menyemprot keluar! Ha, dia akan berpesta pora dengan pedangnya, di samping menyaksikan terlaksananya dendam terhadap Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es. Ha-ha, dia tertawa sendiri kalau teringat akan Pulau Es. Biarpun dia belum berhasil membunuh musuh besar ini, namun menyaksikan tempatnya dihancurkan dan dibakar, anak buahnya banyak yang tewas dan selebihnya terpaksa melarikan diri menjadi buronan, dia sudah merasa girang dan puas sekali.

   "Tan-siucai, engkau kelihatan gembira sekali!"

   Tiba-tiba terdengar suara orang menegur dari belakangnya. Tan-siucai menghentikan senandungnya dan mengira bahwa yang menegurnya tentu seorang di antara panglima pasukan, sambil membalikkan tubuh dia tertawa dan berkata,

   "Hidup hanya satu kali di dunia, mengapa tidak gembira?"

   Akan tetapi ketika melihat bahwa yang berhadapan dengannya adalah seorang pemuda tampan yang tersenyum-senyum, pemuda yang tubuhnya sedang, pakaiannya sederhana, kuncirnya tebal hanya sebuah bergantung ke depan melalui pundak, seorang pemuda yang sama sekali bukan panglima, bukan perajurit.

   "Engkau.... siapa....?"

   Tan-siucai agak tergagap karena heran, namun segera menyangka bahwa tentu orang ini penduduk di lereng Pegunungan itu. Pemuda itu memperlebar senyumnya.

   "Aku setan penjaga gunung yang telah lama menanti kesempatan ini untuk mencabut nyawamu!"

   Tan-siucai kaget dan marah mendengar ini, namun dia menjadi kaget lagi ketika tiba-tiba tangan kiri pemuda sederhana itu dengan jari-jari terbuka meluncur ke arah mukanya, menyerang kedua matanya. Gerakan pemuda itu cepat bukan main, dan dari sambaran tangannya terasa hawa pukulan yang kuat! Tan-siucai tentu saja tidak membiarkan kedua matanya dicongkel orang begitu saja. Dia cepat menarik tubuh atas ke belakang.

   "Plakk! Rrrttt"

   "Heiii....! Kembalikan pedangku!"

   Tan-siucai berseru marah dan kaget sekali ketika merasa betapa pedang Hok-mo-kiam yang selalu terselip di pinggangnya kini telah dirampas pemuda itu. Dia sendiri tidak tahu bagaimana sampai dapat diambil dari pinggangnya. Hanya terasa olehnya ketika ia menarik tubuh atas ke belakang untuk menghindarkan tusukan pada matanya pedang itu diserobot dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu pedang itu lenyap dari pinggangnya.

   Dengan mata terbelalak marah Tan-siucai melihat pemuda itu tersenyum-senyum sambil mengikatkan sarung pedang ke punggungnya. Sikapnya demikian tenang sambil tersenyum-senyum, seolah-olah pemuda itu sedang memasang pedangnya sendiri, bukan boleh merampas punya orang lain.

   "Kembalikan pedangku, keparat!"

   Tan-siucai membentak. Pemuda itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Seperti diceritakan di bagian depan, setelah berpisah dari Kwi Hong di pantai lautan utara, Bun Beng pergi ke kota raja untuk mencari musuh-musuhnya. Setibanya di kota raja, kebetulan sekali ia melihat pasukan besar dipimpin oleh musuh-musuhnya! Dia melihat Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Maharya, Tan-siucai, Bhe Ti Kong dan para panglima pengawal meninggalkan kota raja dengan berkuda dan melakukan perjalanan cepat sekali.

   Melihat ini, Bun Beng tak berani turun tangan. Tak mungkin dia turun tangan selagi orang-orang sakti itu berkumpul dan masih dilindungi oleh pasukan yang besarnya kurang lebih seribu orang! Maka Bun Beng lalu membayangi pasukan itu yang ternyata melakukan perjalanan jauh sekali sampai berpekan-pekan. Dan akhirnya pasukan itu bersembunyi di dalam hutan, di lereng Pegunungan Ciung-lai-san. Juga Bun Beng yang terus membayangi, mendengar akan pertemuan tokoh-tokoh dunia persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang di kaki pegunungan itu. Diam-diam dia merasa heran. Apalagi yang akan dilakukan oleh Puteri Nirahai, ibu Milana dan isteri Pendekar Super Sakti yang telah menjadi Ketua Thian-liong-pang itu?

