Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 38


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 38



Tentu saja Bun Beng menjadi makin tertarik untuk menentang pasukan itu. Ketua Thian liong pang adalah isteri Pendekar Super Sakti, dan ibu Milana! Tentu saja dia akan membela Thian liong pang, atau setidaknya membela Milana yang pernah dengan mati matian menyelamatkannya dari bahaya maut. Selama hidupnya dia takkan dapat melupakan budi kebaikan dara ini, selama hidupnya dia tidak akan dapat melupakan dara itu bukan hanya cantik jelitanya, bukan hanya karena dia puteri Pendekar Super Sakti yang dikaguminya, melainkan karena.... dia tidak mungkin dapat melupakan pribadi dara itu! Dia sendiri sampai menjadi bingung seperti orang mabok. Mabok asmara! Selama membayangi rombongan itu sampai belasan hari lamanya, akhirnya rombongan berkuda itu tiba di tempat tujuan mereka.

   Sebuah tempat yang sunyi, merupakan bangunan bangunan darurat di luar kota yang jauh dari masyarakat ramai, dikurung pagar yang tinggi sehingga tidak tampak dari luar. Bun Beng menanti sampai keadaan menjadi sunyi dan ternyata di tempat itu telah tinggal puluhan orang sehingga dengan para pendatang itu jumlah mereka mendekati seratus orang yang kesemuanya kelihatan berkepandaian tinggi! Setelah malam tiba dan cuaca mulai gelap, Bun Beng menyelinap dan mendekati pagar, siap untuk meloncat dan menyelidik ke dalam. Akan tetapi tiba-tiba dia berjongkok dalam gelap ketika melihat berkelebatnya bayangan meloncati pagar. Gerakan orang itu cukup ringan dan lincah dan sekelebatan Bun Beng melihat bahwa orang itu adalah seorang laki laki bertubuh kurus jangkung, berusia empat puluhan tahun dan tangan kanannya memegang sebatang golok besar.

   Bun Beng tidak tahu siapa orang itu akan tetapi dapat menduga bahwa dia itu tentulah bukan anggota rombongan yang tinggal di situ, karena gerakan dan sikapnya seperti seorang pencuri. Diam-diam Bun Beng meloncat ke atas pagar dan cepat melayang turun ke sebelah dalam, dari jauh dia membayangi orang bergolok itu. Benar saja dugaannya. Orang itu kini mendekam di atas wuwungan dan perla-han lahan membuka genteng! Akan tetapi, karena gerakan orang itu ketika meloncat ke atas wuwungan menimbulkan sedikit suara, tiba-tiba Bun Beng melihat bayangan bayangan orang meloncat naik ke atas genteng dengan berturut turut. Jumlah mereka delapan orang dan Si Pencuri itu telah terkurung. Si Pencuri itu meloncat bangun dan mengamuk. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah.

   Biarpun gerakan golok pencuri itu cukup lihai, namun menghadapi pengeroyokan belasan orang yang rata rata memiliki ilmu silat yang cukup kuat akhirnya dia roboh, goloknya terlepas dan dia dihujani pukulan kemudian diringkus, diikat kaki dan tangannya dan dibawa masuk ke dalam pondok. Bun Beng tidak mau tahu apa yang mereka lakukan terhadap pencuri itu. Dia lebih perlu melakukan penyelidikan keadaan tempat itu. Ternyata tempat itu cukup luas dan sedikitnya ada dua puluh buah pondok darurat yang dibangun secara sederhana akan tetapi cukup kuat. Di sudut terdapat sebuah bangunan besar dan agaknya malam itu mereka berpesta, diseling suara ketawa ketawa laki laki dan perempuan. Hemm, kiranya di tempat itu disediakan pula wanita wanita untuk menghibur pasukan khusus itu, pikir Bun Beng. Dia memutari bangunan-bangunan itu dan memeriksa ke pekarangan belakang.

   Di tempat inilah tampak beberapa lidah api bernyala nyala keluar dari tanah, dan tak jauh dari situ ia melihat sebuah sumur. Ketika ia menjenguk ke dalam sumur, hidungnya mencium bau keras, bau minyak! Hmm, bukan air yang berada di sumur itu agaknya, melainkan minyak! Benar benar Bun Beng tidak mengerti dan dia cepat menjauhi sumur karena menjenguk sebentar saja, kepalanya pening dan dadanya sesak. Uap minyak itu beracun agaknya! Tiba-tiba terdengar suara ribut ribut dari dalam. Bun Beng menyelinap di tempat gelap dan melihat empat orang menyeret pencuri tadi yang sudah dibelenggu kaki tangannya. Melihat keadaan pencuri itu tentu dia telah disiksa karena matanya bengkak bengkak dan dia tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali merintih perlahan.

   Empat orang diikuti oleh belasan orang yang tertawa-tawa geli, seolah-olah mereka hendak menyaksikan pertunjukan yang menarik hati. Dengan hati ngeri dan sebal, Bun Beng melihat betapa mereka menggantung kaki pencuri sial itu di atas sumur, kepalanya di bawah kakinya di atas, kemudian mengereknya turun sehingga tampak hanya kakinya di atas permukaan bibir sumur, terikat pada tali timba sumur. Kaki itu meronta ronta dan talinya bergoyang goyang sedangkan belasan orang yang mengelilingi sumur itu tertawa bergelak gelak, kemudian mereka meninggalkan sumur itu sambil tertawa-tawa, kembali ke dalam pondok, dan ada pula yang agaknya hendak menuju ke pondok di sudut di mana terdengar suara wanita bernyanyi nyanyi dan orang-orang tertawa-tawa.

   Bun Beng tidak maju menerjang orang-orang itu karena tidak tahu siapa pencuri itu, sehingga tidak perlu dia meninggalkan keributan di tempat itu hanya untuk membela seorang pencuri yang tidak dikenalnya. Akan tetapi setelah orang-orang itu pergi Bun Beng cepat meloncat mendekati sumur. Malam telah hampir lewat dan sinar kemerahan telah muncul di timur. Sebelum terang tanah, dia harus cepat keluar dari tempat itu, maka Bun Beng segera menyambar tali timba dan menarik keluar pencuri sial itu. Orang itu napasnya sudah empas empis. Bun Beng mengangkatnya keluar dan merebahkannya ke atas tanah, merenggut putus belenggu kaki tangannya. Orang itu membuka matanya yang bengkak bengkak, tadinya mengira bahwa dia akan disiksa lagi. Akan tetapi ketika melihat seorang pemuda berjongkok di dekatnya dan pemuda itu melepaskan belenggu kaki tangannya, mulutnya bergerak-gerak lirih,

   "Persekutuan.... hendak membunuh Kaisar.... membunuh Pangcu...."

   Bun Beng mengerutkan alisnya. Hmm, kiranya bukan seorang pencuri, melainkan seorang mata-mata agaknya!

   "Engkau anggota perkumpulan apa?"

   "Mereka.... menyiksaku.... aku tidak pernah mengaku.... Thian.... Pangcu akan dibunuh.... auugghh...."

   Orang itu terkulai, akan tetapi Bun Beng sudah tahu atau dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang anggota Thian liong-pang, seorang mata-mata Thian liong pang yang dapat mencium rahasia persekutuan itu,

   Akan tetapi tertangkap dan terbunuh. Karena tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menolong orang yang sudah mati itu, Bun Beng lalu meninggalkannya dan menuju ke pagar untuk meloncat ke luar. Akan tetapi dia terlambat karena pada saat itu, terdengar suara orang dan tampak belasan orang keluar dan menuju ke sumur itu sambil membawa ember-ember besar. Bun Beng tidak jadi lari pergi karena kembali dia tertarik dan ingin mengetahui apa yang hendak dilakukan orang-orang itu dengan ember ember mereka? Dia melihat ke sekelilingnya dan melihat gentong gentong besar berada tak jauh dari sumur. Cepat ia lari menghampiri dan memasuki sebuah di antara gentong-gentong kosong itu, bersembunyi di situ dan menggunakan jari tangannya menusuk gentong sehingga berlubang dan ia mengintai dari lubang itu keluar!

