Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 33


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 33



Hal yang benar-benar amat menarik dan membuat dia ingin sekali tahu, sungguhpun hatinya tegang dan gelisah memikirkan betapa Ketuanya yang tercinta itu bertanding melawan Pendekar Siluman yang kabarnya dapat membunuh lawan hanya dengan sinar matanya! Tang Wi Siang sadar dari lamunannya dan ia cepat memerintahkan anak buahnya untuk mengubur semua jenazah yang jatuh menjadi korban dalam pertandingan tadi. Baru saja selesai dan mereka habis mencuci kaki dan tangan, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pemuda tampan telah berdiri di depan mereka! Tang Wi Siang dan lima orang gadis cantik para pelayan pembantunya, siap menghadapi segala kemungkinan, sedangkan anak buah Thian-liong-pang bekas pengikut Milana yang tinggal tiga orang jumlahnya, menjadi kaget sekali dan cepat seorang di antara mereka berkata,

   "Tang-kouwnio, dia.... dia.... adalah putera Majikan Pulau Neraka...."

   Tang Wi Siang terkejut sekali. Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In, tidak bicara apa-apa, hanya melangkah maju menghampiri Tang Wi Siang dan lima orang gadis pelayan, matanya memandang penuh selidik lalu menengok ke kanan-kiri, seperti orang mencari-cari. Tadinya enam orang wanita itu mengira bahwa pemuda tampan yang disebut sebagai putera Majikan Pulau Neraka ini tentu mata keranjang dan seorang demi seorang, wajah para wanita ini sudah menjadi merah karena malu dan marah. Akan tetapi ketika melihat pemuda itu seperti mencari-cari, mereka menjadi heran.

   "Mana dia....?"

   Tiba-tiba Wan Keng In bertanya, pertanyaan yang ditujukan kepada mereka semua. Suaranya halus dan manis, akan tetapi mengandung sesuatu yang membuat rombongan orang Thian-liong-pang itu bergidik ngeri. Kecuali Tang Wi Siang, karena wanita ini telah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia sama sekali tidak takut berhadapan dengan orang yang dikatakan putera Majikan Pulau Neraka. Hanya seorang pemuda remaja, pikirnya.

   "Dia siapa yang kau cari?"

   Tang Wi Siang balas bertanya, suaranya dingin sekali. Biarpun pangcunya sudah berpesan agar dia tidak membawa orang-orangnya terlibat dalam pertempuran, akan tetapi kalau orang ini tokoh besar Pulau Neraka, tentu saja dia tak tinggal diam.

   "Siapa lagi? Nona cantik jelita puteri Ketua Thian-liong-pang! Di mana dia? Kalian ini bukankah orang-orang Thian-liong-pang?"

   Wan Keng In bertanya lagi.

   "Benar kami orang-orang Thian-liong-pang. Engkau ini orang Pulau Neraka mencari Nona Majikan kami, ada keperluan apakah?"

   Tang Wi Siang membentak marah.

   "Hemmm, dia harus menjadi isteriku. Dia calon isteriku!"

   "Jahanam bermulut lancang!"

   Tang Wi Siang marah sekali dan tubuhnya mencelat ka atas lalu turun menyambar dengan serangan dahsyat ke arah kepala Wan Keng In! Wanita itu memang memiliki ilmu kepandaian istimewa berdasarkan gin-kang yang luar biasa, yang diajarkan oleh Nirahai kepadanya, yaitu Ilmu Yan-cu-sin-kun. Melihat datangnya serangan yang amat cepat itu, tahu-tahu tangan kiri wanita itu memukul ke arah ubun-ubun kepalanya. Wan Keng In terkejut juga, cepat ia miringkan kepala sambil melangkah mundur. Akan tetapi, Ilmu Silat Yan-cu-si-kun (Silat Sakti Burung Walet) benar-benar hebat sekali, karena begitu pukulannya luput, dan tubuhnya melayang, cepat sekali tubuh wanita itu sudah berjungkir balik dan tahu-tahu kedua tangannya telah memukul lagi dari kanan-kiri mengarah kedua pelipis!

   "Plak-plak!"

   Wan Keng In yang kaget sekali cepat menangkis dan tangkisan itu membuat tubuh Tang Wi Siang terpelanting! Sekarang wanita inilah yang terkejut. Kiranya pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Dia cepat meloncat dan mengirim Pukulan Touw-sin-ciang (Pukulan Menembus Hati) yang mengandung sin-kang kuat.

   "Plakk!"

   Kembali Wan Keng In menangkis dan sekali ini ia mengerahkan tenaga sehingga tubuh Tang Wi Siang terbanting keras. Marahlah para anak buah Thian-liong-pang yang delapan orang banyaknya itu melihat wanita kepercayaan Ketua mereka roboh. Cepat mereka mencabut senjata dan menerjang maju, mengeroyok pemuda lihai itu. Tang Wi Siang juga sudah meloncat bangun dan mencabut pedangnya, mainkan ilmu Pedang Bu-tong Kiam-sut yang sudah disempurnakan oleh Ketuanya. Wan Keng In dikeroyok oleh sembilan orang yang semuanya bersen-jata! Namun pemuda itu sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan dia tersenyum, senyum yang membuat wajahnya makin menarik dan tampan. Dia sama sekali tidak mengeluarkan senjata, hanya meloncat ke sana-sini sambil berkata,

   "Hemm, Bibi yang cantik, engkau agaknya yang menjadi pimpinan rombongan ini. Baiklah, aku akan membiarkan kalian menghadap Ketua kalian dan katakan bahwa aku akan menyembuhkan kalian kalau puterinya dijodohkan dengan aku. Kalau tidak, kalian akan tewas dan seluruh anggauta Thian-liong-pang akan kubasmi, kecuali puteri Ketua yang harus menjadi isteriku, mau atau tidak!"

   Tentu saja kata-katanya itu membuat Tang Wi Siang dan teman-temannya menjadi marah sekali dan mereka tidak dapat menjawab saking marahnya, hanya mempercepat gerakan mereka menyerang dengan pergerahan tenaga sekuatnya. Ingin mereka mencincang hancur tubuh pemuda yang begitu kurang ajar, hendak memaksa nona mereka menjadi isterinya dan mengancam akan membasmi seluruh anggauta Thian-liong-pang kalau kehendaknya tidak dipenuhi! Mana di dunia ini ada kesombongan dan kekurangajaran yang sehebat itu? Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara tertawa seperti ringkik kuda dan tiga orang yang menyerang paling dekat dengannya tiba-tiba menjadi lemas sehingga mereka tidak mampu mengelak atau menangkis lagi ketika tangan kiri pemuda itu menepuk punggung mereka, seorang sekali.

   "Plak! Plak! Plak!"

   Tiga orang itu roboh terjungkal dan batuk-batuk, dari mulut mereka keluar darah merah. Tang Wi Siang marah sekali, menggerakkan pedangnya dan menyerbu ke arah perut pemuda itu sambil menggerakkan tangan kiri pula untuk memukul dengan mengerahkan tenaga Touw-sim-ciang ke arah dada kiri Wan Keng In. Pemuda itu mengelak sedikit untuk menghindarkan tusukan pedang, akan tetapi dia agaknya tidak tahu akan datangnya pukulan tangan kiri Wi Siang yang ampuh itu. Tang Wi Siang merasa girang sekali karena pukulannya mengenai sasaran yang tepat dan betapapun lihainya pemuda itu, pukulannya yang menembus jantung itu tentu akan merobohkahnya, atau sedikitnya melukai isi dadanya.

   "Plakkk!"

   Betapa kaget hati Wi Siang ketika telapak tangannya melekat pada dada kiri pemuda itu yang agaknya sama sekali tidak merasakan apa-apa dan bahkan kini tangan kanan pemuda itu telah mencengkeram pergelangan tangannya yang memegang pedang dan sekali memutar tubuhnya terbawa membalik dan sebuah tepukan pada punggungnya membuat Tang Wi Siang terguling, kepalanya terasa pening, tenggorokannya gatal membuat dia terbatuk-batuk dan muntahkan darah merah!