   Apakah yang akan dilakukan wanita sakti yang cantik jelita, yang menjadi aneh dan mengerikan sekali wataknya akibat terputusnya cinta dan mengalami kekecewaan itu? Akan tetapi karena tujuan Bun Beng adalah mencari kesempatan untuk pertama-tama merampas kembali Hok-mo-kiam, baru kemudian mencari kesempatan untuk membuat perhitungan kepada musuh-musuhnya, maka dia tidak mempedulikan lagi urusan Thian-liong-pang. Akhirnya, setelah membayangi pasukan itu selama beberapa pekan, pada menjelang senja hari itu dia berkesempatan menemui Tan-siucai seorang diri dan berhasil merampas Hok-mo-kiam secara mudah setelah dia melakukan serangan pancingan dengan tangan kiri tadi, membuat Tan Ki menarik tubuh atas ke belakang dan pinggang depannya tidak terlindung.

   "Heiii! Tulikah engkau? Kembalikan pedangku!"

   Sekali lagi Tan Ki membentak. Bun Beng tersenyum tenang.

   "Pedangmu yang manakah? Hok-mo-kiam ini bukanlah pedangmu. Lupakah engkau bahwa engkau mencuri pedang ini dengan menipu Pendekar Super Sakti keluar meninggalkan pondok. Kemudian engkau bersama Gurumu Maharya itu bahkan membunuh Kakek Nayakavhira yang membuat pedang ini? Dan engkau sekarang masih berkulit muka tebal mengaku bahwa Hok-mo-kiam adalah pedangmu?"

   "Setan! Siapa engkau....?"

   Tan Ki menjadi terkejut dan marah sekali mendengar ucapan itu, sekaligus dia mencabut pedang hitamnya.

   "Tidak penting kau ketahui aku siapa, Tan-siucai. Hanya perlu kau ketahui bahwa pedang ini akan kuserahkan kembali kepada yang berhak, yaitu Suma-Taihiap."

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Engkau ingin mampus!"

   Tan Ki membentak dengan pengerahan khi-kang sehingga suaranya menjadi nyaring dan terdengar sampai jauh. Memang, orang yang licik ini sengaja mengeluarkan suara keras agar terdengar oleh yang lain dan membantunya menghadapi perampas pedangnya. Setelah membentak, pedangnya berkelebat, sinar hitam menyambar ke arah tubuh Bun Beng. Tan-siucai bukanlah seorang lemah. Dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi sebagai murid Kakek Maharya, dan selain ilmu pedangnya aneh dan cepat, diapun memiliki sin-kang yang sudah kuat sekali. Namun, bagi Bun Beng dia merupakan lawan yang ringan. Bun Beng yang melihat pedang hitam menyambar ke arah lehernya, hanya miringkan kepala sedikit, dan berbareng tangan kanannya menampar.

   "Plakkk!"

   Bun Beng menampar perlahan saja dan mengenai pipi kiri Tan-siucai, akan tetapi biarpun perlahan, cukup membuat Tan-siucai terbanting dan bergulingan. Ketika ia meloncat bangun lagi dengan kepala nanar, pipinya telah menjadi bengkak membiru dan semua giginya di pinggir kiri copot! Sambil meludahkan gigi dan darah, Tan Ki memandang dengan marah sekali, namun hatinya menjadi jerih karena dalam gebrakan pertama itu saja sudah terbukti betapa lihainya pemuda ini. Teringatlah ia akan cerita tentang pemuda yang membela penghuni Pulau Es, yang mengamuk dengan hebat, bahkan dapat melayani gurunya. Mukanya menjadi pucat teringat akan ini dan dia sudah menoleh ke kanan-kiri dan menengok ke belakang, mengharapkan datangnya bala bantuan. Tak salah lagi tentu inilah pemuda yang sakti itu!

