Sepasang Pedang Iblis 36
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 36
Kelabang yang bunting ini benar-benar amat ganas. Disanjung dan dirayu oleh kelabang besar, dihadiahi bangkai ayam gundul gemuk, malah dibalas dengan membunuhnya!
"Kelabang celaka!"
Kwi Hong marah dan gemas sekali teringat akan ini, dua kali pedangnya berkelebat.
"Cres! Cress!"
Dia terkejut karena pedangnya bertemu dengan kulit yang amat alot dan keras. Andaikata bukan Li-mo-kiam yang berada di tangannya, tentu dia akan kecelik kalau tidak mengerahkan sin-kang, karena kulit kelabang itu ternyata amat tebal. Akan tetapi Li-mo-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang ampuhnya menggila, maka dua kali sabetan itu berhasil baik, tubuh kelabang terpotong menjadi tiga, leher dekat kepala dan dekat ekornya putus! Akan tetapi bagian tengahnya yang masih panjang itu menggeliat-geliat hidup sehingga Kwi Hong merasa jijik untuk mengambilnya.
"Bodoh, lekas masukkan botol!"
Bu-tek Siauw-jin membentak. Kwi Hong menabahkan hatinya, disambarnya bagian badan yang masih panjang dan menggeliat itu. Hampir saja dilepaskannya kembali karena jari-jari tangannya merasa geli dan jijik, seperti memegang ular saja. Akan tetapi karena botol di tangan kirinya sudah siap, dia cepat memasukkan bagian tubuh yang menggeliat-geliat itu ke dalam botol, menutupkannya rapat-rapat kemudian hendak mengambil kembali pedangnya yang tadi dia tancapkan di atas tanah ketika tangan kanannya mengambil tubuh kelabang.
"Aihhh....!"
Kwi Hong menjerit dan tidak jadi mengambil pedang karena melihat betapa seluruh tangan kanannya menjadi merah kehitaman dan mulailah terasa kaku dan lumpuh!
"Itulah racunnya yang kuat sekali. Nih, pegang batu hijau ini!"
Gurunya menyerahkan batu hijau ke tangan kanan Kwi Hong yang keracunan. Gadis itu menerima batu hijau dan menggenggamnya. Sebentar saja warna tangannya putih kembali, racun yang amat jahat itu disedot habis oleh batu hijau.
"Kau simpan batu itu dan tak akan ada racun dapat mempengaruhi kulitmu. Akan tetapi kalau engkau sudah selesai berlatih dan sudah makan perut kelabang bunting, tubuhmu lebih kebal dari racun, lebih hebat daripada batu hijau itu!"
Kakek ini tertawa-tawa, lalu dia mengambil bangkai kelabang jantan yang berada di dalam lubang, kemudian mengajak Kwi Hong kembali ke tempat tadi. Dapat dibayangkan betapa jijik hati Kwi Hong ketika melihat empat ekor kelabang besar yang tadi dengan lahap makan isi perut ayam, kini masih melingkar di tempat tadi, diam tak bergerak sama sekali dan tubuh mereka menjadi gemuk dan menggembung seperti mau pecah. Seluruh isi perut ayam habis bersih, dan anehnya, sepuluh ekor kelabang yang telah mati tadi pun lenyap tak tampak bekasnya sama sekali.
"Ha-ha-ha, heh-heh-heh! Untung besar! Empat ekor ini benar-benar gembul dan kiciak (pelahap dan segala macam dimakan tanpa jijik)! Bangkai sepuluh ekor temannya sendiri masuk perut! Ha-ha-ha, kita pesta besar! Engkau makan kelabang bunting, aku mengganyang lima ekor kelabang gembul!"
Sambil berkata demikian, kakek sinting itu menggunakan kedua tangannya menangkap empat ekor kelabang itu yang sama sekali tidak melawan atau meronta karena memang sudah tak dapat bergerak saking kenyangnya! Dia mengumpulkan empat ekor kelabang kekenyangan itu dengan bangkai kelabang terbesar yang mati di dalam lubang betina. Empat kali telunjuknya bergerak memukul dan empat ekor kelabang itu mati dengan kepala pecah.
"Sebetulnya, daging kelabang paling enak kalau digoreng dan dimakan dengan cocol kecap, hemmm.... sedap bukan main. Sayang di sini tidak ada minyak, maka kita godok saja. Dimasak kuah juga enak sekali, kuahnya sedap dan banyak vitamin! Heh-heh-heh!"
Kwi Hong merasa hendak muntah. Akan tetapi ditekannya persaan itu dan berkata,
"Suhu, aku khawatir takkan dapat menelan kelabang ini...."
Dia meletakkan botol terisi kelabang bunting itu ke depan suhunya.
"Eh-eh, bodoh! Apa engkau hendak menyia-nyiakan kesempatan baik mendapatkan ilmu yang membuat tubuhmu kebal akan segala racun yang dapat menimbulkan sin-kang yang tiada tandingannya di dunia? Pula, apa kau kira daging kelabang tidak enak?"
"Aku jijik, Suhu. Dan tentu saja tidak enak!"
"Wah-wah, picik sekali engkau. Heh, murid tolol. Kapankah engkau pernah makan daging kelabang?"
"Selama hidupku belum pernah!"
Jawab Kwi Hong cepat-cepat untuk menyatakan bahwa selama ini, sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, dia hidup "bersih"!
"Itulah tololnya! Kalau selama hidupmu engkau belum pernah makan daging kelabang, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa daging kelabang tidak enak dan menjijikkan? He, Kwi Hong, jangan engkau meniru-niru manusia-manusia yang berwatak munafik itu!"
"Hemm, urusan makan daging kelabang, mengapa menyangkut urusan orang berwatak munafik?"
Kwi Hong terheran.
"Tentu saja sama! Orang-orang munafik itu pun begitu, hanya karena membaca kitab atau mendengar ucapan mulut orang lain, tanpa membuktikan dan menyatakan sendiri, sudah mengambil keputusan mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi! Sampai-sampai ada yang mati-matian bersumpah bahwa dia mati-matian membenci dan memusuhi segala setan dan iblis!"
"Tentu saja, Suhu!"
Kakek sinting itu memandang muridnya dengan mata terbelalak, lalu meloncat berdiri dan membanting-banting kedua kakinya, seperti anak kecil yang rewel dan sudah siap menangis!
"Apa? Engkau....? Muridku....? Engkau pun ikut-ikutan latah dan munafik? Jadi engkau pun membenci dan memusuhi setan dan iblis? Coba katakan, kenapa kau membenci mereka?"
"Hemm.... karena mereka jahat, karena musuh manusia!"
"Ngawur! Apakah setan dan iblis itu ada? Pernahkah engkau bertemu dengan setan dan iblis?"
Melihat suhunya mencak-mencak dan memekik-mekik marah, Kwi Hong menjadi gentar juga. Dia menggeleng kepala dan menjawab.
"Tidak pernah ada, Suhu."
"Kau tidak pernah bertemu dengan setan atau iblis, engkau tidak tahu apakah mereka itu ada atau tidak, bagaimana engkau sudah mengambil keputusan memusuhi dan membenci mereka, bagaimana bisa mengatakan mereka jahat dan musuhmu? Eh, bocah tolol. Coba jawab lagi, pernahkah engkau diganggu setan atau iblis? Dicubit? Dipukul? Dimaki atau ditipu? Hayo jawab yang jujur! Pernahkah engkau diperlakukan jahat oleh setan atau iblis? Kalau pernah, kapan dan di mana, dan bagaimana? Ceritakan!"
Kwi Hong melongo. Gurunya ini benar-benar sinting, akan tetapi ditanya seperti itu, dia tidak dapat menjawab. Tentu saja dia belum pernah bertemu, dan kalau belum pernah bertemu, bagaimana mungkin dia bisa diganggu. Bahkan ada atau tidaknya setan iblis masih merupakan teka-teki yang tak dapat dijawab dengan kenyataan. Kembali dia menggeleng kepala,
"Belum pernah, Suhu!"