   Cepat sekali Wan Keng In bergerak, tubuhnya seperti lenyap dan beruntun ia telah menepuk punggung lima orang gadis pelayan pembantu Tang Wi Siang sehingga mereka ini hampir tidak tahu apa yang membuat mereka roboh terguling, dan terbatuk-batuk mengeluarkan darah. Sembilan orang itu, termasuk Tang Wi Siang yang amat lihai, telah roboh dan terluka oleh Wan Keng In dalam waktu beberapa menit saja! Kalau Tang Wi Siang tidak terkena pancingannya, tidak mengira bahwa pukulan Touw-sim-ciang sama sekali tidak dapat menembus kekebalan tubuh Wan Keng In dan kalau wanita itu menggunakan ilmu silatnya untuk mempertahankan diri, kiranya biarpun akhirnya dia akan roboh juga, namun sedikitnya pemuda itu harus menggunakan waktu yang lebih lama. Namun, pemuda itu cerdik sekali dan dia sudah tahu akan kelihaian Tang Wi Siang, maka dia sengaja membiarkan dirinya terpukul untuk dapat merobohkan wanita itu dalam waktu yang lebih cepat.

   "Bibi yang cantik, katakanlah kepada Ketuamu bahwa kalau dalam waktu sebulan dia tidak menerima pinanganku dan tidak mengumumkan bahwa puterinya telah menjadi tunangan Wan Keng In dari Pulau Neraka, kalian akan mati dan aku akan datang sendiri ke sana untuk mengambil calon isteriku dan membasmi Thian-liong-pang. Akan tetapi kalau dia menerima pinanganku, Thian-liong-pang akan menjadi perkumpulan yang terkuat di dunia ini karena bantuanku!"

   Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, bayangan pemuda itu lenyap dari dalam hutan. Tang Wi Siang cepat meloncat bangun, menahan rasa nyeri di dalam dadanya. Ia melihat bahwa semua anak buahnya sudah dapat berdiri akan tetapi menyeringai tanda bahwa mereka pun menderita nyeri. Tahulah dia bahwa mereka semua telah terluka di sebelah dalam tubuh oleh tepukan pada punggung tadi.

   "Buka bajumu!"

   Katanya kepada seorang anggauta Thian-liong-pang pria yang tadi telah dirobohkan. Orang itu membuka bajunya, setelah diperiksa ternyata di punggungnya terdapat bekas jari yang berwarna merah!

   "Hemmm, pukulan beracun, seperti yang kuduga,"

   Kata Tang Wi Siang yang memang sudah menduga bahwa tokoh Pulau Neraka itu tentu menggunakan pukulan beracun.

   "Manusia sombong itu! Apa dikira Pangcu kita tidak akan dapat menyembuhkan pukulan beracun macam ini saja? Hayo, kita cepat pulang menyusul Pangcu, membuat laporan agar Pangcu dapat mengobati kita dan mencari si keparat itu untuk diberi hajaran!"

   Biarpun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Tang Wi Siang merasa gelisah dan tegang sekali karena dari pertandingan tadi saja dia sudah maklum bahwa pemuda itu benar-benar memiliki kesaktian yang amat luar biasa! Dengan perasaan tertekan sembilan orang itu melakukan perjalanan tergesa-gesa dan tanpa mengeluarkan kata-kata menyusul Ketua mereka, pikiran mereka tidak pernah terlepas dari tanda tiga buah jari merah yang menempel di punggung mereka dan tersembunyi di bawah baju masing-masing.

   "Hu-hu-huukkk....!"

   Milana tak dapat menahan kesedihan hatinya lagi ketika dia sudah berdua saja dengan Pendekar Super Sakti di atas punggung burung rajawali yang terbang tinggi menembus awan.

   Mula-mula dia merasa bahagia sekali dapat duduk membonceng ayah kandungnya di atas punggung rajawali itu, hal yang sudah lama dia impi-impikan. Akan tetapi dia teringat kembali kepada ibunya, teringat akan peristiwa antara ibu dan ayahnya, akan permusuhan antara ibu dan ayahnya dan akan rahasia ibunya yang tidak diketahui ayahnya. Bagaimana dia dapat bergembira biarpun kini dia dapat membonceng ayah kandungnya kalau ayahnya itu tidak mengenal dan dia tidak boleh memperkenalkan diri? Dia tidak akan memperkenalkan diri sebagai Milana, sebagai puteri Pendekar Super Sakti ini, demi menjaga rahasia ibunya. Betapapun juga dia harus membela ibunya! Dan dia pun kini mendapat kesempatan untuk mengenal dari dekat orang macam apakah yang menjadi ayah kandungnya ini.

   "Eh, Nona mengapa engkau menangis?"

   Tiba-tiba Suma Han bertanya kepada dara yang duduk di depannya, membelakanginya ketika ia mendengar dara itu terisak.

   "Apakah setelah menjadi tawananmu, aku tidak boleh menangis?"

   Milana bertanya tanpa menoleh.

   "Hemm.... wanita dan tangis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tentu saja engkau boleh menangis, akan tetapi kurasa, sebagai puteri seorang ketua perkumpukan besar macam Thian-liong-pang, amatlah memalukan kalau harus memperlihatkan kekecilan hati dan menjadi seorang yang cengeng."

   Rasa panas membubung ke dada Milana dan dia menggigit bibir, mengusir sisa tangis yang berada di dalam dadanya.

   "Aku tidak cengeng! Aku tidak kecil hati!"

   Bantahnya. Suma Han yang duduk di belakangnya, tersenyum.

   Dia maklum bahwa tentu puteri Ketua Thian-liong-pang ini membencinya dan menganggapnya musuh, akan tetapi semenjak tadi, dia sudah melihat perbedaan watak yang besar sekali antara Ketua Thian-liong-pang dan puterinya ini. Gadis ini sama sekali tidak berwatak kejam, liar dan ganas seperti ibunya. Sebaliknya dara ini mempunyai watak lembut, terbukti dari isak-nya dan pencelaannya kepada ibunya ketika berada di hutan tadi. Kini, kembali tampak sifat halusnya dengan isak yang tertahan-tahan akan tetapi betapapun juga, ada setitik darah ibunya sehingga dara ini melawan perasaan sendiri dan kini berpura-pura memperlihatkan sikap keras seperti sikap ibunya! Ahh, betapa terbuka keadaan hati dan pikiran dara ini baginya sehingga biarpun dara itu duduk membelakanginya dan dia tidak dapat melihat wajahnya yang memang belum diperhatikannya benar-benar, dia sudah dapat menjenguk isi hati dan mengenal wataknya!

   "Kalau begitu mengapa menangis?"

   Ih, betapa halus suara ayahnya! Orang yang mempunyai suara halus dan menggetarkan perasaan yang halus pula itu tak mungkin seorang jahat, biarpun dijuluki Pendekar Siluman sekalipun! Bagaimana ibunya mencacinya sebagai seorang yang pengecut, tidak berjantung, tiada perasaan?

   "Kenapa engkau menawan aku? Apakah benar untuk menekan Thian-liong-pang agar tidak membantu pemerintah membasmi para pengacau dan pemberontak lagi?"

   Milana merasa betapa orang yang duduk di belakangnya itu menghela napas panjang. Ingin sekali dia menengok dan memandang wajah yang menimbulkan rasa sayang dan kagum di dalam hatinya itu, ingin melihat tarikan muka itu dan sinar mata yang aneh itu. Akan tetapi, pada saat itu dia sedang bersandiwara, harus beraksi seperti orang yang asing sama sekali, yang tidak mengenal Pendekar Super Sakti, maka tidak akan sopanlah sebagai seorang gadis tertawan kalau dia ingin memandang muka pria yang menawan.