   "Tan Ki, tamparanku tadi hanya untuk hukumanmu mencuri Pedang Hok-mo-kiam. Semestinya mengingat akan pembunuhan terhadap Kakek Nayakavhira, kemudian penculikan terhadap Nona Giam Kwi Hong, ditambah lagi engkau ikut menyerbu dan membunuh anak buah Pulau Es, engkau sudah pantas dibunuh seratus kali! Akan tetapi, yang berhak memutuskan hukuman adalah Pendekar Super Sakti, dan aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, maka biarlah sekali ini aku tidak membunuhmu dan hanya merampas kembali Hok-mo-kiam. Nah, pergilah!"

   Akan tetapi, tentu saja Tan Ki tidak mau pergi meninggalkan orang yang telah merampas Hok-mo-kiam, juga dia tidak berani menyerang lagi. Dia masih menanti datangnya bantuan dan pada saat itu dia melihat berkelebatnya bayangan Thai Li Lama. Hatinya menjadi besar, keberaniannya bangkit dan dia membentak nyaring.

   "Engkau pembela Pulau Es! Engkau pula yang melarikan murid Pendekar Siluman!"

   Sambil membentak demikian dia menyerang lagi dengan ganas, mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan jurus maut. Pedangnya berubah menjadi sinar hitam yang meluncur cepat dan kuat, menusuk ke arah tenggorokan Bun Beng terus digoreskan ke bawah untuk menyusul serangan itu kalau-kalau gagal. Menghadapi ini, dan melihat datangnya Thai Li Lama yang lihai, Bun Beng menjadi marah sekali. Kalau dia tidak cepat turun tangan dan cepat pergi dari situ sampai semua tokoh lawan datang dan pasukan dikerahkan, dia bisa celaka. Tangan kanannya bergerak ketika ia melangkah mundur untuk mengelak. Tampak sinar kilat yang luar biasa ketika Hok-mo-kiam terhunus, disusul sinar kilat menyambar ke depan.

   "Trakkk....!"

   Tan Ki menjerit nyaring dan roboh. Pedang hitamnya patah menjadi dua oleh Hok-mo-kiam dan sinar kilat itu masih terus menembus dadanya. Tan-siucai berkelojotan dan tewas dalam keadaan yang amat mengecewakan kalau diingat bahwa dia dahulu adalah seorang sasterawan yang amat pandai, yang berwatak baik ketika menjadi tunangan Lu Soan Li. Sayang dendam kebencian membuat dia menyeleweng apalagi setelah dia menjadi murid Maharya dan ilmu yang dipelajarinya membuat dia menjadi tidak normal alias agak miring otaknya. Kebencian dapat menyeret manusia ke dalam kesesatan, karena kebencian menimbulkan perbuatan kejam, menimbulkan kekerasan dan kekeruhan batin.

   "Jahanam....!"

   Teriakan ini keluar dari mulut Thai Li Lama, disusul dengan pukulan geledek, yaitu Ilmu Sin-kun-hoat-lek yang telah mengandung tenaga sin-kang kuat, juga mengandung hawa mujijat dari ilmu hitamnya. Bun Beng cepat meloncat ke belakang menghindar. Dilihatnya Thai Li Lama telah banyak berubah. Kepalanya masih tetap gundul, akan tetapi di bagian bawah kepala dibiarkan tumbuh. Dengan demikian, pendeta Lama yang dahulunya gundul kelimis itu kini seperti seorang yang botak, juga jubahnya yang merah terbuat dari kain sutera!

   "Haiiiittt, lihat siapa aku? Orang muda, berlututlah engkau di depan Thai Li lama, orang kepercayaan Koksu!"

   Suaranya amat berpengaruh, pandang matanya seperti menyeluarkan sinar mujijat.