"Nah, itulah! Engkau pun termasuk seorang munafik, hanya untuk plintat-plintut mengikuti ketahyulan manusia yang pura-pura suci saja. Jangan engkau terseret oleh kebiasaan umum yang belum tentu benar. Karena umum biasanya makan daging ayam, maka enak saja engkau makan daging ayam. Karena umum tidak biasa makan daging kelabang, biarpun selamanya engkau belum pernah merasakannya, mudah saja kau bilang tidak enak dan menjijikkan. Munafik!"
Kwi Hong merasa bohwat (kehabisan akal), karena biarpun ucapan gurunya kasar dan seenak perutnya sendiri, kebenarannya dalam ucapan itu sukar dibantah.
"Maaflah, Suhu. Akan tetapi benar enakkah daging kelabang?"
Suaranya halus dan penuh penyesalan itu sekaligus mengusir kemarahan Bu-tek Siauw-jin yang sudah menyeringai kembali!
"Heh-heh-heh, engkau mau tahu rasanya? Pernahkah engkau makan daging udang?"
"Pernah, bahkan sering kali, Suhu. Ketika masih tinggal di Pulau Es, di sebelah timur pulau terdapat bagian laut yang dihuni banyak udang besar, sebesar lengan tangan dan sering kali anak buah kami menangkap udang-udang besar itu."
"Pernah kau makan daging udang yang dipanggang dalam tanah liat?"
"Belum pernah. Bagaimana, Suhu?"
"Wah, kalau begitu engkau belum tahu benar-benar rasanya daging udang! Apalagi udang besar seperti itu. Mula-mula udang itu dilumuri tanah liat basah cukup tebal sampai tidak kelihatan kulitnya, kemudian dipanggang dan dibiarkan sampai tanah liat itu menjadi kering sekali. Setelah tanah liat itu retak-retak dan mengeluarkan bau gurih, nah, itu tandanya udangnya sudah matang. Kalau sudah tampak uap keluar dari bungkusan tanah yang retak-retak, panggang udang itu boleh diangkat dari api. Tanah liat yang sudah kering itu dikupas dan kulit udangnya tentu akan terbawa dan terkupas pula karena melekat pada tanah liat dan kini hanya tinggal daging udangnya, putih bersih kemerahan panas-panas beruap dan sedap baunya. Rasanya? Wah, kalau digigit kenyal-kenyal akan tetapi lunak, sedap manis.... hemm!"
Kwi Hong menelan ludah. Timbul seleranya dan dia kemecer (mengeluarkan air liur) mendengar penuturan itu.
"Nah, daging kelabang pun rasanya sama dengan daging udang! Yang lima ekor ini akan kupanggang dalam tanah liat, akan tetapi yang bunting itu harus direbus, karena kalau dipanggang, racunnya banyak yang hilang. Direbus juga enak, coba saja nanti."
Berkuranglah rasa jijik di hati Kwi Hong, Apalagi setelah dia mencari air sungai yang terdapat dalam bagian bukit yang subur, kemudian mereka memasak kelabang dan memanggang yang lima ekor, gurunya tiada hentinya menceritakan kelezatan daging kelabang yang dagingnya sejenis dengan daging udang, kepiting, belalang, jangkerik, dan lain binatang yang kulitnya keras. Kesibukan memasak udang itu berlangsung sampai pagi, karena tidak mudah bagi Kwi Hong mencari air dan daun-daun bumbu di dalam hutan di waktu malam seperti itu, sungguhpun sinar bulan banyak membantunya. Akan tetapi, akhirnya masakan-masakan itu selesai di waktu pagi.
"Nah, kau makan dulu seekor daging panggang sebagai cuci mulut!"
Kata Bu-tek Siauw-jin. Kwi Hong tertawa. Benar-benar lucu. Masa cuci mulut dengan daging panggang, dan lagi mana ada cuci mulut sebelum makan? Akan tetapi dia tidak membantah dan bersama suhunya, dia mengupas tanah liat yang sudah kering. Benar saja kulit kelabang itu ikut terkupas dan tampaklah kini dagingnya yang putih kemerahan dan mengepulkan uap tipis yang sedap. Melihat suhunya makan daging itu dengan lahapnya, Kwi Hong lalu menggigit daging yang dipegangnya dan benar-benar gurunya tidak membohong. Rasanya enak sekali, gurih dan enak manis, seperti daging udang!
"Jangan dihabiskan, separuh saja. Yang separuh untuk nanti setelah kau makan daging rebus."
Kwi Hong tersenyum, tanpa membantah lagi dia mengambil panci kecil di mana daging kelabang bunting itu telah dimasak. Bu-tek Siauw-jin mengambil sebuah guci arak dan menuangkan arak ke dalam masakan itu. Uap mengepul dan bau wangi arak merah itu bercampur dengan bau gurih sedap namun ada pula bau yang amis dan keras.
"Makan dagingnya sedikit-sedikit saja agar tidak terlalu mengejutkan tubuhmu. Jangan khawatir apa pun yang terasa olehmu, makan terus sampai habis. Ingat, yang kau makan ini bukan hanya daging yang lezat, akan tetapi terutama sekali obat untuk menyempurnakan latihan ilmu yang kuajarkan kepadamu."
Kwi Hong mengangguk, menggunakan sepotong kayu menusuk daging itu dan mulai menggigit dan memakan daging itu. Terpaksa ia memejamkan mata karena berbeda dengan ketika makan daging kelabang panggang tadi, kini daging kelabang yang direbus kelihatan putih dan besar, juga agak kehitaman di sebelah dalamnya, hitam kehijauan dia tahu adalah racun kelabang yang amat jahat! Rasanya memang ada enaknya, akan tetapi lebih banyak tidak enaknya daripada enaknya. Memang ada bau sedap, akan tetapi hampir tertutup sama sekali oleh bau amis dan keras bahkan bau arak itu pun tidak dapat melenyapkan bau amis.
Rasanya memang gurih, akan tetapi terasa pula getir dan pahit, juga ada rasa keras yang membuat lidah terasa seperti ditusuk-tusuk. Namun Kwi Hong dengan nekat mengunyah dan menelan. Hanya seben-tar mengunyah, tidak menunggu sampai lembut asal tidak terlalu besar, lalu ditelannya! Dia terus memejamkan mata dan biarpun terasa betapa dada dan perutnya panas sekali ketika makanan itu ditelannya, dia makan terus. Biarlah kalau dia akan mati karena ini, pikirnya. Sudah kepalang! Makin lama hawa panas makin hebat sehingga terasa gerah sekali. Keringatnya membasahi pakaian, seolah-olah dia merasa tubuhnya dipanggang. Akan tetapi, Kwi Hong adalah seorang gadis yang berhati keras dan nekat. Dia terus makan sampai akhirnya daging kelabang bunting habis ditelannya.
Kepalanya pening. Akan tetapi sebuah tangan menekan tengkuknya. Jari tangan Bu-tek Siauw-jin menotok punggung, rasa ingin muntah yang timbul hilang, kemudian telapak tangan gurunya menempel di punggungnya dan dari telapak tangan itu menjalar hawa dingin sejuk yang melawan hawa panas di tubuhnya. Akan tetapi sebentar saja tangan gurunya ditarik kembali ketika Kwi Hong yang teringat akan Swat-im Sin-kang, mengerahkan inti tenaga dingin untuk melawan serangan hawa panas itu. Sin-kangnya sudah amat kuat, apalagi Im-kang yang didapatkannya ketika berlatih di Pulau Es, bahkan lebih kuat daripada Im-kang yang disalurkan gurunya tadi. Hal ini adalah karena latihan Im-kang di Pulau Es merupakan puncak latihan menghimpun hawa dingin yang sukar dapat dimiliki oleh mereka yang berlatih di tempat panas.
"Bagus! Engkau dapat menahan hawa panas. Nah, makanlah sisa daging panggang itu."
"Suhu, aku sudah tidak ada nafsu lagi untuk makan daging...."
"Ih, jangan membantah! Ini perlu sekali untuk membuat perutmu kenyang dan terisi cukup...."
"Aku sudah kenyang sekali."
"Bodoh, kalau tidak kau isi sampai penuh sekali, mana dapat bertahan selama tiga hari tiga malam?"