   "Nona, biarlah engkau mendengar hal yang sesungguhnya. Bukan menjadi pendirianku untuk mempergunakan cara pemerasan seperti ini, untuk menggunakan seorang gadis muda sebagai alat un-tuk menekan Thian-liong-pang. Cara ini, tepat seperti pendapat ibumu, adalah cara seorang pengecut. Kalau memang aku berniat menentang Thian-liong-pang, tentu akan kupergunakan cara laki-laki, yaitu langsung menentangnya dan menghadapinya seperti seorang gagah, tinggal melihat hasilnya, menang atau kalah. Akan tetapi, setelah aku melihatmu di sana tadi.... hemm, aku berpendapat lain dan aku menawanmu dengan maksud lain pula...."

   Berdebar keras jantung Milana dan dia menarik tubuh ke depan agar orang yang berada di belakangnya itu jangan sampai tahu debar jantungnya. Dia lupa bahwa yang duduk di belakangnya adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga pendengarannya sudah amat tajam, dapat membedakan debar jantung yang berubah, apalagi dari jarak demikian dekat! Ayah kandungnya ini menawannya bukan untuk dipergunakan sebagai sandera, bukan untuk memeras dan menekan Thian-liong-pang! Habis untuk apa?

   "Maksud apalagi kalau bukan untuk menekan Ibuku?"

   Tanyanya, menekan hatinya agar suaranya terdengar biasa. Tentu saja Suma Han dapat membedakan pula suara menggetar yang terbawa oleh perasaan tegang itu, dan dia tersenyum, menduga tentu gadis ini mengira bahwa dia mempunyai niat yang bukan-bukan!

   "Ketika aku melihatmu di sana tadi, timbul rasa kasihan di hatiku. Betapa seorang gadis muda yang berdasarkan watak halus dan hati penuh welas asih dan mulia, bergelimang dalam perbuatan-perbuatan rendah yang dilakukan oleh Thian-liong-pang! Kalau dibiarkan saja, akhirnya tentu anak itu akan menjadi rusak dan menjadi seorang wanita yang kejam, liar, ganas dan berwatak iblis, seperti ibunya yang menjadi Ketua Thian-liong-pang! Karena itu, timbul niatku untuk membawamu pergi dari lingkungan kotor ini!"

   Tiba-tiba Milana menoleh dan matanya terbelalak penuh kemarahan.

   "Tidak! Biarkan aku kembali! Aku tidak peduli, aku lebih senang kalau menjadi seperti Ibu! Dia tidak jahat, engkaulah yang jahat dan kejam! Engkau membiarkan Ibuku merana dan sengsara dalam hidupnya!"

   "Hahhh....? Apa maksudmu? Aku membikin Ibumu hidup sengsara?"

   Milana terkejut sendiri. Dia telah kelepasan bicara. Cepat ia memutar otak mencari alasan.

   "Tentu saja engkau telah menculik aku, anaknya, bagaimana Ibu tidak merasa sengsara dalam hidupnya memikirkan keselamatanku?"

   "Ah, begitukah? Kalau dia masih mempunyai perasaan seperti seorang ibu biarlah dia sadar bahwa dalam hidupnya, jauh lebih penting memikirkan masa depan puterinya daripada melampiaskan nafsu kemurkaan melalui Thian-liong-pang. Biarlah dia menderita agar dia sadar. Kalau dia sudah sadar, aku pun tentu saja tidak akan suka memisahkan seorang anak dari ibu kandungnya."

   Setelah berkata demikian, Suma Han menepuk leher rajawali dan menekan berat tubuhnya ke kiri sehingga burung itu segera menukik ke kiri dan meluncur turun. Burung itu meluncur cepat sekali sehingga biarpun Milana telah memiliki kepandaian tinggi, dia merasa pening dan ngeri juga. Akan tetapi di depan penawannya, atau bahkan ayah kandungnya, dia tidak mau memperlihatkan kelemahannya, dan untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya, dia bertanya,

   "Engkau mau membawa aku ke mana?"

   "Engkau takut?"

   Wah, ayahnya ini benar-benar amat waspada!

   "Tidak!"

   Jawabnya, akan tetapi suaranya gemetar juga ketika ia melirik ke bawah dan melihat seolah-olah dia dibawa jatuh ke bawah dengan kecepatan mengerikan!

   "Jangan takut, menunggang burung ini lebih aman daripada menunggang seekor kuda."

   Milana tidak menjawab lagi karena percuma saja dia hendak menyembunyikan rasa ngerinya. Setelah penculiknya tahu, tidak lagi berpura-pura dan untuk mengusir rasa takutnya, dia memegangi tangan Pendekar Super Sakti yang membiarkannya saja sambil diam-diam tersenyum karena Suma Han maklum betapa ngeri dan takutnya menunggang burung rajawali, apalagi kalau menukik turun, bagi seorang yang belum bisa. Dia sendiri ketika mula-mula menunggang burung garuda di Pulau Es, juga berkunang-kunang dan merasa ngeri! Burung itu hinggap di atas tanah di luar sebuah dusun. Suma Han meloncat turun diikuti oleh Milana. Suma Han lalu mendorong tubuh burung rajawali itu sehingga terlempar ke atas dan burung itu segera terbang tinggi.

   "Mengapa kita turun di sini? Engkau hendak membawaku ke mana?"

   Sambil membalikkan tubuhnya rnenghadapi gadis itu Suma Han menjawab,

   "Kita akan pergi ke...."

   Tiba-tiba Suma Han tidak melanjutkan kata-katanya dan dia berdiri dengan mata terbelalak dan mulut agak terbuka seperti terkena pesona ketika memandang wajah dara itu. Baru sekarang dia dapat melihat wajah Milana dengan jelas dan dari jarak dekat. Mulut itu! Mata itu! Mata yang mengandung sinar seolah-olah dua ujung pedang yang amat runcing menusuk sampai ke lubuk hati! Mata dan mulut yang sangat dikenalnya, tidak asing sama sekali baginya, akan tetapi selama hidupnya baru sekali ini dia berjumpa dengan puteri Ketua Thian-liong-pang!

   "Kau.... kau kenapa, Paman?"

   Milana bertanya. Suaranya yang halus itu menyadar-kan Suma Han. Dia menarik napas panjang lalu menggunakan kedua telapak tangannya untuk menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggosok seluruh mukanya terus ke leher dan ke tengkuknya yang dirasakan meremang tanpa dia ketahui sebabnya.

   "Aaahhh.... tidak apa-apa...."

   Dia menghindarkan pandang matanya bertemu dengan sinar mata gadis itu dan tidak ingin lagi memandang wajah itu lama-lama karena merasa aneh dan.... ngeri!

   "Aku hendak membawamu ke kota raja."

   "Ke kota raja? Mengapa ke sana, Paman? Apakah engkau sekarang tinggal di kota raja setelah.... setelah.... kudengar...."

   Karena Pulau Es merupakan tempat tinggal ayah kandungnya, tempat yang sudah lama ia rindukan, maka mendengar betapa pulau itu dibakar, Milana merasa terkejut dan duka, maka sekarang dia pun merasa sukar untuk melanjutkan kata-katanya.

   "Setelah Pulau Es dibakar? Tidak, aku tidak tinggal di kota raja atau di mana pun."

   "Jadi, engkau sekarang tidak mempunyai tempat tinggal, Paman?"

   Suma Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam merasa betapa aneh keadaan mereka berdua itu. Dia adalah penculik dan gadis itu yang diculik dan ditawannya, akan tetapi mereka bercakap-cakap seperti seorang paman dan keponakannya saja, saling bersimpati dan saling menaruh kasihan!

   "Kalau begitu, ke mana Paman hendak ke kota raja?"

   "Aku akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah membakar Pulau Es dan Pulau Neraka, dan aku akan merampas kembali Pedang Hok-mo-kiam...."

   "....yang dicuri oleh Pendeta Iblis Maharya dan muridnya?"

   "Eh, bagaimana engkau bisa tahu?"

   Tiba-tiba Suma Han bertanya dan kembali dia merasa jantungnya seperti diguncang ketika memandang wajah yang cantik jelita luar biasa itu. Ingin rasanya Milana menampar mulutnya sendiri karena kelepasan bicara itu.

   "Siapa yang tidak tahu, Paman? Hal itu sudah diketahui di dunia kang-ouw, dan aku mendengar dari Ibuku."