   "Haiii! Kenapa dia bisa terlepas....?"

   "Wah, belenggunya putus semua...."

   "Akan tetapi dia sudah mampus!"

   "Hemm, orang ini lumayan kuatnya, dapat membebaskan diri dari gantungan. Tentu dia orang terkenal dari Thian-liong pang, sayang dia berani menyelidiki kita sehingga mati konyol."

   "Dia tentu berusaha melarikan diri, akan tetapi kekuatannya habis setelah mematahkan belenggu kaki tangannya dan mampus."

   Seorang di antara mereka melapor ke dalam dan muncullah seorang laki laki bertubuh raksasa, bertelanjang dada dan kepalanya gundul akan tetapi mukanya penuh cambang bauk. Di sebelahnya berjalan seorang tinggi kurus yang mukanya pucat kuning, namun sikapnya me-nunjukkan bahwa dialah pemimpin di situ sedangkan raksasa itu adalah pembantu utamanya.

   "Kubur dia di sudut kosong sana!"

   Terdengar laki laki tua kurus itu berkata. Dua orang menggusur mayat itu, kemudian laki laki muka pucat itu berkata lagi,

   "Hari ini kita menimba sepuluh gentong penuh untuk memenuhi permintaan Pangeran Jenghan yang harus dikirim besok. Kemudian semua harus bersiap, karena kita hanya menanti datangnya berita dari Koksu saja untuk segera bergerak ke selatan secara menggelap."

   Setelah kedua orang pemimpin itu pergi, maka belasan orang bekerja menimba minyak dari dalam sumur dan mengisi gentong gentong kosong yang berjajar. Diam-diam Bun Beng merasa lega karena dia berada di dalam gentong yang ke enam belas sehingga tidak khawatir akan disiram minyak!

   Diam-diam dia memperhatikan orang-orang yang menimba minyak campur lumpur itu. Bagaimana dia harus meninggalkan persekutuan ini atau setidaknya mengacaukan tempat itu? Untuk melawan orang banyak itu, kurang lebih seratus orang banyaknya, dia tidak takut, akan tetapi apa gunanya? Orang-orang itu kelihatan pandai, apalagi Si Kurus muka pucat dan Si Raksasa itu, tentu bukan orang-orang sembarangan. Kalau dia sekarang meloncat ke luar dan melarikan diri, tentu dia bisa lolos dari tempat itu, akan tetapi dia ingin sekali melihat kedatangan utusan Koksu dan mendengar perkembangan selanjutnya dan rombongan orang kuat yang sengaja dikumpulkan di tempat itu. Selain menjadi tempat memusatkan calon pasukan istimewa untuk melawan Thian liong pang, juga agaknya mereka itu sekalian berjaga, menjaga sumber minyak!

   Untung bahwa Bun Beng tidak menunggu terlalu lama. Sebentar saja, kurang lebih dua tiga jam, sepuluh buah gentong telah penuh dengan minyak dan lumpur, kemudian mereka semua pergi untuk membereskan tubuh yang berlumuran lumpur. Lebih baik ku kacau mereka sekarang, kemudian melihat perkembangan lebih jauh, pikir Bun Beng. Dia belum begitu mengenal minyak yang diambil dari sumur itu, akan tetapi dia tahu bahwa api bernyala kalau bertemu minyak. Melihat di sekitar sumur itu sudah sunyi, Bun Beng meloncat keluar dari gentong, mengambil sebatang kayu kering mencelupkan kayu itu ke dalam gentong yang penuh minyak, kemudian dengan pedang Hok mo kiam dia memukul batu di bibir sumur sehingga berpijarlah bunga api yang menyambar kayu itu. Kayu itu bernyala keras seperti yang diduga oleh Bun Beng. Sambil tersenyum Bun Beng lalu melemparkan kayu bernyala itu ke dalam sumur!

   "Heiii! Tangkap pengacau!"

   Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan seorang berpakaian Han menyerang Bun Beng dari belakang dengan pedangnya. Gerakan orang itu cukup tangkas karena dia meloncat dari jarak empat meter, sambil meloncat pedangnya menusuk ke arah punggung Bun Beng dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga besar. Pada saat itu, Bun Beng sedang berdiri tegak, pedang Hok mo kiam masih terhunus dan berada di tangan kanan,

   Agaknya dia tidak tahu akan serangan itu karena dia sedang memandang ke arah sumur dengan terbelalak menyaksikan betapa ada suara gemuruh keluar dari sumur itu disusul lidah lidah api dan asap hitam yang mengantar bau yang menyesakkan napas. Akan tetapi, begitu ujung pedang lawan hampir menyentuh punggungnya, Bun Beng menekuk kedua kakinya, membiarkan pedang dan tubuh lawan lewat dan tiba-tiba dia bangkit sambil menggerakkan pedangnya. Terdengar teriakan mengerikan ketika tubuh laki laki yang terlanjur meloncat dan kini ditambah dorongan Bun Beng itu meluncur masuk ke dalam sumur yang bernyala nyala! Bun Beng yang tadinya tersenyum, berubah wajahnya dan memandang terbelalak! Tak disangkanya sama sekali bahwa elakannya mengakibatkan terjadinya hal mengerikan itu! Dia tidak bermaksud untuk melempar penyerangnya itu ke dalam sumur untuk dibakar hidup-hidup!

   Teriakan yang amat nyaring menyayat hati itu terdengar oleh banyak orang dan tampak-lah berbondong-bondong penghuni asrama itu berlari keluar. Bun Beng tidak mau melarikan diri seperti pencuri karena biarpun dia dikepung, kalau hendak meloloskan diri pun tidak akan sukar baginya. Maka dengan tenang dia menyimpan kembali pedangnya dan berdiri tegak menanti kedatangan puluhan orang itu. Melihat sikap Bun Beng, orang-orang itu menjadi ragu ragu untuk menyerang. Apalagi karena mereka tidak melihat temannya yang menjerit tadi. Mereka hanya menanti sampai orang kurus bermuka pucat itu muncul bersama pembantu utamanya, Si Gundul. Orang kurus itu adalah seorang Han, akan tetapi suaranya menunjukkan bahwa dia berasal dari utara.

   "Siapakah engkau?"

   Orang itu bertanya sambil memandang Bun Beng dengan penuh perhatian.

   "Namaku Gak Bun Beng,"

   Jawab Bun Beng sederhana.

   "Mau apa engkau datang ke sini? Apakah engkau juga seorang mata-mata Thian liong pang?"

   Bun Beng menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak disuruh oleh siapapun juga, juga tidak mewakili siapa siapa. Aku kebetulan lewat dan ingin tahu apa yang berada di dalam tempat yang penuh rahasia ini. Kiranya terisi orang-orang yang mengadakan persekutuan!"

   Semua orang memandang dengan sikap mengancam ketika mendengar itu, akan tetapi Si Tua kurus itu mengangkat tangan menyuruh anak buahnya diam.

   "Kulihat engkau masih amat muda akan tetapi sikapmu tenang dan tabah sekali. Orang muda, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian. Kebetulan sekali di sini kurang hiburan bagi anak buahku. Hiburan perempuan dan nyanyian sudah membosankan. Kalau diberi hiburan pertandingan silat yang sungguh-sungguh tentu akan menimbulkan kegembiraan."

   "Bagus! Bagus....! Serahkan dia kepadaku, biar kupatahkan batang lehernya!"

   "Tidak, kepadaku saja! Aku ingin merobek mulut yang sombong itu!"

   "Biarkan aku menghancurkan kepalanya!"

   Si Kurus pucat itu kembali mengangkat tangannya menyuruh anak buahnya diam, lalu berkata gagah.

   "Kita adalah orang-orang gagah di dunia kang ouw, mengapa bersikap seganas itu? Tidak, pertandingan ini akan diadakan satu lawan satu dengan adil. Akan tetapi aku ingin sekali tahu, siapakah yang tadi mengeluarkan suara menjerit?"