"Apa maksudmu, Suhu?"
"Sudahlah, jangan banyak membantah. Makan sisa daging panggang ini dan habiskan!"
Karena maklum bahwa menghabiskan daging panggang ini termasuk kepentingan latihan itu, bukan semata-mata untuk membikin kenyang atau makan enak, Kwi Hong terpaksa makan habis sisa daging panggang. Perutnya menjadi kenyang sekali.
"Sekarang, minum kuah dalam panci itu sampai habis."
"Wah, mana perutku kuat, Suhu? Sudah terlalu kenyang dan kuah itu banyak sekali!"
Kwi Hong membantah. Sebetulnya bukan soal terlalu kenyang, akan tetapi dia merasa jijik kalau harus minum kuah itu. Baru dagingnya saja tadi sudah begitu memuakkan, apalagi kuahnya!
"Kwi Hong, tahukah engkau bahwa kuahnya ini yang jauh lebih penting? Andaikata engkau tidak makan dagingnya, masih tidak mengapa, akan tetapi kalau tidak minum kuahnya, kurasa akan sia-sia semua latihanmu. Sari obat berada di dalam kuah inilah!"
Kwi Hong bergidik.
Yang dimaksudkan suhunya dengan "sari obat"
Tentulah sari dan semua racun yang mengeram di dalam perut kelabang itu! Apa boleh buat! Sudah terlalu jauh dia melangkah, andaikata mendaki gunung sudah hampir sampai puncaknya. Dia mengangkat panci, membawa bibir panci menempel bibirnya, memejamkan mata, menahan napas agar hidungnya tidak mencium bau yang memuakkan itu, membuka mulut dan menuangkan isi panci itu sekaligus ke dalam perutnya melalui mulut! Begitu isinya habis, Kwi Hong mengeluh, panci kosong terlepas dari pegangannya dan terguling pingsan! Bu-tek Siauw-jin sudah siap, menerima tubuhnya dan membiarkan dara itu rebah terlentang di atas tanah sambil menyeringai dan tersenyum-senyum puas.
"Engkau hebat, muridku. Engkau hebat! Ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang dapat dilakukan Suheng kepadamu. Heh-heh-heh, betapa suheng akan mencak-mencak kalau melihat muridnya kalah oleh muridku!"
Kalau tadi Kwi Hong tahu bahwa dia akan pingsan selama tiga hari tiga malam, kiranya dia akan pikir-pikir dulu untuk minum kuah itu! Dan hal ini sudah diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin maka tadi kakek sinting ini setengah memaksa muridnya menghabiskan daging kelabang panggang agar selama tiga hari tiga malam pingsan itu, muridnya tidak akan terlalu kelaparan! Pada pagi hari yang ke empat, Kwi Hong siuman, menggerakkan tangan, mengeluh perlahan dan membuka mata. Ia merasa tubuhnya panas dan lapar sekali. Ketika melihat gurunya duduk bersila tak jauh dari situ sambil memandangnya dan tersenyum-senyum, Kwi Hong cepat bangkit duduk. Segera ia memejamkan kedua matanya karena begitu ia bangkit duduk, matanya berkunang dan kepalanya berdenyut-denyut keras.
"Jangan tergesa-gesa, Kwi Hong. Tenang-tenang sajalah! Engkau baru saja bangkit dari kematian dan mulai hidup baru. Ha-ha-ha!"
Kwi Hong membuka matanya kembali.
"Apa yang terjadi, Suhu? Apakah aku tertidur?"
"Engkau tidur, juga pingsan, bahkan boleh dibilang mati selama tiga hari tiga malam! Dan engkau telah berhasil!"
Kwi Hong teringat kembali.
"Aihh! Ketika minum kuah itu.... aku lalu pingsan selama tiga hari tiga malam?"
Kwi Hong duduk bersila dan mulailah dia digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin dengan ilmu yang mujijat, yang diciptakan oleh kakek aneh ini selama menyembunyikan diri. Kakek itu benar-benar amat tekun melatih muridnya, bahkan dia kini yang mencarikan makan untuk muridnya agar Si Murid tidak usah menghentikan latihan, dan hanya berhenti kalau perlu makan saja.
Sampai dua pekan Kwi Hong disuruh melatih diri. Karena memang pada dasarnya gadis ini telah memikiki kekuatan sin-kang yang hebat berkat latihan yang ia terima dari Pendekar Super Sakti, maka dalam waktu singkat saja dia sudah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan oleh kakek sinting itu, padahal bagi orang lain, belum tentu akan dapat dikuasai dalam latihan bertahun-tahun! Kemudian, berdasarkan tenaga mujijat ini Bu-tek Siauw-jin menambahkan jurus-jurus yang aneh dan dahsyat dalam ilmu pedang Kwi Hong. Juga dara ini dilatih menggunakan pukulan-pukulan dengan telapak tangan, pukulan yang amat hebat karena hawa pukulannya mengandung ancaman maut, mengandung hawa beracun yang selamanya belum pernah dia pelajari.
Tanpa disadarinya, Kwi Hong yang semenjak kecil menerima gemblengan-gemblengan pamannya dengan ilmu-ilmu tinggi yang bersih, kini telah mempelajari ilmu-ilmu golongan hitam! Memang benar bahwa segala ilmu dapat dipergunakan untuk kebaikan maupun kejahatan, tergantung manusianya. Akan tetapi, ilmu golongan sesat atau golongan hitam mengandung sifat-sifat yang ganas, kejam dan dahsyat, sehingga sekali turun tangan dapat merampas nyawa lawan dengan mudahnya! Demikianlah sambil melatih diri setiap ada kesempatan, Kwi Hong diajak oleh gurunya melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Dasar kakek sinting, begitu tiba di kota raja, dia langsung saja menuju ke gedung koksu, berdiri di depan pintu gerbang karena para penjaga melarang kakek sinting ini masuk. Sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang, kakek itu berteriak,
"Heh, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, keluarlah kamu dan hayo lawan aku Bu-tek Siauw-jin! Kalau aku kalah olehmu, biarlah aku meninggalkan muridku ini karena aku tidak pantas lagi menjadi gurunya!"
Para penjaga yang tadinya menghadang dan melarang kakek ini melalui pintu gerbang menjadi terkejut karena suara itu membuat mereka terpelanting ke kanan-kiri dan mereka tidak mampu bangkit lagi, tubuh mereka menggigil dan mereka hanya dapat memandang dengan mata terbelalak saja ketika kakek itu bersama dara jelita di sampingnya memasuki pintu gerbang istana koksu seenaknya! Kwi Hong juga terkejut, tidak menyangka bahwa gurunya akan bersikap selancang ini.
Mestinya, menurut pendapatnya, mereka menyelidik dan menyusup ke dalam istana koksu di malam hari. Akan tetapi gurunya dengan terang-terangan menantang sambil berteriak-teriak seperti itu! Mana ada seorang koksu yang berpangkat tinggi ditantang begitu saja seperti seorang anak kecil menantang berkelahi anak kecil? Teriakan yang disertai khi-kang kuat itu tidak saja membuat para penjaga di luar terpelanting, akan tetapi juga mengejutkan seluruh isi istana koksu karena bangunan besar itu seolah-olah tergetar dan akan ambruk! Berbondong-bondong keluarlah pasukan pengawal dengan senjata di tangan. Akan tetapi mereka menjadi ragu-ragu ketika melihat bahwa yang berjalan masuk dengan langkah lenggang kangkung itu hanyalah seorang kakek tua sekali yang tubuhnya pendek, hanya setinggi pundak dara jelita yang berjalan di sampingnya!
"Manusia lancang! Apakah engkau sudah bosan hidup berani mengacau gedung koksu?"
Seorang perwira pengawal membentak.
"Heh-heh! Memang aku sudah bosan hidup!"
Jawab Bu-tek Siauw-jin seenaknya saja.
"Apakah engkau ini Giam-lo-ong tukang cabut nyawa?"