   Bun Beng merasa tubuhnya menggigil dan matanya seperti melekat pada sepasang mata yang seperti mata setan itu, kakinya lemas dan lututnya tak dapat ditahannya lagi, tertekuk dan dia jatuh berlutut! Tiba-tiba berkelebat di otaknya bahwa ini tidaklah sewajarnya, seperti ketika ia berhadapan dengan Maharya. Teringat pula dia akan ilmu sihir yang dimiliki golongan sesat ini. Cepat ia menggigit bibirnya sampai berdarah dan rasa nyeri ini melepaskan dia daripada ikatan pandang mata yang melekat! Cepat ia mengalihkan pandang mata ke bawah, menulikan telinganya dari suara di luar dan keadaannya pulih kembali. Pada saat itu, dia merasa hawa yang amat panas menggerayang ke arah kepalanya, maklum bahwa dia terancam bahaya maut karena tangan kiri pendeta itu mencengkeram ubun-ubun kepalanya selagi dia berlutut!

   "Hyyaaaaaahhhhh!"

   Bun Beng membentak nyaring melengking dan sinar kilat berkelebat dari bawah.

   "Crokk! Auggghhhh....!"

   Thai Li Lama mencelat ke belakang dan darah mengucur keluar dari lengan kirinya yang telah terbabat buntung oleh Hok-mo-kiam!

   Sepasang mata Thai Li Lama mendelik dan ia mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas. Kemudian dia meloncat tinggi lalu meluncur ke arah Bun Beng dengan kedua kakinya bergerak-gerak melakukan tendangan-tendangan maut bertubi-tubi dari atas, menuju ke arah ubun-ubun, pelipis tenggorokan dan tengkuk. Sekali saja terkena tendangan itu, takkan dapat bertahan Bun Beng, biarpun dia memiliki tenaga sin-kang yang bagaimana kuatnya. Bun Beng maklum akan kedahsyatan serangan ini, dan diam-diam merasa ngeri melihat kakek yang lengan kirinya buntung itu seolah-olah tidak merasakan nyeri, dan masih dapat menyerangnya sedemikian hebat. Cepat ia meloncat mundur ke kanan-kiri menghindarkan diri dari tendangan-tendangan itu.

   Namun gerakan kedua kaki itu aneh sekali, sama sekali tidak dikenal oleh Bun Beng dan dia tidak tahu perkembangannya atau lanjutan geraknya, maka betapa pun cepatnya ia mengelak, tetap saja pundaknya terkena dorongan tumit kaki ketika kaki Thai Li Lama membalik yang merupakan lanjutan serangan tendangannya. Biarpun tulang pundaknya tidak patah, namun hawa dorongan itu membuat Bun Beng terpelanting dan roboh miring. Pundaknya terasa setengah lumpuh dan pada saat itu, Thai Li Lama yang terkekeh seperti iblis itu telah melayang turun, kaki kanannya bergerak menginjak ke arah perut Bun Beng, injakan maut karena dalam gerakan menginjak dari atas ini mengandung tenaga yang bukan main besarnya. Kalau sampai perut pemuda itu terkena injakan, tentu akan hancur isi perutnya!

   "Crokkk....! Aaiiiihhhh!"

   Sinar kilat pedang Hok-mo-kiam yang digerakkan oleh Bun Beng dalam keadaan terancam maut itu, menyambar dan membabat kaki yang menginjak. Buntunglah kaki kanan itu sebatas betis dan Thai Li Lama berdiri dengan kaki kiri, matanya terbelalak berapi-api, mulutnya mengeluarkan busa, keadaannya mengerikan sekali. Darah mengucur deras dari pangkal lengannya yang buntung dan dari kaki kanan yang buntung di bawah lutut itu. Namun, dia masih dapat terpincang-pincang menghampiri Bun Beng!

   Bun Beng membenci pendeta Lama ini yang merupakan seorang di antara mereka yang telah membunuh Siauw Lam Hwesio, gurunya, akan tetapi kini menyaksikan keadaan Lama itu, dia merasa ngeri dan juga kasihan. Untuk menghentikan penderitaan orang yang menjadi musuhnya itu, dia cepat menubruk ke depan dan ketika sinar kilat berkelebat, pedang Hok-mo-kiam telah menembus ulu hati Thai Li Lama sampai menembus punggung. Bun Beng cepat hendak mencabut kembali pedang itu, akan tetapi tiba-tiba pendeta Lama itu yang sudah buntung lengan kirinya, buntung pula kaki kanannya, dan tertusuk tembus dadanya, masih dapat mengeluarkan bentakan nyaring, dari mulutnya menyembur darah segar dan tangan kanan berhasil memukul punggung Bun Beng dengan tamparan yang mengandung ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek.