   Suma Han tidak merasa heran. Peristiwa itu diketahui oleh orang lain, juga oleh Gak Bun Beng. Andaikata pemuda itu tidak membicarakannya di luar, bisa jadi saja kalau Tan-siucai atau Gurunya membual bahwa mereka telah merampas Hok-mo-kiam dari tangan Pendekar Super Sakti sehingga peristiwa itu diketahui oleh Ketua Thian-liong-pang yang lihai dan berpengaruh.

   "Hemm, begitukah? Benar, pedang itu akan kurampas kembali dari tangan mereka. Aku mendengar bahwa kini mereka pun membantu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan berada di kota raja."

   "Wah, Paman hendak mencari banyak musuh di kota raja. Bagaimana dengan aku?"

   "Engkau ikut saja denganku, tidak akan ada yang berani mengganggu."

   "Habis, untuk apa aku ikut kalau hanya disuruh menonton? Apakah Paman.... ingin supaya aku membantu Paman itu?"

   Suma Han tertawa. Bocah ini sungguh menyenangkan hatinya. Sikapnya begitu halus dan wajar, sedikitpun juga tidak memperlihatkan sikap bermusuhan padahal jelas bahwa dia telah membawanya secara paksa!

   "Tidak, Nona. Engkau ikut saja denganku dan di waktu terluang, aku akan mengajarkan ilmu kepadamu."

   Hampir saja Milana bersorak saking girang hatinya. Di antara hal-hal yang amat dirindukan adalah belajar ilmu dari ayah kandungnya, dari Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang terkenal di seluruh jagad! Akan tetapi dia menahan diri dan hanya kelihatan betapa bibirnya yang merah dan berbentuk kecil mungil indah itu merekah dalam senyum, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak dan bersinar-sinar penuh keriangan hati. Hal ini tidak lepas dari pandangan mata Suma Han sehingga diam-diam pendekar ini merasa terharu dan timbul rasa suka yang mendalam di hatinya terhadap gadis ini, timbul pula niat hatinya untuk menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi kepadanya!

   "Terima kasih, Paman. Engkau baik sekali!"

   "Ha-ha-ha...!"

   Suma Han sendiri sampai terkejut. Bertahun-tahun sudah dia tidak pernah tertawa. Akan tetapi kini, tanpa disadarinya, dia telah tertawa begitu bebas, suara ketawa yang langsung keluar dari dalam hatinya. Bocah ini telah menciptakan sesuatu yang amat aneh dalam hatinya!

   "Paman, kenapa kau tertawa?"

   "Aku.... tertawa....? Ahhh, karena mendengar ucapanmu yang lucu tadi, Nona. Kau bilang aku baik sekali padahal aku adalah penculikmu!"

   "Biarpun begitu, sikapmu amat baik kepadaku, Paman dan aku suka ikut bersamamu. Aku merasa bahwa dengan ikut padamu, aku akan mengalami hal-hal yang hebat, dan lagi, menerima pelajaran ilmu dari Pendekar Super Sakti merupakan hal yang amat menyenangkan sekali. Bagaimana aku tidak menjadi gembira dan menganggap Paman seorang yang amat baik? Nanti kalau bertemu dengan Ibu aku akan meyakinkan hatinya betapa baiknya budi pekerti Paman."

   Suma Han menghela napas.

   "Aaahh.... kalau ada yang menganggap baik tentu ada yang menganggap sebaliknya, yaitu jahat. Dan aku sendiri tidak tahu siapa yang lebih benar di antara mereka yang menyebut baik dan mereka yang menyebutku jahat."

   "Bagaimana ini? Aku tidak mengerti, Paman?"

   "Tak usah kau pikirkan. Jangan merusak hatimu yang masih polos itu dengan teka-teki hidup yang tiada habisnya, juga tiada gunanya. Eh, Nona, engkau kuanggap sebagai muridku atau sebagai.... keponakanku sendiri.... ehhh, aku jadi teringat kepada Kwi Hong! Ke mana gerangan perginya bocah bengal yang sukar diurus itu?"

   "Kwi Hong? Apakah Paman maksudkan bahwa keponakan Paman yang bernama Kwi Hong pergi tanpa pamit?"

   Suma Han mengangguk.

   "Bocah itu nakal bukan main. Dia pergi merantau tidak menggelisahkan karena ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk menjaga diri. Akan tetapi, dia membawa pergi pedang Li-mo-kiam, itulah yang menggelisahkan hatiku...."

   Tiba-tiba Milana meloncat kaget.

   "Aihhh....! Kalau begitu diakah....?"

   Terbayang olehnya seorang gadis yang telah menyelamatkannya ketika ia hampir saja tertawan oleh Wan Keng In, seorang gadis yang keluar dari dalam peti mati, dan yang memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kilat! Gadis itu pula yang telah mengacau di rumah penginapan, menyelidiki keadaan rombongan Thian-liong-pang! Ahh, mengapa dia begitu pelupa? Tentu gadis perkasa itu Kwi Hong!

   "Heiii! Apa engkau pernah bertemu dengannya?"

   Suma Han bertanya kaget. Milana mengangguk, belum berani membuka mulut karena dia harus menekan perasaannya yang terguncang. Bertemu dengan Kwi Hong dan dia tidak mengenalnya, apakah Kwi Hong juga tidak mengenalnya ketika menyelidiki rumah penginapan? Dan apakah Kwi Hong baru mengenalnya ketika turun tangan menolongnya?

   "Aku pernah bertemu dengan seorang gadis cantik yang membawa pedang bersinar kilat, Paman. Dia pernah menyelidiki rombongan Thian-liong-pang, hampir tertangkap olehku, akan tetapi dia lihai sekali dan dapat meloloskan diri. Kemudian, dia muncul pula bersama orang-orang Pulau Neraka!"

   "Ah, kalau begitu bukan Kwi Hong! Tak mungkin dia bersama orang-orang Pulau Neraka."

   "Akan tetapi dia telah menolongku ketika aku hampir tertawan oleh pemuda iblis, putera Majikan Pulau Neraka."

   "Apa? Coba kau ceritakan yang jelas, Nona."

   Dengan singkat Milana menceritakan bentrokan yang terjadi antara rombongan Thian-liong-pang yang dipimpinnya melawan rombongan Pulau Neraka.

   "Mula-mula pihak kami sudah mendekati kemenangan, lalu tiba-tiba muncul pemuda iblis yang lihai itu. Aku hampir saja tertawan olehnya, kemudian muncul gadis itu dari dalam peti mati dan dengan sebatang pedang yang bersinar kilat, dia telah menyelamatkan aku dengan membabat putus tali sutera yang mengikatku. Karena aku maklum bahwa tempat itu berbahaya bagi rombonganku, aku lalu mengajak rombonganku segera pergi meninggalkan tempat itu."

   "Dan gadis itu bagaimana?"

   "Entah, Paman. Ketika aku pergi, dia sedang bertanding dengan hebatnya melawan pemuda iblis yang juga memegang sebatang pedang yang bersinar kilat!"

   "Hemmm, Sepasang Pedang Iblis....!"

   Suma Han berkata perlahan sambil mengerutkan alisnya. Milana sudah mendengar dari Gak Bun Beng betapa sepasang pedang itu telah ditemukan Bun Beng. Li-mo-kiam, pedang betina, diberikan oleh Bun Beng kepada Kwi Hong sedangkan yang jantan, Lam-mo-kiam, terampas oleh Wan Keng In putera Majikan Pulau Neraka. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu karena kalau dia menyebut Bun Beng, tentu ayah kandungnya itu akan mengenal dan dengan demikian, rahasia ibunya terbongkar.

   "Apakah benar dia itu keponakanmu, Paman?"

   "Agaknya begitulah. Dan dia tentu terancam bahaya...."

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suma Han menggeleng kepala.

   "Akan tetapi, dia keluar dari sebuah peti mati, katamu? Hemm.... kalau begitu dia bukan Kwi Hong."