Perwira itu merasa diejek dan dihina, maka cepat ia mengayun goloknya membacok ke arah kepala Bu-tek Siauw-jin. Kakek itu sama sekali tidak bergerak, juga dara cantik yang berdiri di sebelahnya dengan wajah dingin sama sekali tidak peduli.
"Wuuuuuttt.... krekkkk!"
"Hayaa.... aduuuuhhh....!"
Perwira itu berteriak dan memegangi lengan kanannya yang patah tulangnya, seperti juga goloknya yang patah ketika bertemu dengan kepala kakek sinting itu! Para anggauta pasukan pengawal tentu saja memandang dengan bengong dan tak seorang pun berani maju menyerang. Sementara itu, Bhong Koksu sendiri bersama para pembantunya juga mendengar gema suara yang mengandung khi-kang kuat itu dan kini berbondong-bondong mereka keluar dari istana. Melihat munculnya koksu, para pasukan lupa akan rasa ngerinya dan menyerbu ke depan untuk mengeroyok Bu-tek Siauw-jin.
"Tahan....!"
Seruan ini keluar dari mulut pendeta Maharya yang kemudian berbisik kepada koksu,
"Harap Taijin perintahkan pasukan mundur. Dia adalah seorang yang tidak boleh dibuat main-main!"
"Semua pasukan mundur, biarkan kami menyambut tamu!"
Koksu berseru dan para panglima segera membubarkan pasukan pengawal yang sudah mengurung dan hendak turun tangan mengeroyok.
Setelah para pasukan mundur, Bhong Ji Kun, Maharya dan Thian Tok Lama bersama lima orang panglima tinggi termasuk Bhe Ti Kong, maju menghampiri kakek pendek dan gadis cantik itu. Ketika mereka semua mengenal Kwi Hong mereka terkejut dan diam-diam mereka siap untuk mencabut senjata. Tentu saja mereka semua mengenal Giam Kwi Hong, murid atau keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es yang dahulu pernah mereka tawan dalam kapal ketika mereka menyerbu Pulau Es itu. Tentu kedatangannya ada hubungannya dengan penyerbuan Pulau Es, akan tetapi siapakah kakek pendek yang tertawa-tawa itu? Bu-tek Siauw-jin tidak memandang kepada orang lain kecuali kepada Maharya. Setelah memperhatikan pendeta India ini dari kepala sampai ke kaki naik turun beberapa kali, akhirnya dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, bukankah engkau ini Si Maharya yang dulu seringkali bertanding gulat melawan aku di lereng Himalaya?"
Maharya merangkap sepuluh jari tangannya ke depan hidung sebagai penghormatan lalu menjawab sambil tertawa pula,
"Siauw-jin, engkau masih hidup? Sungguh panjang usiamu!"
"Ha-ha-ha, tentu saja usiaku panjang karena aku masih ingin membuat engkau sekali lagi meniru bunyi kambing untuk menyatakan kalah. Heh-heh, Kwi Hong muridku, pernahkah kau mendengar permainan adu tenaga bergulat, yang kalah harus mengeluarkan bunyi seperti kambing sebagai tanda menyerah?"
Kwi Hong semenjak tadi menyapu orang-orang di depannya itu dengan pandang mata penuh kebencian, sikapnya dingin dan tangannya sudah gatal-gatal untuk segera turun tangan menyerang dan membalas dendam.
"Belum pernah, akan tetapi aku tidak tertarik, aku lebih suka melihat pendeta busuk ini mengembalikan Hok-mo-kiam kepadaku!"
"Ha-ha-ha, nanti dulu, itu urusan kecil. Dahulu, di lereng Himalaya, aku seringkali bergulat dengan Maharya ini dan entah sudah berapa kali dia meniru bunyi kambing menyatakan kalah. Wah, dia pandai benar meniru bunyi kambing, benar-benar seperti kambing tulen, ha-ha-ha!"
"Suhu, kurasa sekarang dia lebih pandai meniru bunyi anjing yang suka menjilat telapak kaki orang berpangkat!"
Kwi Hong berkata mengejek. Bhong Koksu segera maju dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Bu-tek Siauw-jin yang dia dapat menduga tentu seorang yang amat sakti sehingga paman gurunya begitu menghormat dan mengalah.
"Harap maafkan kalau saya tidak mengenal Locianpwe yang agaknya sudah mengenal baik Paman Guru Maharya. Kehormatan apakah yang akan Locianpwe berikan kepada kami dengan kunjungan ini?"
Koksu ini bersikap cerdik. Dia tahu bahwa gadis ini adalah murid Pendekar Super Sakti, mengapa kini menyebut suhu kepada kakek pendek ini? Setelah muncul sebagai murid kakek ini, dia bersikap hati-hati dan sengaja tidak mau menegur Kwi Hong.
"Ha-ha-ha, engkau murid keponakan Si Maharya? Koksu, kalau begitu engkau tentu murid sahabat ahli pembuat pedang Nayakavhira!"
"Ahh! Locianpwe sudah mengenal mendiang guru saya?"
"Ha-ha-ha! Nayakavhira adalah sahabat kontan, tidak seperti Maharya ini yang sejak mudanya dahulu licik dan curang. Jadi engkau muridnya? Aku mendengar dahulu bahwa Nayakavhira hanya mempunyai seorang murid, yaitu pemuda tukang penggembala kuda!"
Wajah Koksu merah sekali karena dialah yang dimaksudkan itu. Dialah penggembala kuda itu! Cepat ia menyembunyikan pecutnya, senjata yang tadinya dibawanya untuk menghadapi musuh. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin lebih cepat lagi, tangannya bergerak dan tahu-tahu pecut itu seperti hidup, terlepas dari tangan Koksu dan berpindah ke tangannya.
"Bagus! Engkau penggembala kuda itu? Dan sekarang menggembalakan orang-orang termasuk paman gurunya sendiri? Ha-ha-ha!"
Kakek itu mengembalikan pecutnya dan Koksu menjadi pucat. Cara kakek itu merampas pecutnya tadi saja sudah membuktikan bahwa kakek ini benar-benar lihai bukan main!
"Siauw-jin, engkau selamanya benar-benar seorang siauw-jin (manusia rendah budi)!"
Maharya membentak marah.
"Apakah kedatanganmu mau mencari permusuhan? Ataukah engkau masih mengingat akan hubungan lama dan kini hendak mencoba kepandaianku! Boleh kau coba, mengenai ilmu silat, ilmu sihir atau ilmu kebatinan!"
"Maharya, kembalikan pedang Hok-mo-kiam, kalau tidak, akan kubunuh sekarang juga engkau!"
"Bocah sombong!"
Maharya membentak, tangan kirinya bergerak dan asap hitam menyambar ke arah muka Kwi Hong. Hanya sebuah serangan ringan saja, akan tetapi asap itu mengandung racun yang dapat membikin pingsan lawan. Namun Kwi Hong hanya tersenyum, sedikit pun tidak mengelak sehingga angin pukulan berikut asap itu mengenai mukanya. Maharya terbelalak melihat betapa gadis itu sama sekali tidak terpengaruh, baik oleh angin pukulannya maupun oleh asap beracun! Kwi Hong sudah menggerakkan jari tangan hendak mencabut pedang, akan tetapi tiba-tiba gurunya menyentuh lengannya dan tertawa.
"Ha-ha-ha, Maharya. Melawan muridku saja engkau tidak akan menang, maka engkau tidak menarik lagi menjadi lawan bertanding. Lawan mengadu kecerdikan dengan teka-teki, engkau pun takkan menang. Dahulupun, teka-tekiku yang paling mudah sudah kuberi waktu tiga hari tiga malam engkau masih tidak mampu memecahkannya. Apalagi sekarang! Eh, Kwi Hong, tahukah engkau bahwa teka-teki yang amat sederhana saja dia dahulu tidak becus menebak. Teka-tekiku dahulu itu begini, biar semua orang mendengar betapa mudahnya. Ada sebuah benda mati tercipta dari yang hidup, berkepala dan bertubuh lengkap, akan tetapi seluruh anggauta tubuhnya, dari kepala sampai ke kakinya, semua menjadi satu. Nah, apa itu?"