   Tidak ada seorang pun yang tahu.

   "Kami sendiri pun tidak tahu. Suara itu terdengar dari sini, akan tetapi ketika kami datang, yang tampak hanya pemuda ini seorang diri. Jangan-jangan setan dari mata-mata itu yang...."

   "Hemmm, tak patut orang gagah percaya akan tahyul!"

   Si Kurus membentak.

   "Tentu ada yang berteriak tadi, terdengarnya seperti teriakan ketakutan. Eh, orang muda she Gak, apakah engkau tahu siapa yang berteriak tadi?"

   Bun Beng mengangguk.

   "Aku tahu, sebab yang menjerit tadi adalah seorang anak buahmu yang menyerangku dari belakang ketika aku membakar sumur minyak ini."

   Jawaban ini kembali membuat semua orang ribut. Betapa beraninya pemuda ini, sudah membakar sumur, masih mengaku seenaknya dengan begitu tenang!

   "Di mana dia sekarang?"

   Si Kurus bertanya lagi.

   "Di dalam sana...!"

   Bun Beng menuding ke arah sumur yang masih bernyala itu. Kembali suasana menjadi ribut dan Si Kurus terpaksa mendiamkan mereka dengan isyarat tangannya.

   "Apakah engkau melemparnya ke dalam sumur?"

   Tanyanya kepada Bun Beng. Suaranya sudah kehilangan ketenangannya karena dikuasai kemarahan.

   "Sama sekali tidak. Dia menyerangku dari belakang, agaknya dia terlalu bernafsu untuk membunuhku sehingga ketika aku mengelak, dia terus menyelonong ke dalam sumur."

   Semua orang terbelalak mendengar ini, merasa ngeri akan nasib kawan mereka yang terbakar hidup-hidup. Akan tetapi Si Kurus pucat bersikap tenang.

   "Gak Bun Beng, kesalahanmu bertumpuk tumpuk. Pertama, engkau memasuki tempat terlarang ini tanpa ijin, seperti maling. Ke dua engkau berani membakar sumur yang kami jaga ini. Ke tiga engkau telah membunuh seorang di antara anak buahku. Menurut patut, engkau harus dibunuh sekarang juga. Akan tetapi, melihat engkau masih begini muda dan mengingat bahwa kami adalah orang-orang gagah yang tidak mau membunuh begitu saja...."

   "Kecuali ketika kalian mengeroyok dan menangkap mata-mata Thian liong-pang itu, ya?"

   Bun Beng memotong.

   "Hemmm, itu lain lagi. Dia adalah anggauta Thian liong-pang, musuh kami. Sedangkan engkau hanya seorang pemuda bebas yang terlalu sombong dan lancang. Engkau boleh membela nyawamu dalam pertandingan satu lawan satu, tanpa ada pengeroyokan."

   "Hemmm, kalau aku menang aku boleh pergi dengan bebas?"

   "Kalau sudah tidak ada yang mampu melawanmu, boleh saja!"

   Kata Si Kurus dan terdengarlah suara orang-orang tertawa bergelak. Mereka itu tentu saja memandang rendah kepada Bun Beng. Sebagian di antara mereka adalah orang-orang kang ouw dan liok lim, dan mereka belum pernah bertemu atau mendengar nama Gak Bun Beng di dunia persilatan.

   "Siapa di antara kalian yang berani melawan bocah ini?"

   Pemimpin kurus itu berseru. Pertanyaan itu disambut suara sorak-sorai karena hampir semua orang yang berada di situ mengangkat tangan dan mereka seolah-olah hendak berebut menandingi pemuda itu, bukan hanya untuk membalaskan kematian teman mereka, juga ini merupakan kesempatan bagi mereka untuk memamerkan kepandaian!

   "Locianpwe, mengapa menimbulkan banyak ribut dan susah susah? Agar urusan cepat selesai, suruh pembantu Locianpwe yang seperti raksasa ini maju. Kalau aku menang, berarti mereka yang berteriak teriak itu tentu takkan ada yang berani maju lagi, kalau aku kalah, yah, terserah!"

   Si Muka pucat ini agaknya senang sekali disebut "locianpwe"

   Oleh Bun Beng, maka kembali dia mengangkat tangan menyuruh orang-orangnya diam, kemudian berkata,

   "Ucapan bocah ini benar juga, cukup masuk akal dan bisa diterima. Akan tetapi, sungguh membikin malu aku dan pendekar Gozan dari Mongol kalau dia harus maju sendiri melayanimu, bocah she Gak. Ketahuilah bahwa pendekar Gozan ini adalah seorang ahli silat dan ahli gulat nomor satu di Mongol, dan merupakan orang ke dua sesudah aku di tempat ini. Akan tetapi karena engkau sendiri yang minta, dan memang ada benarnya juga agar tidak membuang waktu, biarlah aku menyuruh orang ke tiga maju melayanimu beberapa jurus. Agar kau ketahui sebelumnya bahwa pertandingan ini merupakan pibu (adu ke-pandaian) sehingga terluka atau mati bukan merupakan persoalan yang harus disesalkan."

   "Aku mengerti, Locianpwe. Kurasa mati di tangan orang ke tiga di tempat seperti ini cukup terhormat!"

   "Ha ha, bagus sekali! Engkau seorang pemuda yang berani, sayang engkau bukan anak buahku. He, Thai lek gu (Kerbau Bertenaga Raksasa), majulah dan harap kau suka mewakili aku melayani Gak Bun Beng ini!"

   Kata Si Kepala asrama yang kurus itu. Dari dalam rombongan orang-orang itu muncullah seorang laki laki yang membuat Bun Beng hampir tertawa geli karena anehnya. Orang ini tubuhnya pendek sekali, akan tetapi amat besar dan gendut sehingga seperti bola yang besar.

   Perutnya besar bulat sehingga bajunya di bagian perut tidak dapat menutupinya dengan baik dan tampaklah kulit perut putih halus membayang di antara kancing baju yang terlepas. Kepalanya juga bulat dengan sepasang mata kecil sipit. Kakinya pendek buntek, besar seperti kaki gajah, demikian kedua lengannya besar akan tetapi panjang sekali sampai ke lutut sehingga kalau dia membungkuk sedikit saja, kedua tangannya seperti menyentuh tanah dan membuat kedua lengan itu mirip sepasang kaki depan binatang kaki empat. Pantas saja dia dijuluki Kerbau Bertenaga Raksasa, karena memang dia mirip seekor kerbau dengan perutnya yang bergantung ke bawah itu. Thai lek gu langsung menghadapi Bun Beng, matanya yang sipit itu agak terbuka dan terdengar suaranya yang kecil halus, jauh bedanya dengan tubuhnya yang bulat itu.

   "Orang muda, sungguh sialan sekali engkau diharuskan bertanding melawan aku. Apakah tidak lebih baik engkau cabut pedangmu itu dan memenggal lehermu sendiri supaya lebih cepat mati dan tidak tersiksa lagi?"

   Ucapan ini disambut suara tertawa di sana sini karena semua orang mengerti bahwa ucapan itu merupakan ejekan. Bun Beng tersenyum.

   "Aku heran sekali mengapa engkau dijuluki Thai lek-gu, kalau melihat matamu yang kecil dan sikapmu yang malas, engkau lebih tepat dijuluki Thai lek ti (Babi Tenaga Raksasa), sungguh pun aku masih menyangsikan sekali akan tenagamu."

   Kembali terdengar suara ketawa, dan sekali ini Thai lek gu yang menjadi bahan tertawa sehingga dia marah sekali.

   "Bocah bermulut lancang! Kematian sudah di depan hidung engkau masih berani kurang ajar terhadap aku?"

   "Memang kematian sudah di depan hidung, akan tetapi entah kematian siapa dan hidung siapa!"

   Bun Beng menggerak gerakkan cuping hidungnya,

   "Menurut hidungku, aku tidak mencium kematianku, akan tetapi ada bau bau tidak enak datang deri tempat kau berdiri!"