   Di dalam hatinya, Milana sekarang merasa yakin bahwa gadis yang meloncat keluar dari peti mati itu pasti Kwi Hong. Setelah diingatkan, kini dia dapat membayangkan wajah gadis itu dan dia merasa yakin bahwa gadis itu, juga gadis yang pernah dia "lasso"

   Kakinya di atas genteng di rumah penginapan, tentu Giam Kwi Hong orangnya! Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan, isi hatinya itu.

   "Nona, kulanjutkan pertanyaanku yang tadi terganggu oleh persoalan Kwi Hong yang bengal. Aku hendak bertanya, siapakah namamu, Nona?"

   Terkejut juga hati Milana mendengar pertanyaan ini. Ayahnya, ayah kandungnya sendiri, menanyakan namanya. Tidakkah amat ganjil ini? Ingin ia berteriak menyebutkan namanya, berteriak mengaku bahwa dia adalah puteri Si Pendekar itu sendiri, ingin ia menangis dan mencela ayahnya yang seolah-olah tidak mempedulikan anaknya! Akan tetapi Milana terpaksa harus menekan keinginan hatinya ini karena dia harus melindungi rahasia ibunya. Entah mengapa ibunya menyembunyikan diri di balik kerudungnya itu, dia sendiri tidak tahu. Entah mengapa ibunya tidak mau berbaik dengan ayahnya, tidak mau mengaku bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah ibunya, dia sendiri tidak tahu. Betapapun juga, dia harus membela ibunya, harus melindungi rahasianya.

   "Paman, panggil saja aku.... Alan...."

   "Hemmm, nama palsu, ya?"

   Milana mengangguk.

   "Maaf, Paman. Aku tidak boleh memperkenalkan namaku kepadamu...."

   "Aku mengerti. Ibumu selalu bersembunyi di balik kerudung, penuh rahasia, tentu anaknyapun penuh rahasia pula. Tidak mengapalah, Alan, aku akan menyebutmu Alan seperti yang kau kehendaki. Mari kita melanjutkan perjalanan ke kota raja."

   "Kenapa tidak menunggang rajawali saja, tidak melelahkan dan lebih cepat?"

   Milana membantah karena memang amat menyenangkan hatinya menunggang rajawali itu, berboncengan dengan ayahnya.

   "Tidak, Alan. Dari sini ke kota hanya perjalanan tiga empat hari saja dan melalui banyak dusun dan kota. Kalau kita menunggang rajawali, tentu akan menarik banyak perhatian orang."

   "Dan burung itu sendiri bagaimana?"

   "Dia sudah jinak dan dia akan mengikuti aku dari angkasa. Setiap kali kubutuhkan, kupanggil tentu dia datang."

   "Sungguh menyenangkan sekali mempu-nyai binatang peliharaan seperti itu, Paman. Akan tetapi.... aku pernah mendengar bahwa binatang peliharaan Paman di Pulau Es bukan rajawali, melainkan garuda putih."

   Suma Han menghela napas teringat akan dua ekor burung garudanya.

   "Mereka telah tewas di tangan orang-orang yang merampas Hok-mo-kiam. Burung rajawali ini pun dari Pulau Neraka, aku temukan dalam keadaan ketakutan karena Pulau Neraka dibakar. Aku dapat menundukkannya dan sekarang dia sudah jinak dan penurut."

   Demikianlah, dua orang itu berjalan memasuki dusun sambil bercakap-cakap. Mereka kelihatan begitu rukun, sama sekali tidak pantas sebagai seorang yang ditawan dan penawannya, lebih patut sebagai keluarga. Namun, hanya Milana seorang yang tahu bahwa mereka adalah anak dan ayah, ayah kandung! Dua hari kemudian, mereka telah tiba di tapal batas, kota raja hanya tinggal lima puluh li jauhnya, perjalanan setengah hari.

   Karena mereka datang dari arah utara, mereka melalui daerah yang agak tandus dan pada pagi hari itu, mereka beristirahat di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipakai lagi, di luar sebuah dusun. Suma Han mengeluarkan bungkusan roti kering yang tinggal dua potong dan sebuah guci terisi air yang diisi penuh dalam perjalanan tadi. Tanpa bicara dia menyerahkan sepotong roti kering kepada gadis itu, yang diterimanya tanpa berkata-kata pula, akan tetapi tidak segera dimakannya karena Milana kini duduk sambil memandang ayah kandungnya. Pendekar Sakti itu duduk bersandar dinding butut, kaki tunggalnya ditekuk bersila, tongkat melintang di atas pahanya, tangan kiri memegang roti kering sepotong. Melihat gadis itu tidak segera makan rotinya, dia berkata,

   "Tinggal ini roti bekalku, akan tetapi perjalanan sudah dekat. Makanlah, Alan."

   Namun dara itu tidak mau makan rotinya dan melihat betapa ayah kandungnya itu makan roti kering, kelihatan dipaksakan dan seret melalui kerongkongan, hatinya menjadi terharu sekali.

   "Paman, kasihan sekali engkau, hanya makan roti kering tawar dan air! Aku pandai masak, Paman. Aku ingin memasakkan yang enak-enak untuk kau makan."

   Suma Han menunda makannya, memandang dara itu dengan heran dan tersenyum.

   "Engkau aneh sekali. Di tempat sunyi seperti ini, andaikata pandai masak sekalipun, apa yang hendak dimasak? Bahannya tidak ada, bumbu-bumbunya pun tidak ada, yang ada hanya bahan bakar dan api!"

   "Di selatan sana sudah tampak sebuah dusun, tentu ada yang menjual bahan dan bumbu. Kalau Paman percaya kepadaku, aku akan ke sana membeli bahan kemudian akan kumasakkan yang enak untuk Paman."

   "Percaya? Tentu saja aku percaya kepadamu, Alan."

   Wajah Milana berseri dan ia meloncat bangun.

   "Benarkah Paman percaya kepadaku? Terima kasih, Paman. Aku akan pergi dulu mencari bahan masakan!"

   Gadis itu membalikkan tubuh dan berlari keluar dari kuil tua.

   "Heiii, Alan! Nanti dulu!"

   Dara itu berhenti, menengok dan memandang dengan wajah kecewa.

   "Paman takut kalau aku melarikan diri?"

   Suma Han tersenyum, menggeleng kepala dan mengeluarkan sebatang pedang dari buntalannya.

   "Aku percaya kepadamu, akan tetapi kau bawalah pedang ini untuk membela diri kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan."

   Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Milana. Ayah kandungnya, biarpun belum tahu bahwa dia adalah puterinya, sudah menaruh kepercayaan dan menaruh sayang kepadanya! Cepat ia berlari menghampiri pendekar itu menerima pedang dan menjura,

   "Terima kasih, Paman. Engkau baik sekali, selain percaya bahwa aku tidak akan melarikan diri, juga engkau ingat akan keselamatanku."

   Ia memandang pedang di tangannya, mencabut dari sarungnya dan berseru girang.

   "Ah, pedang pusaka yang indah! Pedang pusaka apakah ini, Paman?"

   "Namanya Pek-kong-kiam, dahulu menjadi pegangan keponakanku. Akan tetapi sekarang dia tidak memerlukannya lagi. Pergilah, Alan, dan hati-hatilah."

   Alan mengangguk, memasangkan pedang di pinggangnya kemudian berlari-lari kecil meninggalkan kuil itu, dipandang oleh Suma Han dengan bengong. Setelah bayangan dara itu lenyap, dia menarik napas panjang.

   "Ahhh, Suma Han, apakah engkau benar-benar memiliki dasar watak yang kotor? Mengapa engkau seperti tergila-gila kepada dara itu?"

   Ingin pendekar sakti ini menempiling kepalanya sendiri. Ada sesuatu dalam diri dara itu yang amat menarik hatinya, seperti besi sembrani menarik besi! Ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat dia merasa suka sekali, merasa ingin sekali berdekatan selalu, memandang wajah jelita itu, melihat senyum yang cerah dan mata yang lebar seperti matahari kembar itu. Seolah-oleh dia berhadapan dengan seorang yang sudah lama sekali dikenalnya, yang amat dekat dengan hatinya, seolah-olah ada perasaan yang memenuhi hatinya bahwa sudah semestinya dan sewajarnya kalau gadis itu selalu berada di dekatnya!