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kwi Hong termenung, mengasah otak dan anehnya, semua orang di situ semua kelihatan mengerutkan alis, semua mencari pemecahan cangkriman ini, termasuk para panglima dan para pasukan yang berdiri di tempat jauh akan tetapi ikut mendengarkan kata-kata Si Kakek Pendek.
Melihat ini Maharya terkejut bukan main. Biarpun hanya berupa olok-olok dan teka-teki yang dibuat kelakar, namun suara kakek itu ternyata telah mempengaruhi semua orang sehingga mereka semua lupa keadaan dan ikut mencari jawabannya. Ini saja sudah membuktikan betapa kuat sin-kang kakek itu, betapa mujijat dan tidak akan menanglah dia kalau bertanding ilmu sihir! Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara tertawa bergelak, suara ketawa yang melengking panjang dan bergema di udara seperti guntur, juga mirip suara kuda meringkik, dan semua orang menjadi sadar dengan penuh keheranan betapa mereka tadi mencurahkan seluruh perhatian dan memeras otak untuk mencari jawaban sebuah teka-teki, sungguh merupakan hal yang janggal sekali pada saat seperti itu!
"Hemm, Maharya, engkau sekarang bisa tertawa. Kwi Hong, dia sekarang memandang rendah karena dahulu telah kuberi tahu jawabannya."
"Suhu, apa sih jawabannya? Teka-tekimu itu aneh dan sukar sekali!"
"Jawabannya? Dengar baik-baik....!"
Kembali semua orang, termasuk Koksu sendiri, mende-ngarkan penuh perhatian. Maharya terkejut dan pendeta ini maklum bahwa pada detik itu kalau Si Kakek Pendek mau mempergunakan kekuatannya, bisa saja dia mempengaruhi semua orang yang berada di situ, disuruh tidur tentu tidur, disuruh apa saja tentu menurut karena mereka semua telah terjatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan hebat dari kakek pendek itu. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin hanya mendemonstrasikan kekuatannya saja dan tidak mau melakukan sesuatu, melainkan melanjutkan ucapannya yang sengaja dihentikan sebentar untuk menguasai perhatian semua orang.
"Jawabannya adalah.... semut dipelintir. Ha-ha-ha-ha!"
Semua orang memandang heran, termasuk Kwi Hong.
"Eh, Suhu, mengapa semut dipelintir?"
"Heh-heh, bukankah semut itu kalau dipelintir, seluruh anggauta tubuhnya menjadi satu, sukar dibedakan mana kepala mana kaki lagi? Dan semut itu tadinya hidup, maka benda yang berupa semut dipelintir itu tercipta dari yang hidup dan tentu saja menjadi benda mati!"
Semua orang, termasuk Koksu, tersenyum menyeringai karena merasa dipermainkan seperti anak kecil oleh kakek yang sinting ini.
"Bertanding kesaktian, engkau tentu kalah, Maharya. Bertanding sihir, engkau masih harus berguru seratus tahun lagi. Bertanding teka-teki pun engkau tidak akan menang...."
"Siauw-jin, aku menantangmu untuk bertanding pengetahuan kebatinan!"
Tiba-tiba Maharya berkata tegas.
"Heh-heh, begitu? Boleh! Paling-paling engkau paham filsafat Hindu dan Buddha, dan aku sudah hafal semua."
"Harus memakai taruhan!"
Kembali Maharya berkata.
"Tentu saja kalau kau berani, kalau tidak aku pun tidak akan memaksamu."
"Wah-wah, semenjak dahulu engkau memang licik dan curang, bermulut manis dan pandai menggunakan akal bulus! Tahu kau akal bulus? Kalau berdepan, menyembunyikan kepala ke dalam perut, kalau ditinggal, menggigit dari belakang! Akan tetapi jangan kira aku takut. Nah, apa taruhannya?"
"Begini! Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan mengenai hidup yang amat pelik dan engkau harus dapat menjawabnya dengan tepat berikut uraian dan alasannya agar jangan ngawur belaka. Kalau engkau mampu menjawabnya, kami akan menerimamu sebagai tamu dan sahabat baik, dan semua permintaan Nona yang menjadi muridmu ini tentu akan kami pertimbangkan baik-baik. Akan tetapi kalau engkau tidak bisa menjawab, engkau dan muridmu harus pergi dari sini tanpa banyak ribut lagi dan tidak boleh mencari perkara. Aku beri waktu satu bulan kepadamu dan selama kau memikirkan jawabannya, engkau boleh tinggal di dalam kamar tahanan bersama muridmu selama sebulan dengan jaminan makan minum secukupnya. Bagaimana? Beranikah kau menerima tantanganku ini?"
"Ha-ha-ha! Cukup adil! Boleh sekali, akan tetapi ingat, kalau sampai aku bisa menjawab, segala permintaanku harus kau penuhi. Permitaanku tidak banyak, hanya menantang Koksu, engkau dan dia ini.... eh, bukankah aku pernah melihat hwesio gendut ini di Tibet? Kalau tidak salah, ada seorang lagi yang kurus kering, dua orang Lama dari Tibet...."
Thian Tok Lama merangkap kedua tangan di depan dadanya.
"Omitohud, ingatan Locianpwe benar-benar tajam sekali. Memang pinceng adalah Thian Tok Lama dari Tibet."
"Bagus! Dari India, dari Tibet, semua berkumpul di sini mengabdi kepada Mancu, ya? Luar biasa. Nah, aku akan menantang kalian bertiga mengadu ilmu, sedangkan permintaan muridku adalah.... eh, Kwi Hong, apa permintaanmu kalau aku menang bertaruh? Jangan malu-malu, katakan saja!"
"Suhu,"
Kwi Hong mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang.
"Mengapa urusan ini dibuat main-main? Lebih baik sekarang saja gempur mereka!"
"Wah, jangan begitu! Apa kau mau merampas kesenanganku bertaruh? Jangan khawatir, aku pasti menang. Nah, kalau aku menang, apa permintaan dan tuntutanmu?"
"Permintaanku, pertama Maharya harus mengembalikan Hok-mo-kiam dan kupotong ujung hidungnya yang terlalu panjang karena dia telah berani membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang. Ke dua, Koksu yang memimpin pasukan yang merusak Pulau Es harus membangun kembali pulau itu seperti dahulu dan berlutut minta ampun ke depan Pendekar Super Sakti, menerima segala hukuman dan keputusan yang dijatuhkan oleh Pendekar Super Sakti."
"Nah, bagaimana, Maharya?"
Koksu hendak membantah. Tentu saja tuntutan itu amat berat dan tak mungkin dilaksanakan. Biarpun kakek pendek ini lihai bukan main, akan tetapi setelah berani memasuki istananya dan dikurung oleh ratusan pengawal, bahkan kalau dia menggerakkan pasukan sampai ribuan orang pun tidak sukar, perlu apa takut dan mengalah. Akan tetapi Maharya sudah cepat menjawab,
"Boleh! Nah, mari kita masuk ke ruangan dalam untuk mulai bertanding pengetahuan ilmu kebatinan."
"Suhu....!"
Kwi Hong menyatakan keraguannya dengan pandang mata. Sungguh amat bodoh memasuki istana itu, sama dengan memasuki guha harimau. Akan tetapi gurunya tersenyum lebar dan berkata,
"Jangan ragu-ragu, masuk saja. Hendak kulihat apa yang akan dikeluarkan dari perut Maharya!"
Sebagai seorang pahlawan yang pulang dari medan perang membawa kemenangan, Bu-tek Siauw-jin berjalan dengan penuh gaya, dadanya diangkat membusung, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum-senyum dan matanya memandang ke kanan-kiri! Akan tetapi Kwi Hong berjalan dengan hati-hati, menunduk dan sepasang matanya yang indah mengerling ke kanan-kiri, siap siaga menghadapi penyerangan gelap atau jebakan musuh. Koksu kini mengerti bahwa Maharya hendak menundukkan kakek pendek itu secara halus,
Maka dia pun diam saja, hanya diam-diam dia memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengadakan persiapan dan mengerahkan pasukan untuk menjaga dan mengurung. Adapun Maharya diam-diam memperhatikan Bu-tek Siauw-jin. Puluhan tahun yang lalu dia memang pernah bertemu dengan Bu-tek Siauw-jin di lereng Pegunungan Himalaya yang tinggi dan kakek ini dahulu hanya mengaku berjuluk Siauw-jin saja, sebuah "julukan"
Yang amat aneh dan kiranya orang sedunia, apalagi seorang tokoh kang-ouw yang berilmu, tidak ada yang sudi menggunakannya karena Siauw-jin berarti manusia rendah budi! Dan orang pendek itu sejak dahulu memang berwatak ugal-ugalan, namun penuh rahasia dan memiliki ilmu yang aneh-aneh.