   "Blukkk!" "Auuuhhh....!"

   Darah segar menyembur keluar dari mulut Bun Beng dan pemuda ini terguling roboh, berbareng dengan robohnya tubuh Thai Li Lama yang telah menjadi mayat! Bun Beng mengeluh panjang, rasa nyeri dari punggung sampai ke dada menyesakkan napasnya.

   Dia maklum bahwa pukulan dahsyat tadi telah melukainya akan tetapi pikirannya masih terang. Dia harus cepat pergi! Telah tampak bayangan para anak buah pasukan yang mendengar bentakan-bentakan tadi mendatangi di antara pohon-pohon. Cepat ia menghampiri mayat Thai Li Lama, bergidik menyaksikan bekas musuh ini, mencabut Hok-mo-kiam, kemudian melarikan diri dari tempat itu secepat mungkin, keluar dari hutan dan dilindungi kegelapan malam yang tiba, dia berhasil meninggalkan para pengejarnya. Setelah aman dan tidak ada pengejaran lagi Bun Beng duduk bersila di bawah pohon dalam hutan besar dekat puncak gunung, dan mengatur pernapasannya, mengumpulkan hawa murni dan mengerahkan sin-kangnya untuk mengobati luka di dalam dadanya yang terguncang oleh pukulan dahsyat itu.

   Setahun yang lalu, sebelum dia melatih sin-kang di dalam lorong rahasia dari kitab yang dipelaiari oleh Ketua Thian-liong-pang, kalau terkena pukulan seperti itu, tentu nyawanya telah melayang! Demikianlah, dapat dibayangkan betapa marah hati Im-kan Seng-in Bhong Ji Kun ketika ia mendapatkan dua orang pembantunya tewas seperti itu. Di tempat itu, di mana terdapat dia sendiri dan paman gurunya, Maharya yang sakti, bersama seribu orang perajurit pasukan pengawal, dua orang pembantunva yang dipercaya dan boleh diandalkan, terutama Thai Li Lama, tewas dalam keadaan mengerikan dan tak seorang pun tahu siapa yang telah membunuh kedua orang itu! Thian Tok Lama berduka sekali akan kematian sutenya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan marah dan siapakah yang akan dibalas kalau tak seorang pun mengetahui siapa pembunuh sutenya?

   "Mudah saja! Pedang Hok-mo-kiam telah dirampasnya dari tangan muridku. Siapa yang memegang pedang itu, dialah yang melakukan pembunuhan-pembunuhan ini. Aku bersumpah untuk membunuh iblis terkutuk itu!"

   Maharya yang juga amat berduka akan kematian muridnya, terutama sekali akan terampasnya Hok-mo-kiam oleh orang lain, mengepal tinju.

   "Yang dapat melakukan ini tentulah orang yang berkepandaian tinggi sekali,"

   Kata Bhong Ji Kun setelah memerintahkan anak buahnya mengurus dan mengubur kedua jenazah itu.

   "Tidak mungkin dilakukan oleh orang biasa, akan tetapi siapakah? Banyak tokoh kang-ouw sedang berada di sekitar tempat ini untuk menghadiri pertemuan besok pagi. Pasti seorang di antara mereka yang melakukannya."

   Thian Lok Lama menggeleng kepalanya yang gundul.

   "Pinceng rasa bukan seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw. Tak mungkin mereka berani melakukan pembunuhan-pembunuhan ini karena mereka tahu bahwa Sute dan Tan-siucai adalah orang-orangnya pemerintah. Pinceng kira pembunuhnya tentulah orang-orang yang telah menentang kita di Pulau Es."

   "Ahhh, wanita Pulau Neraka yang seperti setan itu?"

   Maharya bertanya. Thian Tok Lama mengangguk.

   "Mungkin dia, mungkin pula bocah yang sekarang telah menjadi lihai bukan main itu."

   "Gak Bun Beng?"

   Bhong Ji Kun menyambung. Thian Tok Lama mengangguk.