   "Keparat!"

   Suma Han menepuk tanah di depannya.

   "Aihhh, Nirahai.... Lulu.... kalianlah yang membuat aku menjadi begini! Aku rindu kepada kalian, rindu akan kasih sayang wanita sehingga begitu bertemu dengan gadis ini aku seperti orang tergila-gila!"

   Ia mengeluh lalu duduk termenung.

   "Apakah yang harus kulakukan agar aku dapat berkumpul kembali dengan Nirahai? Dengan Lulu?"

   Nirahai adalah isterinya, yang ia cinta dan yakin bahwa isterinya itu pun mencintanya. Akan tetapi mengapa sikap Nirahai seaneh itu? Mengapa? Dan Lulu? Dia mencinta adik angkatnya itu, mencintanya dengan sepenuh hatinya, bukan cinta saudara, melainkan cinta seorang pria terhadap wanita yang pertama kali merebut kasihnya. Terkenang dia akan ucapan-ucapan Lulu ketika mereka bertemu di Pulau Neraka.

   "Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua kenyataan dalam hidupku. Menjadi isterimu atau menjadi musuhmu!"

   Demikianlah kata Lulu yang masih menggores di hatinya. Tentu saja dia sukar untuk dapat menerima tuntutan Lulu yang selain menjadi adik angkatnya, juga sudah menikah dengan orang lain biarpun kini sudah menjadi janda, dan mengingat bahwa dia sudah menjadi suami Nirahai! Karena penolakannya, Lulu memusuhinya, sesuai dengan sumpahnya! Akan tetapi, sekarang Pulau Neraka telah dibakar pemerintah, bagaimana nasib wanita yang menjadi cinta pertamanya itu? Bagaimana pula nasib Nirahai? Aihh, sikap Nirahai yang amat aneh, sama anehnya dengan sikap Lulu. Masih terngiang di telinganya suara isterinya itu penuh dengan kemarahan,

   "Kini aku tidak sudi menyembah-nyembah minta kau bawa! Dan hanya dengan paksaan saja engkau akan dapat membawaku ke Pulau Es. Dengan paksaan, kau dengar? Aku sudah cukup menderita dan sakit hati karena kau biarkan, seolah-olah aku bukan isterimu. Engkau laki-laki lemah, kejam dan canggung!"

   Suma Han kembali menarik napas panjang menundukkan muka dan menyangga kepalanya dengan kedua tangan, seolah-olah kepalanya tiba-tiba menjadi amat berat begitu dia terkenang kepada Lulu dan Nirahai. Apa yang harus dia lakukan agar mereka berdua, wanita-wanita yang dicintanya itu dapat berada di sampingnya, menyegarkan rasa dahaga yang selama ini dia derita, menyembuhkan sakit rindu yang selama ini membuat hidupnya tanpa gairah, memenuhi sisa hidupnya dengan kebahagiaan sebagai penebus kesengsaraan yang sudah amat lama dirasakannya?

   "Ahh, Lulu...., Nirahai....!"

   Suma Han merasa jantungnya seperti diremas-emas. Memang demikianlah manusia pada umumnya. Selama hidupnya, semenjak dia mulai mengerti, manusia telah kehilangan kebebasan dan kewajarannya. Mulailah datang kesengsaraan bersama dengan pengertian itu! Mulailah manusia dicengkeram dan dikurung dalam sangkar yang berupa pikiran, berupa gagasan yang dibentuk semenjak dia mengerti. Segala macam gerak dan langkah hidup ditentukan oleh gagasan, oleh pikiran yang bukan lain adalah Sang Aku yang penuh dengan loba, dengki, iri, takut, khawatir, yang kesemuanya timbul karena iba diri, sayang diri yang didorong rasa takut kehilangan kesenangan, kehilangan ketenteraman.

   Suma Han adalah seorang pendekar besar, pendekar sakti, yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Namun semua itu hanyalah duniawi, lahiriah belaka. Karena itu ilmu kepandaiannya tidak akan dapat membebaskan dia daripada duka dan khawatir. Dia berduka mengenakan dua orang wanita yang dicintanya, dan dia khawatir kalau-kalau sisa hidupnya akan tetap merana seperti yang dirasakannya selama ini. Dua orang wanita yang dia tahu amat mencintanya, akan tetapi yang karena keadaan tidak dapat hidup berdampingan dengannya. Karena keadaankah? Ataukah karena jalan pikiran antara mereka yang tidak cocok? Ataukah mereka berdua yang aneh, apakah dia sendiri yang tidak pandai menundukkan hati wanita?

   Akan tetapi semenjak masih setengah dewasa dahulu, Lulu selalu menurut akan semua kata-katanya! Mengapa sekarang berbeda? Ah, tentu saja berubah, pikirnya. Dahulu Lulu mentaati segala kata-katanya karena merasa sebagai adik angkatnya, sekarang.... wanita itu cintanya sebagai seorang wanita terhadap seorang pria. Teringat akan Lulu, terbayanglah dia akan pertemuannya dengan Lulu di Pulau Neraka, teringat pula tentang Pulau Neraka yang telah dibumihanguskan, dan akan burung rajawali Pulau Neraka yang berhasil ia taklukkan dan jinakkan. Rajawali! Dia terkejut karena tidak melihat burung itu ketika ia tiba-tiba menengadah. Tadi masih tampak burung itu beterbangan di atas kuil, kadang-kadang menyambar turun di depan kuil. Akan tetapi sekarang tidak tampak.

   Suma Han mencelat keluar mencari-cari burung itu dengan pandang matanya. Namun tetap saja tidak tampak bayangan burung itu. Suma Han menjadi curiga, lalu mengeluarkan suara melengking nyaring. Suara yang keluar dari dadanya, dengan pengerahan khi-kang sehingga suara panggilan itu bergema sampai jauh sekali. Setelah mengeluarkan suara melengking sampai tiga kali berturut-turut, Suma Han diam tak bergerak menanti jawaban. Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara burung itu, bukan sebagai jawaban panggilan, melainkan suara memekik kemarahan! Dia merasa heran sekali. Suara burung seperti itu hanya dikeluarkann kalau burung itu berhadapan dengan musuh atau terancam bahaya, atau sedang kesakitan!

   Khawatir kalau burung itu terancam bahaya, Suma Han lalu mempergunakan kepandaiannya, tubuhnya berloncatan cepat sekali seperti terbang. Dia tidak memasuki dusun di sebelah selatan kuil karena suara burung itu datangnya dari arah kiri dan kini sudah tampak olehnya dari jauh burungnya sedang bertempur melawan seekor burung lain! Burungnya terdesak karena burung rajawali lainnya yang menjadi lawan itu bertubuh lebih besar. Suma Han mempercepat loncatan-loncatannya mendaki sebuah anak bukit dan tiba-tiba ia berdiri dengan jantung berdebar tegang, matanya tidak lagi memandang ke arah burungnya yang sedang bertempur, melainkan ke bawah karena di situ terjadi pertandingan lain yang lebih menegangkan hatinya.

   Dia melihat Alan, gadis tawanannya, puteri Ketua Thian-liong-pang itu, sedang bertempur melawan seorang pemuda jangkung yang lebih lihai sekali, ditonton oleh beberapa orang yang mukanya beraneka warna. Anak buah Pulau Neraka! Alan mempergunakan Pek-kong-kiam, menyerang dengan gerakan yang cepat sekali sehingga tubuh dara itu lenyap terbungkus sinar pedangnya sendiri yang bergulung-gulung dan berwarna putih. Akan tetapi, pemuda jangkung itu menghadapinya dengan kedua tangan kosong dan kelihatan bersilat seenaknya saja! Dengan beberapa loncatan tinggi, tubuh Suma Han mencelat dan hinggap di atas atap sebuah podok tua yang berdiri tak jauh dari tempat pertandingan. Jantungnya makin berdegup tegang ketika melihat wajah pemuda tampan itu. Wajah itu mirip sekali dengan mendiang Wan Sin Kiat, suami Lulu!