Memang Bu-tek Siauw-jin, tokoh atau datuk kedua Pulau Neraka ini amat berbeda dengan suhengnya, Cui-beng Koai-ong datuk pertama Pulau Neraka. Kalau Cui-beng Koai-ong selalu menyembunyikan diri, lebih banyak berdekatan dengan mayat-mayat dan kerangka-kerangka manusia daripada dengan manusia hidup dan mencari ilmu-ilmu hitam di dalam tanah-tanah kuburan, sebaliknya Bu-tek Siauw-jin ini selain mencari ilmu-ilmu hitam di kuburan, juga suka melakukan perantauan tanpa tujuan dengan menggunakan nama samaran Siauw-jin dan tak pernah mengaku bahwa dia datang dari Pulau Neraka. Karena itu, dia telah merantau sampai jauh ke barat, melalui Himalaya, Tibet, sampai ke India dan Nepal. Akan tetapi namanya tidak terkenal dan dia hanya dikenal oleh orang yang pernah berjumpa dengannya sebagai seocang yang berotak miring atau berwatak sinting.
Di lain pihak, biarpun dia sendiri tidak terkenal, namun dalam perantauannya ini Bu-tek Siauw-jin mengenal dunia kang-ouw dan mengenal pula atau setidaknya mendengar nama para tokoh kang-ouw dan tahu akan kelihaian dan keistimewaan mereka. Mereka telah memasuki ruangan yang luas. Yang ikut masuk ke dalam ruangan itu mengiring-kan Bu-tek Siauw-jin dan Kwi Hong adalah Maharya, Koksu, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan belasan orang panglima pengawal. Namun tentu saja dengan diam-diam ruangan itu, juga gedung itu, telah dikurung oleh pasukan yang melakukan penjagaan ketat. Tanpa dipersilakan lagi, Bu-tek Siauw-jin lalu duduk di atas kursi, menyambar seguci arak dan minum arak itu tanpa cawan dan tanpa penawaran tuan rumah lagi. Arak itu dituangkan begitu saja ke mulut sampai gucinya kosong! Kemudian ia mengembalikan guci kosong ke atas meja, mengusap bibir dengan ujung lengan baju dekil dan berkata,
"Nah, keluarkan isi perutmu, Maharya. Pertanyaan tentang ilmu batin apa yang hendak kau ajukan untuk kupecahkan dan jawab? Hayo, keluarkan seluruh kepunsuanmu (kepandaianmu)!"
Semua orang mengambil tempat duduk, kecuali Kwi Hong yang hanya berdiri di belakang gurunya, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan meraba gagang pedang, wajahnya dingin. Kalau ada orang yang sudah mengenal Kwi Hong sebelum ia menjadi murid Bu-tek Siauw-jin, tentu kini akan terheran-heran melihat betapa wajah dan sikap dara itu berubah sama sekali.
Kini wajah yang dahulu cerah dan riang itu kelihatan muram dan dingin, sikapnya angkuh dan memandang rendah. Tanpa disadarinya oleh dia sendiri, pengaruh ilmu mujijat yang dimilikinya telah menguasai batinnya! Hal ini tidak diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin. Kakek ini adalah seorang yang telah memiliki batin kuat sekali, dan memang memiliki dasar yang baik sehingga dia dapat mengatasi pengaruh segala ilmu hitam yang dipelajarinya. Berbeda dengan suhengnya yang juga tercengkeram oleh pengaruh ilmu hitam. Kini murid kakek ini, Kwi Hong, biarpun semenjak kecil digembleng oleh Pendekar Super Sakti, kini tanpa disadarinya juga mulai berubah sikapnya, menjadi dingin, murung dan kehalusan perasaannya menipis, membuatnya tak pedulian dan kejam.
"Bu-tek Siauw-jin,"
Maharya mulai bicara sedangkan semua orang mendengarkan penuh ketegangan karena belum pernah mereka yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi ini menyaksikan pertandingan seaneh ini, pertandingan mengadu pengetahuan tentang ilmu batin!
"Segala macam ilmu kepandaian yang dimiliki manusia di dunia ini tidak ada artinya kalau manusia tidak mengerti akan hidup dan inti hidup. Karena itu, mengapa kita mesti berkelahi seperti anak kecil untuk menentukan siapa yang lebih unggul? Sebaiknya kita menguji kematangan jiwa. Apakah engkau siap untuk mencoba memecahkan dan menjawab pertanyaanku?"
"Wah, sejak dahulu kau memang tajam lidah! Lekas keluarkan pertanyaan kentutmu itu, perlu apa banyak rewel?"
Bu-tek Siauw-jin kena dibakar dan dibuat tidak sabar oleh sikap Maharya yang memang sengaja merangsang kemarahan lawannya.
"Bu-tek Siauw-jin, jawablah ini: Apakah yang dinamakan Aku yang sejati?"
"Apa lagi?"
"Cukup satu itu, karena yang satu itu sudah mencakup seluruh pengetahuan batin."
"Hemmm...., di dunia ini banyak sekali pengetahuan kebatinan berdasarkan agama dan filsafat yang timbul dari tradisi bangsa-bangsa. Kurasa masing-masing agama mempunyai jawaban yang berbeda-beda terhadap pertanyaanmu itu, Maharya. Jawaban dari sudut pendangan agama apa yang kau kehendaki?"
"Aku tidak akan menyangkut kepercayaan agama atau filsafat, karena selama masih ada yang menyangkal, berarti belum tentu tepat. Jawaban agama atau filsafat tentu akan menghadapi tantangan dari agama atau filsafat lain. Aku menghendaki agar engkau dapat memecahkan ini dengan tepat, disertai dengan alasan-alasan yang kuat, tidak peduli engkau mengambil agama atau filsafat apa pun, asal benar. Hanya aku menghendaki jawaban satu kali saja dan hanya yang satu kali itu yang berlaku, benar atau salah. Kalau benar, kami siap memenuhi semua permintaanmu. Kalau salah, engkau dan muridmu harus pergi dari sini dan selamanya tidak boleh mengganggu kami lagi."
Bu-tek Siauw-jin benar-benar merasa terpukul. Tak disangkanya Maharya akan mengajukan pertanyaan yang sedemikian hebat! Pertanyaan yang mungkin sekali waktu akan menyelinap ke dalam hati setiap orang manusia dan yang sudah ribuan tahun semenjak sejarah manusia tercatat, belum ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu! Dia menggaruk-garuk kepalanya dan menoleh kepada Kwi Hong.
"Kwi Hong, monyet kurus ini benar-benar lihai sekali. Aku memerlukan waktu untuk memikirkan jawaban pertanyaan itu. Terpaksa kita harus mengeram di dalam kamar tahanan untuk beberapa hari, muridku."
Kwi Hong cemberut,
"Suhu, perlu apa melayani segala macam obrolan? Harap Suhu jangan kena dibujuk dan ditipu mentah-mentah oleh pendeta palsu itu! Tanpa bantuan Suhu sekalipun, aku sanggup untuk membasmi mereka semua ini!"
Kwi Hong membuat gerakan dan tiba-tiba terdengar suara berdesing dan tampak sinar kilat menyambar di dalam ruangan itu.
"Pedang Iblis....!"
Koksu dan Thian Tok Lama berseru kaget menyaksikan pedang yang berkilat-kilat di tangan gadis itu.
"Hushhh, sarungkan kembali pedangmu, muridku."