   Kembali orang-orang tertawa. si Gendut itu memang wataknya kasar dan sombong, suka mengejek dan mempermainkan teman temannya yang tidak berani melawan, maka kini mendengar dia diolok olok oleh pemuda asing itu, mereka menjadi girang dan tertawa geli, biarpun mereka semua maklum bahwa tentu pemuda itu akan tewas oleh Si Gendut yang lihai.

   Karena melihat pemuda itu menggerak gerakkan cuping hidungnya, Thai lek gu otomatis juga mencium cium, akan tetapi karena hidungnya pesek hampir tidak ada ujungnya, maka tentu saja tidak dapat digerak gerakkan, hanya lubangnya saja yang menjadi makin lebar. Saking marahnya, dia tidak dapat berkata apa-apa lagi dan hanya mengeluarkan suara menggereng kemudian secara tiba-tiba dia menyerang Bun Beng. Biarpun tubuhnya gendut sekali akan tetapi ternyata gerakannya cepat ketika dia menubruk dengan kedua lengan yang panjang itu terpentang, kemudian menyergap dari kanan-kiri hendak merangkul tubuh Bun Beng yang kelihatan kecil itu untuk ditekuk tekuk dan dipatah patahkan semua tulangnya!

   "Bresss!"

   Tiba-tiba Thai lek gu menjadi bingung karena tadi tampaknya serangannya tak mungkin dapat dielakkan lagi,

   Kedua lengannya sudah menyentuh kedua pundak lawan, akan tetapi begitu kedua tangannya meringkus, yang diringkusnya hanya angin saja dan tubuh pemuda itu sudah lenyap! Cepat dia membalikkan tubuhnya dan ternyata pemuda itu sudah berdiri di belakangnya sambil bersedekap dan tersenyum senyum. Terkejutlah Si Muka Pucat yang kurus dan Si Raksasa gundul ketika menyaksikan betapa dengan amat sigapnya tubuh pemuda itu tadi melesat ke luar dari sergapan Thai lek gu dan meloncat ke atas melewati kepalanya, kemudian turun bagaikan seekor burung walet saja di belakang Thai lek gu. Juga Thai lek gu yang bukan merupakan seorang ahli silat sembarangan, kini dapat menduga bahwa pemuda itu ternyata memiliki kepandaian tinggi terbukti dari gin-kangnya yang istimewa,

   Bersikap hati-hati dan tidak lagi berani memandang rendah bahkan dia menekan hatinya melenyapkan rasa marah agar dapat menghadapi lawan dengan tenang. Setelah memasang kuda kuda, mulailah Thai lek gu membuka serangannya. Tubuhnya seperti menggelundung ke depan karena gerakan kedua kakinya sukar terlihat, tertutup oleh perutnya, dan tahu-tahu kedua lengannya sudah menyambar ke depan bergantian, melakukan pukulan-pukulan yang amat keras sehingga terdengar anginnya mengiuk berulang ulang. Bun Beng menurunkan kedua tangannya yang bersedekap, kedua tangan itu bergerak cepat sampai tidak tampak, tahu tahu jari tangannya sudah mengetuk ke arah lengan lawan, yang kanan mengetuk pergelangan tangan kiri, sedangkan yang kiri mengetuk tulang dekat siku.

   "Plak! Tukkk!"

   "Wadouuhh....!"

   Thai lek gu berteriak keras sekali dan cepat meloncat mundur,

   Mulutnya yang amat kecil dibandingkan dengan kepala dan perutnya itu menyeringai kesakitan kedua tangannya sibuk sekali bergerak bergantian, yang kiri mengusap siku kanan, yang kanan menggosok pergelangan tangan kiri. Kulit lengan di kedua tempat itu membiru dan tampak benjolan sebesar telur ayam! Dengan kemarahan yang meluap luap, Thai lek gu kini menyambar sepasang golok yang dibawakan oleh seorang temannya. Sepasang golok ini pantasnya untuk menyembelih babi, dan memang Thai-lek gu ini dahulunya adalah seorang jagal babi! Betapapun marahnya, Thai lek gu ini adalah seorang tokoh kang ouw yang tahu akan kegagahan, maka sambil menahan marah, menggerak gerakkan sepa-sang goloknya di depan dada kemudian berhenti depan dada dalam keadaan bersilang dia berseru,

   "Hayoh keluarkan senjatamu!"

   Bun Beng tersenyum. Dia tidak mempunyai urusan atau permusuhan pribadi dengan orang-orang ini dan biarpun dia tahu bahwa mereka itu pemberontak-pemberontak, namun dia tidak pula berpihak kepada Kaisar Mancu. Andaikata mereka ini bukan kaki tangan Koksu yang menjadi musuh besarnya, agaknya dia pun tidak mau mengganggu mereka. Apalagi melihat sikap Thai lek gu yang masih menghargai kegagahan dalam pertandingan ini, tidak mengeroyok, tidak pula menyerang lawan yang bertangan kosong, dia mengambil keputusan untuk bersikap lunak terhadap mereka.

   "Thai lek gu, tidak perlu aku mempergunakan senjataku sendiri karena engkau sudah begitu baik hati untuk menyediakannya untukku. Nah, seranglah!"

   Thai lek gu memandang heran dan ragu ragu.

   "Orang muda yang sombong, jangan kau main main. Sepasang golokku ini sekali keluar, tidak akan masuk sarungnya kembali sebelum minum darah lawan. Keluarkan senjatamu!"

   "Baiklah, akan tetapi bukan senjataku, melainkan yang kau pinjamkan kepadaku itulah!"

   Tiba-tiba Bun Beng menubruk ke depan dan mengirim serangan kilat, menusukkan jari tangan kirinya ke arah mata lawan. Thai lek gu marah dan terkejut, cepat dia menundukkan kepala dan golok kanannya berkelebat membacok ke arah lengan Bun Beng yang menyerangnya. Akan tetapi pemuda itu tiba-tiba merendahkan diri, gerakannya cepat bukan main, golok menyambar lewat di atas kepalanya dan tiba-tiba Thai lek gu mengeluarkan seruan tertahan dan memandang dengan mata terbelalak kepada lawan yang sudah tersenyum senyum memandangnya dengan sebatang golok di tangan. Golok kirinya telah dirampas secara cepat dan aneh oleh pemuda itu!

   "Nah, sekarang aku telah memegang senjata. Terima kasih atas kebaikanmu memberi pinjam golok ini kepadaku, Thai lek gu."

   Thai lek gu marah bukan main, marah penasaran dan juga kaget. Pemuda itu dalam segebrakan saja telah berhasil merampas sebatang di antara sepasang goloknya. Hal ini saja membuktikan bahwa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa hebatnya. Akan tetapi karena sudah kepalang mencabut senjata, dia mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang ke depan dengan nekat.

   "Trang trang trang....!"

   Tiga kali Si Pendek gendut menyerang dan tiga kali Bun Beng menangkis tanpa menggeser kaki dari tempatnya, berdiri seenaknya akan tetapi kemana pun golok lawan menyambar, selalu dapat ditangkisnya dan setiap tangkisan membuat Thai lek-gu terpental ke belakang. Hal ini mengejutkan semua orang.

   Thai lek gu terkenal memiliki tenaga yang amat besar, akan tetapi serangan golok tadi berturut turut dapat ditangkis oleh Si Pemuda yang membuat tubuh Thai lek-gu terpental! Tentu saja Thai lek gu menjadi makin marah. Dengan lengking panjang dia lari ke depan, menyerbu dengan golok diangkat tinggi tinggi di atas kepala, kemudian golok itu menyambar ke arah leher Bun Beng, dibarengi cengkeraman tangan kiri Thai lek gu ke arah perutnya! Serangan ini dahsyat sekali dan merupakan serangan mati matian untuk mengadu nyawa. Tentu saja Bun Beng tidak menjadi gentar. Dia sengaja mengerahkan tenaganya, menggerakkan golok menangkis golok lawan, sedangkan tangan kirinya menyambut cengkeraman tangan lawannya dia menotok pergelangan tangan.