   Melihat betapa di situ hadir enam orang yang mukanya berwarna merah muda dan hijau pupus, mudah saja bagi Suma Han untuk menduga, siapa adanya pemuda ini. Tentu inilah Wan Keng In, putera Ketua Pulau Neraka, putera Lulu dan mendiang Wan Sin Kiat! Bukan main hebatnya gerakan pemuda itu sehingga diam-diam Suma Han merasa kagum sekali. Akan tetapi, melihat senyum dan sinar mata pemuda itu, ada sesuatu yang membuat hati Suma Han kecewa, karena senyum dan sinar mata pemuda itu membayangkan hal yang mengerikan, watak yang aneh dan tak dapat dipercaya! Banyak sudah dia melihat senyum dan sinar mata seperti itu yang hanya dimiliki oleh datuk-datuk golongan sesat. Apalagi ketika mendengar suara pemuda itu ketika berkata mengejek kepada Alan, hatinya makin tidak enak lagi.

   "Heh-heh-heh, Nona manis. Mengapa engkau masih nekat melawan aku? Bukankah sudah jelas bahwa engkau bukan lawanku? Dan sejak tadi aku tidak pernah menyerangmu, karena aku tidak ingin melukaimu, tidak ingin mengalahkanmu karena takut kalau engkau merasa tersinggung. Hal ini sudah membuktikan betapa mendalam cintaku kepadamu, Nona!"

   "Iblis keji, siapa sudi kepadamu?"

   Gadis itu membentak dan mengirim sebuah tusukan ke arah ulu hati pemuda itu.

   Suma Han yang berada di atas atap melihat betapa tusukan pedang itu hebat sekali dan diam-diam dia terkejut karena mengenal jurus itu berdasarkan Ilmu Pedang Sin-coa-kun (Ilmu Pedang Ular Sakti). Padahal Ilmu Pedang itu adalah sebuah di antara ilmu-ilmu sakti dari Pendekar Sakti Suling Emas! Akan tetapi ia teringat bahwa ibu dara itu adalah Ketua Thian-liong-pang yang terkenal memiliki dan mengenal segala macam ilmu silat yang diambilnya dengan segala macam cara pula, kalau perlu dengan menculik tokoh-tokoh kang-ouw! Mungkin saja Ketua Thian-liong-pang yang luar biasa itu berhasil pula mencuri dasar-dasar Sin-coa Kiam-hoat yang bersumber dari Sin-coa-kun. Akan tetapi dengan kagum Suma Han melihat betapa pemuda itu berhasil mengelak dengan mudah, seolah-olah sudah mengenal jurus ini, kemudian menggunakan Ilmu Pukulan Toat-beng-bian-kun yang amat hebat!

   Suma Han mengerti bahwa Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas Pencabut Nyawa) merupakan ilmu pukulan yang sakti dan ampuh dari Lulu yang mendapatkan ilmu pukulan ini dari mendiang Nenek Maya yang sakti. Dia sudah siap untuk menyelamatkan gadis itu dari pukulan itu ketika dengan heran dia melihat bahwa pemuda itu bukan mempergunakan pukulan sakti yang semestinya ditujukan ke arah leher itu diselewengkan menjadi sebuah totokan ke arah pundak! Akan tetapi, hampir Suma Han berseru kaget dan kagum melihat betapa nona itu dapat mengelak secara tepat sekali, yaitu dengan berjongkok dari bawah, kakinya menyambar merupakan sebuah tendangan yang dibarengi dengan sabetan pedang. Kakinya menendang ke arah pusar sedangkan pedangnya menyambar ke arah leher!

   Yang membuat Suma Han terheran adalah cara gadis itu mengelak dari jurus Toat-beng-bian-kun, demikian tepat dengan berjongkok seolah-olah gadis itu sudah mengenal pula jurus Toat-beng-bian-kun! Apakah Ketua Thian-liong-pang juga sudah berhasil mencuri ilmu peninggalan Nenek Maya itu? Sungguh tidak mungkin! Kalau sudah demikian jauh, tentu Ketua Thian-liong-pang merupakan seorang lawan yang luar biasa dan amat berat! Setelah melihat dengan jelas bahwa ilmu kepandaian pemuda itu jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaian puteri Ketua Thian-liong-pang, apalagi setelah pemuda itu kini mengeluarkan ilmu dengan gerakan amat aneh, sambil tertawa-tawa mempermainkan dara itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus sebelum diterkamnya, Suma Han lalu melayang dari atas sambil berseru,

   "Tahan dulu....!"

   Pada saat itu Wan Keng In telah berhasil mengempit pedang lawannya di bawah lengan kiri ketika dara itu menusuk dadanya, dan tangan kanannya bergerak menyambar untuk mencengkeram pundak Milana. Melihat ini, Suma Han sudah menggerakkan tongkatnya yang berubah menjadi sinar yang menyambar antara tangan Wan Keng In dan pundak Milana. Melihat sinar ini, Keng In cepat menarik kembali tangannya, dan terpaksa dia melepaskan kempitan pedang itu ketika ada sinar meluncur ke arah dadanya. Ia meloncat mundur dan tertawa mengejek.

   "Ha-ha-ha! Sudah kudengar suara lengkinganmu tadi! Bukankah engkau ini yang berjuluk Pendekar Siluman, bekas Majikan Pulau Es berkaki buntung yang sombong?"

   Pemuda itu berdiri dengan tegak, kedua tangan bertolak pinggang, pandang matanya yang tajam penuh kebencian, mulutnya tersenyum penuh ejekan. Enam orang tokoh Pulau Neraka, dua wanita empat pria, menjadi terkejut sekali mendengar ucapan pemuda itu. Mereka berenam sudah menjadi pucat ketika menyaksikan munculnya Pendekar Siluman itu dan mereka sudah menunduk dengan hati tergetar dan jerih. Kini mendengar ucapan tuan muda mereka, benar-benar mereka menjadi kaget dan makin takut karena maklum bahwa siauw-tocu mereka telah mengucapkan penghinaan terhadap Pendekar Super Sakti itu! Milana juga marah sekali. Yang dimaki buntung sombong adalah ayahnya! Maka dengan muka merah dia sudah menusukkan pedangnya ke arah perut pemuda itu sambil membentak,

   "Manusia iblis bermulut busuk!"

   "Trangggg!"

   Milana meloncat mundur ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah tongkat Pendekar Super Sakti!

   "Bersabarlah dan biarkan aku bicara dengan dia."

   Suma Han berkata halus ketika melihat dara itu memandangnya dengan mata terbelalak heran.

   "Ha-ha-ha-ha, Nona yang cantik jelita! Apakah engkau tidak mengenal keparat ini? Dia adalah Pendekar Siluman, To-cu Pulau Es musuh besar kami dan musuh besar Thian-liong-pang. Dia adalah musuh kita berdua, Nona! Mari kita berdua membunuh manusia busuk ini!"

   Milana ingin berteriak kepada pemuda itu, mengatakan bahwa dia adalah puteri Pendekar Super Sakti, akan tetapi ditahannya karena dia harus melindungi rahasia ibunya, maka terpaksa dia hanya menelan kemarahannya dan tidak menjawab ucapan pemuda itu. Hanya diam-diam dia merasa tidak puas mengapa ayah kandungnya begitu sabar menghadapi pemuda yang demikian menjemukan dan yang telah berani menghina Pendekar Super Sakti. Tentu saja Milana tidak tahu mengapa Suma Han bersikap demikian sabar terhadap Keng In. Wan Keng In adalah putera Lulu, jangankan mengingat akan ibunya, sedangkan mengingat akan ayahnya, Wan Sin Kiat yang pernah menjadi sahabat baik Suma Han saja, pendekar ini tentu bersikap sabar sekali dan banyak mengalah.

   "Engkau tentu Wan Keng In, putera Majikan Pulau Neraka, bukan?"