Bu-tek Siauw-jin menyentuh lengan Kwi Hong dan gadis itu terkejut karena merasa lengannya tergetar. Suhunya telah mempergunakan tenaga dan ini tentu berarti bahwa dia harus menyimpan pedangnya karena sesuatu yang amat gawat. Sambil menghela napas dia menyimpan kembali pedangnya dan menundukkan muka.
"Maharya, engkau tua bangka licik! Pertanyaanmu merupakan pertanyaan seluruh manusia, akan tetapi karena waktunya sebulan, biarlah aku dan muridku berdiam di dalam kamar tahanan sebagai tamu yang tidak agung. Heh-heh-heh! Marilah, antar kami ke tempat kami!"
Dengan wajah berseri Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama sendiri mengantar kedua orang itu ke dalam kamar tahanan yang berada di ruangan bawah tanah, melalui anak tangga dan terowongan yang amat dalam. Mereka berdua memasuki sebuah kamar yang ditunjuk, kemudian pintunya yang terbuat dari baja yang amat kuat seperti pintu kerangkeng gajah itu ditutup dan dikunci dari luar. Demikianlah, guru dan murid ini menjadi orang-orang tahanan dan mereka selalu menerima jaminan makan dan minum melalui jeruji di atas pintu kamar tahanan.
"Mengapa Suhu begini bodoh mau ditipu?"
Kwi Hong menegur gurunya setelah mereka berada di dalam kamar tahanan.
"Wah, jangan murung, muridku yang manis! Tempat ini amat baik untuk engkau berlatih dan memperdalam ilmumu. Dengar baik-baik. Kulihat Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama merupakan lawan-lawan yang tidak lemah. Apalagi di samping mereka masih ada belasan orang panglima dan mungkin ribuan orang perajurit. Karena itu, sebelum kita turun tangan, engkau harus menyempurnakan ilmu pedangmu yang baru lebih dulu, dan mematangkan tenaga sin-kangmu. Waktu yang sebulan ini kiranya cukup. Dan selain engkau dapat berlatih, aku pun amat tertarik untuk mencari jawaban atas pertanyaan Maharya itu."
Kwi Hong mengangguk-angguk.
Kelihatannya saja gurunya ini sinting, sebenarnya di balik watak sintingnya itu bersembunyi kecerdikan yang mengagumkan. Maka dia pun tidak banyak cakap lagi dan berlatih dengan tekunnya di dalam kamar tahanan, kadang-kadang saja menerima petunjuk dari Bu-tek Siauw-jin. Adapun kakek ini, untuk melewatkan waktunya, kadang-kadang duduk bersila dan mengerutkan kening, mengasah otak sampai-sampai ubun-ubunnya mengepulkan uap putih, mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukan Maharya. Kalau sudah terlalu lelah dan jawaban yang tepat belum juga dapat ditemukan, dia lalu bermain-main seperti anak kecil, kadang-kadang mengumpulkan batu dan dibuatlah kelereng, bermain kelereng sendirian sambil tertawa-tawa.
Telah tiga pekan mereka berada di dalam kamar itu dan ilmu pedang Kwi Hong sudah mengalami kemajuan yang pesat sekali sehingga menggirangkan hati gurunya. Akan tetapi, pertanyaan itu masih belum didapatkan jawabnya oleh Bu-tek Siauw-jin! Saking kesalnya, ketika ia mendengar jangkerik, dia girang sekali dan ingin benar dia menangkap jangkerik itu. Mereka berdua tidak tahu bahwa pada saat itu, percakapan mereka didengarkan oleh Suma Han dan Milana, di dalam kamar tahanan yang berada di atas mereka! Melihat betapa gurunya ingin sekali menangkap jangkerik, dan karena keadaan cuaca dalam kamar tahanan itu agak gelap, Kwi Hong lalu menyalakan lampu minyak sehingga kamar itu tidak begitu gelap lagi.
"Wah-wah-wah, tidak mau mengerik lagi!"
Bu-tek Siauw-jin berlutut di lantai, menelungkup dan menempelkan telinganya di lantai yang penuh batu berserakan, yaitu batu-batu yang dicokel keluar dari lantai oleh kakek itu untuk dipakai sebagai gundu.
"Wah, kenapa lampunya dinyalakan? Kalau keadaan terang, tentu saja jangkerik itu mengira hari telah siang dan tidak mau berbunyi."
"Memang sekarang bukan malam, Suhu."
"Benar, akan tetapi kalau tidak dinyalakan akan gelap, jangkerik itu mengira malam dan berbunyi. Hayo padamkan lagi biar dia mengeluarkan bunyi!"
"Aihh, Suhu ini aneh-aneh saja! Biarpun lampu dipadamkan, kalau Suhu ribut-ribut begitu mana dia mau mengerik? Pula, sudah diketahui dia berada di dalam lubang itu, biar dia mengerik sekalipun tentu dari dalam lubang."
"Oya, kau benar aku yang salah. Kalau begitu, biar kukencingi!"
"Jangan, Suhu! Kamar ini menjadi makin bau! Karena kalau ditepuk-tepuk di sekitar lubang, dia akan kaget dan akan keluar juga, atau kalau ditiup lubangnya."
Kini Kwi Hong mulai tertarik dan ia pun ikut berlutut di dekat suhunya, mereka memandangi lubang jangkerik seolah-olah hal menangkap jangkerik merupakan peristiwa yang terpenting di saat itu!
"Oya, kau benar dan aku salah!"
Kembali kakek itu berkata.
"Kalau kukencingi, mana jangkerik itu kuat bertahan terkena kencingku? Tentu akan mati pengap! Biar kutiup lubangnya dan kau tepuk-tepuk di sebelah atas lubangnya."
Dua orang itu bekerja sama dengan asyik. Tiba-tiba dari dalam lubang itu meloncat keluar seekor jangkerik yang segera ditangkap oleh tangan kakek itu yang segera bersorak girang sambil menggenggam jangkerik itu. Kwi Hong juga terseret dalam kegembiraan. Baru sekarang tampak wajahnya berseri dan kembalilah dia seperti Kwi Hong yang lincah gembira. Akan tetapi hanya sebentar saja.
"Besarkah jangkeriknya, Suhu? Merah atau hitam bulunya?"
Mereka mengintai bersama ketika kakek itu membuka sedikit genggaman tangannya.
"Uhhhh!"
Kwi Hong berseru geli dan menutupi mulutnya.
"Sialan dangkalan!"
Bu-tek Siauw-jin memaki ketika melihat ke dalam genggaman tangannya.
"Ini namanya jangkerik upo (jangkerik kecil pemakan nasi upo)! Jangkerik kecil tidak bisa diadu! Engkau penipu kecil seperti Maharya saja!"
Kakek itu tiba-tiba membuka lebar mulutnya dan.... jangkerik kecil itu ditelannya bulat-bulat! Kalamenjingnya bergerak dan berbunyi
"ceguk-ceguk!"
Ketika ia menelan jangkerik itu hidup-hidup!
"Ihhhh! Mengapa Suhu jorok (kotor) sekali? Masa jangkerik hidup-hidup ditelan?"
Kwi Hong mencela. Gurunya ini benar-benar aneh, kadang-kadang dia pandang sebagai guru yang pandai, akan tetapi ada kalanya dia merasa seperti berhadapan dengan seorang anak kecil yang memerlukan teguran-teguran!
"Apa kau bilang? Kotor? Wah, menelan jangkerik mentah dan hidup masih mending. Pernahkah engkau mendengar orang-orang sinting menelan cindil (anak tikus) hidup-hidup? Coba bandingkan! Kan lebih gagah jangkerik daripada cindil? Jangkerik memiliki sifat jantan dan pemberani, tidak seperti tikus-tikus cilik itu!"
Kwi Hong tidak mau membantah lagi. Payah memang berbantah dengan gurunya yang pandai berdebat ini. Pula, kegembiraannya sudah hilang dan kembali dara itu termenung dengan wajah muram dan dingin.
"Kwi Hong....!"
Tiba-tiba terdengar suara panggilan yang amat jelas, seolah-olah Kwi Hong mendengar suara pamannya di dekat telinga dan pamannya seperti berdiri di sampingnya. Kwi Hong mencelat kaget.