   "Keturunan Gak Liat itu sekarang luar biasa ilmunya dan mengingat akan watak ayahnya yang liar, bisa saja dia melakukan hal-hal yang tidak lumrah."

   "Hemmm, siapa tahu kalau-kalau Pendekar Siluman yang melakukan ini."

   "Pendekar Siluman....?"

   Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun berseru, keduanya terkejut dan wajah mereka berubah. Mengapa mereka tadi tidak teringat akan Pendekar Super Sakti itu? Kalau dia yang datang, memang tidak perlu diherankan lagi kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai!

   "Lebih banyak kemungkinan dia sendiri yang datang dan melakukan pembunuhan-pembunuhan ini. Dan dirampasnya pedang itu menebalkan keyakinanku bahwa Pendekar Super Sakti yang datang sore tadi. Akan tetapi, harap Taijin jangan khawatir. Memang kita sedang menunggu munculnya orang-orang Pulau Es dan orang-orang Pulau Neraka, bukan? Boleh jadi Pendekar Siluman lihai sekali, akan tetapi saya pernah menandinginya, dan ternyata dia tidaklah lebih lihai daripada saya, atau boleh dibilang tingkat kami sebanding. Kalau dibantu oleh Taijin dan Thian Tok Lama, tentu mudah saja mengalahkannya."

   "Akan tetapi, Susiok (Paman Guru), bagaimana kalau dia dibantu oleh Gak Bun Beng dan oleh wanita Pulau Neraka itu?"

   Maharya menggeleng kepala.

   "Saya rasa wanita itu adalah Ketua Pulau Neraka yang disohorkan. Antara Pulau Neraka dan Pulau Es belum pernah ada kerja sama, dan kalau dia dahulu turun tangan, sama sekali bukan untuk membantu Pulau Es, hanya karena marah bahwa daerahnya dilanggar. Andaikata dia maju pula, bersama pemuda itu, tidak perlu kita takut. Para ciangkun memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, dan seribu orang pasukan merupakan kekuatan yang melebihi sepuluh orang Pendekar Siluman!"

   Biarpun kematian Thai Li Lama dan Tan-siucai merupakan pukulan yang cukup mengejutkan, namun hati para pimpinan pasukan pemerintah ini masih besar. Malam itu tidak ada peristiwa sesuatu dan pada keesokan harinya, setelah mengirim rombongan mata-mata yang menyamar sebagai orang-orang kang-ouw, Bhong Ji Kun dan para pembantunya mengintai tanah tandus yang dijadikan tempat pertemuan itu dari atas lereng terdekat, mempergunakan teropong den memeriksa keadaan. Tang Wi Siang yang mewakili ketuanya, setelah semua tamu berkumpul, berkata dengan suara nyaring,

   "Cu-wi sekalian yang terhormat! Pangcu kami menghaturkan selamat datang pada Cu-wi sekalian. Maksud dari undangan Pangcu kami mengumpulkan Cu-wi sekalian yang dianggap mewakili dunia kang-ouw, adalah untuk mempererat persahabatan dan untuk mendengarkan usul Pangcu yang akan disampaikan oleh Pangcu sendiri. Silakan Cu-wi mendengarkan!"

   Pintu pondok di atas itu terbuka perlahan dan muncullah Ketua Thian-liong-pang yang mukanya berkerudung. Melihat wanita itu, semua orang memandang dan mereka yang pernah diculik dan pernah berhadapan dengan ketua itu, memandang dengan muka merah masih merasa penasaran akan tetapi juga dengan hati jerih karena mereka tahu akan kelihaian wanita itu. Adapun mereka yang belum pernah bertemu dengan tokoh ini, memandang dengan hati penuh kengerian karena mereka hanya mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia,

   Sedangkan orangnya pun begitu menyeramkan, mukanya dikerudung sehingga semua orang ingin melihat bagaimana wajah yang bersembunyi di balik kerudung itu. Sudah tuakah? Ah, tak mungkin, tubuh wanita itu biarpun tersembunyi di balik pakaian yang longgar, jelas bukan tubuh seorang wanita tua! Dan tangan yang tersembul dari balik lengan baju itu berkulit halus, berjari kecil meruncing dengan kuku yang kemerahan, terpelihara baik-baik! Sepasang mata yang memandang dari balik lubang kerudung penutup muka itulah yang menimbulkan rasa serem dan menundukkan hati orang, begitu terang, begitu tajam dan penuh wibawa, mata seorang manusia yang agaknya tidak mengenal bantahan!