   Suma Han bertanya dengan suara halus mernandang wajah pemuda itu penuh perhatian dan penyelidikan. Wajah yang amat tampan, bentuk wajahnya seperti wajah Wan Sin Kiat. Mulut dan matanya seperti mulut dan mata Lulu, akan tetapi sungguh sayang sekali, karena persamaan itu hanya pada bentuknya saja, namun sifatnya jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikannya seperti bumi dengan langit.

   Senyum Lulu adalah senyum yang manis dan membuat dunia makin cerah, senyum yang menimbulkan rasa gembira di hati siapapun juga, membuat orang yang menyaksikan senyum itu ingin tersenyum pula. Sinar mata Lulu adalah sinar mata yang membayangkan kejujuran hati, kepolosan dan kelembutan hati yang wajar dan tidak dibuat-buat. Akan tetapi, senyum pemuda ini mendatangkan rasa ngeri, karena senyumnya biarpun menambah ketampanan wajahnya, mengandung sesuatu yang dingin mengerikan hati orang yang melihatnya. Adapun sinar mata pemuda itu amat tajam menusuk, seolah-olah menjenguk isi hati orang yang dipandangnya, akan tetapi mengandung sifat kejam dan penuh kebencian dan ketidakpercaya-an, pandang mata orang yang sama sekali tidak mengenal cinta kasih antara manusia.

   "Benar, dan aku pula yang pernah mengalahkan dan menghina muridmu dan keponakanmu! Aku pula yang telah lama menanti munculmu, yang telah menantangmu untuk mengadu nyawa. Kebetulan sekali sekarang kau muncul! Pendekar Siluman Suma Han, aku Wan Keng In pada saat ini menantangmu untuk bertanding mengadu nyawa kalau engkau berani!"

   "Siauw-tocu....!"

   Seorang anak buahnya berseru kaget.

   "Plakkk....!"

   Entah bagaimana digerakkannya, tahu-tahu tangan Keng In telah menampar dan tubuh anak buahnya itu terguling-guling sampai lima meter lebih, kemudian berhasil bangun dengan muka bengkak dan ada tanda lima buah jeri tangan di pipinya! Mendengar ucapan dan menyaksikan sikap itu, Suma Han merasa jantungnya seperti ditusuk. Ahh, mengapa Lulu yang berwatak demikian lembut dan menyenangkan, dapat mempunyai anak seperti ini? Wan Sin Kiat bekas sahabatnya dahulu, ayah dari anak ini pun seorang gagah perkasa. Mungkin lebih keras dan liar dibandingkan dengan Lulu, juga berjiwa petualang, akan tetapi tidak jahat apalagi keji.

   "Wan Keng In, tahukah engkau, dengan siapa kau bicara?"

   "Tentu saja! Dengan Suma Han, Pendekar Super Sakti, juga disebut Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang pandai ilmu sihir. Nah, boleh coba sihir aku, atau boleh kau serang aku dengan ilmu-ilmumu yang katanya setinggi langit itu!"
(Lanjut ke Jilid 32)

   Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 32
"Ah, anak muda.... tidak pernahkah ibumu bicara tentang aku....?"

   "Jangan sebut-sebut nama Ibuku!"

   Tiba-tiba pemuda itu membentak marah sekali, lalu menudingkan telunjuknya ka arah hidung Suma Han sambil berkata dengan keras dan penuh kebencian,

   "Karena orang macam engkau inilah ibuku menderita sampai belasan tahun, hidup merana dan selalu berduka! Karena orang macam engkaulah maka ibuku sampai menjadi Ketua Pulau Neraka dan aku hidup di pulau itu sejak kecil! Dan karena ibulah maka sekarang aku menantangmu untuk bertanding mati-matian, Suma Han!

   "Wan Keng In, tahukah engkau bahwa mendiang Ayahmu, Wan Sin Kiat, adalah seorang sahabat baikku, seperti saudaraku sendiri?"

   "Tutup mulutmu yang palsu! Mendiang Ayahku mati karena engkau! Keparat!"

   Keng In menerjang dengan hebat, menggunakan pedang Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar berkilat dan membawa hawa yang mengerikan. Serangan itu dahsyat bukan main, dan hanya dengan menggunakan kelincahan Ilmu Soan-hong-lui-kun saja Suma Han berhasil menghindarkan diri dari sambaran sinar berkilat itu.

   "Wan Keng In, Ibumu adalah adik angkatku!"

   "Engkau membuat hidupnya sengsara! Kakak angkat macam apa engkau ini? Aku telah mengambil keputusan untuk memusuhimu, dan sekarang aku akan membunuhmu, bukan hanya karena Ibuku, akan tetapi juga karena engkau menghalagi aku membawa pergi Nona calon isteriku ini."

   "Orang muda, engkau tersesat. Ibumu akan berduka sekali melihat engkau seperti ini...."

   "Tak perlu banyak cakap lagi!"

   Wan Keng In sudah menerjang lagi dengan lebih hebat lagi karena dia sudah marah, serangannya dahsyat, apalagi kini dia mempergunakan Lam-mo-kiam. Sinar pedang itu berkilat dan menyambar dengan suara bercuitan. Suma Han merasa berduka sekali melihat putera Lulu seperti itu, cepat ia menggerakkan tongkatnya dan menangkis dari samping agar tongkatnya tidak bertemu dengan mata pedang yang amat ampuh itu.

   "Tranggg....!"

   Keduanya terloncat mundur akibat benturan hebat antara pedang dan tongkat. Wan Keng In tidak merasa heran ketika merasa betapa lengannya tergetar karena dia sudah mendengar dan maklum bahwa Pendekar Super Sakti merupakan lawan yang amat tangguh dan memiliki tenaga sin-kang yang jarang terdapat tandingannya. Akan tetapi Suma Han terkejut dan kagum bukan main. Pemuda itu benar-benar amat hebat, dan dari benturan antara tongkat dan pedang tadi, dia dapat mengukur kekuatan pemuda itu yang jauh lebih besar kalau dibandingkan dengan tenaga sin-kang yang dimiliki Lulu! Biarpun maklum akan ketangguhan lawan, Wan Keng In tidak menjadi gentar, bahkan dia makin marah dan sudah menerjang dengan hebatnya.

   Dia mengeluarkan seluruh ilmu pedang yang ia pelajari dari Cui-beng Koai-ong dan dari ibunya, mengerahkan seluruh tenaganya yang mujijat karena gurunya, datuk pertama dari Pulau Neraka telah menggemblengnya dengan latihan-latihan sin-kang yang tidak lumrah sehingga dia menguasai kekuatan sin-kang yang bercampur dengan ilmu hitam. Begitu pemuda itu mainkan pedangnya, mengerahkan sin-kang mengguna-kan tangan kiri membantu pedangnya mendorong-dorong ke depan, nampak betapa tubuhnya diliputi kabut hitam dan dari dalam kabut itu mencuat sinar-sinar kilat pedangnya melancarkan serangan maut ke arah Suma Han secara bertubi-tubi. Hati Pendekar Super Sakti merasa tidak karuan menghadapi serangan ini. Berbagai perasaan bercampur aduk.

   Dia merasa terharu karena menyaksikan putera Lulu sudah menjadi seorang pemuda dewasa, merasa kagum melihat ilmu silat pemuda ini yang benar-benar amat hebat, jauh lebih tinggi daripada kepandaian Lulu, dan biarpun dasarnya tidak lebih hebat daripada dasar ilmu silat yang dimiliki Kwi Hong, namun pemuda ini tentu tidak dapat terlawan oleh Kwi Hong karena selain memiliki ilmu pedang yang aneh dan sin-kang yang mengeluarkan kabut hitam, juga cara bertempur pemuda ini nekat dan kejam, mengandung serangan-serangan ganas. Akan tetapi di samping rasa keharuan dan kekaguman ini, dia juga merasa berduka dan marah menyaksikan betapa keponakannya telah tersesat seperti itu. Sampai puluhan jurus Suma Han menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke sana-sini menghindarkan diri, kadang-kadang mendorong pedang dari samping.

   

Pendekar Super Sakti Eps 28 Kisah Pendekar Bongkok Eps 8 Pendekar Super Sakti Eps 21

Cari Blog Ini