   "Krekk.... dessss!"

   Golok di tangan Thai lek gu patah-patah dan dia menjerit kaget ketika tubuhnya terlempar ke belakang dan lengan kirinya lumpuh tertotok. Betapapun diusahakannya untuk mengatur keseimbangan tubuhnya, tetap saja dia terbanting roboh dan karena kelumpuhan lengan kiri, terpaksa dengan susah payah dia merangkak bangun.

   "Maafkan aku dan kukembalikan golokmu. Terima kasih!"

   Bun Beng melempar golok pinjaman itu yang meluncur ke depan. Semua orang terkejut, mengira bahwa pemuda itu melontarkan goloknya untuk membunuh Thai lek gu, akan tetapi golok itu berputaran kemudian meluncur turun menancap di atas tanah depan pemiliknya. Tiba-tiba terdengar suara menggereng seperti seekor biruang marah dan tanah seperti tergetar ketika seorang raksasa melompat turun di depan Bun Beng. Dengan matanya yang lebar dia memandang Bun Beng, mulut yang tertutup cambang bauk melintang galak itu bergerak-gerak dan terdengar suaranya yang kaku dan parau,

   "Aku Gozan. Kau orang muda boleh juga, aku merasa terhormat mendapatkan lawan seperti engkau. Orang muda, majulah kau mari mulai!"

   Baru saja menghentikan kata katanya, raksasa itu sudah menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang itu menyambar dari kanan dan kiri pinggang Bun Beng. Pemuda ini mengerti bahwa lawannya memiliki tenaga yang amat hebat, hal ini diketahuinya dari angin sambaran kedua lengan itu. Akan tetapi karena dia memang ingin sekali mencoba sampai di mana kehebatan lawan yang menurut Si Muka Pucat tadi adalah jago nomor satu di Mongol, ahli silat dan ahli gulat, maka dia sengaja bergerak lambat dan membiarkan pinggangnya ditangkap. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tahu tahu tubuhnya terangkat ke atas dan usahanya memperberat tubuhnya sama sekali tidak terasa oleh Si Raksasa itu yang mengangkat tubuhnya ke atas, memutar mutar tubuhnya sambil tertawa-tawa!

   "Kiranya tenagamu tidak berapa hebat, orang muda. Nah, pergilah kau!"

   Sambil berkata demikian, Gozan jagoan dari Mongol itu mengerahkan tenaga pada kedua lengannya dan melemparkan tubuh Bun Beng ke depan. Tanpa dapat dilawan pemuda ini, tenaga dahsyat mendorongnya dan membuat tubuhnya meluncur jauh ke depan, seolah-olah tubuhnya menjadi sebuah peluru yang terbang dengan cepatnya. Namun Bun Beng dapat menguasai dirinya. Dengan ilmu gin kangnya dia berjungkir balik di tengah udara dan tubuhnya kini membalik dengan tenaga lontaran masih mendorongnya sehingga tubuhnya meluncur kembali ke arah lawannya! Tentu saja Gozan menjadi terkejut dan terheran melihat pemuda lawannya itu tahu tahu telah berkelebat datang dan berdiri di depannya kembali sambil ter-senyum senyum mengejek!

   "Engkau masih belum pergi? Kalau begitu engkau sudah bosan hidup!"

   Gozan membentak dan kini dia menerjang ke depan, menggerakkan dua pasang kaki dan tangannya, seperti otomatis, bergantian dan bertubi tubi menghujankan pukulan dan tendangan ke arah tubuh Bun Beng. Biarpun gerakan itu tidak banyak perubahannya, hanya mengandalkan kecepatan gerak yang teratur, dan mudah bagi Bun Beng menghadapinya, namun pemuda ini maklum bahwa tenaga Si Raksasa itu amat besar dan bahwa terkena sekali saja oleh pukulan atau tendangan itu, amatlah berbahaya. Maka dia mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatannya untuk menghindar dengan loncatan ke kanan-kiri dan belakang sampai puluhan jurus serangan sehingga akhirnya Gozan sendiri yang menjadi lelah dan napasnya terengah engah. Tiba-tiba raksasa itu menghentikan serangannya dan memandang dengan mata merah, lehernya mengeluarkan gerengan marah dan dia berkata,

   "Orang muda, apakah engkau seorang pengecut sehingga dalam pertandingan selalu menjauhkan diri? Kalau tidak berani bertanding, kau berlututlah dan mengaku kalah, kalau memang berani balaslah seranganku!"

   "Begitulah kehendakmu? Nah, sambutlah ini!"

   Bun Beng tersenyum dan memukul ke arah dada raksasa itu, tangan kiri siap untuk merobohkan lawan yang bertubuh kuat itu.

   Akan tetapi, secepat kilat Gozan menangkap lengan kanan Bun Beng dengan cara yang tak terduga duga. Gerakan kedua tangan raksasa itu seperti gerakan dua ekor ular yang menyambar dari kanan-kiri dan tahu tahu lengan kanan Bun Beng telah ditangkapnya! Kiranya, dengan ilmu silat pukulan dan tendangan, raksasa itu sama sekali tidak berdaya mengalahkan lawan, maka kini dia kembali hendak menggunakan ilmu gulatnya! Sebelum Bun Beng tahu apa yang terjadi, kembali tubuhnya sudah terangkat ke atas, di atas kepala lawannya, kemudian dia dibanting ke bawah dengan tenaga yang dahsyat! Karena tadi lemparannya tidak berhasil, kini Gozan mengganti siasatnya, tidak melemparkan tubuh lawan, melainkan membantingnya ke atas tanah.

   "Wuuuttt.... brukkk.... ngekkk!"

   Semua orang terbelalak kaget dan heran, terutama sekali Si Kurus Pucat yang menjadi pemimpin ketika menyaksikan peristiwa yang aneh dan hebat itu. Terbelalak dia memandang jagoannya, Gozan Si Raksasa tinggi besar tadi kini terkapar di depan kaki Bun Beng, dalam keadaan pingsan! Jelas semua orang melihat tadi betapa tubuh pemuda itu telah diangkat dan dibanting, akan tetapi mengapa tiba-tiba keadaannya terbalik, bukan tubuh Bun Beng yang terbanting melainkan tubuh Si Raksasa itu sendiri?

   Kiranya Bun Beng sudah bergerak cepat sekali. Ketika tubuhnya dibanting dan lengan kanannya dicengkeram, dia menggunakan tangan kirinya menotok tengkuk lawan dan seketika tubuh raksasa itu menjadi lemas. Dengan gerakan indah sekali, namun cepat sehingga sukar diikuti pandangan mata, Bun Beng yang masih terdorong oleh tenaga bantingan membalikkan tubuh sehingga kakinya yang lebih dulu tiba di atas tanah, sedangkan dia menggerakkan kedua tangan yang kini memegang pangkal lengan raksasa itu, menggunakan sisa tenaga bantingan lawan untuk mengangkat tubuh lawan dan membantingnya, ditambah dengan tenaga sin kangnya sendiri. Dalam keadaan tertotok, Gozan tidak mampu mempertahankan diri dan berat tubuhnya membuat bantingan itu makin hebat akibatnya sehingga dia pingsan seketika!

   "Wirr.... siuuuuttt....!"

   Bun Beng cepat merendahkan tubuhnya kaget sekali melihat senjata yang menyambarnya. Kiranya Si Muka Pucat yang kurus tadi telah menyerangnya dan senjata di tangan orang ini benar benar amat luar biasa. Pimpinan orang-orang gagah itu memegang gagang pancing, lengkap dengan tali dan mata kailnya! Bagi yang mengenal Liong Khek, Si Kurus muka pucat ini tentu tidak akan heran karena dia memang berasal dari keluarga nelayan. Mungkin mengingat akan asal usulnya ini, ditambah lagi bahwa senjata istimewa ini amat hebat dan jarang dikenal lawan, maka dia memilihnya sebagai senjatanya.