   Nirahai, wanita berkerudung Ketua Thian-liong-pang itu, sejenak berdiri memandang sekeliling dan dengan pandang mata cepat ia menyapu tokoh yang hadir, mengenal mereka dan dapat menduga dari partai dan perkumpulan mana mereka itu. Dia merasa kecewa bukan main ketika tidak melihat adanya rombongan Pulau Neraka dan Pulau Es! Benar-benar menggemaskan, pikirnya. Mengapa Suma Han tidak muncul? Dan di mana adanya tokoh-tokoh Pulau Neraka? Tanpa mengalahkan keduanya itu, nama Thian-liong-pang takkan terangkat naik! Dan tiba-tiba ia melihat rombongan terdiri dari belasan orang yang tak dapat ia duga dari partai atau golongan mana. Matanya mengeluarkan sinar penuh kecurigaan, akan tetapi dia tidak menyatakan sesuatu, hanya mulai dengan bicaranya yang singkat, halus merdu namun terdengar sampai jauh karena ia keluarkan dengan pengerahan khi-kang yang luar biasa kuatnya.

   "Cu-wi sekalian! Untuk mempersatukan dunia kang-ouw, kita harus menentukan perkumpulan mana yang patut menjadi perkumpulan induk, dan tokoh mana yang patut dijadikan pemimpin yang dapat disebut Bengcu (pemimpin rakyat). Kami setelah mempelajari dan meneliti keadaan, minta Cu-wi sekalian suka mengakui Thian-liong-pang sebagai perkumpulan induk, dan aku sendiri menjadi Bengcu, kecuali kalau ada di antara Cu-wi yang dapat membuktikan bahwa ada orang yang lebih patut menjadi Bengcu daripada aku. Kalau ada di antara Cu-wi yang tidak setuju, boleh maju!"

   Bukan main tekeburnya ucapan Ketua Thian-liong-pang ini sehingga semua orang memandang dengan alis berkerut dan merasa tidak setuju, sungguhpun tidak ada yang berani membantah dengan keras. Hanya terdengar suara-suara kontra, dan dari golongan para hwesio dan tosu terdengarlah ucapan-ucapan,

   "Omitohud...."

   "Siancai....!"

   Nirahai bukanlah seorang bodoh, kalau dia tadi mengeluarkan ucapan itu memang dia sengaja untuk memancing sikap menentang sehingga orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi akan bangkit dan menentangnya. Setelah bertahun-tahun dia menggembleng diri, bahkan tidak segan-segan mencuri ilmu-ilmu dari lain partai, dia menganggap bahwa tidak akan ada orang lagi yang dapat menandinginya, dan satu-satunya yang dia anggap merupakan lawan berat kiranya hanyalah Suma Han dan Ketua Pulau Neraka yang belum pernah dia jumpai.

   "Cu-wi, negara telah aman, pemerintah tidak menghendaki pertentangan. Karena itu, kalau kita orang-orang dunia kang-ouw tidak bersatu dan tidak mempunyai seorang pemimpin yang mempersatukan kita, bagaimana kita semua dapat menghadapi urusan-urusan besar? Tanpa pemimpin selalu hanya akan timbul pertentangan-pertentangan di antara kita sendiri yang mengakibatkan kehancuran dan kelemahan, juga menimbulkan banyak korban. Karena itu, lebih baik sekarang kita berhadapan secara gagah, memilih seorang Bengcu yang tepat dan korban-korban dalam perebutan dan pemilihan ini tidak akan banyak, juga yang kalah dan tewas, mati sebagai seorang gagah. Aku sudah bicara, terserah kepada Cu-wi bagaimana menghadapinya!"

   

Pendekar Super Sakti Eps 43 Pendekar Super Sakti Eps 10 Kisah Pendekar Bongkok Eps 17

Cari Blog Ini