"Paman....!"
"Kwi Hong, dengan siapa engkau di situ dan mengapa?"
Kembali suara Pendekar Super Sakti bergema memasuki ruangan kamar tahanan itu.
"Paman, di mana engkau? Suaramu begini dekat....!"
Kwi Hong yang merasa bingung itu tiba-tiba menjadi takut. Bagaimana dia harus menerangkan kepada pamannya bahwa dia telah menjadi murid kakek sinting, Datuk Pulau Neraka ini?
"Ha-ha-ha-ha! Sungguh lucu! Eh, bukankah Suma-Taihiap, Pendekar Super Sakti To-cu Pulau Es yang berada di atas itu? Maaf, maaf! Kita belum pernah saling bertemu akan tetapi sudah bertahun-tahun aku kagum sekali kepada Taihiap. Sekarang, secara aneh kita bertemu akan tetapi tak dapat saling pandang! Ha-ha-ha!"
Karena kakek itu mengerahkan khi-kang maka suaranya meluncur melalui lubang kecil itu ke kamar di atas dan terdengar jelas sekali oleh Suma Han yang menjadi kagum dan maklum bahwa orang yang berada di bawah bersama keponakannya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Siapakah Locianpwe yang telah mengenalku?"
Tanyanya, menahan rasa penasaran karena tadi keponakannya menyebut "suhu"
Kepada orang itu.
"Wah-wah, jangan menyebutku Locianpwe. Harap Taihiap ketahui bahwa aku hanyalah seorang kakek tua bangka yang tidak ada harganya, hanya keturunan para buangan di Pulau Neraka."
Suma Han makin terkejut dan teringatlah ia akan penuturan Alan puteri Ketua Thian-liong-pang tentang keponakannya yang keluar dari lubang kuburan! Suaranya memang berbeda akan tetapi siapa lagi yang begitu lihai dan mengaku sebagai keturunan buangan Pulau Neraka kalau bukan kakek mayat hidup yang pernah bertemu dan bertanding dengannya, yang amat sakti itu sehingga hampir saja ia celaka? Akan tetapi, mungkinkah Kwi Hong menjadi murid manusia iblis itu? Bukankah kakek iblis itu menjadi guru Wan Keng In? Dia merasa bingung dan hatinya tegang.
"Apakah Cui-beng Koai-ong di bawah sana?"
Tanyanya penuh wibawa.
"Ha-ha-ha, kiranya Taihiap sudah pernah bertemu dengan Suhengku itu? Tidak, Taihiap. Aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin, sutenya dan aku mendapat kehormatan besar sekali untuk menjadi guru keponakanmu."
Kwi Hong berdiri dengan muka pucat. Dia tahu bahwa dia telah berbuat sesuatu yang amat salah dalam pandangan pamannya. Dia adalah keponakan, dan terutama sekali murid Pendekar Super Sakti. Bagaimana dia berani menjadi murid orang lain? Hal ini sama saja dengan menghina guru atau pamannya itu! Maka, sebelum pamannya mengucapkan sesuatu yang timbul dari kemarahan, dia cepat mendahului, berkata dengan pengerahan khi-kang.
"Paman, harap suka mendengarkan penuturanku!"
Cepat dia menuturkan pertemuannya dengan Bu-tek Siauw-jin dan bagaimana dia sampai menjadi muridnya. Betapa gurunya itu biarpun seorang Datuk Pulau Neraka, akan tetapi sikapnya baik sekali, bahkan kini mereka ke kota raja karena kakek itu hendak membantunya menghadapi musuh-musuhnya, Koksu dan kaki kanannya.
"Sayang sekali, Suhu ditipu oleh Maharya. Suhu diajak bertaruh memecahkan sebuah pertanyaan yang sulit. Suhu diberi waktu sebulan di sini, dan sudah tiga pekan kami berada di sini, agaknya Suhu belum berhasil! Harap Paman suka mengampunkan aku yang lancang.... akan tetapi sesungguhnya Suhu adalah seorang yang sakti dan amat baik, Paman."
Sunyi sejenak, hanya terdengar suara Bu-tek Siauw-jirt tertawa kecil, agaknya merasa geli mendengarkan penuturan Kwi Hong tadi.
"Bu-tek Siauw-jin, setelah mendengar penuturan keponakanku, dan karena sudah terlanjur dia menjadi muridmu, biarlah aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Pertanyaan apakah yang diajukan oleh Maharya kepadamu? Aku akan membantumu mencarikan jawabannya."
"Bagus! Engkau benar-benar seorang pendekar tulen, Suma-Taihiap! Tidak saja tidak marah kepadaku yang merampas muridmu, akan tetapi juga berterima kasih dan ingin membantuku memecahkan teka-teki. Wah, kalau engkau benar-benar bisa membantuku memecahkan pertanyaan itu, benar-benar aku takluk dan mengangkat engkau sebagai sahabatku yang paling jempol di dunia ini! Pertanyaannya adalah : Apakah yang dinamakan Aku yang sejati? Nah, bantulah aku menjawabnya, Taihiap."
Suma Han yang tadinya mendekatkan mukanya di lantai kamar tahanan, kini bangkit duduk dan kedua alisnya berkerut. Pertanyaan yang amat luar biasa! Bagaimana menjawabnya? Dia sudah banyak membaca filsafat kuno dari berbagai agama. Akan tetapi, apakah jawabannya yang tepat? Apakah itu SENG yang merupakan anugerah Tuhan seperti yang dimaksudkan dalam ujar-ujar Nabi Khong-cu? Apakah itu TAO seperti yang dimaksudkan dalam Agama Tao? Ataukah Atman seperti yang disebut-sebut oleh pendeta-pendeta Hindu. Ataukah Roh Suci? Mana yang benar? Melihat ayah kandungnya duduk termenung diam tak bergerak seperti arca itu, Milana ikut pula duduk di lantai.
Luka-lukanya sudah sembuh, tubuhnya tidak merasa nyeri lagi. Dia duduk bersila dan memikirkan pertanyaan aneh itu. Hatinya bicara sendiri. Hemm, orang-orang tua ini memang aneh! Apa gunanya? Apa untungnya kalau mengetahui AKU SEJATI? Membuang-buang tenaga pikiran saja. Pula apapun juga jawabannya, siapa yang akan dapat memastikan apakah jawaban itu benar atau salah? Adakah manusia yang pernah melihatnya atau bertemu dengan AKU SEJATI itu? Mungkin ada, pikirnya. Kalau tidak ada mengapa disebut-sebut? Adanya disebut, tentu ada yang pernah mengalami bertemu dengannya! Kepalanya menjadi pening memikirkan pertanyaan yang ruwet itu. Jangankan mendapatkan jawaban, bahkan pertanyaan itu saja tidak dimengertinya. Dia tidak mengenal yang disebut Aku Sejati itu. Mendengar pun baru sekarang!
Milana melirik ke arah ayahnya dan melihat pendekar itu masih duduk termenung penuh kesungguhan, dia tidak berani mengganggu, bahkan menjauhinya dan untuk melewatkan waktu Milana meraba-raba dinding untuk memeriksanya dan mencari kemungkinan membobol dinding itu. Tiba-tiba jari tangannya yang halus itu meraba permukaan dinding yang tidak rata, ada lubang-lubang besar kecil, panjang pendek seperti ukir-ukiran. Dia tertarik sekali dan cepat dia menggosok
(Lanjut ke Jilid 35)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jilid 35
dan membuang lumut-lumut hijau yang tumbuh di atas batu dinding. Maka tampaklah ukiran huruf-huruf kecil di atas batu. Dengan penuh semangat dan amat tertarik, Milana terus membersihkan batu dinding dan setelah bekerja keras hampir satu jam lamanya, akhirnya dia dapat melihat sebaris huruf yang cukup jelas. Saking girangnya, dia lupa akan ayahnya dan membaca huruf-huruf itu dengan suara agak keras.
Pendekar Super Sakti Eps 10 Kisah Pendekar Bongkok Eps 8 Kisah Pendekar Bongkok Eps 25