   "Orang muda, engkau benar hebat, akan tetapi jangan harap akan dapat keluar dari tempat ini dalam keadaan bernyawa!"

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Liong Khek berseru dan menerjang maju dengan senjatanya yang aneh. Bun Beng merasa heran juga melihat senjata itu. Selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang ahli silat bersenjata pancing, bahkan mendengar pun belum pernah. Oleh karena itu, dia menyabarkan diri dan ingin sekali melihat bagaimana lawannya mempergunakan senjata istimewa itu.

   "Singgg.... siuuuttt....!"

   Kembali sinar kecil itu menyambar dan Bun Beng cepat mengelak mengulur tangan berusaha menangkap tali pancing itu. Akan tetapi dengan gerakan pergela-ngan tangannya, Liong Khek Si Kurus itu telah menarik kembali tali pancingnya, kemudian meloncat maju kan kini mempergunakan gagang pancingnya sebagai senjata tongkat untuk menusuk lambung Bun Beng. Pemuda ini mengelak sambil menangkis dengan lengannya, dengan hati-hati dan penuh perhatian menghadapi lawan. Dia kagum sekali. Kiranya senjata itu benar benar hebat dan berbahaya sekali.

   Gagangnya dapat dimainkan sebagai tongkat dan mata kail yang terbuat dari baja dan amat runcing melengkung itu kadang-kadang menyambar ke arah bagian bagian tubuh yang berbahaya dan setiap kali dapat ditarik kembali kalau talinya digerakkan atau disendal. Bahkan ada kalanya, gagang pancing menyerang dibarengi sambaran mata kail dari lain jurusan! Benar benar senjata yang tak tersangka sangka ini merupakan senjata yang amat berbahaya kalau dimainkan semahir Liong Khek memainkannya. Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan tampaklah selosin orang berpakaian tentara memasuki markas itu. Mereka adalah utusan Koksu dan begitu melihat Liong Khek bertanding melawan seorang pemuda, komandan pasukan bertanya tanya. Ketika mendengar bahwa pemuda itu diduga keras seorang mata-mata, komankan pasukan berkata marah.

   "Kalau dia mata-mata, mengapa tidak dibunuh saja? Hayo serbu!"

   Selosin orang tentara itu sudah meloncat turun dari atas kuda, dan kini bersama orang-orang gagah yang berada di situ, mereka lari menghampiri untuk mengeroyok Bun Beng. Pemuda ini tertawa melengking, mengerahkan khi kang sehingga para pengeroyok itu terbelalak kaget, kaki mereka menggigil dan sejenak mereka tidak dapat bergerak. Juga Liong Khek terkejut sekali ketika suara lengkingan dahsyat itu membuat tubuhnya tergetar.

   Sebelum ia dapat memulihkan kembali ketenangannya tahu tahu sebuah tendangan mengenai pahanya, membuat tubuhnya terlempar dan senjata pancingnya telah dirampas pemuda yang luar biasa itu! Ketika terbanting jatuh, maklumlah Liong Khek ternyata bahwa pemuda itu tadi hanya main main saja dan bahwa sesungguhnya pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi! Bun Beng mencelat ke dekat pagar, mengayun tubuh ke atas dan mengambil buntalan pakaian dan topinya yang tadi ditaruhnya di atas pagar agar jangan mengganggu gerakannya. Dia menaruh topi berbentuk caping petani yang lebar itu, menalikan tali caping di leher, kemudian menalikan buntalan pakaiannya di depan dada sehingga buntalan itu tergantung ke belakang bahu kanannya. Semua ini dikerjakan selagi tubuhnya di atas pagar. Para pengeroyoknya sudah lari mengejarnya dan kini beberapa orang sudah melayang naik ke atas pagar sambil menyerangnya.

   "Wuuuttt.... wirrr....!"

   Dua orang menjerit dan jatuh dari atas pagar ketika pancing di tangan Bun Beng bergerak menyambar dan melukai hidung dan pipi dua orang itu! Timbul kegembiraan Bun Beng dengan senjata rampasan yang baru ini. Dia tadinya hendak melompat keluar dari tempat itu dan lari, akan tetapi melihat hasil sambaran senjata pancing itu, dia ingin mencoba lagi dan kini dia malah melompat turun ke sebelah dalam markas! Tentu saja dia disambut pengeroyokan puluhan orang itu, termasuk pasukan tentara yang baru tiba.

   "Heii, apakah kalian ini anjing anjing Koksu?"

   Bun Beng berteriak sambil melompat ke kiri dan menggerakkan gagang pancing dengan pergelangan tangannya. Kembali dua orang yang menyerbunya roboh terpelanting!

   "Kami adalah pengawal pengawal, utusan pribadi Koksu. Menyerahlah orang muda!"

   Bentak Si Komandan pasukan yang mengira bahwa sebagai seorang kang ouw, tentu pemuda itu akan gentar dan tunduk kalau mendengar nama Koksu. Akan tetapi pemuda itu malah tertawa bergelak.

   "Kalau kalian anjing-anjing pengawal dari Koksu, aku belum meninggalkan tempat ini sebelum menghajar kalian!"

   Kini Bun Beng mengamuk dan serangan-serangannya ditujukan kepada pasukan itu. Mendengar bahwa pasukan itu adalah utusan pribadi Koksu, sudah timbul rasa tidak senangnya.

   Empat orang anggauta pasukan roboh pingsan terkena tamparan tangannya, sedangkan dua orang lagi masih mengaduh aduh karena muka mereka robek terkait mata kail yang runcing. Akan tetapi, orang-orang gagah yang dipimpin oleh Liong Khek merasa marah dan merasa terhina bahwa di depan utusan utusan Koksu, mereka tidak mampu menangkap seorang pengacau yang masih muda. Mereka berteriak teriak dan mengepung Bun Beng. Pemuda ini menjadi kewalahan juga menghadapi demikian banyaknya pengeroyok. Dia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dan hinggap di atas atap kandang kuda, senjata pancingnya terayun ayun di tangan kiri. Dia melihat lihat ke bawah, hendak memilih kuda yang terbaik yang terkumpul di situ. Perwira yang memimpin pasukan tadi tahu akan niat pemuda pengacau itu.

   "Kepung, jangan biarkan dia lolos dengan mencuri kuda!"

   Teriaknya sambil berlari cepat diikuti sisa anak buahnya ke bawah atap di mana Bun Beng berdiri. Komandan itu menggerakkan senjata tombak panjangnya menusuk ke atap.

   "Crappp!"

   Tombak bercabang itu menembus atap, akan tetapi dengan mudah saja Bun Beng mengelak, bahkan kini dia menggerakkan pancingnya ke bawah.

   "Auuuhwww.... aduuuuhhh....!"

   Mata kail yang runcing melengkung itu telah berhasil mengait pinggul seorang anak buah pasukan dan sekali tangan kiri Bun Beng digerakkan, tubuh orang yang terpancing itu terangkat naik ke atap. Pada saat itu, komandan pasukan dan seorang anak buahnya, dengan kemarahan meluap menusukkan tombak mereka dari bawah mengarah tubuh Bun Beng.

   "Crepp! Creppp!"

   Dua batang tombak panjang itu me-nembus atap, akan tetapi dengan gerakan ringan dan mudah sekali, Bun Beng meloncat menghindar kemudian turun dengan kedua kaki, menginjak ujung dua batang tombak yang menembus atap itu!

   Gagang pancingnya dia gerakkan berputar sehingga tubuh tentara itu pun terbawa berputaran, kemudian sambil tertawa Bun Beng melemparkan pancingnya ke arah Si Komandan pasukan. Karena lontaran ini cepat dan kuat sekali, Si Komandan tidak sempat mengelak sehingga dia tertimpa tubuh anak buahnya sendiri dan roboh terguling guling! Sebelum komandan itu sempat bangun dan dalam keadaan masih nanar karena kepalanya terbentur keras, tiba-tiba dia merasa pundaknya dicengkeram dan tahu-tahu pemuda yang dikeroyoknya tadi telah berada di dekatnya, tangan kiri mencengkeram pundak dan tangan kanan menodongnya dengan sebatang tombak. Tombaknya sendiri!

   "Mundur semua, kalau tidak, kubunuh perwira ini!"

   Bun Beng membentak sambil menempelkan ujung tombak yang runcing itu ke perut Si Komandan yang menjadi ketakutan, bermuka pucat dan menggigil. Melihat ini, Si Muka pucat segera memberi aba aba kepada anak buahnya untuk mundur. Tentu saja keselamatan komandan pasukan yang menjadi utusan Koksu amatlah penting, dan kini dia yakin bahwa pemuda yang mengacau itu benar benar seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, terlampau tinggi untuk mereka tandingi dan kalau mereka melanjutkan pertandingan dan pengero-yokan dengan jalan kekerasan, akibatnya akan berbahaya sekali.

   "Mundur.... hentikan pertandingan!"

   Teriak Si Kurus dengan suara nyaring, kemudian dia melangkah maju menghadapi Bun Beng, menjura dan berkata,

   "Orang muda she Gak! Engkau tadi mengaku bukan mata-mata dan tidak memusuhi kami, mengapa engkau membikin kacau dan menangkap seorang panglima dari kota raja?"

   Bun Beng membelalakkan matanya lalu tertawa bergelak, nadanya mengejek,

   "Ha ha ha! Kalau ada maling teriak maling, hal itu amat lucu dan dapat dimengerti karena Si Maling ingin menyelamatkan diri. Akan tetapi kalau ada pemberontak teriak pemberontak, hal ini sudah tidak lucu lagi, malah menyebalkan! Aku bukan seorang penjilat Kaisar, juga bukan seorang pemberontak. Bukan aku yang mengacau di sini, melainkan kalian sendiri yang memaksaku bertanding!"

   Si Kurus bermuka pucat itu kembali menjura.

   "Kalau begitu, kami menerima salah, harap engkau suka membebaskan panglima yang menjadi tamu kami."

   "Panglima ini harganya tentu lebih mahal dari seekor kuda,"

   Kata pula Bun Beng.

   "Seekor kuda....?"

   Si Kurus memandang tajam.

   "Ya, seekor kuda yang paling baik diantara semua kuda di sini."

   Mengertilah Si Kurus. Dia lalu memberi aba aba kepada anak buahnya untuk mengeluarkan kuda tunggangannya sendiri, seekor kuda berbulu putih yang benar-benar bagus dan kuat, merupakan kuda pilihan.

   "Nah, ini kudaku sendiri, pakailah kalau engkau memerlukannya,"

   Katanya. Bun Beng tertawa, melepaskan Si Perwira dan sekali meloncat dia telah berada di atas punggung kuda. Dia sengaja berbuat demikian, karena dia ingin melihat sikap mereka itu. Begitu melihat perwira itu dilepaskan, terjadi gerakan-gerakan seolah-olah mereka hendak maju lagi menerjang Bun Beng yang bersikap tenang di atas punggung kudanya. Akan tetapi Si Kurus bermuka pucat mengangkat tangan kanan ke atas dan membentak,

   "Jangan bergerak! Biarkan Gak congsu lewat dan keluar dari sini tanpa gangguan!"

   Bun Beng melarikan kudanya, menoleh ke arah Si Kurus sambil berkata,

   "Terima kasih. Pemberontak atau bukan, engkau masih mempunyai sifat kegagahan!"

   Kudanya lari terus keluar dari pintu pagar tanpa ada yang merintanginya, dan pemuda ini melanjutkan perjalanan menuju ke selatan, ke kota raja.

   "Haiiii....! Maharya pendeta palsu tukang tipu! Hayo keluar kau jangan sembunyi saja! Terimalah jawaban teka tekimu. Hayo keluar, kalau tidak, kucabut nanti bulu jenggotmu!"

   Yang berteriak teriak ini adalah Bu-tek Siauw jin,

   Kakek pendek cebol yang keluar dari tempat tahanannya bersama Kwi Hong. Dara jelita ini bersikap tenang, berjalan di samping gurunya. Dia tidak pedulikan gurunya yang berteriak teriak karena dia sudah maklum akan watak dan sifat gurunya yang aneh dan tidak lumrah manusia. Dia sendiri tentu saja tidak khawatir keluar dari tempat tahanan, apalagi bersama gurunya yang sakti, sungguhpun dia maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya karena mereka berada di tempat kediaman Koksu, berada di dalam sarang harimau. Ada beberapa orang penjaga yang bingung tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, berlagak hendak mencegah dua orang tahanan ini keluar. Yang berani menghadang hanya empat orang penjaga. Mereka melintangkan tombak menghadang dan berkata,

   "Tanpa perkenan Koksu kalian tidak boleh keluar....!"

   Empat kali Kwi Hong menggerakkan tubuhnya, empat kali terdengar suara.

   "krekk! plakk!"

   Dan empat batang tombak patah patah disusul tubuh empat orang penjaga itu terlempar ke kanan-kiri! Adapun kakek cebol itu masih berteriak teriak memanggil nama Maharya, seolah-olah tidak melihat muridnya merobohkan empat orang penghalang tadi.

   "Maharya pendeta palsu! Di mana engkau? Koksu, suruh pembantumu Si Pendeta konyol itu keluar....!"

   "Ser serr serrr....!"

   Tampak sinar menyambar dari kanan-kiri dan depan. Dengan tenang sekali Kwi Hong menggerak gerakkan kedua lengan bajunya seperti yang dilakukan gurunya dan belasan batang anak panah yang menyambar ke arah mereka itu runtuh ke bawah.

   "Ha ha ha, Im kan Seng-jin Bhong Ji Kun, beginikah seorang Koksu negara menghadapi tamu?"

   Bu tek Siauw jin tertawa mengejek sedangkan Kwi Hong memandang ke depan dan kanan-kiri dengan alis berkerut marah. Daun pintu besar yang menembus ruangan belakang gedung Koksu itu tiba-tiba terbuka dan muncullah Bhong koksu bersama Maharya dan belasan orang panglima yang menjadi kaki tangan dan sekutu Koksu itu, diiringkan pula oleh sepasukan tentara yang berjumlah lima puluh orang lebih bersenjata lengkap!

   "Heh heh heh, Siauw jin. Engkau adalah seorang hukuman, tanpa ijin Koksu berani membobol penjara dan merobohkan penjaga. Sungguh tak tahu aturan!"

   Maharya berkata sambil tertawa mengejek. Bu tek Siauw jin memandang dengan mata melotot.

   "Siapa jadi orang hukuman? Kami menjadi tamu! Dan teka tekimu yang palsu itu mudah saja menjawabnya! Maharya, lekas kau ambil pisau penyembelih babi, lekas!"

   Karena nada suara kakek cebol itu mendesak dan disertai pengerahan tenaga sin kang, maka mempunyai wibawa yang kuat sekali sehingga Maharya yang menjadi ahli sihir itu pun sampai terpengaruh dan otomatis bertanya heran,

   "Pisau penyembelih babi? Untuk apa?"

   "Ha ha ha ha! Untuk memotong ujung hidungmu yang terlalu panjang itu! Bukankah sudah begitu perjanjian antara kita? Kalau aku bisa menjawab teka-tekimu, engkau harus memotong ujung hidungmu, kemudian engkau, Koksu dan pendeta Tibet.... eh, mana Si Gendut itu, mengapa tidak ikut pula menyongsongku? Dan jangan lupa, Pulau Es dan Pulau Neraka juga harus dibangun kembali!"

   "Siauw jin, kematian sudah berada di depan mata, engkau masih berani sombong. Orang macam engkau tak mungkin dapat menjawab pertanyaanku itu...."

   "Apa? Pertayaan licik penuh akal bulus dan palsu itu siapa yang tidak dapat menjawabnya? Dengar baik baik, Maharya. Aku Sejati yang kau tanyakan itu adalah Aku Sejati yang palsu, khayalan pikiranmu sendiri yang kotor itu, yang hanya meniru niru dari orang lain yang sebetulnya juga tidak tahu apa-apa. Semua itu palsu, sepalsu hati dan pikiranmu, Maharya!"

   "Ihhh, engkau gila....!"

   Maharya membentak dengan muka merah.

   "Paman guru, perlu apa melayani orang gila ini?"

   Tiba-tiba Koksu berkata sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan mengeluarkan cambuk merah dengan tangan kiri, kemudian mengangkat cambuk ke atas sebagai aba aba. Para panglima melihat ini lalu mencabut senjata mereka dan semua anak buah pasukan tentara pengawal juga siap dengan senjata masing-masing.

   "Suhu, teecu rasa tidak perlu melayani mereka ini!"

   Kwi Hong juga berkata dan tampaklah sinar berkilat mengerikan ketika dara itu sudah mencabut keluar pedang Li mo kiam!

   "Serbu....!"

   Bhong koksu mengeluarkan aba aba dan menyerbulah pasukan pengawal dipimpin oleh belasan orang panglima itu. Memang Koksu telah siap, untuk mengeroyok Bu tek Siauw jin dan karena dia tahu betapa lihainya kakek itu bersama muridnya yang memegang pedang mujijat, maka dia sendiri pun telah mengeluarkan pedangnya, sebatang pedang pusaka yang jarang dia pergunakan karena biasanya, dengan sebatang pecut merahnya saja Koksu ini sudah sukar menemukan tanding.

   "Ha ha ha, pendeta palsu, Koksu pengecut!"

   Bu tek Siauw jin tertawa-tawa ketika melihat pasukan pengawal itu menyerbu. Akan tetapi Kwi Hong tidak seperti gurunya, dara ini sudah berkelebat ke depan didahului sinar pedangnya yang menyilaukan mata. Para pengawal yang belum mengenal dara dan pedangnya yang mujijat itu, menerjang dengan senjata tombak, golok atau pedang.

   "Singgg.... trang trang-krek krek krekkk....!"Tombak, golok dan pedang beterbangan di udara dalam keadaan patah patah, disusul pekik kaget dan kesakitan, pekik kematian dari mulut lima orang pengawal yang tak dapat menghindarkan diri dari sambaran sinar pedang Li mo kiam! Melihat ini, terkejutlah semua anak buah pasukan dan mereka mengurung dan mengeroyok lebih hati-hati, dipimpin oleh belasan orang panglima yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Karena maklum bahwa dia sama sekali tidak boleh memandang ringan pengeroyok yang jumlahnya amat banyak itu Kwi Hong tidak bertindak sembrono,

   Dan hanya berdiri di tengah tengah, pedang melintang depan dada, tidak bergerak dan hanya sepasang matanya yang indah itu saja yang bergerak, mengerling ke kanan-kiri menanti gerakan lawan. Dua belas orang panglima yang menjadi kaki tangan Bhong koksu, yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, dengan hati-hati mengurung Kwi Hong dan di belakang mereka bergerak, siap siaga dengan pengurungan yang amat nekat. Tiba-tiba terdengar seorang panglima tertua mengeluarkan seruan sebagai aba-aba, dan puluhan anak buah mereka se-rentak dua belas orang panglima itu menerjang Kwi Hong dibantu oleh anak buah mereka dari belakang. Kembali tubuh Kwi Hong berkelebat dan lenyap bersembunyi di balik sinar pedang yang amat menyilaukan mata, seperti kilat menyambar nyambar.

   Dia berhasil mematahkan beberapa batang senjata lawan namun karena dua belas orang panglima itu memang sudah maklum akan keampuhan pedang di tangan gadis itu, mereka bersikap hati-hati dan tidak mau mengadu senjata sehingga Yang menjadi korban hanya senjata para pengawal yang berani menyerang terlalu dekat. Betapapun juga, Kwi Hong tidak dapat mencurahkan perhatian untuk merobohkan lawan di depan karena dia dikepung ketat dan senjata senjata lawan datang bagaikan hujan di sekeliling tubuhnya, sedangkan tangan yang menggerakkan senjata-senjata itu pun tangan terlatih dan cukup kuat dan cepat. Sementara itu, Maharya yang bersenjata sebatang tombak bulan sabit, senjata barunya setelah dia meninggalkan senjatanya yang dahulu berupa ular putih hidup dan sarung tangan emas, sudah menerjang maju melawan Bu tek Siauw-jin dibantu oleh Koksu yang bersenjatakan pedang di tangan kanan dan cambuk di tangan kiri.

   "Ha ha ha, kalian ini tiada lebih hanyalah tukang tukang keroyok yang menjijikkan!"

   Bu tek Siauw jin tertawa mengejek, akan tetapi dia harus cepat-cepat menghindar dan mengebutkan lengan bajunya karena ujung tombak bulan sabit itu telah menyambar ganas ke arah lehernya, disusul tusukan pedang Bhong koksu ke arah ulu hatinya dan sambaran cambuk ke arah ubun ubun kepalanya.

   "Tarrr....!"

   Sambaran cambuk yang datang terakhir itu tidak dielakkan dan ditangkis, melainkan diterima begitu saja oleh ubun ubun kepalanya, akan tetapi akibatnya, ujung cambuk itu membalik dan telapak tangan Bhong koksu lecet-lecet!

   "Serang lima tempat dari mata ke bawah!"

   Maharya berseru dan kini Bhong-koksu menerjang lagi membantu paman gurunya, menujukan serangan-serangannya ke arah kedua mata, tenggorokan, pusar, dan bawah pusar!

   "Heh heh heh, Maharya pendeta palsu, dukun lepus! Mari mari kita main main sebentar!"

   Setelah berkata demikian, kakek pendek itu membalas dengan pukulan pukulan jarak jauh, kedua telapak tangannya mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat,

   Kadang-kadang mengandung hawa panas, kadang-kadang dingin sehingga Maharya maupun Bhong koksu berlaku hati-hati dan tidak berani menghadapi langsung pukulan pukulan itu, melainkan mengelak sambil mengirim serangan serangan balasan dari samping. Dalam hal ini, hanya cambuk di tangan kiri Bhong koksu saja yang lebih berguna karena cambuk itu cukup panjang untuk mengirim serangan dari jarak jauh. Sedangkan tubuh Maharya menyambar-nyambar, menggunakan kesempatan setiap Bu tek Siauw jin mengelak dari sambaran cambuk, menerjang dengan tombak bulan sabitnya. Bu tek Siauw jin masih tertawa-tawa dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja. Memang kakek aneh dari Pulau Neraka ini sudah puluhan tahun meninggalkan senjata, dan hal ini pun tidaklah aneh kalau diingat bahwa dengan kaki tangannya dia sudah cukup kuat menghadapi serangan lawan.

   Betapapun juga, menghadapi pengeroyokan dua orang sakti seperti Maharya dan Bhong koksu, kakek cebol ini repot juga dan biarpun mulutnya tertawa-tawa, dia harus memeras keringat untuk menghindarkan diri dari hujan serangan maut itu. Tingkat kepandaiannya hanya lebih tinggi setingkat dari Maharya, dan mungkin tidak ada dua tingkat dari kepandaian Bhong koksu. Untung bagi kakek cebol Pulau Neraka ini babwa dia kebal terhadap ilmu sihir biarpun dia sendiri tidak suka mempelajari ilmu itu sehingga kekuatan ilmu sihir yang dimiliki Maharya tidak ada artinya kalau ditujukan terhadap Bu tek Siauw jin dan di samping ini dia menang jauh dalam hal kekuatan sin kang, maka dia dapat menahan tekanan dua orang itu dengan tenaga sin kangnya.

   

Pendekar Super Sakti Eps 32 Kisah Pendekar Bongkok Eps 8 Kisah Pendekar Bongkok Eps 22

Cari Blog Ini